Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Bandung No. 996 Tahun 2009 Tentang Pedoman Operasional Pemeriksaan Reguler Inspektorat Kota Bandung
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN WALIKOTA BANDUNG NOMOR 996 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN OPRASIONAL
PEMERIKSAAN REGULER INSPEKTORAT KOTA BANDUNG SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Akhir Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia
Disusun oleh: PRADITA RIFQIYA
41709030
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
(2)
Bahwa yang bertanda tangan di bawah ini, penulis dan pihak instansi Pemerintah tempat penelitian, bersedia:
“Bahwa hasil penelitian dapat diOnlinekan sesuai dengan peraturan yang berlaku, untuk kepentiangan riset dan pendidikan”.
Bandung, 10 September 2013
Penulis,
Pradita Rifqiya NIM : 41708025
Catatan :
Bab III, Bab IV Dan Bab V yang berhubungan dengan data instansi tidak untuk di onlinekan dengan alasan privasi intansi dan menjaga identitas penelitian serta menjaga dari plagiat pada hasil penelitian yang dilakukan
(3)
ix DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka ... 9
2.1.1 Implementasi ... 9
2.1.2 Kebijakan Publik ... 16
2.1.3 Implementasi Kebijakan ... 21
2.1.4 Jabatan fungsional dalam penyelenggaraan pemerintahan .. 24
2.1.5 Pengawasan Pemerintahan ... 25
2.1.6 Urusan Pemerintahan Daerah... 32
2.1.7 Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan... 34
2.2 Kerangka Pemikiran ... 35
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 44
(4)
x
3.1.4 Pengawasan Inspektorat Kota Bandung... ... 48
3.1.4.1 Dimensi Pengawasan Inspektorat Kota Bandung.... 48
3.1.4.2 Lingkup Pengawasan Inspektorat Kota Bandung.... 49
3.1.4.3 Pelaksanaan Pengawasan Fungsional Inspektorat Kota Bandung ... 50
3.1.4.4 Cara Pengawasan Fungsional Inspektorat Kota Bandung... ... 50
3.1.4.5 Cara Pengawasan Legislatif Inspektorat Kota Bandung ... 50
3.1.4.6 Cara Pengawasan Masyarakat Inspektorat Kota Bandung... ... 51
3.1.4.7 Tindak lanjut Hasil Pengawasan Inspektorat Kota Bandung... ... 52
3.1.4 Tugas Pokok dan Fungsi Inspektorat Kota Bandung ... 53
3.1.5 Tugas Pokok Pengawas Pemerintahan ... 53
3.1.6 Struktur Organisasi Inspektorat Kota Bandung ... 54
3.1.7 Job Description Inspektorat Kota Bandung ... 56
3.2 Metode Penelitian ... 60
3.2.1 Desain Penelitian ... 60
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 61
3.2.2.1 Studi Pustaka ... 61
3.2.2.2 Studi Lapangan ... 61
3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 62
3.2.4 Teknis Analisa Data ... 64
(5)
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Ukuran – ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan P2UPD di Kota
Bandung ... 67
4.1.1 Kesesuian Program (kebijakan) P2UPD di Kota Bandung . 70 4.1.2 Ketetapan Sasaran pada P2UPD di Kota Bandung ... 73
4.2 Sumber Daya dalam P2UPD di Kota Bandung ... 81
4.2.1 Sumber Daya Manusia pada P2UPD di Kota Bandung ... 84
4.2.2 Sumber Daya Waktu pada P2UPD di Kota Bandung ... 87
4.2.3 Sumber Daya Anggaran pada P2UPD di Kota Bandung .... 89
4.3 Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan dalam P2UPD di Kota Bandung... 92
4.3.1 Transmisi dalam P2UPD di Kota Bandung ... 97
4.3.2 Kejelasan dalam P2UPD di Kota Bandung ... 102
4.3.3 Konsistensi dalam P2UPD di Kota Bandung ... 104
4.4 Karakteristik Badan-badan Pelaksana dalam P2UPD di Kota Bandung ... 108
4.4.1 Tingkat Pendidikan dalam P2UPD di Kota Bandung... 110
4.4.2 Kejujuran dalam P2UPD di Kota Bandung ... 113
4.5 Kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam P2UPD di Kota Bandung ... 115
4.5.1 Sumber Ekonomi (anggaran) dalam P2UPD di Kota Bandung ... 117
4.5.2 Tanggapan Masyarakat dalam P2UPD di Kota Bandung .. 120
4.5.3 Kekuasaan dalam P2UPD di Kota Bandung ... 122
4.6 Kecendrungan Pelaksana dalam P2UPD di Kota Bandung ... 127
4.6.1 Pemahaman (kognisi) dalam P2UPD di Kota Bandung ... 131
4.6.2 Tanggapan dalam P2UPD di Kota Bandung ... 134
(6)
xii
DAFTAR PUSTAKA ... 144 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 147
(7)
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 66 Tabel 4.1 Mekanisme Pemeriksaan ... 77 Tabel 4.2 Tingkat pendidikan pejabat P2UPD Inspektorat Kota Bandung ... 112
(8)
xiv
Gambar 2.1 A model of The Implementation Proses ... 14
Gambar 3.1 Model Direct and Indirect Impact of Implementation ... 15
Gambar 2.3 Proses Pembuatan Kebijakan... 20
(9)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Pedoman Wawancara Aparatur ... 147
Lampiran 4 Transkip Wawancara ... 149
Lampiran 5 Data Informan ... 157
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian ... 158
Lampiran 7 Surat Telah Melaksanakan Penelitian ... 160
Lampiran 8 Peraturan Walikota Bandung Nomor 996 Tahun 2009... 161
(10)
vii
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum wr,wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W karena dengan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi.
Skripsi ini berjudul “Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Bandung Nomor 996 Tahun 2009 tentang Pedoman Oprasional Pemeriksaan Reguler Inspektorat Kota Bandung”. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi isi, cara penyajian maupun penulisan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang peneliti miliki. Untuk itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pihak - pihak yang terkait.
Penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan, dorongan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu tidaklah berlebihan bila dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. Dr. Dewi Kurniasih, S.IP., M.Si, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan sebagai pembimbing bagi peneliti yang telah memberikan bimbingan, dan saran-saran, serta motivasi kepada Peneliti. Nia Karniawati, S.IP., M.Si. selaku Ketua Sidang Skripsi. Dr. Tjatja Kuswara SH., M.Si selaku Penguji Sidang Skripsi. Rino Adibowo, S.IP. selaku dosen wali angkatan 2009. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Pemerintahan yang telah membantu kelancaran peneliti dalam melaksanakan penelitian. Aparatur Inspektorat Kota Bandung yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan data dan informasi.
(11)
viii
Ayah dan Ibu yang selalu memberikan dorongan dengan do’a, moril maupun materil yang tidak ternilai dan sangat berarti bagi peneliti. Adikku, yang selalu memberikan dorongan yang sangat Luar Biasa.
Sahabat-sahabat peneliti yang selalu memberi dukungan kepada peneliti. Teman-teman seperjuangan angakatan 2009 di Program Studi Ilmu Pemerintahan. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, dorongan dan bantuan bagi peneliti dalam penyusunan Skripsi ini.
Semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi peneliti dan bagi pihak Inspektorat Kota Bandung. serta pembaca pada umumnya.
Wassalamuallaikum Wr. Wb
Bandung, September 2013
(12)
144
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta. Jakarta.
________________ 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Ali, Lukman. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Basu Swastha, 1996, Azas-Azas Marketing, Edisi Ketiga, Liberty,Yogyakarta. Cochran, Charles L. 1999. Public Policy. McGraw: Hill College
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Dye, Thomas R., 1995, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall Edward III, C Gorge. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC:
Congressional Quartely Inc.
Friedrich, Carl J. 1963. Man and His Government. Newyork:McGraw-Hill.
Hadari Nawawi, 1991. Administrasi Personnel untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, PT. Gramedia, Jakarta
_____________, Penelitian Terapan. Cet. 1. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Handayaningrat. 1997. “Pengetahuan Studi Ilmu dan Manajemem” PT. GunungAgung, Jakarta.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
Islamy, Irfan M. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
_____________ 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Admisintrasi Negara. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi – Universitas Brawijaya
Jones, Charles O. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (public policy). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
(13)
145
Jenkins, W.I. 1978. Public Analysis. Oxford: Martin Robertson.
Laswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. 1970. Power and Society. New Haven: Yale University Press
Manullang. M. 2004. Dasar-dasar Manajemen. Yogyakarta: Gajaah Mada University Press
Mater, Donald S. Van dan Horn, Carl E Van. 1975. The Policy Implementation Process: Ohio State University.
Mazmania Daniel. Paul Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy, London: Scott, Foressman and Company
Nawawi. 1991. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Salindeho, John, 1995, Pengawasan Melekat Aspek - Aspek Terkait dan Implementasinya, Jakarta, Bumi Aksara
Schermerhorn, Jhon R., Jr. 2001. Management. (Terjemahan M. Purnama Putranto) Yogyakarta: ANDI Yogyakarta (Buku asli di terbitkan tahun 1996).
Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Grafika Sujamto. 1986. Beberapa Pengantar di Bidang Pengawasan. Jakarta: Graha Indonesia Tachjan, Dr. H, M.Si. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI
Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Dokumen-dokumen:
Instruksi Presiders No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan pada Pasal 1 Ayat (1)
PP No. 16 tahun 1994 dan Keppres No. 87 tahun 1999 tentang Produk hukum yang mengatur pengangkatan dalam Jabatan Fungsional
(14)
undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 218 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan
Peraturan Mentri Pendayahgunaan Aparatur Nomor 15 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan negara (P2UPD) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Peraturan Walikota Bandung Nomor 996 tahun 2009 tentang Pedoman Oprasional Pemeriksaan Reguler Inspektorat Kota Bandung
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Inspektorat Kota Bandung
Artikel:
Dr. Dewi Kurniasih, S.IP., M.SI “Kebijakan Sistem dan Prosedur Pengawasan Di Lingkungan Inspektorat Kabupaten Bandung Barat”
Rujukan Electronik:
www.wikipedia.com Pemerintahan Daerah di Indonesia, Di akses tgl 6 Februari 2013, pada pukul 15.24 WIB.
http://www.ut.ac.id Pengawasan, Di akses tgl 27 Februari 2013, pada pukul 23.05 WIB
http://www.bandung.go.id Gelar Pengawasan Daerah Kota Bandung, Di akses tgl 27 Februari 2013, pada pukul 19.20 WIB.
http://elib.unikom.ac.id/index.php Perpustakaan Unikom online, Di akses tgl 10 Februari 2013, pada pukul 22.13 WIB.
(15)
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia telah mengalami krisis sejak pasca Orde Baru, yang menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bangsa. Krisis yang di alami bangsa ini menimbulkan perubahan yang mendasar di bidang penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk reformasi di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. Penyebab dari krisis tersebut antara lain karena adanya berbagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh para aparat penyelenggara pemerintahan dengan bentuk praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kondisi tersebut menjadi semakin parah dengan lemahnya daya dukung kelembagaan organisasi publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang efesien dan efektif yang mengakibatkan sistem pemerintahan menjadi menurun.
Aparat birokrasi pusat dan daerah memiliki kompetensi dan pemahamaan yang kurang terhadap konsep pelaksanaan pemerintahan yang baik, ini menyebabkan buruknya citra kinerja aparat penyelenggaran pemerintahan. Pemerintahan juga melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan citra aparat tersebut dengan penindakan hukum bagi pelaku KKN di lingkungan aparat penyelenggara pemerintahan, pembenahan kembali di bidang perundang-undangan yang di anggap tidak sejalan dengan kehendak dan perkembangan kebutuhan masyarakat, selain itu pembenahan di bidang apatur. Pembenahan di bidang aparatur ini lebih di khususkan pada bidang kelembagaan pemerintahan yaitu dengan meningkatkan pengawasan
(16)
terhadap aparat peyelenggara pemerintahan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Partisipasi dari berbagai pihak sangat di butuhkan untuk bisa meningkatkan efesien dan efektivitas dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Penyelenggaran pemerintahan yang efektif merupakan kebutuhan yang sangat medesak khususnya pada masa reformasi sekarang ini. Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak beberapa waktu lalu telah dan akan terus menghasilkan banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut menyangkut berbagai bidang termasuk bidang pemerintahan. Pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang sistem pemerintahan daerah dan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang tersebut memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah kabupaten/kota untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangganya sendiri. Tuntutan otonomi di atas bisa memberikan manfaat kepada daerah. Daerah juga dapat meningkatkan kualitas demokrasi, peningkatan reformasi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan dan terciptanya pemerintahan yang baik jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
Aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tertib dan teratur dalam menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku ditandai dengan adanya tuntutan bagi masyarakat. Tuntutan bagi masyarakat itu timbul disebabkan karena adanya penyimpangan-penyimpangan merugikan yang dilakukan oleh para
(17)
3
aparat pemerintahan umumnya dan aparat pemerintahan daerah khususnya. Penyimpangan-penyimpangan ini terjadi karena kurang efektifnya pengawasan oleh badan yang ada dalam tubuh pemerintahan itu sendiri.
Penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat di cegah dengan di bentuknya lembaga pengawasan internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan fungsi pengawasan pada masing-masing lembaga pemerinthan. Pengawasan khusus ini dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah. Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah lembaga yang dibentuk dan secara inheren merupakan bagian dari sistem pemerintahan, yang memiliki tugas pokok dan fungsi dibidang pengawasan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan amanat dari ketentuan Pasal 218 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan ketentuan Pasal 218 UU Nomor 32 Tahun 2004 ini, dijabar lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Substansi PP 79 Tahun 2005 meliputi pembinaan dan pengawasan. Selain itu dikaitkan dengan efektifitas implementasi Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, secara lebih teknis dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(18)
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah berjalan secara efisien dan efektf sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya pengawasan sebagai salah satu upaya untuk membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Sehingga pemerintahan dapat terselenggara sesuai dengan ketentuan hukum yang belaku. Selain itu, pengawasan merupakan upaya preventif untuk mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan berupa KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh lembaga pengawasan.
Pelaksanaan pengawasan di Kota Bandung didasarkan kepada Peraturan Walikota Nomor 996 Tahun 2009 tentang pedoman oprasional pemeriksaan reguler Inspektorat Kota Bandung, yang sekaligus pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2007 tentang pembentukan dan struktur organisasi Inspektorat Kota Bandung.
Optimalisasi pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum terlaksana sebagaimana seharusnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ketersedian sumber daya manusia, faktor anggaran, dan faktor komitmen (”political will”) gubernur, bupati/walikota selaku atasan langsung yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Semakin gencarnya tuntutan atas penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang besih, transparan dan akuntabel maka sudah saatnya peran pengawasan ditingkatkan dan diberdayakan sehingga penyelenggaraan
(19)
5
pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel tidak hanya sebatas wacana dan cita-cita saja.
Berikut ini adalah permasalahan di Kota Bandung yang peneliti temukan pada pegawasan pemerintahan yaitu :
Lahirnya Undang Undang 28/1999 tentang penyelenggaraan pemerintah yang bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Konsekuensinya, mau tidak mau aspek pengawasan harus selalu
berkembang. Apalagi dalam perjalanan beberapa tahun terakhir, banyak peraturan perundang-undangan baru yang harus dilaksanakan. Sementara aparatur belum memiliki pemahaman dan kesiapan yang optimal, sehingga tidak menutup kemungkinan, ditemukannya penyimpangan-penyimpangan yang merugikan masyarakat,” kata Wali Kota Bandung, H Dada Rosada SH, MSi dalam rapat kerja gelar pengawasan daerah Kota Bandung, di Grand Pasundan Hotel, Jalan Peta Bandung, Selasa (30/12/08). Dihadiri oleh para pimpinan SKPD.
Melihat hasil temuan Inspektorat, Dada menilai, masih terdapat beberapa kelemahan dan kurang optimalnya pengendalian serta pengawasan atasan langsung. Terhadap indikasi ini, pimpinan SKPD agar segera menindak lanjuti setiap temuan sesuai saran yang diberikan agar tidak mengabaikan akumulasi permasalahan yang makin serius serta menghambat kinerja pelayanan. Dada juga masih mendapatkan, kondisi lemahnya disiplin pegawai terutama kepatuhan pada jam kerja, yang dimulai dengan absensi apel pagi dan siang.
Inspektur Inspektorat Daerah Kota Bandung, Drs H Sukarno MM. Menyebutkan, hasil pemeriksaan berkala (reguler) terhadap SKPD dan Kecamatan, pada Tahun 2008 ini terdapat penurunan yang cukup signifikan, menjadi 365 dari sebelumnya 679 temuan di Tahun 2007.
Sukarno menggambarkan, prosentase paling tinggi, adalah aspek sarana dan prasarana 121 temuan (33,15 %) yang disebabkan kurangnya pemahanan terhadap tata cara pengelolaan barang daerah. Menyusul tugas pokok dan fungsi 92 temuan (25,21 %), aspek keuangan 92 temuan (25,21 %), aspek sumber daya manusia 60 temuan (16,44 %). Dari temuan 365 ini, 357 sudah ditindak lankuti, 6 dalam proses dan hanya 2 yang belum ditindaklanjuti. Penurunan temuan ini dijelaskannya, diantaranya karena pemeriksaan reguler, meningkatnya pemahaman dan kepatuhan SDM terhadap peraturan dan perundang-undangan, peningkatan kinerja aparat Inspektorat dan implementasi pakta integritas dalam upaya percepatan pemberantasan tindak korupsi.
(20)
Berita di atas merupakan permasalahan mengenai masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Selain itu, kurangnya disiplin para aparat juga menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan ini. Sehingga Inspektorat Kota Bandung akan lebih meningkatkan perhatiannya pada kualitas sumber daya manusia agar dapat melakukan pedoman oprasional tentang pengawasan tersebut.
Pelaksanaan pengawasan sesuai dengan Peraturan Walikota Nomor 996 Tahun 2009 tentang pedoman oprasional pemeriksaan reguler Inspektorat Kota Bandung tersebut merupakan upaya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil judul skripsi “Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Bandung Nomor 996 Tahun 2009 Tentang Pedoman Oprasional Pemeriksaan Reguler Inspektorat Kota Bandung”.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka untuk mempermudah arah dan pembahasan, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana implementasi kebijakan peraturan walikota Bandung nomor 996 tahun 2009 tentang pedoman oprasional pemeriksaan reguler Inspektorat Kota Bandung?”
(21)
7
1.2 Maksud dan Tujuaan Penelitian
Maksud dari penelitian ini untuk mengetahui implementasi kebijakan peraturan walikota Bandung nomor 996 tahun 2009 tentang pedoman oprasional pemeriksaan reguler Inspektorat Kota Bandung.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ukuran dan tujuan kebijakan dari pemeriksaan di Inspektorat Kota Bandung ?
2. Untuk mengetahui sumber daya kebijakan dari pemeriksaan di Inspektorat Kota Bandung ?
3. Untuk mengetahui ciri-ciri atau sifat badan/Instansi pelaksana dari pemeriksaan di Inpektorat Kota Bandung ?
4. Untuk mengetahui komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan dari pemeriksaan di Inspektorat Kota Bandung ?
5. Untuk mengetahui sikap para pelaksana dari pemeriksaan di Inspektorat Kota Bandung ?
6. Untuk mengetahui lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik dari pemeriksaan di Inspektorat Kota Bandung ?
(22)
1.3 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai kegunaan, yaitu bersifat praktis dan teoritis yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Kegunaan penelitian bagi diri sendiri adalah sebagai suatu pengalaman yang berharga karena peneliti dapat memperoleh gambaran secara langsung mengenai implementasi kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam bidang pengawasan. Selain itu dalam penelitian ini pun peneliti mengimplementasi ilmu-ilmu yang di dapat selama perkuliahan di Ilmu Pemerintahan. Banyak hal baru yang di dapat penulis, sehingga bisa menambah pengetahuan dan dapat secara langsung menerapkan secara langsung berbagai teori yang dipelajari oleh peneliti secara idealis.
2. Pada bidang keilmuan yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber pengetahuan dan sumber pemikiran baru bagi Ilmu Pemerintahan mengenai pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam menunjang pelaksanaan pembagunan daerah.
3. Bagi instansi pemerintah daerah dapat dijadikan sumber pengetahuan dan pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi instansi itu sendiri khususnya Inspektorat Kota Bandung, juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Inspektorat Kota Bandung dan Pemerintah Daerah Kota Bandung dalam membuat kebijakan strategis dalam peningkatan pengawasan internal penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kota Bandung.
(23)
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Implementasi
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yaitu yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan setiap kegiatan yang dilakukan menurut rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Upaya untuk memahami adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan fakta yang telah terjadi sehingga menimbulkan kesadaran mengenai pentingnya suatu pelaksanaan.
Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi mengatakan bahwa:
”Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut ”street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group)” (Subarsono, 2005:88).
Jadi implementasi bisa melibatkan usaha dari policy marker untuk bisa memberikan pelayanan yang baik. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dalam urutan waktu tertentu (Sunggono 1994:137). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu tujuan yang digunakan untuk mencapai sebuah keberhasilan program dalam waktu tertentu. Implementasi menurut Lukman Ali adalah mempraktekan, memasangkan (Ali, 1995:1044). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa implementasi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh
(24)
pemerintah maupun swasta, baik secara individu maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Implementasi Riant Nugroho pada prinsipnya adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan (Nugroho, 2003:158). Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public Policy mengemukakan implementasi sebagai:
“Implementation of the basic policy decision, usually in the form of laws, but can also form the commandments or the decision-keoutusan important executive or judicial bodies or decision. Typically, this decision identifies the problem you want addressed, explicitly mention the purpose or objectives to be achieved, and various ways to structure or organize the implementation process.”(Mazmanian, 1983:61).
Pengertian di atas menjelaskan bahwa, implementasi adalah sebuah program atau sebuah kebijakan yang kelihatannya bagus diatas kertas namun lebih sulit merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang terdengar menyejukkan bagi telinga para pemimpin dan pemilih yang mendengarkannya. Implementasi kebijakan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semua orang.
Van Meter dan Vanhorn mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi yang disebut dengan A Model of The Policy Implementation, yaitu:
(25)
11
1. Policy standards and objectives; 2. Policy resources;
3. Interorganizational communication and enforcement activities; 4. The characteristics of the implementing agencies;
5. Economic, social, and political conditions; 6. The disposition of implementors;
(Meter dan Vanhorn, 1975:462-478).
Variabel-variabel implementasi kebijakan di atas maka peneliti uraikan sebagai berikut: Pertama ukuran dan tujuan kebijakan yang diperlukan untuk mengarahkan dan melaksanakan kebijakan. Hal tersebut dilakukan agar ukuraan dan tujuan sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Hal yang mempengaruhinya antara lain kesesuaian program dan ketetapan sasaran (Wahab, 2004:79).
Kedua, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Agustino, 2006:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.
Ketiga, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Wahab bahwa:
“Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan
informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan” (Wahab, 2004:77).
(26)
Menurut Edward III, komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transmisi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi (Edward III, 1980:10). Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya
Keempat, keberhasilan kebijakan dapat dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).
Menurut Edward III “Their attitudes in turn will be influenced by their views toward the policies and by how they see the policies affecting their organizational and personal interest” hal tersebut bermakna bahwa watak, karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis (Edwards III, 1980:11). Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi sangat dipengaruhi oleh sifat ataupun ciri-ciri dari pelaksana tersebut. Apabila implementor memiliki sifat atau karakteristik yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
(27)
13
Kelima, kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik menjadi salah satu hambatan dalam suatu proses kebijakan. Keadaan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan. Hambatan-hambatan dari kondisi ekonomi dapat berupa kurangnya sumber-sumber ekonomi (dana/anggaran) dalam organisasi pelaksana kebijakan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi. Hambatan dari kondisi sosial yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan dapat berupa tanggapan masyarakat, terutama masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan yang kurang menerima kebijakan tersebut sehingga mereka bersikap tidak peduli. Hambatan dari kondisi politis megandung arti bahwa kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak disepakati oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan dan kekuasaan untuk membatalkan kebijakan tersebut. Hambatan seperti ini cukup jelas dan mendasar, sehingga para administrator kurang bisa melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Dengan kondisi seperti ini, yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mempertimbangkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan secara matang ketika merumuskan kebijakan (Winarno, 2004 : 110-119).
Keenam, sikap para pelaksana merupakan implementasi kebijakan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan tentunya tidak terlepas dari peranan/sikap pelaksana kebijakan. Terdapat tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yaitu : kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadap kebijakan (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu. Variabel ini mengemukakan pentingnya rasa tanggung jawab yang
(28)
tinggi dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugasnya, disamping para pelaksana harus memiliki ketaatan dan ketegasan dalam mengimplementasikan kebijakan (Winarno, 2004 : 110-119).
Gambar 2.1
A Model of The Policy Implementation
(Sumber: Meter dan Van Horn, 1975)
Proses yang merupakan sebuah performansi dari suatu kebijakan yang pada dasarnya dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi, yang dapat berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini menggambarkan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.
Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
P
u
b
li
c
p
o
li
cy
Interorganizationa l communication and enforcement
activities Standards and
objectives
characteristics of the implementing
agencies resources
Economic, social, and political
conditions
The disposition of implementing
p
er
fo
rm
a
n
(29)
15
pemerintah yang membawa dampak pada warga negaranya. Namun dalam praktiknya badan pemerintahan itu sering menghadapi pekerjaan di bawah mandat Undang-undang, sehingga menjadikan mereka tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Selain itu ada pula model implementasi yang dikembangkan oleh George C. Edward III disebut dengan Direct and Indirect Impact of Implementation. Dalam pendekatan yang diteorikan oleh George C. Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan suatu kebijakan, yaitu:
1. Komunikasi; 2. Sumber Daya; 3. Disposisi; dan 4. Struktur Birokrasi.
(Edward III, 1980:16-20)
Menurut George C. Edward III mengenai pendapatnya di atas, empat variabel tersebut perlu ada pada setiap pembuatan kebijakan karena sebagai penentu keberhasilan kebijakan tersebut.
Gambar 2.2
Model Direct and Indirect Impact of Implementation
(sumber: Edward III, 1980) Komunikasi
Struktur Birokrasi
Sumber Daya
Disposisi
(30)
Pada proses yang merupakan sebuah performansi dari suatu kebijakan yang pada dasarnya dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi, yang dapat berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengumpamakan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari komunikasi, sumber daya politik yang tersedia dan pelaksanaan implementasi kebijakan.
2.1.2 Kebijakan Publik
Kebijakan pada dasarnya menitikberatkan pada “publik dan masalah -masalahnya”. Kebijakan membahas bagaimana isu-isu dan persoalan tersebut disusun (constructed), didefinisikan, serta bagaimana persoalan tersebut diletakkan pada agenda kebijakan. Charles L.Cochran mengemukakan inti dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah policy consists of political decision for implementing program to achieve social goal (kebijakan terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat) (Cochran, 1999: 2). Berdasarkan pendapat tersebut kebijakan merupakan suatu program yang dibuat untuk dapat memenuhi kepentingan masyarakat.
Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kebijakan merupakan pernyataan umum perilaku dari pada organisasi. Kebijakan membatasi ruang lingkup yang dalam dengan menetapkan pedoman untuk pemikiran pengambilan keputusan dan menjamin bahwa keputusan yang diperlukan akan memberikan sumbangan pemikiran terhadap penyelesaian tujuan yang menyeluruh. Menurut pendapat Alfonsus Sirait dalam bukunya Manajemen mendefinisikan kebijakan, sebagai
(31)
17
berikut: “Kebijakan merupakan garis pedoman untuk pengambilan keputusan” (Sirait, 1991:115). Kebijakan merupakan sesuatu yang bermanfaat, yang merupakan penyederhanaan sistem yang dapat membantu dan mengurangi masalah-masalah dan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah tertentu, maka kebijakan dianggap sangat penting.
George C. Edward III dalam buku Implementing Public Policy mengungkapkan komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi (Edward III, 1980:10-11). Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Kebijakan menurut W.I. Jenkins dalam Public Analysis mengemukakan bahwa:
“Kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling terkait yang ditetapkan oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam situasi di mana keputusan-keputusan itu pada dasarnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor”. (Jenkins, 1978:2).
Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan juga mengemukakan pengertian kebijakan dalam bukunya yang berjudul Power and Society sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (Lasswell dan Kaplan,
(32)
1970:17). Berdasarkan pengertian tersebut, suatu kebijakan berisi suatu program untuk mencapai tujuan, nilai-nilai yang dilakukan melalui tindakan-tindakan yang terarah.
Thomas R. Dye mengatakan definisi kebijakan sebagai apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan (Dye, 1995:1). Berdasarkan definisi tersebut, penulis mendapat pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan oleh pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.
Definisi lain mengenai kebijakan yang diungkapkan oleh Carl Friedrich dalam buku Man and His Government, yang mengatakan kebijakan adalah:
“Kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud” (Friedrich, 1963:79).
Berdasarkan pengertian di atas, maksud dari kebijakan sebagai bagian dari kegiatan, dimana kebijakan tersebut berhubungan dengan penyelesaian beberapa maksud atau tujuan. Meskipun maksud dan tujuan dari kegiatan pemerintah tidak selalu mudah untuk dilihat, tetapi ide bahwa kebijakan melibatkan perilaku yang mempunyai maksud, merupakan bagian penting dari definisi kebijakan.
Kebijakan sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, istilah kebijakan seringkali disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Jika diuraikan terdapat perbedaan antara kebijakan dengan kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan lebih ditekankan kepada pertimbangan dan kearifan seseorang yang berkaitan dengan dengan aturan-aturan yang ada. Sedangkan kebijakan mencakup seluruh bagian
(33)
19
aturan-aturan yang ada termasuk konteks politik, karena pada dasarnya proses pembuatan kebijakan sesungguhnya merupakan suatu proses politik. Menurut M. Irafan Islamy berpendapat bahwa:
“Kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh lagi (lebih menekankan kepada kearifan seseorang), sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya sehingga policy lebih tepat diartikan sebagai kebijakan, sedangkan kebijaksanaan merupakan pengertian dari kata wisdom”. (Islamy, 1997:5)
Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan pada dasarnya suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijakan seyogyanya diarahkan pada apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Adapun tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik digambarkan sebagai berikut:
(34)
Gambar 2.3
Proses Pembuatan Kebijakan
Penyusunan
Agenda
Penyusunan
Agenda
Adopsi
Kebijakan
Implementasi
Kebijakan
Penilai
Kebijakan
Sumber:Dunn, 2003:24
Melengkapi pendapat yang dikemukakan di atas, berikut merupakan penjelasan dari tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan yaitu:
1. Penyusunan agenda, yaitu para pembuat kebijakan merumuskan masalah sehingga dapat menemukan asumsi-asumsi, mengetahui penyebab-penyebabnya, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang untuk mengatasi masalah melalui kebijakan yang baru.
2. Formulasi kebijakan, yaitu para pembuat kebijakan merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.
3. Adopsi kebijakan, yaitu memilih suatu alternatif kebijakan yang terbaik dalam mengatasi masalah.
Perumusan
Peramalan
Rekomendasi
Pemantauan
(35)
21
4. Implementasi kebijakan, yaitu suatu tahap dimana kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya.
5. Penilaian kebijakan, yaitu suatu proses untuk mengevaluasi/menilai sejauh mana efektifitas dari kebijakan tersebut dalam implementasinya di lapangan. Dengan kata lain apakah kebijakan tersebut sudah dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dalam mengatasi permasalahan yang terjadi dimasyarakat dan sejauh mana kemajuan dalam pencapaian tujuan yang telah ditempuh.
Berdasarkan pendapat diatas yaitu tahapan-tahapan dibuat agar kebijakan dapat dilakukan dengan baik dan efektif. Kebijakan itu pula dibuat agar suatu pemerintahan dapat melaksanakan kebijakan tersebut dengan sesuai pada aturan yang berlaku.
2.1.3 Implementasi Kebijakan
George C. Edward III dalam buku Implementing Public Policy mengungkapkan komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi (Edward III, 1980:10-11). Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Implementasi merupakan sebuah kegiatan yang memiliki tiga unsur penting dan mutlak dalam menjalankannya. Adapun unsur-unsur implementasi kebijakan meliputi :
1. Adanya program yang dilaksanakan
2. Adanya kelompok target, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut.
3. Adanya pelaksanaan, baik organisasi atau perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dari proses penerapan tersebut
(36)
Berdasarkan pengertian di atas maka penerapan mempunyai unsur yaitu program, target dan pelaksanaan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sehingga dalam pelaksanaannya kecil kemungkinan terjadi kesalahan, kalaupun ada kesalahan maka akan dapat disadari dengan cepat. Adapun unsur-unsur implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu :
1. Unsur pelaksana
2. Adanya program yang dilaksanakan serta 3. Target group atau kelompok sasaran.
(Tachjan 2006:26)
Menurut Tachjan tiga kebijakan di atas wajib ada karena itu merupakan penentu berjalannya suatu kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Wahab juga mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan yaitu :
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan penyelesaian masalah yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya.(Wahab, 2001:42)
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa pelaksanaan keputusan kebijakan dasar dapat berupa bentuk keputusan eksekutif yang penting, dan keputusan tersebut di harapkan dapat mengidentifikasikan penyelesaian masalah yang ingin dicapai. Adapun pendapat Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi mengatakan bahwa:
”Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut ”street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group)” (Subarsono, 2005:88).
(37)
23
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi birokrasi/badan-badan pemerintah agar memberikan pelayanan/pengaturan terhadap kelompok yang menjadi sasaran dari suatu kebijakan. Charles O’Jones dalam bukunya Pengantar Kebijakan Publik (public policy), mengemukakan :
“Implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoprasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi dan pelaksanaan.”(Jones 1994:88)
Menurut pendapat Charles O Jones, implementasi yaitu kegiatan yang dibuat untuk mengoprasikan sebuah program. Implementasi kebijakan juga menyangkut pelaku kebijakan itu untuk melaksanakan suatu bentuk program dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini dikemukakan oleh Islamy, yaitu:
“kelancaran pelaksanaan suatu kebijakan yang ditentukan oleh banyak factor, antara lain dipengaruhi oleh si pelaku kebijakan (policy stake holders) seperti pejabat-pejabat pemerintah/Negara, anggota masyarakat dan lingkungan seperti social, politik, ekonomi, geografis, teknologi dan sebagainya”.(Islamy,1998:61)
Banyak kebijakan publik yang dinilai kurang efektif, lalu kekurangefektifan ini disebabkan oleh masalah-masalah yang timbul saat imlementasi kebijakan. Oleh karena itu, para pelaksana harus memusatkan perhatiannya pada cara mencapai konsistensi tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan, misalnya dengan berusaha mendapatkan dukungan-dukungan dari pihak yang terkait. Kemudian para pelaksana harus berusaha mengubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut, menjadi sikap menerima. Selain itu, harus bersikap waspada
(38)
terhadap pihak-pihak yang merasa diabaikan karena kebijakan tersebut dan usaha-usaha untuk menghambatnya. Kekurangan atau kesalahan dari suatu kebijakan biasanya dapat diketahui setelah kebijakan tersebut dilaksanakan. Agar pelaksanaan kebijakan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu adanya pedoman berupa faktor-faktor pelaksanaan kebijakan.
2.1.4 Jabatan Fungsional dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Produk hukum yang mengatur pengangkatan dalam Jabatan Fungsional adalah PP No. 16 tahun 1994 dan Keppres No. 87 tahun 1999. Di dalam Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan sesuai Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/61/M.PAN/6/2004 mengemukakan pengertian jabatan yaitu : “Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan Organisasi Negara”.
(39)
25
Jadi cukup jelas bahwa jabatan dimaksud disini adalah jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugas, fungsi dan tanggung jawab menurut tatanan organisasi . jika ditarik suatu pemahaman dari kata dasar “fungsi” itu artinya “guna atau manfaat”. Itu berarti dalam pengertian fungsional adalah suatu tindakan yang mengarah kepada perbuatan yang berguna dan memberikan manfaat. Hal ini tidak terlepas dari pemusatan perhatian yang dilaksanakan secara terus-menerus tanpa memandang waktu, yang mengarah kepada kemahiran atau profesional dalam melaksanakan tugas.
2.1.5 Pengawasan Pemerintahan
Pengawas adalah supervisor yaitu pihak yang memegang tanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan suatu kegiatan. Sedangkan pengawasan secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan administrasi yang bertujuan mengandalkan evaluasi terhadap pekerjan yang sudah diselesaikan apakah sesuai dengan rencana atau tidak.
Adanya berbagai jenis kegiatan pembangunan dilingkungan pemerintah menurut penanganan yang lebih serius agar tidak terjadi pemborosan dan penyelewengan yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan suatu sistem pengawasan yang tepat. Ini bertujuan untuk menjaga kemungkinan agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Pengawasan memiliki urgensi dalam memaksimalkan tujuan, namun seperti dikatakan Sumitro Djojohadikusumo (Salindeho, 1995:25) bahwa pengawasan memang telah dilakukan oleh para pejabat yang berwenang yang diserahi
(40)
tanggungjawab tetapi kemampuan sampai tingkat yang efektif belum dicapai. Dalam hubungan ini, pendayagunaan aparatur pemerintah terkait dengan aspek pengawasan disebabkan lima tantangan yang sering dihadapi, yaitu :
1. Bagaimana meningkatkan sikap dan orientasi aparatur pemerintah terhadap pembangunan sehingga mampu bertindak sebagai pemrakarsa pembaharuan dan penggerak pembangunan.
2. Bagaimana mewujudkan kemampuan aparatur pemerintah agar berhasil mempergunakan sumber-sumber yang tersedia dengan kapasitas dan produktivitas optimal dalam penyelenggaraan administrasi pelaksanaan program-program pembangunan .
3. Bagaimana mengusahakan agar aparatur pemerintah dapat meningkatkan mobilisasi dana pembangunan yang berasal dari sumbersumber dalam negeri.
4. Bagaimana meningkatkan kemampuan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan pada aparatur pemerintah di tingkat daerah 5. Bagaimana aparatur pemerintah dapat meningkatkan dayaguna sejalan
dengan upaya penyerasian antara pembangunan sektoral dan pembangunan nasional.
Sehubungan dengan kelima deretan tantangan di atas, maka tujuan peningkatan serta pembudayaan pengawasan dimaksud meliputi :
Pertama, menumbuhkan budaya pengawasan dan fungsi pengawasan serta membuat pengawasan berjalan secara wajar, efektif dan efisien. Kedua; meningkatkan pendayagunaan pelaksanaan pengawasan dalam tubuh aparatur pemerintah. Ketiga;
(41)
27
meningkatkan disiplin aparatur pemerintah sehingga dapat mendukung terwujudnya disiplin nasional. pengawasan dan otoritas sesuai pandangan Nicholas Henry (1995:119) harus berbuat dengan mengikuti perubahan organisasi. Rangkaian tindakan yang tercakup dalam proses pengawasan tersebut merupakan tindakan untuk menetapkan standar pengawasan. Standar pengawasan dimaksud yaitu suatu standar atau tolak ukur yang merupakan patokan bagi pengawas dalam menilai apakah objek atau pekerjaan yang diawasi berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi dilihat dari tolak ukur ini, hasil pengawasan hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu : berjalan sesuai dengan standar atau terjadi penyimpangan.
Pengawasan dalam organisasi pemerintah diperlukan agar organisasi pemerintahan dapat bekerja secara efisien, efektif dan ekonomis. Pengawasan disini merupakan unsur penting untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Menurut Winardi (2000:585) "Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan". Sedangkan menurut Basu Swasta (1996:216) "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan". Adapun pernyataan lain tentang pengawasan menyatakan bahwa :
”Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki.” (Sarwoto 2010:94)
(42)
Berbagai definisi dan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengawasan pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang dilakukan agar pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan rencana sehinga tujuan dapat tercapai. Penggunaan pengawasan terdapat beberapa metode yaitu Metode Pengawasan Preventif dan Metode Pengawasan Refresif
Metode pengawasan preventif yaitu merupakan pengawasan yang dilakukan pada tahap persiapan dan perencanaan suatu kegiatan terhadap sebuah lembaga. Pengawasan ini bertujuan pada aspek pencegahan dan perbaikan, termasuk pula pengusulan perbaikan atau pembentukan regulasi baru untuk berbaikan standar kualitas terhadap layanan publik. Pengawasan preventif dilakukan melalui pra audit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga, dan sumber-sumber lain.
Metode pengawasan refresif yaitu pengawasan terhadap proses-proses aktivitas pada sebuah lembaga. Pengawasan bertujuan menghentikan pelanggaran dan mengembalikan pada keadaan semula, baik disertai atau tanpa sanksi. Bentuk pengawasan yang dilakukan melalui post-audit dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan, dan sebagainya.
Selain kedua metode pengawasan diatas, masih ada dua metode pengawasan lainnya yang dapat dilakukan oleh lembaga pengawas. Kedua metode yang dimaksud adalah Metode Pengawasan Langsung (direct control) dan Metode Pengawasan Tidak Langsung.
(43)
29
Metode pengawasan langsung maksudnya pengawasan yang dilakukan dengan mendatangi unit kerja yang bersangkutan. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa berbagai informasi dan data sebagai bahan masukan yang menggambarkan berbagai kegiatan yang hendak diketahui efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya. Metode ini bisa juga dilakukan dengan wawancara langsung kepada pelaksana kegiatan atau orang lain yang dianggap mengetahui dengan baik pelaksanaan kegiatan tersebut. Dengan demikian metode pengawasan ini dapat dilakukan dengan pendekatan formal dan informal. Hadari Nawawi (1994:5), pengawasan formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh pejabat instansi yang berwenang baik bersifat ekstern maupun intern. Sedangkan pengawasan informal adalah pengawasan yang dilakukan masyarakat (sosial control), misalnya dengan media massa dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat ataupun melalui surat-surat pengaduan.
Metode pengawasan tidak langsung artinya kegiatan pengawasan yang dilakukan tanpa mendatangi obyek yang diawasi. Caranya adalah dengan mempelajari dan menganalisa segala dokumen-dokumen yang menyangkut obyek yang diawasi, baik berupa laporan dari pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya berkala ataupun isidentil, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diperoleh dari perangkat pengawasan langsung, surat-surat pengaduan, berita atau artikel di media massa, dan dokumen-dokumen lainnya. Menurut Nawawi macam-macam pengawasan antara lain :
(44)
1. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur yang ditugaskan melaksananakan pengawasan seperti BPKP, Irjenbang, Depertemen, dan aparat pengawasan fungsional lainnya di Lembaga Non Departemen dan Instansi Pemerintahan lainnya.
2. Pengawasan Politik, yang dilaksananakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3. Pengawasan yang dilakukan oleh BPK dan BPKP sebagai pengawasan eksternal eksekutif;
4. Pengawasan Sosial, yaitu pengawasan yang dilakukan media massa, ormas-ormas, individu, dan anggota masyarakat umumnya.
5. Pengawasan melekat, yakni pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung terhadap bawahannya.
(Nawawi, 1991:59)
Beberapa macam pengawasan yang mempuyai fungsi atau tugas yang berbeda-beda, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Konsep macam-macam pengawasan yang sedikit agak berbeda dibandingkan macam-macam pengawasan yang telah diutarakan diatas, juga di paparkan oleh Schermerhorn (2001), Schermerhon membagi pengawasan menjadi empat jenis, yaitu :
1. Pengawasan feedforward (pengawasan umpan di depan). Pengawasan ini dilakukan sebelum aktivitas dimulai yang bertujuan untuk menjamin kejelasan sasaran, tersedianya arahan yang memadai, ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dan memfokuskan pada kualitas sumber daya.
2. Pengawasan concurrent (pengawasan bersamaan). Pengawasan ini memfokuskan pada apa yang terjadi selama proses berjalan yang bertujuan untuk memonitor aktivitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu sesuai rencana dan juga untuk mengurangi hasil yang tidak diinginkan.
3. Pengawasan feedback (pengawasan umpan balik). Pengawasan ini dilakukan setelah aktivitas selesai dilaksanakan. Dengan tujuan untuk menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja di masa depan dan memfokuskan pada kualitas hasil.
4. Pengawasan internal-external. Pengawasan internal memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri sedangkan pengawasan eksternal melalui supervisi dan penggunaan administrasi formal.
(45)
31
Suatu sistem dalam Pemerintahan Daerah, sebuah pengawasan merupakan suatu usaha penertiban untuk menjamin terealisasinya segala ketentuan Undang-Undang, peraturan keputusan kebijaksanaan dan ketentuan daerah itu sendiri. Hasil pengawasan dapat dijadikan bahan informasi atau umpan balik dari penyempurnaan baik bagi rencana itu sendiri maupun dalam mewujudkan rencana itu sendiri.
Tujuan pengawasan itu sendiri adalah agar hasil pelaksana kerja yang dilaksanakan dapat berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan rencana, menurut Handayaningrat tujuan pengawasan adalah agar hasil pelaksanaan pekerjaan di peroleh secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan rencana yang telah di tentukan sebelumnya (Handayaningrat, 1997:193). Tujuan pengawasan yang dapat menghasilkan hasil yang baik adalah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Menurut Manullang tujuan utama dari pengawasan yaitu mengusahakan agar apa yang di rencanakan menjadi kenyataan (Manullang, 2004:173). Merealisasi tujuan tersebut, maka pengawasan pada taraf pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang telah di keluarkan, dan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan serta kesuliatan-kesulitanyang di hadapi dalam pelaksanaan rencana berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat di ambil tindaka untuk memperbaikinya, baik pada waktu itu maupun waktu yang akan datang.
Instruksi Presiders No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan pada Pasal 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa pengawasan bertujuan untuk mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
(46)
Selanjutnya menurut Sujamto bahwa dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1. Agar pelaksanaan tugas umum pemerintah dilakukan secara tertib berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai daya guna dan tepat guna yang sebaik-baiknya.
2. Agar pelaksanaan pembangunan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan program pemerintah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan.
3. Agar hasil-hasil pembangunan dapat dinilai seberapa jauh tercapai untuk memberi umpan balik berupa pendapat, kesimpulan, dan pelaksana tugas umum pemerintah dan pembangunan
4. Agar sejauh mungkin mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang dan perlengkapan milik negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berdaya guna dan berhasil guna.
(Sujamto, 1986:157)
Pengertian dari rumusan-rumusan ataupun falsafah-falsafah pengawasan yang telah dikemukakan tadi mau tidak mau harus dipahami oleh semua pihak, baik pihak atau unsur pelaksana pengawasan maupun pihak yang diawasi, sehingga proses-proses pembangunan atau yang terkait dapat berjalan secara maksimal.
2.1.6 Urusan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
(47)
33
terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan
(48)
sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.
2.1.7 Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; 2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(49)
35
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.
2.2 Kerangka Pemikiran
Implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang/berkepentingan baik pemerintah maupun swasta dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita/tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu bagaimana program implementasi kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam bidang pengawasan yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan/sasaran yang telah ditetapkan.
Suatu kebijakan mengandung unsur tindakan untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan dari kebijakan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Kebijakan pada dasarnya adalah suatu tindakan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.
Implementasi kebijakan merupakan proses kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur dalam mencapai sebuah tujuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Impelementasi kebijakan yang diterapkan disuatu daerah menjadi kunci keberhasilan kebijakan yang dirancang oleh pemerintah. Selain dari peran aktif
(1)
bila proses komunikasi yang dilakukan oleh seluruh pejabat P2UPD Kota Bandung dilakukan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Komunikasi dalam implementasi kebijakan P2UPD melalui transmisi atau penyampaian informasi kepada masing-masing SKPD di Kota Bandung, melalui kejelasan informasi dan adanya konsistensi penyampaian informasi. Komunikasi yang baik akan mendorong pejabat P2UPD Kota Bandung untuk dapat lebih
meningkatkan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandung.
4.4 Karakteristik badan-badan pelaksana dalam P2UPD di Kota Bandung
Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Karakteristik badan pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan P2UPD dapat dilihat melalui struktur organisasi, norma-norma atau aturan dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi. Struktur birokarasi merupakan acuan dasar bagi pelaksana kebijakan mengenai pembagian tugas dan kewenangan yang ditanggungnya. Struktur organisasi mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kebijakan P2UPD di Kota Bandung.
Karakteristik dari badan pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan P2UPD dapat dilihat melalui komitmen, norma-norma atau aturan dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi, jika pelaksanaan ingin efektif maka para badan pelaksana tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
Ciri dari implementor yang memiliki sifat atau karakteristik yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan. Para pejabat P2UPD termasuk kepada aparatur yang baik jika dilihat dari segi karakteristiknya, karena para pejabat ini dipilih dan mengikuti diklat dan bimbingan teknis. Krakteristik badan pelaksana kebijakan P2UPD di Kota Bandung belum bisa dikatakan baik, karena belum semua melakukan tugasnya sesuai dengan tujuan dan kode etik yang berlaku. Sebab maasih ada saja pejabat yang tidak disiplin dalam melakukan tugasnya.
4.5 Kondisi Ekonomi, sosial dan politik dalam P2UPD di Kota Bandung
Perubahan kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi interpretasi terhadap masalah dan dengan demikian akan mempengaruhi cara pelaksanaan program, variasi-variasi dalam situasi politik berpengaruh terhadap pelaksanaan kerja. Peralihan pemerintahan dapat mengakibatkan perubahan-perubahan dalam cara pelaksanaan kebijakan-kebijakan tanpa mengubah kebijakan-kebijakan itu sendiri. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik meliputi ketetapan alokasi sumber dana dan dukungan publik terhadap implementasi kebijakan.
Kondisi ekonomi pada pelaksanaan kebijakan P2UPD merupakan kondisi yang sangat dipertimbangkan, karena kondisi ekonomi dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan yang akan
(2)
dilakukan melalui sumber dana yang dianggarkan. Dengan kondisi ekonomi yang baik, kelangsungan kebijakan yang akan dilakukan dapat berjalan dengan lancar. Ketetapan alokasi sumber dana pada kondisi ekonomi pada tingkat tertentu diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakanagar tidak menghambat proses kebijakan. Setiap kebijakan yang akan dibuat atau sedang berjalan memerlukan sumber dana demi tercapainya pengambilan kebijakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan.
Kondisi ekonomi, sosial, dan politik dilihat dari kondisi sosial yang mempengaruhi berjalannya suatu kebijakan dilihat dari dukungan publik. Dukungan publik merupakan salah satu unsur yang menunjang keberhasilan suatu kebijakan, hal ini dapat mempengaruhi interpretasi masalah yang akan berpengaruh terhadap cara pelaksanaan program kerja. Untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakandibutuhkan dengan adanya sentuhan dukungan dari pihak lain, karena itu mekanisme partisi publik sangat penting artinya dalam pelaksanaan kebijakan dilapangan.
Kondisi ekonomi (anggaran) merupakan suatu kondisi yang berusaha untuk mendamaikan prioritas-prioritas program dengan sumber-sumber pendapatan yang diproyeksikan. Anggaran menggabungkan suatu pengumuman dari aktivitas organisasi atau tujuan untuk suatu jangka waktu yang ditentukan dengan informasi mengenai dana yang dibutuhkan untuk aktivitas tersebut atau untuk mencapai tujuan tersebut. Kondisi ekonomi (anggaran) merupakan suatu kondisi pada rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan rencana kegiatan jangka panjang yang telah ditetapkan dalam proses penyusunan program. Dimana anggaran disusun oleh manajemen untuk jangka waktu satu tahun, yang nantinya akan membawa organisasi kepada kondisi tertentu yang
diinginkan dengan sumber daya yang ditentukan. Kebijakan akan pelaksanaan kebijakan P2UPD pada Inspektorat Kota Bandung terlaksana jika didukung oleh sumber ekonomi (anggaran) yang cukup.
4.6 Kecendrungan pelaksana dalam kebijakan P2UPD di Kota Bandung
Sikap atau kecendrungan merupakan suatu hal yang menarik untuk diperhatikan karena hal ini merupakan karakteristik yang menempel erat kepada implementor atau pelaksana kebijakan. Karakteristik aparatur pemerintah khususnya dalam hal ini adalah aparatur P2UPD Inspektorat Kota Bandung sangat berpengaruh terhadap keberhasilan didalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Hal ini seperti didalam menjalankan tugas sebagai pengawas pemerintahan Kota Bandung. Sikap atau kecendrungan pelaksana kebijakan menjadi sesuatu hal yang menjadi perbincangan mengingat aparatur negara dituntut untuk berlaku bersih dari patologi pemerintahan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah sikap implementor atau kecendrungan sikap para pelaksana kebijakan. Jika aparatur setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan yang akan dan harus dilaksanakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan aparatur pelaksana berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah dan tidak tercapainya program yang telah dibuat.
Kecendrungan sikap pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan mengenai P2UPD dapat dilihat melalui tingkat kepatuhan pelaksana dan pemberian upah kepada para pelaksana kebijakan, jika pelaksana ingin efektif maka para pelaksana tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki
(3)
kemampuan untuk melaksanakannya. Disposisi ini merupakan keinginan dan kecenderungan sikap para pelaksana untuk melaksanakan secara sunguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan dapat diwujudkan. Disposisi ini akan muncul diantara para pelaksana, sehingga yang diuntungkan tidak hanya organisasinya saja melainkan diri sikap pelaksana tersebut. Pengetahuan, pemahaman menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak terhadap kebijakan. Sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak akan menimbulkan disposisi pada diri pelaksana kebijakan dan disposisi yang tinggi berpengaruh pada tingkat keberhasilan pelaksanaan tersebut.
Karakteristik dari kecendrungan sikap pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan P2UPD dapat dilihat melalui komitmen, norma-norma atau aturan dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, jika pelaksanaan ingin efektif maka para pelaksana tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Komitmen-komitmen aparatur dalam melakukan proses pelaksanaan P2UPD telah sesuai dengan visi dan misi dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Komitmen yang ditunjukan oleh aparatur selalu diimbangi dengan pola-pola hubungan-hubungan antar seseama aparatur dan hubungan bawahan kepada pimpinan yang baik agar mendukung kebijakan P2UPD dalam membantu kinerja aparatur khusunya aparatur yang melaksanakan proses pelaksanaan P2UPD di Kota Bandung.
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti menyusun kesimpulan sebagai berikut:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan pada implementasi kebijakan P2UPD telah sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu mengacu pada PerMenPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 tahun 2009 tentang jabatan fungsional pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dan angka kreditnya, dan PerMenDagri Nomor 47 tahun 2009 tentang pedoman pengawasan pemerintahan daerah.
2. Sumber Daya Kebijakan merupakan upaya reformasi birokrasi dalam meningkatkan percepatan pengawasan kepada aparatur pada kususnya. Sumber daya kebijakan di Inspektorat
Kota Bandung yang
meliputisumber daya aparatur, sumber daya anggaran atau biaya dan sumber daya waktu .
3. Komunikasi dalam
implementasi kebijakan P2UPD Kota Bandung, dimaksudkan untuk mempermudah para pejabat P2UPD dalam melakukan proses pengawasan terhadap setiap SKPD. Hal ini penting mengingat dalam proses komunikasi, setiap unsur yang ada didalamnya yaitu seluruh staf personil merupakan penentu keberhasilan komunikasi kebijakan sehingga dapat tepat sasaran, dimana seluruh kegiatan pengawasan di Inspektorat Kota Bandung sangat berkaitan satu dengan lainnya.
4. Karakteristik badan-badan pelaksana di Inspektorat kota bandung dalam melakukan pengawasan dilihat dari tingkat pendidikan dan kejujuran aparatur dilakukan oleh Para
(4)
pejabat P2UPD termasuk karakteristiknya.
5. Kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam implementasi kebijakan P2UPD merupakan hal yang perlu diperhatikan, sebab kondisi ini mempengaruhi jalannya kebijakan. Dari segi ekonomi dapat dilihat bagaimana anggaran itu digunakan dari mana anggaran ittu berasal. Kondisi ekonomi pula yang menjadi acuan jalannya sebuah kebijakan P2UPD. Pada kondisi sosial dan politik ini tidak terlalu membawa dampak apa pun ada implementasi kebijakan P2UPD. 6. Sikap atau kecendrungan pelaksana kebijakan aparatur dalam melakukan proses pelaksanaan P2UPD telah sesuai dengan visi dan misi dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti merumuskan saran sebagai berikut:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan pada implementasi kebijakan P2UPD harus lebih memfokuskan tujuan agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan PerMenPan Nomor 15 Tahun 2009.
2. Sumber daya manusia seharusnya ditambah lagi agar bisa mencapai kuota yang ditetapkan dan proses pengawasan bisa berjalan dengan baik.
3. Krakteristik badan pelaksana kebijakan P2UPD di Kota Bandung harus lebih disiplin dalam melaksanakan tugas, dan harus mengikuti diklat atau
Bimtek ( bimbingan teknis) agar dapat mewujudkan aparatur yang berkualitas.
4. Kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam implementasi kebijakan P2UPD harus lebih diperhatikan lagi terutama pada segi anggaran dan sumber ekonominya.
5. Sikap atau kecendrungan pelaksana kebijakan P2UPD diharapkan agar bisa lebih ditingkatkan lagi karena merupakan penilaian utama. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, agar kebijakan dapat berjalan efektif.
DAFTAR PUSTAKA Buku :
Abdul Wahab. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara.
Rineka Cipta. Jakarta.
________________ 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Ali, Lukman. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Basu Swastha, 1996, Azas-Azas Marketing, Edisi Ketiga, Liberty,Yogyakarta.
Cochran, Charles L. 1999. Public Policy. McGraw: Hill College
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Dye, Thomas R., 1995, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall
Edward III, C Gorge. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC:
(5)
Friedrich, Carl J. 1963. Man and His Government. Newyork:McGraw-Hill. Hadari Nawawi, 1991. Administrasi
Personnel untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, PT. Gramedia, Jakarta
_____________, Penelitian Terapan. Cet. 1. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1994.
Handayaningrat. 1997. “Pengetahuan
Studi Ilmu dan
Manajemem”
PT. GunungAgung, Jakarta.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc. Islamy, Irfan M. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara
_____________ 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Admisintrasi Negara. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi – Universitas Brawijaya
Jones, Charles O. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (public policy). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Jenkins, W.I. 1978. Public Analysis. Oxford: Martin Robertson.
Laswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. 1970. Power and Society. New Haven:
Yale University Press
Manullang. M. 2004. Dasar-dasar Manajemen. Yogyakarta: Gajaah Mada University Press Mater, Donald S. Van dan Horn, Carl E
Van. 1975. The Policy Implementation
Process: Ohio State University. Mazmania Daniel. Paul Sabatier. 1983.
Implementation and Public Policy, London:
Scott, Foressman and Company Nawawi. 1991. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Salindeho, John, 1995, Pengawasan Melekat Aspek - Aspek Terkait dan Implementasinya, Jakarta, Bumi Aksara
Schermerhorn, Jhon R., Jr. 2001. Management. (Terjemahan M. Purnama Putranto) Yogyakarta: ANDI Yogyakarta (Buku asli di terbitkan tahun 1996).
Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Grafika
Sujamto. 1986. Beberapa Pengantar di Bidang Pengawasan. Jakarta: Graha Indonesia
Tachjan, Dr. H, M.Si. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI
Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Dokumen-dokumen:
Instruksi Presiders No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan pada Pasal 1 Ayat (1)
PP No. 16 tahun 1994 dan Keppres No. 87 tahun 1999 tentang Produk hukum yang mengatur pengangkatan dalam Jabatan Fungsional
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
(6)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 218 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan Peraturan Mentri Pendayahgunaan
Aparatur Nomor 15 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan negara (P2UPD)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Peraturan Walikota Bandung Nomor 996 tahun 2009 tentang
Pedoman Oprasional
Pemeriksaan Reguler Inspektorat Kota Bandung Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor
11 tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Inspektorat Kota Bandung
Artikel:
Dr. Dewi Kurniasih, S.IP., M.SI “Kebijakan Sistem dan Prosedur Pengawasan Di Lingkungan Inspektorat Kabupaten Bandung Barat”
Rujukan Electronik:
www.wikipedia.com Pemerintahan
Daerah di Indonesia, Di akses tgl 6 Februari 2013, pada pukul 15.24 WIB.
http://www.ut.ac.id Pengawasan, Di akses tgl 27 Februari 2013, pada pukul 23.05 WIB
http://www.bandung.go.id Gelar
Pengawasan Daerah Kota Bandung, Di akses tgl 27 Februari 2013, pada pukul 19.20 WIB.
http://elib.unikom.ac.id/index.php Perpustakaan Unikom online, Di akses tgl 10 Februari 2013, pada pukul 22.13 WIB.