ci
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kondisi perekonomian Surakarta sebelum tahun 1959, sangat
memprihatinkan, keadaan ini tak lepas dari hadirnya pemerintah Pendudukan Jepang yang mulai menguasai Surakarta pada tahun 1943.
Pada masa pendudukan Jepang, kondisi Surakarta memburuk disebabkan karena kebijakan Jepang yang cenderung untuk
memobilisasi daerah pendudukan untuk kepentingan perang, salahsatunya dalam sektor ekonomi, Jepang mengatur segala bentuk
kegiatan ekonomi. Guna mempermudah menjalankan eksploitasi, dibidang pemerintahan daerah kekuasaan dibagi menjadi yaitu Syuu
,Si, Ken, Gun, Son, Ku, dan daerah kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta menjadi Kooti Surakarta. Setelah proklamasi kemerdekaan
status daerah Surakarta ditetapkan menjadi daerah Istimewa namun karena adanya konflik antara Kasunanan, Mangkunegaran dan Komite
Nasional DaerahKND, status itu dicabut kraton hanya dapat mempertahankan aspek budaya sebagai simbol sosial kultural pusat
kebudayaan Jawa.. Dengan ini keraton Surakarta kehilangan sumber- sumber politik untuk mendukung status sosialnya, meskipun status
istimewa telah dicabut tetapi ada beberapa kegiatan ekonomi yang masih dikelola oleh kraton, seperti pembagian dan pengumpulan
pakaian, penarikan pajak, penetapan harga kebutuhan pokok dan beberapa daerah masih terjadi penyerahan padi. Keadaan ini sempat
memberatkan rakyat. Kondisi ekonomi Surakarta setelah kemerdekaan mulai bangkit kembali setelah mengalami masa sulit, dengan
munculnya perusahaan serta sektor perbankan pada awal tahun 1950an.
cii 2.
Kondisi Etnis Tionghoa di Surakarta sebelum tahun 1959, cukup baik karena etnis Tionghoa telah muncul sebagai etnis yang sangat berperan
dalam sektor ekonomi. Jumlah etnis Tionghoa yang melebihi jumlah golongan Eropa dan etnis lainnya menyebabkan kekhawatiran bagi
pemerintah Kolonial Belanda, sehingga banyak bermunculan peraturan yang bertujuan untuk membatasi gerak mereka. keadaan masyarakat
Tionghoa yang berada dalam berbagai diskriminasi memunculkan gerakan-gerakan
solidaritas perjuangan
Tionghoa. organisasi
masyarakat Tionghoa bersifat kedaerahan, profesionalitas, keagamaan hingga politik. diskriminasi yang mereka alami salahsatunya dalam
bidang ekonomi, meskipun banyak aturan yang telah dibuat untuk membatasi gerak etnis Tionghoa tapi aturan-aturan yang ada tidak
sepenuhnya mengekang gerak etnis Tionghoa di sektor ekonomi. dalam bidang ekonomi Etnis Tionghoa bergerak dalam jasa
peminjaman uangmindering, tuan tanah .pedagang perantara. Jaringan bisnis Tionghoa tidak hanya sampai disitu, saat munculnya
industri batik di Surakarta etnis Tionghoa juga menguasai monopoli perdagangan bahan-bahan batik, keadaan ini menyebabkan adanya
ketergantungan antara para pengusaha pribumi terhadap Tionghoa. Pada masa pemerintahan Jepang, pengusaha Tionghoa adalah satu-
satunya sumber kredit bagi pengusaha pribumi sehingga mereka memegang monopoli dam sektor ekonomi. Posisi etnis Tionghoa yang
selalu diuntungkan oleh pemerintah pendudukan menyebabkan komunitas Tionghoa tidak disukai oleh rakyat, keadaan ini
menyebabkan etnis Tionghoa banyak menjadi korban penculikan pada tahun 1947-1949.
3. Kondisi perekonomian Etnis Tionghoa di Surakarta setelah keluarnya
PP No.10 Tahun 1959 sempat mengalami kegoyahan. Lahirnya peraturan yang berbau rasis ini menyebabkan menguatnya posisi
pengusaha pribumi serta memunculkan berbagai industri seperti batik, tekstil, dan kerajinan. Namun mengakibatkan usaha etnis Tionghoa di
ciii Surakarta terganggu. Keadaan ekonomi Tionghoa di Surakarta mulai
bangkit pada awal Orde Baru, karena kedekatan etnis Tionghoa dengan penguasa pada saat itu mereka mendapatkan kemudahan dalam
memperoleh kredit Investasi.
B. Implikasi