BAGAIMANA MASA DEPAN TOLERANSI DI INDONESIA mrb

BAGAIMANA MASA DEPAN TOLERANSI DI INDONESIA...?
MENCARI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN DI INDONESIA
Mahnan Marbawi, M.A.
Opening Story

Sore itu anak saya yang baru kelas 3 SD, Ain, mendatangi saya dan bercerita tentang
kejadian yang ia alami ketika sedang bermain dengan teman-temannya siang tadi. Ain
memang biasa bercerita, dan saya selalu bersemangat mendengarkannya. Tetapi apa yang
ia ceritakan sore itu benar-benar membuat saya terharu.
Ain bercerita tentang percakapan antara Sin dan Naf. Sin adalah teman sepermainan Ain
yang baru kelas nol besar di TK dan berasal dari keluarga Muslim, sementara Naf sudah
kelas 2 SD dan berasal dari keluarga non-Muslim. Sin berbicara kepada Naf, “Naf kamu
kan orang kristen, kenapa kamu bermain dengan Teh Ain?” kata Sin.
Ain lalu memotong pembicaraan Sin, “ Sin….. (ada jeda) walaupun kita berbeda agama,
tetapi kita harus saling hidup rukun, jangan begitu ya..,” kata Ain.
Saya sangat terkejut sekaligus bangga dan haru. Terkejut karena anak yang masih seusia
TK ternyata sudah harus berhadapan dengan segregasi antara agama, padahal dunia anak
adalah dunia bermain yang semestinya tidak mengenal pengkotakan karena agama, suku
atau
golongan.
A. LATAR

BELAKANG MASALAH
A. Latarbelakang Masalah.
Majlis Ulama Indonesia (MUI)1pada bulan September tahun 2007 mengeluarkan
fatwa tentang sepuluh (10) kriteria sebuah aliran di anggap sesat. Sepuluh kriteria tersebut
menjadi rujukan MUI-MUI di daerah dalam menetapkan sebuah kelompok atau aliran di
berikan label atau dihukumi sesat. Dimana kemudian, fatwa tersebut memicu tindak
kekerasan atau anarkisme terhadap kelompok yang di anggap sesat atau tidak sama dengan
kelompok mainstream. Selain oleh MUI, fatwa MUI pusat tersebut dijadikan rujukan oleh
kelompok vigilante2 agama atau pelaku kekerasan di berbagai daerah untuk legitimasi

1

MUI adalah lembaga yang didirikan negara berisi ahli-ahli dalam berbagai bidang agama Islam.
Lembaga ini menjadi rujukan pemerintah dalam menetapkan persoalan kehidupan keagamaan, relasi antar
agama dan relasi internal agama Islam.
2
Ahmad Suaedy, Islam, Negara Bangsa, Dan Kebebasan Beragama, dalam Merayakan Kebebasan
Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, ed Elza Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas, 2009), 419.

melakukan ancaman dan kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap sesat dan

minoritas.
Fatwa MUI tentang kriteria aliran yang dianggap sesat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan
sunnah.
3. Meyakini turunnya setelah Al-Quran
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran.
5. Melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah
ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima
waktu.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim
hanya karena bukan sekelompoknya.
Fatwa MUI ini kemudian menjadi dasar beberapa kelompok masyarakat untuk
melakukan penilaian terhadai kelompok lain yang dianggap “sesat”. Pada perkembangannya
Fatwa MUI ini menjadi salah satu pemicu terjadinya peristiwa anarkisme, pengrusakan dan

peristiwa kerusuhan berbasis agama di beberapa daerah 3. Seperti di Manis Lor KuninganJawa Barat, Sampang-Madura Jawa Timur, Bima-NTB, dan beberapa daerah lainnya. Pada
tahun 2005 MUI juga pernah mengeluarkan fatwa tentang anti pluralisme 4, sekulerisme, dan
liberalisme.

3

Dimana persepsi atau pemahaman berdasarkan Fatwa MUI tersebut terhadap istilah pluralisme
khususnya mengalami distorsi. Dimana menurut Fatwa MUI pluralisme dianggap sebagai sinkretisme agama,
penyaParataan doktrin kebenaran. padahal pluralisme yang dimaksud adalah keragaman budaya, etnik, bangsa,
bahasa, warna kulit termasuk agama. Sumanto Al-Qurtuby, Pluralisme, Dialog, Dan Peacebuilding Berbasis
Agama di Indonesia, dalam Merayakan Kebebasan Beragama, editor Elza Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas,
2009), 179.
4
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Yang dikehendaki dari
gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain, sebagaimana keberadaan
agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Dimana setiap agama punya hak hidup. Bahkan Nurkholis
Madjid menegaskan pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok
agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas
dasar perdamaian dan saling menghormati. Moqsith Ghozaly, Islam dan Pluralitas(isme) Agama, dalam
Merayakan Kebebasan Beragama, editor Elza Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas, 2009), 287-288.


Jauh sebelum fatwa MUI keluar, tahun 1965 telah lahir undang-undang yang senafas
dengan fatwa MUI di atas yaitu UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan
dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969. Undang-undang tersebut
pada Pasal 1 menyebutkan,” Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama”.5
Hingga saat ini dua produk hukum tersebut – UU PNPS dan Fatwa MUI,

menjadi

rujukan utama bagi kelompok masyarakat tertentu (kelompok mainstrem 6) dan pemerintah
(baik pusat maupun daerah) dalam menentukan dan menekan kelompok yang dianggap sesat.
Akibatnya, sejak era reformasi, pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia
mengalami peningkatan7.
Dampak paling nyata dari fatwa MUI dan UU PNPS tersebut adalah terjadinya
pelanggaran terhadap para penganut Ahmadiyah, penganut Syi’ah serta beberapa kelompok
kepercayaan yang tidak diakui negara8. Selain pelarangan terhadap kelompok yang dianggap

sesat, kelompok mainstream tersebut juga melakukan penekanan terhadap kelompok agama
yang minoritas seperti pelarangan terhadap pembangunan gereja, masjid dan lain-lain.
Catatan Komisi Nasional (Komnas) HAM tentang pelanggaran kebebasan beragama
dan bekeyakinan mengalami kenaikan. Pada 2010 Komnas HAM menerima 84 buah
pengaduan, yang terdiri dari kasus perusakan, gangguan dan penyegelan rumah ibadah
sebanyak 26 kasus, kekerasan terhadap “aliran sesat” 14 kasus, konflik dan sengketa internal
7 kasus dan yang terkait pelanggaran terhadap jama’ah Ahmadiyah 6 kasus, dan sisanya
pelanggaran lain-lain. Pada 2011, pengaduan yang masuk sebanyak 83 kasus dengan 32 kasus
terkait gangguan dan penyegelan atas rumah ibadah, 21 kasus terkait Jama’ah Ahmadiyah,
gangguan dan pelarangan ibadah 13 kasus, dan diskriminasi atas minoritas agama 6 kasus.
Pada tahun 2012, tercatat 68 pengaduan dengan perincian: perusakan dan penyegelan rumah
5

Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Era Reformasi dalam
Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, ed Elza Peldi Taher,
(Jakarta:ICRP-Kompas, 2009), 337.
6
Yang dimaksud kelompok mainstrem di sini adalah kelompok (bisa agama, etnis, golongan, faham)
yang mayoritas dan mendominasi kehidupan sosial masyarakat di suatu daerah. Kelomopok mainstrem terjadi
juga di kelompok agama baik Kristen atau pun di Islam.

7
Lihat laporan Wahid Institute dan Setara Institue tentang Kebebasan Beribadah dan Beragama (KBB)
antara tahun 2010-2012.
8
Penganut kepercayaan dan agama lokal seperti Parmalin di Sumatera Utara, Kaharingan, Sunda
Wiwitam, penghayat kepercayaan, Bahai, kelompok agama Samin di Jawa Tengah, Suku Dayak Indramayu dan
beberapa kelompok agama lokal lainnya yang tidak diakui negara sebagai agama,

ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan pelarangan
ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan 6 kasus. Pada tahun
2013 Komnas menerima 39 berkas pengaduan. Diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan
terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan, perusakan, atau penghalangan
pendirian rumah ibadah sebanyak 9 berkas dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan
ibadah sebanyak 9 berkas.9
Tidak berbeda dengan laporan Komnas HAM, laporan tahunan Setara Institute
mencatat pelanggaran hak beribadah dan beragama pada pelanggaran dari 286 kasus pada
tahun 2010 menjadi 371 kasus pada tahun 2012.

Dalam laporannya Setara Isntitute


menyebutkan bahwa pengikut Syiah paling banyak mengalami tindak intoleransi.
Pelanggaran terhadap kelompok Syiah mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 hanya 10
kasus dan melonjak pada tahun 2012 menjadi 34 kasus. Dalam insiden lain, seorang warga
Syiah tewas dalam bentrokan di Sampang, Madura pada tanggal 26 Agustus 2012. Menyusul
insiden ini, ratusan pengikut jemaah Syiah terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Hingga
saat ini mereka masih di tampung di Sidoarjo Surabaya. Termasuk tindak intoleransi juga
dialami oleh kelompok Kristiani10, kelompok umat Islam di Kupang - NTT 11 dan Jemaah
Ahmadiyah12.
9

Jimly Asshiddiqie, Toleransi Dan Intoleransi Beragama Di Indonesia Pasca Reformasi , dalam
Dialog Kebangsaan tentang “Toleransi Beragama”, Ormas Gerakan Masyarakat Penerus Bung Karno, di Hotel
Borobudur Jakarta, 13 Februari, 2014.
10
Pembangunan GKI Yasmin di Bogor dan Geraja Philadelphia di Kabupaten Bekasi yang hingga saat
ini masih mendapat penolakan dan penyegelan dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Dalam tiga
tahun terakhir, Jemaah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat telah dibiarkan tanpa ada pilihan lain selain beribadah
di lokasi yang berbeda, termasuk di sepanjang trotoar dan di depan Istana Negara karena gereja mereka disegel
oleh pemerintah kota Bogor.
11

Penolakan pembangunan sebuah masjid di kota Kupang oleh warga. Yang terakhir adalah kasus
penolakan ibadah Id Fitri oleh warga di Tolikara di Papua Barat tahun 2015.
12
Peristiwa pengurasakan rumah dan tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah di Manis Lor-Kuningan Jawa
Barat, di Bima NTB, dan di berbagai daerah lainnya yang hingga saat ini belum tuntas penyelesaiannya.
Dasarpelarangan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri No. 03 tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199
tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga
Masyarakat (“SKB Tiga Menteri diterbitkan tanggal 9 Juni 2008”). Dasar hukum penerbitan SKB Tiga Menteri
tersebut antara lain: 1) Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a;
3) Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden
sebagai Undang-Undang (“UU Penodaan Agama”). Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan Agama dinyatakan,
dalam hal ada yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Siapa yang menyimpulkan aliran tertentu itu sesat? Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama,
kewenangan menyatakan suatu organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan

dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pada prakteknya, ada Badan Koordinasi
Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Sebenarnya yang dimaksud Bakor

Sementara itu pemerintah sejak jaman Presiden Suharto hingga Presiden Joko Widodo
seolah terlena dengan jargon Indonesia adalah negara muslim yang toleran. Sehingga
Indonesia pantas dianggap sebagai rujukan untuk belajar bertoleransi dalam kehidupan
beragama. Bahkan semasa Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Indonesia mendapat
penghargaan dari sebuah lembaga yang bergerak dalam kebebasan beragama di New york,
Appeal of Conscience Foundationyang memberikan World Statesman Award kepada Susilo
Bambang Yudhoyono13 (SBY).Walau kemudian, penghargaan tersebut banyak mendapat
penolakan karena SBY dianggap gagal mempertahankan kehidupan toleransi dan penindakan
terhadap pelaku intoleransi yang banyak terjadi di Indonesia14.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa persoalan intoleransi, yang melahirkan
kekerasan atas nama agama, diskriminasi, anarkisme, pengrusakan tempat ibadah, dan tindak
penyegelan rumah ibadah di Indonesia adalah sesuatu yang belum selesai 15. Bahkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 baik yang versi lama atau hasil amandemen, jelas-jelas
konstitusi Indonesia melindungi kebebasan beragama dan beribadah serta berkeyakinan.
Pasal 29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya
itu.”

Pada pasal 28 UUD 1945 yang telah diamandemen huruf E ayat 1 dan 2
menyebutkan; 1) “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” 2) “Setiap

Pakem adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan yang dibentuk berdasar Keputusan Jaksa Agung RI
No.: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).
Tim Pakem ini bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di kalangan
masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(“JAI”), misalnya, Tim Pakem memberikan rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras sekaligus perintah
penghentian kegiatan. (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-diindonesia diakses tanggal 27 September 2015).
13
Penghargaan serupa sebelumnya pernah diterima oleh Perdana Menteri Kanada Stephen Harper,
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dan Presiden Korea Lee Myung Bak. Ketiga tokoh tersebut menerima
pernghargaan tersebut untuk demokrasi, Hak Asasi Manusia dan kebebasan beragama.
14
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/12/078473096/penghargaan-toleransi-beragama-untuksby-keliru. Diakses tanggal 25 September 2015.
15

Dalam sebuah diskusi informal (obrolan yang terjadi di rumah beliau pada tanggal 25 September
2015) dengan penulis, Prof Tilaar menyebutkan bahwa toleransi adalah sebuah proses yang terus menerus dan
harus terus diusahakan. Penulis berpendapat toleransi adalah sebuah mahluk hidup yang bisa mati atau akan
terus hidup. Toleransi akan sangat tergantung kepada kondisi lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan
pendidikan yang melingkupi masyarakat.

orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya”.
Dalam pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan”. Selain itu dalam pasal 28 I ayat (1) UUD 1945
diakui bahwa “Hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia”.Persoalan kebebasan
beragama sebagai hak asasi manusia tersebut kemudian ditegaskan dan menjadi jaminan
negara dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama dan kepercayaannya”. Kebebasan sebagai bagian atas
hak asasi manusia tersebut tetap mendapat batasan. Dalam pasal 28 J ayat (1) UUD 1945
diatur bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asaski orang lain”. Yang berarti bahwa
pelaksanaan hak asasi tersebut tetap wajib tunduk kepada pembatasan yang diberlakukan
dalam undang-undang16.
Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa jaminan kebebasan beragama, berkeyakinan
dan beribadah adalah menjadi tanggung jawab negara. Sehingga fakta tentang adanya sikap
intoleransi dan diskriminasi serta berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan lainnya mencedrai UUD 1945 itu sendiri. Termasuk Fatwa MUI dan UU PNPS
1965 atau UU No. 5 tahun 1969 atau UU penodaan agama bertentangan dengan UUD 1945.
Dan di era kebebasan seperti saat ini sangat mungkin keberadaan Fatwa MUI, UU PNPS
1965 dan UU No. 5 tahun 1969 tersebut di”uji materikan” ke Mahkamah Konstitusi untuk
dihapus.
Walaupun ada jaminan konstitusi, sikap intoleransi yang terjadi di bedakan
berdasarkan 1) Intoleransi terhadap pemeluk agama lain seperti kasus penolakan gereja
Philadelphia Ciketing Kabupaten Bekasi, Jawa Barat 2) Intoleransi terhadap kelompok yang
dianggap berbeda seperti kasus penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah. 3) Intoleransi
terhadap kelompok kepercayaan dan penghayat atau agama lokal lainnya yang dipaksa untuk
memilih agama yang sejenis untuk administrasi kependudukan khususnya pencantuman
kolom agama dalam KTP. 4) Terkait intoleransi terhadap kelompok seperti Lia Eden dengan
Agama Salamullah atau Ahmad Musyadeqdengan Jama’ah Al-Qiyadah atau kelompok
lainnya seperti Isa Bugis, Baha’i, dan lainnya17.
Pada intoleransi yang pertama, sikap intoleransi didasarkan atas ketakutan kelompok
mayoritas akan berkembangnya agama kelompok minoritas. Pada intoleransi ke dua, sikap
16

Lihat pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat, sejak tahun 2001 hingga 2007, sedikitnya ada
sekitar 250 aliran agama yang menyimpang berkembang di Indonesia. Fokus Berita majalah Ikhlas Beramal,
Nomor 61 Tahun XIII Maret 2010
17

intoleransi terkait persoalan yang dianggap pokok aqidah dalam agama yang sama (satu
agama). Pada intoleransi ke tiga, sikap intoleransi terkait sosial politik. Dan ke empat sikap
intoleransi terkait persoalan yang dianggap penodaan agama.
Sikap intoleransi tersebut ternyata terjadi disemua kalangan, suku, agama, ras, dan
golongan. Menariknya lagi pelaku intoleransi didominasi oleh golongan keagamaan
mayoritas. Dan sikap intoleransi yang terekspos di berbagai media massa memberikan
pengaruh terhadap anak-anak. Stigma kelompok sesat atau lain agama yang disematkan
terhadap kelompok yang berbeda tertanam dibenak anak-anak.
Opening story yang di awal menunjukkan bagaimana sikap intoleransi telah merasuk
pada sikap anak seusia taman kanak-kanak (TK). Pertanyaannya dari mana ananda Nay
memiliki sikap intoleran tersebut? Apakah dari orang tua Nay atau dari media TV yang
ditontonnya atau dari lingkungannya?. Pertanyaan sama juga datang untuk ananda Ain. Dari
mana sikap toleran Ain diperoleh? Apakah dari orang tuanya atau dari media TV atau dari
lingkungannya?.
Terlepas dari mana ananda Nay dan ananda Ain mendapatkan sikap intoleran dan
toleran, ada satu hal yang bisa disepakati, pendidikan dalam keluarga atau nilai dari orang
tuanya memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap kedua anak tersebut. Hal ini sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh HAR Tilaar bahwa peran keluarga tidak tergantikan oleh
lembaga lain dalam menjamin keberlanjutan keturunan. Selain itu peran keluarga sangat
penting dalam menanamkan dan mengembangkan sebuah nilai, seperti nilai toleransi18.
Selain dari orang tua, sikap toleransi atau sikap intoleran juga bisa diturunkan dari
pendidik atau guru. Sebab seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pendidikan. Guru lah yang akan menentukan masa depan generasi penerus. Guru lah yang
akan menjadikan sosok siswa akan menjadi toleran atau tidak toleran 19. Bahkan Ir Soekarno
mengatakan “Guru adalah pembentuk akal dan jiwa anak-anak!”.20
Peran guru dalam menanamkan nilai toleransi kepada anak didik menjadi salah satu
faktor penting dalam menentukan masa depanm sikap toleransi di negeri ini. Sebab hal ini
berkaitan dengan sikap toleransi yang akan dimiliki oleh anak didik. Institusi pendidikan dan
isntrumen kurikulum yang digunakan di sekolah juga memberikan kontribusi yang besar
terhadap pembentukan sikap toleransi anak didik. Sebab dalam proses pendidikan, budaya
sekolah, dan kurikulum menjadi panduan utama dalam proses pembelajaran di sekolah.
18

HAR Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta, Kompas, 2014), 18-19.
HAR Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta, Kompas, 2014), 128.
20
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi,(Jakarta, Yayasan Bung Karno, 2015), 673.
19

Penguatan dan masa depan sikap toleransi memiliki landasan yang kuat dengan
kembali kepada nilai-nilai Pancasila. Ideologi negara ini, mengalami sebuah masa yang surut
pasca reformasi 1998. Seolah ideologi negara yang seharusnya menjadi soko guru dalam peri
kehidupan bernegara dan bermasyarakat hilang tergantikan dengan sikap pragmatisme.
Masa depan sikap toleransi masyarakat Indonesia akan ditentukan oleh seberapa kuat
guru dan kurikulum mampu menanamkan nilai kepada anak didik. Termasuk bagaimana
pendidikan dalam keluarga melandasi sikap anak didik yang dibawaya dalam interaksi
pergaulan dengan lingkungan. Nilai-nilai keluarga adalah pertama yang akan terlihat dalam
sikap anak. Nilai-nilai ini akan melebur dalam nilai yang diajarkan di sekolah dan lingkungan
dimana anak didik tersebut berinteraksi.
Intoleransi terjadi karena terjadi kegagalan sistemik pada beberapa aspek yaitu: 1)
Pemahaman agama yang dangkal yang merujuk kepada klaim kebenaran absolut pada satu
pihak atau satu agama21 2) Hukum, dimana hukum tidak bekerja pada kasus konflik berbasis
agama seperti Penolakan terhadap pembangunan Geraja Piladelpiadi Ciketing Bekasi Jawa
Barat atau Gereja Yasmin di Bogor, atau hukum tidak bekerja pada pelaku intoleransi 22 3)
Ketiadaan keteladanan dalam menerapkan nilai-nilai agama yang damai dan kasih sayang. 4)
Struktural, dimana pemerintah mengabaikan kelompok tertentu atas tekanan mayoritas 23. 5)
Lunturnya basis ideologi Pancasila yang tidak menjadi pedoman dan pandangan hidup dalam
berperilaku dan bermasyarakat yang majemuk24. 6) Pendidikan, sistem pendidikan yang tidak
21

Abdurahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, Wahid Institute, 2006),300.
Philips J. Vermonte dan Tobias Basuki, Masalah Intoleransi, Toleransi, Dan Kebebasan Beragama
di Indonesia,dalam Jurnal Maarif Vol.7, No. 1 (Jakarta, 2012), 27. Ahmad Najib Burhani, Tiga Problem Dasar
Dalam Perlindungan Agama-Agama Minoritas di Indonesia, dalam Jurnal Maarif Vol.7, No. 1 (Jakarta, 2012),
44.
23
Ismatu Ropi, Minoritas, Legal Jihad, Dan Peran Negara, dalam Jurnal Maarif Vol.7, No. 1 (Jakarta,
2012), 20. Dalam makalahnya Ismatu Ropi menegaskan aspek hukum dimaksudkan sebagai bagian dari cara
legal untuk memerangi kelompok yang dianggap berbeda, sesat atau berbagai faham yang dianggap
menyimpang dari mainstream. Sebagai contoh Peraturan perundang-undangan Kehidupan Beragama (1999)
yang diterbitkan Kementrian Agama RI yang memuat 51 aturan yang berisi tentang pelarangan terhadap sekte,
ajaran, kegiatan agama, buku-buku, kalender dan lain sebagainya, yang oleh otoritas negara dianggap
menyebarkan paham palsu, dari mainstrean atau menodai satu tradisi agama sesuai dengan penjelasan UU No.
1 tahun 1965. Inilah yang kemudian disebut oleh Ismatun Ropi sebagai Legal Jihad yang digunakan oleh
sekelompok orang atau negara untuk melakukan berbagai tindakan diskriminatif .
24
Dalam sidang BPUPKI (Badan Pekerja Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945
berbagai kelompok fraksi partai-partai politik seperti Parta Nasionalis Indonesia, Partai Masjumi, Partai
Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia, Partai IPKI, menyatakan
secara eksplisit dukungan terhadap Pancasila. Bahkan Ir Sakirman salah satu tokoh PKI pun menyatakan bahwa
“Pancasila adalah penjelmaan dari konvergensi semua cita-cita sosial dan keagamaan yang diperjuangakan
oleh semua partai dan organisasi rakyat di zaman kolonial dulu”. Lebih lanjut Ir. Sakirman mengatakan:” sila
Ketuhanan merumuskan ketentuan adanya jaminan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan hidup”. Ir
Sakirman, PKI Menerima Pancasila Tanpa Perubahan, dalam Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol
dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, (Jakarta, Yayasan TIFA,2008), 269-277. Sebenarnya
banyak pandangan yang sama dengan Ir. Sakirman dari para politisi PKI dan tokoh partai lainnya tentang
diterimanya Pancasila. Sengaja penulis ambil salah satu cuplikan pendapat dari tokoh PKI untuk menunjukkan
bahwa pada saat awal kemerdekaan Pancasila mengalami diskursus yang serius dan panjang dan telah diterima
22

secara ketat mengembangkan sikap toleran dan penghargaan terhadap perbedaan 25 7)
Lunturnya nilai-nilai keluarga, sikap hidup pragmatis dan hedonis serta tuntutan ekonomi
menyebabkan orang tua lupa terhadap kewajiban untuk memberikan pendidikan dini melalui
nilai-nilai keluarga26. Aspek-aspek inilah yang menjadi bagian dari kajian disertasi ini.
Dalam melihat toleransi di Indonesia perlu cara pandang atau paradigma baru serta
konsensus bersama dalam menetapkan dan menanamkan toleransi sebagai bagian penting
dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Paradigma baru tersebut menekankan kepada
aspek penghargaan terhadap keragaman budaya, agama dan cara pandang yang berbeda yang
ada di masyarakat. Paradigma baru tersebut salah satunya dibangun melalui pendidikan.
B. Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia
Sewindu terakhir ini, kita mendapat banyak sajian peristiwa kekerasan yang marak
terjadi. Kekerasan yang cendrung meningkat dari tahun ke tahun baik dari sisi kuantitas
maupun dari sisi kesadisan. Kekerasan yang terjadi tersebut dilatar belakangi oleh banyak
hal. Mulai dari perbedaan politik, ekonomi, budaya, etnis, perbedaan faham agama, atau
hanya sekedar

solidaritas kelompok. Yang pasti kekerasan yang terjadi tersebut

mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang besar. Baik fisik, psikologis, harta-benda
maupun nyawa27.
Ada banyak analisis dari para pakar tentang akar masalah dari peristiwa kekerasan
tersebut. Salah satunya adalah disebabkan menipisnya rasa toleran antar sesama anggota
masyarakat. Sekelompok masyarakat atau individu memiliki pandangan yang berbeda dan
menganggap benar pandangannya, dan memandang salah apa yang menjadi pandangan orang
lain atau kelompok lain yang tidak sepaham atau tidak sejalan.Anggapan salah terhadap
pandangan orang lain tersebut kemudian dimanifestasikan dalam bentuk penolakan. Bentuk
penolakan terhadap kelompok yang berbeda tersebut kadang dilakukan dengan cara-cara

oleh berbagai golongan, termasuk oleh PKI yang “dianggap” atheisoleh kelompok politik lain. Selain itu pada
persoalan ini, penulis mengunakan prinsip quote:”lihatlah apa yang dikatakan seseorang bukan melihat siapa
yang berkata”. Apa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh PKI pada konteks penerimaan Pancasila bisa diterima.
Bukan berarti penulis setuju dengan ideologi Komunisme. Sayangnya ketika zaman dulu Pancasila menjadi
bagian dari alat perjuangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia, saat ini Pancasila seolah kehilangan elan
vitalnya dalam peri kehidupan dan peri kebangsaan Indonesia.
25
Romo Y.B. Mangunwijaya, Demi Kesatuan dan Persatuan, dalam kumpulan artikel Pluralitas
Agama: Kerukunan Dalam Keragaman, editor Nur Achmad, (Jakarta, Kompas, 2001),33. Sayangnya tidak
banyak diulas peran pendidikan dalam menanamkan nilai toleransi dan mencegah ideologi kebencian.
26
HAR Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta, Kompas, 2014), 16-19.
27
Baca laporan KBB Wahid Institute atau Setara Institute atau lembaga yang concern terhadap
kehidupan beragama.

yang tidak demokratis bahkan menjurus anarkis. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
konflik horizontal dikalangan masyarakat sendiri.
Zuhairi Misrawi dalam bukunya menyebutkan bahwa “Al-Quran Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme, Dan Multikulturalisme”menyebutkan temuan bahwa dari 6666 ayat
di dalam Al-Quran ada sekitar 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya
toleransi dan perdamaian. Dan ada sekitar 176 ayat yang dapat ditafsirkan untuk tindak
intoleran atau kekerasan atas nama agama. Lebih lanjut Zuhairi menjelaskan bahwa toleransi
dan perdamaian merupakan fundamen Al-Quran, sedangkan intoleransi atau kekerasan
merupakan ayat yang berkaitan dengan konteks sosial tertentu, dan karenanya perlu
ditafsirkan28.
Contoh konkrit dari apa yang disampaikan Zuhairi Misrawi adalah QS. Al-Hujraat: 13

“Wahaimanusia!Sungguh,
Kami
telahmenciptakankamudariseoranglakilakidanseorangperempuan, kemudian Kami jadikankamuberbangsa-bangsadanbersuku-suku
agar kamusalingmengenal.Sesungguhnya yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa.Sungguh, Allah MahaMengetahui, Mahateliti. “
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa manusia secara sosiologis terdiri dari berbagai
macam suku bangsa, agama, ras dan golongan. Keberadaan sosiologis yang majemuk, atau
multikultural tersebut adalah sesuatu yang sudah given atau sunnatullah. Yang tidak bisa
semua orang merubah atau mengingkarinya. Disinilah keharusan untuk saling mengenal atau
bertoleransi terhadap berbagai macam perbedaan yang sudah menjadi fakta sosiologis tak
terbantahkan tersebut.
Rainer Forst dalam Toleration and democracy menyebutkan, dua cara pandang
tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception)
dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan
penghormatan terhadap yang lain (respect conception)29. Forst sendiri menekankan kepada

28

Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian,
(Jakarta, Kompas, 2010), xxvi.
29
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian,
(Jakarta, Kompas, 2010), 4.

membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras,
dan bahasa.
Namun demikian ada tanggapan atau pandangan pesimitis terhadap persoalan
toleransi yang dikelola negara. Dimana negara dianggap faktor determinan –dengan membuat
peraturan terkait kehidupan toleransi dan kerukunan warga masyarakat, dalam mewujudkan
kehidupan yang toleran. Pandangan pesimistis ini berdasarkan kepada negara sendiri terdiri
atas pelbagai entitas yang memahami demokrasi sebagai hegemoni mayoritas atas minoritas.
Atau sebaliknya, hegemoni minoritas atas mayoritas yang sering terjadi pemerintahan
diktator. Hegemoni mayoritas ini menyebabkan penegakkan prinsipkesetaraan dan keadilan
terabaikan.

Inilah yang dimaksudkan oleh Richard H. Dees toleransi memiliki potensi

sebagai penguatan dalam masyarakat plural. Dimana toleransi dianggap sebagai modus
vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam sebuah perjanjian atau
persetujuan formal30.
Toleransi model modus vivendi membutuhkan pemerintahan yang kuat dan memiliki
kemauan untuk mengelola masyarakat pluranya atau masyarakat yang majemuk menuju
sebuah masyarakat yang multikultur. Model toleransi modus vivendi adalah model top down
yang memiliki kelemahan dimana kepentingan kelompok masyarakat tidak terwakili secara
aktif. Justru yang harus dilakukan adalah bagaimana memposisikan sikap toleransi bukan
atas dasar modus vivendi karena keinginan penguasa, namun menempatkan toleransi sebagai
bagian dari kesepakatan bersama yang terus berproses berdasarkan kebutuhan dimana
masyarakat tersebut berada dan berbasis kearifan lokal.
Maskuri Abdillah memberikan penjelasan tentang konsep toleransi. Menurutnya ada
dua macam penafsiran tentang konsep toleransi, yakni penafsiran negatif (negatif
interpretation of tolerance) dan penafsiran positif (positive intrepretation of tolerancei). Yang
pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan
tidak menyakiti orang/kelompok lain. Sementara yang kedua menyatakan bahwa toleransi
membutuhkan adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang/kelompok lain 31.
Masykuri mensyaratkan toleransi yang kedua ini harus pada posisi objek dari toleransi tidak
tercela secara moral. Pada toleransi yang pertama lebih dikenal dengan istilah toleransi pasif
dan pada model yang kedua dikenal dengan istilah toleransi aktif.
30

Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, (Jakarta,
Kompas, 2010), 4-5.
31
Masykuri Abdilla, Pluralisme dan Toleransi, dalam dalam Pluralitas Agama: Kerukunan dalam
Keragaman, editor Nur Ahmad, (Jakarta, Kompas,2001), 13.

Setara Institute membedakan antara intoleransi aktif dan intoleransi pasif. Intoleransi
pasif adalah residu dari keyakinan seseorang bahwa agamanya adalah satu‐satunya agama
yang benar. Intoleransi dan diskriminasi mengacu pada segala bentuk pembedaan,
pengecualian, pembatasan atau preferensi atas dasar agama atau keyakinan yang berakibat
pada pembatalan atau berkurangnya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak‐hak dasar
yang berdasarkan pada asaskesetaraan.
Namun demikian, karena adanya dinamika interaksi sosial, individu harus menerima
perbedaan dan mencoba untuk beradaptasi. Di sisi lain, intoleransi aktif bukan hanya
meyakini bahwa agamanya adalah satusatunya agama yang benar, tetapi juga memiliki
kecenderungan untuk melihatmereka yang berbeda agama atau bahkan yang berbeda
interpretasi dalam agama yang sama sebagai sesat dan menyimpang.Sebuah perbedaan nyata
antara dua bentuk intoleransi terletak pada bagaimana seseorang berperilaku dan bertindak.
Mereka yang berada dalam kategori intoleransi aktif tidak hanyamengungkapkannya secara
lisan tetapi juga melalui tindakan32. Sementara itu, intoleransi keagamaan (religious
intolerance) merupakan sebuah pengertian yang luas, mencakup prasangka negatif bermotif
keyakinan, afiliasi atau praktek keagamaan tertentu, baik terhadap individu maupun
kelompok. Prasangka negatif ini memberi jalan untuk sewaktu-waktu menjelma dalam aksi
intimidasi atau kekerasan bermotif pengabaian33.
Lebih tegas lagi mengenai sikap toleransi dijelaskan oleh Nurcholis Madjid atau yang
lebih dikenal dengan Cak Nur. Cak Nur mengenalkan kepada bangsa ini dengan istilah
Teologi Inklusif sebagai modal melakukan interaksi sosial masyarakat majemuk. Cak Nur
memberi tempat yang tinggi terhadap pluralisme dan kebhinekaan. Menurut Cak Nur,
pluralitas dan kemajemukan adalah kehendak Tuhan sebagaimana dijelaskan dalam QS. AlHujjrat: 13 di atas.
Dasar pandangan Cak Nur terhadap pluralisme sebenarnya berpijak pada semangat
humanisme dan universalitas Islam. Sebab Islam adalah agama kemanusiaan (fitrah) yang
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), dan tidak semata-mata untuk
menguntungkan komunitas Islam saja. Karena sifatnya yang cendrung kepada kemanusiaan,
menuru Cak Nur menyebabkan Islam memiliki sifat inklusif yaitu sikap terbuka yang

32

Laporan penelitian Infid, Kebebasan Beragama di Indonesia 2010-2012.
Wahid Institute laporan KBB tahun 2014 hal 15

33

menolak eksklusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang yang tinggi terhadap
kemajemukan atau pluralisme34.
Tentu tidak ketinggalan dan wajib hukumnya merujuk kepada maestro pluralisme
Indonesia, Abdurahman Wahid. Mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini
adalah orang yang dikenal sangat menjunjung tinggi terhadap penghargaan keberagaman
agama, pikiran, suku atau pun golongan. Sikap pembelaannya terhadap minoritas sebagai
implementasi pemikiran dan pendiriannya dalam menjunjung tinggi pluralisme dan nilai-nilai
Islam universale, KH Abdurahman Wahid sering tergambar baik dalam esai-esainya atau aksi
langsung membela ketertindasan kaum minoritas.
Kumpulan esai-esainya terkait toleransi, pemahaman ajaran agama yang inklusif,
HAM, kekerasan, terorisme, sosial budaya, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan lainnya
tersebar dalam berbagai media masa. Pembaca pun bisa menikmati esai-esai cerdas KH
Abdurahman Wahid dalam buku “Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi” dengan pengantarnya Syafii Anwar tokoh Muhammadiyah. Judul buku
tersebut sebenarnya diambil dari salah satu esainya yang berjudul sama.
Dalam esainya tersebut KH Abdurahman Wahid yang juga Presiden ke empat RI ini
menjelaskan dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan
menganggap pandangannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan
kepada orang lain.Pendapatnya tersebut menunjukkan pentingnya sikap toleransi terhadap
pandangan yang berbeda35.
Pandangan toleransi menjadi penting untuk ditanamkan sejak dini kepada anak didik
atau siswa. Secara implisit maupun eksplisit nilai-nilai toleransi memang sudah ada dalam
kurikulum pendidikan kita. Namun hal tersebut tidak secara tegas di ajarkan. Hanya pada
mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PAI) serta Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) saja materi toleransi jelas eksplisit ada. Sementara pada mata pelajaran lain, nilai
toleransi hanya ada pada praktek pengajaran di kelas saja. Selain itu nilai-nilai toleransi yang
ada dalam kurikulum hanya berhubungan dengan model toleransi pasif. Tidak mendorong
pada toleransi aktif. Di bawah ini peneliti mencoba menawarkan sebuah gagasan tentang
bagaimana nilai-nilai toleransi perlu dipertegas dalam kurikulum pendidikan kita. Penulis
sementara ini menawarkan dengan Pendidikan Lintas Budaya seperti di bawah ini:
34

Ruslani, Cak Nur, Islam, Dan Pluralisme, dalam Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman,
editor Nur Ahmad, (Jakarta, Kompas,2001), 46-49.
35
Abdurahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, Wahid Institute, 2006), 66.

DRAFT KOMPETENSI INTI
DAN KOMPETENSI DASAR (KI/KD)
PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA
N
O

STANDAR KOMPETENSI/
KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI DASAR

Aspek Pengembangan Konsep Diri
1

2

Membangun
identitas 1.1.
Mengembangan self concept, self esteem
Kepribadian Siswa
dan positif self concept siswa
1.2.
Mengembangkan harga diri siswa/konsep
diri siswa melalui identitas etnik dan budayanya
1.3.
Melihat keunikan orang lain dari budaya
lain sebagai pribadi yang unik dan asset
masyarakat
Aspek Pengembangan Spiritual Pribadi siswa
Mengembangkan Spiritulitas 2.1. Aktif menguatkan hubungan vertical dengan
pribadi
melalui
ajaran
Allah SWT
universal/rahmatan lil alamin
2.2. aktif menghubungkan, menangkap aspirasi,
kebutuhan kelompok, etnis, budaya lain
dengan aspirasi/kebutuhan keluarga/komunitas
agama lain dalam masyarakat multikultur
2.3. Meningkatkan kepekaan/kesadaran terhadap
makanan keragaman budaya dlm keluarga,
komunitas dan orang-orang dari agama
lain/budaya lain dalam masyarakat multikultur
2.4. Memahami kebiasaan dan pembawaan dari
budaya, etnik, komunitas atau agama lain
dalam masyarakat multikultur
Aspek Komunikasi Antar Budaya

3

4

Mengembangkan komunikasi 3.1. Mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan universal
individu dan social yang
positif antar budaya/individu
dalam
masyarakat
multikultur
3.2. Menghargai perbedaan etnis, warna kulit,
gender, bahasa, warisan budaya, agama dan
lingkungan intelektual dalam masyarakat
multikultur
Memahami perbedaan dalam 4.1. menghargai konsep-konsep, budaya unik dalam
masyarakat multikultur
masyarakat multikultur
4.2. Menghargai nilai-nilai dalam komunitas, etnis,
budaya dalam masyarakat
4.3. Mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kerja

5

6

7

8

sama, kemanusiaan, keadilan dan nilai-nilai
budaya yang berkembang
Mengembangkan
interaksi 5.1. Mengapresiasi orang, budaya, nilai ajaran dari
yang positif antar etnik,
pihak lain yang sesuai dengan warisan etnik
budaya, ras, agama
budaya lain
5.2. Mengembangkan warisan dan apresiasi
terhadap keragaman budaya yang berpengaruh
terhadap aspek politik, social, ekonomi dan
budaya
5.3. Menguatkan keterampilan dan strategi relasi
antar personal/kelompok dalam masyarakat
kelompok
5.4. Mengembangkan sikap positif terhadap etnik,
komunitas, budaya lain dalam masyarakat
multikultur
Aspek Individu sebagai Masyarakat Multikultur
Menguatkan
paartisipasi 6.1. memberdayakan peran social politik untuk
demokrasi, penyelenggaraan
perubahan social yang konstruktif
pemerintah sebagai warga
masyarakat
6.2. Menguatkan peran serta individu dalam
penentuan kebijakan public
Memiliki integritas yang 7.1. Menguatkan sikap positif kepribadian yang
tinggi dengan sikap jujur, adil
jujur, adil dan peka
dan kepekaan social
7.2. Menguatkan sikap positif dalam nilai budaya
dan sikap etnik dalam masyarakat multikultur
7.3. Mendukung kerja keras dalam menciptakan
rasa adil/keadilan social dan perubahan social
Mendukung
Penguatan 8.1. Mengembangkan pemahaman terhadap
Nasionalisme Kebangsaan
perbedaan gagasan yang terjadi dalam
masyarakat multikultur
8.2. Menguatkan peran pencegahan terhadap
polarisasi ketegangan dan konflik akibat rasis,
diskriminatif dan prasangka
8.3. Mengembangkan logika social tentang sejarah
etnisitas antar budaya
8.4. Menguatkan sejarah etnisitas sebagai
pemahaman awal dalam kerangka budaya
global dan kontemporer
8.5. Menguatkan keterkaitan kelompok etnis dan
antar budaya dalam masyarakt multikultur
Pendidikan Lintas Budaya (PLB) ini diajarkan di semua jenjang. Penjelasan rinci dari

Pendidikan Lintas Budaya akan dibahas pada bab empat. PLB ini memfokuskan pada a)
aspek pengembangan konsep diri, b) aspek pengembangan spiritual pribadi siswa, c) aspek
komunikasi antar budaya dan d) aspek individu sebagai masyarakat multikultur berikut

turunan atau kompetensi dasarnya. Inilah yang dimaksud dengan paradigma baru dalam
pendidikan yang menekankan kepada aspek penghargaan terhadap keragaman budaya, agama
dan cara pandang yang berbeda yang ada di masyarakat.

DAFTAR PUSATAKA:
1. Al-Qurtuby, Sumanto, Pluralisme, Dialog, Dan Peacebuilding Berbasis Agama di
Indonesia, dalam Merayakan Kebebasan Beragama, editor Elza Peldi Taher,
(Jakarta:ICRP-Kompas, 2009)
2. Asshiddiqie, Jimly, Toleransi Dan Intoleransi Beragama Di Indonesia Pasca
Reformasi , dalam Dialog Kebangsaan tentang “Toleransi Beragama”, Ormas Gerakan
Masyarakat Penerus Bung Karno, di Hotel Borobudur Jakarta, 13 Februari, 2014.
3. Abdilla Masykuri, Pluralisme dan Toleransi, dalam dalam Pluralitas Agama:
Kerukunan dalam Keragaman, editor Nur Ahmad, (Jakarta, Kompas,2001)
4. Fokus Berita majalah Ikhlas Beramal, Nomor 61 Tahun XIII Maret 2010
5. Ghozaly, Moqsith, Islam dan Pluralitas(isme) Agama, dalam Merayakan Kebebasan
Beragama, editor Elza Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas, 2009).
6. http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/12/078473096/penghargaan-toleransi-

beragama-untuk-sby-keliru. Diakses tanggal 25 September 2015.
7. (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-diindonesia diakses tanggal 27 September 2015).
8. Laporan penelitian Infid, Kebebasan Beragama di Indonesia 2010-2012
9. Mangunwijaya Romo Y.B., Demi Kesatuan dan Persatuan, dalam kumpulan artikel
Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman, editor Nur Achmad, (Jakarta,
Kompas, 2001)
10. Misrawi Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase
Perdamaian, (Jakarta, Kompas, 2010)
11. Musdah Mulia Siti, Potret Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Era
Reformasi dalam Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan
Effendi, ed Elza Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas, 2009)
12. Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di
Dewan Konstituante, (Jakarta, Yayasan TIFA,2008)
13. Ropi Ismatu, Minoritas, Legal Jihad, Dan Peran Negara, dalam Jurnal Maarif Vol.7,
No. 1 (Jakarta, 2012)
14. Suaedy, Ahmad, Islam, Negara Bangsa, Dan Kebebasan Beragama, dalam
Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, ed Elza
Peldi Taher, (Jakarta:ICRP-Kompas, 2009).
15. Ruslani, Cak Nur, Islam, Dan Pluralisme, dalam Pluralitas Agama: Kerukunan dalam
Keragaman, editor Nur Ahmad, (Jakarta, Kompas,2001)
16. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta, Yayasan Bung Karno, 2015)
17. Tilaar, HAR, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta, Kompas, 2014)

18. UUD 1945 hasil amandemen.
19. Vermonte , Philips J. dan Tobias Basuki, Masalah Intoleransi, Toleransi, Dan
Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam Jurnal Maarif Vol.7, No. 1 (Jakarta, 2012),
27. Ahmad Najib Burhani, Tiga Problem Dasar Dalam Perlindungan Agama-Agama
Minoritas di Indonesia, dalam Jurnal Maarif Vol.7, No. 1 (Jakarta, 2012)
20. Wahid, Abdurahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta, Wahid Institute, 2006)
21. Wahid Institute dan Setara Institue tentang Laporan Kebebasan Beribadah dan
Beragama (KBB) antara tahun 2010-2012.