Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo)

(1)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA

MASYARAKAT ADAT BATAK KARO

(STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)

TESIS

Oleh

FRANS CORY MELANDO GINTING

077011023/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA

MASYARAKAT ADAT BATAK KARO

(STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FRANS CORY MELANDO GINTING

077011023/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi Telah diuji pada

Tanggal : 29 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH,MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, CN, MS 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum


(4)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Judul Tesis : PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA

MASYARAKAT ADAT BATAK KARO (STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)

Nama Mahasiswa : Frans Cory Melando Ginting

Nomor Pokok : 077011023

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum) Ketua

(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH, MHum) (Dr.Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Anggota Anggota

Ketua Program, Direktur,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)


(5)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi ABSTRAK

Perselisihan dan keributan di antara saudara dapat terjadi akibat pembahagian harta warisan yang tidak adil. Ketidak-adilan akan membawa para pihak bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara kesepakatan atau dengan cara menempu jalur hukum. Perselisihan dan keributan dalam pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo telah membuat suatu putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 dan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris. Putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 dan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris bertentangan dengan hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan orang tuanya.

Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak, sementara hukum waris adat Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan dan janda. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo.

Lokasi penelitian adalah pada tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda) di Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.`

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah ada perkembangan hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak sebanyak bahagian anak laki-laki. Keduduka n janda belum diterima sebagai ahli waris harta suaminya karena masyarakat masih berpegang teguh pada hukum waris adat Batak Karo yang menolak janda sebagai ahli waris.


(6)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

ABSTRACT

Dispute And hubbub of among you can be happened by the effect of

inequitable heritage part. Unjust will bring the the parties of have dispute to finish by agreement or by menempu band punish the. dispute And hubbub in heritage part of at society of custom of Batak Karo have made an decision of Appellate Court No. 179K/Sip/1961, date of 23 October 1961 and decision of Appellate Court No. 100K/Sip/1967, date of 14 June 1968, deciding that daughter and widow as heir. Decision of Appellate Court No. 179K/Sip/1961, date of 23 October 1961 and decision of Appellate Court No. 100K/Sip/1967, date of 14 June 1968, deciding that daughter and widow as heir illegal the heir of custom of Batak Karo embracing system of endowment patrilinial, that is clan system pulled by according to father line, where just just boy of rightful claimant to its parent heritage

In Indonesia, decision of Appellate Court only determine an applicable law for certain partys in a case. Verdict only fasten to all party judged by pertinent decision, and do not fasten for others which is non representing the parties, whereas hereditary law of custom of Batak Karo felt unjust for clan of woman and widow. In consequence hence require to be done/conducted by a research to know the heritage part of at society of custom of Batak Karo.

Research Location is at three countryside ( countryside Merdeka, countryside

Gongsol, countryside Jaranguda) in Subdistrict Independence The, Regency Karo, North Sumatra Province. This Research have the character of descriptive analyse by using approach of yuridis sociology ( empiris) done/conducted by qualitative. And conclusion withdrawal [done/conducted] with the Inductive approach.

Result of research indicate that the growth of hereditary law of custom there

have Batak Karo specially to daughter as heir. This is provable with the existence of special part and obligation to give the gift to daughter although do not as much boy part. Dimiciling widow not yet been accepted as by its husband estae heir because society still head towards the hereditary law of custom of Batak Karo refusing widow as heir


(7)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar MAGISTER KENOTARIATAN di Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul : ”PERKEMBAGAN HUKUM WARIS ADAT

PADA MASYARAKAT ADAT BATAK KARO (STUDI : KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)”. Saya menyadari masih banyak kekurangan

didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pendoman dimasa yang akan datang.

Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara kusus kepada Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., MHum, serta

Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH, MS, masing-masing selaku anggota komisi

pembimbing kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum selaku dosen penguji saya dalam penulisan ini.


(8)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaiakan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, MSc, Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para kariawan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan yang telah banyak membantu dalam penulisan Tesis ini dari awal Pertengahan sampai selesai.

Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibunda Tringani Tarigan, SH, SpN, tercinta yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada kakanda Laura beru Ginting, SH, MKn, yang selalu memberikan perhatian dan doa serta selalu memberikan dukungan, sehingga saya dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan dan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.


(9)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Bapak Tengah dan keluarga di desa Gongsol, serta silih Erik Perangin-angin yang telah menemani dan membantu saya dalam mengadakan penelitian.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Bapak Camat Merdeka, Bapak Kepala Urusan Pemerintahan Desa Merdeka, Bapak Kepala Desa Gongsol, Bapak Kepala Desa Jaranguda, serta pihak-pihak yang telah membantu saya dalam melakukan penelitian tesis saya ini.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada teman-temanku dan sahabatku, Bangun P Nababan, SH, Debora Br Gultom SH, Vina Br Pasaribu SH, Natal Surbakti SH, dan seluruh teman-teman group C, Swary Natalia Br. Tarigan, SH, dan seluruh teman-teman group B, Juni Surbakti, SH, dan seluruh teman-teman group A serta seluruh teman-teman yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada rekan-rekan kantor dan lingkungan tempat tinggal saya, yang selama ini membantu saya dalam penulisan tesis ini.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah.


(10)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan penuh ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya menyerahkan diri semoga tetap didalam lindunganNya. Semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(11)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Frans Cory Melando Ginting

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 04 Mei 1979

Alamat : Jl. Bajak V Gang Sejahtera No. 34 Medan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum menikah

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Connat Ginting

Nama Ibu : Tringani Tarigan, SH, SpN

III.LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

SD Masehi Tamat Tahun 1991

SMP Putri Cahaya Tamat Tahun 1994

SMU Negeri 2 Bandung Tamat Tahun 1997

Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan Tamat Tahun 2006


(12)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 25

1. Sifat Penelitian Dan Metode Penelitian ... 25

2. Lokasi Penelitian ... 26


(13)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

4. Metode Pengumpulan Data ... 27

5. Alat pengumpulan Data ... 28

6. Analisis Data... 28

BAB II PERKEMBANGAN UNSUR-UNSUR AHLI WARIS PADA MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO, PROVINSI SUMATERA UTARA ... 30

A. Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo ... 30

B. Ahli Waris Dalam Masyarakat Batak Karo Di Kecamatan Merdeka ... 44

C. Kemungkinan Hilangnya Hak Waris ... 55

BAB III PEMBAHAGIAN WARISAN YANG DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO, PROVINSI SUMATERA UTARA ... 58

A. Harta Waris ... 58

B. Proses Pewarisan ... 61

C. Pembahagian Warisan ... 71

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO PADA MASYARAKAT BATAK KARO ... 88

A. Faktor Agama ... 88

B. Faktor Ekonomi ... 91

C. Faktor Pendidikan ... 94

D. Besarnya Tanggung Jawab Perempuan ke Adat ... 98


(14)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan... 103

B. Saran ... 104


(15)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris ... 46

2. Anak Perempuan Yang Tidak Mempunyai Saudara Laki-laki Sebagai Ahli Waris ... 49 3. Janda Sebagai Ahli Waris ... 54

4. Cara Pembahagian Harta Warisan ... 70

5. Harta Pusaka Menjadi Hak atau Milik Anak Perempuan Yang Tidak Mempunyai Saudara Laki-laki ... 85


(16)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR ISTILAH

1. Merga artinya marga

2. Meherga artinya mahal/istimewa 3. Keleng ate artinya sayang

4. Anak namur atau anak embun artinya anak zinah

5. Anak beru artinya kelompok penerima perempuan yang bertugas untuk

menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan serta mengatur jalannya upacara pesta

6. Cabur Pinang artinya buah pinang yang dihancurkan lumat-lumat, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya.

7. Tektek ketang artinya memotong rotan dengan pisau atau perang yang tidak dapat disambung lagi, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya.

8. Barang jabu artinya harta rumah

9. Barang darat barang artinya diluar rumah

10.Kalimbubu artinya kelompok pemberi wanita, pihak keluarga isteri, saudara laki-laki isteri

11.Puang kalimbubu artinya kelompok dari orang tua isteri

12.Sembuyak atau senina artinya satu marga antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan

13.Erta tading tadingen artinya harta pusaka 14.Kerangen artinya hutan, rimba

15.Erta bekas encari artinya harta pencaharian bersama

16.Impal artinya hubungan kekerabatan antara seorang pemuda dengan anak saudara lelaki ibunya


(17)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

17.Taneh buat-buaten artinya pemberian tanah dari pihak kalimbubu kepada anak beru

18.Pemere artinya pemberian

19.Pemerean penjayon artinya tindakan pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidupnya

20.Pemberian tedik-tedik artinya pemberian orang tua kepada salah seorang anak disebabkan lebih pandai mencari perhatian orang tuanya, dari pada anak-anaknya yang lain

21.Tare-tare iluh artinya penahan air mata

22.Maneh-maneh artinya kain atau sejumlah uang yang diberikan kepada kalimbubu dari sanak saudara yang meninggal dalam usia tua dan semua anaknya sudah berumah tangga sebagai kenangan atas orang yang meninggal tersebut

23.Morah-morah artinya kain, uang atau emas sebagai kenangan yang diberikan kepada saudara ibu dari seorang keponakan wanita yang meninggal dunia

24.Pengamburkan lau simalem-malem artinya menabur air dingin diatas kuburan si pewaris setelah beberapa hari dikuburkan

25.Perkah-kah bohan artinya suatu pesta jamuan makan yang lauk pauknya terdiri dari sayur-sayuran bercampur daging, yang dimasak dalam bambu muda

26.Tukur arinya beli, mas kawin

27.Kitang artinya tempat nira yang terbuat dari seruas bambu, sehingga dapat langsung dituang ke mulut

28.Perbelang kade-kade artinya memperluas kekeluargaan

29.Unjuken artinya jumlah mas kawin dari seorang anak wanita yang kawin

30.Surat Ukat artinya tulisan pada sendok bambu yang berbunyi endi (memberi) enta (meminta), maksudnya agar setiap orang terlebih dahulu memberi baru meminta atau setiap orang mengetahui hak dan kewajibannya


(18)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A. G. Sitepu bila ada suatu warisan yang ditinggalkan oleh orangtua diturunkan kepada anak dan cucunya, hendaknya warisan tersebut meningkatkan perbaikan hidup bagi anak dan cucunya dan untuk terciptanya suatu kedamaian sesamanya.1

Tradisi masyarakat Batak Karo sebelum menganut suatu agama masih berdasarkan kepercayaan terhadap nenek moyang (leluhur) yang berintikan kehidupan duniawi para leluhur yang sudah meninggal dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Keturunan mereka memuja dan mengurus mereka yang berada dalam kerajaan mereka di alam baka, dan pasang surut, naik turun, kemakmuran dan kemiskinan yang hidup, tercermin dalam pemujaan dan Tetapi apa yang terjadi berbeda sama sekali dengan kenyataaannya. Pada akhir-akhir ini, pertentangan dan pertikaian yang terjadi dalam suatu kelompok/keluarga justru dipicu oleh adanya warisan. Pertikaian ini disebabkan banyak sebab, diantaranya adalah pembagian harta warisan yang dirasa tidak adil oleh salah satu pihak atau beberapa pihak ahli waris.

Salah satu rasa ketidak-adilan ini dapat ditemukan pada pembagian warisan menurut hukum waris adat Batak Karo, yang mana pembagian warisan berdasarkan sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak (sistem Pewarisan Patrilinial), dimana kedudukan pria mendapat lebih banyak bahagiannya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.

1

Dikutip dari Sempa Sitepu, Bujur Sitepu, A.G. Sitepu, Pilar Budaya Karo, Medan, dicetak oleh :”BALI” Scan & Percetakan,1996, halaman 154 dan 155.


(19)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

penghormatan yang dinikmati oleh roh mereka. Harta kekayaan orang yang meninggal tidak memiliki keturunan laki-laki akan diwarisi oleh anggota keluarga yang mempunyai keturunan laki-laki terdekat.2

Pada masyarakat adat Batak Karo dikenal anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan (marga) pada suku Batak Karo. Sedangkan anak perempuan yang sudah kawin secara jujuran dan oleh karenanya setelah perkawinan masuk kerabat dari suaminya dan dilepaskan dari hubungan kerabatnya sendiri, tidak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kemegahan yang terdapat pada kuburan-kuburan yang ada pada masyarakat adat Batak Karo dan pembicaraan adat atau kehidupan sehari-hari pada masyarakat adat Batak Karo seolah-olah orang yang meninggal tersebut (leluhur) mendengar apa yang dibicarakan dan mengetahui perbuatan keturunannya.

3

Dalam hukum waris Batak Karo dikenal istilah pewaris pengganti, yaitu bila seorang anak yang menjadi ahli waris meninggal dunia sebelum orangtuanya, maka tempatnya diganti oleh keturunannya, hingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya atau kakeknya, yang sebenarnya menjadi hak dari orangtuanya yang telah meninggal itu.4

Tetapi istilah ini tidak berlaku bagi anak perempuan dalam adat Batak Karo. Apabila harta pusaka diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah, hal tersebut hanya dapat dipakai selama dia hidup dan tak bisa dijual olehnya. Setelah dia meninggal maka harta pusaka tersebut harus dikembalikan kepada marga asal yang menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena harta pusaka tersebut harus tetap

2

J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta, Pustaka Azet, 1986, halaman 297 dan 298.

3

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995, halaman 183.

4

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masjarakat, Diktat, Milik Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Koleksi Perpustakaan FH No.Ind.: B, halaman 39.


(20)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

menjadi milik marga asal yang menguasai, sehingga tidak terjadi pergantian marga terhadap kepemilikan harta pusaka tersebut.

Dalam hal ini Hukum waris menurut adat Batak Karo bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961 (kasus : Dem beru Sitepu dan Benih beru Ginting lawan Lang Tewas Sitepu dan Ngadu Sitepu)

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui peradilan adat maupun peradilan negara. Peradilan adat melalui putusannya memegang teguh prinsip-prinsip adat yang memberikan hak mewaris kepada perempuan. Hanya saja kali ini putusan yang memberi hak pakai kepada perempuan (bukan hak milik). Putusan adat tidak menyelesaikan persoalan, karena perempuan tidak dengan sukarela menundukkan diri kepadanya. Hal ini membuat pihak laki-laki kecewa dan meneruskan perkara ke pengadilan negara. Namun dengan begitu perempuan justru berkenalan dan berurusan dengan pengadilan negara, karena harus menghadapi gugatan. Pengadilan Negeri memenangkan pihak perempuan, Pengadilan Tinggi mengalahkannya, dan Mahkamah Agung kembali memenangkannya.

Kasus sengketa ini adalah perseteruan antara Dem (perempuan) yang karena meninggal diteruskan oleh anak perempuannya, Benih beru Ginting melawan Lang Tewas dan kawan-kawan (laki-laki) karena merebut tanah pusaka milik Rolak Sitepu (ayah dari ayah Benih beru Ginting). Perkara ini pernah dicoba diselesaikan peradilan adat. Kemudian peradilan adat (Pengadilan Swapraja) tanggal 1 Maret 1929


(21)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

memutuskan bahwa Dem hanya boleh menguasai tanah pusaka terpekara dengan hak pakai, bukan hak milik karena ia perempuan. Dem tidak mengindahkan putusan tersebut.

Pihak laki-laki menggugat ke Pengadilan Negeri Kabanjahe, tetapi Pengadilan justru mengalahkan mereka dan meminta mereka untuk mengembalikan ladang terpekara kepada keturunan anak perempuan. Perkara diteruskan ke Pengadilan Tinggi di Medan. Akan tetapi Pengdilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan sebelumnya. Kali ini pihak perempuanlah yang tidak puas dan naik kasasi. Putusan Mahkamah Agung memenangkan pihak perempuan melalui putusan No. 179K/Sip/1961. Putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang bersejarah bagi persamaan hak anak perempuan Batak Karo dalam hal waris.5

Demikian juga terhadap janda pada masyarakat Batak Karo karena janda merupakan anggota keluarga dari pihak suami akibat anak perempuan dalam adat Batak Karo wanita yang telah menikah menjadi bahagian dari pihak laki-laki (telah dibeli) maka ia tetap dapat menguasai harta warisan dan menikmati harta tersebut selama janda tersebut hidup untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan anak-anaknya. Dan apabila ia ingin menikah lagi maka ia dapat menikah dengan saudara lelaki suami (ganti tikar). Tetapi apabila ia menikah dengan marga lain yang tidak terdapat hubungan saudara dari suaminya maka ia harus menyerahkan harta pusaka tersebut kepada marga asal (anak laki-lakinya atau saudara lelaki suami). Penguasaan janda atas harta warisan suami yang telah wafat tersebut berakhir apabila anaknya sudah dewasa dan berumahtangga atau sampai saatnya diserahkan kepada waris atau waris pengganti.

5

Sulityowati Irianto, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, halaman 221 dan 222.


(22)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap warisan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan, khususnya mengenai Batak Karo, diperoleh data sebagai berikut:

“Janda hanya berfungsi sebagai :

1. Pengawas atau pemelihara harta peninggalan menggantikan kedudukan suami yang telah meninggal guna menjaga kepentingan ahli waris

2. Selama janda masih hidup dia berhak menguasai dan menikmati harta-harta tersebut serta berhak atas hasil dan keuntungannya yang timbul dari padanya.

3. Sifat pengawas dan penikmatan tadi tidak boleh mengurangi atau memisahkan maupun menjual harta-harta tersebut.6

Penjualan hanya dapat dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari anak beru, senina, dan kalimbubu dalam batas keperluan :

1. Untuk biaya penguburan mayat almarhum suaminya

2. Biaya untuk memperbaiki rumah dan belakangan ini juga dibenarkan untuk kepentingan pengobatan dan pendidikan anak-anak.

3. Untuk biaya perkawinan anak laki-laki.

4. Untuk keperluan hidupnya serta anak-anaknya.

Akan tetapi perlu diingat, bahwa pengawasan dan penikmatan itu akan tanggal dengan sendirinya apabila janda itu telah cerai dari keluarga suaminya atau janda tersebut melakukan perkawinan dengan laki-laki lain di luar keluarga mendiang suaminya.

6

Penelitian Mahkamah Agung tahun 1979 terhadap warisan diwilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan.


(23)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa janda bukanlah ahli waris bagi suaminya di kalangan masyarakat Batak Karo yang partrinineal murni.7

Dalam hal ini hukum waris menurut adat Batak Karo bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, dalam perkara Tangsi Bukit lawan Pengidahen beru Beliala dan kawan-kawan. Mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris, Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami yang meninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, janda berhak atas separuh/setengah dari harta bersama, yang sisanya dibagi antara janda dan kedua anaknya, masing-masing mendapat sepertiga bagian.8

Di dalam Praktek (kenyataan), hukum adat waris lama masih dipertahankan, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa anak laki-laki saja yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Tetapi dari sudut lain kita lihat bahwa masyarakat Batak Karo sendiri sudah lebih cenderung untuk menggunakan ketentuan dari Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 tersebut dalam mempertahankan haknya ataupun dalam pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada perkara yang masuk ke pengdilan mengenai masalah warisan.

Dengan demikian, menurut Mahkamah Agung anak perempuan dan janda adalah sebagai ahli waris. Bagaimanakah kenyataannya sekarang ini. Oleh karena keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 dan No. 100 K/Sip/1967 itu dibuat untuk kasus yang terjadi pada masyarakat di tanah Karo tersebut, K. Rehngena Purba (1978) menulis di dalam makalahnya bahwa :

9

Putusan pengadilan hanya akan menentukan hukum yang berlaku atau mengikat bagi para pihak yang berpekara atau terkena perkara tertentu, sedangkan

7

Dikutip dari : Soerjono Sokanto & Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, 1986, Ghalia Indonesia, halaman 25 dan 26.

8

Abdurrahnan.Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, , Bandung, Alumni, 1978, halaman 141 dan 142.

9

Soerjon Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, 1983, halaman 263 dan 264.


(24)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

yurisprudensi adalah putusan-putusan pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) yang telah memiliki daya ikat secara umum, yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan yang ada dibawahnya secara tetap. Dalam wacana hukum, hal demikian dinamakan sebagai

preseden (judge made law atau case lase), putusan pengadilan dalam perkara tertentu

yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan lainnya sebagai landasan untuk memutuskan perkara yang serupa.negara-negara menganut yurisprudensi sebagai dasar untuk mengadili ini biasanya adalah negara-negara Anglo-saxon yang tidak menganut kodifikasi, seperti Amerika Serikat.

Di Indonesia, asas preseden bukan merupakan suatu kelaziman, walaupun terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang seringkali dianggap sebagai yurisprudensi. Dalam praktik hukum di Indonesia, hakim adalah lembaga yang berwenang menentukan hukum in concreto, menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak.10

1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara?

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

10

H.R. Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kotemporer, Bandung, Alumni, 2002, halaman 149 dan 150.


(25)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi SumateraUtara ?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah:

1. Untuk mengetahui perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pembagian harta warisan tersebut yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi SumateraUtara.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara


(26)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang terjadi di lapangan.

2. Secara praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan untuk para notaris, masyarakat umum, akademis maupun dalam upaya mempersiapkan peraturan tentang pengertian harta warisan, unsure-unsur ahli waris serta kedudukan wanita dan janda dalam pembagian warisan pada adat Batak Karo dan mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Karo.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul perkembangan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo (studi : di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara) dengan permasalahan pertama bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak Karo, dan permasalahan kedua bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo, serta permasalahan ke tiga


(27)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo yang penelitiannya dilakukan pada desa Merdeka, desa Gongsol dan desa Jaranguda di Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian kita kearah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu ada seorang anggota masyarakat yang meninggal dunia.11

Apabila seorang manusia itu pada suatu waktu meninggal dunia maka dengan sendirinya timbul pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan

perhubungan-Seorang manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu.

Dengan pekataan lain : ada pelbagai perhubungan hukum antara seorang manusia itu disatu pihak dan dunia luar disekitarnya di lain pihak sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.

11


(28)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

perhubungan hukum itu, yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu si manusia itu masih hidup.

Namun demikian walaupun seorang yang meninggal dunia itu sudah dimakamkan, perhubungan-prhubungan hukum itu tidaklah lenyap begitu saja, bukankah sesorang itu masih sanak saudara yang ditinggalkan, apakah itu ayah atau ibunya, kakek atau neneknya atau juga anak-anaknya.

Maka dari itu, di tiap-tiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat itu dapat diselamatkan, agar masyarakat itu sendiri dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala hukum

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari pengertian warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seorang manusia.12

Sebagaimana diketahui, hukum kita masih tetap dihinggapi ciri dualisme : hukum adat (tidak tertulis) untuk golongan pribumi, hukum kodifikasi (Burgerlijk

Wetboek dan Wetboek Van Koophandel) untuk golongan non pribumi.13

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan, oleh karena sistem garis

12

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Pt Rineka Cipta, Mei 1991, halaman 1.

13

R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung, Alumni, 1983, halaman 108.


(29)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku bangsa atau kelommpok-kelompok etnik.14

1. Pengawas atau pemelihara harta peninggalan menggantikan kedudukan suami yang telah meninggal guna menjaga kepentingan ahli waris

Sistem Pewarisan yang ada pada masyarakat adat Batak Karo adalah sistem Pewarisan Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih banyak pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.

Apabila harta pusaka diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah, hal tersebut hanya dapat dipakai selama dia hidup dan tak bisa dijual oleh nya. Setelah dia meninggal maka harta pusaka tersebut harus dikembalikan kepada marga asal yang menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena harta pusaka tersebut harus tetap menjadi milik marga asal yang mengusai, sehingga tidak terjadi pergantian marga terhadap harta pusaka tersebut.

Menurut Hukum Waris Batak Karo, Hak menikmati merupakan hak satu-satunya dari janda terhadap harta warisan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap warisan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan, khususnya mengenai Batak Karo, diperoleh data sebagai berikut :

Janda hanya berfungsi sebagai :

14


(30)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

2. Selama janda masih hidup dia berhak menguasai dan menikmati harta-harta tersebut serta berhak atas hasil dan keuntungannya yang timbul dari padanya.

3. Sifat pengawas dan penikmatan tadi tidak boleh mengurangi atau memisahkan maupun menjual harta-harta tersebut.15

Penjualan hanya dapat dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari anak beru, senina, dan kalimbubu dalam batas keperluan :

1. Untuk biaya penguburan mayat almarhum suaminya

2. biaya untuk memperbaiki rumah dan belakangan ini juga dibenarkan untuk kepentingan pengobatan dan pendidikan anaak-anak.

3. untuk biaya perkawinan anak laki-laki.

4. Untuk keperluan hidupnya serta anak-anaknya.

Akan tetapi perlu diingat, (bahwa) pengawasan dan penikmatan itu akan tanggal dengan sendirinya apabila janda itu telah cerai dari keluarga suaminya atau janda tersebut melakukan perkawinan dengan laki-laki lain di luar keluarga mendiang suaminya.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa janda bukanlah ahli waris bagi suaminya di kalangan masyarakat Batak Karo yang Partrinineal murni.16

15

Penelitian Mahkamah Agung tahun 1979 terhadap warisan diwilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan.

16

Soerjono Sokanto & Yusuf Usman, Op. cit, halaman 25 dan 26.

Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah menetapkan mengubah

ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya anak dan janda. Misalnya keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23-10-1961, yang menyatakan bahwa :


(31)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Berhubungan dengan itu maka juga di tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya.

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang menyatakan bahwa :

Karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah Agung..

Pembagian warisan dalam hukum adat bisa terjadi pada saat hidupnya si pewaris (yang mewariskan).17

Laporan Negara-negara peserta Konvensi harus mencantumkan komentar mengenai aturan hukum atau adat/kebiasaan yang berkaitan dengan hukum kewarisan, karena hal ini berpengaruh pada kedudukan perempuan seperti Hal ini sangat bagus untuk menghindari pertentangan dan pertikaian dalam keluarga.

17

R. Badri, Perkawinan Menurut Undang Undang Perkawinan & K.U.H.P, Surabaya, Cv. Amin, halaman 225


(32)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

ditentukan dalam Konvensi dan Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 884D (XXXIV), di mana Dewan memberikan rekomendasi bahwa Negara menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan yang setingkat terhadap orang yang meninggal berhak mendapat bagian yang sama dalam hal pemilikan atas tanah dan tingkat urutan pewarisan (equal rank in the order of succession).18

Masyarakat Indonesia memang sedang dalam proses menuju ke suatu sistem keturunan yang berdasarkan kesederajatan, keseimbangan dan kemitrasejajaran antara pria dengan wanita, karena adanya perubahan sosial, dalam arti bahwa ada faktor –faktor yang mempengaruhi perubahan keturunan unilateral menuju ke arah Bilateral. Di samping juga dikemukakan beberapa contoh Yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengarah ke Bilateral.19

Penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Hal ini membuat pelaksana hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo menjadi simpang siur akibat tidak terdapat kepastian hukum dalam masyarakat itu sendiri.

20

Allotts menyatakan, bahwa hukum tidak akan bekerja dengan baik jika tidak sesuai dengan konteks sosialnya. Allotts menjelaskan bahwa ”penyesuaian hukum untuk merubah kondisi-kondisi sosial adalah bagian kerjaan dari kerjanya melalui penegasan kembali batasan-batasan instrumen yang sah”.21

18

Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan UU No.7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, halaman 297 dan 298.

19

Penyunting: Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Archie Sudiarti Luhulima, Penhapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung, Alumni, 2006, halaman 115.

20

Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 1.

21

H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Bandung, PT. Refika Aditama, 2004, halaman 97.


(33)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Pemerintah dan ahli hukum adat seperti Koesnoe dan Imam Sudiyat berpendapat bahwa paham kodifikasi dan unifikasi itu tidak dapat dianut di Indonesia karena paham tersebut berpangkal pada paham legisme yang di Indonesia tidak memiliki akar. Paham legisme adalah paham yang mengatakan bahwa UU atau hukum tertulis merupakan satu-satunya sumber hukum. Dengan kata lain, paham kodifikasi dan unifikasi bertendensi menbunuh hukum adat yang secara riil masih banyak yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Indonesia.22

Donald Black mengatakan bahwa hukum dapat dilihat sebagaimana layaknya hal lain dalam dunia empiris. Adalah hal penting untuk mendapatkan kejelasan bahwa dari sudut pandang sosiologi, hukum terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dapat diamati, bukanlah terdiri dari perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan sebagaimana konsep peraturan atau norma yang digunakan baik dalam literatur yurisprudensi (ilmu hukum) maupun dalam bahasa hukum sehari-hari. Dari sudut pandang sosiologi, hukum bukanlah apa yang para ahli hukum pandang sebagai peraturan-peraturan yang mengikat dan wajib dilaksanakan, tetapi lebih-sebagai contoh-merupakan kecondongan-kecondongan yang dapat diamati dari para hakim, anggota polisi, jaksa/penuntut umum atau pejabat administrasi.23

Eugen Ehrlich (1862-1922) mengatakan bahwa pada waktu sekarang, seperti juga pada waktu yang lain, pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, juga perundang-undangan, juga tidak pada keputusan hakim, tetapi dalam masyarakat itu sendiri.24

Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendali sosial (social control), bahkan hukum selalu menghadapi pertentagan dari kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia berusaha untuk menyusun suatu kerangka dari nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum di dalam menghadapi pertentangan dari kepentingan-kepentingan.25

22

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999, halaman 36.

23

Soleman B. Taneko, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta,raja Grafindo Persada, 1993, halaman 21.

24

http : //www.pta-palangkaraya.net/data/mengajarkan-keteraturan.pdf

25

Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,Jakarta, raja Grafindo Persada, 2006, halaman 44.


(34)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

2. Konsepsi

Untuk melihat sejauh mana keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23-10-1961 (tentang anak perempuan sebagai ahli waris yang sama kedudukannya dengan anak laki-laki) dan keputusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14 Juni 1968 (janda sebagi ahli waris) berlaku dalam masyarakat adat Batak Karo, maka haruslah dilakukan penelitian terhadap masyarakat adat Batak Karo itu sendiri.

Tetapi sebelum melakukan penelitian maka haruslah ditarik kesimpulan tentang pengertian-pengertian dasar dari perumusan masalah yang ada, antara lain adalah :

Menurut Iman Sudiyat, dinyatakan : dasar berlakunya hukum adat yang berasal dari zaman kolonial Belanda pada masa sekarang masih berlaku adalah ketentuan pasal 131 ayat 2 sub b I.S yang menyatakan bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat.26

Menurut Djaren Saragih, hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada peraturan keadilan rakyat yang selalu berkembang yang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).27

Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.28

26

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung, Alfabeta, 2008, halaman 4

27

Ibid, halaman 23.

28

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Kekeluargaan, Jakarta, Universitas Indonesia, 1980, halaman 285.


(35)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri dengan pihak ketiga.29

Hukum Waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/ perpindahan harta-kekayaan materiil dan non matteriil dari generasi ke generasi.

30

Pada hakekatnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seorang yang meninggalkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang menerima harta warisan.31

Pada umumnya para waris adalah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup; tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-nenek, waris anggota kerabat dan

Dalam masyarakat Batak Karo yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja.

Menurut Hilman Hadikusuma, Para Waris adalah :

“Semua orang yang (akan) menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Jadi ada waris yang ahli waris dan ada waris yang bukan ahli waris. Batas antara keduanya sukar ditarik garis pemisah, oleh karena ada yang ahli waris di suatu daerah sedang di daerah lain ia hanya waris, begitu pula ada yang di suatu daerah sebagai waris tetapi tidak mewarisi sedangkan di daerah lain ia mendapat warisan.

29

A. Pitlo, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Menurut KUHPerdata, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1984, halaman 7.

30

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty Yogyakata, 1981, halaman 151.

31

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali, 1983, halaman 288.


(36)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan.”32 Janda adalah wanita yang tidak bersuami lagi, baik karena bercerai maupun ditingga l mati suaminya.

33

Marga atau beru adalah suatu nama yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ayah menurut garis lurus keatas maupun kebawah

Janda menurut hukum waris adat Batak Karo bukan ahli waris terhadap harta peninggalan suaminya.

Sedangkan pada prinsipnya yang merupakan obyek hukum waris pada Batak Karo dapat di bagi dua (2) bagian, yairu : immateriel dan materiel

Obyek hukum waris immateriel pada masyarkat Batak Karo adalah berupa marga pada anak laki-laki dan beru pada anak perempuan.

34

atau kelompok unilinear yang terbesar yang membagi masyarakat Karo atas lima golongan besar masing-masing tidak merasa terpaut dengan atau berasal dari yang lain di dalam asal-usul.35

a. marga atau beru Karo-karo

Dalam Masyarakat Batak Karo mempunyai lima induk marga atau beru, yaitu :

b. marga atau beru Ginting c. marga atau beru Tarigan

32

H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citr Aditya Bakti, 2003, halaman 67

33

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2007, halaman 193.

34

Darwan Prints dan Darwin Prints, Sejarah Dan Kebudayaan Karo, Jakarta, CV. Irma, 1985, hlm 31.

35

M.D. Mansoer CS, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, 1979, Tarsito, Bandung, halaman 14


(37)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

d. marga atau beru Sembiring e. marga atau beru Perangin-angin

Kelima marga atau beru masih mempunyai cabang-cabang, yaitu terdiri dari 83 cabang marga atau beru. Untuk lebih jelasnya saya menurunkan dibawah ini cabang-cabang marga atau beru tersebut adalah sebagai berikut :

a. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya

1. Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan. 2. Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.

3. Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat

4. Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.

5. Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta. 6. Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.

7. Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang. 8. Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu). 9. Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen. 10.Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.

11.Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul. 12.Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat. 13.Karokaro Sekali di Seberaya. 14.Karokaro Kemit di Kuta Bale.

15.Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.

16.Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata. 17.Karokaro Samura di Samura.

18.Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu b. Merga Ginting dan cabang-cabangnya

1. Ginting Suka di Suka, Linggajulu, Naman, dan Berastepu. 2. Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat. 3. Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.

4. Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur. 5. Ginting Ajartambun di Rajamerahe.

6. Ginting Capah di Bukit dan Kalang. 7. Ginting Beras di Laupetundal.

8. Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging. 9. Ginting Jadibata di Juhar.

10.Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.


(38)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

11.Ginting Manik di Tengging dan Lingga. 12.Ginting Sinusinga di Singa.

13.Ginting Jawak di Cingkes 14.Ginting Seragih di Lingga Julu.

15.Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem. 16.Ginting Pase

c. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya

1. Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.

2. Tarigan Tua di Pergendangen. 3. Tarigan Silangit di Gunung Meriah.

4. Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu. 5. Tarigan Tegur di Suka.

6. Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu. 7. Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun). 8. Tarigan Gana-gana di Batukarang.

9. Tarigan Jampang di Pergendangen.

10.Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll. 11.Tarigan Bondong di Lingga.

12.Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu 13.Tarigan Purba di Purba (Simalungun)

d. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya

I. Sembiring Siman biang (Tidak biasa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).

1. Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.

2. Sembiring Sinulaki di Silalahi. 3. Sembiring Keloko di Pergendangen.

4. Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri

II. Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)

1. Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.

2. Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding. 3. Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.

4. Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.

5. Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen,


(39)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

6. Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga. 7. Sembiring Tekang di Kaban.

8. Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.

9. Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.

10.Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).

11.Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.

12.Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang, Sarintono. 13.Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.

14.Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding e. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya

1. Peranginangin Namohaji di Kutabuluh. 2. Peranginangin Sukatendel di Sukatendel. 3. Peranginangin Mano di Pergendangen.

4. Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat. 5. Peranginangin Pencawan di Perbesi.

6. Peranginangin Sinurat di Kerenda. 7. Peranginangin Perbesi di Seberaya. 8. Peranginangin Ulunjandi di Juhar. 9. Peranginangin Penggarus di Susuk.

10.Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang). 11.Peranginangin Uwir di Singgamanik.

12.Peranginangin Laksa di Juhar.

13.Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun. 14.Peranginangin Keliat di Mardinding.

15.Peranginangin Kacinambun di Kacinambun. 16.Peranginangin Bangun di Batukarang.

17.Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu. 18.Peranginangin Benjerang di Batukarang

Sebagian dari marga Peranginangin dan Sembiring dapat kawin sesamanya (antar cabang merga).

Ada pula merga yang melakukan Sejandi yaitu perjanjian tidak saling mengambil atau tidak mengadakan perkawinan antar merga bersangkutan, misalnya : antara Sembiring Tekang dengan Karokaro Sinulingga dan antara Karokaro Sitepu dengan Peranginangin Sebayang.36

36


(40)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Sedangkan obyek hukum waris materiel adalah harta keluarga itu. Harta keluarga itu dapat berupa :

a. Harta Peninggalan adalah harta warisan yang belum dibagi atau tidak terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup. Misalnya harta peniggalan ayah yang telah wafat yang masih dikuasai ibu yang masih hidup.37

b. Harta Pusaka adalah suatu benda yang tergolong kekayaan di mana benda tersebut dianggap mempunyai kekuatan magis38 atau harta benda peninggalan baik benda bergerak maupun benda tetap.39

c. Harta gono gini adalah harta bersama yang diperoleh suami isteri selama perkawinan berlangsung.40

d. Harta bawaan adalah harta benda atau barang-barang tertentu yang dibawa baik oleh suami atau isteri pada waktu kawin.

Harta gono gini dapat disamakan pengertiannya dengan harta perkawinan atau harta pencaharian selama perkawinan.

41

e. Harta pemberian adalah harta kekayaan yang didapat suami isteri secara bersama atau perseorangan yang berasal dari pemberian orang lain. Pemberian itu dapat berupa pemberian hadiah atau hibah atau hibah wasiat.42

37

H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, halaman 11.

38

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, halaman 305.

39

Sudarsono, Op.cit, halaman 161.

40

Sudarsono, Op.cit, halaman 149.

41

Sudarsono, Op.cit, halaman 160.

42


(41)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Berdasarkan penilaian masyarakat Karo sendiri (Seminar Adat Istiadat Karo 1977:1-2), ciri-ciri pribadi orang Karo itu adalah jujur dan berani, tabah, sopan santun beradat, suka menolong dan mengetahui harga diri. Khusus untuk yang trakhir ini, harga diri merupakan yang utama. Kalau orang berbuat baik terhadapnya, dia bisa lebih baik lagi. Sebagai pribadi, termasuk ke dalam pribadi yang bersifat sedikit tempramental, terbuka, jujur, tidak mau mengganggu, namun kalau diganggu, akan diingatnya sampai lama (pendendam). Satu prinsip hidup masyarakat Karo adalah seperti yang tertulis dalam Surat Ukat (surat sendok adalah tulisan yang dituliskan pada sendok nasi yang terbuat dari sepotong bambu). Di sendok tersebut dituliskan kata er-endi enta (memberi dan meminta), sifat er-endi enta ini, berbalas; tidak hanya memberi atau meminta saja, tetapi pelaksanaan memberi dan meminta ini harus pada tempatnya. Bila seseorang memberi sesuatu kepada kita, maka kita juga harus membalasnya dengan memberikan sesuatu juga kepada orang tersebut. Soal nilai dari barang yang kita berikan itu tidak senilai dengan yang diberikan seseorang, itu tidak dipersoalkan.

Arti lainnya yang terkandung di dalam prinsip memberi dan meminta ini, adalah berkaitan dengan rahasia, dan harga diri seseorang. Bila seseorang lebih sering meminta dari pada memberi, maka orang tersebut dinilai sebagai pengemis, sedangkan bila lebih banyak memberinya, akan dinilai sebagai dermawan. Sebagai seorang dermawan, dia akan dihargai, orang lain tidak akan dapat menakar harga


(42)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

dirinya. Namun bila menerima selalu, orang akan dapat menakar harga dirinya. Dalam masyarakat Karo lama yang ditekankan sekali lebih baik memberi daripada

meminta.

Prinsip hidup lain tercermin dalam ungkapan berikut ini keri gia lau pola e,

gelah i sangketken kitangna (walaupun air nira itu telah habis diminum, tidak

masalah, asal tempat air nira itu di simpan kembali pada tempatnya). Ungkapan ini menjelaskan sifat individu Karo dalam bentuk lain. Bagi individu Karo cara sangat penting. Kalau caranya tidak benar, dia akan marah sekali, makanya individu Karo kerapkali bertengkar, bahkan sampai membunuh lawannya bertengkar, hanya gara-gara harga dirinya merasa direndahkan. Namun kalau caranya benar, dia tidak akan mempermasalahkannya.43

1. Sifat Penelitian Dan Metode Pendekatan

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu : Menggambarkan perkembangan Hukum Waris Adat yang ada pada masyakat Batak Karo serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan memberikan masukan-masukan berupa saran.

Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kusioner atau angket, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui.44

43

http://library.usu.ac.id/download/fs/bhsindonesia-pertampilan2.pdf

44

Theresia Dewita Sinuraya, Perkembangan Hukum Waris Adat : Studi Mengenal Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian Harta Warisan Di Kabupaten Karo, 2005, Medan, Tesis, halaman 33.


(43)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara kepada Camat, Kepala Desa, Kepala Lingkungan dan masyarakat pada Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Ditinjau dari sudut tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis (empiris). Yuridis sosiologis (empiris) berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data yang terdapat dari hasil wawancara dan dibandingkan Undang-undang yang sedang berlaku sekarang.

2. Lokasi Penelitian

Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.45

Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan hukum waris nasional adalah hukum waris adat.

Untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan itu perlu diketengahkan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan.

46

45

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, 14 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta.

46

H. Hilman Hadikusuma, Op. cit, halaman 1

Oleh karenanya si penulis melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan terutama pada masyarakat Batak Karo yang berada pada Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.


(44)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

3. Populasi dan Sampel, Responden Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang ditentukan di atas, maka yang ditetapkan sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat Batak Karo yang dianggap mempunyai pengetahuan tentang pokok permasalahan dalam tesis ini.

Hal ini dilakukan untuk melihat pengertian harta warisan dan unsur-unsur ahli waris dalam pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo.

Pada Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara terdapat 9 desa, maka dalam penelitian ini penulis meneliti 3 desa saja dan setiap desa diwakili oleh 12 keluarga dimana yang akan diwawancarai adalah keluarga yang telah melakukan pembagian warisan, dengan menggunakan metode random atau acak. Hal ini dilakukan mengingat pada dasarnya sifat seluruh populasi relatif homogen ditinjau dari kepentingan penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen, maupun Peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo.


(45)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

b. Studi Lapangan (Field Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan masyarakat dan pemerintah yang berada dalam Kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.

5. Alat Pengumpulan Data

a. Studi Dokumen, untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo. b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang

telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis.

c. Tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.

6. Analisis Data

Dari hasil pengumpulan data primer dan data sekunder sesuai dengan yang diharapkan, maka untuk mengetahui data yang akurat, dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.


(46)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan di Kecamatan Merdeka Kabupatan Karo.

Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.


(47)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi BAB II

PERKEMBANGAN UNSUR-UNSUR AHLI WARIS PADA MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO,

PROVINSI SUMATERA UTARA

A. Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo

Pada hakekatnya subyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.47

Soerjono Wignjodippoero, memberi istilah ahli waris, yang pengertiannya adalah : “Seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan.

Pada umumnya mereka yang menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup sangat dekat dengan si peninggal harta warisan tersebut. Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal harta.

48

Istilah diatas dipakai juga oleh Ali Afandi, yang menyatakan : “Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian tertentu.”49

47

Soerjono Sokanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Raja grafindo persada, 2008, halaman 262

48

Wignjodipoero Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995, halaman 13

49

Ali Afandi , Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembentukan Menurut KUHPerdata, Jakarta , PT. Bina Sara, 1986, halaman 7.


(48)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Menurut Hilman Hadikusuma, Para Waris adalah :

“Semua orang yang (akan) menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Jadi ada waris yang ahli waris dan ada waris yang bukan ahli waris. Batas antara keduanya sukar ditarik garis pemisah, oleh karena ada yang ahli waris di suatu daerah sedang di daerah lain ia hanya waris, begitu pula ada yang di suatu daerah sebagai waris tetapi tidak mewarisi sedangkan di daerah lain ia mendapat warisan.

Pada umumnya para waris adalah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup; tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-nenek, waris anggota kerabat dan waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh system kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan.”50

b. garis pokok penggantian.

Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu :

a. garis pokok keutamaan,

51

Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengerian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi, sebagai berikut :

50

H. Hilman Hadikusuma, Op. cit, halaman 67

51


(49)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

a. Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris b. Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris

c. Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya d. Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris

e. dan seterusnya.

Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang di dalam kelompok orang-orang keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris.

Di dalam pelaksanaan penentuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dan penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda dan lainnya.

Ahli waris sebagai orang-orang yang mempunyai keperluan atas kejadian meninggalnya seorang yang pada hubungannya dengan adanya suatu harta kekayaan yang disiapkan untuk dimanfaatkan akan kebutuhan keselamatan masyarakat.

Meninggalnya seseorang selalu menyebabkan goncangnya kestabilan atau kejiwaan pada masyarakat (verstring van magisch even wicht in de maatschappij).

Melihat atau mendengar berita seorang manusia meninggal dunia, selalu mendorong pikiran dan perasaan mereka yang masih hidup ke alam keajaiban.

Orang dapat mengatakan, bahwa keajaiban ini hanya bisa dimengerti serta dirasakan, jika dihubungkan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, tetapi meninggalnya seorang manusia tetap merupakan suatu keajaiban.


(50)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Justru karena itu, keajaiban ini maka meninggalnya seorang manusia selalu mengakibatkan sekedar kegoncangan dalam situasi kehidupan di antara anggota-anggota suatu masyarakat, lebih-lebih satu sama lain di antara anggota-anggota-anggota-anggota keluarga yang merasa dirinya masih ada waris dari orang yang meninggal tersebut.

Situasi berkabung ini yang dilihat hanya berupa rasa sedih pada seluruh warisnya, namun lama kelamaan perasaan ini hilang dan timbullah ketenangan pikiran, sekarang berubah pada masalah merawat jenazah dengan sebaik-baiknya, karena masalah pemakaman mayat itulah menuntut perhatian yang sepenuhnya, sebagai penghormatan yang terakhir kepada orng yang meninggal.

Sesudah pemakaman jenazah itu usai, dan kita menyampingkan kegoncangan kejiwaan yang masih dirasakan oleh para ahli waris, maka timbullah suatu kegoncangan diantara para ahli waris itu mengenai masalah keduniawian. Kebutuhan akan menghilangkan kegoncangan ini menimbulkan dalam tiap-tiap masyarakat suatu peraturan hukum warisan.

Dalam masalah yang sangat penting inilah timbul pertanyaan, yakni : siapa dari manusia-manusia yang masih hidup dianggap berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut.

Sistem huku m waris adat Batak Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang


(51)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anakanaknya.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum waris adat Batak Karo, terdiri atas:

1. Anak laki-laki

Yaitu semua anak laki-laki yang sah, baik yang masih dalam kandungan yang lahir kemudian setelah ayahnya meninggal dunia, yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta pusaka.

Menurut Sinar Surbakti, dalam kehidupan masyarakat adat Batak Karo mengenal anak yang lahir diluar pekawinan yang disebut dengan anak namur atau anak embun (anak zinah). Akan tetapi sesuai dengan kesadaran kehidupan masyarakat adat Batak Karo tidak membiarkan seorang anak namur hidup berkelanjutan dalam keadaan tersebut. Karena apabila kedapatan seorang anak gadis melahirkan anak diluar perkawinan, secepat mungkin gadis tadi dikawinkan secara adat dengan salah seorang pihak anak beru. Karena atas kejadian yang dilakukan itu anak beru ikut memikulnya. Untuk menghapuskan noda itu dalam kehidupan masyarakat, pihak anak beru dengan patuh akan menerima ajakan pihak kalimbubu mengawini gadis tersebut. Maka apabila gadis tadi dikawinkan :


(52)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

a. Ia akan membawa sekaligus anak zinah (anak namur) kedalam perkawinan dan langsung menjadi anak sah, dari yang mengawinkan ibunya. Kalau anak

namur yang dibawa kedalam perkawinan oleh ibunya yang melahirkan

dengan sendirinya menurut hukum menjadi anak sah dari laki-laki yang mengawini si ibu, serta sepenuhnya menjadi ahli waris yang berhak dan berkedudukan sama dengan anak- anak yang lahir kemudian

b. Apa yang diuraikan diatas keadaannya sama apabila seorang perempuan hamil diluar perkawinan yang sah dan apabila pada saat mengandung dia kawin dengan seorang laki-laki, dengan sendirinya juga anak yang lahir dari kandungan sesudah dilangsungkan perkawinan menjadi anak yang sah yang berhak sepenuhnya untuk mewarisi harta peninggalan yang dari ayah yang mengawini ibu yang mengandung tadi.

c. Demikian juga halnya anak yang lahir dari seorang isteri yang sah, sedang umum tahu atau berdasarkan kenyataan yang kehamilan dan kelahiran anak itu bukan benih yang ditanamkan suaminya sendiri, namun tetap dianggap anak sah dari si suami. Kedudukan anak namur yang seperti ini sama dengan anak-anak yang lahir sebelum dan sesudahnya.

d. Akan tetapi jika ibu yang melahirkan seorang anak diluar pekawinan dan sampai meninggal ibu yang melahirkannya tidak kawin-kawin anak namur dalam keadaan seperti ini tidak mempunyai ikatan dengan ibu yang melahirkannya saja. Anak itu sama sekali tidak mempunyai ikatan hukum


(53)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

keluarga dengan anak saudara ibu baik dalam garis lurus maupun kesamping dan tidak berhak mewarisi harta peninggalan mereka.

e. Atau seorang janda yang telah lama ditinggalkan suaminya yang meninggal dunia beberapa tahun yang lalu sehingga jarak kematian suami dengan kehamilan janda menurut kenyataan, bukan benih mendiang suami kalau di dalam keadaan hamil atau setelah melahirkan anak kawin kepada laki-laki lain dengan sendirinya anak tersebut menjadi anak yang sah dan mempunyai hubungan hukum keluarga dengan laki-laki yang mengawini janda. Tetapi apabila dia tidak kawin anak yang dikandungnya menjadi anak namur yang sah mempunyai hubungan hukum keluarga dengan mendiang suami si ibu, hubungan hukumnya terbatas pada ibu saja.52

2. Anak angkat

Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

3. Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung sipewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.

52

Wawancara dengan Sinar Surbakti, mantan kepala desa Keling, sekarang sisebut sebagai desa Merdeka, tanggal 27 April 2009.


(54)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

4. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

5. Persekutuan adat

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.

Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu "bagian dari kampung secara fisik". Barang-barang adat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain. Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau kesain.

Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang


(1)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

b. Cara pembahagian harta warisan yang tidak lagi berpedoman pada budaya Batak Karo

c. Pergeseran kepemilikan tanah yang dahulu milik suatu marga sekarang menjadi milik marga atau orang lain.

d. Anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki menjadi ahli waris dalam pembahagian harta warisan.

e. Pemberian kepada anak perempuan terhadap tanah sudah menjadi pemberian hak milik

4. Masyarakat adat Batak Karo pada tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jarangeguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara masih memegang teguh hukum waris adat Batak karo dalam hal janda sebagai ahli waris suaminya.

B. Saran

1. Pembahagian harta warisan sebaiknya dilakukan pada saat orang tua masih hidup, apabila ke dua orang tua sudah meninggal dunia, sebaiknya dilakukan melalui musyawarah para waris saja tanpa mengundang pihak ketiga (saudara, suami atau istri para waris yang sudah menikah) untuk menentukan besar bahagian masing-masing para waris.

2. Masyarakat adat Batak Karo harus memperhatikan kedudukan janda dalam hal pembahagian harta warisan dari suaminya.


(2)

3. Kebudayaan pada adat Batak Karo yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan cara berfikir yang rasional sebaiknya dihilangkan atau di ubah saja. Contoh : kedudukan janda dan anak perempuan bukan sebagai ahli waris dalam pembahagian harta warisan adat Batak Karo sudah sepantasnya untuk dirubah atau dihilangkan.


(3)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka PembangunanNasional, Bandung, Alumni, 1978

Bangun., Roberto, Mengenal Orang Karo, Jakarta Kesamit Blane, 1986 Bangun., Teridah, Manusia Batak Karo, Inti Dayu Press, Jakarta, 1986

Badri, Perkawinan Menurut Undang Undang Perkawinan & K.U.H.P, Surabaya, Cv. Amin.

Hadikusuma., Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citr Aditya Bakti, 2003 Irianto., Sulistyowati, perempuan di antara berbagai pilihan hukum, yokyakrta,

yayasan obor Indonesia, 2005.

Luhulima., Sudiarti Achie, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan UU No.7 Tahun

1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Mahfud., MD Moh.,Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999.

Mahkamah Agung, Penelitian Hukum Adat Tentang Warisan Di Pengadilan Tinggi

Medan, mahkamah Agung Proyek Penelitian Hukum Adat, Jakarta, 1979.

Mansoer., M.D. CS, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan

Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1979

Meliala., Djaja Sembiring dan Perangin-angin Asmin, Hukum Adat karo dalam

Rangka Pembentukan Hukum Nasional. Bandung: Tarsito,1978

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1991.

---, Penelitian Hukum Adat Tentang Warisan di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Medan, Fakultas Hukum USU, Medan

Penyunting: Luhulima., Sudiarti Archie, Irianto., Sulistyowati , Ihromi Tapi Omas,


(4)

Pitlo., A, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Menurut

KUHPerdata, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1984.

Pitlo., Mr. A. dan Mertokusumo., Sudikno, Bab-Bab Tentang PenemuanHukum, Yogyakarta, PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Prints., Darwan dan Darwin Prints, Sejarah Dan Kebudayaan Karo, Jakarta, CV. Irma, 1985.

Prinst., Darwan, Adat Karo, Medan Kongres Kebudayaan Karo, 1996.

Prodjodikoro., Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1980

Purba., Kunci, Seminar Hak Waris Karo, Kabanjahe, 1962

Sembiring., Mberguh, Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Keputusa Mahkamah

Agung Republik Indonesia (MARI) No. 179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyrakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo), Medan, Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, 2003

Setiady., Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung, Alfabeta, 2008

Sinuraya., Dewita Theresia, Perkembangan Hukum Waris Adat : Studi Mengenal

Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian Harta Warisan Di Kabupaten Karo, Medan, Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara, 2005.

Sitepu., A.G. Sitepu., Bujur, Sitepu., Sempa, Pilar Budaya Karo, Medan, dicetak oleh :”BALI” Scan & Percetakan,1996.

Soemandiningrat., Salman H.R. Otje, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kotemporer, Bandung, Alumni 2002.

Soekanto., Soerjono, Intisari Hukum Kekeluargaan, Jakarta, Universitas Indonesia, 1980,

Soejono., Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.


(5)

Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi

Soekanto., Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008 Soekanto., Soerjono dan Soleman b., Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, CV.

Rajawali, 1983.

Soewondo., Nani, Diktat Kedudukan Wanita Dalam Hukum Dan Masjarakat, hanya

untuk kalangan sendiri, Koleksi Perpustakaan FH No. Ind. : B

Subekti., R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung, Alumni, 1983.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2007.

Sudiyat., Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty Yogyakata, 1981. Susanto., Anton F dan Salman S., Otje, Teori Hukum, Bandung, PT. Refika Aditama,

2004.

Taneko., Soleman B., Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.

Usman., Datuk, Diktat Hukum Adat, Bina Saran Balai Penmas SU, Medan, 1988 Vergouwen ., J.C. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta, Pustaka Azet,

1986.

Wignjodipoero., Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995.

Yusuf., Usman, Soekanto Soerjono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986.

II. Perundang-Undangan

Subekti., R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2004

III. Penelusuran Internet


(6)

http: //id.wikipediaorg/wiki/Marga Karo, tanggal 11 April 2009

2009

18 April 2009

23 April 2009

http: //www.pta-palangkaraya.net/data/mengajarkan-keteraturan.pdf, tanggal 24 April 2009

http://www.4.gbkpjakarta pusat.org/?p=30, tanggal 22 April 2009

IV. Wawancara

Wawancara dengan Sinar Surbakti, mantan kepala desa Keling, sekarang sisebut sebagai desa Merdeka, tanggal 27 April 2009..

Wawancara dengan Muhammad Nasir Sembiring Pandia, Kepala Bidang

Perencanaan Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Karo, 24 April 2009.

Wawancara dengan Tamrin Surbakti, Kepala desa Gongsol, Kecamatan Merdeka, tanggal 28 April 2009.

Wawancara dengan Robinson Berahmana, Camat di Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara, tanggal 1 Mei 2009.

Wawancara dengan Elisa Sinuraya, kepala desa Jaranguda, Kecamatan Merdeka,tanggal 1 Mei 2009.

Wawancara dengan Teladan Surbakti, pengusaha muda, Kecamatan Merdeka, tanggal 27 April 2009