Keragaman Genetik Kambing Lokal Berdasarkan Genom Mitokondria

1

PENDAHULUAN
Kambing, Capra hircus, merupakan
anggota kelas Mamalia, ordo Artiodaktila, sub
ordo Ruminansia dan famili Bovidae
(Devendra & McLeroy 1982). Kambing
banyak digunakan sebagai hewan ternak
penghasil daging, susu, dan serat (Ensminger
2002). Di Indonesia, memelihara ternak
kambing masih tergolong sebagai usaha
sampingan (small entrepreneurship) oleh
petani penggarap lahan, yang biasanya
memelihara kambing sebanyak 2-10 ekor
(Devandra & Burns 1994).
Kambing sebagai hewan ternak pertama
kali dimasukkan ke Jawa pada tahun 1700-an
oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yang
kemudian menyebar ke berbagai wilayah di
Indonesia. Di setiap wilayah, kemudian ternak
kambing berkembang membentuk kambingkambing lokal Indonesia yang dicirikan

dengan karakter teradaptasi ke kondisi
kelokalannya. Karakter lokal yang umum
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia
adalah menurunnya laju pertumbuhan dan
ukuran tubuh, bersifat prolifik (kemampuan
beranak lebih dari satu ekor), dan lebih tahan
terhadap parasit dan iklim tropis. Sebagai
hewan ternak, salah satu campur tangan
peternak yang menonjol adalah membantu
proses perkawinan untuk memperoleh ternakternak yang lebih baik. Biasanya peternak
menyukai ternak jantan unggul untuk
dikawinkan dengan induk betina yang
dipunyainya secara turun-menurun di suatu
wilayah. Perkawinan berbantuan manusia
tersebut akan meningkatkan keragaman ternak
kambing, baik antar wilayah maupun di dalam
suatu wilayah. Untuk mengungkapkan hal
tersebut, dilakukan analisis keragaman ternak
kambing yang ada di beberapa wilayah di
Indonesia berdasarkan genom mitokondria.

Genom mitokondria (mtDNA) vertebrata
merupakan molekul DNA yang berbentuk
sirkular, dengan ukuran 15-20 ribu pasang
basa. Genom mitokondria ini berisi 22 gen
yang menyandikan tRNA, 2 gen menyandikan
rRNA, 13 gen menyandikan protein, dan
sebuah ruas yang disebut Daerah Pengendali
(control region atau d-loop) sebagai tempat
dimulainya replikasi dan transkripsi (Avise
1994). Variasi panjang mtDNA pada
vertebrata lebih disebabkan oleh duplikasi gen
daripada adanya tambahan gen. Genom
mitokondria memperlihatkan pewarisan sifat
genetik melalui garis maternal, artinya
mtDNA hanya diwariskan dari induk betina.
Selain itu, mtDNA tidak mengalami

rekombinasi
dan
banyak

dilaporkan
mempunyai laju mutasi yang cepat (MacHugh
& Bradley 2001). Atas dasar ini, mtDNA
menjadi populer sebagai penanda molekuler
keragaman genetik pada berbagai hewan.
Keragaman genetik mtDNA dapat
diketahui dengan cara mengamplifikasi
mtDNA pada sekuen tertentu secara in vitro.
Metode ini dikenal sebagai Polymerase Chain
Reaction (PCR). Keragaman mtDNA dapat
diketahui dengan memotong hasil amplifikasi
PCR menggunakan enzim restriksi, yang
dikenal dengan metode Polymerase Chain
Reaction-Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Variasi panjang
hasil
pemotongan
ini

yang
akan
memperlihatkan keragaman mtDNA akibat
perbedaan-perbedaan situs enzim restriksi
yang digunakan. Selain itu, keragaman
mtDNA dapat diketahui dengan metode
sekuensing, suatu metode untuk mengetahui
runutan nukleotida, yang dilanjutkan dengan
analisis penyejajaran (alignment) antar
sampel.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman kambing lokal berdasarkan Daerah
Pengendali mtDNA.

METODE
Bahan
Sampel darah kambing, berupa buffy coat,
yang digunakan pada penelitian ini merupakan
koleksi beku Dr. Bess Tiesnamurti,
Puslitbangnak Bogor. Sampel tersebut berasal

dari Sumatera Utara (22 sampel), Muara-kab.
Tapanuli Utara (30), Samosir (31), MaricaSulawesi Selatan (30), dan Gembrong-Bali
(13).
Metode
Ekstraksi dan isolasi DNA. Ekstraksi
DNA dilakukan menggunakan kit ekstraksi
DNA (Real Genomics™ Genomic DNA
Extraction Kit – Real Biotech Corporation),
dengan prosedur sesuai dengan petunjuk
produsen untuk buffy coat.
Amplifikasi Daerah Pengendali. Ruas
Daerah Pengendali pada DNA mitokondria
diamplifikasi
menggunakan
mesin
Thermocycler (TaKaRa PCR Thermal Cycler
MP4 – TaKaRa Biomedicals). Amplifikasi
ruas ini menggunakan pasangan primer AF22
(5’-GCG TAC GCA ATC TTA CGA TCA3’) dan AF24 (3’-TCA TCT AGG CAT TTT
CAG TG-5’), yang meliputi ruas Daerah

Pengendali mulai dari bagian akhir gen Cyt b

1

PENDAHULUAN
Kambing, Capra hircus, merupakan
anggota kelas Mamalia, ordo Artiodaktila, sub
ordo Ruminansia dan famili Bovidae
(Devendra & McLeroy 1982). Kambing
banyak digunakan sebagai hewan ternak
penghasil daging, susu, dan serat (Ensminger
2002). Di Indonesia, memelihara ternak
kambing masih tergolong sebagai usaha
sampingan (small entrepreneurship) oleh
petani penggarap lahan, yang biasanya
memelihara kambing sebanyak 2-10 ekor
(Devandra & Burns 1994).
Kambing sebagai hewan ternak pertama
kali dimasukkan ke Jawa pada tahun 1700-an
oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yang

kemudian menyebar ke berbagai wilayah di
Indonesia. Di setiap wilayah, kemudian ternak
kambing berkembang membentuk kambingkambing lokal Indonesia yang dicirikan
dengan karakter teradaptasi ke kondisi
kelokalannya. Karakter lokal yang umum
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia
adalah menurunnya laju pertumbuhan dan
ukuran tubuh, bersifat prolifik (kemampuan
beranak lebih dari satu ekor), dan lebih tahan
terhadap parasit dan iklim tropis. Sebagai
hewan ternak, salah satu campur tangan
peternak yang menonjol adalah membantu
proses perkawinan untuk memperoleh ternakternak yang lebih baik. Biasanya peternak
menyukai ternak jantan unggul untuk
dikawinkan dengan induk betina yang
dipunyainya secara turun-menurun di suatu
wilayah. Perkawinan berbantuan manusia
tersebut akan meningkatkan keragaman ternak
kambing, baik antar wilayah maupun di dalam
suatu wilayah. Untuk mengungkapkan hal

tersebut, dilakukan analisis keragaman ternak
kambing yang ada di beberapa wilayah di
Indonesia berdasarkan genom mitokondria.
Genom mitokondria (mtDNA) vertebrata
merupakan molekul DNA yang berbentuk
sirkular, dengan ukuran 15-20 ribu pasang
basa. Genom mitokondria ini berisi 22 gen
yang menyandikan tRNA, 2 gen menyandikan
rRNA, 13 gen menyandikan protein, dan
sebuah ruas yang disebut Daerah Pengendali
(control region atau d-loop) sebagai tempat
dimulainya replikasi dan transkripsi (Avise
1994). Variasi panjang mtDNA pada
vertebrata lebih disebabkan oleh duplikasi gen
daripada adanya tambahan gen. Genom
mitokondria memperlihatkan pewarisan sifat
genetik melalui garis maternal, artinya
mtDNA hanya diwariskan dari induk betina.
Selain itu, mtDNA tidak mengalami


rekombinasi
dan
banyak
dilaporkan
mempunyai laju mutasi yang cepat (MacHugh
& Bradley 2001). Atas dasar ini, mtDNA
menjadi populer sebagai penanda molekuler
keragaman genetik pada berbagai hewan.
Keragaman genetik mtDNA dapat
diketahui dengan cara mengamplifikasi
mtDNA pada sekuen tertentu secara in vitro.
Metode ini dikenal sebagai Polymerase Chain
Reaction (PCR). Keragaman mtDNA dapat
diketahui dengan memotong hasil amplifikasi
PCR menggunakan enzim restriksi, yang
dikenal dengan metode Polymerase Chain
Reaction-Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Variasi panjang

hasil
pemotongan
ini
yang
akan
memperlihatkan keragaman mtDNA akibat
perbedaan-perbedaan situs enzim restriksi
yang digunakan. Selain itu, keragaman
mtDNA dapat diketahui dengan metode
sekuensing, suatu metode untuk mengetahui
runutan nukleotida, yang dilanjutkan dengan
analisis penyejajaran (alignment) antar
sampel.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman kambing lokal berdasarkan Daerah
Pengendali mtDNA.

METODE
Bahan
Sampel darah kambing, berupa buffy coat,

yang digunakan pada penelitian ini merupakan
koleksi beku Dr. Bess Tiesnamurti,
Puslitbangnak Bogor. Sampel tersebut berasal
dari Sumatera Utara (22 sampel), Muara-kab.
Tapanuli Utara (30), Samosir (31), MaricaSulawesi Selatan (30), dan Gembrong-Bali
(13).
Metode
Ekstraksi dan isolasi DNA. Ekstraksi
DNA dilakukan menggunakan kit ekstraksi
DNA (Real Genomics™ Genomic DNA
Extraction Kit – Real Biotech Corporation),
dengan prosedur sesuai dengan petunjuk
produsen untuk buffy coat.
Amplifikasi Daerah Pengendali. Ruas
Daerah Pengendali pada DNA mitokondria
diamplifikasi
menggunakan
mesin
Thermocycler (TaKaRa PCR Thermal Cycler
MP4 – TaKaRa Biomedicals). Amplifikasi
ruas ini menggunakan pasangan primer AF22
(5’-GCG TAC GCA ATC TTA CGA TCA3’) dan AF24 (3’-TCA TCT AGG CAT TTT
CAG TG-5’), yang meliputi ruas Daerah
Pengendali mulai dari bagian akhir gen Cyt b

2

sampai ke bagian awal gen tRNA Phe.
Komposisi reaksi amplifikasi bervolume 25 µl
adalah sampel DNA sebagai cetakan 2 µl (10100 ng), 2,5nM Primer 2 µl; Taq polimerase
(New England Biolabs) 1 unit beserta
bufernya, 2,5mM MgCl2 2 µl, 2mM dNTP 4
µl, dan volume diatur dengan air steril sampai
25 µl. Proses amplifikasi dilakukan pada
kondisi suhu pra-denaturasi 94oC selama 5
menit, dilanjutkan 30 siklus dengan tahap
denaturasi 94oC selama 1 menit, penempelan
primer (annealing) pada suhu 55oC selama 1
menit, dan síntesis DNA ruas target pada suhu
72oC selama 2 menit. Proses diakhiri dengan
síntesis DNA akhir pada suhu 72oC selama 10
menit dan penyimpanan pada suhu 10oC
sampai mesin dimatikan. Kualitas hasil
amplifikasi dipastikan dengan elektroforesis
gel poliakrilamid 6 %, diikuti dengan
pewarnaan perak (Farajallah et al. 1998).
Pemotongan dengan enzim restriksi.
Metode RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorphism) digunakan untuk mengetahui
keragaman
ruas
target
berdasarkan
polimorfisme situs restriksi. Enzim yang
digunakan dalam penelitian ini adalah AluI
(AG↓CT), DdeI (C↓TNAG), MboI (↓GATC),
BamHI (G↓GATCC), dan HaeIII (GG↓CC).
Kondisi reaksi pemotongan dari setiap enzim
restriksi mengikuti petunjuk teknis produsen,
yaitu menggunakan bufer yang menyertai
setiap enzim restriksi dan menginkubasinya
pada suhu 37oC selama semalam. Hasil
pemotongan dipisah-pisahkan dengan gel
poliakrilamid 6 % dalam bufer 1xTBE (Tris
0,5 M; Asam Borat 0,65 M; EDTA 0,02 M)
pada tegangan 180mV selama 80 menit. Pola
Hasil pemotongan oleh enzim restriksi
kemudian divisualisasikan dengan pawarnaan
perak. Pola pita hasil pemotongan tiap enzim
restriksi digunakan untuk menentukan
haplotipe mtDNA atau disebut sebagai
genotiping. Genotiping dilakukan dengan cara
menentukan ukuran panjang potongan DNA
berdasarkan jarak migrasi pada gel
poliakrilamid yang diacukan pada DNA
ladder 100 base pair (Biorad).
Sekuensing Produk PCR ruas target.
Sekuensing dilakukan terhadap dua sampel
yang berasal dari Bali (N30) dan Sulawesi
Selatan (N123). Sekuensing dengan metode
big dye determinator dilakukan menggunakan
ABI Prism 3700 (lembaga biologi molekuler
PT. CHAROEN POKPHAND INDONESIA).
Analisis Nukleotida. Untuk mengetahui
keragaman kambing, hasil sekuen sampel
dialignment dengan beberapa sekuen Daerah
Pengendali mtDNA kambing yang tersedia di

GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan program ClustalX 1.83. Penghitungan
komposisi nukleotida, jarak genetik, dan
konstruksi pohon filogeni dilakukan menggunakan program MEGA versi 3 (Kumar et
al. 2004) berdasarkan data perbedaanperbedaan nukleotida.

HASIL
Amplifikasi Ruas Target
Amplifikasi
menggunakan
pasangan
primer AF22 dan AF24 memberikan hasil
sebesar 1700 pasang basa (pb) (Gambar 1).
Produk amplifikasi dengan menggunakan
pasangan primer ini meliputi bagian akhir gen
Cyt b sampai sebelum gen tRNA Phe. Ukuran
DNA hasil amplikasi tersebut sesuai dengan
perkiraan hasil amplifikasi dari desain primer.
Selain itu, kontrol primer internal AF23 (3’GTA GCT GGA CTT AAC TGC AT-5’)
yang didesain berada di bagian tengah ruas
AF22 dan AF24 memberikan konfirmasi yang
lebih pasti bahwa hasil amplifikasi yang
dimaksud adalah ruas DNA target. Dari
seluruh sampel (n=126), 102 sampel di
antaranya menunjukkan hasil DNA yang
teramplifikasi.

Gambar 1 Hasil amplifikasi Daerah Pengendali
mtDNA (Kolom M = marker 100 bp,
kolom 1-4 = pasangan primer AF22
dan AF24, dan kolom 5-7 = pasangan
primer AF22 dan AF23).

PCR-RFLP
Hasil pemotongan menggunakan lima
jenis enzim restriksi, yaitu DdeI (C↓TNAG),
MboI (↓GATC), HaeIII (GG↓CC), AluI
(AG↓CT), dan BamHI (G↓GATCC) terhadap
DNA hasil amplifikasi disajikan dalam
Tabel 1. Ada dua haplotipe kambing yang
ditemukan
berdasarkan
lima
enzim
restriksi. Haplotipe pertama mewakili
hampir semua sampel yang dianalisis, yaitu
98 ekor kambing yang menyebar di lima
wilayah. Sedangkan haplotipe kedua hanya
diwakili oleh empat ekor kambing yang
mewakili Wilayah Marica Sulawesi
Selatan. Dengan kata lain, sebagian besar
(96,08 % dari sampel yang digunakan) ternak
kambing di Indonesia bersifat monomorfik
berdasarkan situs-situs pemotongan yang
digunakan dalam penelitian ini.

2

sampai ke bagian awal gen tRNA Phe.
Komposisi reaksi amplifikasi bervolume 25 µl
adalah sampel DNA sebagai cetakan 2 µl (10100 ng), 2,5nM Primer 2 µl; Taq polimerase
(New England Biolabs) 1 unit beserta
bufernya, 2,5mM MgCl2 2 µl, 2mM dNTP 4
µl, dan volume diatur dengan air steril sampai
25 µl. Proses amplifikasi dilakukan pada
kondisi suhu pra-denaturasi 94oC selama 5
menit, dilanjutkan 30 siklus dengan tahap
denaturasi 94oC selama 1 menit, penempelan
primer (annealing) pada suhu 55oC selama 1
menit, dan síntesis DNA ruas target pada suhu
72oC selama 2 menit. Proses diakhiri dengan
síntesis DNA akhir pada suhu 72oC selama 10
menit dan penyimpanan pada suhu 10oC
sampai mesin dimatikan. Kualitas hasil
amplifikasi dipastikan dengan elektroforesis
gel poliakrilamid 6 %, diikuti dengan
pewarnaan perak (Farajallah et al. 1998).
Pemotongan dengan enzim restriksi.
Metode RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorphism) digunakan untuk mengetahui
keragaman
ruas
target
berdasarkan
polimorfisme situs restriksi. Enzim yang
digunakan dalam penelitian ini adalah AluI
(AG↓CT), DdeI (C↓TNAG), MboI (↓GATC),
BamHI (G↓GATCC), dan HaeIII (GG↓CC).
Kondisi reaksi pemotongan dari setiap enzim
restriksi mengikuti petunjuk teknis produsen,
yaitu menggunakan bufer yang menyertai
setiap enzim restriksi dan menginkubasinya
pada suhu 37oC selama semalam. Hasil
pemotongan dipisah-pisahkan dengan gel
poliakrilamid 6 % dalam bufer 1xTBE (Tris
0,5 M; Asam Borat 0,65 M; EDTA 0,02 M)
pada tegangan 180mV selama 80 menit. Pola
Hasil pemotongan oleh enzim restriksi
kemudian divisualisasikan dengan pawarnaan
perak. Pola pita hasil pemotongan tiap enzim
restriksi digunakan untuk menentukan
haplotipe mtDNA atau disebut sebagai
genotiping. Genotiping dilakukan dengan cara
menentukan ukuran panjang potongan DNA
berdasarkan jarak migrasi pada gel
poliakrilamid yang diacukan pada DNA
ladder 100 base pair (Biorad).
Sekuensing Produk PCR ruas target.
Sekuensing dilakukan terhadap dua sampel
yang berasal dari Bali (N30) dan Sulawesi
Selatan (N123). Sekuensing dengan metode
big dye determinator dilakukan menggunakan
ABI Prism 3700 (lembaga biologi molekuler
PT. CHAROEN POKPHAND INDONESIA).
Analisis Nukleotida. Untuk mengetahui
keragaman kambing, hasil sekuen sampel
dialignment dengan beberapa sekuen Daerah
Pengendali mtDNA kambing yang tersedia di

GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan program ClustalX 1.83. Penghitungan
komposisi nukleotida, jarak genetik, dan
konstruksi pohon filogeni dilakukan menggunakan program MEGA versi 3 (Kumar et
al. 2004) berdasarkan data perbedaanperbedaan nukleotida.

HASIL
Amplifikasi Ruas Target
Amplifikasi
menggunakan
pasangan
primer AF22 dan AF24 memberikan hasil
sebesar 1700 pasang basa (pb) (Gambar 1).
Produk amplifikasi dengan menggunakan
pasangan primer ini meliputi bagian akhir gen
Cyt b sampai sebelum gen tRNA Phe. Ukuran
DNA hasil amplikasi tersebut sesuai dengan
perkiraan hasil amplifikasi dari desain primer.
Selain itu, kontrol primer internal AF23 (3’GTA GCT GGA CTT AAC TGC AT-5’)
yang didesain berada di bagian tengah ruas
AF22 dan AF24 memberikan konfirmasi yang
lebih pasti bahwa hasil amplifikasi yang
dimaksud adalah ruas DNA target. Dari
seluruh sampel (n=126), 102 sampel di
antaranya menunjukkan hasil DNA yang
teramplifikasi.

Gambar 1 Hasil amplifikasi Daerah Pengendali
mtDNA (Kolom M = marker 100 bp,
kolom 1-4 = pasangan primer AF22
dan AF24, dan kolom 5-7 = pasangan
primer AF22 dan AF23).

PCR-RFLP
Hasil pemotongan menggunakan lima
jenis enzim restriksi, yaitu DdeI (C↓TNAG),
MboI (↓GATC), HaeIII (GG↓CC), AluI
(AG↓CT), dan BamHI (G↓GATCC) terhadap
DNA hasil amplifikasi disajikan dalam
Tabel 1. Ada dua haplotipe kambing yang
ditemukan
berdasarkan
lima
enzim
restriksi. Haplotipe pertama mewakili
hampir semua sampel yang dianalisis, yaitu
98 ekor kambing yang menyebar di lima
wilayah. Sedangkan haplotipe kedua hanya
diwakili oleh empat ekor kambing yang
mewakili Wilayah Marica Sulawesi
Selatan. Dengan kata lain, sebagian besar
(96,08 % dari sampel yang digunakan) ternak
kambing di Indonesia bersifat monomorfik
berdasarkan situs-situs pemotongan yang
digunakan dalam penelitian ini.

3

Tabel 1 Pola pemotongan enzim restriksi
Enzim Restriksi
MboI
DdeI
AluI
HaeIII
BamHI

Haplotipe
1
A
A
A
A
A

2
B
B
A
A
A

Keterangan: Huruf kapital menunjukkan pola pemotongan enzim restriksi. MboI (A:165+
650+140+175+570,B:(800+300+340+250),DdeI(A:750+320+300+250+80,B:700+600+160+
150),AluI (A:280+800+320+310), HaeIII (A: 710+500+60+150+350), BamHI (A:1100+600).

Sekuensing
Dua produk PCR disekuensing menggunakan primer AF22 untuk mengetahui urutan
nukleotidanya, yaitu kambing dari Sulawesi
Selatan (N123) dan dari Gembrong Bali
(N30). Dua sampel ini mewakili untuk tiap
haplotipe. N30 merupakan sampel yang termasuk ke dalam haplotipe 1 dan N123 termasuk ke dalam haplotipe 2. Hasil sekuensing
satu arah yang diperoleh adalah sepanjang 672
nuklotida (nt) untuk sampel N30 dan 647 nt
untuk sampel N123. Alignment dua sampel
menggunakan program ClustalX 1.83 dan
telah diedit dengan program MEGA3 menghasilkan 647 nt (gambar 2).
Berdasarkan hasil alignment dengan
beberapa individu di GenBank dapat diketahui
bahwa hasil sekuensing kedua sampel tersebut
meliputi sekuen dari gen Cyt b, tRNA Thr,
tRNA Pro, dan Daerah Pengendali. Gen Cyt b
berada pada lokasi basa ke 1 s.d. 251. Gen Cyt
b diakhiri oleh stop codon AGA, seperti pada
Babi Sus scrofa (Ursing & Arnason 1998) dan
Domba Ovis aries (Hiendleder et al. 1998).
Pada gen ini terdapat empat transisi basa,
yaitu pada posisi 44, 111, 153 berupa transisi
G-A dan pada posisi 189 berupa transisi C-T.
Gen tRNA Thr dan Pro, penyandi tRNA
Trionin dan Prolin, relatif lebih stabil. Gen
tRNA Thr dan tRNA Pro ini terdapat pada
posisi basa ke 252-389. Daerah Pengendali
terdapat pada posisi basa ke 390-648. Pada
Daerah Pengendali ini terdapat satu transisi GA pada basa ke 629.
Analisis Daerah Pengendali mtDNA
Proses alignment dilanjutkan dengan
membandingkan sekuen Daerah Pengendali
dua sampel (N30 & N123) dengan 62 individu
kambing yang ada di GenBank. Hasil
alignment menghasilkan sekuen sepanjang
259 nt. Dari 259 nt yang telah dialignment,
jumlah nukleotida yang sama untuk semua
sampel adalah 229 nt dan jumlah yang
berbeda 30 nt. Tiga puluh nukleotida yang

berbeda tersebut diantaranya yang bersifat
parsimony berjumlah 17 nt dan bersifat
singleton berjumlah 13 nt. Nukleotida yang
berbeda dikatakan bersifat parsimony apabila
pada satu situs nukleotida terdapat minimal
dua jenis nukleotida dan masing-masing jenis
terdapat pada minimal dua individu.
Nukleotida bersifat singleton apabila pada
satu situs nukleotida terdapat minimal dua
jenis dan salah satu jenis hanya terdapat pada
satu individu. Hasil penghitungan komposisi
nukleotida menunjukkan jumlah rata-rata
nukleotida T=21,2 %; C=31,7 %; A=41,2 %;
dan G=5,8 %. Persentase A+T (62,4 %) lebih
besar daripada C+G (37,5 %) lebih
memastikan bahwa DNA yang diamplifikasi
tersebut merupakan Daerah Pengendali
mtDNA. Sama halnya dengan hewan landak
(Erinaceus europaeus) yang juga memiliki
Daerah Pengendali yang kaya akan basa A+T
(Krettek et al. 1995). Valverde et al. tahun
1994 juga menemukan bahwa Crustacea
Artemia franciscana juga memiliki Daerah
Pengendali yang kaya A+T. Daerah
Pengendali pada mtDNA terdapat titik
dimulainya replikasi (origin of replication).
mtDNA mempunyai dua utas DNA yang
disebut utas berat (Heavy strand) dan utas
ringan (Light strand). Dua utas ini memiliki
titik replikasi yang berbeda, titik awal
replikasi untuk utas berat (OH, Origin of heavy
strand), berada pada Derah Pengendali. Selain
itu pada Daerah Pengendali juga terdapat
promoter bagi utas berat (HSP, heavy strand
promoter) dan utas ringan (LSP) (Valverde et
al. 1994). Suatu promoter mencakup titik awal
transkripsi. Suatu urutan DNA promoter
penting disebut sebagai boks TATA (TATA
box). Protein-protein yang disebut faktor
transkripsi dapat mengenali boks TATA ini,
sehingga RNA polimerase dapat juga
mengenali situs ini (Campbell et al. 2002).
Jadi banyaknya basa A+T pada Daerah
Pengendali disebabkan banyaknya situs awal
transkripsi dan replikasi.

DdeI
DdeI
#N30 GTGTCCTAAT CTTAGTACTT GTACCCTTCC TCCACACATC TAAGCAACGA AGCATAATAT TCCGCCCAAT CAGCCAATGC
#N123 .......... .......... .......... .......... ...A...... .......... .......... ..........

[ 80]
[ 80]

MboI
#N30 ATATTCTGAA TCCTGGTAGC AGATCTATTA ACACTCACAT GAATTGGAGG ACAGCCAGTC GAACATCCCT ACGTTATTAT
#N123 .......... .......... .......... G......... .......... .......... .......... ..A.......

[160]
[160]

AluI
#N30 TGGACAACTA GCATCTATCA TATATTTCCT CATCATTCTA GTAATAATAC CAGCAGCTAG CACCATTGAA AACAACCTTC
#N123 .......... .......... ........T. .......... .......... .......... .......... ..........

[240]
[240]

DdeI
#N30 TAAAATGAAG ACAAGTCTTT GTAGTACAAT CAATACACTG GTCTTGTAAA CCAGAAAAGG AGAATAGCCA ATCTCCCTAA
#N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........

[320]
[320]

AluI
#N30 GACTCAAGGA AGAAGCCATA GCCTCACTAT CAGCACCCAA AGCTGAAATT CTATTTAAAC TATTCCCTGA ACCACTATTA
#N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........

[400]
[400]

#N30 ACCACATCTA TTAATATACC CCCAAAAATA TTAAGAGCCT CCCCAGTATT AAATTTACTA AAAATTTCAA ATATACAACA
#N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........

[480]
[480]

AluI

DdeI

#N30 CAAACTTCCC ACTCCACAAG CTTACAGACA TGCCAACAAC CCACACGTAT AAAAACATCC CAATCCTAAC CCAACTTAGA
#N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........

[560]
[560]

#N30 TACCCACACA AACGCCAACA CCACACAATG TTACGCGTAT GCAAGTACAT TACACCGCTC GCCTACACGC AAATACATTT
#N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........A. ..........

[640]
[640]

#N30 ACTAACAT [648]
#N123 ........ [648]

4

Gambar 2 Hasil Alignment sampel dari Gembrong-Bali (N30) dan Marica-Sulawesi Selatan (N123).

5

Tabel 2 Rata-rata jarak genetik antar populasi kambing di berbagai negara
Negara
Negara
Indonesia
Laos
Pakistan
Cina
Unknown*
Indonesia
Laos
Pakistan
Cina
Unknown*
Jepang

[0.004]
0.006
0.017
0.018
0.019
0.015

[0.007]
[0.007]

0.020
0.020
0.021
0.017

0.012
0.010
0.006

[0.006]
[0.007]
[0.003]
0.010
0.007

[0.008]
[0.008]
[0.004]
[0.004]

Jepang
[0.007]
[0.008]
[0.002]
[0.002]
[0.003]

0.004

Keterangan : Jarak genetik : di bawah diagonal, Standar deviasi : di atas diagonal
*: sekuen Daerah Pengendali yang tersedia di GenBank tanpa keterangan asal sampel

Gambar 3 Hasil rekonstruksi pohon filogeni dengan metode Neighbor Joining (bootstrap 250x).
Kambing
Gembrong
dari
Bali
mengelompok dengan kambing dari Laos dan
Cina pada semua metode konstruksi pohon
filogeni, sedangkan kambing dari Sulawesi
Selatan berada pada posisi pangkal dari
kelompok tersebut (Gambar 3). Pada posisi
cabang yang lebih ke pangkal bisa ditemukan
dua individu kambing dari Cina dengan laju
mutasi yang sangat tinggi. Hal ini
mengindikasikan kambing-kambing tersebut
telah mengalami tekanan seleksi (oleh
manusia) yang sangat besar.

PEMBAHASAN
Hasil PCR-RFLP yang sebagian besar
monomorfik menunjukkan bahwa ternak
kambing yang ada di Indonesia kemungkinan
besar berasal dari induk betina yang sama.
Yaitu, kambing awal yang masuk ke
Indonesia sekitar tahun 1700-an. Selain itu,
bisa disebutkan bahwa pola migrasi kambing
di Indonesia berdasarkan kambing jantan.

Pada umumnya, untuk meningkatkan kualitas
ternak (upgrading), para petani mendatangkan
pejantan-pejantan unggul dari luar wilayahnya. Dalam proses itu, induk-induk betina
secara turun-temurun sejak awal masuknya
tetap berada di wilayahnya. Hasil pemotongan
enzim DdeI dan MboI menghasilkan pola
polimorfik hanya pada empat sampel yang
berasal dari Marica Sulawesi Selatan, hal ini
kemungkinan disebabkan adanya percampuran dengan kambing Ettawah yang masuk ke
Indonesia sekitar tahun 1900-an.
Hasil alignment (Gambar 2) juga dapat
menjelaskan
hasil
PCR-RFLP
yang
monomorfik. Berbagai situs enzim restriksi
memiliki sekuen yang sama. Situs restriksi
enzim MboI terdapat pada basa ke 102-105,
situs ini sama pada kedua sampel. Hal yang
sama terjadi pada situs restriksi enzim AluI,
pada basa ke 215-218, 361-364, dan 499-502.
Enzim DdeI mengenali situs restriksinya pada
basa ke 11-15, 317-321, dan 555-559. Akan
tetapi, terdapat pengecualian, satu situs enzim
DdeI pada basa ke 40-45 terdapat perbedaan

6

basa di antara kedua sampel. Sampel N123
terjadi
perubahan
basa
G-A
yang
menyebabkan enzim restriksi DdeI tidak
mengenali situs ini.
Daerah Pengendali digunakan sebagai
dasar analisis keragaman pada penelitian ini
karena banyak dilaporkan bahwa daerah ini
dapat digunakan sebagai marker dalam
analisis keragaman, seperti pada paus
(Hoelzel 1991), rusa (Randi et al. 1998),
domba (Wu et al. 2003), kerbau (Kierstein
2004), juga pada kambing (Luikart et al.
2001, Joshi et al. 2004, Meadows et al. 2005).
Daerah Pengendali berukuran ±1000 pb
sebagai tempat inisiasi replikasi dan
transkripsi genom mitokondria (Avise 1994).
Daerah ini merupakan bagian dari genom
mitokondria yang tidak menyandikan protein
(non-coding sequence), sehingga tingkat
mutasi pada daerah ini relatif tinggi.
Hasil
rekonstruksi
pohon
filogeni
menunjukkan bangsa kambing ternak lokal di
seluruh dunia berkerabat dekat, karena ratarata jarak genetik atau tingkat kesamaan gen
sebesar 98,8 % (Tabel 2). Hal ini berarti
kambing-kambing ternak lokal yang ada di
seluruh dunia berasal dari satu induk. Luikart
et al. (2001) menulis bahwa kambing memiliki struktur filogeografik yang lemah,
keragaman mtDNA pada kambing hanya
sekitar 10 % di beberapa benua di dunia lama,
sedangkan sapi mencapai lebih dari 50 %. Hal
ini memperlihatkan bahwa kambing dipindahpindahkan secara ekstensif dan sebagai bukti
bahwa kambing merupakan hewan yang
penting dalam sejarah migrasi dan perdagangan yang dilakukan oleh manusia. Kambing
termasuk salah satu hewan yang pertama kali
diternakkan, yaitu sekitar 10000 – 6000 tahun
sebelum masehi, banyak penulis menulis
bahwa tempat awal domestikasi kambing di
daerah pegunungan Asia Barat atau dikenal
dengan Fertile Crescent (Devandra &
McLeroy 1982; Devandra & Burns 1994;
Zeder & Hesse 2000; Ensminger 2002).
Daerah yang disebut sebagai Fertile Crescent
merupakan pusat domestikasi sebagian besar
hewan dan tanaman pertanian yang ada saat
ini (Zedder & Hesse 2000). Para ilmuan
percaya kambing Benzoar (Capra aegagrus)
merupakan progenitor bagi kambing-kambing
ternak lokal saat ini, dengan bukti banyak
ditemukan fosil di situs-situs arkeologi di
daerah Asia Barat (Pegler 1965; Devandra &
McLeroy 1982; Devandra & Burns 1994;
MacHugh & Bradley 2001; Ensminger 2002).
Luikart et al. (2001), yang mempelajari
kekerabatan kambing-kambing di dunia lama

berdasarkan keragaman Daerah Pengendali,
menulis bahwa Capra hircus memiliki
kekerabatan yang tinggi dengan Capra
aegagrus (rata-rata 61,3 substitusi).
Kambing ternak lokal (Capra hircus)
terdapat di seluruh dunia, khususnya di daerah
tropis (Ensminger 2002), karena kambing ini
menyukai daerah tropis yang kering
(Devendra & McLeroy 1982). Kambing di
Indonesia dikenal ada beberapa bangsa, antara
lain kambing Kacang, Gembrong, Costa, dan
Peranakan Ettawah. Sampel yang digunakan
pada penelitian ini termasuk ke dalam bangsa
kambing Gembrong, untuk sampel yang
berasal dari Bali, dan bangsa kambing
Kacang, seperti sampel yang berasal dari
Sumatera Utara, Tapanuli, Samosir, dan
Sulawesi Selatan. Walaupun tidak menutup
kemungkinan adanya percampuran dengan
kambing Ettawah yang berasal dari India.
Kambing ternak lokal di Indonesia,
sebagian besar digunakan sebagai ternak
penghasil daging atau susu. Kambing Kacang
memiliki ciri rambut pendek yang berwarna
putih, hitam, coklat, atau kombinasi ketiganya, hewan jantan dan betina memiliki
tanduk, telinga pendek dan tegak, pada jantan
selalu terdapat janggut, sedangkan betina
jarang ditemukan adanya janggut. Hewan
dewasa berukuran panjang 47-55 cm, tinggi
pundak 55,3-55,7 cm, mempunyai berat 20 kg
(betina) dan 25 kg (jantan). Kambing
Gembrong terdapat di daerah kawasan timur
Pulau Bali. Ciri khas kambing ini adalah
memiliki rambut yang panjang, dengan
panjang rambut berkisar 15-25 cm. Rambut
panjang ini terdapat pada jantan, sedangkan
betina hanya berkisar 2-3 cm. Rambut yang
panjang ini biasa dipergunakan oleh nelayan
setempat untuk membuat umpan (Devandra &
Burns 1994). Kambing Gembrong secara
umum memiliki ukuran tubuh yang lebih
besar
daripada
kambing
Kacang
(http://peternakan.litbang.deptan.go.id).
Kekerabatan yang dekat di antara
kambing-kambing ternak lokal ini menyebabkan proses perdagangan ternak antar benua
dapat dilakukan, karena apabila dilihat dari
keragaman genetiknya, bangsa-bangsa kambing
ini berasal dari induk yang sama. Akan tetapi,
kemampuan adaptasi tiap bangsa kambing
berbeda. Jadi kambing-kambing unggul yang
didatangkan dari luar daerahnya belum tentu
dapat bertahan dengan keadaan lingkungan
barunya. Banyaknya bangsa-bangsa kambing
di dunia memperlihatkan spesialisasi masingmasing bangsa terhadap daerah yang ditinggali.

i

KERAGAMAN GENETIK KAMBING LOKAL
BERDASARKAN GENOM MITOKONDRIA

NICO HIMAWAN

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

7

SIMPULAN
Kambing ternak lokal di beberapa daerah
di Indonesia mempunyai situs restriksi dari 5
enzim yang seragam (monomorfik), kecuali
empat individu kambing dari Marica. Hal ini
dapat diduga bahwa kambing-kambing ternak
lokal di Indonesia berasal dari induk yang
sama, dengan melihat sifat dari mtDNA. Hasil
alignment ternyata memperkuat hipotesis
awal, bahwa sebagian basar kambing yang ada
di dunia berasal dari induk yang sama.

SARAN
Berkaitan dengan seragamnya kambingkambing ternak di dunia dalam hal mtDNA
menyebabkan produk metabolisme seluler
pada kambing-kambing ini juga sama,
sehingga untuk meningkatkan kualitas ternak,
peternak dari Indonesia dapat mendatangkan
kambing ternak unggul dari luar negeri.
Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan
memperpanjang hasil sekuensing, sehingga
seluruh sekuen dari Daerah Pengendali dapat
terpetakan atau difokuskan pada keragaman
dari garis paternal, yaitu dengan kromosom Y.

DAFTAR PUSTAKA
Avise JC.1994. Molecular Markers, Natural
History, and Evolution. New York:
Chapman & Hall.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LJ. 2002.
Biologi. Lestari R et al., penerjemah;
Amalia, Simarmata L, Hardani HW,
editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
Biology.
Devandra C, Burns. 1994. Produksi Kambing
di daerah Tropis. Putra H, penerjemah.
Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari:
Goat Production in the Tropics.
Devandra C, McLeroy GB. 1982. Goat and
Sheep Production in the Tropics. Inggris:
Longman Group,Ltd.
Ensminger ME. 2002. Sheep and Goat
Science. Ed ke-6. Illinois: Interstate
Publishers,Inc.
Hiendleder S, Lewalski H, Wassmuth R,
Janke
A.
1998.
The
complete
mitochondrial DNA sequence of the
domestic sheep (Ovis aries) and
comparison with the other major ovine
haplotype. J. Mol. Evol. 47:441-448.
Hoelzel AR, Hancock JM, Dover GA. 1991.
Evolution of the cetacean mitochondrial d-

loop region. Mol. Biol. Evol. 8(3):475493.
Joshi MB et al. 2004. Phylogeography and
origin of indian domestic goat. Mol. Biol.
Evol. 21(3):454-462.
Kierstein G et al. 2004. Analysis of
mitochondrial d-loop region casts new
light on domestic water buffalo (Bubalus
bubalis) phylogeny. J. Mol. Phyl. Evol.
30:308-324.
Krettek A, Gullberg A, Arnason U. 1995.
Sequence analysis of the complete
mitochondrial DNA molecule of the
hedgehog, Erinaeus eropaeus, and the
phylogenetic of the lipotyphla. J. Mol.
Evol 41:952-957.
Kumar S, Tamura K, Nei M. 2004. MEGA3:
Integrated
software
for
Molecular
Evolutionary Genetics Analysis and
sequence
alignment.
Briefings
in
Bioinformatics 5:150-163.
Luikart G et al. 2001. Multiple meternal
origins and weak phylogeographic
structure in domestic goats. Proc. Nact.
Acad. Sci 98(10):5927-5932.
MacHugh DE, Bradley DG. 2001. Livestock
genetic origins: goat buck the trend. Proc.
Nact. Acad. Sci 98(10):5382-5384.
Meadows JRS et al. 2005. Mitochondrial
sequence reveals high levels of gene flow
between breeds of domestic sheep from
asia and Europe. J. Heredity: 96(5):494501.
Pegler HSH. 1965. The Book of the Goat.
Inggris: Billing and Sons,Ltd.
Randi E, Pierpaoli M, Danilkin A. 1998.
Mitochondrial DNA polymorphism in
population of siberian and european roe
deer (Capreolus pygargus and C.
capreolus). Heredity 80:429-437.
Ursing BM, Arnason U. 1998. The complete
mitochondrial DNA sequence of the pig
(Sus scrofa). J. Mol. Evol. 47:302-306.
Valverde JR, Batuecas B, Maratilla C, Marco
R, Ganesse R. 1994. The complete
mitochondrial DNA sequence of the
crustacean Artemia franciscana. J. Mol.
Evol 39:400-408.
Wu CH, Zhang YP, Bunch TD, Wang S,
Wang W. 2003. Mitochondrial control
region sequence variation within the argali
wild sheep (Ovis ammon): evolution and
conservation
relevance.
Mammalia
67:109-118.
Zeder MA, Hesse B. 2000. The initial
domestication of goats in the zagros
mountains 10000 years ago. Science 287:
2254-2257.

i

KERAGAMAN GENETIK KAMBING LOKAL
BERDASARKAN GENOM MITOKONDRIA

NICO HIMAWAN

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ii

ABSTRAK
NICO HIMAWAN. Keragaman Genetik Kambing Lokal Berdasarkan Genom Mitokondria.
Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan BESS TIESNAMURTI.
Kambing (Capra hircus) dimasukkan pertama kali ke Indonesia sebagai hewan ternak
sekitar tahun 1700-an, yang kemudian berkembang manjadi ternak lokal. Peningkatan mutu ternak
kambing sebagian besar dilakukan dengan cara mengawinkan ternak betina dengan jantan unggul
yang didatangkan dari daerah lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik
kambing ternak lokal berdasarkan Daerah Pengendali DNA mitokondria. Sampel yang digunakan
adalah kambing ternak lokal yang berasal dari Sumatera Utara, Muara-Tapanuli Utara, Samosir,
Marica-Sulawesi Selatan, dan Gembrong-Bali. Amplifikasi DNA mitokondria secara in vitro
dilakukan dengan metode Polymerase Chain Rection (PCR). Produk amplifikasi yang dihasilkan
sebesar 1700 pasang basa. Produk amplifikasi tersebut dipotong dengan lima enzim restriksi, yaitu
MboI, DdeI, AluI, HaeIII, dan BamHI. Dari 102 sampel yang dianalisis, ditemukan dua haplotipe.
Haplotipe 1 terdapat pada seluruh wilayah, sedangkan haplotipe 2 hanya terdapat pada empat
sampel yang berasal dari Marica Sulawesi Selatan. Hasil sekuensing yang telah dialignment
dengan beberapa individu kambing yang terdapat pada GenBank, menunjukkan bahwa kambingkambing ternak lokal di dunia memiliki kekerabatan yang dekat (98,8 %) dan berasal dari induk
yang sama.

ABSTRACT
NICO HIMAWAN. Genetic Diversity of Native Goat Based on Mitochondrial Genome.
Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and BESS TIESNAMURTI.
Goats (Capra hircus) since first entered to Indonesia were used for livestock,
approximately in 1700, and then were developed into locally breed animal. Breeds up grading,
mostly done by bred the female with the excellent male which taken from the other region. This
research was conducted to investigate the diversity among domestic goats based on mtDNA’s
Control Region. Samples that were used in this research were native goats from Sumatera Utara,
Muara-Tapanuli Utara, Samosir, Marica-Sulawesi Selatan, and Gembrong-Bali. By in vitro
amplification with Polymorphism Chain Reaction method (PCR), yielded 1700 base pair long. The
PCR product was digested with five restriction enzymes, which were MboI, DdeI, AluI, HaeIII,
and BamHI. Two haplotypes were detected among 102 samples. Haplotype 1 found in all sample
locations, while haplotype 2 was only found in four samples from Marica of Sulawesi Selatan.
Sequencing products which had been aligned with some goat control region’s sequence in
GenBank, showed that domestic goats in the world were closely related (98,8 %) and descended
from a same ancestor.

iii

KERAGAMAN GENETIK KAMBING LOKAL
BERDASARKAN GENOM MITOKONDRIA

NICO HIMAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

iv

Judul skripsi
Nama
NIM

: Keragaman Genetik Kambing Lokal Berdasarkan Genom Mitokondria
: Nico Himawan
: G34103060

Disetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
NIP. 131878947

Dr. Bess Tiesnamurti, M.Sc.
NIP. 080063117

Diketahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP. 131473999

Tanggal Lulus

:

v

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 17 September 1985 dari ayah Djaka Sarwana
dan ibu Kurniati. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Semarang dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk IPB melalui jalus Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti Perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Mikrobiologi
Dasar, Perkembangan Hewan, dan Struktur Hewan pada tahun ajaran 2006/2007. Penulis juga
pernah mengikuti praktik lapang dengan judul Teknik Pemeliharaan Ular Sebagai Komoditi
Ekspor di CV Terraria Indonesia.

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Keragaman
Genetik Kambing Lokal Berdasarkan Genom Mitokondria.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si dan Ibu Dr.
Bess Tiesnamurti selaku pembimbing. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Aris
Tjahjoleksono selaku penguji. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada
Bapak Ketut, Ibu Rika Raffiudin, Bapak Adi serta semua dosen dan staf zoologi. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Adik, dan yang terkasih Hilda ‘Neng’ Farida atas
dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Tak lupa kepada Lusi,
Mbak Retno, Ogi, Mbak Zul, Wildan, Indra, Rut, Wafa, serta teman-teman zoologi, Biologi 40,
teman-teman dari Fapet (Rohmat, Astri, Dani, Eryk, Dian), dan teman-teman dari UNIB (Sipri,
Aan, Puji), terima kasih atas bantuan dan pertemanan yang telah terjalin selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

Nico Himawan

vii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................viii
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
METODE .......................................................................................................................................... 1
Bahan ............................................................................................................................................ 1
Metode .......................................................................................................................................... 1
Ekstraksi dan isolasi DNA ........................................................................................................ 1
Amplifikasi Daerah Pengendali................................................................................................. 1
Pemotongan dengan enzim restriksi .......................................................................................... 2
Sekuensing Produk PCR ruas target .......................................................................................... 2
Analisis Nukleotida ................................................................................................................... 2
HASIL ............................................................................................................................................... 2
Amplifikasi Ruas Target ............................................................................................................... 2
PCR-RFLP .................................................................................................................................... 2
Sekuensing .................................................................................................................................... 3
Analisis Daerah Pengendali mtDNA ............................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5
SIMPULAN ...................................................................................................................................... 7
SARAN ............................................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 7
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 8

viii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pola pemotongan enzim restriksi .................................................................................................. 3
2 Rata-rata jarak genetik antar populasi kambing di berbagai negara .............................................. 5

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hasil amplifikasi Daerah Pengendali mtDNA. ............................................................................. 2
2 Hasil Alignment sampel dari Gembrong-Bali (N30) dan Marica-Sulawesi Selatan (N123). ........ 4
3 Hasil rekonstruksi pohon filogeni dengan metode Neighbor Joining (bootstrap 250x). ............... 5

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Situs Restriksi Daerah Pengendali mtDNA ........................................................................... 9
2 Gambar pola restriksi pada gel poliakrilamid ............................................................................. 10

1

PENDAHULUAN
Kambing, Capra hircus, merupakan
anggota kelas Mamalia, ordo Artiodaktila, sub
ordo Ruminansia dan famili Bovidae
(Devendra & McLeroy 1982). Kambing
banyak digunakan sebagai hewan ternak
penghasil daging, susu, dan serat (Ensminger
2002). Di Indonesia, memelihara ternak
kambing masih tergolong sebagai usaha
sampingan (small entrepreneurship) oleh
petani penggarap lahan, yang biasanya
memelihara kambing sebanyak 2-10 ekor
(Devandra & Burns 1994).
Kambing sebagai hewan ternak pertama
kali dimasukkan ke Jawa pada tahun 1700-an
oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yang
kemudian menyebar ke berbagai wilayah di
Indonesia. Di setiap wilayah, kemudian ternak
kambing berkembang membentuk kambingkambing lokal Indonesia yang dicirikan
dengan karakter teradaptasi ke kondisi
kelokalannya. Karakter lokal yang umum
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia
adalah menurunnya laju pertumbuhan dan
ukuran tubuh, bersifat prolifik (kemampuan
beranak lebih dari satu ekor), dan lebih tahan
terhadap parasit dan iklim tropis. Sebagai
hewan ternak, salah satu campur tangan
peternak yang menonjol adalah membantu
proses perkawinan untuk memperoleh ternakternak yang lebih baik. Biasanya peternak
menyukai ternak jantan unggul untuk
dikawinkan dengan induk betina yang
dipunyainya secara turun-menurun di suatu
wilayah. Perkawinan berbantuan manusia
tersebut akan meningkatkan keragaman ternak
kambing, baik antar wilayah maupun di dalam
suatu wilayah. Untuk mengungkapkan hal
tersebut, dilakukan analisis keragaman ternak
kambing yang ada di beberapa wilayah di
Indonesia berdasarkan genom mitokondria.
Genom mitokondria (mtDNA) vertebrata
merupakan molekul DNA yang berbentuk
sirkular, dengan ukuran 15-20 ribu pasang
basa. Genom mitokondria ini berisi 22 gen
yang menyandikan tRNA, 2 gen menyandikan
rRNA, 13 gen menyandikan protein, dan
sebuah ruas yang disebut Daerah Pengendali
(control region atau d-loop) sebagai tempat
dimulainya replikasi dan transkripsi (Avise
1994). Variasi panjang mtDNA pada
vertebrata lebih disebabkan oleh duplikasi gen
daripada adanya tambahan gen. Genom
mitokondria memperlihatkan pewarisan sifat
genetik melalui garis maternal, artinya
mtDNA hanya diwariskan dari induk betina.
Selain itu, mtDNA tidak mengalami

rekombinasi
dan
banyak
dilaporkan
mempunyai laju mutasi yang cepat (MacHugh
& Bradley 2001). Atas dasar ini, mtDNA
menjadi populer sebagai penanda molekuler
keragaman genetik pada berbagai hewan.
Keragaman genetik mtDNA dapat
diketahui dengan cara mengamplifikasi
mtDNA pada sekuen tertentu secara in vitro.
Metode ini dikenal sebagai Polymerase Chain
Reaction (PCR). Keragaman mtDNA dapat
diketahui dengan memotong hasil amplifikasi
PCR menggunakan enzim restriksi, yang
dikenal dengan metode Polymerase Chain
Reaction-Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Variasi panjang
hasil
pemotongan
ini
yang
akan
memperlihatkan keragaman mtDNA akibat
perbedaan-perbedaan situs enzim restriksi
yang digunakan. Selain itu, keragaman
mtDNA dapat diketahui dengan metode
sekuensing, suatu metode untuk mengetahui
runutan nukleotida, yang dilanjutkan dengan
analisis penyejajaran (alignment) antar
sampel.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman kambing lokal berdasarkan Daerah
Pengendali mtDNA.

METODE
Bahan
Sampel darah kambing, berupa buffy coat,
yang digunakan pada penelitian ini merupakan
koleksi beku Dr. Bess Tiesnamurti,
Puslitbangnak Bogor. Sampel tersebut berasal
dari Sumatera Utara (22 sampel), Muara-kab.
Tapanuli Utara (30), Samosir (31), MaricaSulawesi Selatan (30), dan Gembrong-Bali
(13).
Metode
Ekstraksi dan isolasi DNA. Ekstraksi
DNA dilakukan menggunakan kit ekstraksi
DNA (Real Genomics™ Genomic DNA
Extraction Kit – Real Biotech Corporation),
dengan prosedur sesuai dengan petunjuk
produsen untuk buffy coat.
Amplifikasi Daerah Pengendali. Ruas
Daerah Pengendali pada DNA mitokondria
diamplifikasi
menggunakan
mesin
Thermocycler (TaKaRa PCR Thermal Cycler
MP4 – TaKaRa Biomedicals). Amplifikasi
ruas ini menggunakan pasangan primer AF22
(5’-GCG TAC GCA ATC TTA CGA TCA3’) dan AF24 (3’-TCA TCT AGG CAT TTT
CAG TG-5’), yang meliputi ruas Daerah
Pengendali mulai dari bagian akhir gen Cyt b

2

sampai ke bagian awal gen tRNA Phe.
Komposisi reaksi amplifikasi bervolume 25 µl
adalah sampel DNA sebagai cetakan 2 µl (10100 ng), 2,5nM Primer 2 µl; Taq polimerase
(New England Biolabs) 1 unit beserta
bufernya, 2,5mM MgCl2 2 µl, 2mM dNTP 4
µl, dan volume diatur dengan air steril sampai
25 µl. Proses amplifikasi dilakukan pada
kondisi suhu pra-denaturasi 94oC selama 5
menit, dilanjutkan 30 siklus dengan tahap
denaturasi 94oC selama 1 menit, penempelan
primer (annealing) pada suhu 55oC selama 1
menit, dan síntesis DNA ruas target pada suhu
72oC selama 2 menit. Proses diakhiri dengan
síntesis DNA akhir pada suhu 72oC selama 10
menit dan penyimpanan pada suhu 10oC
sampai mesin dimatikan. Kualitas hasil
amplifikasi dipastikan dengan elektroforesis
gel poliakrilamid 6 %, diikuti dengan
pewarnaan perak (Farajallah et al. 1998).
Pemotongan dengan enzim restriksi.
Metode RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorphism) digunakan untuk mengetahui
keragaman
ruas
target
berdasarkan
polimorfisme situs restriksi. Enzim yang
digunakan dalam penelitian ini adalah AluI
(AG↓CT), DdeI (C↓TNAG), MboI (↓GATC),
BamHI (G↓GATCC), dan HaeIII (GG↓CC).
Kondisi reaksi pemotongan dari setiap enzim
restriksi mengikuti petunjuk teknis produsen,
yaitu menggunakan bufer yang menyertai
setiap enzim restriksi dan menginkubasinya
pada suhu 37oC selama semalam. Hasil
pemotongan dipisah-pisahkan dengan gel
poliakrilamid 6 % dalam bufer 1xTBE (Tris
0,5 M; Asam Borat 0,65 M; EDTA 0,02 M)
pada tegangan 180mV selama 80 menit. Pola
Hasil pemotongan oleh enzim restriksi
kemudian divisualisasikan dengan pawarnaan
perak. Pola pita hasil pemotongan tiap enzim
restriksi digunakan untuk menentukan
haplotipe mtDNA atau disebut sebagai
genotiping. Genotiping dilakukan dengan cara
menentukan ukuran panjang potongan DNA
berdasarkan jarak migrasi pada gel
poliakrilamid yang diacukan pada DNA
ladder 100 base pair (Biorad).
Sekuensing Produk PCR ruas target.
Sekuensing dilakukan terhadap dua sampel
yang berasal dari Bali (N30) dan Sulawesi
Selatan (N123). Sekuensing dengan metode
big dye determinator dilakukan menggunakan
ABI Prism 3700 (lembaga biologi molekuler
PT. CHAROEN POKPHAND INDONESIA).
Analisis Nukleotida. Untuk mengetahui
keragaman kambing, hasil sekuen sampel
dialignment dengan beberapa sekuen Daerah
Pengendali mtDNA kambing yang tersedia di

GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan program ClustalX 1.83. Penghitungan
komposisi nukleotida, jarak genetik, dan
konstruksi pohon filogeni dilakukan menggunakan program MEGA versi 3 (Kumar et
al. 2004) berdasarkan data perbedaanperbedaan nukleotida.

HASIL
Amplifikasi Ruas Target
Amplifikasi
menggunakan
pasangan
primer AF