Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan)

(1)

Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.

DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN

NEGARA DAN LELANG MEDAN)

T E S I S

Oleh

NEVAYANTI

077011052/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(2)

Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.

PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN

LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA

MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN

DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN

NEGARA DAN LELANG MEDAN)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NEVAYANTI

077011052/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.

Judul Tesis : PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN

NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN)

Nama Mahasiswa : Nevayanti Nomor Pokok : 077011052 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Muhammad Abduh, SH)

(Prof.Dr.Budiman Ginting, SH,MHum) (

Anggota Anggota

Dr.Pendastaren Tarigan, SH,MS)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)


(4)

1

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

ABSTRAK

Berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara merupakan dasar bagi Pengurusan Piutang Negara yang berasal dari kredit macet Bank Pemerintah. Lembaga PUPN ini diadakan untuk melakukan penarikan kembali dana-dana pemerintah yang macet dalam pengembaliannya secara efektif dan efisien dan waktu yang singkat tanpa melalui proses pengadilan. Meningkatnya jumlah kredit bermasalah mengakibatkan pemerintah merasa perlu diadakan revisi dalam tata cara penghapusan piutang negara/ daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006, yang merupakan konsistensi dari Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960 sehingga dapat meringankan pengusaha kecil dan menengah dalam hal pengembalian utangnya pada negara.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai peran Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan kredit macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006. Untuk itu jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yaitu didasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan lalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan alat penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, dan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian, KPKNL sebagai instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 perannya dalam penanganan kredit macet Bank BUMN sudah semakin berkurang. Pengurusan piutang diserahkan pada masing-masing BUMN yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat yang diatur Undang-Undang tentang BUMN dan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Namun dalam penerapannya dirasakan sangat sulit menyatukan persepsi terhadap PP ini karena masih ada peraturan yang lebih tinggi menganjal penerapan PP tersebut sehingga menimbulkan kerancuan, yang dalam ini adalah terjadinya ketidakpastian hukum. Namun dengan sosialisasi yang merata dari pihak terkait (Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan aparat penegak hukum) dan adanya niat baik dari para bankir dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 ini serta adanya aturan normatif yang mampu menjamin kepastian hukum, diharapkan pengembalian asset negara lebih terjamin dan peran KPKNL lebih terfokus pada pengelolaan aset pemerintah yang ada di lingkungan Departemen Keuangan.

Kata kunci : Pelayanan, kekayaan, piutang macet, lelang


(6)

ABSTRACT

The enactment of Law No.49 Prp of 1960 regarding Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), the Committee of National Receivable Terms is constitute base for handling the national receivable originally emerged on a bad credit owned by government banks. This PUPN institute is established primary to got refund any government fund as congestion, for repayment due to is not effective and efficient, to tackle it in a short time without got any court process. Rising the amount of stagnant credit resulting in the authority is urged to produce a revision in finding a properly way to write off the state receivable as it is cast in a government regulations No.33 of 2006, as it is a consistency to the Law No.49 Prp Regulations of 1960 for it may relieve especially those small and middle scale enterprises in repaying their debts to state.

This study is completed descriptively aimed to describe and analyze the data which is obtained systematically, factual, and accurately regarding the role of Kantor Pelayanan Keuangan Negara and Lelang (KPKNL)- the State Auction Office in handling the bad credit before and after taking effective the Government Regulations No.33 of 2006. The research to this study adopting an empirical juridical method based on a fact occurred in field, then to relate it to the regulations rule as effective, whereas the research tool adopted is document study, and the interview guidance. The analysis to the data made qualitatively by using an inductive method.

The result of study showed that KPKNL as a vertical authority for the Direktorat Jenderal Kekayaan Negara function under and responsible directly to the Head Office of Regional since thence issuing the Government Regulations No.33 of 2006 its role in handling a bad credit on State Banks got run to minimal. Later, the receivable matter is surrendered to each State Banks as managed based on a healthy principles corporation in managed as ruled according to the Regulations on BUMN and the Law on Limited Corporations. Accordingly, in applied it seemly difficulty to unite perception on this Regulations since found a high rank regulations to barrier it and it cause a confusion, in this case existing uncertainly in law enforcement. It is fortunately, by socialization uniformly valid conducted by the Finance Department, Bank Indonesia and the authority and under a good will by those bankers in implementing the government regulations of No.33 of 2006 even existed a normative rules capable to assure the law enforcement, it is hopefully the restitution the state assets shall be more securely and the role of KPKNL shall be more focused on managing the government assets available on the scope of Finances Department.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN

LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN)”.

Pada penulisan tesis ini, penulis telah memperoleh banyak bantuan, dukungan, dorongan secara moril, masukan dan saran sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itulah dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada yang terhormat komisi pembimbing Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,

SH, MHum dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS atas kesediaannya

dalam membantu dan memberikan bimbingan serta arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad

Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn yang telah


(8)

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Kepada yang tercinta Papa Prof. dr. H. Nazar Moesbar, SpB, SpOT.K dan Mama Hj. Marlinawati yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang dan doa kepada penulis untuk selalu berbuat yang terbaik.

5. Kepada Almarhum Papa Mertua Ir. H. Aboebakar Ayub dan Mama Mertua Hj. Siti Hamidah yang telah mendorong penulis dalam melanjutkan pendidikan. 6. Kepada keluarga kecil penulis, suamiku Ir. Bob Erwin, anak-anakku M. Faishal

Erwin, Fathia Qanita Erwin & M. Fadhil Fachriza yang telah rela kehilangan sebagian waktu bersama ketika penulis menjalani pendidikan hingga selesai. 7. Kepada Kakak dan adik-adik penulis : Nivia Nazar, SE, Rico Darmawan SE,

MBA, dr.Poppy Sartika Sp.THT, Syiril Erwin ST.MT. Achmad Arryanto SE.MT.Arch, Yusriani S.Kom, dr.Heru Rahmadhani SpB. Dr.Gendis Desy Maulidia yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.


(9)

8. Teman-teman mahasiswa Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007, khususnya Kelas A yang selalu memotivasi dan memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2009 Penulis,

NEVAYANTI


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Nevayanti

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 15 April 1972 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Komp.Taman Setia Budi Indah Blok B 52-D

Medan

II. Keluarga

Nama suami : Ir.Bob Erwin

Nama ayah : Prof. dr. H. Nazar Moesbar, SpB, SpOT.K

Nama ibu : Hj. Marlinawaty

Nama anak : 1. M. Faishal Erwin 2.Fathia Qanita 3.M. Fadhil Fachriza

III.Pendidikan

1. SDN Sei Petani Medan, Tahun 1984 2. SMPN 37 Jakarta, Tahun 1987 3. SMAN 66 Jakarta, Tahun 1990

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 1995

5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2009

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 27

1. Sifat Penelitian ... 28


(12)

3. Lokasi Penelitian ... 28

4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

5. Alat Pengumpulan Data ... 30

6. Analisis Data ... 30

BAB II : PERANAN KANTOR PELAYANAN KEUANGAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 ... 32

A. Gambaran Umum KPKNL Medan ... 32

1. Tugas, Fungsi dan Wewenang KPKNL Medan ... 32

2. Struktur Organisasi KPKNL Medan ... 35

3. Susunan Organisasi KPKNL ... 36

B. Peranan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ... 38

1. Peran KPKNL Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ... 38

2. Prosedur dan Pelaksanaan Penanganan Kredit Macet yang Berasal Dari Bank BUMN oleh KP2LN Medan ... 41

3. Prosedur Pelaksanaan Sistem Lelang Negara ... 68

4. Peran KPKNL Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ... 76

BAB III : PROSES PENANGANAN PIUTANG MACET DARI PERBANKAN NASIONAL SEJAK BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 .. 80

A. Pengertian Piutang Negara ... 80


(13)

C. Dasar Hukum Pengurusan Piutang Negara Macet ... 86

D. Pelaksanaan Sistim Pengurusan Piutang Negara Macet Setelah Berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ... 94

BAB IV : PENGARUH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 TERHADAP PENERIMAAN NEGARA DARI LELANG PERBANKAN NASIONAL ... 109

A. Efektifitas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Dalam Meningkatkan Penerimaan Negara Dari Lelang Perbankan ... 109

B. Perbedaan Persepsi Dalam Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor. 33 Tahun 2006 ... 110

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 114


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara

Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ... 71 2 Beberapa Kasus Yang Jaminan Hutang Kebendaannya Telah

Diselesaikan Melalui Lelang Pada KP2LN Medan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 2005 ... 120 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era pembangunan dewasa ini, peranan kredit sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan sangatlah penting untuk menunjang, merangsang dan menumbuhkan motivasi masyarakat untuk meningkatkan produktifitas di bidang usahanya. Meningkatnya pembangunan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan dana pembangunan. Dana pembangunan yang tersedia antara lain disalurkan melalui lembaga perbankan. Dana milik negara yang juga merupakan milik masyarakat yang perlu dilindungi agar dapat secara berkelanjutan menunjang pembangunan. Dana yang dipinjam dengan suatu kewajiban harus dikembalikan, jika tidak dapat dikembalikan maka akan menimbulkan gangguan dalam pembangunan karena dana yang seharusnya dapat terus bergulir harus terhenti.

Kegiatan utama perbankan pada umumnya adalah bagaimana menarik dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan kredit guna menjadi pinjaman yang produktif, sehingga bank dapat menikmati hasil yang diperoleh (return) berupa bunga pinjaman untuk membiayai operasionalnya yang tumbuh dan berkembang. Namun penyaluran kredit pada masyarakat tidak selamanya berjalan lancar seringkali mengandung resiko dalam pengembaliannya. Oleh karena itu pihak perbankan dalam penyaluran kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


(17)

1. Pemberian kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.

2. Bank harus mempunyai keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank atau masyarakat yang mempercayakan dana nya pada masyarakat.

4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat

Pengucuran kredit oleh bank mengandung resiko dalam hal pengembaliannya, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu :

1. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis.

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula dipertimbangkan kurang sehat.

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham.

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (Legal Lending Limit).1

Perbankan dalam mengantisipasi agar tidak terjadi masalah dalam pengembalian kredit menempuh langkah-langkah, yaitu pengamanan preventif dan pengamanan represif. Pengamanan preventif adalah pengamanan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kemacetan kredit, keyakinan ini diperoleh setelah melakukan penilaian mengenai watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur, sedangkan pengamanan represif adalah pengamanan yang dilakukan untuk menyelesaikan kredit-kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau kemacetan (dubius).

1

Muh.Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 393.


(18)

Bank dalam penyaluran kredit kepada debitur memerlukan suatu jaminan untuk sewaktu-waktu apabila debitur cidera janji/wanprestasi dapat dijual. Kewajiban memberikan jaminan dari debitur kepada bank (kreditur) dilakukan dengan perjanjian penjaminan. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.

Benda yang lazim digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai barang jaminan yang relatif aman, karena disamping tidak mudah hilang dan rusak, harga tanah dapat terus meningkat, terlebih jika lokasi tanah yang dijadikan agunan berada di daerah perkotaan, yang strategis. Semakin banyak kebutuhan dan permintaan akan tanah, semakin tinggi harga tanah.2

“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut adalah Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Luas tanah tidak akan bertambah sedangkan kebutuhan akan tanah meningkat terus, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria telah mengatur tentang Jaminan Hak Tanggungan Atas Tanah. Berdasarkan Pasal 51 UUPA diatur bahwa :

2


(19)

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang mulai berlaku efektif tanggal 9 April 1996 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 serta Penjelasannya dalam Lembaran Negara Nomor 3632, Hak Tanggungan menggunakan ketentuan hyphoteek yang disebut dengan hipotik dan Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan Credietverband yang disebut dengan Creditverband.3

1. Droit de preferent, yaitu memberikan kedudukan yang diutamakan, atau mendahulukan kepada pemegangnya.

Dengan berlakunya UUHT, Hipotik dan Credietverband hanya disebut dengan Hak Tanggungan yang diatur dengan undang-undang tersendiri tidak lagi menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan tentang Credietverband yang diatur dalam Staatblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatblad 1937 – 190.

Hak tanggungan yang dibebankan kepada benda yang menjadi agunan memberikan jaminan kepada pihak kreditur/bank yang telah memberikan pinjaman. Hal ini jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya maka benda yang telah dibebani hak tanggungan akan dapat dijual oleh kreditur. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak istimewa berupa :

2. Droit de suite, yaitu selalu mengikuti obyek hak tanggungan yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada.

3. Benda yang dibebani hak tanggungan berada di luar boedel kepailitan. 4. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.

5. Kemudahan dan kepastian dalam eksekusi 6. Kepastian tanggal kelahiran hak tanggungan.4

3

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm. 148.

4


(20)

Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur

sebagai pemegang hak tanggungan adalah perlindungan yang maksimal, tetapi

dalam pelaksanaannya pengaturan kredit tidak terlepas dari masalah karena

pihak debitur tidak dapat melunasi hutangnya dengan berbagai alasan yang

mendasarinya.

Dalam hal pengaturan kredit yang diberikan oleh bank pemerintah kepada debitur, jika dihadapkan pada permasalahan debitur tidak dapat melunasi kreditnya berdasarkan perjanjian kredit yang telah disepakati, dan bank telah menempuh upaya-upaya agar debitur dapat melunasi pembayaran kreditnya, maka kredit bermasalah (macet) tersebut sebagai piutang negara yang tidak tertagih. Untuk pengurusan piutang negara karena kredit macet yang berasal dari bank pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, diserahkan pihak bank pada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Lembaga ini (PUPN) khusus diadakan untuk mengurus kepentingan keuangan negara, hutang kepada negara atau badan-badan baik yang langsung maupun yang tidak langsung dikuasai oleh negara.5

5

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung, Alumni, 1980), hlm. 151.

Dasar hukum berlakunya lembaga Panitia Urusan Piutang Negara adalah Undang-undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 156 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104.


(21)

Adapun alasan dibentuknya lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah :

1. Sengketa itu menyangkut piutang negara.

2. Lembaga pengadilan masih belum mampu menyelesaikan sengketa dengan cepat.

3. Untuk mencegah supaya keuangan negara tidak dirugikan.6

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang berada di pusat ibukota negara merupakan suatu panitia, untuk mengefektifkan pelaksanaan penyelenggaraan wewenang dan tugas, maka dibentuk suatu lembaga yang bernama BUPN (Badan Urusan Piutang Negara) yang berganti nama menjadi BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara) yang saat ini telah berganti menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara). Badan ini berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan untuk operasional di daerah-daerah kota dan daerah Kabupaten dibentuk Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (untuk selanjutnya disebut KP2LN) yang sekarang berganti nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (untuk selanjutnya disebut KPKNL).

Penyerahan piutang macet bank pemerintah kepada Panitia Urusan Piutang negara (PUPN) sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006, tugas dan kewenangannya dijalankan oleh KP2LN kota atau kabupaten. Hal ini didasarkan atas :

1. Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

6


(22)

2. Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1976 tanggal 20 Maret 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara.

3. Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 1991 tanggal 4 Juni 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.

4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara

KP2LN mempunyai kewenangan karena undang-undang dan diberikan kewenangan oleh pihak bank/kreditur untuk dapat menyelesaikan kredit macet dengan berdasarkan pada perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. KP2LN menempuh upaya-upaya dalam melakukan penagihan kepada debitur dan upaya terakhir yang akan ditempuh KP2LN adalah dengan menjual lelang benda yang menjadi jaminan kredit.

Dalam hal ini mengenai barang yang dikuasai pemerintah secara tidak langsung, yang berada disektor perbankan khususnya barang jaminan dari bank pemerintah, yang ketika terjadi kredit macet diserahkan ke PUPN, telah mengalami pergeseran menjadi kewenangan hukum publik. Berdasarkan atas pertimbangan hukum dari Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang menyatakan hutang kepada negara atau badan-badan yang langsung maupun tidak langsung dikuasai negara perlu segera diurus, bahwa oleh keadaan memaksa, masalah tersebut harus diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 memberikan sifat publik kepada kredit macet yang berasal dari sektor


(23)

perbankan pemerintah.7

Oleh karena itu untuk mengurangi jumlah kredit macet pada pembukuan di bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan memberi kesempatan pada pada debitur yang telah dinyatakan finish oleh bank untuk berusaha kembali baik dengan cara restrukturisasi maupun pemotongan jumlah utang,maka pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 dalam penjelasan pasalnya menyatakan seiring dengan perjalanan waktu disadari bahwa dalam upaya memberikan keleluasaan bagi perusahaan negara/daerah (sekarang BUMN/BUMD) dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan piutang yang ada pada BUMN/BUMD yang bersangkutan, dipandang perlu untuk meninjau kembali pengaturan mengenai penghapusan piutang perusahan negara/daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, dilandaskan pada pemikiran bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif yang mengatur BUMN, secara tegas dalam Pasal 4 menyatakan bahwa kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.

Memburuknya keadaan perekonomian pasca kenaikan harga BBM dan segala implikasinya menyebabkan terjadinya lonjakan kredit macet yang signifikan. Hal ini disebabkan tingginya tingkat inflasi dan merosotnya daya beli masyarakat.

8

Pada Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘dipisahkan’ adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya

7

Menurut Bismar Nasution, perbedaan perlakuan dihadapan hukum terhadap hutang yang dibuat di sektor perbankan pada bank swasta pengurusannya terus melalui pengadilan dengan kewenangan hukum perdata, sedangkan hutang yang dibuat di bank pemerintah pengurusannya oleh PUPN, berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 menjadi kewenangan hukum publik, tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena keduanya berasal dari perjanjian kredit perbankan, keduanya harus memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel), Bismar Nasution dalam Seminar Hasil Penelitian dari Peneliti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 5 April 2007

8


(24)

piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara. Sejalan dengan itu pengelolaan termasuk pengurusan atas piutang BUMN tidak dilakukan dalam koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal mengoptimalkan pengelolaan, pengurusan atau penyelesaian piutang yang ada pada BUMN tersebut, kecuali atas berkas piutang macet yang telah diserahkan kepada PUPN/KPKNL sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, akan tetap menjadi piutang negara yang diselesaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ini membatasi ruang lingkup pengertian keuangan negara, menjadi tidak mencakup kekayaan negara yang telah dipisahkan yang berada pada BUMN/BUMD.9

9

Sejalan pendapat Arifin P.Soeria Atmadja, yang menyatakan implikasi hukum arti keuangan negara terhadap piutang BUMN, bahwa penyelesaian piutang bank-bank persero yang disebabkan oleh kredit macet tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara, sehingga kredit macet itu dapat dihapusbukukan maupun hapus tagih melalui strategy financial engineering sesuai kondisi dan situasi yang terjadi dalam perusahaan. Kajian Hukum dan Perundangan Untuk Menekan NPL, Majalah Mandiri, Edisi 181, Tahun VII, 3 April 2006.

Pemahaman ini mengakibatkan suatu prioritas penyelesaian kredit macet melalui penyelesaian prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan memperkecil kemungkinan penyelesaian berdasarkan eksekusi melalui lelang, kecuali penyelesaian kredit macet berdasarkan hak-hak kebendaan yang harus dieksekusi. Dengan demikian lelang yang berasal dari jaminan bank pemerintah bukan lagi lelang atas kekayaan negara.


(25)

B. Perumusan Masalah

Dengan bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas maka rumusan masalah dalam rangka penelitian ini yang adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ?

2. Bagaimana proses penanganan piutang negara macet dari perbankan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ?

3. Bagaimana pengaruh berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan nasional ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam permasalahan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

3. Untuk mengetahui sejauhmana peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

4. Untuk mengetahui bagaimana proses penanganan piutang negara macet yang berasal dari perbankan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.


(26)

5. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis dapat menambah kepustakaan bagi akademisi tentang peran KPKNL dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

2. Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi kalangan praktisi dan masyarakat (pelaku usaha) mengenai penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

3. Untuk dapat mengetahui sejauh mana pengaruh berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana, Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, bahwa belum ada penelitian sebelumnya dengan judul : “Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL)) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Studi Penelitian Kantor KPKNL Medan)”. Hasil penelitian yang telah ada adalah hasil penelitian Nurliana, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul “Kajian


(27)

Yuridis Terhadap Pelaksanaan Lelang (Penelitian pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan)”. Permasalahan yang diajukan adalah tentang proses penyelesaian lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di Kota Medan.

Penelitian lain dilakukan oleh Leonardo, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul “Penundaan Pelaksanaan Eksekusi Lelang Terhadap Barang Jaminan Hutang Milik Nasabah Debitur (Penelitian Pada KPKNL Medan)”.

Oleh karena itu ulasan masing-masing peneliti dalam penelitiannya berbeda, maka penelitian ini betul-betul asli, baik pada permasalahan materi maupun lokasi penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena belum ada peneliti lain yang melakukannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”.10

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. “Kontinuitas perkembangan

10


(28)

ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi aktivitas penelitian dan imajinitas sosial sangat ditentukan oleh teori”.11

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.12 Sedangkan kerangka teori pada penelitian Huku m Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu hukum.13

Dalam teori system yang dikemukakan Maryam Darus Badrulzaman, bahwa system adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.14 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.15 Dengan demikian, pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.16

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1986), hlm. 6

12

Ibid , hlm. 126

13

Ibid , hlm. 127

14

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 15. Bandingkan, Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.

15

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 56

16

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.


(29)

Dalam penelitian ini cenderung adanya peraturan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Aturan hukum yang memuat azas lex specialis derogat lex generalis dilihat menurut teori Sistem Hukum dari Hart, termasuk kategori Rule of Recognition, mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat negara) dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku yang dalam penelitian ini peran KPKNL harus didukung oleh tindakan aparat negara dalam penanganan piutang negara macet agar dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.17

Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.18

Pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya.19

17

http://hukum_online_blogspot.com/2008/03/tinjauan_yuridis.asas.lex.htm diakses 29 Juni 2009

18

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 2

19


(30)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 2 :

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang Perbankan 1992).

Fungsi utama Perbankan Indonesia Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sejalan dengan fungsi utama dimaksud, tujuan Perbankan Indonesia sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Perbankan 1992 adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Setelah keluar Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri dari :

a. Bank Umum


(31)

Bank ditinjau dari segi kepemilikan dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan lahan yang dimiliki bank yang bersangkutan adalah :

a. Bank Milik Pemerintah

Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal baik sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, seperti : BRI, BNI 46, Bank Mandiri dan BTN. Kemudian Bank Pemerintah Daerah (BPD) terdapat di Daerah Tingkat I, dan Tingkat II masing-masing propinsi. Modal BPD sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah masing-masing tingkatan.

b. Bank Milik Swasta Nasional

Bank atau seluruh atau sebagian besar lahannya dimiliki oleh swasta nasional. c. Bank Milik Koperasi

d. Bank Milik Asing e. Bank Milik Campuran

Pada praktek perbankan yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, khususnya Bank Milik Pemerintah yang menyalurkan dana pada masyarakat dalam bentuk kredit bila terjadi kredit macet maka pihak bank akan menyerahkan pengurusan kredit macet tersebut pada PUPN/DJPLN karena dana milik bank pemerintah tersebut merupakan piutang negara.

Dalam hal pengurusan kredit macet pada bank swasta maka dapat ditempuh dengan jalan mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan negeri agar dapat benda jaminan dilelang.


(32)

Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya.20

a. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut dengan perjanjian kredit

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 :

Kredit adalah penyediaan uang/tagihan yang dapat dipergunakan dengan itu, berdasarkan persetujuan/kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sehingga menurut pasal tersebut, unsur-unsur kredit adalah :

b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa.

c. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa para pihak debitur mau dan mampu membayar/mencicil kreditnya.

d. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak kreditur. e. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada

pihak debitur.

f. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debiur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan.

g. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur

h. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu tadi.21

Kredit memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit secara luas tersebut adalah :

a. Meningkatkan daya guna modal atau uang

Maksudnya, jika uang hanya disimpan saja di rumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemungkinan juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.

20

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung, Alumni, 1994), hlm. 21 S.Mantay Borbir, SH.MH., dkk., Pengurusan Piutang Negara, Maret pada PUPN/BUPLN, Jakarta, 2001, hlm. 8


(33)

b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.

c. Meningkatkan daya guna barang

Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat dipergunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. Sebagai contoh seorang pengusaha memperoleh bantuan dana dari salah satu bank untuk mengolah limbah plastik yang sudah tidak dipakai menjadi barang-barang rumah tangga. Biaya pengolahan barang tersebut diperoleh dari bank. Dengan demikian fungsi kredit dapat meningkatkan daya guna barang dari barang yang tidak berguna menjadi barang yang berguna.

d. Meningkatkan peredaran uang

Kredit dapat juga menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar tersebut bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar yang biasanya untuk kredit atau kredit ekspor impor.

e. Sebagai alat stabilitas ekonomi

Pemberian kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat.

f. Meningkatkan kegairahan pengembangan usaha

Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan. Perolehan kredit nasabah akan bergairah untuk dapat memperbesar atau memperluas usahanya.

g. Meningkatkan pemerataan pendapatan

Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika suatu kredit diberikan untuk membangun pabrik maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Disamping itu bagi masyarakat sekitar pabrik dapat juga akan dapat memperoleh pendapatan seperti gaji bagi karyawan yang bekerja di pabrik tersebut.

h. Meningkatkan hubungan internasional

Pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerjasama di bidang lainnya, sehingga dapat pula tercipta perdamaian dunia.22

22


(34)

Pemberian kredit kepada debitur mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya, bank harus memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan :23

1. Prinsip kepercayaan 2. Prinsip 5C

3. Prinsip kehati-hatian

Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Character (kepribadian)

b. Capacity (kemampuan) c. Capital (modal)

d. Condition of Economy (kondisi ekonomi) e. Collateral (agunan)

4. Prinsip 5P

Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Party (para pihak)

b. Purpose (tujuan) c. Payment (pembayaran) d. Profitability (perolehan laba) e. Protection (perlindungan) 5. Prinsip 3R

Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Return (hasil yang diperoleh) b. Repayment (pembayaran kembali)

c. Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung resiko)

Selain daripada itu bank juga harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu :

1. Tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis 2. Tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula

telah diperhitungkan kurang sehat, dan membawa kerugian.

3. Tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit)

4. Tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli.24

23

Moh.Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, (Yogyakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 94-100.

24


(35)

Menurut Pasal 1 Vendu Reglement (VR) disebutkan bahwa penjualan umum atau lelang adalah penjualan barang yang dilaksanakan secara umum (dimuka umum), dengan penawaran secara lisan dan atau tertulis, dengan melakukan usaha mengumpulkan para peserta peminat lelang dan penjualan umum dan lelang tersebut harus dilaksanakan oleh dan di hadapan Pejabat Lelang atau dulu disebut dengan Juru Lelang.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud di atas harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.

Piutang negara yang diurus oleh PUPN/KPKNL adalah piutang negara yang tidak dilunasi oleh penerima kredit, untuk menentukan piutang itu macet/dubius ialah sejak tidak ditepatinya/dipenuhinya piutang ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian kredit.25

a. Piutang yang karena adanya ketentuan intern dari instansi itu sendiri masih mungkin untuk diselesaikan dalam tahap intern.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman piutang macet itu dibagi dalam dua phase, yaitu :

25


(36)

b. Piutang macet sama sekali yang setelah ketentuan-ketentuan intern dilaluinya masih juga tidak terselesaikan sebagian maupun seluruhnya.26

Piutang negara yang telah macet, harus segera diserahkan urusan penyelesaiannya kepada PUPN/KPKNL, jika tidak maka PUPN berhak mengambil alih persoalannya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, kemudian juga berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.01/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

2. Konsepsi

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian. “Konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, menentukan antara variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan empiris”.27

a. Bank Umum

Pengertian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan ata u berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa

26

Ibid.

27

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 21.


(37)

dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.

b. Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya.28

28

Ibid , hlm. 3

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960, kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.01/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. PUPN adalah panitia yang bersifat inter departemental yang mengurus piutang negara yang berasal dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai negara.

Selanjutnya dalam Pasal 8 jo Pasal 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur tentang Instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara wajib/diharuskan menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN.


(38)

Untuk memperoleh kepastian penyelesaian piutang negara oleh penanggung hutang maka PUPN mengadakan suatu Pernyataan Bersama (PB) dengan penanggung hutang/debitur, yang memuat pengakuan hutang kepada negara dan syarat-syarat penyelesaiannya. Pernyataan Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan Hakim dalam memutus suatu perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.

Berdasarkan Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa :

(1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/ PUPN, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada Pejabat BUPLN/PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur.

(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala BUPLN/PUPN.

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut : a. Kredit

Penyediaan uang/tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan/kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 29

29


(39)

b. Perjanjian kredit bank

Perjanjian dimana pihak kreditor (bank) memberikan kepada nasabah (debitor) sebagai pinjaman sejumlah uang atau barang yang habis dipakai (dana) dengan syarat bahwa debitor harus mengembalikan dana yang sama jumlahnya berikut bunganya sesuai yang diperjanjikan. Perjanjian kredit bank dapat dilakukan setelah adanya suatu keputusan permohonan atas kredit yang dilakukan oleh pejabat bank yang berwenang memutuskan untuk menyetujui atau mengabulkan permohonan kredit calon debitor.30

c. Pencairan fasilitas kredit

Pencairan fasilitas kredit maksudnya yaitu setiap transaksi dengan menggunakan kredit yang telah disetujui oleh bank. Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan, dengan demikian debitor dapat secara langsung mengadakan penarikan-penarikan kredit sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh bank dalam rangka realisasi pemberian kredit kepada debitor.31

d. Pelunasan fasilitas kredit

Pelunasan fasilitas kredit adalah dipenuhinya semua kewajiban hutang debitor baik hutang pokok maupun bunganya terhadap bank hingga berakhirnya perjanjian kredit.32

30

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

31

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

32


(40)

e. Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “Wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.33

f. Jaminan

Jaminan adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang seperti yang diatur dalam Pasal 1139-1149 (piutang yang diistimewakan).34

g. Hak tanggungan

Hak tanggungan adalah security (jaminan) hutang dengan tanah sebagai agunan.35 h. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)

Badan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 yang tujuannya adalah melaksanakan atau menyelenggarakan pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang berdasarkan pelaksanaan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.36

33

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 20

34

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

35

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 2006.

36


(41)

i. Piutang Negara

Jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. 37

j. Pernyataan Bersama (PB)

Pengakuan atas sejumlah hutang yang wajib dibayar oleh penanggung hutang kepada negara dengan syarat-syarat penyelesaiannya berdasarkan hasil perundangan dan kesepakatan antara PUPN dengan penanggung hutang/debitur.38 k. Penyitaan

Penyitaan adalah tindakan perampasan harta kekayaan milik penanggung hutang/penjamin hutang yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening, simpanan, giro, deposito berjangka, sertifikat berjangka, tanggungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, dalam rangka untuk penyelesaian atau pelunasan hutang penanggung hutang.39

l. Lelang

Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat Lelang cara penawaran lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang semakin meningkat atau semakin menurun, dan atau dengan penawaran

37

Pasal 8 Penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Pejabat Lelang Pasal 1 angka 13

38

Ibid, hlm. 57

39

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.


(42)

tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang sebagai usaha mengumpulkan para calon peminat/pembeli. 40

m. Pejabat Lelang

Pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan serta diharuskan untuk mengangkat sumpah sebelum melaksanakan tugasnya. 41

n. Eksekusi

Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan atau tata cara lanjutan proses pemeriksaan perkara.42

o. Parate Eksekusi

Suatu keputusan yang mempunyai kekuatan tetap atau daya laku eksekutorial tanpa keterlibatan penetapan pengadilan (hakim) dalam perkara perdata.43

G. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian.

Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :

40

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Lelang

41

Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Lelang

42

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

43

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.


(43)

1. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu untuk menggambarkan semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang44

2. Metode Pendekatan

berkaitan dengan peranan KPKNL dalam hal penagihan piutang negara dari perbankan yang macet dianalisis dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

Bersifat deskriptif analitis dalam penelitian ini akan menggambarkan asas-asas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Dilihat dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yang didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan dan mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping hal tersebut di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam hal penanganan piutang negara macet yang berasal dari perbankan sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jl. P.Diponegoro Nomor 30 A Medan dan PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Jl. Putri Hijau Medan.

44


(44)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : a. Penelitian Lapangan (Field Research) untuk mendapatkan data primer berkaitan

dengan masalah pelaksanaan penagihan piutang negara yang berasal dari perbankan hingga pelaksanaan lelang eksekusi yang diperoleh dengan melakukan wawancara kepada para informan sebagai berikut :

1) Kepala Seksi Hukum dan Informasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan

2) Kepala Seksi Pelayanan dan Lelang KPKNL Medan

3) Kepala Bagian Bisnis Retail, Kredit Program dan Kredit Konsumer di Kanwil PT (Persero) Bank Rakyat Indonesia Tbk. Medan

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.45

45

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 996), hlm.14

Berupa peraturan-peraturan dasar, Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, Vendu Reglement Stbl Tahun 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie Stbl 1908 Nomor 190, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, peraturan perundang-undangan Nomor 304/KMK.01/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan


(45)

Piutang Negara/Daerah, Buku-Buku, Artikel dan lain-lain dalam bentuk tulisan yang terkait dengan permasalahan penagihan piutang hingga pelaksanaan lelang eksekusi.

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum dikenal 3 (tiga) alat pengumpulan data atau alat penelitian (research instrument), yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview. Ketiga alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung.46

a. Studi dokumen, dipakai terhadap kajian buku-buku, artikel dan naskah resmi yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data, yaitu :

b. Pedoman wawancara, yang dimaksudkan dilakukan kepada informan yang ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka). Tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).47

46

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.66

47

Burhan Bungi, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53


(46)

Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.48 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.49

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (Field Research) kemudian disusun secara urut dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan mempergunakan metode berfikir induktif yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang khusus untuk selanjutnya menarik ke hal-hal yang umum sebagai kesimpulan dan selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.

48

Lexy J Moleong, Metodologi Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.103

49


(47)

44

PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006

A. Gambaran Umum KPKNL Medan

1. Tugas, Fungsi dan Wewenang KPKNL Medan

Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, tugas pokok KPKNL adalah melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, KPKNL menyelenggarakan fungsi :

a. Inventarisasi, pengadministrasian, pendayagunaan, pengamanan kekayaan negara.

b. Retribusi, verifikasi dan analisa pertimbangan permohonan pengalihan serta penghapusan kekayaan negara.

c. Registrasi penerimaan berkas, penetapan, penagihan, pengelolaan barang jaminan, eksekusi, pemeriksaan harta kekayaan milik penanggung hutang/ penjamin hutang.

d. Penyiapan bahan pertimbangan atas permohonan keringanan jangka waktu dan/atau jumlah hutang, usul pencegahan dan penyanderaan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang, serta penyiapan data usul penghapusan piutang negara;


(48)

e. Pelaksanaan pelayanan penilaian f. Pelaksanaan pelayanan lelang

g. Penyajian informasi di bidang kekayaan negara, penilaian, piuang negara dan lelang

h. Pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan

i. Pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik penanggung hutang atau penjamin hutang serta harta kekayaan lain

j. Pelaksanaan bimbingan kepada pejabat lelang

k. Inventarisasi, pengamanan, dan pendayagunaan barang jaminan

l. Pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum pengurusan piutang negara dan lelang

m. Verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang negara dan hasil lelang

n. Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Untuk mewujudkan pertanggung jawaban atas penyelenggaraan tugas dan fungsi KPKNL, sebagai pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 disusun laporan akuntabilitas kinerja KPKNL Medan untuk setiap tahun anggaran.

Dengan tersusunnya laporan akuntabilitas KPKNL Medan diharapkan para pelaksana tugas KPKNL Medan dapat semakin terdorong dan termotivasi untuk


(49)

meningkatkan kinerja dengan demikian sasaran dan tujuan sebagaimana digariskan dalam visi dan misi dapat tercapai. Selain itu, diharapkan pula berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan akan dapat dievaluasi, sehingga untuk pelaksanaan selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik lagi.

Kantor Pelayanan Keuangan dan Lelang Negara Medan mempunyai daerah wewenang sebagai berikut :

a. Medan

b. Binjai (saat ini belum dibuka) c. Pematang Siantar

d. Kisaran

e. Padang Sidempuan

KPKNL Medan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah II DJKN Medan.


(50)

47 Sumber : Lampiran III-2

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

Bagan 1. Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang

SUB BAGIAN UMUM

SEKSI PENGELOLAAN

KEKAYAAN NEGARA

SEKSI PELAYANAN

PENILAIAN

SEKSI

PIUTANG NEGARA

SEKSI PELAYANAN

LELANG

SEKSI HUKUM DAN

INFORMASI

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL


(51)

3. Susunan Organisasi KPKNL

Susunan organisasi pada KPKNL sebagaimana diatur dalam Pasal 32 PMK.102/PMK.01/2008 adalah sebagai berikut :

a. Sub Bagian Umum

Mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha, rumah tangga, dan pengkoordinasian penyelesaian temuan hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional, penyiapan bahan penyusunan rencana strategik dan laporan akuntabilitas, serta penatausahaan, pengamanan, pengawasan barang milik negara di lingkungan KPKNL.

b. Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara

Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, bimbingan teknis, pengawasan dan pengendalian, penatausahaan dan penyusunan daftar barang milik negara/kekayaan negara.

c. Seksi Pelayanan Penilaian

Mempunyai tugas melakukan penilaian yang meliputi identifikasi permasalahan, survei pendahuluan, pengumpulan dan analisa data, penerapan metode penilaian, rekonsiliasi nilai serta kesimpulan nilai dan laporan penilaian untuk kepentingan penilaian kekayaan negara, sumber daya alam, real properti, properti khusus dan usaha serta penilaian atas permintaan badan hukum pemerintah dan penilaian terhadap obyek-obyek penilaian yang diamanatkan oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.


(52)

d. Seksi Piutang Negara

Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang, pemblokiran, eksekusi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, pemberian pertimbangan keringanan hutang, pengusulan pencegahan keluar wilayah Republik Indonesia, pengusulan dan pelaksanaan paksa badan, penyiapan pertimbangan penyelesaian atau penghapusan piutang negara, inventarisasi piutang negara, pemeriksaan barang jaminan milik penanggungan hutang, serta inventarisasi, registrasi, pengamanan, pendayagunaan, dan pemasaran barang jaminan.

e. Seksi Pelayanan Lelang

mempunyai tugas melakukan pemeriksaan dokumen persyaratan lelang dan dokumen obyek lelang, penyiapan dan pelaksanaan lelang, pembuatan salinan, petikan dan grosse risalah lelang, pelaksanaan superintendesi Pejabat Lelang serta pengawasan Balai Lelang dan pengawasan lelang pada Perum Pegadaian dan lelang kayu kecil oleh PT. Perhutani (Persero).

f. Seksi Hukum Dan Informasi

Mempunyai tugas melakukan registrasi dan penatausahaan berkas kasus piutang negaara, pencatatan surat permohonan lelang, penyajian informasi, pemberian pertimbangan dan bantuan hukum kekayaan negara, penilaian, pengurusan piutang negara dan lelang, serta verifikasi penerimaan pembayaran piutang negara dan hasil lelang.


(53)

g. Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Peranan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006

1. Peran KPKNL Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33

Tahun 2006

Berdasarkan Pasal 22 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/ KMK.01/2001 tugas pokok KP2LN adalah melaksanakan pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa KP2LN menyelenggarakan fungsi : Pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan.

PUPN dalam melaksanakan pengurusan piutang negara macet dapat menerbitkan Surat Paksa (SP), Pelaksanaan Surat Paksa (PSP), Surat Perintah Penyitaan (SPP), pelaksanaan penyitaan dan Surat Perintah Penyitaan (SPP), pelaksanaan penyitaan dan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) dalam hal eksekusi lelang.50

50

Ibid , hlm. 69

Pasal-pasal eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 ini merupakan sumber hukum yang mengatur


(54)

kewenangan “Parate Eksekusi” (parate executie) yang dilimpahkan undang-undang kepada institusi Panitia Urusan Piutang Negara.51 Parate eksekusi adalah suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau daya laku eksekutorial tanpa keterlibatan dan penetapan/fiat pengadilan (hakim) dalam memutus suatu perkara perdata, dalam arti PUPN dapat melakukan eksekusi secara langsung. Bahkan pengadilan pun tidak dapat membatalkannya.52

Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa “untuk kepentingan agar terjamin haknya sekiranya gugatan dikabulkan nantinya, maka undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut dengan “penyitaan arrest beslag”.53

Setelah dirundingkan oleh panitia dengan nasabah debitur/penanggung hutang, dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk perhitungan bunga dan uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka

Jadi upaya yang dapat ditempuh salah satunya adalah melakukan tindakan penyitaan atas barang jaminan hutang milik nasabah debitur, bila ketentuan dalam Surat Paksa (SP) dan Pernyataan Bersama (PB) tidak dapat dipenuhi oleh nasabah debitur/penjamin hutang.

51

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia, 1988), hlm. 4.

52

Soetarawao Soemowijoyo, Eksekusi oleh PUPN, Proyek Pendidikan dan Latihan BPLK Departemen Keuangan RI., Jakarta, 1996, hlm. 13.

53


(55)

oleh Ketua Panitia dan nasabah debitur/penanggung hutang dapat dibuat suatu Pernyataan Bersama (PB) yang memuat jumlah tersebut dan memuat kewajiban nasabah debitur/penanggung hutang untuk membayar dan melunasinya.

a. Pernyataan Bersama (PB) ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, untuk mana Pernyataan Bersama (PB) itu berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

b. Pelaksanaan dilakukan oleh Ketua Panitia dalam pengurusan piutang negara lebih lanjut dengan mengeluarkan surat paksa, yang dapat dijalankan secara penyitaan, pelelangan atas barang-barang harta kekayaan nasabah debitur/penanggung hutang dan secara penyanderaan terhadap nasabah debitur/penanggung hutang

Berdasarkan Pasal 197 HIR kewenangan yang dimiliki PUPN adalah berdiri sendiri dalam melaksanakan executorial verkoop, seperti halnya kewenangan yang dimiliki Pengadilan Negeri. Kewenangan executorial verkoop yang dimiliki PUPN bersifat parate eksekusi.

PUPN dalam melaksanakan tugas dan fungsi yustisial telah diberi kewenangan oleh undang-undang yang bersifat lex specialis dalam pengurusan piutang negara dapat mengeluarkan putusan yang bersifat final


(56)

(parate eksekusi) dan tidak perlu banding, kasasi dan peninjauan kembali pada hakim atasan, sehingga lembaga lain tidak berwenang menguji dan menilai putusan PUPN tersebut.

Tindakan pemerintah (Diskresi) senantiasa dapat dijumpai pelaksanaannya dalam sistem pemerintahan modern. Perbedaan pelaksanaannya antara negara modern disebabkan perbedaan landasan ideal maupun landasan konstitusional dari negara-negara itu sendiri.54

2. Prosedur dan Pelaksanaan Penanganan Kredit Macet yang Berasal Dari Bank BUMN oleh KP2LN Medan

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dalam melakukan penagihan kredit macet, bank memberikan peringatan-peringatan kepada debitur bahkan dilakukan restrukturisasi kredit agar dapat memberikan keringanan kepada debitur dalam membayar utangnya.55 Apabila bank telah melakukan berbagai usaha-usaha untuk menyelesaikan kredit macet tetapi tidak berhasil yang disebabkan karena tidak ada kesediaan debitur dan debitur nakal maka bank melakukan langkah-langkah sebagai berikut :56

54

Muhammad Abduh, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peraturan), (Medan : FH-USU, 1988), hlm. 23.

55

Wawancara dengan Bapak Tri Feriandi, Kepala Sub Bagian Umum KPKNL Medan tanggal 26 Juni 2009

56

Wawancara dengan Bapak Tri Feriandi, Kepala Sub Bagian Umum KPKNL Medan tanggal 25 Mei 2009


(57)

a. Penyerahan piutang

Bank/kreditur wajib menyerahkan kredit macet kepada DJPLN dalam hal ini kepada Panitera Pengurus Piutang Negara Cabang melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) di daerah masing-masing sesuai wilayah kerjanya. Penyerahan dilakukan secara tertulis disertai dengan resume yang memuat berbagai informasi dan dokumen-dokumen perjanjian kredit dan jaminan. Besarnya kredit macet yang dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang (KP2LN) paling sedikit Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah). Namun batas dua juta rupiah ini tidak berlaku bagi piutang Pemerintah dan Lembaga Negara baik tingkat pusat maupun daerah.

Resume berkas penyerahan kredit macet memuat informasi :57 1) Identitas kreditur/penyerah piutang

2) Identitas debitur dan atau penjamin hutang (borgtocht)

3) Bidang usaha debitur, antara lain industri manufaktur, perdagangan, pertanian, perkebunan, atau bidang usaha lainnya.

4) Keadaan usaha debitur pada saat diserahkan

5) Dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, peraturan atau dasar hukum lainnya.

6) Jenis piutang negara antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit umum, dana reboisasi, jasa pelabuhan, atau jenis piutang negara lainnya.

7) Penjamin kredit oleh pihak ketiga antara lain PT.Askrindo, PT.ASEI, Perum PKK, atau lembaga penjamin lainnya.

8) Sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan manajemen, debitur nakal, bencana alam, kerusuhan sosial, atau sebab-sebab lainnya.

9) Tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal kreditur/penyerah piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal piutang negara berasal dari perbankan, atau tanggal debitur/penanggung hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang sebab apapun dalam hal piutang negara berasal dari non perbankan. 10)Rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda dan

ongkos/beban lainnya.

11)Daftar barang jaminan, yang memuat uraian barang, pengikatan, kondisi dan nilai barang jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh barang jaminan.

57


(58)

12)Daftar harta kekayaan lainnya.

13)Penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian hutang yang telah dilakukan oleh kreditur/penyerah piutang, dan

14)Informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh penyerah piutang antara lain debitur/penanggung hutang dan atau penjamin hutang sudah tidak diketahui tempat tinggalnya, ada kasus gugatan di pengadilan, atau barang jaminan telah disita pengadilan negeri untuk kepentingan pihak lain.

Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan piutang negara sebagai berikut :58

a) Perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perubahan perjanjian dan lain-lain.

b) Rekening koran, prima nota, faktur, dokumen sejenis yang membuktikan besarnya hutang

c) Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat-surat lainnya yang mendukung barang jaminan tersebut.

d) Surat menyurat antara kreditur/penyerah piutang dengan debitur/ penanggung hutang dan atau penjamin hutang yang berkaitan dengan upaya penyelesaian hutang.

Apabila KP2LN menilai informasi yang disampaikan dalam resume masih belum lengkap dan membutuhkan penjelasan maka KP2LN dapat meminta kreditur/penyerah piutang untuk melengkapi data-data dan kalau perlu dapat memberikan penjelasan/ekspose serta melakukan penelitian lapangan.

Dalam kasus-kasus tertentu untuk menyelesaikan piutang negara/ kredit macet, ketua PUPN dapat bertindak tanpa menunggu penyerahan penyelesaian kredit macet kepada KP2LN. Hal ini dilakukan jika kredit-kredit macet dipergunakan tidak sesuai dengan permohonan, tujuan dan syarat-syarat pemberian kredit. Untuk mengetahui bahwa debitur telah

58


(1)

Pasal 18

Dalam hal Penanggung Utang atas Piutang Negara yang bersumber dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah selain Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), tata cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB V

PENGHAPUSAN PIUTANG PERUSAHAAN NEGARA/DAERAH

Pasal 19

Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20

Tata cara Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutangnya diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VI PENUTUP

Pasal 21

Tata cara pengajuan usul, penelitian, dan penetapan penghapusan Piutang Negara/Daerah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 22

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


(2)

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Maret 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 21 Maret 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd.

Dr. HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 31

Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan

Lambock V. Nahattands


(3)

Lampiran 2.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG

TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah sebagai bagian dari proses pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;

b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dipandang perlu untuk melakukan peninjauan kembali pengaturan mengenai penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;

Mengingat

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488);


(4)

MEMUTUSKAN: Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA

PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH. Pasal I

Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus.

Pasal II

1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

a. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.

b. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.

2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


(5)

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 83 PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG

TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH

I. UMUM

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara secara tegas ditetapkan pengertian/batasan Piutang Negara maupun Piutang Daerah yang meliputi jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah danj atau hak Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pengertian Piutang Negara/Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tersebut juga menjadi landasan dalam pengaturan penghapusan Piutang Negara/Daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Dalam kerangka penyelesaian Piutang Perusahaan Negara yang juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, seiring dengan perjalanan waktu disadari bahwa dalam upaya memberikan keleluasaan bagi Perusahaan Negara/Daerah (sekarang BUMN/BUMD) dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan piutang yang ada pacta BUMN/BUMD yang bersangkutan dipandang perlu untuk meninjau kembali pengaturan mengenai penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005.

Pertimbangan untuk meninjau kembali pengaturan penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 dilandaskan pada pemikiran bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif yang mengatur BUMN, secara tegas dalam Pasal 4 menyatakan bahwa kekayaan negara yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan


(6)

"dipisahkan" adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai Piutang Negara. Sejalan dengan itu, pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaanjpengurusan/penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan, sehingga pengaturan penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 saat ini menjadi tidak diperlukan lagi.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal I

Cukup jelas. Pasal II Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas.