Analisis Prioritas Perlindungan Lahan Sawah pada Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten Garut

ANALISIS PRIORITAS
PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH
PADA KAWASAN STRATEGIS PERKOTAAN DI KABUPATEN GARUT

ZULYAN FIRDAUS AFIF

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Prioritas
Perlindungan Lahan Sawah pada Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten
Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor
Bogor, Agustus 2014

Zulyan Firdaus Afif
NIM. A156090041

RINGKASAN
ZULYAN FIRDAUS AFIF. Analisis Prioritas Perlindungan Lahan Sawah pada
Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten Garut. Dibawah bimbingan BABA
BARUS and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Perlindungan lahan sawah di Kabupaten Garut perlu dilakukan sejak dini,
hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberadaan serta jati diri Kabupaten Garut
sebagai lumbung padi Provinsi Jawa Barat dalam upaya mendukung ketahan
pangan nasional ditengah maraknya isu konversi lahan pertanian. Terutama
pada Kawasan Strategis Perkotaan yang pada dasarnya merupakan
pengembangan wilayaah dengan tujuan utama sebagai pusat perekonomian di
Kabupaten Garut.
Studi ini dilakukan sebagai upaya mendukung kemandirian pangan di
Kawasan Strategis Perkotaan. Realisasi dan implementasi kemandirian pangan
akan dapat terwujud apabila pemerintah daerah memiliki data dan informasi

akurat mengenai lahan pangan aktual yang diperuntukkan sebagai penghasil
pangan. Kajian dilakukan untuk mendapatkan informasi aktual lahan sawah
dengan pendekatan metode berbasis teknologi informasi spasial yang didukung
dengan data lapangan.
Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi aktual lahan
sawah di Kawasan Strategis Perkotaan Kabupaten Garut. Penghitungan neraca
lahan dilakukan dengan membandingkan kebutuhan dan ketersediaan lahan
pada Kawasan Strategis Perkotaan dan pada Kabupaten Garut. Penentuan
lahan prioritas menggunakan kriteria: 1) kelas kesesuaian lahan; 2) intensitas
pertanaman (IP); 3) sistem Irigasi; 4) luas hamparan; dan 5) jarak dari bahu jalan.
Kemudian dari sebaran lahan prioritas yang diperoleh, dilakukan pengelompokan
berdasarkan kriteria fisik yang homogen, sehingga diperoleh empat karakteristik
tipologi perlindungan lahan sawah di Kawasan Strategis Perkotaan.
Sebaran lahan prioritas pertama kemudian di bandingkan dengan pola
ruang dalam RTRW Garut tahun 2011-2013, sehingga diperoleh luas lahan
prioritas pertama yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan
Strategis Perkotaan adalah sebesar 2.079 Ha atau setara dengan 25,67% dari
luas wilayah. Artinya, jika lahan sawah prioritas pertama ini digunakan sebagai
sumber untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan standar minimal sebesar
30%, pemerintah hanya tinggal mencukupi kekurangan sebesar 4,33%.

Kata kunci: Kawasan perkotaan, Lahan aktual, Lahan prioritas, Neraca Lahan,
Perlindungan lahan.

SUMMARY
ZULYAN FIRDAUS AFIF. Priority Analysis, Protection of the wetland on Strategic
Urban Areas in Garut. Under supervision of BABA BARUS and DWI PUTRO
TEJO BASKORO.
The protection of paddy field in Garut needs to be done early on. It is
intended to maintain the existence and identity of Garut as the West Java rice
granary in achieving national food security in the midst of a agricultural
conversion issues. Especially on a strategic urban area which is basically area
development by the main purpose of economic development in Garut.
The study was conducted as an effort to support food self-sufficiency in the
Strategic Urban Area. Due the realization and implementation of the food selfsufficiency would be achieved if the government has accurate data and
information about the land which currently planted and reserved as a foodproducing lands. This research was specifically undertaken to gain information of
the actual paddy fields by spatial information technology based approach
supported with actual data verification.
Result of the study is description of the actual condition of paddy field in the
Garut Strategic Urban Area. An enumeration of the lands balance done by
comparing the needs and the lands availability of strategic urban area and Garut.

The determination of the land priority uses criteria: 1) land suitability classes; 2)
intensity per planting (IP); 3) irrigation systems; 4) breadth expanses; and 5) the
distance from the streets. The land priority was categories based on
homogeneous physical criteria, so that it product four characteristics of typology
of the protection of paddy field in the Strategic Urban Areas.
The first priority paddy field distribution is then compared with spatial plans
in Garut area, so that first priority of land acquired is accordance with the spatial
plans Strategic Urban Area is at 2,079 hectares, equivalent to 25.67% of the total
area. That is, if the first priority paddy field is used as a source for Green Open
Space (RTH) with a minimum standard of 30%, the local government only needs
to complete the shortfall of 4.33%.
Keywords: Actual land, Lands balance, Land protection, Land priority, Urban
areas.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk keperluan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

ANALISIS PRIORITAS
PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH
PADA KAWASAN STRATEGIS PERKOTAAN DI KABUPATEN GARUT

ZULYAN FIRDAUS AFIF

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Megister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Khursatul Munibah, MSc

Judul

:

Analisis Prioritas Perlindungan Lahan Sawah
pada Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten Garut

Nama

:

Zulyan Firdaus Afif

NRP

:


A 156090041

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL)

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian : 24 Juli 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin, “kehidupan harus terus berjalan, rintangan dan
kerikil tajam kehidupan adalah pembelajaran yang mendewasakan, saat semua
telah terlalui dengan senyum dan kebaikan, itulah arti sebuah keberhasilan”.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmad dan karunia-Nya sehingga peneletian dengan judul “Analisis Prioritas
Perlindungan Lahan Sawah pada Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten
Garut” yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2013
berhasil diselesaikan.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc dan
Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan untuk
memperbaiki proposal penelitian ini. Kepada tim kerja Pusat Pengkajian
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W-IPB) dalam studi Penyusunan
Kebijakan Lahan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Garut, Bapak Diar Shiddiq,

MSi, Selamet Kusdaryanto, MSi, Ir La Ode Syamsul Iman, MSi, Andi Syahputra,
MSi dan Arif Rahman, MSi yang telah membantu memberikan saran, masukan
dan memfasilitasi penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan lancar.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua,
keluarga, istri dan anak yang telah mendukung dan mendampingi dengan penuh
kasih sayang selama penulis menyelasikan studi. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah yang telah membantu memberikan saran dan pikirannya
selama proses penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014

Zulyan Firdaus Afif

DAFTAR ISI
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran

ii
iii

iii

PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang dan pernataan ruang
Kawasan Strategis Perkotaan
Lahan Pangan Berkelanjutan
Ketersediaan lahan dan penggunaan lahan
Alih fungsi/ konversi lahan pertanian

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan
Dampak konversi lahan
Sistem informasi geografis dan penginderaan jauh
Penelitian terdahulu
Kondisi umum wilayah penelitian

4
4
4
5
6
8
9
10
11
12
14

METODOLOGI
Waktu, lokasi dan batasan penelitian
Jenis, Sumber dan metode pengumpulan data
Kerangka pemikiran
Analisis faktor sosial ekonomi masyarakat keberlanjutan lahan sawah
Pemetaan lahan sawah aktual
Analisis neraca lahan sawah
Analisis penentuan lahan sawah prioritas

17
17
18
21
23
25
27
29

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik sosial ekonomi petani
Analisis sebaran lahan sawah
Perhitungan neraca lahan
Analisis lahan sawah prioritas
Karakteristik lahan prioritas pertama
Konsistensi lahan prioritas pertama dengan rencana pemanfaatan Pola Ruang di Kawasan Strategis Perkotaan

31
31
33
37
42
44
47

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
49

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

50
53
58

ii

DAFTAR TABEL
Tabel

Uraian

Halaman

1.

Sebaran rencana pola ruang RTRW Kabupaten Garut 2010-2030

7

2.

Luas baku sawah per Kecamatan di Kabupaten Garut tahun 2011

8

3.

Data luasan wilayah pada Kawasan Strategis Perkotaan di
Kabupaten Garut tahun 2011

14

4.

Sebaran tipe penggunaan lahan di Kabupaten Garut Tahun 2011

16

5.

Kecamatan dan desa Kawasan Strategis Perkotaan
Kabupaten Garut tahun 2013

18

Keterkaitan antara tujuan penelitian, jenis data dan sumber data,
metode analisis yang digunakan serta keluaran yang dihasilkan

19

7.

Jenis data dan sumber data yang digunakan

20

8.

Data teknik pemilihan responden

24

9.

Data sebaran responden pada masing-masing desa/ kelurahan

24

6.

10. Variabel, parameter dan simbol dalam penentukan lahan prioritas

29

11. Kriteria penentuan lahan prioritas

29

12. Sebaran pola ruang RTRW Kawasan Strategis Perkotaan

30

13. Sebaran responden berdasarkan usia, tingkat pendidikan danstatus kepemilikan lahan (orang)

31

14. Luas wilayah dan luas lahan sawah aktual di Kawasan StartegisPerkotaan tahun 2014

33

15. Sebaran luas wilayah dan luas lahan sawah aktual di KabupatenGarut Tahun 2014

36

16. Luasan wilayah dan sawah aktual di Kabupaten Garut tahun 2014

37

17. Variabel dan parameter penetapan neraca kebutuhan lahan

37

18. Status Neraca Lahan pada Kawasan Strategis Perkotaan di Kabupaten
Garut Tahun 2013-2037

38

19. Status Neraca Lahan Kabupaten Garut tanpa Kawasan Strategis
PerkotaanTahun 2012-2037

39

20. Status Neraca Lahan Total Kabupaten Garut Tahun 2013-2037

40

21. Indikator pengaruh lahan sawah di Kawasan Strategis Perkotaan
terhadap Kabupaten Garut

41

22. Sebaran Karakteristik lahan aktual pada Kawasan Strategis Perkotaan

43

23. Karakteristik spasial dan luas lahan prioritas pertama

45

24. Status konsistensi sawah terhadap pola ruang Kawasan StrategisPerkotaan

48

iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Uraian

Halaman

1.

Jumlah penduduk Kabupaten Garut tahun 2005-2012

2

2.

Peta administratif wilayah penelitian

17

3.

Kerangka pemikiran proses penelitian

21

4.

Diagram alur proses penelitian

22

5.

Proporsi distribusi responden berdasarkan kecamatan domisili

23

6.

Rencana lokasi sebaran sampel pengamatan di Kawasan Strategis
Perkotaan di Kabupaten Garut

26

7.

Peta pola ruang Kawasan Strategis perkotaan

30

8.

Peta sebaran lahan sawah di Kawasan Srtategis Perkotaan

33

9.

Peta sebaran lahan sawah di Kabupaten Garut tahun 2014

35

10. Peta sebaran lahan prioritas di Kawasan Strategis Perkotaan

39

11. Peta sebaran karakteristik spasial lahan sawah prioritas pertama

42

12. Peta sebaran tipe spasial lahan sawah prioritas pertama

43

13. Peta sebaran pola ruang pada lahan prioritas pertama

44

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran

Uraian

Halaman

1.

Contoh kuesioner yang digunakan dalam penelitian

53

2.

Hasil perhitungan luasan lahan sawah prioritas pada
Kawasan Strategis Perkotaan

57

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan menjelaskan bahwa lahan pertanian pangan
merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Bahwa negara harus bisa menjamin hak atas pangan
sebagai hak asasi setiap warga dalam kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan. Dalam hal ini, Pemerintah perlu menjamin penyediaan lahan pertanian
pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Sejalan dengan itu, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan
adalah hal yang sangat penting untuk direalisasikan. Dalam rangka mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan perlu diselenggarakan pembangunan
pertanian berkelanjutan. Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi
masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar
penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial,
bahkan memiliki nilai religius (UU RI No.41, 2009).
Dalam rangka pembangunan pangan berkelanjutan, lahan merupakan
sumber daya utama, terutama bidang usaha yang masih bergantung pada pola
pertanian berbasis lahan. Begitu pula dengan Kabupaten Garut yang merupakan
salah satu sentra penghasil padi Jawa Barat. Kabupaten ini merupakan
kabupaten yang potensial bagi pengembangan lahan pertanian pangan. Dengan
karakteristik fisik dan lingkungan yang mendukung, aksesibilitas strategis yang
berdekatan dengan kota-kota besar di sekitarnya memberikan dampak positif
bagi perkembangan sektor pertanian (Thinh et al. 2002).
Selain daya dukung lahan yang baik terhadap pengembangan pertanian
pangan, beberapa hal dapat menjadi ancaman bagi keberadaan lahan pangan di
Kabupaten Garut, diantaranya: pertambahan jumlah penduduk, nilai sewa lahan
pertanian yang rendah, serta rencana pemerintah pengembangan kawasan
strategis perkotaan. Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan non
pertanian jika dilakukan secara tidak terkendali akan memberikan dampak negatif
terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2013) Kabupaten Garut mencatat peningkatan
jumlah penduduk yang cukup signifikan. Jumlah penduduk pada tahun 1971
sebanyak 1.200.407 jiwa, sedangkan pada tahun 2012 sebanyak 2.485.732 jiwa.
Selama rentang tahun 1971-2012 terjadi peningkatan sebesar 107,7% atau
mencapai lebih dari dua kali lipat selama kurun waktu empat puluh satu tahun.
Secara diagram, jumlah penduduk Kabupaten Garut disajikan pada Gambar 1.
Menurut Rustiadi et al. (2009) ketersediaan sumberdaya lahan cenderung
tetap dan tidak bisa diperbaharui, akan tetapi kebutuhan terhadap lahan
meningkat setiap tahunnya baik untuk penggunaan pertanian sebagai kebutuhan
primer maupun untuk kebutuhan lain seperti pemukiman dan industri. Untuk
penggunaan pada sektor pertanian, nilai land rent lahan dianggap lebih rendah
jika dibandingkan dengan nilai sewa untuk penggunaan selain pertanian seperti
industri dan perumahan.

2

2600000

Tahun
Jumlah Penduduk

2.485.732

2500000

2.445.911

2.407.086
2.380.981
2.345.108
2.309.776
2300000
2.274.973
2.239.091
2400000

2200000

2100000

2000000

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Garut Tahun 2005-2012
Pemerintah Kabupaten Garut berencana mengembangkan Kawasan
Strategis Perkotaan yang meliputi enam kecamatan dengan 43 desa dan
kelurahan yang terdapat didalamnya. Kawasan perkotaan merupakan wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten/ kota terhadap perkembangan ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan (UU RI No 26, 2007). Secara tidak langsung
kawasan perkotaaan diberi mandat untuk melakukan perencanaan yang
berhubungan dengan dukungan terhadap pertumbuhan sosial ekonomi,
termasuk didalamnya pembangunan infrastruktur pendukung, seperti
aksesibilitas jalan yang baik, gedung dan bangunan penunjang, hingga lokasi
perekonomian baru (Jamal, 2001).
Pada tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Garut melalui Dinas Tanaman
Pangan dan Hortikultura bekerjasama dengan LPPM-IPB Pusat Pengkajian
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) telah melakukan kegiatan
kajian penyusunan kebijakan pencegahan alih fungsi lahan di Kabupaten Garut.
Hasil dari kajian tersebut menggambarkan bahwa luasan sawah aktual di
Kabupaten Garut pada tahun 2011 adalah sebesar 45,520 ha, sedangkan luasan
lahan sawah aktual di enam Kecamatan di Kawasan Strategis Perkotaan adalah
sebesar 7,211,84 ha atau setara dengan 15,76 persen dari luasan total lahan
sawah yang ada di Kabupaten Garut.
Lahan sawah pada Kawasan Strategis Perkotaan dinilai memiliki potensi
yang lebih besar untuk mengalami alih fungsi menjadi lahan non sawah. Kondisi
ini jika dibiarkan terjadi tanpa perencanaan dan pengendalian akan memberikan
dampak negatif terhadap keberadaan lahan. Dengan kondisi ini maka dinilai
perlu dilakukan kajian guna mendukung rencana pengembangan Kawasan
Strategis Perkotaan dalam upaya meningkatkan perekonomian wilayah tetapi
harus tetap memperhatikan keberadaan lahan sawah guna mendukung
pencapaian ketahanan pangan Kabupaten Garut.

3

Perumusan Masalah
Meningkatnya jumlah penduduk, nilai sewa lahan pertanian yang rendah,
serta rencana pemerintah pengembangan kawasan strategis perkotaan dinilai
berpengaruh langsung dalam meningkatnya degradasi, alih fungsi, dan
fragmentasi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di Kabupaten Garut.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi aktual lahan sawah di Kawasan Strategis Perkotaan dan
Kabupaten Garut
2. Bagaimana pengaruh keberadaan lahan sawah pada Kawasan Strategis
Perkotaan terhadap kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Garut
3. Bagaimana arahan pengembangan dan perlindungan lahan sawah pada
Kawasan Strategis Perkotaan.

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.

Tujuan penelitian ini adalah:
Mengidentifikasi dan memetakan lahan sawah aktual di Kawasan Strategis
Perkotaan.
Menganalisis pengaruh keberadaan lahan sawah di Kawasan Strategis
Perkotaan terhadap kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Garut.
Menganalisis dan memetakan lahan sawah prioritas pada Kawasan Strategis
Perkotaan.
Membuat arahan prioritas perlindungan dan pemanfaatan lahan sawah pada
Kawasan Strategis Perkotaan.

Manfaat Penelitian
1.
2.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah
Kabupaten Garut dalam upaya perlindungan lahan pangan berkelanjutan
pada Kawasan Strategis Perkotaan.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitianpenelitian selanjutnya.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang dan Penataan Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Sedangkan penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang (UU RI No 26, 2007).
Implementasi dari suatu proses penataan ruang pada suatu wilayah akan
dituangkan dalam suatu dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
didalamnya memuat rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang. Rencana
tata ruang merupakan suatu produk yang dihasilkan dari suatu proses
perencanaan yang didalamnya terdapat bentuk intervensi yang dilakukan agar
manusia dan lingkungannya mampu melakukan interaksi yang dapat berjalan
dengan serasi, selaras dan seimbang untuk suatu tujuan bersama pada saat ini
maupun untuk masa yang akan datang.
Perumusan Rencana Tata Ruang (RTRW) secara hierarki dan
kedalamannya dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/ Kota. Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang
wilayah negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional yang meliputi
sistem pemukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana wilayah yang
meliputi kawasan produksi, pemukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan
wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya pada waktu yang akan
datang serta penetapan kawasan tertentu dalam skala nasional. Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam
skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan
ruang yang bersifat lintas kabupaten dan kota, agar wilayah dan kawasan tetap
terjaga fungsi dan pengembangan ekonominya secara efisien, terjaga kelestarian
pemanfaatan sumberdaya alamnya, mewujudkan keterkaitan, keterpaduan dan
keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/ kota dengan kawasan serta
antar sektor kegiatan dapat berjalan secara sinergis dan efektif. Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota memberikan arahan pengembangan
pemanfaatan ruang yang mengacu pada struktur makro, penetapan lokasi
investasi, sistem pelayanan insfrastruktur dalam lingkup kabupaten/ kota, serta
arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dalam lingkup kabupaten/ kota (Dardak, 2005).

Kawasan Strategis Perkotaan
Perencanaan kawasan perkotaan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 34 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan,
dimana perencanaan kawasan ini diprioritaskan untuk: (a) menyediakan ruang
permukiman; (b) menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan,
dan jasa; (c) menyediakan ruang bagi pelayanan jasa pemerintahan; dan/atau d.
menyediakan ruang bagi pembangunan pusat kegiatan strategis nasional,
provinsi, dan kabupaten.

5

Pembentukan kawasan perkotaan dapat berupa: (a) kota sebagai daerah
otonom; (b) bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; (c) bagian
dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.
Dengan batas administrasi, luasan wilayah dan fungsi kawasan yang ditentukan
berdasarkan: (a) rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten; (b)
rencana tata ruang wilayah kabupaten; (c) hasil kajian kebutuhan ruang bagi
pengembangan kegiatan dan pelayanan perkotaan; dan (d) batas Kawasan yang
menggunakan batas desa.
Undang-undang No.26 tahun 2007 mendefinisikan bahwa kawasan
perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan.

Lahan Pangan Berkelanjutan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah
dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah di
Indonesia. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan
pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Pemerintah menegaskan bahwa lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan
pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Tetapi,
dalam hal untuk kepentingan umum dan terjadi bencana, lahan pertanian dapat
dialihfungsikan, adapun kepentingan umum yang dimaksud meliputi: jalan umum,
waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan
sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta
api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, dan/atau, pembangkit
dan jaringan listrik.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan hanya dapat
dilakukan dengan syarat: (a) dilakukan kajian kelayakan strategis; (b) disusun
rencana alih fungsi lahan; (c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik
dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; (e) mengganti nilai investasi infrastruktur. Dalam proses alih fungsi
lahan pertanian ini pemerintah membebankan segala bentuk penggantian
kerugian yang terjadi atas perubahan fungsi lahan kepada pihak yang telah
melakukan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
tersebut, dengan aturan, ketentuan dan sanksi hukum yang telah di tetapkan.
Dalam undang-undang LP2B mengatur sistem pengembangan lahan
pertanian melalui prosedur intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi kawasan
pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan dengan: (a) peningkatan
kesuburan tanah; (b) peningkatan kualitas benih/bibit; (c) diversifikasi tanaman
pangan; (d) pencegahan dan penanggulangan hama tanaman; (e)
pengembangan irigasi; (f) pemanfaatan teknologi pertanian; (g) pengembangan
inovasi pertanian; (h) penyuluhan dan/atau; (i) jaminan akses permodalan.

6

Sedangkan prosedur ekstensifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan
dapat dilakukan dengan: (a) pencetakan lahan pertanian pangan berkelanjutan;
(b) penetapan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan/atau (c) pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi
lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Lahan pertanian itu bukan dalam artian statis pada satu kawasan namun
lebih pada pemahaman dinamis yang dilihat dari kebutuhan dan kemampuan
dalam menjamin dan mencukupi ketahanan pangan rumah tangga, wilayah dan
nasional, serta kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya. Dari batasan
tersebut, terlihat bahwa suatu hamparan lahan ditetapkan sebagai lahan
pertanian pangan berkelanjutan, atau lahan yang tetap dipertahankan untuk
kegiatan pertanian, merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak terkait,
terutama menyangkut ketahanan pangan pada berbagai tingkatan dan
kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya, serta kesepakatan mengenai
satuan waktu tertentu lahan tersebut dipertahankan sebagai lahan pertanian
(Rustiadi et al. 2009).

Ketersediaan Lahan dan Penggunaan Lahan
Undang-undang No. 41 Tahun 2009 mendefinisikan bahwa lahan adalah
bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang
meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya
seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami
maupun akibat pengaruh manusia. Lahan pertanian adalah bidang lahan yang
digunakan untuk usaha pertanian. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan
dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Pemanfaatan penggunaan lahan harus dilakukan secara optimal, karena
setiap bidang lahan mempunyai karakteristik: 1) lahan tetap pada lokasinya dan
tidak dapat dipindahkan, karenanya kebijakan penggunaan lahan harus spesifik
sesuai dengan tempat; 2) supply atau penawaran terhadap lahan tidak
bertambah maupun berkurang, sehingga penetapan kebijakan haruslah
berorientasi pada konservasi lahan. Penggunaan sumberdaya alam juga harus
diilakukan atas dasar keberlangsungan, dengan tetap memperhatikan: 1)
efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan yang optimum dalam batas
kelestariannya, 2) penggunaan sumberdaya tidak mengurangi kelestarian
sumberdaya alam lainnya, dan 3) memberikan kemungkinan untuk mempunyai
pilihan penggunaan lahan di masa yang akan datang.
Untuk menjaga keberlangsungan serta kelestarian lahan, manusia harus
membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan lahan, diantaranya
adalah dengan upaya penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya. Tetapi
seringkali kita temukan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Banyak lahan yang memiliki kesuburan yang baik untuk
digunakan sebagai lahan pertanian tetapi justru digunakan untuk kebutuhan lain
selain pertanian, sementara disisi lain ada juga usaha pertanian yang justru
dilakukan di lahan yang tidak sesuai untuk usaha pertanian. Sehingga diperlukan
suatu perencanaan untuk mencapai produktivitas yang maksimal dalam
pengelolaan lahan pertanian.
Perencanaan penggunaan lahan merupakan suatu konsep pemanfaatan
luasan lahan pada suatu wilayah dapat memberikan manfaat yang optimal tanpa
merusak kelestarian lahan tersebut (Isa, 2006). Terkait dengan pemanfaatan

7

lahan untuk usaha tani padi sawah, dapat ditemukan beberapa permasalahan
yang biasanya dihadapi oleh para pelaku usaha tani di Indonesia, diantaranya: 1)
terbatasnya sumberdaya lahan yang sesuai bagi peruntukan budidaya padi
sawah; 2) sempitnya lahan sawah per kapita penduduk Indonesia; 3)
meningkatnya jumlah kepala keluarga petani gurem; dan 4) tingginya laju
konversi atau perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian juga berhubungan dengan nilai ekonomis dari
suatu luasan lahan. Nilai ekonomis atau economic dibedakan atas dua faktor,
yaitu : 1) ricardian rent, merupakan nilai intrinsik yang terkandung dalam
sebidang lahan seperti kesuburan dan topografi lahan sehingga mempunyai
keunggulan produktivitas; 2) location rent, adalah nilai tambah dari suatu luasan
lahan yang dipengaruhi oleh keunggulan lokasi dari lahan tersebut, terutama
pada konsep jarak dan hubungannya dengan biaya pada suatu bidang wilayah
(Rustiadi et al. 2011).
Rancangan alokasi pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Jawa Barat
dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu kawasan budidaya dan kawasan
lindung, dengan masing-masing proporsi kawasan budidaya sebesar 25,8% dan
kawasan lindung sebesar 74,2% (Perda Jabar No 22, 2010). Peraturan daerah
tentang RTRW Provinsi ini berimplikasi langsung pada rencana pola ruang
RTRW Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat, termasuk di dalamnya
adalah Kabupaten Garut. Data luasan dan Presentase Rencana Pola Ruang
Revisi RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Garut 2010-2030
No.
Kawasan/ pola Ruang
Luas (ha)
Persentase (%)
25,8
Kawasan Budidaya
79.484,80
a. Hutan produksi terbatas
8.977,72
2,9
b. Hutan produksi
147,26
0,1
c. Perkebunan
18.952,64
6,2
1.
d. Pemukiman
5.119,99
1,7
e. Pertanian lahan basah
20.237,70
6,6
f. Pertanian lahan kering
25.714,65
8,4
g. Perikanan budidaya
8,57
0,0
h. Peternakan
326,29
0,1
Kawasan Lindung
228.163,62
74,2
a. Hutan lindung
78.756,47
25,6
b. Hutan konversi
12.106,16
3,9
c. Sepadan sungai/ pantai
13.943,62
4,5
2
d. KLNH- Gerakan tanah
66.715,38
21,7
e. KLNH- Gunung api
18.545,24
6,0
f. KLNH- Rawan tsunami
3.435,28
1,1
g. KLNH- Resapan air
34.661,48
11,3
Jumlah
307.648,45
100,0
Sumber : Draft RTRW Kabupaten Garut 2010-2030
Kawasan Budidaya di Kabupaten Garut didominasi oleh penggunaan untuk
pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Besaran masing masing
penggunaan untuk pertanian lahan kering adalah sebesar 8,4% dan pertanian
lahan basah sebesar 6,6%.

8

Sementara itu luasan lahan sawah di Kabupaten Garut tersebar hampir
merata pada setiap kecamatan, data luasan baku sawah per Kecamatan di
Kabupaten Garut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Baku Sawah per Kecamatan di Kabupaten Garut Tahun 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kecamatan

Luas (ha)

Banjarwangi
Banyuresmi
Bayongbong
Bl. Limbang
Bungbulang
Caringin
Cibalong
Cibatu
Cibiuk
Cigudeg
Cihurip
Cikajang
Cikelet
Cilawu
Cisewu
Cisompet
Cisurupan
Garut Kota
Kadungora
Karang Pawitan
Karang Tengah

1,725.22
1,201.34
1,407.48
1,610.26
2,868.71
1,223.22
894.31
1,114.64
509.26
169.52
611.86
156.20
1,629.64
1,180.40
2,102.10
1,643.13
867.68
894.83
1,292.02
1,485.36
308.09

(%)
3.79
2.64
3.09
3.54
6.30
2.69
1.96
2.45
1.12
0.37
1.34
0.34
3.58
2.59
4.62
3.61
1.91
1.97
2.84
3.26
0.68

No

Kecamatan

22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Kersamanah
Leles
Leuwigoong
Malangbong
Mekarmukti
Pakenjeng
Pameungpeuk
Pamulihan
Pangatikan
Pasir Wangi
Peundeuy
Samarang
Salaawi
Singajaya
Sucinaraja
Sukaresmi
Sukawening
Talegong
Tarogong Kaler
Tarogong Kidul
Wanaraja

Jumlah

Luas (ha)

(%)

586.59
1,069.17
924.53
1,811.85
961.21
2,344.05
1,010.58
246.54
501.23
679.10
743.18
1,045.62
912.01
1,338.15
310.40
740.68
1,030.78
1,901.68
1,168.23
844.49
455.24

1.29
2.35
2.03
3.98
2.11
5.15
2.22
0.54
1.10
1.49
1.63
2.30
2.00
2.94
0.68
1.63
2.26
4.18
2.57
1.86
1.00

45,520.60

100.00

Sumber : Barus et al. (2011).

Alih Fungsi Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah perubahan fungsi
lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan
berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara (UU RI No 41, 2009).
Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian bukanlah
semata-mata fenomena perubahan luasan lahan pertanian saja, melainkan
merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan
manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi
ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat.
Menurut Kustiawan (1997) terdapat tiga hal yang melatarbelakangi
perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, diantaranya (1)
dalam konteks makro, fenomena ini merupakan dampak dari proses transformasi
ekonomi (dari pertanian ke industri), yang memicu pada peningkatan kebutuhan
atas lahan untuk pemanfaatan pada sektor non-pertanian; (2) fenomena konversi
yang terjadi justru pada lahan sawah yang selama ini berperan sebagai sentra
produksi padi, terutama pada wilayah pulau Jawa yang memiliki nilai produktifitas
lahan sawah yang tinggi; (3) fenomena konversi lahan pertanian terkait dengan

9

dampak sosial ekonomi pada skala mikro rumah tangga pertanian, terutama
kaitannya dengan kebutuhan ekonomi, struktur ketenagakerjaan dan
penguasaan dan kepemilikan lahan pertanian di pedesaan.
Alih fungsi lahan sering kali memiliki permasalahan klasik berupa: 1)
efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut pandang ekonomi; 2)
keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan keadilan penguasaan
sumberdaya, serta; 3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungan. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan
yang erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga permasalahanpermasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan
dengan pendekatan-pendekatan yang parsial, namun memerlukan pendekatanpendekatan yang terintegratif (Rustiadi et al. 2011).
Selain itu, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
seperti pemukiman dan industri, akan mengakibatkan perubahan penggunaan
lahan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat kembali lagi (irreversible),
tetapi bila beralih fungsi menjadi lahan sawan menjadi lahan pertanian lain
seperti perkebunan biasanya bersifat sementara dan suatu saat dapat
dikembalikan lagi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Secara garis besar faktor utama yang mempengaruhi konversi lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian di kelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor
sosial, faktor ekonomi dan faktor peraturan dan kebijakan.
a.

Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi perubahan fungsi lahan pertanian dapat
dikelompokkan menjadi lima diantaranya: 1) perubahan perilaku masyarakat; 2)
hubungan pemilik dengan lahan; 3) pemecahan luasan dan kepemilikan lahan; 4)
pengambilan keputusan; dan 5) apresiasi pemerintah dengan aspirasi
masyarakat (Witjaksono, 1996). Pada poin empat dan lima, berhubungan dengan
sistem pemerintahan, dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan
abdi masyarakat seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali, sehingga alih
fungsi lahan bisa dikendalikan.
b.

Faktor ekonomi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk
penggunaan pertanian sangat inferior dibandingkan dengan penggunaan untuk
perumahan dan industri. Didalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan
berlangsung akibat dari aktifitas dengan nilai lahan (land rent) yang lebih rendah
ke aktifitas-aktifitas yang land rent nya tinggi (Rustiadi et al. 2011).
Nilai jual lahan yang diterima oleh pemilik lahan dalam proses alih fungsi
lahan dipengaruhi secara nyata oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) status
lahan; 2) jumlah serapan tenaga kerja; 3) jarak dari saluran tersier; dan 4) jarak
dari kawasan industri atau pemukiman, sementara produktifitas lahan, jenis
irigasi dan peubah lain tidak berpengaruh secara signifikan (Jamal, 2001).
c.

Faktor peraturan dan kebijakan

Faktor kebijakan pemerintah juga berpengaruh dalam perubahan alih
fungsi lahan pertanian. Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi pemicu
dalam meningkatnya konversi lahan pertanian adalah kebijakan pembangunan

10

pemukiman skala besar dan kota baru, kebijakan ini berimplementasi pada
meningkatnya perubahan izin lokasi yang dikeluarkan instansi terkait.
Selain memberikan dampak sebagai pemicu terjadinya konversi lahan
pertanian, pemerintah juga berupaya mencegah konversi lahan pertanian melalui
Undang-undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta beberapa peraturan pemerintah turunannya.
Dalam undang-undang ini, kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan
(jangka panjang, menengah dan tahunan) melalui tahapan perencanaan dari
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional.
Undang-undang No.41 Tahun 2009 menegaskan bahwa lahan pertanian
yang telah ditetapkan sebagai Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan tidak bisa
dialih fungsikan. Adapun lahan yang telah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dapat dialihfungsikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian Lahan
yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk
kepentingan umum dapat dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang cukup
berat. Selain itu, pemerintah melalui turunan UU No.41 Tahun 2009 mengatur
beberapa hal terkait dengan perlindungan lahan pangan, diantaranya PP No.01
Tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan, PP No.12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan, PP No.25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No.30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Bahkan secara lebih
teknis pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No.07/
Permentan/OT.140/2/2012 tentang pedoman teknis kriteria dan persyaratan
kawasan lahan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan.

Dampak Alih Fungsi Lahan
Konversi lahan yang tak terkendali adalah ancaman serius bagi masa depan
suatu negara. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh; produksi
pangan domestik menurun; meningkatkan tergantung pangan impor;
meningkatnya jumlah penganggur karena tenaga kerja di sektor pertanian
kehilangan lapangan pekerjaan; arus urbanisasi meningkat yang akan
mengakibatkan timbulnya masalah baru di ibu kota; serta kerusakan alam dan
ekosistem yang berakibat pada meningkatnya suhu udara, kemungkinan erosi,
banjir dan longsor; kualitas dan kuantitas air menurun, demikian juga dengan
biodiversity dan kebudayaan perdesaan.
Sawah atau lahan pertanian tidak hanya sebagai penghasil pangan, karena
lahan pertanian juga mempunyai fungsi menjaga kestabilan hidrologis DAS,
menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik
pedesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan. Alih fungsi
lahan berkaitan dengan hilangnya akses penduduk perdesaan pada sumber
daya utama yang dapat menjamin kesejahteraannya dan hilangnya mata
pencarian penduduk agraris.
Ditinjau dari aspek produksi pertanian, kerugian yang disebabkan oleh alih
fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa selama kurun waktu 1981-1998
diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta
ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 1984-1997
yang berkisar antara 1,5 – 2,5 ton/tahun (Irawan et al. 2000).
Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi
pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini juga dapat

11

menjadi ancaman terhadap daya dukung wilayah, perekonomian serta sosial
budaya masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian juga mengancam ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti yang telah ditetapkan pemerintah dalam
Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang dengan standar
minimal 30%.
Alih fungsi lahan pertanian juga menyebabkan makin sempitnya luasan
lahan yang diusahakan, yang dapat berdampak pada menurunnya tingkat
kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian
pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu
upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dalam rangka
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat.

Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan
kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial)
bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Pendapat lain mendefinisikan SIG sebagai suatu sistem Informasi yang
dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek
yang dihubungkan secara geogrfis di bumi (georeference). Disamping itu, SIG
juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data
yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi.
Pengertian SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial
atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Dalam
hubungannya dengan teknologi komputer, SIG didefinisikan sebagai sistem
berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi
geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan
pemanggilan kembali), memanipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai
hasil akhir/output,
Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data yang
diolah memiliki referensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari fenomena
atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi
keruangan. Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah
untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan
sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa dimanfaatkan
dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi
dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi.
Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data
vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat
(grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data
yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan
menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon).
Komponen utama SIG adalah sebagai berikut: 1) Masukan data, merupakan
proses pemasukan data pada komputer dari peta (peta topografi dan peta
tematik), data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh data hasil
pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain. Data-data spasial dan
atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital tersebut dikonversikan
kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basisdata
(database); 2) Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan
retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali

12

dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/cetak pada
kertas); 3) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan
berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat
buffer zone jarak tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Manipulasi
dan analisis data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam
melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan
menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi; 4) Pelaporan
dapat menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data dari model menjadi
bentuk peta atau data tabular (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Beberapa alasan mengapa penggunaan SIG, diantaranya adalah: 1) SIG
menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi; 2) dapat
digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan
pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur
geografi yang ada dipermukaan bumi; 3) SIG dapat memisahkan antara bentuk
presentasi dan basis data; 4) SIG memiliki kemampuan menguraikan unsurunsur yang ada dipermukaan bumi kedalam beberapa layer atau coverage data
spasial; 5) SIG memiliki kemapuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan
data spasial berikut atributnya; 6) semua operasi SIG dapat dilakukan secara
interaktif ; 7) SIG dengan mudah menghsilkan peta-peta tematik; 8) peragkat
lunak SIG menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak
lain; 9) SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang
spasial dan geoinformatika.
Barus dan Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat
yang handal untuk menangani data spasial, dimana data dipelihara dalam bentuk
digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel
atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat
pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.

Penelitian Terdahulu
Beberapa kajian yang telah dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor
penentu perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian,
diantaranya dilakukan oleh Nasution dan Winoto (1996) yang mengulas
pengaruh kelembagaan dalam perubahan fungsi lahan, dimana diantaranya
disebabkan oleh: 1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah
dan masyarakat; dan 2) sistem non kelembagaan yang berkembang secara
alami dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh
pemerintah dan masyarakat antara lain direpresentasikan dalam bentuk
perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan konversi lahan,
sedangkan hukum adat yang berlaku merupakan representatif dari sistem non
kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat. Dalam
penelitiannya, Nasution dan Winoto (1996) menggambarkan bahwa konversi
lahan pertanian 59,5 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan
dengan sistem pertanian yang ada, seperti perubahan dalam Land Tenure
System dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor di luar sistem
pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan
32,17 persen, sedangkan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.
Rustiadi et al. (2002) juga pernah mengkaji perubahan alih fungsi lahan dan
pemanfaatan ruang di Jabotabek. Penelitian ini menganalisis struktur yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang diduga sebagai penentu perubahan
penggunaan lahan di Jabodetabek, dan menyimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, diantaranya yaitu: 1) struktur

13

penggunaan lahan; 2) struktur pendidikan masyarakat; 3) struktur aktivitas
perekonomian masyarakat; dan 4) kelengkapan dan daya dukung insfrastruktur
wilayah.
Menurut Saefulhakim et al. (2003) yang melakukan kajian terhadap struktur
utama yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan menyimpulkan
bahwa beberapa faktor yang berpengaruh nyata dalam perubahan penggunaan
lahan adalah: (1) tipe penggunaan lahan sebelumnya, (2) status kawasan dalam
kebijakan tata ruang, (3) status perizinan penguasaan lahan, (4) karakter fisik
lahan, (5) karakter sosial ekonomi masyarakat dan (6) karakteristik spasial
aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah.
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan juga diteliti
oleh Carolita (2005) yang menyimpulkan bahwa faktor pemicu perubahan
penggunaan lahan di Jabotabek adalah; (1) faktor fisik lahan (ketinggian lahan,
kemiringan lahan, jenis tanah, jenis penggunaan lahan sebelumnya), (2) faktor
sosial ekonomi (kepadatan penduduk, jarak dari pusat desa) dan (3) arahan
penggunaan lahan (RTRW). Penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat
kelerengan dan ketinggian lahan merupakan faktor yang berpengaruh nyata yaitu
kelerengan berkisar antara 0-3% dan ketinggian lereng antara 250-400 meter.
Sedangkan jarak dari pusat desa, kepadatan penduduk, jenis penggunaan lahan
sebelumnya dan arahan penggunaan lahan (RTRW), secara statistik tidak nyata
sebagai penyebab perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek.
Firdian (2011) melakukan penelitian tentang pola pemanfaatan ruang
berbasis daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut. Hasil evaluasi
kesesuaian lahan menunjukkan jika dilihat dari pemanfaatan aktual maupun
perencanaan pemanfaatan ruang secara umum masih dikategorikan belum
sesuai. Kondisi daya dukung lahan di Kabupaten Garut masih dalam kategori
defisit. Begitu juga de