Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah.

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp.,
PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA
WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH

MUHAMAD TAHER

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

ABSTRAK

MUAHAMAD TAHER. Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit
Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah. Dibimbing
oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA.
Penyakit umbi bercabang merupakan permasalahan baru dalam budidaya
tanaman wortel di Indonesia. Penyakit dapat menurunkan kuantitas dan kualitas
umbi sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi petani. Kurniawan (2010)
menemukan beberapa spesies nematoda puru akar/NPA, Meloidogyne spp.
sebagai penyebab primer penyakit umbi bercabang wortel di wilayah Jawa Barat.

Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan identifikasi jenis
Meloidogyne spp. pada wortel di wilayah Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di 3
lokasi di wilayah Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian/elevasi yang berbeda,
yaitu 1300-1500 m dpl (di atas permukaan laut), 1500-1700 m dpl, dan di atas
1700 m dpl. Lokasi pertama dan kedua terletak di Dusun Sirangkel, Kecamatan
Garung, Kabupaten Wonosobo, dan lokasi ketiga di Dusun Condong Campur,
Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilakukan dalam
empat tahap: (1) survei dan pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit umbi
bercabang pada tanaman wortel, (3) identifikasi pola perineal/sidik pantat, dan (4)
identifikasi biologi molekuler. Survei dan pendataan dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan lokasi pengambilan sampel wortel. Identifikasi
gejala penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang tipe gejala yang ditimbulkan oleh serangan NPA
pada tanaman wortel di lahan. Identifikasi pola perineal/sidik pantat dilakukan
dengan menggunakan sampel sebanyak 150 nematoda betina yang berasal dari
umbi wortel yang terinfeksi NPA di tiga lokasi pada ketinggian berbeda. Sampel
tersebut diidentifikasi dengan menggunakan metode pembuatan sidik pantat yang
dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), dan
disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common
species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key

(Eisenback 2001). Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan teknik PCR
ITS r-DNA (Internal Transcribed Spacer ribosomal DNA), menggunakan 3
primer spesifik untuk spesies Meloidogyne incognita, Meloidogyne javanica, dan
Meloidogyne arenaria. Selain itu digunakan pula jenis primer multipleks untuk
mengidentifikasi spesies Meloidogyne hapla (Adam et al. 2007). Proses ekstraksi
yang dilakukan, disesuaikan dengan metode ekstraksi yang digunakan oleh
Zouhar et al. (2000). Hasil identifikasi pola perineal/sidik pantat yang dilakukan
menunjukan adanya empat spesies NPA, yaitu M. incognita, M. javanica, M.
arenaria, dan M. hapla yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang di tiga
lokasi pengamatan. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil identifikasi dengan
teknik PCR ITS r-DNA nematoda yang menunjukkan hasil yang positif terhadap
keberadaan empat spesies NPA tersebut.
Kata Kunci : Wortel, Penyakit umbi bercabang, identifikasi, Meloidogyne spp.

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp.,
PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA
WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH

MUHAMAD TAHER


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul

Nama Mahasiswa
NRP

: Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit
Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.)
di Jawa Tengah.
: Muhamad Taher
: A34070008


Disetujui,

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Supramana, M.Si.

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.

NIP. 19620618 198911 1001

NIP. 19620607 198703 1003

Mengetahui,
Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
NIP. 19650621 198910 2001


Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Oktober 1989 dari pasangan
Bapak Muhammad Natsir Mansyur dan Ibu Siti Asmah sebagai anak keenam dari
tujuh bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Inpres Nae Kota Bima, Nusa
Tenggara Barat pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan studi di Sekolah
Menengah Pertama 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat hingga tahun 2004. Pada
tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Kota Bima, NTB
hingga lulus. Selama menempuh pendidikan tersebut, penulis aktif di berbagai
kegiatan ekstrakulikuler OSIS dan Karya Tulis Ilmiah. Tahun 2007 penulis
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan,
diantaranya sebagai Kepala Divisi Politik dan Kajian Strategis Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Pertanian Periode 2008-2009, menjadi anggota klub fotografi
Capung Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman, asisten praktikum Mata Kuliah
Hama dan Penyakit Tanaman Setahun, asisten praktikum Mata Kuliah Hama dan

Penyakit Tanaman Tahunan, dan penyaji pada Seminar Internasional
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Tahun 2011 di Surakarta, Jawa Tengah.

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi yang berjudul “Identifikasi Jenis Meloidogyne spp. Penyebab
Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah”
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si. dan
Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan serta masukan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima
kasih kepada Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran bagi perbaikan skripsi. Ucapan terima kasih pula kepada
segenap rekan-rekan Laboratorium Nematologi dan Virologi Tumbuhan (Mba
Tuti, Bu Tri, Sherli, Fitri, Santi, Pak Edi). Kepada teman-teman Komunitas Basil,
Johan (terima kasih sudah menemani pengambilan sampel), Harwan, Eter, Basten,
Alfian, Latip, Vero, Bowo, Dika, Radhy, dkk. Kepada Mia selaku rekan satu
penelitian nematoda dan Pak Gatot Heru Bromo yang telah banyak membantu
dalam proses identifikasi.
Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada para petani Dusun

Sirangkel, Kepala Dusun dan keluarga, petani Dusun Condong Campur, Pak Iksan
dan Pak Sukur. Kepada bunda yang menjadi inspirasi untuk selalu melakukan halhal yang positif. kepada Pak Yayi, Pak Kikin, dan Pak Saodik yang selalu
memberikan motivasi (terima kasih untuk diskusinya tentang PCR dan fotografi).
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, petani, dan
institusi dalam bidang pertanian.

Bogor, 29 Februari 2012
Muhamad Taher

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian.............................................................................................. 3
Manfaat Penelitian............................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4
Botani Tanaman Wortel.................................................................................... 4

Meloidogyne spp. ............................................................................................. 6
Klasifikasi .................................................................................................... 6
Morfologi ..................................................................................................... 6
Biologi.......................................................................................................... 7
Mekanisme Infeksi NPA................................................................................... 8
Gejala Penyakit ................................................................................................ 9
Gejala pada Tanaman di Lahan ................................................................... 10
Gejala pada Perakaran ................................................................................ 10
Spesies Meloidogyne ...................................................................................... 11
Meloidogyne incognita................................................................................ 12
Meloidogyne javanica ................................................................................. 13
Meloidogyne arenaria................................................................................. 13
Meloidogyne hapla ..................................................................................... 14
Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern) .... 15
Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler........................................ 16
METODE PENELITIAN ................................................................................... 18
Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 18
Metode Penelitian .......................................................................................... 18
Survei dan Pendataan ..................................................................................... 18
Survei ......................................................................................................... 18

Pendataan ................................................................................................... 19
Identifikasi ..................................................................................................... 19
Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel ..................................... 19
Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat .................... 20
Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA) ................... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 24
Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Dusun Sirangkel ................... 24
Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Desa Condong Campur ........ 26
Gejala pada Tanaman di Lahan ....................................................................... 28

vii

Tipe Gejala pada Umbi Wortel ....................................................................... 30
Bentuk Umbi .............................................................................................. 30
Tipe Puru .................................................................................................... 32
Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat.............................. 33
Spesies Meloidogyne Berdasarkan Hasil PCR ITS r-DNA .............................. 35
Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat................................ 36
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 40


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1

Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA………………………

21

Tabel 2

Komposisi bahan PCR reagen…………………………………………

22

Tabel 3

Tipe gejala penyakit pada umbi wortel yang terinfeksi NPA pada 3
lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel

dan Dusun Condong Campur ……….……………………...................

31

Tabel 4

Tabel 5
Tabel 6

Keberadaan tipe puru pada umbi pada 3 lokasi pengambilan sampel
berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong
Campur................................................................................................... 32
Prevalensi distribusi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda
ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur………… 37
Keberadaan spesies NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda
ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur
berdasarkan hasil uji biologi molekuler ………………………………. 38

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1

Tanaman wortel………………………...............................

4

Gambar 2

Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. ………………

6

Gambar 3

Siklus Hidup Meloidogyne spp. ………………………......

7

Gambar 4

Ciri khusus pola perineal Meloidogyne incognita ……….

12

Gambar 5

Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica ………..

13

Gambar 6

Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria………...

14

Gambar 7

Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla …………...

14

Gambar 8

Prosedur pembuatan pola perineal NPA betina…………...

16

Gambar 9

Foto satelit wilayah pengambilan sampel di Dusun
Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dan
Dusun Condong Campur Kecamatan Pejawaran,
Kabupaten Banjarnegara………………………………….

24

Benih wortel yang ditanam petani di lahan penelitian
Dusun Sirangkel, Desa Mlandi, Kecamatan Garung,
Kabupaten Wonosobo…………………………………….

25

Gambar 10

Gambar 11

Titik pengambilan sampel: (a) titik 1 dan (b) titik 2 di
lahan penelitian Dusun Sirangkel ………………………..

Gambar 12

Titik pengambilan sampel 3 di Dusun Condong Campur,

26

Kecamatan Pejawaran Kabupaten Banjarnegara…………

27

Ciri khas serangan NPA berupa gejala botak pada
pertanaman di lokasi pengambilan sampel di Dusun
Sirangkel dan Dusun Condong Campur………………….

29

Contoh Gejala pada umbi wortel yang ditemukan di
lokasi pengambilan sampel……………………………….

30

Gambar 15

Tipe puru pada perakaran wortel………………………….

33

Gambar 16

Pola Sidik Pantat NPA…………………………………….

34

Gambar 17

Hasil Amplifikasi DNA Spesies NPA Jawa Tengah……...

35

Gambar 13

Gambar` 14

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Wortel (Daucus carota (L.)) merupakan tanaman yang berasal dari
wilayah beriklim sedang (subtropis) yakni berasal dari Asia Timur dan Asia
Tengah (Rukmana, 1995). Menurut Tindall (1983), budidaya wortel sendiri
dimulai dari daerah Eropa dan Mediterania, kemudian menyebar ke berbagai
wilayah tropis lainnya di dunia hingga wilayah Asia Tenggara.
Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa
Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas, kemudian semakin berkembang dan
menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa.
Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS
2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 hektar yang tersebar di
22 propinsi yaitu; Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera

Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB,
NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Wortel bermanfaat sebagai sumber vitamin A, antioksidan, dan bermanfaat
pula mencerahkan dan memutihkan kulit. Disamping itu, potasium yang
dikandung oleh wortel dapat digunakan untuk membantu menetralkan racun
(terutama logam berat yang ditimbulkan oleh polusi udara), serta dapat
mengantisipasi pembentukan endapan dalam saluran kencing, paru-paru, jantung,
dan hati (Honggodipuro 2008).
Budidaya tanaman wortel di Indonesia mengalami kendala akibat adanya
infeksi oleh Nematoda Puru Akar (NPA) yang menyebabkan penyakit umbi
bercabang. Penyakit umbi bercabang merupakan penyakit baru dan menjadi
penyakit penting pada tanaman wortel. Awalnya nematologis menduga penyakit
umbi bercabang diakibatkan oleh infeksi nematoda, ahli bakteri menduga adanya
infeksi bakteri karena disertai dengan adanya hairy root, ahli cendawan menduga
akibat infeksi Pythium spp. yang menyebabkan ujung akar klorosis dan terputus,
akibatnya akar akan membentuk percabangan baru baru yang lebih banyak
(Mayberry 2000; Davis et al. 2005). Ahli fitoplasma menduga bahwa penyakit

2

umbi bercabang disebabkan oleh fitoplasma, entomologis menduga penyakit
tersebut akibat dari gigitan serangga pada awal pertumbuhan, dan ahli tanah
menduga karena kurangnya unsur hara tanah, manajemen pengairan yang kurang
tepat, dan tanah yang terlalu keras dan berbatu (Nunez et al 2008).
Kurniawan (2010) melaporkan hasil surveilan dan identifikasi yang
dilakukan di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur bahwa di daerah tersebut
ditemukan adanya gejala dan infeksi nematoda pada wortel berupa malformasi
bentuk pada umbi. Hasil penelitian yang dilakukan di College of Tropical
Agriculture and Human Resource University o Hawaii menjelaskan bahwa gejala
malformasi bentuk pada umbi dapat berupa umbi bercabang (forking) dan adanya
puru (galling) (Tanaka et al. 1997). Selain itu terdapat pula bentuk umbi
membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup
banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982). Gejala malformasi
bentuk umbi ditemukan mulai dari dataran medium hingga dataran tinggi. Gejala
malformasi bentuk pada umbi sebelumnya telah dilaporkan pula oleh Hay (2005),
bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan di Tasmanian Institut of
Agricultural Research bahwa gejala yang terjadi pada umbi wortel tersebut
disebabkan oleh infeksi nematoda puru akar (NPA).
Penyakit umbi bercabang merupakan penyakit penting dalam budidaya
tanaman wortel. Penyakit ini menjadi masalah nomor dua dalam budidaya wortel
di Amerika Serikat dengan tingkat kehilangan hasil mencapai 50% (Ferris 2008;
Sorensen and Long 2000). Meloidogyne incognita dilaporkan menjadi penyebab
kehilangan hasil pada tanaman wortel CV Gold Pac di Italia, M. incognita dan M.
javanica juga menyebabkan kerugian pada wortel CV Aline di Brazil (Luc et al.
2005). Data BPS produksi wortel di Indonesia sendiri pada tahun 2005-2006
mengalami penurunan sebesar 11,05% (dari 440.002 menjadi 391.370 ton/tahun)
dan pada tahun 2005-2009 menjadi 19,78% (dari 440.002 menjadi 352.963
ton/tahun). Hasil survei yang dilakukan Kurniawan (2010) di daerah Cipanas,
Kabupaten Cianjur, diketahui pula terjadi kehilangan hasil dengan kisaran 5
hingga 95% akibat gangguan penyakit ini.
Berdasarkan beberapa data sebelumnya dan hasil penelitian Kurniawan
(2010) diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi NPA, oleh karena itu

3

fokus permasalahan menjadi semakin jelas bahwa penyebab penyakit pada wortel
yang menyebabkan terjadinya malformasi bentuk adalah NPA.
Penelitian penyakit umbi bercabang telah dilakukan oleh Kurniawan
(2010) di daerah Jawa Barat dengan hasil yang membuktikan bahwa terdapat
serangan NPA di lokasi penelitian. Penambahan lokasi surveilan dan identifikasi
dilakukan kembali untuk melihat potensi penyebaran NPA sendiri di Indonesia.
Salah satu daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Jawa Tengah. Survei dan
identifikasi penyakit umbi bercabang yang disebabkan oleh NPA dilakukan untuk
mengetahui beberapa jenis NPA yang terdapat di daerah tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis NPA (Meloidogyne
spp.) yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel di daerah
Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis
Meloidogyne spp. penyebab penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel di
daerah Jawa Tengah dan dapat pula menjadi dasar untuk menentukan strategi
pengendalian penyakit yang efektif dan efisien.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Wortel
Tanaman Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam Kelas
Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Umbeliferae, Genus Daucus, dan Spesies
Daucus carota (L.) (Cahyono 2002 dalam Pohan 2008).
Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang,
dan akar. Secara keseluruhan wortel merupakan tanaman setahun yang tumbuh
tegak hingga 30-100 cm atau

lebih. Wortel memiliki daun yang bersifat

majemuk menyirip ganda dua atau tiga dan anak-anak daun berbentuk lanset
(garis-garis). Setiap tanaman memiliki 5 sampai 7 tangkai daun yang berukuran
agak panjang. Tangkai daun kaku dan tebal dengan permukaan yang halus,
sedangkan helaian daun lemas dan tipis (Keliat 2008).
Tanaman ini memiliki batang pendek, akar tunggang yang bentuk dan
fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang, dan kulit umbi yang tipis.
Umbi memiliki warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, ungu. Kulit luar
umbi terlihat tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis.
Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, kaya bahan
organik (humus), dan lahan tidak tergenang (pengairan yang baik) (Honggodipuro
2008).

a

b

c

Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian
penampang wortel (Makmum 2007)

5

Tanaman wortel memiliki pola tumbuh yang bersifat biennial. Tanaman
ini memiliki batang yang pendek dan berbentuk seperti piringan pada
pertumbuhan awal dan akan memanjang pada pertumbuhan berikutnya. Tandan
bunga merupakan karangan karangan bunga yang berbentuk payung. Bunga
wortel bersifat hermaprodit dengan sistem penyerbukan melalui menyerbuk silang
yang umumnya dibantu oleh serangga (Tindall 1983).
Bunga wortel berwarna putih dan terdiri atas masing-masing sepal dan
petal yang berjumlah lima. Bakal buah berbulu, buah berbentuk bulat, panjang 3
sampai 4 mm dengan tepi berduri. Kedudukan daun berselang dengan tangkai
daun, panjang dan membentuk pelepah pada pangkalnya (Tindall 1983).
Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya
dingin dan lembab. Menurut Rukmana (1995), di Indonesia wortel umumnya
ditanam di dataran tinggi pada ketinggian di atas 1000 m dpl, namun terdapat pula
pada ketinggian 700 m dpl seperti di daerah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan
2010). Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah lempung berpasir yang
dalam sedangkan tanah yang berat dapat menghambat pertumbuhan umbi wortel.
Wortel memerlukan tanah dengan pH 6 sampai 6,5 dan suhu lingkungan 16
sampai 24 0C untuk dapat tumbuh dengan baik. Suhu tinggi mengakibatkan
terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten, memucatnya
warna umbi, dan berseratnya jaringan akar (Tindall 1983).
Wortel segar cukup kaya akan nilai gizi karena mengandung β-karoten,
protein, dan mineral. Komposisi kimia wortel dalam 100 gram bahan yang dapat
dimakan adalah: protein (1,20 g), lemak (0,30 g), karbohidrat (9,30 g), Ca (339
mg), P (37,00 mg), Fe (0,80 mg), vitamin A (12.000,00 mg), vitamiun C (6,00
mg), air (88,20 g). Komposisi kimia utama umbi wortel adalah air sebanyak
88,20 %. Perbedaan komposisi kimia wortel dipengarungi oleh beberapa faktor,
seperti iklim, varietas, tingkat kemasakan umbi, dan tanah (Direktorat Gizi 1979).

6

Meloidogyne spp.

Klasifikasi
Meloidogyne spp. termasuk dalam Ordo Tylenchida, Subordo Tylencina,
Famili Heteroderoidae, dan Genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Nematoda ini
memiliki sedikitnya 90 spesies (Karsen 2000), dan terdapat lima spsesies yang
dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman secara global,
diantaranya spesies M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M.
chitwood (Kurniawan 2010).

Morfologi
Nematoda memiliki ukuran tubuh yang kecil dan tidak dapat dilihat secara
langsung dengan mata telanjang sehingga dibutuhkan bantuan mikroskop untuk
melihat ciri morfologi yang dimilikinya. Spesies jantan dan betina memiliki
bentuk tubuh yang berbeda satu sama lain. Nematoda jantan memiliki bentuk
tubuh memanjang seperti cacing, sedangkan nematoda betina pada saat dewasa
memiliki bentuk tubuh seperti buah pear atau sferoid (Agrios 2005).
Nematoda jantan dewasa memiliki ukuran panjang tubuh antara 887
hingga 1268 µm. Bentuk kepala tidak berlekuk dan memiliki stilet yang lebih
panjang dibandingkan dengan betinanya yakni 16 sampai 19 µm. bergerak lambat
di dalam tanah dengan ekor pendek dan membulat pada bagian posterior terpilin
(Eisenback 2003).

Gambar 2 Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)

7

Betina dewasa memiliki ukuran panjang 430-740 µm. Stilet untuk
menembus perakaran mempunyai panjang 11,5-14,5 µm. Nematoda betina
memiliki stilet lemah melengkung ke arah dorsal dengan knob dan pangkal knob
yang tampak jelas. Terdapat pola jelas pada striae yang berada di sekitar vulva
dan anus yang disebut dengan pola perineal (perinneal pattern) (Gambar 2).
Morfologi umum dari pola perineal jenis Meloidogyne spp. dibagi menjadi dua,
yaitu bagian dorsal dan ventral. Bagian dorsal terdiri dari lengkungan striae
dorsal, punctuations (tonjolan berduri), phasmid, ujung ekor, dan garis lateral,
sedangkan bagian ventral terdiri dari striae ventral, vulva, dan anus. Setiap spesies
Meloidogyne memiliki beberapa variasi pola perineal yang menjadi ciri khusus
untuk dapat diidentifikasi.

Biologi
Nematoda puru akar bersifat obligat tersebar luas di daerah iklim tropik
maupun iklim sedang. Perkembangbiakan tanpa individu jantan dalam reproduksi
terjadi pada banyak jenis, namun pada jenis yang lain reproduksi seksual masih
terjadi dalam perkembangbiakannya. Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina
dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk
melindungi telur dari kekeringan dan jasad renik (Dropkin 1991).

Gambar 3 Siklus Hidup Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)

8

Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah
menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan telur hingga 500
butir telur dalam satu massa gelatinus (paket telur). Embrio nematoda berkembang
menjadi juvenil 1 (J1) yang mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur.
Telur menetas dan J1 mengalami perubahan menjadi juvenil 2 (J2) yang muncul
pada suhu dan kelembaban yang sesuai dan bergerak aktif di dalam tanah menuju
akar yang sedang tumbuh. Juvenil 2 masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel
akar dengan stiletnya. Selanjutnya, di dalam akar J2 bergerak di antara sel-sel
sampai tiba di tempat dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar
samping. Juvenil 2 akan hidup menetap pada sel-sel tersebut, mengalami
pertumbuhan dan pergantian kulit hingga menjadi juvenil 3 (J3) dan juvenil 4 (J4)
yang selanjutnya menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin 1991).
Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup
di dalam tanah atau pada jaringan akar, sedangkan nematoda betina yang
berbentuk seperti buah pear akan tetap tertambat dan tinggal pada daerah
makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada
pada permukaan tanah. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus
menghasilkan telur hingga mencapai 1000 butir telur. Keberadaan nematoda akan
merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuk puru pada akar tanaman
(Luc et al. 1995). Proses pembentukan puru ditandai dengan adanya lima sampai
tujuh sel di sekeliling nematoda yang menjadi sel raksasa (giant cell) (Agrios
2005).

Mekanisme Infeksi NPA
Mekanisme penyerangan oleh Meloidogyne spp. dimulai dengan penetrasi
nematoda ke dalam akar tumbuhan melalui bagian-bagian epidermis yang terletak
di sekitar tudung akar. Molekul signal nematoda atau elisitor dikeluarkan dari
sekresi kelenjar eshopagus nematoda yang diinjeksikan melalui stilet dalam
jaringan inang. Sekresi dari kelenjar eshopagus nematoda pada nematoda
endoparasit (NPA) berhubungan dengan respon inang yang kompatibel yang
kemudian merubah sel inang menjadi feeding site yang spesifik seperti giant cell

9

dan sinsitium sebagai sumber nutrisinya (Vrain 1999; Williamson & Richard
1996).
NPA mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan
terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin selulase dan hemiselulase
serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp.
mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa dan enzim
endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Terurainya
bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan
terbentuk luka. Selanjutnya nematoda ini bergerak di antara sel-sel atau
menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukup cairan makanan.
Betina NPA yang bersifat endoparasit sedentari hidup dan berkembang biak di
dalam jaringan sel, mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam
indol asetat (IAA) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu
terbentuknya puru (Lamberti and Taylor 1979).
Akar tanaman yang terinfeksi NPA dapat mengakibatkan timbulnya puru
bulat atau memanjang dengan ukuran yang bervariasi. Apabila tanaman terinfeksi
berat oleh NPA, sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah
akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami
gangguan secara total. Sistem akar mengalami disfungsi dalam menyerap dan
menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam
keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al. 1995). Akar yang
terinfeksi oleh Meloidogyne spp. Mengalami gangguan diferensiasi xilem dan
floem. Sel-sel periskel mengganti beberapa pembuluh kayu dan tapis didalam
puru akar yang menyebabkan fungsi akar menjadi berkurang. Akar yang terinfeksi
mengalami pertumbuhan baru dan pengangkutan air dan nutrisi dari akar ke
bagian permukaan atas tanaman makin berkurang (Dropkin 1991).

Gejala Penyakit
Nematoda Puru Akar memiliki kisaran inang yang sangat beragam, yakni
lebih dari 2000 spesies tanaman yang sebagian besarnya merupakan tanaman
budidaya. Infeksi NPA dapat mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati
dengan gejala penyakit berupa pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil

10

serta perakaran yang memiliki banyak bintil atau puru akar (Endah & Novizan
2002).
Tanaman wortel merupakan salah satu inang bagi nematoda Meloidogyne
spp. (Agrios 2005). Infeksi NPA pada tanaman wortel dapat dideteksi dari gejala
yang timbul pada tajuk dan perakaran. Lahan yang terinfeksi nematoda dapat
terlihat pula dari kondisi tanaman di lahan, ditandai dengan adanya pertumbuhan
dan tinggi tanaman yang tidak merata pada pertanaman atau disebut juga dengan
gejala botak pada pertanaman.

Gejala pada Tanaman di Lahan
Gejala awal pada tanaman yang terinfeksi umumnya terlihat pada tajuk,
ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi
kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan
saluran pengangkut air dan nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu
tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat
berbeda dengan tanaman sehat.
Menurut Kurniawan (2010), infeksi ringan nematoda di lahan pertanaman
wortel berawal dari infeksi spasial pada pertanaman. Hal ini memungkinkan
masih terdapatnya individu tanaman yang bebas NPA pada infeksi awal di lahan.
Tanaman yang terinfeksi dan tidak terinfeksi terlihat berbeda pertumbuhannya
sehingga tinggi tanaman menjadi tidak merata. Gejala ini merupakan gejala khas
dari infeksi nematoda di lahan atau disebut juga dengan gejala botak pada
pertanaman. Gejala botak pada pertanaman disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan tanaman, dan infeksi dengan intensitas infeksi yang tinggi dapat
menyebabkan benih tanaman mati muda.

Gejala pada Perakaran
Gejala infeksi NPA pada perakaran dapat berupa hipertropi dan
hiperplasia, yaitu membengkaknya jaringan perakaran yang disebut puru. Puru
terjadi karena adanya pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada
jaringan perisikel, dan juga terjadi perubahan bentuk pada jaringan pengangkutan.
Timbulnya puru pada sistem perakaran merupakan gejala awal yang berasosiasi

11

dengan infeksi NPA. Tanaman yang terinfeksi berat oleh NPA dapat
menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total (adanya
pengurangan jumlah akar). Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi dan fungsi
perakaran terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke
seluruh bagian tanaman (Davis 1981). Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan
mempunyai sedikit akar lateral dan rambut-rambut akar (Agrios 2005).
NPA juga menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi,
bentuk umbi menjadi bulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008).
Bentuk lain dari malformasi umbi yang terinfeksi NPA juga terlihat seperti umbi
bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek,
dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker
1980; Vrain 1982).
Tanaman wortel yang terinfeksi NPA menyebabkan menjadi lebih rentan
terhadap infeksi cendawan (Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium
rolfsii), bakteri (Pseudomonas/Ralstonia solanacearum), dan virus (Tobacco
mosaic virus). Sifat interaksi dengan patogen lain adalah sinergistik, artinya
keparahan penyakit akan meningkat dengan adanya infeksi ganda. Pada infeksi
yang parah, maka stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem perakaran
yang masih utuh (Luc et al. 2005). NPA dapat meningkatkan infeksi oleh
cendawan patogen karena kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya
meningkat, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar
menjadi aktif (Agrios 2005).

Spesies Meloidogyne
Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda yang tersebar hampir di
seluruh dunia dan memiliki kisaran inang yang sangat luas, meliputi gulma dan
berbagai tanaman yang dibudidayakan. (Dropkin 1991). Spesies ini memiliki
lebih dari 75 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Menurut Karsen (2000),
nematoda jenis ini sedikitnya memiliki 90 spesies dengan kisaran inang yang luas.
Terdapat 4 spesies Meloidogyne sebagai nematoda penting yang menginfeksi
pertanaman wortel, yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla.

12

Meloidogyne incognita
Spesies M. incognita merupakan nematoda parasit tanaman yang penting
di seluruh daerah tropika. Beberapa tanaman inang spesies ini adalah kapas,
kentang, tebu, wortel, tomat, tanaman hias, dan lain-lain (Thomas et al. 2004).
Suhu optimum

yang dibutuhkan oleh M. incognita untuk melakukan

reproduksi berkisar antara 18-30 0C, dapat mengalami peningkatan populasi
hingga 47% pada suhu optimum pertumbuhannya yakni antara 15-25

0

C

(Eisenback 2003).
Spesies M. incognita memiliki ciri khas berupa lengkung striae bagian
dorsal yang berbentuk persegi (sudut ± 900), dan lengkung striea dengan pola
garis yang bergelombang (Gambar 4). Hal inilah yang menjadi karakter khusus
untuk mengenali M. incognita dalam kegiatan identifikasi pola perineal
(Eisenback et al. 1981).

Gambar 4 Ciri khusus pola perineal
Eisenback 2003)

Meloidogyne incognita (Sumber:

Siklus hidup dari nematoda ini sekitar 30 sampai 60 hari tergantung dari
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hidup nematoda seperti suhu optimum,
ketersediaan inang, dan lingkungan yang sesuai untuk melakukan reproduksi.

13

Meloidogyne javanica
Nematoda M. javanica termasuk spesies yang tersebar hampir di seluruh
dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl (Semangun
2006). Tanaman inang dari M. javanica antara lain tomat, kentang, wortel,
tanaman hias, tembakau, sayuran, dan buah-buahan (Semangun 2006).

Gambar 5

Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica (Sumber:
Eisenback 2003)

Suhu optimum yang dibutuhkan oleh spesies ini memiliki perbedaan pada
setiap setiap stadium daur hidupnya (Southey 1978), namun suhu optimum yang
diperlukan untuk berkembang dengan baik berkisar antara 25-30 0C. Munculnya
populasi M. javanica terbesar terjadi pada pH antara 6,4 sampai 7 dan akan
terhambat pada pH di bawah 5,2 (Southey 1978).
Proses identifikasi pola perineal pada spesies ini dilakukan dengan cara
melihat ciri khas berupa garis lateral yang memisahkan striae bagian dorsal dan
ventral (Gambar 5) (Eisenback 2003). Diantara dua garis lateral tersebut terdapat
daerah kosong dan tidak ada striae dorsal dan ventral yang saling berikatan.

Meloidogyne arenaria
M. arenaria merupakan spesies yang dapat menyebar bukan hanya di
daerah tropik, namun juga terdapat di daerah subtropik (Luc et al. 1995).
Karakteristik morfologi dari spesies ini berupa pola perineal yang sangat variabel,
ditandai dengan lengkungan tepi yang rendah dan bulat dengan striae yang halus
hingga bergelombang (Eisenback dan Triantaphyllou 1991). Pola perineal dari

14

spesies ini merupakan variasi dari spesies M. hapla dan M. incognita. Bagian
striae bercabang pada garis lateralnya dan merupakan pola yang dimiliki oleh
sebagian besar spesies ini (Gambar 6). Nematoda jantan memiliki bentuk kepala
dan stilet yang pendek dan agak bulat (Eisenback et al. 1981).

Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria (Sumber:
Eisenback 2003)
Meloidogyne hapla
Spesies ini terdapat di daerah beriklim sedang dan kadang-kadang terdapat
di dataran tinggi tropik (Luc et al. 1995). M. hapla akan memiliki populasi dan
tingkat infeksi yang rendah apabila temperatur dari wilayah tersebut tidak sesuai
dengan suhu optimum yang dibutuhkannya. Beberapa tanaman yang memiliki
tingkat infeksi M. hapla yang rendah antara lain semangka, kapas, dan jagung.

Gambar 7 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla (Sumber:
Eisenback 2003)

15

Gambar 7 memperlihatkan jenis M. hapla yang memiliki ciri khas pola
perineal berupa tonjolan-tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Eisenback et
al. 1981). Tonjolan-tonjolan seperti duri membentuk lingkaran atau elips pada
ujung ekor. Karakter ini tidak dimiliki oleh spesies Meloidogyne lainnya sehingga
menjadi karakter khas M. hapla.
Bentuk gejala yang disebabkan oleh infeksi nematoda ini berbeda denga
gejala infeksi spesies lainnya, yakni berupa puru kecil, bentuk seperti bola, dan
terbentuk akar rambut (hairy roots) yang berasal dari jaringan puru (Luc et al.
1995).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern)
Identifikasi pola perineal (perineal pattern) atau pola sidik pantat
merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh
Eisenback et al. (1981). Identifikasi pola perineal atau sidik pantat dilakukan
untuk mengatahui spesies NPA berdasarkan ciri morfologi pada nematoda betina.
Teknik ini menggunakan individu nematoda betina dewasa sebagai sampel
identifikasi. Masing-masing nematoda betina diidentifikasi melalui pola perineal
dan dilihat karakter khas yang dimilikinya.
Prosedur identifikasi pola perineal yang dilakukan dimulai dari mendeteksi
keberadaan nematoda (terutama telur) pada puru akar, proses pembuatan preparat
sidik pantat, pengamatan preparat di bawah mikroskop, dan identifikasi. Proses
pembuatan preparat dilakukan sesuai dengan acuan kegiatan identifikasi pola
perineal yang telah dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre
(2005), kemudian disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four
most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a
pictorial key (Eisenback 2001)
Deteksi NPA pada puru di akar dilakukan dengan cara merendam bagian
umbi yang bergejala ke dalam larutan Phloxine B. hal ini dilakukan dengan
maksud melihat keberadaan paket telur nematoda dan gejala infeksi nematoda
berupa nekrosis. Paket telur dari nematoda akan berwarna kemerahan karena
massa gelatinus menyerap Phloxine B.

16

Gambar 8

Prosedur pembuatan pola
(Sumber: Eisenback 2003)

perineal

NPA

betina

Pembuatan preparat pola perineal nematoda betina mengacu pada proses
pembuatan preparat Eisenback et al. (1981), seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Umbi yang diduga terinfeksi nematoda dijadikan sebagai sampel bedah.
Kemudian dari sampel umbi yang bergejala dilakukan pembedahan untuk
mengambil individu nematoda betina dewasa. Individu nematoda betina dewasa
inilah yang dijadikan sebagai bahan identifikasi spesies NPA dengan cara
mengamati bagian perinealnya. Bagian perineal (preparat sidik pantat) diamati di
bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dan hasilnya disesuikan dengan
kunci identifikasi.

Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler
Identifikasi nematoda dengan pendekatan biologi molekuler berbasis DNA
merupakan langkah identifikasi yang lebih maju dan memiliki tingkat kecepatan,
akurasi, dan sensitifitas yang terpercaya. Teknik PCR-RFLP (Restiction Fragment
Length Polymorphism) diketahui telah berhasil digunakan untuk melakukan
identifikasi spesies NPA (Power 1993; Zijlstra 1995; Orui 1998). Terdapat pula
teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD-PCR) yang ternyata
diketahui lebih sederhana dan lebih cepat dalam pelaksanaannya. Cenis (1993)
mengadopsi RAPD-PCR untuk mengidentifikasi 4 spesies NPA, tetapi tidak diuji
coba untuk juvenil II NPA kecuali M. javanica. Teknik lainnya adalah PCR ITS rDNA (Internal Transcribed Spacer Ribosomal DNA) berdasarkan sistem kerja

17

pemisahan spesies Meloidogyne dengan amplifikasi gen DNA ribosoma.
Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan langkah yang efektif
untuk melihat karakterisasi dan identifikasi nematoda (Powers dan Harris 1993).
Bagian genom yang paling informatif adalah bagian ribosomal DNA repeat unit
(r-DNA), yang mengandung Internal Transcribed Spacers 1 (ITS1) dan ITS2.
Prosedur yang dilakukan pada teknik PCR untuk identifikasi nematoda
dimulai dengan proses ekstraksi DNA NPA yang dapat dilakukan dengan
beberapa metode, antara lain (1) metode minipreparation yang dilakukan oleh
Cenis (1993) untuk mengekstraksi jumlah DNA yang cukup banyak dari
nematoda betina dewasa; (2) Metode buffer lisis; (3) Metode air steril yang
menggunakan air steril untuk mengekstraksi DNA nematoda.
Menurut Muladno (2010), proses amplifikasi DNA nematoda terjadi
melalui tahap awal yakni tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada suhu 94
0

C sampai dengan 96 0C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga

strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal.
Tahap kedua, pada suhu 50 0C sampai dengan 60 0C terjadi proses
penempelan atau annealing. Primer forward yang runutan nukleotidanya
berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi
komplemennya. Hal yang sama juga terjadi pada primer reverse yang menempel
pada untai tunggal lainnya.
Proses berikutnya, setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya
masing-masing, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang
dimulai dari ujung 3” masing-masing primer. Sintesis molekul DNA baru ini
disebut juga dengan proses ekstensi yang terjadi pada suhu 72 0C. Setelah proses
tersebut, satu untai DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua untai DNA.
Proses ini terjadi berulang kali, mulai dari denaturasi, penempelan, dan sintesis.
Suhu pada proses denaturasi dan ekstensi bersifat tetap, masing-masing pada suhu
95 0C dan 72 0C, sedangkan suhu penempelan (annealing) bergantung pada
panjang atau pendeknya primer (Muladno 2010). Siklus PCR yang dilakukan
untuk nematoda (NPA) pada wortel sebanyak 45 kali (Kurniawan 2010).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan identifikasi penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel
dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Laboratorium Virologi Departemen
Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan
sampel wortel yang terserang penyakit umbi bercabang dilakukan di daerah
Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun
Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian
dilakukan sejak bulan April 2011 hingga Oktober 2011.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahap kegiatan: (1) survei dan
pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit pada tanaman wortel, (3) identifikasi
sidik pantat, dan (4) identifikasi biologi molekuler.

Survei dan Pendataan

Survei
Survei dilakukan secara acak di beberapa kebun wortel milik petani di
daerah Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun
Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Lokasi
pengambilan sampel pertama (lokasi 1) bertempat di Dusun Sirangkel dengan
ketinggian lokasi 1300-1500 m dpl. Titik pengambilan sampel kedua dilakukan
pula di Dusun Sirangkel dengan ketinggian yang berbeda dari lokasi pertama
yakni 1500-1700 m dpl. Lokasi pengambilan sampel ketiga bertempat di Dusun
Condong Campur dengan ketinggian > 1700 m dpl.
Salah satu metode pengambilan sampel yang dapat digunakan adalah pola
zig-zag, dan tidak menutup kemungkinan akan menggunakan metode lain sesuai
dengan kondisi di lapangan (Barker and Campbell. 1981). Sampel yang diambil
berupa sampel umbi dan perakaran wortel yang bergejala. Sampel umbi yang

19

bergejala diusahakan dalam keadaan lembab dan disimpan dalam kantung plastik
secara terpisah. Bagian atas tumbuhan biasanya lebih cepat membusuk sehingga
harus ditempatkan di dalam kantung khusus bila ingin disimpan dalam beberapa
hari (Trigiano et al. 2004).

Pendataan
Pendataan dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai lokasi
kebun, ketinggian tempat, luas kebun, varietas wortel yang ditanam, produksi per
hektar, jumlah dan tipe puru, keberadaan wortel bercabang, adanya hairy root,
teknik olah tanah, kedalaman olah tanah, jenis tanah, intensitas dan asal irigasi,
serta penggunaan pupuk dan nematisida. Hasil pendataan dimaksudkan untuk
dapat memberikan informasi tambahan tentang kondisi wilayah serta keberadaaan
gejala penyakit di lahan pengamatan.

Identifikasi

Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel
Wortel yang terinfeksi oleh nematoda umumnya memiliki gejala yang
terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan
tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat
adanya gangguan saluran pengangkut nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005).
Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga
terlihat berbeda dengan tanaman yang tidak terinfeksi. Selain itu, tanaman
bergejala akan memperlihatkan keadaan umbi yang mengalami malformasi.
Kegiatan identifikasi gejala penyakit pada pertanaman wortel dilakukan
terhadap tanaman bergejala pada bagian tajuk (di atas permukaan tanah) dan
terhadap perakaran tanaman. Gejala pada bagian tajuk yang diamati berupa tinggi
tanaman (kerdil), warna daun (menguning, klorosis) dan kelayuan pada siang hari
sedangkan gejala pada bagian perakaran (umbi) berupa bentuk, ukuran puru, dan
keberadaan akar rambut (hairy root).

20

Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat
Identifikasi dilakukan melalui sidik pantat nematoda betina. Akar-akar
terinfeksi NPA dicuci untuk menghilangkan partikel tanah yang menempel.
Nematoda betina yang membengkak pada jaringan puru akar dicungkil hati-hati.
Bagian anterior dipotong dengan pisau khusus kemudian bagian posterior ditekan
agar kandungan di dalamnya keluar. Potongan dipindahkan ke dalam laktofenol
dingin (0.03% cotton blue) dan dibiarkan sedikitnya 24 jam. Bagian posterior
disayat dan jaringan di dalam dibuang secara hati-hati. Sidik pantat kemudian
dipindahkan ke gelas objek lain dengan ditetesi setetes laktofenol (0.01% cotton
blue). Gelas penutup direkat dengan kutek kuku kemudian diamati lebih lanjut di
bawah mikoskop cahaya dengan perbesaran 400x (Eisenback et al. 1981; Shurtleff
and Averre 2005). Sampel betina yang diamati secara keseluruhan berjumlah 150
ekor

Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA)
Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan menggunakan teknik PCR
ITS r-DNA. Secara sistematis proses dimulai dari ekstraksi DNA nematoda
langsung dari akar yang berpuru. Sebanyak 0,5 g puru akar ditambahkan dengan
nitrogen cair, digerus dengan mortar dan pestle. Kemudian ditambahkan buffer
ekstrak (50 mM Tris-HCl pH 8.0, 0.7 NaCl, 10 mM EDTA, 1 % CTAB) hingga
menjadi homogen dengan pistil. Hasil gerusan dimasukan ke dalam tabung mikro
2 ml, kemudian diinkubasi dalam penangas air (water bath) pada suhu 60 oC
selama 2 jam (setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses
lisis). Tabung mikro dari penangas selanjutnya didinginkan sekitar 3-5 menit pada
suhu ruang. Proses selanjutnya adalah penambahan chloroform dengan
perbandingan 1:1, dicampurkan hingga homogen dengan cara divorteks selama 3
menit. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan
12.000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi, diambil secara hati-hati sebanyak 500
µl dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru.
Sodium asetat (CH3COONa 3M; pH 5,2) ditambahkan ke dalam
supernatan dengan perbandingan 1:10 dan dicampur hingga homogen. Sebanyak 1
ml alkohol absolut ditambahkan untuk presipitasi DNA dan dicampur hingga

21

homogen. Selanjutnya, tabung diinkubasi pada suhu -20 oC selama 1 malam
(overnight). Suspensi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama
10 menit. Cairan dalam tabung dibuang dan pelet (endapan DNA) yang terbentuk
dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 200 ml, kemudian dilanjutkan dengan
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Cairan alkohol yang
digunakan untuk mencuci pelet dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Buffer
TE ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 µl sesuai dengan ketebalan
endapan DNA.
Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik untuk
M. javanica, M arenaria, M. incognita, dan multipleks primer untuk M. chitwood,
M. hapla, M. falax. Primer didesain dari bagian mitokondria untuk mengkode
sitokrom oksidase unit II dan 16S rRNA (Tabel 1).

Tabel 1 Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA
Spesies NPA
M. incognita

Tipe Primer
Spesifik

M. javanica

Spesifik

M. arenaria

Spesifik

M. hapla
M. chitwood
M. falax

Multipleks

Sequence 5’-3’
MI-F 5’-GTG AGG ATT
CAG TCT CCC AG-3’
MI-R 5’-ACG AGG
AAC ATA CTT CTC
CGT CC-3’
Fjav 5’