menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.
2.5.1 Dampak
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun
membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
Lumpur menggenangi dua belas desa di tiga kecamatan..
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Empat kantor pemerintah tidak berfungsi dan para pegawai juga tidak bekerja.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan serta Markas Koramil Porong.
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi.
Pipa air milik PDAM Surabaya patah.
Meledaknya pipa gas milik Pertamina.
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan.
Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik tidak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya - Malang dan Surabaya - Banyuwangi serta kota-
kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro Mojokerto dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
2.5.2 Upaya Penanggulangan
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area
genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam
tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton
pada lahan seluas 342 hektar, dengan mengungsikan 12.000 warga namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya ITS memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber,
jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.
Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Tiap tim terdiri dari perwakilan
Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas
terkemuka. Tim Satu, menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah
memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas tanah.
Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas
sebesar 126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada pertengahan September 2006 hanya tinggal dua. Skenario
ini dibuat jika luapan lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai fenomena alam, maka skenario yang
wajar adalah bagaimana mengalirkan lumpur kelaut dan belajar bagaimana hidup dengan lumpur.
Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong.
Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan
penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain. Banyak pihak menolak rencana
pembuangan ke laut ini, karena dapat mengakibatkan produksi tambak mengalami kegagalan panen.
Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat
Madura dan sekitarnya. Alternatif yang sudah dikaji adalah dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur
itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu diperlebar, dan
tekanan pada tanggul bisa dikurangi.
Kritik pun ditujukan kepada Pemerintah karena dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah
korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak.
Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata
harga tanah untuk 4 desa Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo, sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga
penanganan infrastruktur yang rusak. PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama
dengan korban. Dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya 400 buah dokumen yang telah dibayarkan karena status tanah yang lainnya masih
belum jelas.
2.5.3 Wisata Lumpur Lapindo