4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal
Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal ini sangat penting dalam
keselamatan navigasi. Pemetaan dasar perairan batimetri juga sangat penting untuk menunjang pengembangan wilayah pantai dan pesisir sehingga dapat
diketahui tempat-tempat berpotensi rawan dan berbahaya. Pemetaan kedalaman perairan telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang umum digunakan untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal shallow water,
yaitu citra Landsat TM dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS Green et al., 2000. Beberapa peneliti pada abad ini menggunakan citra yang beresolusi
tinggi untuk memetakan kedalaman perairan kedalaman, seperti Mishra 2001 yang menggunakan citra multispektral IKONOS untuk memetakan kedalaman
perairan pulau Roatan, Honduras dan Deng et al. 2008 memetakan Estuaria Beilun, China dengan menggunakan citra multispektral Quickbird dan Landsat-7
ETM+.
2.1.1. Batimetri
Batimetri menjelaskan tentang pengukuran kedalaman dasar perairan, seperti danau, sungai, dan laut. Pengetahuan mengenai batimetri berawal dari
pemetaan topografi dasar laut yang telah lama dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Biertwith, Lyzenga, dan masih banyak lagi yang melakukan pemetaan
5
batimetri dengan tujuan tertentu. Peta batimetri biasanya menyajikan tentang relief suatu dasar perairan dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur
kedalaman depth contour atau isobath dan informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan.
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi
batimetri juga dapat digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan kondisi habitat karang. Pengaruh reflektansi dasar perairan sering sekali menjadi
faktor penghambat dalam pemetaan habitat dasar perairan. Oleh karena itu perlu pengetahuan mengenai nilai reflektansi dasar perairan agar memperoleh model
elevasi digital kedalaman perairan yang memadai, terutama untuk sistem terumbu karang Mumby et al., 1998.
Pengukuran kedalaman perairan diawali dengan menggunakan metode konvensional yang dilakukan dengan menggunakan tali tambang terukur dengan
pemberat yang diturunkan dari kapal ke dalam perairan. Pendekatan konvensional ini mengandalkan survei lapangan kedalaman air di lokasi penelitian. Namun
pendekatan ini memerlukan tenaga kerja yang banyak dan memerlukan waktu yang lama. Sejak tahun 1970-an hingga saat ini, teknologi satelit penginderaan
jauh telah banyak digunakan sebagai alternatif untuk memperkecil kerja lapangan untuk pemetaan batimetri air jernih Deng, et al. 2008, metode ini memetakan
kedalaman dengan menggunakan sistem foto udara dan penginderaan jarak jauh dengan sensor satelit.
6
2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal
Gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk memetakan perairan dangkal berada dalam kisaran spektrum sinar tampak 400-700 nm. Sinar
tampak merah, hijau, dan biru yang dipancarkan dari sensor satelit mampu menembus badan air sehingga dapat penetrasi kedalaman ke dalam beberapa kelas
kedalaman. Pada saat sinar tampak menembus air laut, sinar tersebut akan mengalami atenuasi akibat interaksi dengan kolom perairan. Intensitas cahaya
akan berkurang I
d
� = � .
−��
........................................................................................................ 1 setelah memasuki kedalaman perairan tertentu p, dimana
dapat dirumuskan seperti berikut Green et al., 2000:
dimana, I
o
Koefisien atenuasi akan semakin besar pada kanal yang memiliki panjang gelombang yang besar, seperti yang dikemukakan pada penelitian Selamat dan
Nababan 2009 yang menggunakan citra satelit SPOT untuk memetakan batimetri Pulau Pandangan. Dikatakan bahwa kanal dengan panjang gelombang
sinar hijau yang mampu menembus air hingga ke kedalaman maksimum yang mampu direkam oleh satelit SPOT memiliki koefisien atenuasi terkecil
dibandingkan dengan kanal merah panjang gelombang sinar merah dan kanal inframerah panjang gelombang inframerah pada satelit SPOT.
= intensitas awal sebelum memasuki permukaan air dan k = koefisien atenuasi yang bervariasi tergantung oleh panjang gelombang elektromagnetik
tersebut.
Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit dapat mendeteksi kedalaman ±30 m Green et al., 2000. Pada kondisi perairan yang jernih, kanal
dengan cahaya biru dan hijau mampu mempenetrasi kedalaman hingga ke dasar
7
perairan, kemudian dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor. Berbeda dengan cahaya biru dan hijau, cahaya merah umumnya akan diserap atau
dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi ke dasar perairan. Meaden dan Kapetsky 1991 mengemukakan bahwa tingkat
kecerahan pada setiap kedalaman memiliki nilai yang berbeda. Kontur kedalaman digambarkan berdasarkan tingkat kedalaman yang sama. Penetrasi energi cahaya
kedalaman perairan dipengaruhi oleh fitoplankton dan kekeruhan air yang umumnya terdiri dari partikel sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut
Gambar 1. Komponen-komponen tersebut akan menghamburkan dan mengabsorbsi cahaya yang masuk ke dalam air sehingga mengakibatkan atenuasi
semakin besar dan perubahan sifat optik air laut.
Sumber: Biertwith, et al. 1993. Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya
yang diterima sensor setelah melalui massa air dimana, E =
pencahayaan sinar matahari di atas atmosfir; T
Φ
, T
θ
= Transmitansi atmosfir; E
D
= hamburan cahaya dari langit; R
WS
= pantulan dari permukaan air; R
w
= pantulan dari molekul-molekul dan partikel- partikel di kolom air; R
B
= pantulan dari subtrat dasar; R
E
= pantulan efektif dari badan air tidak termasuk R
WS
; L
P
= hambur balik di atmosfir; L
T
= radiasi dari target yang ditransmisikan oleh atmosfir; L
S E
= radiasi sinar tampak yang diterima oleh sensor
L
S
L
T
Z Sensor
L
P
E
D
R
WS
R
B
R
E
T
θ
T
Φ
θ
R
W
Matahari
Substrat Permukaan air
Atmosfir
8
Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri, seperti metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga Green et al.,
2000. Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal, yaitu i atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, ii
kualitas air tidak tampak berbeda pada citra, iii albedo dari substrat adalah konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain merupakan metode yang
dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode Jupp merupakan pengembangan dari metode Lyzenga.
Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan
pada substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman yang biasanya menggunakan metode survei lapang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi
ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang ground truth,
dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks
kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat
mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori Siregar et al., 2008. Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra
satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman secara in situ umumnya menggunakan sistem pemeruman melalui suatu alat perum seperti
9
GPS sounder atau Map souder. Pada saat pengukuran dapat terjadi suatu kesalahan yang dapat diindikasikan dari presisi dan akurasinya. Presisi mengacu
dari ulangan bacaan alat tersebut, sedangkan akurasi mengacu pada pendekatan pengukuran terhadap angka sebenarnya Chapra dab Canale dalam Siregar et al.,
2008. Hubungan antara nilai aproksimasi dan nilai sebenarnya dirumuskan sebagai berikut:
X
s
= X
a
dimana, Xs = nilai sebenarnya +
ΔX ...................................................................................................... 2
Xa = nilai aproksimasi pendekatan ΔX = kesalahan bias
Sumber: Green et al. 2000. Gambar 2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum. Z
t
= kedalaman air pada saat waktu t baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran
melaui penginderaan jauh, h
t
= ketinggian pasut di atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah
datum, yaitu Z
t
- h
t
Koreksi data kedalaman perlu dilakukan sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti
tinggi pasang surut pasut pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut dalam satu hari dapat berbeda-beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi
Ketinggian air pada waktu t
datum
h
t
Z Z
t
Dasar Laut
10
pengambilan data kedalaman tersebut. Agar menghindari kesalahan klasifikasi pada pembuatan peta batimetri, maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman
terhadap data pasang surut Gambar 2. Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur adalah nilai kedalaman
sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat
dikoreksi dengan benar. Perhitungan ketinggian pasang surut di atas datum Gambar 2 pada saat survei lapang umumnya dilakukan secara langsung dengan
menggunakan alat perum seperti GPS Sounder. Namun saat ini ketinggian pasang surut juga dapat diukur melalui alat perekam kedalaman otomatis seperti GPS
Sounder.
2.2. Satelit IKONOS