mengambil desain kaos yang telah dan masih diproduksi oleh Cak Cuk Surabaya dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu antara tahun 2008
hingga 2010 dan dari hasil wawancara singkat peneliti dengan Valent sebagai designer Cak Cuk Surabaya, desain tersebut masih akan terus
diproduksi hingga akhir tahun 2010 karena masih banyak yang mencari disain tersebut. Pemilihan desain kaos dan kurun waktu produksi tersebut
berdasarkan pertimbangan validitas dan aktualitas data guna memudahkan dalam menghubungkan dengan relitas eksternalnya.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang didapat adalah bagaimana Pemaknaan Tulisan
dan Gambar pada kaos Cak Cuk Surabaya seri “Visit Porong Sidoarjo”.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena pesan apa yang ingin dikomunikasikan melalui desain tulisan dan gambar pada kaos
Cak Cuk Surabaya seri “Visit Porong Sidoarjo”.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritis, penelitian ini akan memperkaya penelitian tentang pesan, khususnya pesan melalui sebuah media alternatif dalam hal ini
adalah tulisan dan gambar pada sebuah kaos. Melaui penelitian ini, peneliti dapat mencoba memahami pesan yang disampaikan pada media
kaos.
Secara praktis, dengan memahami bagaimana sebuah pesan dikomunikasikan melalui sebuah produk fashion yakni kaos sebagai media
alternatifnya, peneliti dapat mengetahui pesan apa yang ingin disampaikan, apabila dihubungkan dengan konteks sosial bangsa
Indonesia saat ini, adalah keadaan masyarakat yang sudah semakin terabaikan aspirasi mereka hingga akhirnya mereka hanya dapat pasrah
dan mencari solusi sendiri dari permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan semakin bertambahnya pemahaman tentang realitas sosial ini,
peneliti berharap agar masyarakat dapat memaknai segala realitas sosial yang terjadi dengan lebih baik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Menurut Everett M. Rogers definisi komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih,
dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka Cangara;2002,19. Dan ada juga yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses
penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan untuk mencapai efek tertentu. Individu berkomunikasi untuk mendapat pemaknaan terhadap
persepsi mereka. Mulyana 2001;167 mengungkapkan bahwa persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan sekitar kita, dan proses tersebut mempengaruhi kita.
Manusia dalam berkomunikasi menggunakan tanda dan simbol- simbol. Untuk itu setiap individu harus melakukan penafsiran terhadap
tanda-tanda decoding. Untuk itu terdapat studi untuk pemaknaan terhadap tanda-tanda pada umumnya, serta studi tentang system
bekerjanya kode-kode atau symbol dalam suatu budaya yang diberi nama “Semiologi” atau “Semiotika”.
Dalam hal ini semiotika atau semiologi dibedakan menjadi dua jenis, yakni semiotika komunikasi dan semiotika
signifikas. Semiotika komunikasi lebih menekankan pada teori tentang
10
produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam factor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode system
tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan hal yang dibicarakan. Sedangkan semiotika signifikasi lebih menekankan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiologi adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda Sobur;2004,15. Tanda-
tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
2.1.2 Komunikasi Non Verbal
Pengertian komunikasi nonverbal menurut Mark L Knapp, biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata
terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwadan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui symbol-
simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal. Mulyana,2001:312.
Menurut Larry A.Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangankecuali rangsangan verbal
dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan pengguna lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi
pengirim atau penerima. Definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan. Seringkali kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa
menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain atau tidak. Mulyana, 2001:308. Secara garis besar Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter membagi pesan-pesan nonverbal manjadi dua kategori besar yakni : pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan
pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan prabahasa; kedua, ruang, dan diam. Klasifikasi
Larry danRichard ini sejajar dengan klasifikasi John R Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti
ukuran ruangan dan faktor-faktor situasional lainnya. Mulyana,2001:317.
2.1.3 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik
Salah satu kebutuhan manusia adalah berkomunikasi dan komunikasi manusia tidak terlepas dari unsur-unsur simbol dan tanda.
Lambang atau simbol adalah tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang Herusatoto, 2000:10. Secara etimologi simbol
symbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda, perbuatan dikaitkan dengan suatu ide. Hartoko
Rahmanto, 1998:133. Lambang atau simbol digunakan berdasarkan pada kesepakatan bersama. Menurut Alex Sobur lambang atau simbol
melibatkan tiga unsur, yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar
bagi semua makna simbolik Sobur, 2004:156. Hubungan lambang objek dapat diinterpretasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak
memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik dua atau tiga dimensi yang menyerupai apa yang direpresentasikan. Representasi ini
berdasar pada kemiripan. Sedangakan indeks adalah suatu tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lain. Indeks sering disebut
sebagai sinyal signal, yang dalam bahasa sehari-hari diseburt sebagai gejala symptom. Indeks muncul berdasarkan hubungan sebab akibat
yang mempunyai kedekatan eksistensi. Oleh karena itu pengguanaan lambang, ikon, dan indeks dalam kehidupan manusia merupakan hal yang
lazim.
2.1.4 Tulisan dan Gambar Pada Kaos Sebagai Media Alternatif Komunikasi
Realitas yang ditampilkan media adalah relitas yang telah diseleksi, atau biasa disebut dengan realitas tangan kedua second hand reality.
Televesi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain. Surat kabar melalui proses yang
disebut ”gate keeping”, menepis berbagai berita dan memuat berita tentang ”darah dan dada” daripada tentang contoh dan teladan. Lebih
parahnya lagi, karena kita tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media tersebut, kita cenderung
memperoleh informasi itu semata-mata bersandarkan kepada apa yang dilaporkan media massa Rakhmat dalam Ibrahim, 2004:201. Berangkat
dari kenyataan inilah, persaingan dari dunia media menjadi pendorong munculnya kreativitas penciptaan di industri media. Melihat kejenuhan dan
rekayasa pesan dari media yang sudah ada, akhirnya membuka peluang besar bagi industri lain yang dapat difungsikan sebagai media.
Saat ini kita hidup dalam dunia multi media. “Multi” tidak hanya dalam keanekaragaman pesan, system penandaan, dan corak wacana yang
dilemparkan kepada kita dalam kecepatan tinggi, tetapi juga dalam bentuk media tersebut Sardar dan Van Loon, 2005:154. Mengutip pernyataan
dari Mc. Luhan, bahwa media adalah pesan medium is the message seiring dengan perkembangan jaman, semakin beragam pula media yang
dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, termasuk menggunakan kaos sebagai media alternatifnya.
Fiske mengemukakan dua mazhab utama dalam studi komunikasi, yang masing-masing mengikuti definisi umum komunikasi sebagai
“interaksi social melalui pesan”, masing-masing mazhab itu memahami definisi tersebut dengan sedikit berbeda. Mazhab pertama bisa disebut
sebagai mazhab “proses”, karena komunikasi dipandang sebagai suatu proses dimana seseorang menyatakan sesuatu pada orang lain dengan
menggunakan satu atau lebih medium atau saluran dengan beberapa efeknya Fiske, 1990:2 dalam Barnard, 2006:41.
Dari sisi ini, garmen, yang merupakan salah satu butir dari fashion atau pakaian, menjadi medium atau saluran yang dipergunakan
seseorang untuk “menyatakan” sesuatu kepada orang lain dengan maksud agar terjadinya perubahan pada orang lain itu Barnard,
2006:41. Maksudnya, melalui garmen itulah seseorang bermaksud untuk mengkomunikasikan pesannya kepada orang lain. Pesan atau maksud
tersebut ditransmisikan melalui garmen dalam proses komunikasi, yang nantinya secara sadar maupun tidak sadar akan diterima oleh receiver
penerima. Hal yang amat penting dari pandangan komunikasi ini adalah maksud pengirim pesan, efisiensi proses transmisi, dan efeknya pada
penerima Barnard, 2006:41.
Mazhab kedua adalah suatu model komunikasi yang berbeda dengan yang pertama. Model ini biasa disebut model ”semiotika” atau
”strukturalis”, model ini memahami komunikasi sebagai ”produksi dan pertukaran makna”. Perbedaannya disini, pada model proses, makna
sudah ada sebelum proses pengkomunikasian. Pada model semiotika, proses komunikasilah yang nantinya menghasilkan suatu makna. Seperti
yang telah dikemukakan oleh Fiske, model semiotika menaruh perhatian pada cara makna, atau teks, berinteraksi dengan manusia guna
menghasilkan makna Fiske, 1990:2 dalam Barnard, 2006:4.
Pada model semiotika ini, pengirim pesan tidak terlalu penting dibandingkan dengan model proses. Model ini memusatkan perhatian
pada negisiasi makna bukan pada penerimaan pesan, sehingga konsekuensinya terdapat perbedaan signifikan atas konsep kesalah
pahaman atau kegagaln komunikasi. Bila produksi makna merupakan negosiasi antara pengirim pesan, penerima, pengalaman kultural dan teks,
maka tidak mengherankan bila pembaca dengan latar belakang yang berbeda budaya akan menghasilkan makna yang berbeda pula. Mereka
yang pembacanya berbeda tidak akan dipandang sebagai bukti kegagalan komunikasif, pendapat seperti ini hanya berlaku pada model semiotika
Barnard, 2006:45. ”Manusia membutuhan barang-barang untuk berkomunikasi dengan menusia lain dan untuk memahami apayang terjadi
di sekelilingnya. Memang ini adalah dua kebutuhan, namun sebenarnya tunggal, yani untuk berkomunikasi hanya bisa dibentuk dalam suatu
sistem makna yang terstruktur” Douglas dan Isherwood, 1979:95 dalam Barnard, 2006:44.
Inti dari dua teori di atas menyatakan bahwa pertama, fashion dan pakaian bisa saja digunakan untuk memahami dunia serta banda-benda
dan manusia yang ada di dalamnya, sehingga pakaian juga merupakan salah satu fenomena komunikatif. Kedua, menyatakan bahwa sistem
makna yang terstruktur, yakni suatu budaya, memungkinkan individu untuk mengkonstruksi suatu identitas melalui sarana komunikasi.
Uraian di atas memperkuat bahwa kaos yang merupakan salah satu dari produk fashion, juga dapat digunakan sebagai media untuk
berkomunikasi. Berbagai bentuk gambar atau kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman, perilaku dan status sosial. Kaos
oblong sekarang ini juga telah menjadi wahana tanda. Kaos sebagaimana pakaian lainnya, membawa pesan dalam sebuah ”teks terbuka” dimana
pembaca atau yang melihat bisa menginterpretasikannya. Kaos oblong mengkomunikasikan berbagai lokasi atau identitas sosial, kelompok atau
kolektivitas dan banyak juga yang mengkomunikasikan slogan, iklan layanan masyarakat bahkan iklan produk Antariksa dalam kuci.or.id.
Walaupun dalam pasang surut industri kaos lebih menekankan pada segi bisnis, tetapi pada penelitian ini ditekankan pada aspek
komunikasinya. Hal penting yang disoroti pada kaos Cak Cuk Surabaya adalah bagaimana pencipta ide berkomunikasi dengan siapa saja yang
mambaca dan melihat hasil karyanya melalui suatu tulisan dan gambar. Tulisan dan gambar diciptakan untuk berkomunikasi denga komunitas
sasaran, karena tulisan dan gambar yang digunakan adalah tulisan dan gambar yang dapat memancing perhatian dan terlebih lagi menggunakan
tema-tema yang jenaka.
Betapapun klaim atas identitas kaos oblong ini bersifat ambigu, dalam terminologi Umberto Eco 1979, representasinya selalu bersifat
undercoded, ia berhubungan secara synecdochical satu bagian dari kaos mewakili keseluruhan pribadi seseorang dengn pengalaman, relasi sosial,
atau status yang diklaim secara eksplisit atau implisit oleh pemakainya. Pesan yang disampaikan dalam kaos bukanlah sekedar tentang tempat,
kelompok, atau bisnis tetapi klaim atas status pemakainnya Antariksa dalam kuci.or.id.
Dengan semakin tumbuh pesatnya industri periklanan. Kaos merupakan sebuah billboards mini yang cukup efektif untuk
mengkomunikasikan sebuah produk, sebagaimana mengkomunikasikan diri atau identitas Rojek, 2007:7. Seringkali kaos dijadikan sebagi iklan
berjalan yang oleh pengiklan kadang-kadang dibagikan secara gratis. Perusahaan-perusahaan sekarang ini memproduksi kaos dengan nama
atau logo perusahaan yang tertera di atasnya dan menjualnya di toko-toko pakaian produksi massal yang siap pakai. Bagi sebagian besar
pemakainya, tentu mamakai kaos oblong tidak dimaksudkan sebagai iklan melainkan sebagai indikasi status dan pendapatan pemakainya, loyalitas
pada suatu produk yang juga merupakan bagian dari identitas diri Antariksa dalam kuci.or.id.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tulisan dan gambar pada kaos yang notabene bukan media cetak ataupun media elektronik
ternya dapat dikategorikan sebagai media alternatif dalam komunikasi.
2.2 Tulisan
Tulisan juga selalu dianggap memiliki fungsi mistis. Bangsa mesir kuno menyebut sistem tulisan mereka hieroglif sebab sistem ini digunakan
untuk mencatat himne dan doa, untuk membuat daftar nama dan gelar para individu dan dewa, dan untuk mencatat berbagai kegiatan komunitas,
hieroglif berasal dari bahasa Yunani hieros ”suci” dan glyphein ”mengukir”. Bentuk tulisan paling pertama disebut piktograf; bentuk ini terdiri atas
gambar-gambar sebagai representasi objek. Piktograf bersifat begitu naluriah dan fungsional, sosok-sosok yang menunjukkan laki-laki dan
perempuan di kamar kecil dan tanda dilarang merokok dalam bangunan- bangunan publik hanyalah dua contoh lazim dari piktograf zaman modern
Marcel Danesi, 2010:154-155.
Perlahan-lahan budaya lisan berubah menjadi tulisan sehingga komunikasi yang tadinya tatap muka beralih ke pertukaran pesan
berbentuk simbol-simbol yang dapat dibaca oleh komunitas tertentu. Kini, budaya tulisan menampilkan kata-kata yang dapat dibaca, merupakan
cara yang paling baik dan esensial untuk mewariskan nilai budaya pada generasi berikutnya Liliweri, 2003:146.
Sebetulnya orang boleh berbicara panjang sekali dengan kata-kata. Tapi, kata-kata sebetulnya tidaklah bermakna apa-apa, kecuali kita sendiri
yang memaknainya. Hirsch mengungkapkan, ”Kata adalah kata, maknanya ambigu dan tidak persis” 2000:65 dalam Sobur, 2004:245. Ini
sejalan dengan dengan pendapat para ahli komunikasi bahwa makna kata sangat subjektif. Words don’t mean, people mean. Jadi, kata tidak teriring
mana, atau dari semula sudah memiliki makna. Manusialah yang memberikan makna pada kata-kata, tergantung dari cara mereka
memakainya. Manusialah yang memiliki makna-makna itu Sobur, 2004:245.
Teks merupakan salah satu fokus utama dari semiotik. Teks memiliki artian secara luas, baik secara verbal lisan dan tulisan maupun
yang non verbal. Karena dengan teks, suatu pesan dapat disampaikan penutur atau pengarang lewat suatu kode dan seterusnya kode itu harus
diuraikan oleh pendengar atau pembaca Segers dalam Halliday, 1992:6. Dalam pandangan semiotik, teks tidak dapat ditempatkan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan eksklusif. Keberadaan teks itu disertai dengan konteks. Konteks dan teks ini merupakan dua hal atau aspek dari proses
yang sama Halliday, 1992:6.
Teks merupakan bahasa yang berfungsi, artinya bahasa itu sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Misalnya sebuah
tulisan pada selembar kertas belum dapat dikatakan sebagai teks, apabila tulisan tersebut tidak sedang dibaca atau difungsikan Halliday, 1992:13.
Kata teks sendiri berasal dari bahasa latin, texere yang berarti ”tenunan; anyaman” sehingga teks adalah tenunan atau anyaman berbagai tanda-
tanda. Sesuatu dapat dikatakan sebagai teks apabila memenuhi standart
tekstualitas, yaitu kohesi, koherensi, situasional, dan intertekstualitas. Kohesi bersangkutan dengan syarat kepaduan gramatikal dan leksikal.
Kepaduan ini secara langsung akan berkaitan erat dengan koherensi, yakni keutuhan semantis makna Budiman, 2004:79.
Sementara itu yang dimaksud dengan situasionalitas merujuk pada konteks situasional yang menurut Deli Hymes 1974:53-62 mencakup
latar setting and scene – S, pserta participants – P, tujuan ends – E, topik dan perubahan topik act sequences – A, cara tutur keys – K,
sarana tutur instrumentalities – I, norma norms – N, serta jenis wacana genre – G, yang seluruhnya dapat diringkas menjadi akronim
SPEAKING. Di satu pihak, sebagai salah satu standar bagi tekstualitas, situasionalitas tentusaja lebih bersangkutan dengan teks lisan yang masih
sangat terikat kepada situasi tutur tertentu, sementara di pihak lain, teks tertulis pada umumnya tidak lagi terikat pada konteks situasionalnya
Budiman, 2004:82.
Sementara Kristeva 1980:15; Culler, 1982:139; dalam Budiman, 2004:87 mencoba membatasi intertektualitas dalam beberapa rumusan.
Pertama, intertektualitas adalah tersportasi dari satu atau beberapa sistem tanda kepada sistem tanda yang lain dengan disertai oleh sebuah
artikulasi baru. Kedua, sebuah teks adalah produktivitas, dia merupakan permutasi pergantian; pertukaran dari teks-teks lain, di dalam sebuah
teks terdapat ujaran-ujaran utterance yang berasal dari teks-teks laim
yang saling bersilangan dan dan saling menetralkan. Ketiga, Kristeva juga mengatakan bahwa ”setiap teks mengambil wujud sebagai suatu mosaik
kutipan-kutipan, setiap teks merupakan resapan dan trasformasi dari teks- teks lain”.
Dari sudut pandang semiotik, makna yang diciptakan oleh sistem sosial, dipertukarkan oleh para anggota suatu kebudayaan dalam bentuk
teks. Teks, seperti yang telah dikemukakan, adalah suatu contoh proses dan produk dari makna sosial dalam konteks situasi itu. Konteks situasi,
tempat teks iutu terbentang, didapatkan melalui suatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial lingkungan sosial di satu pihak,
dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak Halliday, 1992:16.
2.3 Semiotika Gambar