52.40 Penggunaan bahan pakan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi minyak ikan lemuru dan pemanfaatannya dalam ransum ayam petelur

minyak terkapsul dengan metode soxhlet Apriyantono et al. 1989 dan nilai efisiensi enkapsulasi Lin et al. 1995. Formulasi Imbangan Kandungan Karbohidrat dan Protein dalam Bahan Penyalut Percobaan ini bertujuan menyusun formulasi imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut berdasarkan kandungan karbohidrat dan protein dari bahan pakan yang digunakan sebagai bahan penyalut alternatif. Bahan penyalut alternatif yang digunakan adalah: dedak gandum, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang. Kandungan karbohidrat dan protein serta zat makanan lain yang ada dalam masing-masing bahan pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan zat makanan bahan pakan sebagai bahan penyalut 100 BK Bahan pakan Kandungan zat makanan Dedak gandum Bungkil kedele Tepung daging dan tulang Bahan kering 90.35 90.13 91.29 Protein kasar 15.90

46.50 52.40

Lemak kasar 3.46 1.01 6.63 Karbohidrat Serat kasar BETN 76.64 9.40 67.24 46.35 5.83 40.52 3.84 2.03 1.81 Abu 4.00 6.14 37.13 Keterangan : Analisis proksimat bahan pakan dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB 2004 Penjumlahan serat kasar dan BETN Kandungan karbohidrat lebih tinggi pada dedak gandum yaitu sebesar 76.64, kandungan protein lebih tinggi pada tepung daging dan tulang yaitu sebesar 52.40, sedangkan bungkil kedele mengandung karbohidrat dan protein seimbang yaitu sebesar 46.35 Tabel 11. Berdasarkan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan pakan tersebut maka disusunlah formulasi imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut sehingga terbentuk lima macam perlakuan yaitu 3 : 1, 2 : 1, 1 : 1, 1 : 2 dan 1 : 3. Bungkil kedele digunakan dalam jumlah tetap pada semua perlakuan karena mengandung karbohidrat dan protein yang seimbang, sedangkan dedak gandum dan tepung daging dan tulang dibuat bervariasi sehingga dapat memenuhi imbangan kandungan karbohidrat dan protein sesuai dengan perlakuan yang disusun. Kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan bahan penyalut yang digunakan berdasarkan hasil terbaik yang diperoleh dalam percobaan sebelumnya adalah dengan emulsi 30 dan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4. Jumlah bahan pakan yang digunakan untuk membentuk formulasi imbangan karbohidrat dan protein sesuai dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Formulasi imbangan karbohidrat KH dan protein Prot dalam bahan penyalut dengan menggunakan komposisi dari bahan pakan Formulasi bahan penyalut Bahan penyalut M 31 M 21 M 11 M 12 M 13 Dedak gandum 77.0 61.0 34.0 13.0 4.0 Bungkil kedele 23.0 23.0 23.0 23.0 23.0 Tepung daging dan tulang 00.0 16.0 43.0 64.0 73.0 Jumlah 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Kandungan zat makanan bahan penyalut Karbohidrat 69.67 58.03 38.37 23.08 16.53 Protein 22.94 28.78 38.63 46.30 49.58 Lemak 2.90 3.40 4.26 4.93 5.21 Imbangan KH : protein 3 : 1 2 : 1 1 : 1 1 : 2 1 : 3 Keterangan : Minyak ikan digunakan 25 dari berat bahan penyalut; emulsifier digunakan 2.5 dari berat minyak ikan; Total padatan diperoleh sebesar 100.5 g jika bahan penyalut yang digunakan sebesar 80 g. Prosedur pembuatan mikrokapsul minyak ikan sama dengan percobaan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan bahan penyalut. Prosedurnya dapat dilihat pada Gambar 5. Prosedur pembuatan mikrokapsul diawali dengan menimbang bahan-bahan alternatif yang digunakan sebagai bahan penyalut x gram sesuai dengan perlakuan yang telah disusun Tabel 12. Selanjutnya bahan-bahan tersebut dilarutkan dalam air. Minyak ikan sebanyak 25 dari berat bahan penyalut y gram dan lesitin kedele 2.5 dari berat minyak ikan z gram diaduk selama 15 menit pada suhu 40 – 50 C. Larutan bahan penyalut dan minyak ikan dicampur dan dihomogenisasi selama 10 menit, selanjutnya dikeringkan dengan pengering drum dan pengering semprot. Proses pengeringan dengan pengering drum dilakukan pada tekanan uap 3 bar dan kecepatan putaran 8.6 rpm, sedangkan dengan pengering semprot dilakukan dengan suhu inlet 180 C dan suhu outlet 90 C. Gambar 5 Prosedur kerja pembuatan mikrokapsul berdasarkan formulasi im- bangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut. Peubah yang diamati meliputi: kadar minyak terkapsul dengan metode soxhlet Apriyantono et al. 1989, kadar minyak tidak terkapsul Wanasundara dan Shahidi 1995, nilai efisiensi enkapsulasi Lin et al. 1995, stabilitas oksidatif mikrokapsul dengan mengukur bilangan peroksida AOAC 1984 dan bilangan TBA AOCS 1990 serta untuk melihat struktur dari mikrokapsul dengan SEM scanning electron microscope. Rancangan percobaan digunakan Rancangan Acak Lengkap RAL menurut Steel dan Torrie 1993 dengan lima macam perlakuan dan dua ulangan. Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis sidik ragam Anova, jika ada perbeda- an nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test. analisis produk kadar minyak terkapsul, efisiensi enkapsulasi, stabilitas oksidatif diaduk selama 15 menit suhu 40 –50 C dicampur homogenisasi selama 10 menit, 10.000 rpm campuran bahan penyalut x gram minyak ikan y gram + emulsifier z gram diaduk selama 15 menit suhu 40 –50 C pelarut xx ml dikeringkan dengan pengering drum dan pengering semprot Penelitian Tahap II Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian mikrokapsul minyak ikan dalam ransum ayam petelur terhadap performa ayam petelur, kualitas telur, kandungan asam lemak ω-3 kuning telur serta kandungan kolesterol serum dan kolesterol kuning telur. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cikupa Farm, Tangerang. Penelitian berlangsung selama 13 minggu, tiga minggu pertama masa flushing, dua minggu masa adaptasi ransum dan delapan minggu perlakuan ransum. Bahan dan Alat Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur Isa Brown umur 47 minggu sebanyak 160 ekor. Ayam tersebut digunakan dalam penelitian sampai umur 59 minggu. Ransum Ransum perlakuan disusun secara isoprotein dan isokalori dengan kebutuhan protein dan energi masing-masing sebesar 17 dan 2740 kkalkg sesuai dengan NRC 1994. Ransum perlakuan dibedakan atas lima macam berdasarkan penambahan mikrokapsul minyak ikan MMI ke dalam ransum. Penambahan mikrokapsul tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat pemberian mik rokapsul dalam meningkatkan asam lemak ω-3 kuning telur. Tingkat pemberian dimulai dari level terendah 0.5 sampai level tertinggi 4. Kelima macam ransum perlakuan tersebut adalah: R0 = ransum tanpa penambahan MMI ransum kontrol R1 = ransum dengan 0.5 MMI mengandung 0.1 minyak ikan R2 = ransum dengan 1 MMI mengandung 0.2 minyak ikan R3 = ransum dengan 2 MMI mengandung 0.4 minyak ikan R4 = ransum dengan 4 MMI mengandung 0.8 minyak ikan Mikrokapsul minyak ikan MMI yang ditambahkan ke dalam ransum dihasilkan dari proses mikroenkapsulasi minyak ikan menggunakan bahan penyalut alternatif dari bahan pakan dan dengan pengering drum hasil penelitian tahap I. Mikrokapsul minyak ikan tersebut mengandung ME, protein kasar dan asam lemak ω-3 masing-masing sebesar 3900 Kkal, 26.22 dan 31.15 Lampiran 1. Penambahan mikrokapsul minyak ikan berpengaruh terhadap komposisi ransum Tabel 13. Komposisi ransum dengan menggunakan konsentrat CP 124 disarankan seperti ransum R0 yaitu dengan komposisi jagung, dedak dan konsentrat adalah 50 : 15 : 35 CPI 1999, akan tetapi penambahan mikrokapsul minyak ikan menyebabkan komposisi tersebut berubah dengan menurunnya jagung dan konsentrat CP 124 serta meningkatnya dedak halus. Walaupun komposisi ransum berubah akan tetapi kandungan zat makanan tidak berubah, masing-masing ransum tetap dalam kondisi isoprotein dan isokalori. Tabel 13 Susunan dan kandungan zat makanan ransum ayam petelur umur 52-59 minggu Ransum Perlakuan Bahan pakan 1 R0 R1 R2 R3 R4 Jagung 50.0 49.0 48.0 46.0 42.0 Dedak padi 14.8 15.8 16.8 18.8 22.8 Konsentrat CP 124 2 35.0 34.5 34.0 33.0 31.0 MMI 3 0.0 0.5 1.0 2.0 4.0 Premix 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 Jumlah 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Kandungan zat makanan ME kkalkg 2740.00 2740.00 2740.00 2740.00 2740.00 Protein Kasar 17.00 17.00 17.00 17.00 17.10 Serat Kasar 3.70 3.80 3.80 3.90 4.10 Lemak Kasar 5.70 5.80 6.00 6.40 7.10 Abu 12.00 12.00 12.00 11.90 11.80 Kalsium 3.50 3.50 3.50 3.40 3.30 Posfor 0.78 0.79 0.81 0.83 0.88 Keterangan : 1 Analisis proksimat bahan pakan dilakukan di Laboratorium Charoen Pokphand Indonesia 2004 2 Konsentrat tepung ayam petelur dewasa produksi PT Charoen Pokphand Indonesia mengandung : tepung ikan, bungkil kedele, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, bungkil kacang tanah, canola, tepung daun, vitamin, kalsium, fosfat dan trace mineral. 3 MMI = mikrokapsul minyak ikan, mengandung : tepung daging dan tulang, bungkil kedele, dedak gandum dan minyak ikan lemuru. Kandungan asam lemak -3 sebesar 31.15 Kandang dan peralatan Kandang yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 petak kandang, sesuai dengan jumlah unit percobaan yaitu lima perlakuan dan empat ulangan. Setiap petak kandang terdiri atas empat sangkar dan tiap sangkar berukuran 40 x 40 x 40 cm yang dapat memuat dua ekor ayam sehingga satu petak kandang memuat delapan ekor ayam. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peralatan lain yang digunakan adalah 20 buah ember sesuai dengan jumlah unit percobaan, timbangan, sapu, peralatan tulis dan termometer. Pemberian ransum perlakuan pada setiap unit kandang dilakukan secara acak. Berat badan ayam pada setiap unit kandang pada awal percobaan relatif seragam dengan rata-rata 1.84 kgekor. Penempatan unit perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. R0 4 R4 2 R2 4 R1 3 R4 3 Jalan antar petak kandang R0 1 R0 2 R3 3 R3 4 R0 3 R1 1 R1 2 R4 4 R2 2 R3 1 Jalan antar petak kandang R3 2 R2 3 R1 4 R2 1 R4 1 Keterangan : R0 – R4 = ransum perlakuan 1 – 4 = ulangan Gambar 6 Bagan penempatan unit perlakuan di kandang. Metode Penelitian Sebelum ransum perlakuan diberikan, ayam mengalami masa flushing selama 3 minggu yaitu pada umur 47 – 49 minggu. Flushing bertujuan menghilangkan pengaruh perlakuan yang diberikan sebelumnya. Ransum yang diberikan pada masa flushing adalah ransum tanpa perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan dan umur ayam. Masa flushing selesai dilanjutkan dengan masa adaptasi ransum selama 2 minggu pada ayam umur 50 – 51 minggu. Masa adaptasi ransum bertujuan memperkenalkan ayam terhadap ransum yang baru. Pola adaptasi ransum dari ransum yang lama RL ke ransum perlakuan RP mengikuti pola 4 4 3 3 yaitu: selama 4 hari pertama ayam diberi 25 ransum RP dicampur dengan 75 RL, untuk 4 hari berikutnya diberi masing-masing 50 RP dan RL, untuk 3 hari berikutnya diberikan 75 ransum RP dan 25 ransum RL dan 3 hari terakhir ayam diberikan 0 ransum RL dan 100 ransum penelitian. Selesai masa adaptasi, penelitian dengan pemberian ransum perlakuan dimulai. Pemberian ransum perlakuan dilakukan selama 8 minggu pada ayam umur 52 – 59 minggu. Ayam diberi ransum perlakuan dan air minum ad libitum setiap hari. Konsumsi ransum diukur mingguan, sedangkan berat dan produksi telur dicatat setiap hari selama 8 minggu percobaan. Pada minggu ke 2, 4, 6 dan 8 diambil 2 butir telur dari masing-masing unit percobaan untuk analisis kualitas telur. Pada minggu ke 8 percobaan, 4 butir telur tiap ulangan dikumpulkan, kemudian masing-masing ditimbang dan dipecahkan. Kuning telur dipisahkan dari putih telur dan kemudian kuning telur tersebut disatukan. Sebanyak 32 sampel kuning telur yang disatukan disimpan pada suhu 4 C sampai siap untuk dianalisis kandungan asam lemak dan kolesterol. Peubah yang diukur pada penelitian ini meliputi: 1. Performa produksi meliputi: a. Konsumsi ransum gekor, diukur setiap minggu dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama 1 minggu. b. Produksi telur hen day , diukur dengan mencatat produksi telur harian hen day, selama 8 minggu. Jumlah telur pada hari itu butir Hen day = ------------------------------------------- x 100 Jumlah ayam yang ada pada hari itu c. Berat telur gbutir, diperoleh dengan cara menimbang setiap telur yang dihasilkan. Penimbangan telur ini dilakukan setiap hari selama 8 minggu penelitian. d. Produksi massa telur ghari, dihitung dengan cara mengalikan rataan berat telur dengan persentase produksi telur hen day. e. Konversi ransum , dihitung dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan produksi telur yang dihasilkan selama penelitian dalam satuan yang sama, atau dapat juga dihitung dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan produksi massa telur. Jumlah ransum yang dikonsumsi g Konversi ransum = Produksi massa telur ghari 2. Kualitas telur meliputi: a. Haugh Unit dihitung dengan menggunakan rumus: HU = 100 log H + 7.57 – 1.7 W 0.37 Keterangan : H = tinggi albumen mm W = berat satu butir telur g b. Warna kuning telur, diukur dengan menggunakan Roche Yolk Colour Fan yang mempunyai 15 macam warna dengan skor 1 sampai 15. c. Tebal kerabang telur, diukur dengan menggunakan starret micrometer dengan satuan milimeter. 3. Kandungan asam lemak pada kuning telur diukur dengan cara metilasi langsung menurut metode Folch 1957. 4. Kandungan kolesterol serum diukur menurut Metode Enzymatic Cholesterol High Performance CHOP-PAP KIT Boehringer Mannheim EMBH Diagnostica 1987 dan kandungan kolesterol kuning telur dengan Metode Lieberman Burchard Kleiner dan Dotti 1962. Rancangan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL menurut Steel dan Torrie 1993 dengan lima macam perlakuan dan empat ulangan. Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis sidik ragam Anova, jika ada perbeda-an nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test. Tahap tahap dari keseluruhan rangkaian penelitian dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 7. Gambar 7 Diagram alir penelitian. Minyak ikan Bahan penyalut Pemurnian Seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut dari 6 bahan menjadi 3 bahan stabilitas emulsi Penentuan kandungan padatan dalam emulsi 15, 30 dan 45 dan imbangan minyak dan bahan penyalut 1 : 2, 1 : 4 dan 1 : 6 kadar minyak terkapsul dan efisiensi enkapsulasi Analisis produk mikrokapsul terpilih stabilitas oksidatif, gambaran permukaan luar mikrokapsul, komposisi asam lemak, analisis proksimat Aplikasi mikrokapsul ke ayam petelur Pengaruhnya terhadap Performa produksi Kualitas telur Kandungan asam lemak kuning telur Formulasi imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut kadar minyak terkapsul dan efisiensi enkapsulasi Penyiapan Kolesterol serum dan kuning telur HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I Seleksi Bahan Pakan sebagai Bahan Penyalut Hasil seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut alternatif dalam proses mikroenkapsulasi minyak ikan berdasarkan tingkat stabilitas emulsi dapat dilihat pada Tabel 14. Waktu pengamatan jam ke-0 tingkat stabilitas emulsi bernilai 100 untuk semua bahan pakan, hal ini mengandung arti belum terjadi pemisahan antara minyak dan bahan penyalut setelah campuran bahan tersebut dihomogenisasi. Pemisahan baru terjadi setelah beberapa jam didiamkan. Pemisahan yang cepat dan tinggi menyebabkan tingkat stabilitas emulsi rendah. Tabel 14 Tingkat stabilitas emulsi bahan pakan sebagai bahan penyalut Waktu Pengamatan jam No Bahan pakan 1 2 3 4 5 1 Dedak gandum 100 100 98 95 94 92 2 Dedak padi 100 99 95 93 91 91 3 Jagung giling 100 81 75 69 68 67 4 Bungkil kedele 100 100 100 98 98 97 5 Tepung daging dan tulang 100 100 96 92 89 89 6 Corn gluten meal 100 90 83 77 75 71 7 Campuran bahan no 1, 4 dan 5 100 100 100 100 100 98 Keterangan : Yang dicetak tebal bahan pakan dengan stabilitas emulsi tinggi dan kaya karbohidrat dedak gandum, kaya protein tepung daging dan tulang dan seimbang karbohidrat dan protein bungkil kedele. Pada Tabel 14 terlihat jagung giling mengalami pemisahan yang cepat dan tinggi sehingga tingkat stabilitas emulsi kurang dari 100 pada jam ke-1 pengamatan. Bahan lain selain jagung giling dengan tingkat stabilitas emulsi kurang dari 100 pada jam ke-1 pengamatan adalah corn gluten meal dan dedak padi. Bahan pakan dengan tingkat stabilitas emulsi 100 pada jam ke-1 pengamatan adalah dedak gandum, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang, selanjutnya tingkat stabilitas emulsi yang masih 100 pada jam ke-2 pengamatan adalah bungkil kedele. Dalam penelitian ini tingkat stabilitas emulsi pada bahan pakan dengan nilai 100 didapatkan lebih singkat yaitu hanya sampai dua jam pengamatan. Tingkat stabilitas emulsi 100 akan didapatkan lebih dari dua jam jika bahan pakan dikombinasikan penggunaannya. Tingkat stabilitas emulsi untuk campuran tiga macam bahan penyalut alternatif yang terdiri atas: bungkil kedele, dedak gandum serta tepung daging dan tulang didapatkan 100 sampai jam pengamatan ke-4 Tabel 14. Permadi 1999 mendapatkan tingkat stabilitas emulsi dengan nilai 100 pada pengamatan lebih dari 10 jam. Hal ini disebabkan oleh bahan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah gum arab dan gelatin yang digunakan secara bersama-sama sehingga kandungan karbohidrat dan protein dalam kedua bahan tersebut saling berinteraksi sehingga tidak terjadi pemisahan yang cepat setelah dihomogenisasi serta ke dua bahan tersebut mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi sehingga tidak mudah memisah dengan minyak ikan setelah dihomogenisasi. Lama waktu pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sampai lima jam, lebih singkat dari yang dilakukan Permadi 1999. Permadi 1999 mengamati sampai 20 jam karena sampai jam ke-18 masih ada perlakuan yang belum terjadi pemisahan, sedangkan dalam penelitian ini yang dilakukan sampai jam ke-2 pengamatan telah terjadi pemisahan pada hampir semua bahan pakan, sehingga pengamatan tidak dilanjutkan atau diperpanjang. Walaupun waktu pengamatan yang dilakukan pendek tetapi tujuan yang diharapkan dapat tercapai, dimana sudah terlihat bahan yang cepat atau lambat memisah setelah dihomogenisasi. Tingkat stabilitas emulsi pada bungkil kedele lebih baik dibandingkan dengan bahan pakan yang lain, dimana belum terjadi pemisahan setelah jam ke-2 pengamatan Tabel 14. Hal ini disebabkan oleh bungkil kedele memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik yang menyebabkan dapat berikatan dengan minyak dan air sehingga tidak terjadi pemisahan yang cepat setelah dihomogenisasi. Dedak gandum menghasilkan stabilitas emulsi yang baik dibandingkan dengan dedak padi maupun jagung giling, hal ini disebabkan oleh dedak gandum mengandung lebih banyak pentosan. Menurut D’Appolopnia et al 1971 dan Pomeranz 1991 pentosan merupakan polisakarida non pati yang larut dalam air dan dapat menyerap air dalam jumlah besar serta membentuk larutan yang sangat kental. Kandungan pentosan pada dedak gandum sebesar 18 - 22.5 Hashimoto et al.1987; Pomeranz 1991, sedangkan pada jagung dan dedak padi lebih rendah masing-masing kandungan pentosannya 4 dan 10 Hashimoto et al. 1987; Pomeranz 1991. Rendahnya stabilitas emulsi pada jagung dan corn gluten meal disebabkan oleh ketidakmampuan bahan tersebut untuk larut dalam air, sehingga tidak dapat bergabung dengan minyak ikan sewaktu dihomogenisasi. Bahan yang mempunyai stabilitas emulsi bernilai tinggi akan mampu berikatan dengan minyak ikan, sehingga tidak terjadi pemisahan yang cepat setelah bahan bahan tersebut bersamaan dengan bahan inti dihomogenisasi, oleh karena itu bahan dengan stabilitas emulsi rendah tidak dapat dipilih sebagai bahan penyalut. Hasil seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut alternatif didapatkan tiga macam bahan yang dapat menghasilkan stabilitas emulsi yang baik adalah dedak gandum, tepung daging dan tulang dan bungkil kedele. Bahan bahan tersebut mewakili ketersedian kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut. Dedak gandum sebagai bahan yang banyak mengandung karbohidrat, tepung daging dan tulang merupakan bahan yang banyak mengandung protein, sedangkan bungkil kedele di samping banyak mengandung protein juga mengandung karbohidrat. Hasil analisis proksimat dari ketiga bahan tersebut didapatkan dedak gandum mengandung 76.64 karbohidrat, tepung daging dan tulang mengandung 52.40 protein kasar dan bungkil kedele mengandung 46.35 karbohidrat dan 46.5 protein kasar Tabel 11. Berdasarkan hal tersebut dedak gandum, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang merupakan bahan pakan terpilih untuk digunakan sebagai bahan penyalut alternatif dalam penelitian selanjutnya. Penggunaan bahan pakan yang mempunyai stabilitas emulsi tinggi sebagai bahan penyalut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi. Hal ini disebabkan oleh stabilitas emulsi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan proses mikroenkapsulasi karena dapat mempengaruhi efisiensi enkapsulasi Onwulata et al. 1994. Stabilitas emulsi tinggi menghasilkan efisiensi enkapsulasi tinggi, hal ini disebabkan oleh bahan emulsi dengan stabilitas emulsi tinggi membentuk suatu ikatan yang kuat, sehingga jika dikeringkan tidak mudah berpencar akan tetapi selalu menyaluti minyak ikan akibatnya banyak minyak yang terkapsulkan dan efisiensi enkapsulasi menjadi tinggi. Permadi 1999 membandingkan antara emulsi dengan stabilitas emulsi rendah stabililtas emulsi kurang dari 1 jam dan emulsi dengan stabilitas emulsi tinggi stabilitas emulsi sampai 18 jam. Hasil pengujian memperlihatkan efisiensi enkapsulasi masing-masing 58 untuk stabilitas rendah dan 92 berasal dari stabilitas emulsi tinggi. Penentuan Kandungan Padatan dalam Emulsi serta Imbangan Minyak dan Bahan Penyalut Kadar minyak terkapsul Kadar minyak terkapsul merupakan persentase kandungan minyak yang terdapat dalam mikrokapsul. Semakin banyak minyak yang tersaluti oleh bahan penyalut maka semakin tinggi kadar minyak terkapsul. Pengaruh kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak ikan dan bahan penyalut terhadap kadar minyak terkapsul dengan menggunakan bahan penyalut yang mengandung hanya karbohidrat saja dapat dilihat pada Gambar 8. 1.85 3.00 1.78 2.94 3.87 2.42 1.86 1.61 2.04 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 15 30 45 Kandungan padatan dalam emulsi M in y a k te r k a p su l 1 : 2 1 : 4 1 : 6 Gambar 8 Pengaruh kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak ikan dan penyalut terhadap kadar minyak terkapsul dengan menggunakan bahan penyalut yang mengandung karbohidrat saja Interaksi antara imbangan minyak dan bahan penyalut serta kandungan padatan dalam emulsi mempengaruhi P0.01 kadar minyak terkapsul. Imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 dan kandungan padatan dalam emulsi 30 Gambar 8 menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih tinggi dibandingkan dengan imbangan 1 : 2 dan 1 : 6 serta kandungan padatan dalam emulsi 15 dan 45. Kandungan padatan dalam emulsi 30 menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih tinggi P0.01 dibandingkan dengan emulsi 15 dan 45. Hal ini disebabkan dengan emulsi 15 dan 45 menghasilkan emulsi masing-masing encer dan kental sehingga menyebabkan kadar minyak terkapsul rendah. Kondisi emulsi encer atau kental ada hubungannya dengan kontak emulsi tersebut dengan alat pengeringan. Kondisi emulsi encer emulsi 15 mempunyai jumlah pelarut air yang banyak dari total padatan, hal ini menyebabkan bahan penyalut kurang melindungi minyak, sehingga banyak minyak berhubungan langsung dengan alat pengeringan dan akibatnya banyak minyak yang tidak terkapsulkan. Demikian juga halnya dalam emulsi kental emulsi 45 dimana total padatan menyerap air sehingga jumlah pelarut berkurang dan akibatnya minyak berhubungan dengan alat pengeringan lebih lama sehingga banyak minyak tidak terkapsulkan. Kandungan padatan dalam emulsi 30 merupakan kondisi stabil karena berbentuk bubur atau pasta yang tidak kental atau encer, sehingga sesuai dengan kondisi alat pengeringan dan akibatnya minyak dapat terlindungi dengan baik. Menurut Moore 1995 salah satu syarat dalam proses pengeringan dengan pengeringan drum adalah bahan yang dikeringkan dalam bentuk bubur yang tidak kental atau cair sehingga dapat terlindungi dari panasnya drum. Imbangan minyak dan bahan penyalut 1 : 4 menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih tinggi P0.01 dibandingkan dengan imbangan 1 : 2 dan 1 : 6. Hal ini ada hubungannya dengan alat pengeringan dan emulsi dari bahan yang dikeringkan. Pada suatu sistem emulsi, jumlah minyak dan bahan penyalut yang digunakan mempengaruhi emulsi. Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian Lin et al. 1995 dan Ariati 1998. Lin et al. 1995 membandingkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 3 dan 1 : 2 dan diperoleh kadar minyak terkapsul 1 : 3 lebih baik dibandingkan dengan imbangan 1 : 2. Ariati 1998 membandingkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 dan 1 : 8 dan didapatkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih baik dibandingkan dengan imbangan 1 : 8. Berdasarkan hal tersebut imbangan minyak dan penyalut 1 : 3 atau 1 : 4 menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih baik daripada menggunakan imbangan 1 : 2 atau 1 : 8. Jumlah minyak yang tinggi dalam mikroenkapsulasi imbangan 1 : 2 menyebabkan menurunnya jumlah bahan penyalut sehingga banyak permukaan minyak yang tidak dapat tersaluti oleh bahan penyalut. Demikian juga jumlah minyak yang rendah imbangan 1 : 6 menyebabkan meningkatnya jumlah bahan penyalut sehingga emulsi menjadi lebih kental, akibatnya emulsi tidak stabil dan droplet minyak yang terselaputi oleh bahan penyalut berkurang. Berdasarkan hal tersebut imbangan 1 : 4 merupakan kondisi yang optimal, jumlah minyak dan bahan penyalut yang digunakan sesuai dengan kondisi pengeringan sehingga bahan penyalut dapat melindungi minyak dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan kadar minyak terkapsul tertinggi diperoleh sebesar 3.87 Gambar 8 pada perlakuan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 serta pada kandungan padatan dalam emulsi 30. Kadar minyak terkapsul tersebut masih rendah, hal ini disebabkan oleh bahan penyalut yang digunakan banyak mengandung karbohidrat yang bersifat lifopilik sehingga kurang mampu menyaluti minyak ikan dengan baik. Kadar minyak terkapsul ini dapat ditingkatkan bila bahan penyalut yang mengandung protein ditambahkan. Bahan penyalut yang mengandung protein berfungsi sebagai pengemulsi dan agen pembentuk lapisan sehingga dapat meningkatkan kadar minyak terkapsul. Afeli 1998 mendapatkan pengunaan bahan penyalut yang mengandung karbohidrat diperoleh kadar minyak terkapsul 3.59 – 3.73, penambahan bahan penyalut yang mengandung protein meningkatkan kadar minyak terkapsul menjadi 4.29 – 9.80. Efisiensi enkapsulasi Efisiensi enkapsulasi adalah keberadaan minyak ikan untuk terlindungi oleh bahan penyalut. Semakin banyak minyak terlindungi oleh bahan penyalut maka semakin tinggi kadar minyak terkapsul dan akibatnya efisiensi enkapsulasi semakin tinggi. Pengujian efisiensi enkapsulasi dalam percobaan ini bertujuan untuk menghasilkan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan bahan penyalut yang terbaik dengan menggunakan bahan penyalut yang mengandung karbohidrat. Pengaruh kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak ikan dan penyalut terhadap efisiensi enkapsulasi dengan menggunakan bahan penyalut yang mengandung hanya karbohidrat saja dapat dilihat pada Gambar 9. 5.23 8.48 5.03 13.00 17.10 10.68 10.82 9.36 11.87 2 4 6 8 10 12 14 16 18 15 30 45 Kandungan padatan dalam emulsi E fi si e n si e n k a p su la si 1 : 2 1 : 4 1 : 6 Gambar 9 Pengaruh kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak ikan dan penyalut terhadap efisiensi enkapsulasi dengan mengguna- kan bahan penyalut yang mengandung karbohidrat saja Interaksi imbangan minyak dan bahan penyalut serta kandungan padatan dalam emulsi mempengaruhi P0.01 efisiensi enkapsulasi. Imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 dan kandungan padatan dalam emulsi 30 Gambar 9 meng- hasilkan efisiensi enkapsulasi lebih tinggi dibandingkan dengan imbangan 1 : 2 dan 1 : 6 serta kandungan padatan dalam emulsi 15 dan 45. Nilai efisiensi enkapsulasi diperoleh dari perbandingan jumlah minyak yang dapat terkapsulkan dengan jumlah minyak yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Jumlah minyak terkapsul dapat diperoleh dari kadar minyak terkapsul dikalikan dengan total padatan dan diasumsikan semua bahan menjadi mikrokapsul Lin et al. 1995. Jumlah minyak yang digunakan berasal dari minyak ikan yang digunakan ditambah kandungan lemak dari bahan penyalut. Berdasarkan hal tersebut kandungan minyak dan lemak dari bahan penyalut yang digunakan serta kadar minyak terkapsul yang diperoleh mempengaruhi nilai efisiensi enkapsulasi Kandungan padatan dalam emulsi 30 menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih tinggi P0.01 dibandingkan dengan kandungan padatan dalam emulsi 15 dan 45. Hal ini ada hubungan dengan rataan kadar minyak terkapsul yang diperoleh. Rataan kadar minyak terkapsul yang dihasilkan dalam emulsi 30 sebesar 2.83 lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi 15 dan 45 yaitu masing-masing 2.21 dan 2.08 lampiran 6. Tingginya kadar minyak terkapsul yang diperoleh menyebabkan nilai efisiensi enkapsulasi lebih tinggi. Lin et al.1995 mendapatkan kadar minyak terkapsul 23.89 dan diperoleh efisiensi enkapsulasi 71.67, kadar minyak terkapsul 25.13 maka efisiensi enkapsulasi meningkat menjadi 75.39 dengan total padatan yang sama akan tetapi jumlah minyak yang digunakan berbeda masing-masing 30 dan 20g. Kandungan padatan dalam emulsi yang terbaik dalam penelitian ini diperoleh pada emulsi 30. Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian Mc Namae et al. 2001, dimana kandungan padatan dalam emulsi 30 pada mikroenkapsulasi minyak kedele dengan bahan penyalut yang banyak mengandung karbohidrat menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan padatan dalam emulsi 15. Imbangan minyak dan bahan penyalut 1 : 4 menghasilkan efisiensi enkap- sulasi lebih baik P0.01 dibandingkan dengan imbangan 1 : 2 dan 1 : 6. Hal ini ada hubungannya dengan jumlah minyak yang terkapsulkan dan jumlah minyak yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Pada imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 menghasilkan rataan kadar minyak terkapsul sebesar 3.08 lebih tinggi dibandingkan rataan kadar minyak terkapsul pada imbangan 1 : 2 dan 1 : 6 yaitu masing-masing sebesar 2.21 dan 1.84 Lampiran 6. Nilai efisiensi enkapsulasi berdasarkan imbangan minyak dan penyalut lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah minyak yang terkapsul dari pada jumlah minyak yang digunakan. Perlakuan imbangan 1 : 2 jumlah minyak yang digunakan lebih tinggi dibandingkan dengan imbangan 1 : 4 dan 1 : 6 pada kandungan padatan yang sama Tabel 10. Kadar minyak terkapsul diperoleh lebih rendah dibandingkan oleh imbangan 1 : 4 dan 1 : 6 dan akibatnya efisiensi enkapsulasi juga lebih rendah. Dengan demikian jumlah minyak terkapsul lebih berpengaruh terhadap efisiensi enkapsulasi dibandingkan dengan jumlah minyak yang digunkanan. Tingginya nilai efisiensi enkapsulasi yang diperoleh pada imbangan minyak ikan dan bahan penyalut 1 : 4 menghasilkan nilai efisiensi enkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan imbangan 1 : 2 dan 1 : 6. Hasil penelitian ini dapat diban- dingkan dengan hasil penelitian McNamee et al. 1998; Permadi 1999 dan Hogan et al. 2001a, 2001b. Peneliti-peneliti tersebut mendapatkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 menghasikan efisiensi enkapsulasi lebih baik daripada imbangan 1 : 2, selanjutnya Lin et al. 1995 mendapatkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 3 menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan imbangan 1 : 2. King et al. 1976 juga mendapatkan efisiensi enkapsulasi meningkat ketika imbangan minyak dan penyalut ditingkatkan dari 1 : 1 menjadi 1 : 4. Semakin meningkat jumlah minyak yang digunakan semakin berkurang efisiensi enkapsulasi. Hal ini disebabkan oleh minyak permukaan dibuka ke udara melalui lekukan dalam permukaan dari partikel mikrokapsul. Imbangan yang terlalu tinggi atau jumlah minyak yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi sedikit juga dapat menurunkan efisiensi enkapsulasi. Ariati 1998 mendapatkan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan imbangan 1 : 8. Berdasarkan hal itu imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 menghasilkan efisiensi enkapsulasi yang lebih baik sebagai- mana yang diperoleh dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan fenomena yang sama dengan yang diperoleh pada parameter kadar minyak terkapsul. Efisiensi enkapsulasi tertinggi diperoleh pada perlakuan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 dalam kandungan padatan pada emulsi 30 yaitu sebesar 17.10 Gambar 9. Nilai efisiensi enkapsulasi tersebut masih rendah dan dapat ditingkatkan jika bahan penyalut yang mengandung protein ditambahkan. Afeli 1998 mendapatkan nilai efisiensi enkapsulasi dengan menggunakan bahan penyalut yang mengandung karbohidrat sebesar 11.69-12.16, penambahan bahan penyalut yang mengandung protein meningkatkan efisiensi enkapsulasi menjadi 13.97-31.95. Penggunaan bahan penyalut yang hanya mengandung karbohidrat belum dapat menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih baik karena itu perlu ditambahkan bahan penyalut yang mengandung protein. Bahan penyalut banyak mengandung karbohidrat menyebabkan proses pengeringan berjalan dengan cepat, banyak terbentuk lapisan kulit kering sekitar droplet minyak. Cepatnya proses penge- ringan berlangsung menyebabkan banyak minyak yang belum disalut oleh bahan penyalut, akibatnya jumlah minyak yang terkapsul berkurang dan efisiensi enkapsulasi rendah. Penambahan bahan penyalut mengandung protein menye- babkan lapisan protein menempel disekeliling minyak sehingga minyak terlin- dungi dan akibatnya banyak minyak terkapsulkan. Kombinasi kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut dapat menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih baik, untuk membuktikannya dilakukan percobaan selanjutnya dengan menggunakan kombinasi karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut. Kandungan padatan dalam emulsi serta imbangan minyak ikan dan penyalut menggunakan komposisi terbaik yang diperoleh dalam percobaan sebelumnya yaitu dengan kandungan padatan dalam emulsi 30 dan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4. Formulasi Imbangan Karbohidrat dan Protein dalam Bahan Penyalut Gambar pengamatan mikrokapsul minyak ikan yang dihasilkan akibat pengaruh perlakuan imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut dengan menggunakan pengering semprot dan pengering drum dapat dilihat pada Gambar 10. Mikrokapsul yang dihasilkan dengan alat pengering semprot berben- tuk tepung yang halus, sedangkan dengan pengering drum mikrokapsul yang dihasilkan masih kasar sehingga memerlukan proses penggilingan untuk memperoleh bubuk atau tepung yang halus. Menurut Desobry et al. 1997 ukuran partikel mikrokapsul dengan pengering semprot lebih halus dan seragam, sedangkan dengan pengering drum bentuknya lebih kasar dan berupa lipatan- lipatan yang harus digiling dulu sebelum digunakan. Mikrokapsul minyak ikan yang berbentuk tepung mempunyai kelebihan dibandingkan dengan minyak ikan dalam bentuk cair. Keuntungan yang diperoleh dari mikrokapsul tersebut di antaranya: berkurangnya bau amis dari minyak ikan, terlindunginya asam lemak ω-3 dari oksidasi, praktis dalam penggunaannya dan memudahkan dalam pengemasan serta rendahnya kadar air sehingga lebih awet disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa kerusakan asam lemak ω-3. Menurut Andersen 1995 daya simp an asam lemak ω-3 lebih dari 2 tahun dengan proses mikroenkapsulasi. Berdasarkan hal tersebut mikrokapsul minyak ikan dapat digunakan untuk aplikasi lebih lanjut. Keterangan : M31s – M13s = imbangan karbohidrat dan protein dengan pengering semprot M31d – M13d = imbangan karbohidrat dan protein dengan pengering drum Gambar 10 Perlakuan imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut terhadap mikrokapsul minyak ikan lemuru dengan pengering semprot dan pengering drum. Perbedaan lain yang muncul antara mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering semprot M31s –M13s dan pengering drum M31d – M13d adalah warna. Warna lebih terangcerah pada pengering semprot dibandingkan dengan pengering drum. Warna yang lebih cerah pada pengering semprot disebabkan bahan emulsi disemprotkan kepada aliran udara panas dan waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan sangat singkat sehingga dapat meminimalkan proses kegosongan Bluestein et al. 1989. Pada pengering drum terjadi kontak langsung antara bahan dan permukaan drum yang suhunya berkisar antara 120 C sampai 160 C, sehingga pada saat dikeringkan akan terjadi kehilangan air yang sangat besar dan menyebabkan warna menjadi kurang cerah. Perbedaan warna juga dipengaruhi oleh imbangan karbohidrat dan protein. Semakin menurun imbangan karbohidrat dan protein semakin gelap warna mikrokapsul yang dihasilkan baik pada pengering semprot maupun pada pengering drum. Imbangan karbohidrat dan protein yang rendah menyebabkan berkurangnya bagian karbohidrat dalam bahan penyalut. Karbohidrat yang digunakan dalam penelitian ini berwarna putih sehingga mempengaruhi hasil mikrokapsul dibandingkan dengan sumber protein yang banyak mengandung tepung daging dan tulang yang bewarna coklat tua sehingga mikrokapsul juga M13S D M12S M31S M11S M21S M12d M11d M21d M13d M31d bewarna gelap. Karakteristik mikrokapsul berupa warna, tekstur dan ukuran partikel tidak terlalu diperhitungkan dalam pencampuran ke dalam ransum ternak. Karakteristik mikrokapsul minyak ikan yang perlu diperhatikan dalam aplikasi ke dalam ransum ternak adalah kadar minyak terkapsul, kadar minyak tidak terkapsul dan efisiensi enkapsulasi. Karakteristik mikrokapsul tersebut baik dengan pengering drum maupun dengan pengering semprot dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Karakteristik mikrokapsul dengan perlakuan imbangan karbohidrat dan protein menggunakan pengering drum dan pengering semprot Perlakuan Jumlah minyak g Kadar minyak terkapsul Kadar minyak tidak terkapsul Efisiensi enkapsulasi Pengering drum M31 22.32 9.00 c 6.26 bc 40.50 c M21 22.72 10.97 b 5.69 c 48.50 b M11 23.41 14.58 a 3.29 d 62.62 a M12 23.94 14.91 a 8.46 ab 62.61 a M13 24.17 15.28 a 9.95 a 63.54 a Pengering semprot M31 22.32 9.32 d 3.02 41.94 d M21 22.72 13.58 c 1.40 60.03 c M11 23.41 15.94 b 2.39 68.46 b M12 23.94 18.46 a 4.58 77.52 a M13 24.17 18.15 a 5.86 75.48 a Keterangan: Supeskrip dengan huruf yang tidak sama kearah kolom masing-masing pada pengering drum dan pengering semprot menunjukkan berbeda P0.01 M 31 : imbangan karbohidrat dan protein 3 : 1 M 21 : imbangan karbohidrat dan protein 2 : 1 M 11 : imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1 M 12 : imbangan karbohidrat dan protein 1 : 2 M 13 : imbangan karbohidrat dan protein 1 : 3 Jumlah minyak ikan yang digunakan dan total padatan sama pada semua perlakuan yaitu sebesar 20g dan 100.5g. Minyak yang digunakan 20g ditambah kadar lemak bahan penyalut Dihitung berdasarkan dari berat mikrokapsul Efisiensi enkapsulasi = kadar minyak terkapsul x total padatan g x 100 minyak + lemak bahan penyalut g Kadar minyak terkapsul Kadar minyak terkapsul berarti jumlah kandungan minyak yang terdapat dalam mikrokapsul. Jumlah minyak terkapsul pada pengering drum berkisar antara 9.00 – 15.28 dari berat mikrokapsul Tabel 15 atau sekitar 45 – 76.4 dari berat minyak ikan yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Jumlah minyak ikan yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi adalah sebesar 25 dari bahan penyalut, sehingga dalam 100 mikrokapsul terkandung 80 bahan penyalut dan 20 minyak ikan. Jumlah minyak terkapsul pada pengering semprot diperoleh lebih tinggi yaitu berkisar antara 9.32 – 18.46 dari berat mikrokapsul atau sebesar 46.6 – 92.3 dari minyak yang digunakan. Walaupun ada perbedaan antara ke dua jenis pengeringan tersebut tetapi keduanya dapat berperan dalam proses mikroenkapsulasi sehingga minyak masih dapat terkapsulkan. Tingginya kadar minyak terkapsul antara pengering semprot dan pengering drum disebabkan kondisi alat pengeringan yang digunakan. Menurut Thies 1996 kondisi operasi pengeringan mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul. Pada pengering semprot bahan inti atau minyak ikan tidak kontak langsung dengan permukaan logam panas tetapi dengan uap panas. Sebaliknya dengan pengering drum bahan yang akan dikeringkan kontak lansung dengan permukaan drum yang bertemperatur tinggi, sehingga menyebabkan sedikit minyak yang terkapsul dibandingkan dengan pengering semprot. Walaupun adanya kontak langsung antara bahan inti dan permukaan drum pada proses pengeringan dengan pengering drum tetapi tidak menghalangi bahan penyalut untuk melindungi minyak ikan. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya emulsi antara minyak dan bahan penyalut yang tidak kental atau cair serta kontak langsung emulsi tersebut dengan permukaan drum hanya beberapa detik. Menurut Moore 1995 bahan-bahan yang sensitif terhadap panas seperti minyak ikan dapat dikeringkan dengan baik menggunakan pengering drum karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi hanya berlangsung beberapa detik. Perlakuan dengan imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut 1 : 1, 1 : 2 dan 1 : 3 pada pengering drum dan imbangan 1 : 2 dan 1 : 3 pada pengeringan semprot Tabel 15 menghasilkan kadar minyak terkapsul P0.01 lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan protein dalam bahan penyalut. Kandungan molekul protein dalam bahan penyalut mengandung bagian yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik. Sifat-sifat tersebut mampu membuat emulsi lebih stabil selama proses mikroenkapsulasi berlangsung. Menurut Walstra 1988 protein mampu menstabilkan droplet emulsi yang terbentuk selama homogenisasi. Adanya kemampuan protein tersebut membuat emulsi lebih stabil sehingga dapat melindungi minyak sewaktu dilakukan pengeringan. Selanjutnya sifat-sifat yang dimiliki protein tersebut memberikan karakteristik fungsionil yang dibutuhkan untuk mengenkapsulasikan minyak Kinsella 1984; Leman dan Kinsella 1989. Sebaliknya kandungan karbohidrat yang tinggi dalam bahan penyalut imbangan karbohidrat dan protein 3 : 1 dan imbangan 2 : 1 menyebabkan kadar minyak terkapsul lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh karbohidrat tidak bersifat lipofilik sehingga kurang mampu melindungi minyak dari panas pengeringan, sehingga banyak minyak yang keluar dari dalam mikrokapsul. Menurut Kenyon 1992 bahan yang tidak bersifat lipofilik dalam proses mikroenkapsulasi menyebabkan kestabilan emulsi dan minyak yang terkapsulkan rendah. Berdasarkan hal tersebut kombinasi imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut perlu diperhatikan agar diperoleh produk mikroenkapsulasi yang baik. Kombinasi kandungan karbohidrat dan protein sebagai bahan penyalut da- lam mikroenkapsulasi sangat penting. Jika kandungan karbohidrat saja digunakan tanpa ditambah bahan penyalut yang mengandung protein menyebabkan kadar minyak terkapsul rendah. Dalam penelitian sebelumnya yaitu pada penentuan imbangan minyak dan penyalut serta kandungan padatan dalam emulsi didapatkan kadar minyak terkapsul tertinggi sebesar 3.87 Gambar 8. Bahan yang mengandung karbohidrat digunakan sebagai bahan penyalut dalam percobaan tersebut, setelah sumber protein ditambahkan dalam bahan penyalut didapatkan kadar minyak terkapsul meningkat sampai 9 Tabel 15. Hasil penelitian tersebut dapat dibandingkan dengan hasil penelitian Afeli 1998 dimana dengan menggunakan hanya sumber karbohidrat sebagai bahan penyalut didapatkan kadar minyak terkapsul sebesar 3.66, setelah sumber protein ditambahkan sebagai bahan penyalut didapatkan kadar minyak terkapsul meningkat 5 – 9. Rendahnya kadar minyak terkapsul tersebut menurut Bangs dan Rennecius 1988 disebabkan oleh bahan penyalut yang berasal dari karbohidrat mempunyai sifat-sifat interfacial yang rendah dan harus dibantu dengan bahan penyalut yang berasal dari protein untuk mengenkapsulasikan bahan yang mengandung minyak. Komposisi imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut terhadap kadar minyak terkapsul juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sustriawan 2002 mendapatkan mikrokapsul minyak ikan tuna dengan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1 diperoleh kadar minyak terkapsul sebesar 10.08. Sebelumnya Afeli 1998 mendapatkan kadar minyak terkapsul dari mikrokapsul minyak ikan tuna dengan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 2 lebih tinggi dibandingkan dengan imbangan 1 : 1 dan 1 : 0 masing-masing sebesar 7.7, 5.25 dan 3.7. Hasil yang diperoleh oleh kedua peneliti tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapat, dimana pada imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1 dan 1 : 2 diperoleh kadar minyak terkapsul masing- masing sebesar 15.9 dan 18.5 Tabel 15. Tingginya kadar minyak terkapsul yang diperoleh dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh imbangan minyak dan penyalut yang digunakan serta penggunaan emulsifier. Kedua peneliti sebelumnya menggunakan imbangan minyak dan penyalut 1 : 2 dan penggunaan emulsifier 0 dan 1. Menurut Lin et al. 1995 dan Thies 1996 imbangan minyak dan bahan penyalut dan tingkat emulsifier yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah minyak terkapsul. Lin et al. 1995 menyatakan penambahan lesitin kuning telur sebagai emulsifier dalam mikroenkapsulasi minyak cumi-cumi sebesar 12 dari berat minyak yang digunakan didapatkan kadar minyak terkapsul meningkat dari 23.89 menjadi 30.42. Imbangan minyak dan penyalut yang digunakan dalam percobaan ini menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih baik dalam percobaan sebelumnya sehingga dapat menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih tinggi. Disamping itu penggunaan emulsifier dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga me- mungkinkan percampuran minyak dengan bahan penyalut dapat berjalan dengan baik akibatnya menghasilkan kadar minyak terkapsul lebih tinggi. Emulsifier yang digunakan dalam percobaan ini adalah lesitin kedele dengan jumlah pemberian 2.5 dari berat minyak ikan yang digunakan. Pemberian tersebut berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang diperoleh, pengunaan lesitin kedele 2.5 dari berat minyak ikan menghasilkan stabilitas emulsi lebih baik dibandingkan dengan penggunaan lesitin kedele 1.25 dan 5 Lampiran 32. Permadi 1999 mendapatkan penggunaan lesitin kedele sendiri tanpa kombinasi dengan emulsifier lain lebih sesuai dalam mikroenkapsulasi minyak ikan lemuru. Penggunaan sebesar 1 dari berat minyak ikan belum dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga tidak dapat membantu pencampuran emulsi minyak dalam air akibatnya stabilitas emulsi lebih rendah. Selanjutnya Permadi 1999 menyarankan pengunaan lesitin kedele untuk minyak ikan lemuru digunakan lebih dari 1 dan kurang dari 5. Penggunan lesitin kedele tinggi juga tidak baik disamping harga yang mahal juga karena nilai HLB Hydrophilic Lipoprotein Balance lesitin kedele berkisar 1-8 sehingga lebih sesuai untuk emulsi wo tetapi karena emulsi ow maka jumlah lesitin tinggi tidak berfungsi dengan baik. Kadar minyak tidak terkapsul Minyak yang terekstrak dalam analisis kadar minyak dapat dibedakan atas dua yaitu minyak yang terdapat dalam mikrokapsul dan minyak yang terdapat pada permukaan mikrokapsul. Minyak yang terdapat dalam mikrokapsul disebut minyak terkapsul, sedangkan minyak yang terdapat pada permukaan mikrokapsul dikenal dengan minyak tidak terkapsul. Jumlah minyak tidak terkapsul pada pengering semprot adalah 1.40 – 5.86 dari berat mikrokapsul Tabel 15 atau sebesar 7 – 29.3 dari berat minyak yang digunakan minyak yang digunakan sekitar 25 dari berat bahan penyalut atau dalam 100 mikrokapsul mengandung 80 bahan penyalut dan 20 minyak ikan. Pada pengering drum jumlah minyak yang tidak terkapsul berkisar antara 3.29 – 9.95 dari berat mikrokapsul atau sebesar 16.45-49.75 dari berat minyak yang digunakan. Kadar minyak tidak terkapsul lebih rendah dalam pengering semprot dibandingkan dengan pengering drum. Hal ini disebabkan oleh minyak tidak kontak langsung dengan panas sehingga lebih banyak minyak yang dapat terlindungi atau terkapsulkan oleh bahan penyalut. Imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut berpengaruh nyata terhadap kadar minyak tidak terkapsul dengan pengering drum P0.01 tetapi tidak berpengaruh nyata menggunakan pengering semprot. Kadar minyak tidak terkapsul lebih rendah dengan pengeringan semprot dan dengan pengering drum pada perlakuan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1. Menurut Anandaraman dan Reineccius 1987 kandungan minyak tidak terkapsul rendah menguntungkan karena mikrokapsul lebih stabil untuk penyimpanan. Sebaliknya kadar minyak tidak terkapsul tinggi tidak menguntungkan karena mikrokapsul tersebut lebih mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan bau amis Barrow 2005. Pada perlakuan imbangan 1 : 1 pada pengering drum diperoleh kadar minyak tidak terkapsul nyata lebih rendah Tabel 15, hal ini disebabkan oleh ketersediaan kandungan protein dan karbohidrat pada bahan penyalut dalam perbandingan yang cukup sehingga dapat bekerja sama dalam mengengkapsulasikan minyak ikan. Ketersediaan protein yang tinggi diperlukan untuk dapat menyaluti minyak ikan dan ketersediaan sumber karbohidrat dalam hal ini dedak gandum juga diperlukan untuk melengkapi penyalutan minyak ikan. Ketersediaan yang cukup dari kedua bahan tersebut menyebabkan minyak dapat terlindungi dengan baik sehingga minyak yang terkapsul tinggi dan minyak yang tidak terkapsul rendah. Dedak gandum mengandung pentosan yang larut dalam air dan dapat meningkatkan kekentalan dari emulsi, pada pengering drum bahan yang kental lebih baik karena dapat melindungi minyak dengan baik sewaktu dikeringkan. Efisiensi enkapsulasi Efisiensi enkapsulasi adalah kemampuan minyak ikan untuk tersaluti oleh bahan penyalut, semakin tinggi efisiensi enkapsulasi berarti semakin banyak minyak yang tersaluti oleh bahan penyalut. Efisiensi enkapsulasi yang diperoleh dalam percobaan ini berkisar antara 40.50 – 63.54 pada pengering drum dan 41.94 – 77.52 pada pengering semprot Tabel 15. Nilai efisiensi enkapsulasi tersebut dipengaruhi oleh kadar minyak terkapsul, total padatan serta jumlah minyak dan lemak dari bahan penyalut yang digunakan. Total padatan merupakan jumlah bahan penyalut, minyak ikan dan pengemulsi yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi dan diasumsikan semua menjadi mikrokapsul. Total padatan dalam percobaan ini dari kesemua perlakuan dibuat dalam kondisi yang sama karena bahan penyalut, minyak ikan serta pengemulsi jumlahnya sama antar perlakuan. Besarnya total padatan yang digunakan dalam percobaan ini sebesar 125.6 g jika bahan penyalut yang diguna- kan 100 g Tabel 12. Kandungan lemak dari bahan penyalut yang digunakan perlu diperhatikan karena bahan penyalut dalam percobaan ini bukan bahan murni purified material yang mengandung satu macam zat makanan akan tetapi merupakan bahan komplit yang mengandung banyak zat makanan seperti karbohidrat, protein maupun lemak. Kandungan lemak dari bahan penyalut yang digunakan dalam percobaan ini berbeda antar perlakuan. Hal ini disebabkan oleh adanya imbangan antara karbohidrat dan protein sehingga mempengaruhi kandungan lemak yang ada dalam komposisi tersebut dan nilainya sebesar 2.90 sampai 5.21 Tabel 12. Semakin rendah imbangan karbohidrat dan protein semakin tinggi kandungan lemak yang ada dalam bahan penyalut sehingga menyebabkan kandungan minyak sebelum dikeringkan juga semakin tinggi. Meningkatnya kandungan minyak sebelum dikeringkan jumlah minyak ikan dan kandungan lemak dari bahan penyalut mempengaruhi kadar minyak terkapsul dan efisiensi enkapsulasi. Efisiensi enkapsulasi dari mikrokapsul yang diperoleh dengan pengering semprot dan pengering drum sangat nyata P0.01 dipengaruhi oleh perlakuan. Imbangan karbohidrat dan protein 1 : 2 dan 1 : 3 pada pengering semprot dan imbangan 1 : 1, 1 : 2 dan 1 : 3 pada pengering drum menghasilkan efisiensi enkapsulasi P0.01 lebih tinggi Tabel 15. Tingginya nilai efisiensi enkapsulasi tersebut disebabkan oleh kadar minyak terkapsul yang diperoleh juga lebih tinggi dan total padatan dalam jumlah yang sama. Nilai efisiensi enkapsulasi tinggi menunjukkan banyaknya minyak yang dapat diperangkap oleh bahan penyalut selama proses pengeringan. Kelly dan Keogh 2000 menyatakan efisiensi enkapsulasi adalah tingkat kemampuan bahan penyalut untuk memerangkap minyak ikan dari kerusakan selama proses pengeringan. Keberhasilan proses mikroenkapsulasi dapat dilihat dari nilai efisiensi enkapsulasi yang dihasilkan. Nilai efisiensi enkapsulasi tertinggi yang diperoleh dalam percobaan ini yaitu sebesar 77.52 pada perlakuan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 2 dengan pengering semprot Tabel 15. Tingkat keberhasilan proses mikroenkapsulasi dalam percobaan ini lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Afeli 1998 dan Sustriawan 2002. Afeli 1998 mendapatkan efisiensi enkapsulasi dari mikrokapsul minyak ikan tuna dengan pengering semprot pada imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut 1 : 2 dan 1 : 1 masing-masing diperoleh sebesar 25 dan 17. Selanjutnya Sustriawan 2002 mendapatkan efisiensi enkapsulasi mikro- kapsul minyak ikan tuna dengan pengering semprot pada imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1 sebesar 33.59. Rendahnya efisiensi enkapsulasi yang didapat dari kedua percobaan tersebut karena kadar minyak terkapsul yang diperoleh juga rendah. Rendahnya kadar minyak terkapsul seperti yang dijelaskan sebelumnya kemungkinan dipengaruhi oleh imbangan minyak dan penyalut serta tidak adanya emulsifier yang digunakan dalam kedua percobaan tersebut. Bahan penyalut yang digunakan dalam percobaan ini adalah bahan pakan yang mengandung beberapa macam zat makanan seperti karbohidrat, protein dan lemak. Adanya kombinasi imbangan antara sumber makanan yang mengandung karbohidrat dan protein menghasilkan komposisi zat makanan. Kandungan pro- tein tertinggi dalam kombinasi tersebut diperoleh pada imbangan 3 : 1 dengan kadar protein dalam bahan penyalut sebesar 50. Walaupun kandungan protein hanya 50 akan tetapi dapat menghasilkan efisiensi enkapsulasi lebih baik. Jimenez et al. 2004 menggunakan zat makanan yang kandungan proteinnya tinggi yaitu whey protein konsentrat dan dengan imbangan minyak dan penyalut 1 : 4 dan total padatan 30 dihasilkan efisiensi enkapsulasi sebesar 90. Semakin tinggi efisiensi enkapsulasi berarti semakin banyak minyak yang dipe- rangkap oleh bahan penyalut. Selanjutnya Matsuno dan Imagi 1991 menam- bahkan mikrokapsul dengan nilai efisiensi enkapsulasi yang tinggi akan terlindungi dari oksidasi dan mempunyai daya simpan yang lebih lama. Berdasarkan hal itu imbangan karbohidrat dan protein yang rendah dalam bahan penyalut yang berasal dari bahan pakan dapat melindungi minyak ikan selama proses pengeringan. Berdasarkan hasil percobaan di atas mikrokapsul terbaik diperoleh dengan perlakuan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 2 menggunakan pengering semprot. Kapasitas produksi dengan pengering semprot untuk kebutuhan uji coba ransum ayam petelur tidak mencukupi maka dalam percobaan tahap kedua untuk uji coba ransum digunakan perlakuan menggunakan pengering drum dengan imbangan karbohidrat dan protein 1 : 1. Kandungan asam lemak ω-3 dan protein kasar dari mikrokapsul yang akan digunakan untuk aplikasi ke ayam petelur mikrokapsul yang diperoleh dengan perlakuan imbangan 1 : 1 dengan menggunakan pengering drum adalah masing- masing sebesar 31.15 dan 26.22. Hasil lengkap kandungan zat makanan dan komposisi asam lemak dari mikrokapsul tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Kandungan asam lemak ω-3 dan protein kasar dari mikrokapsul minyak ikan hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan mikrokapsul minyak ikan komersial yang diproduksi oleh Partonk Anonim 2002. Mikrokapsul komersial tersebut dibuat dengan menggunakan pengering semprot dengan bahan penyalut berupa kasein dan dekstrin serta direkomendasikan untuk digunakan dalam ransum ikan, udang maupun unggas. Kandungan asam lemak ω-3 dan zat makanan antara minyak ikan komersial dibandingkan dengan mikrokapsul minyak ikan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Kandungan asam lemak ω-3 dan zat makanan antara minyak ikan komersial dibandingkan dengan mikrokapsul minyak ikan hasil penelitian Kandungan Mikrokapsul minyak ikan komersial 1 Mikrokapsul minyak ikan hasil penelitian 2 Asam lemak ω-3 EPA DHA 13.50 2.50 11.00 29.21 17.02 12.19 Protein 9.00 26.22 Lemak 44.00 20.11 Serat kasar 10.00 4.10 Abu 9.00 7.56 Kadar air 10.00 11.15 Bilangan peroksida 10 - 20 meqkg 9.87 meqkg Keterangan : 1 Anonim 2002 2 mikrokapsul minyak ikan dengan menggunakan pengering drum Uji Stabilitas Oksidatif Mikroenkapsulasi Keefektifan proses mikroenkapsulasi ditandai dengan kemampuan bahan penyalut melindungi bahan inti dari pengaruh lingkungan yang tidak diinginkan seperti cahaya, udara oksigen dan lain-lain. Salah satu parameter yang dapat digunakan adalah pengujian stabilitas oksidatif mikrokapsul. Pada percobaan ini dilakukan pengujian stabilitas oksidatif mikrokapsul dan dibandingkan dengan kontrol minyak yang tidak dimikroenkapsulasi. Bilangan Peroksida Bilangan peroksida dapat digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan pada minyak. Semakin tinggi bilangan peroksida semakin tinggi tingkat kerusakan. Perubahan bilangan peroksida mikrokapsul dan kontrol selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11. 8.9 12.98 13.75 12.02 11.29 9.01 12.31 12.68 9.64 6.92 9.87 11.34 13.22 10.09 8 4 6 8 10 12 14 1 2 3 4 Lama penyimpanan minggu B il a n g a n p er o k si d a M eq k g Minyak M12 SD M11 DD Gambar 11 Perubahan bilangan peroksida selama penyimpanan. Pada Gambar 11 terlihat sebelum penyimpanan bilangan peroksida dari mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering drum M11 DD lebih tinggi dibandingkan dengan minyak tanpa dimikroenkapsulasi kontrol dan dengan mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering semprot M12 SD. Hal ini disebabkan adanya kontak langsung antara bahan yang dikeringkan dan permukaan drum dari pengering drum sehingga memicu terjadinya oksidasi. Selanjutnya selama dua minggu penyimpanan bilangan peroksida pada kedua mikrokapsul lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, hal ini dimungkinkan karena adanya dinding mikrokapsul yang mampu melindungi minyak terhadap kerusakan oksidatif akibat pengaruh lingkungan. Terjadinya oksidasi pada minyak ikan menghasilkan produk primer dalam bentuk peroksida. Peroksida bersifat sangat labil dan mudah pecah sehingga menghasilkan aldehid dan keton. Produk tersebut juga labil sehingga terdekomposisi menghasilkan turunan-turunan berikutnya dan akhirnya mem- bentuk polimer-polimer. Pada masa awal penyimpanan minggu ke-0 sampai minggu ke-1 bilangan peroksida yang dihasilkan baik pada mikrokapsul maupun kontrol terlihat meningkat Gambar 11, hal ini disebabkan karena oksigen yang menyerang minyak untuk teroksidasi lebih banyak dibanding oksigen yang diperlukan untuk memecah hidroperoksida menjadi senyawa skunder. Selan- jutnya pada minggu ke-1 dan ke-2 terjadi stagnasi, oksigen yang memecah minyak sama banyak jumlahnya dengan oksigen yang digunakan untuk memecah peroksida. Pada penyimpanan setelah dua minggu bilangan peroksida mikrokapsul baik dengan pengering semprot maupun dengan pengering drum serta kontrol mengalami penurunan. Penurunan ini dapat terjadi jika selama proses oksidasi bilangan peroksida mengalami puncaknya Nawar 1986. Penurunan bilangan peroksida ini disebabkan oksigen yang digunakan untuk memecah minyak berkurang dibandingkan dengan oksigen yang bekerja memecah produk peroksida sehingga menyebabkan dekomposisi peroksida membentuk senyawa aldehid, alkohol dan asam. Bilangan peroksida pada mikrokapsul selama penyimpanan dari minggu pertama sampai minggu keempat selalu lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa mikrokapsul memberikan perlindungan yang efektif terhadap kerusakan oksidatif minyak serta membuktikan bahwa dengan proses mikroenkapsulasi dapat mengurangi tingkat kerusakan pada minyak dengan cara menekan oksidasi. Menurut Kolanowski et al. 2004 proses mikroenkapsulasi pada minyak ikan dapat menekan atau memperlambat terjadinya oksidasi. Bilangan peroksida dapat mempengaruhi daya simpan. Bilangan peroksida rendah maka daya simpan akan lama. Bilangan peroksida pada mikrokapsul dengan pengering semprot dan pengering drum sampai minggu ke 4 penyimpanan masing-masing sebesar 6.9 dan 8 meqkg. Jika penyimpanan dilanjutkan perubahan bilangan peroksidasi pada kedua mikrokapsul tidak akan melebihi 8.2 meqkg dalam waktu yang cepat. Berdasarkan hal tersebut daya simpan mikrokapsul ini dapat bertahan lebih lama karena menurut Andersen 1995 mikrokapsul minyak ikan dengan bilangan peroksida tidak lebih dari 8.2 meqkg dapat disimpan sampai 2 tahun. Mikrokapsul yang dihasilkan baik dengan pengering drum maupun dengan pengering semprot dapat diaplikasikan ke dalam ransum ternak. Hal ini disebab- kan oleh bilangan peroksida yang dihasilkan sampai dengan 4 minggu penyim- panan masih dibawah 20 meqkg. Minyak ikan dalam bentuk bubuk yang dipro- duksi oleh Parktonk untuk aplikasi ke ternak unggas mengandung bilangan peroksida 10 – 20 meqkg Anonim 2002. Berdasarkan hal tersebut mikrokapsul yang dihasilkan dalam percobaan ini dari segi bilangan peroksida lebih baik daripada yang diproduksi parktonk. Bilangan TBA Pengukuran bilangan TBA adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan kandungan produk sekunder hasil oksidasi minyak. Uji TBA merupakan metode sederhana dan cepat untuk menentukan tingkat degradasi lemak dari aldehid yang tidak dapat dimetabolisme seperti malonaldehid. Penentuan bilangan TBA ini berdasarkan pengukuran konsentrasi malonaldehid yang terbentuk dalam sampel minyak selama proses oksidasi Budijanto et al. 2001. Perubahan bilangan TBA mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering semprot M12 SD dan dengan pengering drum M11 DD serta kontrol selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12. 1.26 1.83 2.34 2.25 2.19 1.35 0.76 0.71 0.46 0.44 1.31 0.61 0.86 0.96 0.77 0.5 1 1.5 2 2.5 3 1 2 3 4 Lama penyimpanan minggu B il a n g a n T B A u m o l k g Minyak M12 SD M11 DD Gambar 12 Perubahan bilangan TBA selama penyimpanan. Gambar 12 terlihat selama minggu pertama terjadi penurunan bilangan TBA pada mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering drum maupun pengering semprot, kemudian terjadi perubahan yang lambat sampai minggu keempat. Bilangan TBA pada kontrol meningkat dengan cepat sampai minggu kedua, kemudian terjadi penurunan yang lambat sampai minggu ke empat. Penurunan ini dimungkinkan karena aldehid yang terbentuk bersifat tidak stabil dan dengan adanya oksigen aktif dalam sistem autoksidasi menyebabkan aldehid terdekomposisi menjadi asam karboksilat sehingga aldehid tidak pernah terdekomposisi dalam jumlah besar. Senyawa aldehid merupakan komponen utama hasil dekomposisi peroksida. Jumlah aldehid pada minyak atau lemak dapat diukur dengan uji paraanisidin dan uji TBA Budijanto et al. 2001. Dalam percobaan ini uji paraanisidin tidak dilakukan karena penerapan uji tersebut lebih cocok untuk menguji minyak, sedangkan tujuan dari uji yang dilakukan dalam penelitian ini untuk membandingkan minyak ikan yang dimikroenkapsulasi dan tanpa dimikroenkapsulasi. Bilangan TBA pada mikrokapsul selalu lebih rendah dibandingkan dengan bilangan TBA pada kontrol selama empat minggu penyimpanan. Fenomena ini menunjukkan bahwa produk sekunder hasil autoksidasi yang terbentuk pada ikatan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dimungkinkan karena adanya dinding mikrokapsul yang menghalangi minyak kontak dengan lingkungan sekitarnya. Rendahnya bilangan TBA menunjukkan berkurangnya aroma amis pada mikrokapsul minyak ikan dibandingkan dengan minyak ikan tanpa dimikroen- kapsulasi. Bilangan TBA tinggi menghasilkan banyak produk sekunder terbentuk yang menyebabkan berkembangnya aroma amis selama oksidasi lemak berlangsung. Menurut Jimenez et al. 2004 oksidasi lemak menyebabkan pembentukan sejumlah besar produk oksidasi sekunder, beberapa produk oksidasi sekunder menghasilkan aroma amis yang berkembang selama oksidasi lemak Bilangan Total Oksidasi Bilangan total oksidasi selama penyimpanan baik pada mikrokapsul maupun pada kontrol terjadi peningkatan pada minggu pertama dan kedua, selanjutnya terjadi penurunan pada minggu ketiga dan keempat Gambar 13. Peningkatan bilangan total oksidasi pada minggu pertama dan kedua penyimpanan lebih cepat pada kontrol dibandingkan dengan mikrokapsul. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan oksidasi yang terjadi pada kontrol jauh lebih cepat karena tidak adanya dinding pelindung pada kontrol seperti yang dimiliki oleh mikrokapsul. Perubahan nilai bilangan total oksidasi selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 13. 19.06 27.78 29.85 26.29 24.76 19.37 25.38 26.08 19.74 14.29 21.05 23.29 27.31 21.14 16.77 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 Lama penyimpanan minggu B il a n g a n to ta l o k s id a s i Minyak M12 SD M11 DD Gambar 13 Perubahan total oksidasi selama penyimpanan. Bilangan total oksidasi dipengaruhi oleh bilangan peroksida dan bilangan TBA, nilainya diperoleh dengan menjumlahkan dua kali bilangan peroksida dengan bilangan TBA. Bilangan total oksidasi pada mikrokapsul maupun pada kontrol selama minggu ketiga dan keempat penyimpanan terjadi penurunan. Hal ini disebabkan oleh bilangan peroksida pada minggu ketiga dan keempat juga terjadi penurunan Gambar 11 sementara kandungan produk sekunder hasil oksidasi yang diukur dengan bilangan TBA belum menunjukkan peningkatan Gambar 12. Total oksidasi dari minyak yang dilindungi selalu lebih tinggi dari kontrol dan hal ini dapat disimpulkan mikrokapsul dapat melindungi minyak ikan dari oksidasi. Pada minggu ke-4 bilangan total oksidasi lebih rendah dibandingkan dengan pada awal percobaan. Hal ini bukan berarti pada minggu ke-4 kualitas mikrokapsul lebih bagus akan tetapi tidak digambarkan total oksidasi yang terjadi. Jika ingin mengambarkan secara lebih nyata tingkat oksidasi maka harus dianalisis dengan senyawa polar karena semua komponen yang diuji bersifat polar. Dalam percobaan ini tidak melihat hal tersebut tetapi membandingkan minyak yang dimikroenkapsulasi dengan minyak yang tidak dimikroenkapsulasi. Total oksidasi dari minyak yang dilindungi selalu lebih tinggi dari kontrol dan hal ini dapat disimpulkan mikrokapsul dapat melindungi minyak ikan dari oksidasi. Terlindunginya minyak ikan dari oksidasi disebabkan juga oleh adanya imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut sehingga mikrokapsul yang dihasilkan mengandung tinggi kadar minyak terkapsul. Menurut Ono dan Aoyama 1979 imbangan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut dapat memberikan perlindungan yang baik terhadap mikrokapsul. Selanjutnya menurut Matsuno dan Imagi 1991 mikrokapsul dengan kadar minyak terkapsul tinggi aman dari oksidasi dan dapat meningkatkan daya simpan. Morfologi mikrokapsul Gambaran morfologi permukaan luar dari mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering drum dengan menggunakan SEM scanning electron microscope dapat dilihat pada Gambar 14. Bahan penyalut yang digunakan untuk menyaluti minyak ikan terlihat terpisah-pisah dan globula minyak terlihat menempel pada permukaan bahan penyalut yang diduga masing-masing berasal dari dedak gandum Gambar A dan tepung daging dan tulang Gambar B. Bahan penyalut yang digunakan terlihat dalam bentuk utuh dan droplet minyak ikan yang menempel pada bahan penyalut dalam jumlah kecil Gambar A dan B. Pada gambar C menunjukkan minyak ikan yang menepel pada bahan penyalut terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan Gambar A. Penyatuan globula minyak tidak berjalan sempurna Gambar D, hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu kontak bahan lebih lama dengan panas dari drum sehingga bahan penyalut kurang menyaluti minyak ikan. Gambaran morfologi permukaan luar dari mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering semprot dapat dilihat pada Gambar 15. Mikrokapsul yang dihasilkan dengan pengering semprot sudah mulai terlihat adanya globula-globula minyak walaupun belum terbentuk sempurna Gambar C dan D. Minyak yang menempel pada permukaan bahan penyalut yang dapat diduga dedak gandum kelihatan lebih banyak jika dibandingkan dengan pengering drum Gambar A dan B. Bahan penyalut yang digunakan tidak terlihat dalam bentuk utuh seperti pada pengering drum dan droplet minyak ikan yang menempel pada bahan penyalut lebih banyak. Penyatuan globula minyak mulai terjadi dan lebih baik dibandingkan dengan pengering drum Gambar D. Keterangan : M: minyak ikan, K: dedak gandum, P: tepung daging dan tulang, A = minyak ikan yang menempel pada dedak gandum, B = minyak ikan yang menempel pada tepung daging dan tulang, C = minyak ikan yang menempel pada bahan penyalut terlihat lebih jelas, D = mikrokapsul yang terbentuk tidak sempurna Gambar 14 Morfologi permukaan luar dari mikrokapsul yang dikeringkan dengan pengering drum dengan menggunakan SEM scanning electron microscope pada perbesaran 750 -1500 x. Hasil gambaran morfologi mikrokapsul dalam percobaan ini dapat dibandingkan dengan hasil SEM pada mikrokapsul pada percobaan yang dilakukan oleh Pedroza-Islas 1999 dan McNamee 1998. Pedroza-Islas 1999 mendapatkan hasil SEM pada mikrokapsul pakan udang dengan bahan penyalut mengunakan gum arab dan mesquite gum seperti pada Gambar 16A dan McNamee 1998 mendapatkan mikrokapsul minyak kedele dengan menggunakan bahan penyalut gum seperti terlihat pada Gambar 16B. Gambar 16A menunjukkan bahwa mikrokapsul yang dihasilkan berbentuk bulat dan pada bahagian tengah ada minyak yang melekat pada permukaan mikrokapsul. Sedangkan Gambar 16B menunjukkan globula minyak mulai menyatu dan M M K M I M P A B C D gambar yang terbentuk menyerupai gambar mikrokapsul dengan pengering semprot Gambar 15C dan D. Keterangan : M: minyak ikan, K: dedak gandum, A dan B = minyak ikan yang menempel pada bahan penyalut, C dan D = mikrokapsul mulai menggumpul Gambar 15 Morfologi permukaan luar dari mikrokapsul yang dikeringkan dengan pengering semprot dengan menggunakan SEM scanning electron microscope pada perbesaran 750 - 2000 x. Keterangan : M: minyak ikan Gambar 16 Morfologi permukaan luar dari mikrokapsul pakan udang A dan mikrokapsul minyak kedele B dengan menggunakan SEM scanning electron microscope pada perbesaran 1000 - 2000 x. M M M K K A B A B C D M Penelitian Tahap II Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian tahap II dibagi menjadi empat bagian utama yang meliputi pengaruh perlakuan terhadap: performa produksi, kualitas telur, komposisi asam lemak kuning telur dan kandungan kolesterol serum dan kuning telur. Pengaruh Perlakuan Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Performa ayam petelur pada tiap perlakuan sebelum ransum penelitian diberikan berbeda, hal ini disebabkan oleh ayam tersebut telah mendapatkan perlakuan ransum sebelumnya. Guna menghilangkan pengaruh perlakuan ransum tersebut dilakukan flushing pada ayam selama 3 minggu. Performa ayam petelur selama flushing menjadi penting, untuk itu perlu dianalisis secara statistika selisih data performa ayam petelur selama pemberian ransum perlakuan dengan data performa ayam petelur selama flushing. Hasil analisis ragam performa ayam petelur antara perlakuan ransum dan flushing dapat dilihat pada Lampiran 17, sedangkan data rataan performa ayam petelur antara perlakuan ransum dan flushing dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rataan performa ayam petelur pada kondisi flushing dan kondisi penelitian P e r l a k u a n Performa ayam petelur Kon disi R0 R1 R2 R3 R4 104.34 104.16 104.19 102.10 103.22 104.64 109.88 112.20 104.93 108.20 Konsumsi ransum gekor 0.30 5.72 8.01 2.83 4.99 89.41 89.14 91.37 89.65 93.71 89.97 91.13 89.95 88.73 90.97 Produksi telur hen day 0.56 1.99 -1.42 -1.95 -2.74 56.70 58.38 57.99 56.93 57.88 57.51 59.31 59.64 58.26 58.89 Berat telur gbutir 0.81 0.94 1.65 1.33 1.01 50.70 52.03 52.99 51.04 54.23 51.74 54.05 53.65 51.70 53.57 Massa telur ghari 1.05 2.01 0.66 0.66 -0.67 2.06 2.00 1.97 2.00 1.90 2.02 2.03 2.09 2.03 2.02 Konversi ransum -0.04 0.03 0.13 0.03 0.12 Keterangan : kondisi saat flushing, kondisi saat penelitianpemberian ransum perlakuan selisih saat flushing dengan saat penelitian Analisis ragam menunjukkan tidak berbeda nyata. Pada Tabel 17 terlihat performa ayam petelur untuk rataan produksi telur, berat telur, massa telur dan konversi ransum tidak berbeda selama pemberian ransum perlakuan dan flushing, sedangkan rataan konsumsi ransum terjadi perbedaan sebesar 4 gekor setelah ransum perlakuan diberikan. Walaupun rataan konsumsi ransum secara angka terjadi perbedaan tetapi hasil analisis ragam selisih konsumsi ransum selama pemberian ransum perlakuan dengan masa flushing tidak nyata berbeda. Data mingguan performa ayam selama masa flushing dan adaptasi 3 dan 2 minggu serta masa penelitian 8 minggu dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis ragam pada data performa ayam petelur untuk produksi telur, berat telur, massa telur dan konversi ransum juga tidak nyata berbeda Lampiran 15 - 19. Berdasarkan hasil diatas adanya perbedaan performa ayam petelur pada masa flushing tidak mempengaruhi performa ayam petelur selama ransum perlakuan diberikan. Hasil pengamatan rataan performa ayam petelur setelah ransum perlakuan berupa mikrokapsul minyak ikan diberikan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Rataan performa ayam petelur umur 52 –59 minggu dengan perlakuan pemberian mikrokapsul minyak ikan MMI 1 Performa ayam petelur Perlakuan Konsumsi ransum gekor Produksi telur hen day Berat telur gbutir Massa telur ghari Konversi ransum R0 104.64 ± 5.32 89.97 ± 4.82 57.51 ± 1.65 51.74 ± 3.80 2.02 ± 0.05 R1 109.88 ± 4.29 91.13 ± 3.36 59.31 ± 1.61 54.05 ± 1.23 2.03 ± 0.07 R2 112.20 ± 3.66 89.95 ± 2.56

59.64 ± 1.60 53.65 ± 2.95