Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

(1)

UPACAR KECAMA

Skripsi

Oleh Set Benze 08071003

UNIVERS FAKULTA PROGRA MEDAN 2012

RA ADA ATAN BER

en Tarigan S 9

SITAS SUM AS ILMU B AM STUDI

AT KEM RASTAGI K

S

MATERA U BUDAYA

SASTRA C

MATIAN KABUPAT

UTARA

CHINA

MASYAR TEN KARO

RAKAT T

O


(2)

UPACA

KECAM

印尼马达

zànglǐ yísh SKRIPSI Dikerjakan

Set Benze NIM. 080

Pembimbi

Dra. Lila NIP. 1967 Skripsi ini Utara Med Sastra Cin

PROGRA

FAKULT

UNIVER

MEDAN

2012

ARA ADA

MATAN B

达山 拾aro 镇

hì de yánjiū I

n oleh:

en Tarigan S 710039

ing I,

Pelita Hat 0523 19920

i diajukan k dan untuk m na

AM STUD

TAS ILMU

RSITAS S

N

AT KEMA

BERASTA

镇华人葬礼 ū)

S

ti, M.Si. 03 2 001

kepada pani melengkapi

DI SASTR

U BUDAY

UMATER

ATIAN M

AGI KAB

礼仪式的研究

itia ujian Fa i salah satu

RA CINA

YA

RA UTAR

MASYAR

BUPATEN

(

Yìnní M

akultas Ilmu u syarat Ujia

RA

RAKAT T

N KARO

Mǎdáshān

Pe

Y

u Budaya U an Sarjana

TIONGH

Karo zhèn embimbing Yu Xueling, Universitas S dalam Bida

OA DI

n huárén II, M.A. Sumatera ang Ilmu


(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Cina Ketua,

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. NIP. 19630109 198803 2001


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra China pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Hari/Tanggal : Jumat, 27 Juli 2012 Pukul : 12.00 WIB

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. H. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 197603 1 001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan 1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A ( )

2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. ( )

3. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si. ( )

4. Julina, MTCSOL. ( )


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 27 Juli 2012 Penulis,


(6)

ABSTRACT

The title of this study is "Death Ceremony Chinese Communities in the District Berastagi Karo". The authors would like to assess the death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo from beginning to end, how the rituals of death and meaning of any stage in the ceremony. The author uses the theory of structuralism and functionalism in the study of death rituals in the Chinese community in Berastagi, while the method used is descriptive method with qualitative approach. From the results of this study the authors could find death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo. Death rituals in the Chinese community in the District Berastagi is a traditional ritual that took place with the intent to show a big respect for the parents who have died. Implementation of the death ceremonies, there are several stages namely; ceremony before entering the crate, in this phase will be prepared of all matters relating to such funerals, wash (cleanse) the body, to clothe the body, preparing the altar (the altar of prayer), fixtures or attributes of death and determine the day put the corpse into the coffin, closing casket, burial or cremation. Entry box and the closing ceremony the coffin, the corpse at this stage will be put in the coffin after the arrival day and time has been specified in advance, if all processes have been completed in this phase is executed then the casket will be closed. After the closing ceremony the coffin, in this stage remains will be buried or cremated. Ceremonies after the burial, the funeral ceremonies at this stage has been completed. Subsequently performed in this phase is the period of mourning for the deceased family. Long period of mourning may last for 7 days, 49 days, 1 year and 3 years. The duration of the mourning period is dependent on the far or close kinship with the deceased.


(7)

PRAKATA

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo”, ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S–1 pada Departemen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat diatasi dan skripsi inipun dapat diselesaikan.

Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku Ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Lila Plita Hati, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I, yang dengan tulus, ikhlas dan dengan penuh kesabaran telah membimbing, memeriksa, dan


(8)

memberikan pengarahan kepada saya. Dimana beliau telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

5. Laoshi Yu Xueling, M.A, selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.

6. Dosen-dosen dari Jinan University 暨南大 yang mengajar di Sastra Cina Yang Run Zheng M.A, Shao Zhang Chao,M.A, Dr. Zhu Xiao Hong,Ph.D, Dr. Chen Yi Hua,Ph.D, Yu Xin, M.A, Liu Jin Feng, M.A, Yu Xueling, M.A, Chen Susu MTCSOL. 谢谢您,老师 肯定 忘你们!!

7. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan.

8. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua saya, Ayah (Ir. Benyamin Tarigan Silangit) dan Ibu (Ndebbi br Sembiring Kembaren) yang telah mengorbankan segala-galanya. Saya persembahkan skripsi ini sebagai tanda terima kasih kepada Ayah dan Ibu.

9. Kepada abangku Silangit Tarigan Silangit dan kakakku Apuli br Tarigan Silangit yang telah memberikan semangat dan dorongan kepadaku untuk menyelesaikan studi Sastra Cina ini.

10.Kak Yosie, Kak Kori, Kak Tri, Kak Endang selaku karyawan Sastra Cina yang dengan sabar membantu dalam penyusunan dan pengurusan berkas-berkas skripsi ini.


(9)

11.Teman-teman S.China stambuk 2008, khususnya buat sahabat-sahabatku; Mateus Sitepu, Joisefrii Ginting, Dedi A Purba, Syellwem Wilton Sembiring, Nelli Juita Sijabat, Reni Evaulina Sihaloho, dan teman-teman 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. SUKSES BUAT KITA SEMUA, SASCHIN 2008 !!!

12.Adik-adik Sastra Cina 2009-2011 yang telah menjalin tali silaturahmi yang baik selama masa perkuliahan.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Kebudayaan.

Medan, 23 Juli 2012

Penulis

Set Benzen Tarigan S  


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 4

1.3 Rumusan Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Kebudayaan ... 8

2.1.2 Masyarakat Tionghoa ... 9

2.1.3 Upacara Adat Kematian ... 11

2.2 Landasan Teori ... 12

2.3. Kajian Pustaka ... 16


(11)

3.1 Metode Penelitian ... 18

3.2 Data dan Sumber Data ... 19

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 20

3.4 Teknik Analisis Data ... 21

3.5 Lokasi Penelitian ... 22

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 23

4.1. Gambaran Umum Kecamatan Berastagi ... 23

4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi ... 23

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi ... 25

4.2 MasyarakatTionghoa di Kecamatan Berastagi ... 27

4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi ... 27

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi .... ... 28

4.2.3 Mata Pencaharian ... 28

4.2.4 Kepercayaan ... 29

4.2.5 Suku-suku Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi... ... 29

BAB V PEMBAHASAN ... 30

5.1 Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ... 30


(12)

5.3 Pantangan-pantangan Dalam Upacara Adat Kematian ... 34

5.4 Persiapan Upacara Adat Kematian ... 35

5.5 Mengabarkan Berita Kematian ... 37

5.6 Upacara Sebelum Masuk Peti ... 37

5.7 Upacara Memasukkan Jenazah ke Dalam Peti dan Penutupan Petidan penutupan peti ... 40

5.8 Upacara Pemakaman dan Setelah Pemakaman ... 43

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Kesimpulan ... 48

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(13)

ABSTRACT

The title of this study is "Death Ceremony Chinese Communities in the District Berastagi Karo". The authors would like to assess the death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo from beginning to end, how the rituals of death and meaning of any stage in the ceremony. The author uses the theory of structuralism and functionalism in the study of death rituals in the Chinese community in Berastagi, while the method used is descriptive method with qualitative approach. From the results of this study the authors could find death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo. Death rituals in the Chinese community in the District Berastagi is a traditional ritual that took place with the intent to show a big respect for the parents who have died. Implementation of the death ceremonies, there are several stages namely; ceremony before entering the crate, in this phase will be prepared of all matters relating to such funerals, wash (cleanse) the body, to clothe the body, preparing the altar (the altar of prayer), fixtures or attributes of death and determine the day put the corpse into the coffin, closing casket, burial or cremation. Entry box and the closing ceremony the coffin, the corpse at this stage will be put in the coffin after the arrival day and time has been specified in advance, if all processes have been completed in this phase is executed then the casket will be closed. After the closing ceremony the coffin, in this stage remains will be buried or cremated. Ceremonies after the burial, the funeral ceremonies at this stage has been completed. Subsequently performed in this phase is the period of mourning for the deceased family. Long period of mourning may last for 7 days, 49 days, 1 year and 3 years. The duration of the mourning period is dependent on the far or close kinship with the deceased.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya secara harfiah berasal dari bahasa latin yaitu colere yang memiliki arti bercocok-tanam (cultivation) atau disebut juga mengerjakan tanah, mengelolah, memelihara ladang (Poerwanto, 2005:51). Selain itu budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).

Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Dan oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koenjtaraningrat, 1997:4).

Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Maruke. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain, salah satunya etnis Tionghoa.


(15)

Etnis Tionghoa merupakan etnis perantauan yang datang dari negeri China dan masuk ke Indonesia melaui jalur perdagangan pada abad ke-16 dan akhirnya menetap serta tinggal di Indonesia, daerah persebarannya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Etnis Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lainnya di Indonesia.

Budaya Tionghoa Indonesia adalah sebagian dari kebudayaan China. Bentuk-bentuk kebudayaan Tionghoa ini antara lain yaitu; kesusastraan, pengobatan tradisional, hari raya dan pesta rakyat (festival). Etnis Tionghoa merupakan masyarakat yang dalam kehidupannya memegang dan menjunjung tinggi adat-istiadat. Upacara adat kematian adalah salah satu bagian dari kebudayaan mereka yang hingga kini masih tetap dijalankan dalam kehidupannya.

Etnis Tionghoa dalam persebarannya di Sumatera Utara juga masuk ke Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo yang akhirnya tinggal dan menetap di wilayah tersebut. Masyarakat Tionghoa Berastagi merupakan kelompok masyarakat yang berinteraksi dan dekat dengan masyarakat pribumi dalam kehidupan kesehariannya, khususnya masyarakat suku Karo karena Berastagi adalah salah satu daerah yang banyak dihuni oleh suku Karo. Selain sangat akrab, banyak masyarakat Tionghoa juga sudah memiliki marga sesuai dengan suku-suku Karo yang ada di Berastagi. Bahkan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Berastagi kebanyakan sudah mahir


(16)

Tionghoa di Berastagi tetap mempertahankan adat-istiadatnya dan tidak terpengaruh dengan kebudayaan setempat, termasuk adat kematian. Selanjutnya yang berbeda dari masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah pola pelaksanaan upacara adat, seperti adat upacara kematian.

Bagi masyarakat Tionghoa di Berastagi, kematian merupakan pristiwa penting, karena menyangkut eksisteni kehidupannya di masa yang akan datang, ini disebabkan mereka memilki kepercayaan bahwa kematian merupakan sumber kesialan, sehingga upacara adat kemataian tersebut harus dilaksanakan.

Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa di Berastagi merupakan lambang rasa hormat dan bakti (hao) anak kepada orang tua untuk yang terakhir kalinya, juga sebagai penebus kesalahan anak semasa orang tua masih hidup. Disamping itu dilaksanakannya uapacara kematian juga bertujuan untuk memanjatkan doa agar arwah yang meninggal dapat pergi dengan damai dan tenang kekehidupan yang selanjutnya (akhirat). Dalam pelaksanaannya, menurut bapak Ng Ming Hua salah satu masyarakat Tionghoa di Berastagi yang penulis wawancarai, upacara ini cukup rumit bahkan bagi masyarakat Tionghoa sendiri, terutama dalam upacara kematian orang tua (hoksai). Dalam upacara kematian juga akan terdapat atribut-atribut kematian seperti, pangkat (ha), uang akhirat (gincua/kimcua), dupa (hio) dan lainnya. Masyarakat Tionghoa di Berastagi juga memiliki kepercayaan bahwa sebuah upacara kematian yang dilaksanakan dengan baik dan benar dapat memberikan rejeki dan kesuksesan bagi anak, cucu dan keturunan-keturunannya.


(17)

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengetahui lebih dalam mengenai upacara adat kematian masyarakat Tionghoa dengan mengangkat judul “Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi”.

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian upacara adat kematian masyarakat Tionghoa dengan hanya membahas upacara adat yang dilangsungkan pada upacara kematian orang tua.

Lokasi penelitian yang menjadi objek penelitian yang dilakukan adalah di Kecamatan Berastagi terkhusus di Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan II, alasan mengapa objek penelitian dilakukan di kelurahan tersebut dikarenakan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi paling banyak tinggal di daerah tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada permasalahan yang lebih fokus, dan berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah upacara adat kematian orang tua pada masyarakat Tionghoa di


(18)

1.4Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penelitain ini bertujuan: Untuk mendeskripsikan upacara adat kematian orang tua pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap upacara adat kematian masyarakat Tionghoa adalah:

1. Memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai upacara adat kematian pada masyarakat Tionghoa.

2. Menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan memeberi manfaat bagi kelestarian budaya masyarakat Tionghoa.

3. Menjadi salah satu bahan rujukan bagi peneliti lain yang sejenis untuk penelitian kebudayaan lainnya, fokus pada objek yang sama.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian upacara adat kematian etnis Tionghoa adalah sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan pengetahuan dalam pembahasan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa.


(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

“Woodruff (dalam Amin, 1987) mendefinisikan konsep sebagai berikut: (1) suatu gagasan/ide yangrelatif sempurna dan bermakna, (2) suatu pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda).”

Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap eksistensinya.

Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti, baik merupakan gejala


(20)

sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:

2.1.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952), dengan mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi. Membagi kebudayaan atas 6 golongan, yaitu:

“(1) Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif , yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.”

Kebudayaan Tionghoa adalah karya orang Tionghoa dalam sejarah perkembangannya yang sangat panjang dan merupakan kristalisasi kecerdasan serta daya cipta orang Tionghoa. Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa baik masa lalu maupun sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya jalur sutera pada zaman dinasti Han, budaya Tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Terlebih pada saat ini, dimana komunikasi secara global tidak menemui halangan, maka penyebarannya sangat cepat dan pengaruhnya juga semakin luas bagi dunia. Saat ini, orang-orang semakin tertarik


(21)

terhadap budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari bahasa Mandarin. Semakin banyaknya sekolah, kursus ataupun kelas untuk belajar bahasa Mandarin yang dibuka adalah salah satu contoh dari segi bahasa, juga aspek-aspek lain seperti masakan tradisional, seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi/Sunzi Bingfa 子兵法, kisah tiga kerajaan san guo yanyi 演 , dan lainnya.

2.1.2 Masyarakat Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tang ren (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari China selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara yang berasal dari China utara menyebut diri mereka sebagai Han ren

(orang Han).

Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.


(22)

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata zhong hua dalam Bahasa Mandarin.

Zhong hua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah, dalam Bahasa Mandarin ejaan pinyin, kata ini dibaca "zhong hua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "China" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat China seperti, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Populasi masyarakat Tionghoa sendiri di Indonesia berdasarkan volkstelling

(sensus) di masa Hindia Belanda, mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.


(23)

responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

2.1.3 Upacara Adat Kematian

Adat adalah kebiasaan, lembaga, rasam, peraturan, hukum (Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia,1994:7). Upacara adalah alat tanda kerajaan seperti payung kerajaan. Upacara adat adalah upacara yang dilaksanakan sesuai dengan adat (Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia,1994:1595).

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain upacara kematian, upacara perkawinan dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat juga merupakan salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia, dimana pada masa praaksara jejak-jejak sejarah tersebut banyak dijumpai dalam upacara-upacara adat. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu upacara yang pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung


(24)

kebudayaan tersebut.

Upacara kematian merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya, dimana sewaktu-waktu roh tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat jika ada bahaya atau kesulitan.

Masyarakat Tionghoa adalah tipe masyarakat yang sangat menjunjung tinggi keharmonisan antara kehidupan manusia dengan alam itu sendiri. Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus dilalui oleh semua orang. Kematian bagi masyarakat Tionghoa merupakan sesuatu yang sangat tabu dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut komunitas ini, kematian berarti sesuatu yang sangat buruk, meskipun pada dasarnya mereka percaya kepada kehidupan setelah kematian, baik itu kehidupan di alam neraka ataupun terlahir kembali di dunia (reinkarnasi).

2.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.


(25)

Dalam penelitian ini penulis mempergunakan teori strukturalisme dan fungsionalisme kebudayaan. Teori strukturalisme adalah salah satu teori yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia yakni struktur dari proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya. Strukturalisme beramsusi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan (Saifuddin, 2005:64-65).

Bagi Levi-Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau atau atau konfigurasi sistem perlambangan. Lebih lanjut untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Levi-Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagi sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik. Yang ia perhatiakan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan. Pengertian struktur dalam hal ini adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagai komponen masyarakat, pola-pola yang secara relatif bertahan lama karena interaksi-interksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang-lebih terorganaisasi (Kaplan dan Manners, 1999:239).


(26)

Berdasarkan pengertian teori tersebut penulis akan mencoba mengkaji bagaimana berlangsungnya upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dari awal hingga akhir.

Selain menggunakan teori strukturalisme, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori fungsionalisme untuk mengkaji fungsi dari pada pelaksanaan upacara kematian tersebut. Fungsi yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah fungsi dari setiap upacara yang dilaksanakan dalam upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi.

Teori fungsionalisme sendiri dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski. Ia mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a funcitional theory of culture.

Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat tempat unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pandangan Malinowski terhadap fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar


(27)

atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan (Ember dan Ember, 1996:59-60).

Model kajian fungsional memungkinkan secara pragmatik tentang suatu simbol dan untuk membuktiakan bahwa dalam realitas budaya tindakan verbal maupun tindakan yang lain menjadi jelas setelah meleui efek yang dihasilakannya. Titik terpenting dari fungsisonalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tak jauh berbeda dengan organisme yang bagian-bagiannya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan semua sistem budaya memeiliki syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya (Saifuddin, 2005:64).

Berdasarkan defenisi tersebut, penulis akan menggunakan teori ini untuk mengkaji fungsi daripada peranan dari setiap individu yang ikut terlibat didalamnya ikut mempengaruhi hingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam upacara kematian tersebut.


(28)

2.3 Kajian Pustaka

Sabriandi Edrian, tesis (2008): Analisis Semiotik Syair-Syair Kematian Etnis China di Kota Medan. Dalam tesisnya membagi pelaksanaan upacara kematian kedalam empat tahap: (1) Belum masuk peti (2) Upacara masuk peti dan penutupan peti, (3) Upacara pemakaman, dan (4) Sesudah pemakaman. Tesis ini akan penulis gunakan sebagai pembagian dasar dalam tahapan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa. Perasamaan penelitian yang penulis lakukan dengan tesis tersebut adalah objek yang sama-sama membahas mengenai upacara kematian etnis Tionghoa. Perbedaan antara penelitian yang penulis lakuakan dengan tesis tersebut terletak pada pembahasannya, dimana objek yang penulis teliti dalam penulisan ini adalah upacara adat kematiannya sedangakan tesis itu sendiri membahas mengnai syair-syair doa dalam upacara kematian etnis Tionghoa dan dalam tesis tersebut juga belum manjelaskan bagimana upacara adat kematiannya, hanya menjelaskan secara garis besarnya dimana upacara kematian etnis Tionghoa dibagi menjadi empat tahapan.

Defri Elias Simatuapang, skripsi (2008): Konsep “Kematian Ideal” Pada Masyarakat Batak. Dalam skripsinya mengklasifikasikan kematian berdasarkan usia dan status yang mati, upacara adat yang dijalankan akan disesuaikan dengan usia dan status yang mati. Skripsi ini penulis gunakan sebagai gambaran dalam membedakan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa berdasarkan usia dan status yang mati.


(29)

Kematian pada Masyarakat Melayu di Medan. Dalam artikelnya membedakan palaksanaan upacara kemataian berdasarkan status sosial, antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian kebudayaan perlu mengikuti karateristik budaya yang terintegrasi. Budaya adalah leket (inherent) pada bidang-bidang yang terstruktur dengan rapi. Keterkaitan antara usur kehidupan itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan demikian budaya bukan sekedar tumpukan acak fenomena atau buakan sekedar kebiasaan yang lazim, melainkan tertata rapi dan penuh makna. Karena itu penelitian budaya seyogiayanya mampu mengungkap hal-hal yang demikian secara holistik. Penelitian budaya bukanlah parsial, yang hanya memperhatiakan unsur tertentu saja, melainkan harus menyeluruh dan koheren. Oleh karena unsur-unsur pembentuk budaya itu sangat kompleks, sehingga penelitian perlu dilakukan kearah hal tersebut.

Secara umum penelitian kebudayaan merupakan sebuah refleksi dari sebuah fenomena. Fenomena real diperoleh melelui pengamatan, studi kepustakaan dan wawancara terhadap informan, karene itu sebagian besar penelitian kebudayaan lebih mengarah ke penelitian lapangan (empirik).

Berdasarkan keterangaan di atas dapat ditarik pemehaman bahwa ciri has penelitian kebudayaan antara lain: (a). Latar penelitian biasanya spesifik, mengungkap permasalahan-permasalahan yang ada pada suatu daerah. (b). Penelitian budaya biasanya lebih mengutamakan penelitian lapangan dari pada kepustakaan. (c).


(31)

Rancangan kepenelitian budaya bersifat sementara, longgar dan lentur, tergantung kondisi lapangan. (d). Penelitian budaya mengandalkan analisis terusmenerus sejak dari lapangan sampai laporan. Bahkan ketika laporan mulai ditulis, jika ada kesalahan harus cepat diperbaiaki.

Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksankan penelitian (dalam menggunakan data). Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

Atas dasar ciri-ciri penelitian tersebut maka metode yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data yang tidak berupa angka dan mencakup keterangan yang dapat mendeskripsikan


(32)

upacara adat kematian masyarakat Tionghoa, sumber utama data yang diambil adalah dari informan penulis. Para informan ini dipandang secara keilmuan memiliki kapasitas sebagai ahli atau memiliki pengetahuan lebih tentang upacara adat kematian, sedangakan data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melaui studi kepustakaan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai langkah dasar dalam melakukan wawancara penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “...kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara”.

Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka penulis juga mengacu pada pendapat Soehartono (1995) yang mengatakan, “...wawancara adalah tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).”

Koentjaraningrat (1981:139) juga menemukakan bahwa wawancara itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu:

“...Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Wawancara terfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi


(33)

langsung dari suatu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi langsung yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.”

Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat dan Soehartono mengenai teknik dalam wawancara, maka penulis sebelum wawancara telah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat tulis dan pertanyaan-pertanyaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan didapat dengan mewawancarai langsung objek yang menjadi penelitian yaitu masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi.

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaaan, guna melengkapi dari apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, aritkel dan berita-berita dari situs internet.

3.4 Teknik Analisis Data

Tekhnik analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah tekhnik analisis data kualitatif yaitu mengumpulkan data, informasi dan fakta melalui tekhnik pengumpulan data kualitatif dari sumber-sumber yang penulis peroleh dari hasil


(34)

wawancara selanjutnya memilih data yang penting dan penyusunan dilakukan secara sistematis. Data dan informasi yang bersifat kualitatif yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diinterpresentasikan oleh penulis sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.

3.5 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan fokus masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan II, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dan sekitarnya.


(35)

BAB IV GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi 4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi

Berastagi merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan ini dengan pusat pemerintahan kabupaten sendiri yakni Kota Kabanjahe adalah 11 km, dengan ibukota provinsi yakni Medan adalah 65 km. Secara administratif Kecamatan Berastagi terdiri dari 6 desa yakni Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah Berastagi, Desa Guru Singa, Lau Gumba dan Desa Raya serta 4 daerah kelurahan yakni Kelurahan Gundaling I, Kelurahan Gundaling II, Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Kelurahan Tambak Lau Mulgap II. Serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Panah dan Barusjahe

Kecamatan Berastagi terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1375m dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500/tahun dan suhu maksimumnya adalah 26º Celcius sedangkan suhu minimum adalah 19º Celcius.


(36)

Keadaan ini menjadikan daerah Berastagi sangat baik sebagai daerah pertanian. Seluruh daerah pertanian yang terdapat di Berastagi digunakan dengan seefektif mungkin. Luas keseluruhan daerah Kecamatan Berastagi adalah 30,50 Km², yang terdiri dari areal pemukiman penduduk, perladangan/persawahan, pariwisata, bangunan umum, dan lain lain.

Berastagi merupakan salah satu daerah penghasil tanaman pertanian terbesar di Tanah Karo sehingga untuk menunjang hal tersebut pemerintah setempat membuka pasar-pasar atau yang lebih dikenal dengan pajak baik pajak umum maupun pajak sayur sebagai tempat masyarakat baik petani maupun pedagang melaksanakan aktivitas ekonominya memperjual-belikan hasil pertanian tersebut. Pajak atau pasar ini umumnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Berastagi saja akan tetapi juga sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar kecamatan tersebut atau bahkan dari luar kota seperti Medan, Kabanjahe, Sibolangit, Pancur Batu dan sebagainya dalam usaha membeli ataupun menjual barang-barang hasil pertanian dari dan ke daerah tersebut.

Berastagi juga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan daerah pariwisata yang besar maka lahan di Berastagi juga banyak diperuntukkan sebagai lahan pengembangan daerah pariwisata serta bangunan-bangunan umum yang mendukung kegiatan tersebut serta kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Berastagi sebagai daerah pariwisata terbesar di Tanah Karo juga telah terkenal hingga ke daerah-daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara ini, hal ini


(37)

terjadi mengingat bahwa Berastagi merupakan daerah yang berhawa sejuk dengan potensi ataupun kekayaan alam yang sangat besar sehingga sangat menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi daerah tersebut. Untuk itu, pemerintah setempat berusaha menyeimbangkannya dengan menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang cukup dalam bidang kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel, losmen, penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir/cenderamata, dan keamanan serta kenyaman di daerah tersebut khususnya di daerah yang menjadi objek atau Daerah Tujuan Wisata (DTW).

Pengangkutan juga merupakan hal yang diperhatikan oleh pemerintah daerah setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat mendukung dan mempengaruhi para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya baik dalam aktifitas ekonomi maupun sosialnya. Selain itu sarana pengangkutan sangat mempengaruhi kehidupan kepariwisataan di daerah tersebut sebagai alat gerak menuju daerah tujuan wisata yang hendak dikunjungi oleh para wisatawan.

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi

Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku Karo dan bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Karo. Selain itu ada juga suku Batak Toba, Jawa, Aceh, Nias, Tionghoa dan sebagainya sebagai etnis/suku pendatang.


(38)

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Desa/Kelurahan Jumlah Rumah Tangga

Jumlah Penduduk

1 Gurusinga 989 5012

2 Raya 1272 5791

3 Rumah Berastagi 1949 8493

4 Sempajaya 1461 6566

5 Lau Gumba 349 1418

6 Doulu 500 1741

7 Tambak Lau Mulgap I 677 2895 8 Tambak Lau Mulgap II 798 2566

9 Gundaling I 1137 6461

10 Gundaling II 1828 4144 Tahun 2011 10960 90196

Tahun 2010 10730 40600

Perubahan 230 49596

Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi Catatan : Proyeksi penduduk adalah penduduk November 2011

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dalam tiap tahunnya mengalami peningkatan yang lumayan banyak.


(39)

4.2 Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Bersatagi 4.2.1 Masuknya EtnisTionghoa ke Kecamatan Berastagi

Masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi sudahlah sangat lama. Awal kedatangannya ke Berastagi diperkirakan mulai semenjak tahun 1870-an, etnis Tionghoa yang pertama masuk ke Berastagi adalah suku Tioqiu, lalu disusul oleh suku-suku lainnya. Dalam proses masuknya sendiri telah melalui peroses yang sangat panjang.

Pada awalnya etnis tionghoa yang datang ke Berastagi adalah buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau pemerintahan Hindia-Belanda yang terletak di Polonia (tanah ex Bandara Polonia Medan sekarang), Marindal, Bekala dan kebun-kebun sayur di Amnepura (sekarang Pancur Batu). Masuknya sendiri etnis tionghoa ke Berastagi disebabkan oleh ketidak sanggupannya lagi menerima perlakuan yang kurang baik dari Centeng (Mandor) perkebunan dan pemerintahan Hindia-Belanda yang memperlakukannya secara kurang adil, sehingga pada saat habis masa kontrak kerjanya dengan perkebunan mereka memutuskan untuk berhenti (tidak memperpanjang masa ikatan kerjanya) dan memulai perkebunan sendiri (Luckman Sinar, 2010).

Masuk dan berkembanganya etnis Tionghoa ke Berastagi tidak terlepas dari kecocokan iklim, cuaca dan kondisi alam yang hampir sama dengan daerah asal


(40)

mereka. Dimana pada umumnya etnis Tionghoa di Berastagi berasal dari Provinsi Guangdong yang memiliki keadaan alam kurang lebih sama dengan Berastagi, sehingga memudahkan mereka untuk beradaptasi dan membuka ladang-ladang dan kebun-kebun sayur. Disamping itu, kecocokan antara budaya dan tradisi antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat (suku Karo) juga merupakan faktor penting lainnya yang mempengaruhi bertahannya etnis Tionghoa di Berastagi hingga saat ini. Pada awal masukanya etnis Tionghoa di Berastagi umumnya mereka berdomisili di sekitar jurang lau galuh dan jurang gundaling atau daerah lainnya yang terdapat sumber air bersih.

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

Tabel 4.2

Jumlah Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa menurut 4 Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Kelurahan Jumlah Rumah Tanga Jumlah Penduduk 1 Gundaling I 25 134

2 Gundaling II 58 345 3 Tambak Lau Mulgap I 69 362 4 Tambak Lau Mulgap II 103 432

Jumlah 255 1273

Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi


(41)

Mata pencaharian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi pada umunya adalah bertani dan berdagang, sebahgian ada juga yang bekerja sebagi guru, montir, pegawai bank dan lainnya, namun demikian hanya sebahagian kecil. Mayoritas pekerjaan masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah bertani.

4.2.4 Kepercayaan

Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi menganut agama Buddha, Konghucu , Kristen dan Islam.

4.2.5 Suku-suku Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ada 6 suku yaitu, Tio-Chiu, Lingga, Hokkian, Konghu, Khek dan Hailam. Mayoritas suku Tionghoa di Berastagi adalah suku Tiochiu.


(42)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa dapat juga disebut hoksai, yang merupakan bentuk maupun lambang bakti (hao) dari anak, saudara, menantu dan cucu, juga sebagai lambang kasih kepada orang tua. Hoksai sendiri memiliki dua arti yakni, penghormatan terakhir (upacara kematian) dan penyembahan kepada leluhur atau orang tua yang telah meninggal. Merawat dan menjaga abu leluhur juga termasuk hoksai.

Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa seseorang yang telah meninggal, secara otomatis statusnya berubah menjadi dewa, bahkan umurnya dapat ditambah tiga tahun (satu tahun untuk bumi, satu tahun untuk udara dan satu tahun untuk laut), oleh sebab itu orang tersebut harus disembah terutama oleh mereka yang lebih muda, termasuk anak, menantu, dan cucu. Hal ini dilakukan karena masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan, ‘semakin banyak keturunannya yang menyembah/menyembahyangi seseorang yang telah meninggal, maka statusnya sebagai dewa akan semakin tinggi dan sebagai imbalannya keturunannya akan mendapatkan kemakmuran’.


(43)

Dalam pelaksanaan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa, peranan dari seorang anak laki-laki sangat penting, khususnya bagi anak laki-laki yang paling tua, di samping sebagai penerus marga (she) dan pembawa rejeki (hokky) terutama sebagai pengganti orang tua untuk meneruskan merawat abu leluhur juga untuk menggantikan sang ayah untuk megurus kelurganya.

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa di Berastagi juga mendapatkan pengaruh dari agama Buddha, sehingga masyarakat biasanya akan melafalkan gelar Buddha atau melafalkan paritta. Hal ini dimaksudkan agar arwah memperoleh ketenangan. Biasanya ini dilafalkan terus-menerus selama beberapa hari ataupun direkam dan diputar terus menerus.

5.2Perlengkapan Upacara Adat Kematian

Pelaksanaan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa terdapat beberapa atribut/perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut, diantaranya:

1. Peti mati

Peti mati bagi masyarakat Tionghoa dianggap sebagai rumah baru bagi seseorang yang telah meninggal. Peti mati ini dibagi menjadi dua jenis yaitu, peti mati tradisional (kuno) dan modern. Peti mati tradisional adalah peti mati yang terbuat dari sebatang pohon besar yang dipahat sehingga menjadi sebuah peti, panjangnya antara 2-2,5 meter dan diameternya antara 1-1,5 meter. Peti


(44)

ma Tio me ad 2. Al (hi 3. Pa ka dem pu ber

ati ini biasa onghoa, n enggunakan alah peti ma ltar sembahy Altar

iolo) dan lil

angkat (ha) in. Pangkat mi generas ula. Disamp rtujuan untu anya hanya namun pad nnya, bahka ati yang um yang

sembahyan lin (lak cek)

adalah sej t (ha) men i dengan w ping itu, pem

uk meringa

a digunakan da saat an hampir mum dan bia

ng adalah te ) diletakkan Ga Altar enis tanda nandakan ta warna yang makaian pa ankan dosa a

n oleh oran ini sudah tidak ada. asa dipergun empat perse n. ambar 5.1 sembahyang simbolis ya anda balas b berbeda-be angkat (ha) almarhum.

ng kaya da sangat Sedangkan nakan pada

embahan, d

ang diwuju budi, diken eda untuk s oleh kelua Dengan me

n kaum ba jarang ad n peti mati

saat ini.

dupa (hio), t

udkan dalam nakan oleh status yang arga almarh emakai pang angsawan da yang i modern

tepat hio

m bentuk generasi berbeda hum juga gkat (ha)


(45)

diy di 4. Du pen un per seb 5. Ua per yan seb yakini akan akhirat. upa (hio), te

Dupa nghubung a ntuk meman rsembahan bagai alat p

ang akhirat Uang rak) dan ki

ng dipergu bagai uang

dapat meng

epat hio (hio

(hio), tem antara duni nggil arwa kepada ora enerangan k

Dupa (hio)

akhirat atau

imcua (uang unakan di a pegangan b

gurangi beb

olo) dan lilin mpat hio (h

ia dan akhi ah almarhu ang yang te kepada oran

Gamba ), lilin (lak cek

upun yang g emas) ba akhirat. Fu bagi seseora

ban almarhu

n (lak cek)

hiolo), dan rat, fungsin m pada sa elah mening ng yang tela

ar 5.2 k) dan tepat hi

lebih diken gi masyarak ungsi dari ang yang tel

um selama d

lilin (lak

nya sendiri aat-saat ter ggal. Lilin ( ah meningga

io (hiolo).

nal dengan kat Tiongh pada uang lah meningg

dalam perja

cek) adala adalah seb rtentu juga

(lak cek) di al.

nama gincu

oa merupak akhirat in gal, dimana lanannya ah media bagai alat sebagai igunakan

ua (uang kan uang ni adalah a uang ini


(46)

nan akh 5.3 Panta Be diperboleh sandal dan bagi wanit Juga tidak tidak diizi oleh sauda memotong masyaraka ntianya aka hirat. angan-panta erbagai lara hkan mema n sepatu. P ta, termasuk k diperkena inkan untuk ara dekat ju g rambut, m at percaya an dipergun Ginc angan Dala angan bagi akai pakaia Penampilan k memakai ankan untuk k berwarna s uga tidak b mencukur ku

a jika kita

nakan untu

Gamb cua (kiri) dan

am Upacar keluarga y an berwarn apa adany cincin, gela k mencuci r selain warn boleh digant umis dan m a memoton

uk membiay

bar 5.3 Kimcua (kan

ra Adat Kem yang dekat na merah, ya, tidak dip

ang, anting-rambut dan na hitam, pu

ti. Sanak ke menggunting ng rambut yai keperlu nan). matian dari almar tidak diper perkenankan -anting, lips menggunti utih dan biru eluarga dek g kuku, hal i t, mencuku

an/kebutuha

rhum adala rbolehkan m

n untuk me stik, dan seb ing rambut. u. Baju yang kat dianjurk ini dilakuka ur kumis annya di ah: Tidak memakai erias diri bagainya. . Pakaian g dipakai kan untuk an karena ataupun


(47)

menggunting kuku sebelum 49 hari setelah hari kematian dari almarhum bisa menyakiti arwah almarhum. Oleh karena itu, sanak keluarga dianjurkan untuk melakukan semua ini terlebih dahulu.

5.4 Persiapan Upacara Adat Kematian

Begitu terjadinya kematian, semua kaca dan bahan yang bisa memantulkan bayangan harus ditutup dengan kertas atau kain berwarna merah, hal ini dilakukan agar arwah yang meninggal tidak terkejut sewaktu melihat bayangan dirinya terpantul dari cermin/ kaca. Kemudian semua altar sembahyang dewa-dewi harus ditutup dengan kain berwarna merah. Jenazah tidak boleh langsung menatap langit.

Setelah itu, jenazah di bersihkan dengan cara dibasuh menggunakan handuk yang direndam dalam air terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena masyarakat Tionghoa percaya, manusia datang ke dunia adalah dengan bersih, ketika kembali ke surga juga harus dengan bersih, maka harus dibersihkan. Kemudian pada jenazah dipakaikan baju bersih, biasanya berwarna putih atau setelan jas.

Sesudah jenazah diberi pakaian, jenazah akan diletakkan di rungan tengah (ruangan tempat nantinya upacara kematian dilangsungkan), dalam meletakkan jenazah tidak boleh langsung di atas lantai, harus dilapisi terlebih dahulu dengan triplek, kain putih atau dapat juga kasur, disamping jenazah juga akan diletakkan pakaian-pakaian yang sering dipakai almarhum, ataupun apabila semasa hidupnya almarhum gemar membaca buku, juga dapat diletakkan disampingnya. Semenjak


(48)

diletakkannya jenazah harus dijaga siang dan malam agar jangan sampai dilangkahi oleh binatang, terutama kucing. Hal ini dikarenakan masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan apabila ada kucing yang melangkahi jenazah, maka jenazah akan bangkit dan berdiri. Tidak lupa juga dipersiapkan altar, diatas meja altar ini terdapat

hiolo (tempat hio dan lilin di tancapkan untuk dibakar) juga buah-buahan sebagi persembahan untuk almarhum.

Begitu kematian terjadi, setelah uang akhirat tersedia akan segera dibakar, maksud dari membakar uang akhirat tersebut adalah sebagai uang pegangan almarhum dalam perjalanannya diakhirat, baik itu menuju surga maupun neraka. Semakin banyak uang akhirat yang dibakar, maka jalan yang ditempuh oleh almarhum diakhirat akan semakin mudah. Hal ini dilakukan karena masyarakat Tionghoa meyakini bahwa pada saat menempuh perjalanan tersebut akan banyak dijumpai arwah-arwah gentayangan, siluman-siluman dan hantu-hantu yang dapat menghalangi almarhum untuk sampai ketempat yang ditujunya.

Sembari membakar uang akhirat anak-anak dan keluarga almarhum akan berkumpul untuk membicarakan dan menentukan jenazah akan disemayamakan atau dikubur dimana, apabila sebelum meninggal almarhum telah berpesan ingin dikubur di suatu tempat maka akan dilakukan sesuai dengan keinginan alamarhum, pada saat berkumpul ini juga akan ditentukan hari memasukkan jenazah kedalam peti, penutupan peti dan penguburan dengan terlebih dahulu meliahat hari dan jam baik dengan bantuan dari saekong. Penentuan hari dan jam baik dalam sebuah upacara


(49)

kematian masyarakat Tionghoa merupakan hal yang sangat penting, ini dikarenakan apabila terjadi kesalahan dalam penentuannya (bagi yang percaya) maka keluarga almarhum dapat terkena bala ataupun kesilan. Penentuan hari dan jam baik dilihat dari kitab thong su (buku ramalan Tionghoa), namun demikian apabila selama tujuh hari semenjak terjadinya kematian tidak ditemukan hari dan jam yang tepat, maka akan dibutkan penangkal. Penangkal ini biasanya sebuah semangka dan diletakkan dimeja altar yang pada saat pemberangkatan jenazah menuju pemakaman nantinya akan dilempar kelantai hingga pecah. Hal ini dimaksudkan untuk menolak bala ataupun kesialan. Dalam pembicaraan ini semua keputusan akan diambil/harus atas persetujuan oleh anak laki-laki tertua almarhum.

5.5 Mengabarkan Berita Kematian

Setelah kematian terjadi, sanak keluarga harus segera mengabarkan berita kematian. Anaka laki-laki pergi kerumah keluarga yang lainnya untuk mengabarkan berita kaematian, serta didepan pintu rumah ataupun dijalan-jalan dekat rumah menempelkan pengumuman berita kematian tersebut. Berita kematian juga dapat dikabarakan melalui suratkabar.

5.6 Upacara Sebelum Masuk Peti

Setelah semua persiapan untuk upacara kematian selesai dilakukan, biasanya keesokan harinya. Pada pagi dan siang hari jenazah juga akan diberi makan dan


(50)

minum ol

ciak. Bias makanan hidupnya, Selain me membasuh memiliki m Ma memberi akhirat kim

dan 3 bata kepada D makanan. Pa leh keluarga sanya maka dan minum memberi m emberi mak h muka jen menantu ma

akanan ini a makan jena

mcua (yang ang hio (dup Dewa Pintu

ada hari pert

a, pemberia anan dan m man yang bi

makan dan kan dan m nazah oleh aka anak pe

Mem

akan digant azah, terleb g berwarna pa) di kiri a

agar meng

tama, sanak

an makan d minuman ya sanya dima minum jen minum juga

menantu p erempuanny

Gamba mberi makan je

ti setipa har bih dahulu

emas) dan tau kanan p gizinkan arw

k saudara m

dan minum ang disedia akan dan di nazah dalam a setiap pa

perempuann ya yang men

ar 5.4 enazah (hui ci

rinya sampa keluarga ak n 2 lembar pintu dengan wah almarh maupun kera ini dikena kan untuk iminum oleh

m arti hany agi akan di nya, apabil nyediakan d

iak)

ai peti jenaz kan memba

gincua (ya n maksud m hum pulang

abat sudah d

l dengan is jenazah me h almarhum yalah sebag

isediakan a la almarhum dan membas

zh ditutup. akar 3 lemb ang berwarn membeli jala g untuk m

datang mela

stilah hui

erupakan m semasa i simbol. air untuk m belum suhnya. Sebelum bar uang na perak) an masuk enyantap ayat. Para


(51)

pelayat biasanya memberikan sumbangan, sumbangan tersebut biasanya disebut pek kim (emas putih) atau dalam Bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan adalah amplop putih dan ketika mereka datang (pelayat) akan membakar dan menancapkan 3

hio (dupa) sebagai tanda penghormatan terakhir, ini dilakuakan hanya bagi yang percaya. Para pelayat biasa dipersilahkan duduk dan menikmati makanan kecil yang disediakan dan air putih. Makanan kecil yang disediakan biasa berupa kacang, roti-rotian, ataupun ketika malam tiba, sering kali pihak keluarga menyediakan sedikit cemilan, tergantung dari pihak keluarga, kadang bisa berupa bubur atau yang lainnya.

Setiap malam sampai pada hari pemakaman tiba keluarga juga akan melakukan sembahyang yang dipimpin Sai Kong dengan tujuan untuk membukakan jalan bagi arwah dengan membacakan paritta atau mantra, yang ikut dalam upacara sembahyang adalah anak, cucu, istri ataupun suami, saudara laki-laki dan saudara perempuan, anak cucu dari saudara laki-laki dan saudara perempuan. Biasanya yang berlutut di barisan paling depan adalah anak laki-laki paling besar, dengan memegang sebuah bendera bambu (tek), pertanda membalas budi kepada orang tua, dan mengikuti instruksi yang dibacakan Sai Kong.


(52)

Sa Para Budd setelah ar penyemba yang diper malam seb keluarga u penyelesa 5.7Upaca Se tiba, jenaz menantu berjongko

ai Kong per dha terlebih rwah tiba d ahan Buddh rcaya dapat belum pema untuk berlu ian upacara ara Memas etelah waktu zah akan di dan cucu ok, hal ini

Sembahy

rtama-tama h dahulu, m di neraka bi ha dan dewa t menghapu akaman. Pa utut, kemud a yang telah

sukkan Jen u dan hari b imasukkan almarhum dilakukan

Gamba yang yang dila

akan mem menandakan isa dilindun a selesai, Sa us dosa alma ada penutup

dian berdir dilakukan.

nazah ke Da aik yang tel ke dalam p akan men sebagai si ar 5.5 akukan setiap mimpin kelu n penghorm

ngi oleh Bu ai Kong aka arhum. Upa

an Sai Kon ri lagi seba

alam Peti d lah ditentuk peti mati. P nyambutnya imbol perm malam. uarga untuk atan kepada uddha dan an membac acara ini teru

g akan men anyak tiga

dan Penutu kan untuk m Pada saat da a dengan mintaan maa

k bersembah a Para Bud

para dewa akan mantr us dilakuka nginstruksik kali, sebag upan Peti memasukkan atangnya pe cara bersuj af keluarga h kepada ddha agar . Setelah ra-mantra an sampai kan sanak gai tanda n jenazah eti, anak, jud atau a kepada


(53)

almarhum atas keterlambatannya untuk berbakti (lai kuan). Disamping itu pada saat membawa peti mati masuk kedalam tidak boleh menyentuh pintu kosen rumah, ini dikarenakan kepercayaan mereka dimana apabila tersentuh maka arwah almarhum akan tinggal ditempat tersebut dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Namun demikian sebelum jenazah dimasukkan kedalam peti, terlebih dahulu peti akan diisi dengan uang akhirat, juga benda-benda yang tadinya diletakkan disebelah jenazah akan turut dimasukkan kedalam peti. Kemudian setelah itu jenazah akan diangkat dan dimasukkan kedalam peti, dalam proses pemasukan jenazah kedalam peti ini yang mengangkat dan memasukakannya kedalam peti haruslah dilakukan oleh anak laki-laki almarhum. Yang mengangkat dari bagian kepala adalah anak lelaki tertua almarhum kemudian disusul olah adik-adiknya dan anak yang paling kecil mengangkat bagian kaki almarhum. Setelah jenazah dimasukkan kedalam peti harus dilihat juga apakah posisi jenazah telah lurus, apabila ada anak almarhum yang merasa letak jenazah belum lurus maka akan diganjal dengan uang akhirat. Hal ini dilakuakan dikarenakan masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan apabila letak dari jenazah yang belum lurus maka rezeki yang nantinya akan didapat tidak akan sama.


(54)

Se tujuan me menunggu datang da sanak saud dengan ca dan kemu ada kelua waktunya Se sembahya mantra-ma memasuki etelah jenaza enunggu ke u waktu/ ha lam waktu dara yang t ara merangk udian memb

arga yang .

etelah hari d ang penutup antra dan d i rumah bar

Mem

ah dimasuk epulangan s ari baik unt

yang telah terlambat pu kak untuk bakar 3 dup tinggal di

dan waktu pan peti, p doa-doa de runya (peti m

Gamba masukan jenaz kkan kedalam saudara yan tuk menutu ditentukan ulang sebelu menandaka pa sebagai p

luar neger baik untuk pada semb engan maks mati). Dalam ar 5.6 zah kedalam p

m peti, peti ng agak ja up peti. Nam n, peti mati

um peti ma an penyesal

penghormat ri dan tida

k menutup ahyang ini sud agar al m tahap ini

peti

i tidak langs uh berada mun apabila akan ditutu ati ditutup, m

lan atas ket tan. Biasany ak sempat

peti tiba m i Saekong lmarhum da semua anak

sung ditutup di tempat a saudara ti up dan dipa mereka haru

terlambatan ya ini terja

pulang tep maka akan akan mem apat dengan k, menantu p dengan lain dan idak bisa aku. Bagi us masuk n mereka adi ketika pat pada diadakan mbacakan n tenang dan cucu


(55)

dari pada alamarhum akan berjalan jongkok sembari mengelilingi peti sebanyak tiga kali (dengan syarat air mata tidak boleh mengenai jenazah) sambil mengikuti instruksi yang diberikan oleh Saekong. Setelah sembahyang selesai dilakukan maka peti mati akan ditutup (jip kuan/him kuan) dan dipaku oleh Saekong, masing-masing dari tiap sudut akan dipaku sebanyak 4 (empat) kali.

Pada saat paku pertama saekong akan mengucapkan “Thao kiteng su heng” yang maksud maupun artinya: Anak/keluarga ikhlas dengan kepergian almarhum, anak/keluaraga tinggal untuk melanjutkan kehidupan semoga menjadi orang yang berhasil.

Pada saat paku yang kedua saekong akan mengucapkan “Ji khi theng tiam cai kheng” yang maksud maupun artinya: Agar almarhum senantiasa menjadi penerang dalam kehidupan anak/kelurga yang ditinggalkan.

Pada paku yang ketiga sekong akan mengucapkan “Sa khi theng bang bang huk kui” yang maksud maupun artinya: Anak/keluarga yang ditinggalkan dapat hidup dengan senang.

Pada paku yang keempat saekong akan mengucapakan “Sai khi theng hap keh huk kui” yang maksud dan artinya: Agar semua keluraga diberkati dan diberikan kesejahteraan.

Hari-hari selanjutnya sampai kepada hari pemakaman, setiap malam sanak keluarga melakukan upacara sembahyang yang sama pada malam hari yang dipimpin oleh Sai Kong.


(56)

5.8Upaca Sa keluarga a untuk men Se yang men diantarkan pemakama akan diba kayu panj keluarga i kaki tanpa ara Pemaka aat sebelum almarhum a ngantarkan j Se

etelah itu sa nandakan n dari temp

an. Dahulu awa dengan ang, yang m kut serta m a memakai

aman dan S m jenazah akan melaku jenazahnya embahyang te anak keluar status hub pat peristirah dalam pros n cara dipik memikul pe engantarkan alas kaki. Setelah Pem diberangk ukan semba a untuk bera

Gamba rakhir sebelum rga diharusk ungan kelu hatan jenaz ses mengan kul dengan eti harus ber n jenazah k

Konon kata

makaman katkan ke

ahyang terak angkat ke pe

ar 5.7 m berangkat k

kan memak uarga deng zah (di ruma ntar jenazah mengikatk rjumlah 32, e tempat pe anya apabil

pemakama khir, yang b emakaman ( ke pemakaman kai pakaian gan almarh ah keluarga menuju pe an peti jen , 16 atau 8 o emakaman d

la keluarga

an, terlebih berarti mem (sang sua).

n

n goni/balcu hum. Lalu a) sampai k emakaman, azah pada orang. Sem dengan cara dari almar h dahulu minta izin

u dan ha

jenazah ke tempat peti mati sebatang mua sanak a berjalan rhum ada


(57)

yang memakai alas kaki, akan bisa menginjak arwah almarhum. Hal ini menunjukkan pengantaran terakhir oleh sanak keluarga.

Disepanjang perjalanan menuju pemakaman uang akhirat akan ditebarkan terus-menerus hingga sampai di pemakaman. Waktu berjalan menuju ke pemakaman yang berjalan terlebih dahulu adalah peti jenazah yang dipikul oleh kerabat almarhum, kemudian disusul oleh anak, menantu dan cucunya, yang berjalan paling belakang adalah kerabat almarhum. Dalam perjalanan menuju pemakaman anak laki-laki tertua harus membawa hiolo (tempat hio), selama perjalanan menuju kuburan hio

tidak boleh mati/padam .

Sesampainya di pemakaman, anak, menentu, cucu dan keluarga dekat almarhum tidak langsung menuju kuburan, melainkan menunggu terlebih dahulu peti mati di masukkan kedalam liang lahat. Setelah peti mati selesai dimasukkan kedalam liang lahat barulah keluarga dipanggil untuk datang kekuburan. Sesampainya dikuburan keluarga terlebih dahulu akan bersembahyang kepada tua pekong/te qukong (dewa tanah). Pada saat bersembahyang kepada tuapekong akan dipersembahkan buah-buahan dan membakar hio (dupa) serta gincua sebagai tanda permohonan keluarga dengan maksud agar mau menerima arwah almarhum dan menjaganya dari arwah-arawh gentayangan yang ada dipemakaman tersebut. Setelah selesai keluarga akan mengikuti instruksi saekong untuk ikut bersembahyang kuburan. Pada saat sembahyang ini keluarga akan berjalan mengitari kuburan sebanyak 3 kali sambil masing- masing melemparkan segenggam tanah dan juga lima


(58)

jenis biji –bijian (kacang merah, kuning, hijau, hitam dan padi) ke dalam liang kubur. Pelemparan lima jenis biji-bijian ini dipercaya akan membawa berkah bagi anak cucu dari almarhum. Selain itu juga saekong akan membagi-bagikan lima jenis kacang tersebut kepada anak almarhum, dengan terlebih dahulu memantra-mantrainya. Kelima kacang tersebt nantinya akan disimpan dan dibawa pulang atau bagi yang memiliki lahan pertanian akan ditanam dilahan tersebut, ritual ini disebut dengan nama gokok. Setelahnya Sai Kong akan mengucapkan kata-kata baik dan menanyakan kepada semuanya, “好 好 ?” (Baik tidak?) dan semuanya akan

menjawab “好” (Baik!). Upacara pemakaman telah selesai. Selain itu, tempat hio

ditancapkan (hio lo) yang sebelumnya dipakai dibawa pulang oleh anak laki-laki yang paling tua untuk disembahyangi. Dalam perjalanan pulang hio tidak boleh mati/padam, sesampainya di rumah Sai Kong akan membacakan mantra untuk membersihkan rumah dari arwah-arwah jahat selain dari arwah almarhum.

Setelah proses pemakaman selesai dan kembali ke rumah, keluarga yang hubungannya agak jauh mencuci muka dengan air bunga, hal ini dilakukan oleh semua yang menghadiri upacara pemakaman, terkecuali anak dan cucu almarhum. Air bunga dipercaya bisa membersihkan tubuh dari hawa-hawa yang bersifat negative, terutama bagi yang didalam keluarganya terdapat anak kecil. Konon katanya banyak sekali kejadian anak kecil dengan umur yang tidak cocok dengan almarhum, bisa terjadi hal-hal yang membahayakan si anak. Oleh sebab itu, apabila ada saudara jauh yang ikut mengantarkan jenazah sampai ke pemakaman wajib


(59)

memandikan dirinya dengan air bunga.

Selama anak cucu atau saudara dekat masih mengenakan ha, tidak diperkenankan untuk mengunjungi rumah orang lain tanpa seizin tuan rumah, kecuali ketika ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan saudara yang dekat. Masyarakat Tionghoa percaya selama ha masih dikenakan, masih ada bagian dari unsur negatif yang mengikuti kita. Lamanya memakai ha tergantung dari status hubungan dengan almarhum, misalnya pihak perempuan mengenakan ha hanya selama 49 hari, sementara pihak laki-laki dianjurkan untuk memakai selama 1 tahun, bahkan ada yang memakai sampai dengan 3 tahun dalam arti sedang dalam masa berduka atas peninggalan almarhum selama 1 tahun sampai 3 tahun. Ada beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh sanak keluarga setelah masa meninggalnya almarhum. Pada zaman dahulu, larangan-larangan ini dipertahankan selama 3 tahun lamanya. Hari-hari besar tidak boleh dirayakan, termasuk membuat bakcang, membuat cenel, memakan kue bulan, dan tahun baru. Pada waktu tahun baru imlek tidak diperkenankan untuk berkunjung ke rumah-rumah saudara, namun saudara diperkenankan untuk mengunjungi kita. Sanak keluarga tidak diperkenankan untuk memberikan dan menerima angpao. Tidak diperkenankan memakai pakaian atau segala jenis yang berwarna merah, termasuk merias diri. Suami dan istri tidak diperkenankan untuk tidur bersama.

Setelah 7 hari penguburan, anak almarhum akan kembali kekuburan untuk bersembahyang, demikian seterusnya untuk 7 hari berikutnya. Khusus pada 7 hari


(60)

yang ke 35 (go chit) hanya anak perempuan yang bersembahyang. Setelah samapai ke 7 hari yang ke 7 (chit chit ) upacara kematian sudah selesai, semua baju-baju dan perlengkapan kematian akan dibakar. Dalam waktu 49 hari makam dari pada almarhum juga harus sudah selesai di bangun.

Pada hari ke-49 untuk kelurga yang cukup berada dapat membakar mobil-mobilan, rumah-rumahan, TV, perabotan rumah tangga dan orang-orangan yang terbuat dari kertas untuk dipersembahkan kepada almarhum, ritual ini dikenal dengan nama kong tek. Maksud daripada kong tek ini adalah sebagai persembahan kepada almarhum untuk digunakannya di akhirat.


(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi merupakan sebuah upacara adat yang dilangsungkan dengan maksud untuk menghormati orang tua yang telah meninggal.

Dalam pelaksanaa upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu: Upacara sebelum masuk peti, dalam tahap ini akan dipersiapkan segala hal yang berhubungan dengan upacara kematian seperti, memandikan (membersihkan) jenazah, memberi pakaian jenazah, mempersiapakan meja altar (altar sembahyang), perlengkapan ataupun atribut kematian dan menentukan hari memasukkan jenazah ke dalam peti, penutupan peti, penguburan ataupun kremasi. Upacara masuk peti dan penutupan peti, pada tahap ini jenazah akan di masukkan ke dalam peti setelah tiba hari dan waktu yang terlebih


(62)

dahulu sudah di tentukan, apabila semua proses dalam tahap ini telah selesai dijalankan maka peti akan ditutup. Upacara setelah penutupan peti, dalam tahap ini jenazah akan dikubur atau dikremasi. Upacara setelah penguburan, pada tahap ini upacara kematian telah selesai. Selanjutnya yang dilakukan dalam tahap ini adalah masa berkabung bagi keluarga almarhum. Lama masa berkabung dapat berlangsung selama 7 hari, 49 hari, 1 tahun dan 3 tahun. Lamanya masa berkabung ini tergantung pada jauh dekatnya hubungan kekerabatan dengan almarhum.

6.2Saran

Adapun saran yang ingin dismpaikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh peneliti barikutnya yang berkenaan dengan upacara adat kematian

2. Penulis berharap agar penelitian khususnya tentang kebudayaan masyarakat Tionghoa lebih banyak di kembangkan dan lebih bermanfaat, sehingga kita dapat mempelajari tentang kebudayaan masyarakat tionghoa, tidak hanya pada upcara adat kematian saja.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Basarshah-H, Luckman Sinar. 2010. Kedatangan Imigran-Imigran China Ke Pantai Timur Sumatera Pada AbadKe-19.Forkala Sumut.

Ember, Carol R dan Melvin Ember. 1996. “Teori dan Metode Antropologi Budaya” dalam T.O. Ihromi Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Endraswara Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kaplan, David dan Manners, Robert A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Koentjaraningrat. 2007. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Nababan. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Poerwanto. 2005. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspertif Antropologi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)

Rafael, M.R. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Saifuddin, A.F. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Pradigma. Jakarta: Prenada Media.

Soelaeman, M Munandar. 1990. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama. T.O. Ihromi, 1995. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.

Zain, Badudu. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(64)

Publikasi Elektronik

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian_kebudayaan diakses pada tanggal 21 April 2012 .

http://web.budayationghoa.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1876 &Itemid=1 diakses pada tanggal 30 April 2012.

LAMPIRAN

1. Daftar Informan

1. Nama : Hakim. Umur : 77 tahun.

Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I. Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat.

2. Nama : Ng Ming Hua. Umur : 68 tahun.

Alamat : Jl. Udara No5 A.


(65)

3. Nama : Apo. Umur : 56.

Alamat : Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I. Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi

4. Nama : Kiang Kai Sun & Jiang Ai Li. Umur : 65 & 55 tahun.

Alamat : Jl. Letnan Rata Peranginangin, Gang Lau Meciho No1. Pekerjaan : Pedagang & Ibu rumah tangga.

5. Nama : Tok Bak Hua. Umur : 48 tahun.

Alamat : Jl. Jamin Ginting No 2 Pancur Batu Desa Lama. Pekerjaan : Pedagang.

6. Nama : Dra. Chen Kui Ik, m.Pd. Umur : 50 tahun.

Alamat : Jl. Pasar 5 Komplek I Permai No C3 Kelurahan Lalang.


(66)

7. Nama : Hendrik Umur : 39 tahun.

Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe. Pekerjaan : Pedagang.

8. Nama : Rismawati Umur : 59 tahun.

Alamat : Jl. Pasar 5 Asam Kumbang No 08 Kelurahan Lalang. Pekerjaan : Pedagang & Pengetua Adat.

9. Nama : Pohan Umur : 38 tahun.


(67)

(68)

Sumber: BPSS Kab.Karo


(69)

论文题目

学 生

指导教

科生毕

印尼

教师姓

工口古工

毕业

马达山

摘要

aro 镇华

文学

中文

中文专

口叫口只古

文生

喻雪

工左

论文

华人葬礼

学院

文系

专业

口口左9

雪玲

礼仪式的研

研究


(70)

民族生活 惯的迥异, 地域的差异, 赋予了 葬礼仪式 的社会

含 , 葬礼仪式 就 语种之间最能够表 自文 特点的词汇之一

葬礼仪式是一个非常独特文 的社会之一 印尼马达山 拾aro 镇华人 一个信

心,孩子对父母要忠诚,即使在父母死于死刑执行仪式的方式, 的葬礼仪

式是非常 要的 语言 文 具 相辅相 的关系, 在学 外语时, 一定要注

意文 背景知识的学

关键词 印尼 karo 镇华人 葬礼仪式


(71)

古.

言 ... 古 古.古 研究目的... 古 古.工 研究方法... 古 古.工.古 谈法 ... 古 古.工.工 研究 书资料法... 古 古.工.左 分析过程... 古 古.工.4 研究地点... 古 古.左 研究 状... 工

工.

印尼

马达

拾aro 镇华人

...左 工.古 印尼马达山 拾aro 镇华人的历 ... 左 工.工 印尼马达山 拾aro 镇华人 状... 左

左.

印尼

马达山

拾aro 县葬礼仪式的结构

... 4

左.古 葬礼的含 ... 4

左.工 印尼马达山 拾aro 镇华人葬礼仪式的结构... 4

左.工.古 入殓程序... 4

左.工.工 出殡仪式... 5

左.工.左 埋葬... 5

左.工.4 葬礼 ... 5

4.

结论

... 只

参考文献

... 叫

附录

... 9

...古口


(72)

古.古 研究目的

葬礼是指办理丧 和埋葬死者丧葬 宜 葬礼 俗是 丧葬 基础,在民

间长期相沿 淀而 的丧葬 俗 随着社会的发展,文明 ,长期形

的丧葬 俗 在 断注入 的内容 在印尼的华人中,他们的丧葬仪式秉 着

中华文 的传统,而在马达山 karo 镇的印尼华人 继 着传统,更 其特

别的地方 因 文择印尼马达山 karo 镇中华人的葬礼仪式做一个深入的分

古.工 研究方法

项研究采用实地调查的方法,通过对印尼马达山 karo 县华人的葬礼仪式

的考察,获得更真实完整的信息 研究方法 要 几种

古.工.古 谈法

文采 谈法来收集资料, 谈对象 印尼马达山karo 县的华裔老人

古.工.工 研究 书资料法

文搜索前人的著 ,当基础的 文的思维 文的思维的基础框架,

做的是文学研究 项活 , 到文学或读物的来源, 需要来完 比书面和

谈的数据调整的 文学或读物的来源可 研究论文的形式之前,可 派

生的来源 除了读物的来源,支持 项研究,即是在书,期刊,学 和互联网

网站的 闻形式 古.工.左 分析过程

首先, 人采 了一 华人社团的领袖,获得了很多 关葬礼仪式的信

息, 累了很多一手资料 另外 收集了很多书籍和学 , 面 大量关于丧

礼仪式的资料, 研究提供了很多线索 最 ,在分析整理资料的基础 ,


(1)

会带了 福 除了 外,saekong 对五种豆类念咒要给逝者的孩子们/女儿们分 享,那个五种豆类将 储,并带回家或 那 谁拥 农业土地将被种植的土地 , 个仪式获得 gokok 的 号 最 saekong 要讲客气话,并要问大家, 好 好? ,大家会回答 好! 埋葬仪式结束了,在回家的路 香火 可 灭

左.工.4 葬礼

最 是死者家属 行哀悼的时间 哀悼的周期 长短之分,持续七 四十九 一 一 甚 哀悼的时间长短依据 死者亲属关系的亲 疏来分

埋葬结束了 ,亲属返回到家 除了子 , 参加了葬礼得人该 用花水洗脸 花水被相信 好的 气能洗身体,特别是对那 小孩子

人说,孩子的 龄 逝者的生活 的, 可能是对孩子 害的 情 因 , 如果 一个 亲戚必须用花水洗澡 类似的 情是,当人们悼念 去世的 人 葬礼回来 , 葬者建议要洗脸 洗手和脚 换衣服和裤子,特别是如 果在家庭中的 葬者 小的儿童或 生儿

仪式结束 ,子 然穿着 balcu 的衣服,子 可 问别人的家

如果没 得到 人的 意,除非跟亲属 要的 情 人们相信,在葬礼 之 间如果 穿balcu衣服, 然 在跟随 们 好的因素部分 穿 balcu衣服的时 间长短依据 逝者身份关系,例如,女方穿 balcu 衣服 四十九 ,而男方建 议穿balcu衣服到了一 ,甚 到了

逝者的时间 ,被亲属做 情 一 禁 在 时, 个禁 维持了 到 在节日的时候 可 庆 ,包括做 子 饼, 可 过 在 农历 的时间是 可 来看亲属,但亲属可 来看来 们 亲属 可 给或 收红包, 可 穿红衣服或任何红色的种类, 可 打扮, 和妻子 可


(2)

七 埋葬 ,逝者的子女返去墓地做礼拜 未来七 , 个活 又 做 了 尤其是在第 十五的七 女孩做礼拜 到了第七的七 葬礼完 了,

的衣服和装备的葬礼要被烧了 在四十九的时间逝者的坟墓必须做完了 到了四十九 葬礼 ,给逝者提交 钱的家庭能燃假汽车 假 子 假 电视 假家具 假人用纸制造的, 个仪式被 kong tek Kong tek 仪式表 示给逝者呈 世被使用的意思


(3)

行葬礼仪式 阶段是 古 入殓程序 准备 葬礼 关的 情,例如 逝者洗澡穿寿衣,准备道场和葬礼,选择 葬的日期和地点, 来决定道场 的时间, 工 出殡仪式 到葬礼的 日子 ,逝者放 棺 当 的流 移完 ,在选定的时间把灵柩封关 封关棺 ,在 一阶段尸体 殡仪馆 到墓地 左 埋葬 在埋葬逝者时,会 特定的仪式 4 葬礼 最 是 死者家属 行哀悼的时间 哀悼的周期 长短之分,持续七 四十九 一

一 甚 哀悼的时间长短依据 死者亲属关系的亲疏来分 葬礼仪式是一个非常独特文 的社会之一 印尼马达山 拾aro 镇华人 一个 信心,孩子对父母要忠诚,即使在父母死于死刑执行仪式的方式, 的葬礼 仪式是非常 要的 人希望研究界,特别是关于文 ,越来越 用 因 , 们可 了解 关的印尼华人的文 , 是葬礼仪式 人 希望 项研究 能使得参考的,特别是 关中 文


(4)

后古成华琛.中 丧葬仪式的结构 基 形式 仪式次序 的过程后国成. 中 丧 葬仪式的结构,工口口5.

后工成李长莉. 人生礼俗透视中 的文 结构后国成. 中 社会科学院近 研究 ,工口口9.

后左成齐 娜.葬礼 面对死亡的社会安排 城 境 葬礼仪式浅析后国成.中 农业大学学 ,工口口叫.

后4成王 子. 殡葬文 学: 死亡文 的全方位解读后怀成 . 长沙:湖南人民出 社, 工口口只.

后5成En北ras太ara Su太ar北i. 工口口6. 怀eto北olo刚i 布enelitian 拾ebu北a本aan. 同o刚本akarta: Gaja创 怀a北a 月ni天ersit本 布ress.

后6成拾oentjaranin刚rat. 古99古. 怀eto北e 布enelitian 怀as本arakat. 国akarta: 月ni天ersitas In北onesia 进月I 布ress远.

后只成拾oentjaranin刚rat. 工口口只. 怀anusia Dan 拾ebu北a本aan Di In北onesia. 国akarta: Djambatan.

后叫成送ababan. 古99左. Sosiolin刚uistik suatu pen刚antar. 国akarta: Grame北ia 布ustaka 月tama.


(5)

人员的个人信息 古. 姓 Hakim 龄 只只 岁

地址 拾enan刚a 街 Tambak 拿au 怀ul刚ap I 公 叫口 号 职业 农民

工. 姓 致po 龄 56 岁

地址 拾enan刚a 街 Tambak 拿au 怀ul刚ap I 公 叫古 号 职业 农民

左. 姓 送刚 怀in刚 Hua 龄 6古 岁

地址 月北ara 街 5致 号 职业 农民

4. 姓 拾ian刚 拾ai Sun 和 国ian刚 致i 拿i

龄 65 岁和 55 岁

地址 拿etnan Rata 布eran刚inan刚in 街 拿au 怀e化i创o 巷 古 号 职业 商人

5. 姓 Tok Bak Hua 龄 4叫 岁

地址 国amin Gintin刚 街 工 号 职业 企业家

6. 姓 Dra. C创en 拾ui Ik, m.布北

龄 5口 岁

地址 布asar 5 拾omplek I 布ermai 街 拿alan刚 公 C左 号 职业 教师


(6)

大学四 经接近了尾声 当自 着 安的心情完 篇毕业论文 的时候,自 当 一个 山 走出的懵懂孩子 了一个 熟青 ,回想 自 的十几 的求学生涯,虽然 是一个 科毕业,但 实属 容易 首先,

小学到大学的学 和生活 就 是一个小数目, 当然要感谢 的爸爸 , 没 他们的勤勤恳恳和细心安排, 是无论如何 完 了 的大学生活 没

他们的支持和鼓励, 可能完 经济学第 专业的学 因 要感 谢那 在 求学时对 经济和 帮 的亲戚 朋 老师和 学们, 的 生活因你们而 彩和充实