BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bermula dari semakin banyaknya individu yang mencari beberapa penjelasan untuk rasa depresi, isolasi dan kesedihan mereka. Kontemporer kerja, dengan penekanan pada
gencarnya pembangunan teknologi, persaingan tajam dan individualisme telah membuat korban tak terhitung. Mereka hadir dari hilangnya eksistensial karena keprihatinan yang
dramatis atas racun di lingkungan pekerjaan. Secara tradisional, orang-orang ini telah dirawat dengan baik namun belum cukup. Melalui hubungan yang saling menerima dan
melalui upaya bersama antara antara klien dan terapis dalam menggali semua pengalaman dan perasaan klien untuk pencapaian keseimbangan antara berbagai pengalaman dan
perasaan yang sesungguhnya terjadi pada diri klien. Berdasarkan hal tersebut diatas, muncul prosedur terapi yang memandang manusia
sebagai suatu kesatuan dan eksistensial diri, salah satunya yang dibahas dalam makalah ini yaitu bentuk psikoterapi humanistik-eksistensial yang didasarkan atas pengalaman
unik yg dimiliki klien dan bagaimana klien memaknai pengalaman tsb. Perbedaan konsep dari aliran psikologis manapun, baik secara konsep dan praktek, asumsi alur psikoterapi
mengarah pada paham bahwa tingkah laku manusia dapat diubah. Kepribadian individu dan kapasitasnya untuk menghadapi sesama dan lingkungan, secara adaptif atau
maladaptif, menghadirkan suatu pelajaran yang membekas seumur hidup. Perasaannya pada diri sendiri dan orang yang lain, sikap pribadinya, nilai-nilai, ketrampilan,
kebiasaan, kemampuan dan kekurangan, yang bersama-sama menjadi anggota kepribadian saat ini. Menjadi satu kesatuan yang telah dipelajari dan saling
mempengaruhi pada individu tersebut. Pemahaman tentang manusia dalam psikologi humanistic berdasarkan kepada
keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan
kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas Psikologi humanistik juga didefinisikan sebagai
sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia. Sehingga terwujudlah satu nilai yang baru sebagai
pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia secara holistik.
1.2. Rumusan Masalah
1
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana konsep gerakan humanistik – eksistensial dalam melakukan psikoterapi? 2. Apa tujuan dari gerakan humanistik – eksistensial dalam melakukan psikoterapi?
3. Bagaimana hakikat manusia dalam gerakan humanistik – eksistensial? 4. Bagaimana pandangan gerakan humanistik – eksistensial terhadap masalah?
5. Bagaimana hubungan klien dan therapist dalam gerakan humanistik – eksistensial? 6. Apa saja teknik-teknik terapi dalam gerakan humanistik – eksistensial?
7. Bagaimana konsep Experiential Process dalam melakukan psikoterapi?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu mengkaji psikoterapi berbasis fenomenologi dan humanistik-eksistensial. Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini
sebagai berikut: 1. Mengkaji konsep gerakan humanistik – eksistensial dalam melakukan psikoterapi.
2. Membahas tujuan gerakan humanistik – eksistensial dalam melakukan psikoterapi. 3. Mengkaji hakikat manusia dalam gerakan humanistik – eksistensial .
4. Membahas pandangan gerakan humanistik – eksistensial terhadap masalah. 5. Mengkaji hubungan klien dan therapist dalam gerakan humanistik – eksistensial.
6. Mengkaji teknik-teknik terapi dalam gerakan humanistik – eksistensial. 7. Membahas konsep Experiential Process dalam melakukan psikoterapi.
BAB II
2
PSIKOTERAPI : PERSPEKTIF FENOMENOLOGI DAN HUMANISTIK- EKSISTENSIAL
2.1. Client Centered Therapy Terapi berpusat pada klien
Psikoterapi tradisional memiliki latar belakang yang berasal dari perspektif psikoanalitik yang berkenaan dengan patologi dan ketidakmampuan seseorang untuk
mencapai potensi sebagai hasil dari kegagalan dalam memahamai masa lalu. Kegagalan tersebut berasal dari konflik intrapsikis. Melalui terapi, seseorang akan belajar untuk
memahami semua hal tersebut. Pada awal tahun 1940an, sebuah alternatif lain selain terapi psikoanalitik muncul,
yaitu nondirective counseling, yang selanjutnya dikenal sebagai client-centered therapy, dari Carl Rogers. Perspektif dari Carl Rogers ini bertentangan dengan psikoanalisis, baik
dari segi teori maupun terapi.
Latar Belakang
Sebelumnya psikoanalisis dan turunannya adalah teori yang sangat berpengaruh, baik dari segi praktek maupun teori, sampai akhir tahun 1930an. Pada waktu tersebut Carl
Rogers sedang bergelut dengan anak yang mengalami masalah klinis di kliniknya di Rochester, New York. Sebagaimana kebanyakan terapis, Rogers juga mengungkap
mempelajari psikoanalisis. Setelah meraih gelar doktor dari universitas Columbia. Rogers memulai bekerja pada sebuah klinik anak di Rochester. Di sana Rogers bertemu
dengan Otto rank dan Jessie Taft. Rank percaya bahwa pasien sebaiknya diberi kebebebasan dalam melakukan keinginannya dan mendominasi terapis. Taft, seorang
pekerja sosial, mengembangkan hubungan antara terapis dan pasien. Taft yakin bahwa hubungan tersebut lebih penting dari pada penjelasan-penjelasan intelektual dari masalah
pasien. Rogers setuju dengan pandangan rekan-rekannya tersebut. Pandangan mereka sesuai
dengan keyakinan religius dan keyakinan demokratisnya berkenaan dengan sifat alamiah manusia dalam bermasyarakat. Rogers yakin bahwa tidak ada seorang pun yang berhak
mencampuri kehidupan orang lain.
The Phenomenological World
3
Fenomenologi menjelaskan bahwa seluruh perilaku ditentukan oleh phenomenal field yang dimiliki seseorang. Phenomenal field adalah seluruh pengalaman yang dialami
seseorang. Maka dari itu, untuk memahami perilaku manusia harus mengetahui tentang phenomenal field yang dimilikinya.
Konsep yang paling penting dalam teori fenomenologis adalah phenomenal self, yaitu bagian dari phenomenal field, dimana seseorang mempersepsikan dirinya sebagai ‘I’
Bahasa Inggris yang artinya saya sebagai subjek. Fenomenologi menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah mempertahankan dan meningkatkan phenomenal self.
Dalam beberapa hal, self esteem menjadi dasarsumber dari tingkah laku. Masalah dalam penyesuaian muncul ketika phenomenal self terancam.
Mempersepsikan ancaman antara seseorang dengan yang lainnya akan berbeda. Seseorang akan merasa terancam jika phenomenal field dalam bahaya. Seorang laki-laki
yang merasa dirinya menarik secara fisik akan menjadi cemas jika cintanya ditolak wanita, karena hal tersebut seolah mengancam konsep dirinya. Menghadapi ancaman
tersebut, laki-laki tersebut mungkin melakukan beberapa postur tubuh yang defensif. Dia akan merasionalisasi kegagalannya atau memepersempit perceptual field.
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan benar adalah seseorang yang dapat mengintegrasikan semua pengalamannya agar konsistensesuai dengan konsep diri.
Misalnya, siswa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, ketika dia gagal dalam suatu tes ujian tidak akan menyatakan ketidakadilan dalam tes atau menderita sakit fisik.
Tetapi mungkin siswa tersebut akan mengintegrasikan pengalamannya itu dengan memperbaharui self-concept : “Mungkin saya tidak bagus dalam kimia, tetapi saya akan
bagus dalam pelajaran yang lain, dan saya memiliki social skill yang baik. Maka dari itu, siswa tersebut tidak akan menjadi orang yang pesimis dan merendahkan diri sendiri,
tetapi berusaha berpikir bahwa dia bisa melakukannya atau berpikir bahwa dia akan mencoba hal-hal lain yang membuatnya lebih berkembnag dari pada menggeluti hal yang
dia tidak mampu untuk melakukannya.
Teori
Rogers menyatakan bahwa manusia berada di dunia ini karena memiliki pengalaman. Pengalaman ini hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Sehingga
orang tersebut merupakan sumber informasi bagi dirinya sendiri. Sehingga client- centered sangat menghargai self-report laporan mengenai diri sendiri dari pada sumber-
sumber informasi yang berasal dari tes atau obsservasi sebagai informasi utama. Karena
4
seseorang akan berperilaku menurut perceptual field yang dimiliki. Sehingga pengetahuan objektif tidak cukup untuk memahami dan memprediksi perilaku. Klinisi
harus mengetahui kesadaran seseorang dalam menghadapi rangsangan. Psikologi objektif menolak laporan Subjek mengenai pengalaman dirinya.
Kecenderungan dasar manusia adalah memelihara dan meninggikan experiencing self atau yang kita kenal sebagai self actualization. self actualization akan bisa diraih
ketika pilihan-pilahan idup telah nyata dirasakan dan disimbolisasikan secara adekuat. Pada dasarnya, perilaku adalah suatu set tujuan yang diarahkan oleh organisme
dalam memuaskan keinginan-keinginannya. Semua keinginan pada akhirnya digolongkan dalam satu keinginan untuk meninggikan phenomenal self. Semua ini akan menyatakan
semacam teori belajar, tetapi sulit untuk menemukan konsep-konsep belajar di teori Rogers.
Konsep yang paling utama adalah the self, yaitu kesadaran akan keberadaan dan kebermaknaan seseorang. Struktur self terbentuk dari interaksi dengan lingkungan dan
evalusiresponketerangan yang diberikan orang lain. The self adalah sebuah organisasi, berubah-rubah, pola persepsi yang konsisten dari karakteristik atau hubungan ‘I’ saya
sebagai subjek atau ‘Me’ saya sebagai objek, selama dekat dengan nilai-nilai yang ada. Selama manusia hidup terdapat banyak pengalaman yang dialami. Berdasarkan
pengalaman tersebut, ada 3 kemungkinan yang menampilkan individu yang bersangkutan : a pengalaman akan disimbolisasi atau diorganisasikan ke dalam
beberapa hubungan dengan the self; b pengalaman tersebut akan diabaikan karena tidak merasakan hubungannya dengan the self; c pengalaman tersebut akan ditolak karena
tidak konsisten dengan struktur the self. Di bawah keadaan tersebut, pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan
the self mungkin akan diuji dan coba untuk dirasakan, dan struktur the self diperbaiki agar dapat memahami pengalaman-pengalaman tersebut. Kondisi yang utama adalah
tidak adanya ancaman bagi the self. Sehingga kehangatan, penerimaan, dan suasana yang tidak menyudutkan penting dalam client centered therapy.
Istilah-istilah Inti
5
Psikoterapi menurut Rogers 1959 adalah mengembangkanmemunculkan potensi yang sebenarnya dimiliki individu, bukan memanipulasi kepribadian seseorang. Rogers
menyebutnya growth potential. Semua orang memiliki potensi untuk berkembang, dan cara ini adalah untuk mengembangkan memunculkan potensi tersebut.
Pada client centered therapy, memunculkan potensi itu berpengaruh, sehingga seseorang yang self-actualizing cenderung untuk menghargai faktor-faktor internal untuk
mencapai kebermaknaan personal. Ada 3 karakteristik terapis :
1. Empati 2. Unconditional Positive Regard
3. Congruence
Unconditional Positive Regards
Dalam banyak hubungan dengan orang tua, teman-teman, pasangan, atau yang lainnya, klien telah mempelajari bahwa penerimaan adalah suatu kondisi yang terjadi jika
ada suatu kriteria yang dapat diterima. Orang tua menerima anak-anaknya jika mereka patuh, seorang karyawan menjadi diterima apabila mereka efisien dan lain sebagainya.
Penerimaan diberikan tanpa menyembunyikan jika ada suatu penolakan dalam diri. Unconditional Positive Regards tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah sikap respect
terhadap klien sebagai seorang manusia biasa. Seorang terapis harus mengesampingkan semua dugaan dan menjadi perhatian terhadap kliennya, menjadi menerima, dan di atas
semua itu, sampaikan pada klien bahwa disini ada seseorang yang yakin dan percaya pada kemampuan klien dan kekuatannya untuk menerima potensi diri klien. Kualitas seperti
itu, sesuai dengan penilaian evaluasi yang lengkap yang menjadi bagian dalam kemampuan terapi, yang akan membentuk suatu suasana dimana klien merasa bebas
untuk tidak lagi memakai defense dan dapat keluar dari ancaman, memulai kembali untuk tumbuh sebagai manusia.
Melihat kualitas tersebut dengan seseorang yang bertugas sebagai ahli terapi akan membuat lebih mudah menemukan kesenangan dan selaras dengan latar belakang dan
nilai-nilai yang dianutnya. Ujian sesungguhnya pada terapis Unconditional Positive Regards datang dari klien yang memiliki tingkah laku yang benar-benar dapat mengubah
kepercayaan ahli terapi. Orang yang tidak paham agama, orang yang tidak memiliki motivasi atau malas, atau klien yang mendeskripsikan bahwa ia memiliki pengalaman
berhubungan seks dengan keponakannya dapat memutuskan sebuah tes yang sesungguhnya terhadap toleransi dan penerimaan ahli terapi. Tetapi sama halnya seperti
6
setiap warga negara berhak memilih, setiap klien pun berhak memilih pengaruh dari Unconditional Positive Regard, yang sesuai dengan Rogers.
Kongruen
Kongruen dianggap seperti berlawanan dengan kualitas dari empati dan penerimaan positif. Terapis yang kongruen adalah seseorang yang dapat mengekspresikan tingkah
laku, perasaan, atau sikap yang di stimulasikan oleh klien kepada mereka. Yang satu tidak tersenyum ketika yang satu lainnya sedang marah. Jika komentar klien mengganggu,
seorang terapis tidak boleh bersembunyi di balik ketenangan Rogers, 1961. Rogers percaya bahwa sejauh ini klien akan merespon sesuatu yang menyenangkan dengan jujur
dan kongruen, mengetahui bahwa di hadapannya ada orang yang sungguh-sungguh ingin berdedikasi demi kesejahteraannya. Ini menjadi satu hal yang menentramkan hati dan
dapat merangsang rasa harga diri pribadi dan sebuah keinginan untuk memunculkan sebuah potensi tersembunyinya.
Sikap versus Teknik
Dalam beberapa cara, inti dari terapi yang berpusat pada klien tampak lebih dinyatakan pada nilai-nilai dan sikap yang dimiliki seseorang dibandingkan metode yang
lebih spesifik. Sampai sejauh itu, client-centered terapi adalah mementingkan keadaan pikiran daripada seperangkat teknik. Client-centered terapi adalah terapi non direktif
dimana terapis hanya mengarahkan klien untuk menemukan solusi dari permasalahannya. Pada kenyataannya, terapis akan berpendapat bahwa beberapa resep tersebut tidak
perlu karena pelepasan sumber daya klien atau potensial akan mengatasi masalah dalam pertanyaan. Kongruensi diberikan oleh terapis, kondisi positif yang tak bersyarat, dan
pemahaman empatik yang akurat, sehingga klien akan menemukan kapasitas mereka sendiri untuk pertumbuhan dan pengarahan diri sendiri. Kontras dengan psikoanalis,
Rogers melihat orang-orang bukan sebagai perusak tetapi sebagai memiliki kekuatan konstruktif dalam mencapai ke arah kesehatan dan pemenuhan diri. Di samping itu,
rogerians melupakan penekanan pada masa lalu demi kesadaran dari pengalaman saat ini. Untuk interpretasi terapi psikoanalisis mengganti terapi yang tenang dan dalam keadaan
diam dengan mendengarkan yang memfasilitasi klien untuk menemukan kekuatan pribadinya dan pengalaman nyata pribadinya.
Ada beberapa perbedaan yang jelas antara terapi Rogers dengan terapi menggunakan pendekatan behavioral. Rogers menyatakan bahwa pengalaman batin
7
individu adalah hal yang penting, mengabaikan hal tersebut berarti mengabaikan data dasar dalam mengidentifikasi seseorang. Sedangkan pendekatan behavioral perilaku
kadang-kadang berfokus pada bagaimana memanipulasi atau mengontrol lingkungan untuk merubah efek yang didapatkan, sementara terapi Rogerian berpusat pada klien,
pada perubahan yang terjadi pada klien berdasarkan potensi yang dimilikinya dan kesadarannya sendiri.
Proses Terapeutik
Tampaknya hampir lebih mudah untuk menggambarkan terapi Roger dalam hal apa yang tidak terjadi. Sebuah rangkaian panjang jangan termasuk memberikan informasi
atau saran, menggunakan jaminan atau bujukan, mengajukan pertanyaan, menawarkan interpretasi, dan membuat kritik. Mungkin kegiatan utama terapi adalah pengakuan
dan klarifikasi pernyataan perasaan yang berhubungan dengan klien. Sebagai contoh, Greenberg dkk. 1994 melaporkan bahwa sekitar 75 dari semua terapi “client-
centered” adalah refleksi dari apa yang klien telah katakan. Komentar jugadibuat yang menyampaikan ke klien penerimaan terapistotal dan tanpa syarat. Kadang-kadang, terapis
akan merasa perlu untuk menjelaskan peran masing-masing baik itu klien maupun terapis. Disebut penataan, ini juga termasuk unsur penerimaan.
Biasanya, baik peyakinan atau penafsiran tidak digunakan. Hal ini diasumsikan karena pengakuan perasaan dan penerimaan akan muncul sendiri. Hal ini ditentukan juga
oleh nada suara terapis, pilihan katanya, ekspresi wajah, dan sikap terapis secara umum. Pemberian interpretasi dan pemberian saran adalah hal yang dihindari karena ini seolah-
olah menyiratkan bahwa terapis-lah yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk klien. Dalam beeberapa kasus, mungkin perlu memberi rujukan pada klien melalui beberapa
sumber informasi misalnya buku atau website. Secara umum, bagaimanapun, idenya adalah untuk menempatkan tanggung jawab untuk kemajuan proses terapi pada pundak
klien, bukan pada ahli terapinya. Demikian pula halnya untuk interpretasi dengan memberi tahu klien mengapa ia berperilaku dengan cara tertentu. Interpretasi berarti
bahwa terapis telah mendahului tanggung jawab yang harusnya diemban klien untuk menemukan penjelasan mereka sendiri.
Dalam beberapa kasus mengenai penerimaan, ada lebih sedikit teknik daripada seluruh sikap yang ditampakkan. Kepercayaan yang lama adalah ketika klien mampu
sampai pada titik dimana ia puas ketika menggapai sebuah solusi dari masalah dalam kehidupannya. Penerimaan memberikan sebuah suasana dimana klien merasa bahwa ia
8
berkembang dan dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan merespon perasaan klien kemudian menerimanya, seorang terapis memberikan suatu kehangatan yang akan
membimbing dari perasaan menjadi sebuah pengertian. Sesi terapi biasanya dijadwalkan sekali dalam seminggu. Lebih banyak frekuensi
sesi, sesi ekstra, dan hubungan telepon dikhawatirkan karena dapat membimbing kemandiriannya menjadi tertekan dari berbagai perasaan untuk berkembang.
Urutan yang biasa terjadi atau proses dari terapi telah di deskripsikan oleh Roger yang melibatkan tujuh tingkatan yaitu :
1. Keengganan untuk mengungkapkan tentang dirinya, perasaan pribadi yang tidak tergambarkan, suasana yang kaku, hubungan dekat yang dianggap membahayakan.
2. Perasaan terkadang dapat digambarkan, tetapi masih terarahkan oleh pengalaman pribadinya. Masih tertutup, tetapi sudah mulai memperlihatkan beberapa masalah dan
konflik yang terjadi. 3. Menggambarkan perasaan di masa lalu yang tidak bisa diterima, perasaan bebas untuk
mengekspresikan diri yang kurang, mulai bertanya mengenai pikirannya sendiri, masih dalam permulaan untuk mengenalkan bahwa masalahnya lebih banyak di dalam
dirinya daripada di luar dirinya. 4. Bebas mengekspresikan perasaan pribadinya sebagai apa yang dia miliki dalam
dirinya sendiri, pengakuan bahwa ia tidak diterima di masa sekarang mulai hilang, kehilangan konstruk pribadinya, beberapa ekspresi akan tanggung jawab, memulai
untuk menerima resiko berhubungan dengan orang lain dalam perasaaan yang masih standar.
5. Bebas mengekspresikan perasaan dan menerimanya, perasaan menghindar yang sebelumnya termasuk ketakutan lebih jelas diterima dalam dirinya, mengenalkan
konflik antara intelektual dan emosi, penerimaan diri untuk tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah, dan keinginan untuk menjadi sesuatu.
6. Penerimaan akan perasaan tanpa perlu menghindar, adanya perasaan yang hidup dari pengalamannya, mau menerima resiko dengan berhubungan dengan orang lain,
percaya kepada orang lain hingga memberi penerimaan. 7. Individu sekarang merasa nyaman dengan pengalaman dirinya, mengalami suatu
perasaan baru, sedikit inkongruensi, mampu mengukur kebenaran dari pengalamannya.
Diagnosis
Biasanya, diagnosis atau asesmen dihindari dalam terapi yang berpusat pada klien ini. Kebanyakan Rogerian mempercayai bahwa asesmen formal tidak hanya tidak penting
9
tapi juga merugikan klien. Berdasarkan hal tersebut, asesmen menempatkan seorang psikolog dalam kategori superior, memiliki kewenangan yang dapat mengahalangi
perkembangan kemandirian dan aktualisasi diri. Menunda melakukan asesmen memperlihatkan bahwa kita menganggap klien memiliki potensi dan menjadi metode
efektif yang bekerja pada semua klien, tanpa melihat masalah mereka dari keadaan tertentu dimana mereka menemukan diri mereka sendiri. Tidak terlalu penting untuk
mengatakan, kegunaan asumsi tidak begitu kuat dan berpengaruh Greenberg et al., 1994.
Yang paling penting dalam terapi ini adalah perasaan, bukan kesalahan yang berasal dari dirinya maupun dari situasi rumah yang tidak sehat. Terapis menerima perasaan
dengan sebuah etika yang diberikan bukan menerima atau tidak menerima, hanya memahami. Hal ini dipahami dan sesekali mengklarifikasi izin untuk berpindah menjadi
lebih dekat kepada latihan yang cukup hati-hati dan kepada apa yang dapat dilakukan untuk mengubah hal tersebut. Hanya dengan suasana penerimaan yang dapat berpotensi
untuk tumbuh tertanam dan muncul. Beberapa tahun yang lalu, pada suatu masa, terapi yang berpusat pada klien ini telah
berubah. Keduanya, metode dan teori telah dimodifikasi dan meluas. Ringkasan mengenai perkembangan terapi ini dapat ditemukan di Greenberg et al. 2003.
Aplikasi Lainnya
Pendekatan terapi ini telah berkembang secara primer dalam konteks konseling psikoterapi dan ini menyisakan sebuah aplikasi. Bagaimanapun, perubahan telah
menemukan sebuah aplikasi yang baik. Contohnya, terapi ini kerap digunakan dalam training yang bertemakan hubungan manusia. Penekanan pada hubungan, penerimaan,
dan kehangatan sering menjadi bagian dari program training yang digunakan untuk bekerja dalam pusat masalah, untuk para profesional yang telah berkecimpung dalam
konseling, dan para sukarelawan dalam organisasi amal atau agen. Dengan demikian, telah ada kesepakatan dengan profesional seperti ahli pengobatan dan perawat, ahli
psikologi teknis, atau sebuah kesatuan tenaga sukarela, training yang mereka lakukan mengenai hubungan manusia seringkali mengandung filosofi dari terapi ini. Ketika terapi
ini diaplikasikan untuk penyelesaian masalah diluar ruang terapi, ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada orang.
Kesimpulan
10
Positif. Pendekatan clien-centered memiliki banyak keuntungan. Pendekatan ini
menawarkan alternatif bagi terapi psikoanalitis tradisional. Lalu, pendekatan ini juga menawarkan fokus alternatif pada self-determination dan inner directedness daripada
dorongan biologis dan insting menurut Freud. Kemudian, orang berkembang dicatat dalam sejarah. Kebebasan untuk memilih sudah digantikan secara mekanisitis
berdasarkan tingkahlaku. Rogers mengemukakan penggalian masa lalu tidak tepat pada psikoterapi. Perhatian
utama lebih kepada hubungan antara klien dan terapis, dan aplikasi dari teknik menjadi perhatian kedua. Walaupun “klien” mengandung sesuatu yang penting.
Sejarah umum dari Roger menunjukkan bahwa bentuk terapi lebih pendek daripada psikoanalisis yang tak berkesudahan. Peniadaan dari panjangnya resolusi pemindahan
hubungan, rekonstruksi detail masa lalu, dan ekspresi katartik sangat pendek daripada proses terapeutik. Dengan tambahan, peran aktif yang diperankan oleh terapis
membutuhkan banyak training atau pelatihan. Pemberian kesehatan mental membutuhkan peran nation, berbagai disiplin terapeutik mampu menyediakan sesuatu yang lebih cepat
dan ekonomis yang akan selalu dipertimbangkan penggunaannya dengan serius. Walau bagaimanapun, clien-centered therapy dapat menjadi pedang tajam di kedua sisinya.
Beberapa merasa, pandangan humanistik telah menghasilkan generasi pseudotherapists yang tidak cukup mengalami training yang tidak akan pernah bisa memenuhinya walau
dengan antusiasme dan keaslian. Kontribusi utama Roger didasarkan pada penelitian. Dia bertanggungjawab atas
penggunaan penelitian pada proses terapeutik. Dia yang pertama kali menggunakan rekaman pada terapi untuk mempelajari proses dan menyelidiki keefektifannya. Sekarang
penggunaan rekaman menjadi bahan utama dari training dan penelitian. Sebelum Roger, kesucian ruang terapi dijaga dengan sungguh-sungguh tidak ada proses rekaman dan lain
sebagainya. Roger mengeksplor terapi dan membuatnya menjadi sebuah objek pembelajaran. Agar rekaman dan catatan sesuai dengan sesi terapinya, ia memperlihatkan
tingkat keberanian yang tidak biasa pada saat itu walaupun sudah tidak sesuai dengan saat ini.
Upaya Roger dan teman-teman dalam mempelopori rekaman dan catatan interview ternyata menjadi inspirasi dalam upaya yang sama untuk menyelidiki hasil terapi. Sebagai
contoh, Roger dan kawan-kawan meningkatkan daftar hasil terapeutik berdasarkan rating klien terhadap ideal self-concept mereka, berbagai indikator dari sesi konseling, seperti
rasio klien terhadap pembicaraan terapis dan respons mereka terhadap pembicaraan
11
tersebut Cartwright, 1956; Rogers Dymond, 1954; Rogers, Gendlin, Kiesler, Truax, 1967; W. U. Snyder, 1961; Truax Carkhuff, 1967; Truax Mitchell, 1971.
Meta-analisis dari penyelidikan menyatakan bahwa kondisi treatment clien-centered mempunyai efek indikasi sebesar 0.62 yang mengindikasikan bahwa klien dalam terapi
tersebut berfungsi 73 lebih baik dari yang tidak menerima treatment. Untuk menyelidiki apakah ini merupakan penelitian baru pada clien-centered therapy, dua tambahan meta-
analisis lainnya sedang dibentuk. Greenberg dan kawan-kawan 1994 membentuk sebuah meta-analisis dari
penyelidikan yang dipublikasikan antara 1978 dan 1992. Patut diperhatikan bahwa penyelidik hanya mampu mengidentifikasi delapan penyelidikan selama rentang waktu
tersebut yang menyelidiki keefektifan clien-centered therapy dan juga kontrol kelompok. Efek tersebut sebesar 88, yang mengindikasikan klien pada penyelidikan ini berfungsi
81 lebih baik dari yang tidak menerima treatment. Greenberg dan kawan-kawan juga mengevaluasi keefektifan relatif dari clien-centered therapy jika dibandingkan dengan
bentuk treatment psikologis lainnya. Dari tujuh perbandingan, hanya satu yang menunjukkan bahwa clien-centered therapy lebih baik dari treatment lainnnya pada
kasus ini, short-term dynamic therapy, A. E. Meyer, 1981. Baru-baru saja, Elliott, Greenberg, Lietaer 2004 menampilkan hasil dari
penyelidikan meta-analisis yang dipublikasikan sejak 1992. Mereka mempelajari keefektifan clien-centered therapy dari 11 penyelidikan kontrol kelompok juga
dievaluasi dan melaporkan efek sebesar 0.78. Dibandingkan dengan treatment lainnya, sebanyak 28 penyelidikan, clien-centered therapy tidak lebih efektif dari treatment
manapun. Kesimpulannya, bukti-bukti penyelidikan menyatakan bahwa clien-centered
therapy cukup efektif, tapi tidak lebih efektif dari treatment psikologis lainnya.
Negatif. Terapis clien-centered berpendapat bahwa upaya mereka bukan untuk
mengubah klien. Malah, menurut mereka, potensi diri klien-lah yang harus dieksplor. Apakah pandangan ini berdasar pada pendirian atau kesederhanaan, ini kelihatan tidak
komplit. Terapi ialah stimulus yang mengatur reaksi menjadi gerakan. Apakah reaksi itu positif, negatif, maupun netral, dalam hal pengukuran mereka diakibatkan oleh stimulus
dan metode terapis. Terapis clien-centered mengklaim bahwa untuk mengerti klien, harus melompat ke
belakang bola mata klien untuk mengalami fenomenologis dunia yang sama. Tapi bagaimana caranya? Dengan intuisi? Apakah pernah ada pendekatan yang dengan
12
lengkap menyatakan bias keistimewaan dari sudut pandang seseorang? Pengkritik akan setuju jika menghindari pengukuran dan memberikan short shrift yang mungkin
menghalangi kemampuan terapis untuk mengerti dan masuk ke dalam sudut pandang klien.
Clien-centered therapy kelihatannya hanya terlibat dengan satu pendekatan, atau sekurangnya satu sikap umum: empati, penerimaan, dan unconditional positive regard.
Dengan demikian, setiap klien mengalami treatment yang sama. Terapis tidak menilai klien untuk memilih terapi mana yang paling efektif atau teknik spesifik yang akan
digunakan untuk menemukan karakteristik unik dari klien tersebut. Demikian, dari kasus- kasus yang ada menyatakan bahwa clien-centered therapy ialah teknik yang sebenarnya
Bagaimanapun, baru-baru ini, pengenalan masalah dengan pendekatan terapi one-size- fits-all untuk mengembangkan teknik spesifik dan metode yang tepat untuk masalah klien
Greenberg et al., 2003. Pada banyak kasus, walau bagaimanapun peliknya masalah klien atau
menyimpangnya nilai yang klien yakini, hal ini akan ditangani dengan suatu prosedur yang lebih aktif dan langsung. Ada beberapa alasan yang meragukan kearifan dan sumber
daya dari klien psychopatic atau schizophrenic. Walaupun itu benar, dengan pemberian waktu yang tidak terbatas atau keadaan maksimum, setiap klien dapat membuat
keputusan tepat atau mencapai kesimpulan yang cukup baik, hal ini menunjukkan metode tersebut tidak efektif untuk dijalankan. Terapis clien-centered, suatu waktu, mencoba
untuk mengubah klien tanpa mengumpulkan diagnosa dan atau data historis yang cukup. Mereka hanya memperhatikan laporan verbal klien, dan informasi itu sering bersifat
defensif, berubah dan tidak lengkap. Banyak penelitian yang menunjukkan keefektifan clien-centered therapy yang
menyandarkan pada kriteria internal. Klien dikatakan sedang mengembangkan dirinya ketika mereka responsif terhadap percakapan selama terapi berlangsung atau berbicara
lebih banyak dari terapis. Beberapa pendapat menyatakan, bahwa kriteria kemajuan klien harus berasal dari luar ruang terapi seperti observasi, laporan teman sebaya dan
pasangan, dan lainnya. Tanpa pengesahan dari sumber luar, mungkin saja ada beberapa klien yang akan mengubah hal-hal yang ingin diobservasi dalam ruang terapi.
Seringkali, deskripsi filosofi dan prosedur dari treatment clien-centered diartikan unik dan menyangkut terminologi yang tidak dapat diterangkan artinya. Seperti kata
being, becoming, actualizing, dan congruency yang tidak dapat diartikan atau susah untuk dikomunikasikan artinya. Tapi, di lain waktu, kata-kata tersebut dapat memunculkan
13
makna yang lebih sederhana. Sebagai contoh, Rogers berpendapat 1951, “Terapi ialah pokok kehidupan”.
Kata nondirective dan clien-centered tidak kelihatan menyampaikan sesuatu hal positif tapi pada implikasinya menggambarkan bahwa pendekatan lain sebagai directive
atau therapist-centered. Terminologi mencakup kata-kata seperti freedom, democratic, genuine, warm, dan authentic yang biasanya memerlukan pendekatan lain untuk
memahami kata-kata tersebut. Sebelum mereka menjelaskan seperti apa pendekatan mereka, mereka harus menjawab pertanyaan mengenai authoritarian, technique-centered,
controlling, dan without common humanistic values. Akhirnya, pendekatan clien-centered tumbuh dan datang sesuai dengan
perkembangan kampus. Klien pada tahun 1940 dan 1950 ialah mahasiswa yang sering terlihat pada pusat konseling kampus. Terapis yang dilatih sesuai dengan ajaran Roger
pada pusat konseling ini menjadi anggota staf pada pusat konseling kampus lainnya. Jika dibandingkan dengan orang-orang pada populasi umum, mahasiswa ialah kelompok yang
lebih cerdas, lebih baik secara pendidikan, dan jarang tidak dapat menyesuaikan diri ketika sedang menghadapi masalah, dan mereka memiliki metode coping yang baik. Ini
disebut nondirective, metode clien-centered mungkin lebih efektif pada populasi seperti ini, sebagai contoh ialah mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, kemampuan verbal
yang sedikit, atau berasal dari latar belakang pendidikan yang terbatas.
2.2. Gerakan Humanistik – Eksistensial