menghasilkan anggota masyarakat yang baik, dan mengalirkan darah baru ke urat- urat masyarakat sehingga menjadi lebih segar, kuat, maju, dan berkembang.
Dalam menuju kehidupan rumah tangga yang rukun, bagi masyarakat adat Jawa, sangatlah penting untuk melalui prosesi acara pernikahan adat Jawa terlebih
dahulu dengan segala aturan adat-istiadat yang dikomunikasikan dengan simbol- simbol demi kebahagiaan kedua mempelai kelak. Simbol-simbol pengungkapan
atas nilai yang diyakini Endraswara, 2005: 99. Hal ini tentu saja tidak terlepas pada kebudayaan Jawa yang bersifat sinkretis dan unsur animisme, seperti yang
telah penulis paparkan sebelumnya.
Adapun prosesi acara pernikahan adat Jawa tersebut antara lain: Pertama, Slametan Among Tuwuh adalah ritual Jawa yang bertujuan memperoleh
keselamatan. Kedua, Pasang Tarub Agung yakni secara simbolis bermakna agar masyarakat umum mengetahui bahwa keluarga yang bersangkutan sedang
mempunyai hajat melangsungkan pernikahan. Ketiga, Malam Midodareni dengan cara tirakatan dan lek-lekan untuk menolak bala marabahaya dan pelaksanaan
upacara pernikahan dapat berjalan lancar dan bersamaan dengan acara ini juga dilakukan siraman pada pengantin di masing-masing kediaman orangtua.
Keempat, Janji Suci Ijab Kabul, yang menandai adanya pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan wali ke pihak pengantin pria. Kelima, Prosesi Temu
Pengantin yang merupakan ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa mereka adalah pasangan suami isteri yang sah Purwadi, 2004: 13-29.
Temu Pengantin atau Temu Manten merupakan puncak upacara atau upacara inti dari keseluruhan proses pernikahan pengantin adat Jawa. Jika pada prosesi
pertama sampai ketiga kegiatan dilakukan pada masing-masing kediaman pengantin maka pada prosesi Temu Manten ini kedua mempelai saling bertemu
dan melangsungkan kegiatan yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol baik benda maupun tindakan. Adapun prosesi atau ritual secara simbolik tersebut
antara lain acara sanggan atau tukar kembang mayang, balangan ghantal, wiji dadi, sinduran, mangku, tanem, kacar kucur, dahar walimah, menjemput besan
serta sungkeman.
Prosesi Temu Manten merupakan kewajiban bagi kedua pengantin untuk melaksanakannya meskipun masing-masing pengantin sudah melaksanakan
Slametan among tuwuh, pasang tarub agung, serta malam midodareni. Secara garis besar, prosesi Temu Manten ini mengandung fatwa-fatwa religius dan sangat
berarti bagi kebahagiaan atau kerukunan pengantin dalam membina rumah tangga. Hal ini dikarenakan kepercayaan orang Jawa terhadap adat-istiadat serta
pandangan hidup yang telah diwariskan secara turun temurun.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai nilai-nilai budaya dalam prosesi temu manten adat Jawa pada pasangan
suami istri, yang dilakukan pada Dewan Pimpinan Cabang DPC Himpunan Ahli Rias Pengantin Melati Kota Bandar Lampung. Organisasi ini secara intensif
melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan upaya pelestarian kebudayaan dan adat Jawa khususnya dalam jasa merias pengantin dan memediasi
prosesi temu manten dalam pernikahan adat Jawa, sehingga sesuai dan sangat mendukung pelaksanaan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Apakah nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi temu manten adat Jawa?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi temu manten adat Jawa.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan sumbangan
yang berarti bagi perkembangan Ilmu Sosoiologi, khususnya bidang kajian nilai-nilai budaya yang terdapat pada acara Temu Manten Adat Jawa.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang bermaksud
melakukan penelitian sosiologi kebudyaaan pada masa-masa yang akan datang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebudayaan Adat Jawa 1. Pengertian Kebudayaan
Sebelum beranjak pada pengertian budaya Jawa terlebih dahulu dirumuskan pengertian kebudayaan itu sendiri. Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
Sansekerta yakni buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berartibudi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan
dengan budi atau akal”.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto 1990: 89, merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan material culture yang diperlukan manusia untuk bertahan dan menguasai alam sekitarnya.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai sosial untuk mengatur masalah kemasyarakatan dalam arti luas termasuk agama,
ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur hasil ekspresi jiwa manusia sebagai masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental yakni cara berfikir
manusia yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Kebudayaan merupakan bagian dari masyarakat yang diperoleh melalui belajar
dari masyarakat mencakup kepercayaan, adat-istiadat serta norma. Atau dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat untuk kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang bersifat
sebagai kesatuan. Banyak pendapat para sarjana tentang unsur-unsur kebudayaan. Namun C. Kluckhohn, dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of
Culture 1953, menganalisa dan menyimpulkan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals Koentjaraningrat, 1990: 203-204:
1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup 6. Sistem religi
7. Kesenian
Berdasarkan unsur-unsur kebudayaan universal di atas, maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam prosesi Temu Manten terdapat tiga unsur
kebudayaan universal yaitu: 1. Bahasa, karena dalam prosesi Temu Manten digunakan Bahasa Jawa sebagai
bahasa pengantar yang digunakan dalam beberapa bagian dari prosesi ini, misalnya pada prosesi mangku, menjemput besan dan sungkeman.
2. Sistem pengetahuan, karena dalam prosesi Temu Manten melibatkan adanya sistem pengetahuan pada kebudayaan Jawa, pengetahuan pada nilai dan norma
serta pengetahuan pada pesan-pesan yang terkandung dalam prosesi Temu Manten itu sendiri.
3. Kesenian, karena dalam prosesi Temu Manten terdapat unsur kesenian Jawa, seperti penggunaan musik pengiring, seni kerajinan tangan pada pakaian yang
digunakan pengantin maupun kedua orang tua mereka, sebagai hasil dari karya seni Adat Jawa.
2. Kebudayaan Adat Jawa
Berbicara masalah kebudayaan Jawa, seperti diketahui, bahwa kebudayaan Jawa telah tua umurnya sepanjang orang Jawa ada sejak itu pula orang Jawa memiliki
citra progresif dengan mengekspresikan karyanya lewat budaya. Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup
kemauan, cita-cita, ide dan semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin Endraswara, 2005: 1.
Budaya Jawa lahir dan berkembang, pada awalnya, di pulau Jawa yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km dan lebarnya 500 km bila diukur dari
ujung-ujungnya yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa
Endraswara, 2005: 6.
Budaya Jawa bersifat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu- Jawa, dan Islam serta animisme. Menurut Achmadi seperti dikutip Endraswara
2005: 12-13, bahwa dalam segala perkembangannya itu, kebudayaan Jawa masih tetap pada dasar hakikinya, yang menurut berbagai kitab Jawa Klasik dan
peninggalan lainnya dapat dirumuskan dengan singkat sebagai berikut: