Perairan Sekitar Mangrove Perairan Sekitar Terumbu Karang

yang berkaitan dengan perbedaan dalam kontribusi relatif kecepatan transfer gas terhadap turbulensi antarmuka perairan, kecepatan angin, arus air, dan topografi Borges et al., 2004 Berdasarkan hasil review dari Borges 2005 menunjukkan bahwa hampir semua perairan estuari adalah sumber bersih CO 2 ke atmosfir. Di antara perairan estuari di Eropa, Scheldt dan Randers Fjord berada di batas tinggi dan rendah untuk fluks CO 2 udara-laut. Estuari Randers Fjord adalah tipe estuari microtidal yang dicirikan oleh stratifikasi permanen yang kuat, sedangkan estuari Scheldt adalah estuari macrotidal yang ditandai oleh kolom air tercampur permanen. Meskipun secara keseluruhan Randers Fjord adalah sistem heterotrofik bersih, lapisan tercampur adalah autotrofik bersih sedangkan lapisan bawah adalah sangat heterotrofik. Emisi CO 2 dari estuari Scheldt hampir 15 kali lebih tinggi dibanding Randers Fjord, meskipun NEP nya hanya 2 kali lebih rendah di Scheldt dibanding estuari Randers Fjord. Hal ini berhubungan dengan tingginya produksi bahan organik pada lapisan tercampur dan degradasi di lapisan bawah. Dengan cara ini CO 2 hasil degradasi tidak langsung kembali ke atmosfir. Disamping itu lamanya waktu tinggal air tawar di estuari Scheldt 30-90 hari dibanding estuari Randers Fjord 5-10 hari menyebabkan pengayaan DIC di perairan estuari Scheldt lebih intensif.

2.2.2.2 Perairan Sekitar Mangrove

Ekosistem mangrove, meskipun hampir keseluruhan ekosistem di atas permukaan tanah adalah autotrofik bersih dan sink untuk CO 2 atmosfir karena fiksasi karbon yang besar sebagai biomassa tanaman, perairan di sekitarnya merupakan sumber signifikan CO 2 ke atmosfir Borges, 2005; Kone and Borges, 2008. Sedimen dan kolom air dapat menerima masukan bahan organik yang tinggi, baik secara langsung sebagai serasah daun dan kayu maupun tidak langsung sebagai karbon organik terlarut yang mengakibatkan status metabolisme adalah heterotrofik dan secara signifikan melepas CO 2 ke atmosfir Borges et al., 2003; Borges, 2005. Potensi signifikan dari mineralisasi dan dekomposisi material organik di perairan sekitar mangrove baru-baru ini mendapat perhatian karena perairan tersebut menunjukkan tingkat kejenuhan yang tinggi terhadap CO 2 Borges et al., 2003; Bouillon et al., 2003; 2007. Selanjutnya Borges 2005 mengemukakan bahwa disamping proses dekomposisi material organik, dinamika DIC di perairan sekitar mangrove juga dipengaruhi oleh air poros dalam sedimen yang kaya dengan DIC, TA dan CO 2 dan miskin oksigen yang dipompa oleh arus pasang surut. Fluks CO 2 udara-laut pada ekosistem mangrove global telah diperkirakan oleh Jennerjahn dan Ittekkot 2002. Jika ekspor bahan organik dari sistem perairan yang berdekatan dimasukkan maka fluks CO 2 udara laut di perairan sekitar mangrove adalah 18,7 molCm 2 th. Jika ekspor bahan organik dengan sistem perairan yang berdekatan tidak dimasukkan maka fluksnya akan berkurang sekitar 50 9,8 molCm 2 th. Dalam perhitungan ini diasumsikan bahwa fluks CO 2 udara-laut hanya berhubungan dengan degradasi bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove, sedangkan pasokan karbon dari tempat lain seperti ekspor DIC dari sistem perairan yang berdekatan, emisi CO 2 dari sedimen, dan masukan allochthonous tidak diperhitungkan.

2.2.2.3 Perairan Sekitar Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis dan sub tropis yang terdiri dari struktur karbonat yang didominasi oleh karang Scleractinia dan mikroalga Borges, 2005. Ekosistem terumbu karang mewakili sekitar 2 dari luas permukaan continental shelf dan menyumbang sekitar 83 dan 50 dari produksi dan akumulasi partikel karbon anorganik ekosistem pesisir Milliman, 1993. Terumbu karang berkembang pada tingkat kekeruhan rendah, perairan yang oligotrofik dengan suhu tahunan minimum 18 o C dan mempunyai tingkat metabolisme karbon organik dan kalsifikasi yang tinggi Gattuso et al., 1998. Meskipun perairan terumbu karang mempunyai laju fotosintesis dan respirasi yang tinggi, produksi ekosistem bersih di perairan tersebut mendekati nol Gattuso et al., 1998. Proses kalsifikasi dan fotosintesis merupakan proses utama yang mempengaruhi siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang. Fiksasi CO 2 oleh produksi ekosistem bersih NEP biasanya rendah tetapi tingkat kalsifikasi tinggi sehingga menyebabkan proses kalsifikasi melepas CO 2 Ca ke perairan sekitarnya, sebagaimana dalam persamaan berikut: 2+ + 2HCO 3 - CaCO 3 + CO 2 + H 2 O..................................................... 4 Konsentrasi CO 2 meningkat sebesar 0,6 mol untuk setiap pengendapan 1 mol kalsium karbonat CaCO 3 dalam standar air laut salinitas=35, suhu=25, TA=2370 µmolkg, pCO 2 =365 ppm Gattuso et al., 1999. Rasio antara produksi CO 2 dengan presipitasi CaCO 3 pada umumnya tergantung pada keseimbangan termodinamika khususnya suhu dan salinitas Ware et al., 1992; Frankignoulle et al., 1994. Berdasarkan perkiraan global dari kalsifikasi bersih dan NEP, Ware et al. 1992 menghitung potensi pelepasan CO 2 ke perairan sekitarnya dari kesetimbangan metabolisme organik dan kalsifikasi berkisar antara 3-11,3 mmolCm 2 th. Fluks CO 2 udara laut di perairan sekitar terumbu karang sangat tergantung pada waktu tinggal massa air, bentuk geomorfologi terumbu karang karang tepi, penghalang, atau sistem terumbu karang atol dan pola arus air laut di perairan sekitarnya. Di samping proses metabolisme yang terjadi dalam sistem terumbu karang dan waktu tinggal dari massa air, fluks CO 2 udara-laut juga dimodulasi oleh ΔpCO 2 air laut yang masuk. Pada skala tahunan, perairan laut tropis dan subtropis merupakan source CO 2 0,35 mol Cm 2 th, ΔpCO 2 = 11 ppm, Takahashi et al., 2002. Berdasarkan perbedaan pCO 2 antara perairan samudera dan terumbu yang disusun oleh Suzuki dan Kawahata 2003 di 9 sistem terumbu dan menambahkan data dari Bates 2002 di Hog Reef dapat diperkirakan bahwa air laut yang masuk ke perairan terumbu karang diperkaya rata-rata sebesar 12 ppm selama transit melalui sistem terumbu karang. Borges 2005 memperkirakan emisi CO 2 global dari sistem terumbu karang sekitar 0,73 molCm 2 th. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian