KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

(1)

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK

OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.),

SUWEG (Amorphallus campanullatus) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Oleh

VERAWATI HASAN

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Oleh

Verawati Hasan (1), Sussi Astuti (2), Susilawati (2)

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber). Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti suweg dan garut sebagai bahan baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisiko kimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri Universitas Lampung Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011. Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis umbi (garut, suweg dan singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total pati oyek dan tiwul singkong tertinggi (68.28% dan 77.28%) diikuti oyek dan tiwul garut (69.87% dan 71.46%), dan terendah oyek dan tiwul suweg (65.37% dan 70.80%) ; kadar amilosa oyek dan tiwul suweg tertinggi (26.29% dan 26.89%) diikuti oyek dan tiwul garut (22.13% dan 22.11%), dan terendah oyek dan tiwul singkong (15.81% dan 13.72% ; kadar amilopektin oyek dan tiwul singkong tertinggi (84.19% dan 85.28%) diikuti oyek dan tiwul garut (77.87% dan 77.89%) dan terendah oyek dan tiwul suweg ( 73.71% dan 73.91%) ; kadar serat pangan oyek dan tiwul suweg tertinggi (14.41% dan 15.17%) diikuti oyek dan tiwul garut (9.76% dan 15.17%) dan terendah oyek dan tiwul singkong (9.25% dan 9.98%) ; kadar pati resisten oyek garut 14.89%, tiwul garut 19.43%, oyek suweg 19.66%, tiwul suweg 20.04%, oyek singkong 7.20% dan tiwul singkong 7.64% ; daya cerna pati oyek dan tiwul suweg tertinggi (28.75% dan 26.67%), diikuti oyek dan tiwul garut (24.47% dan 19.43%) dan terendah oyek dan tiwul singkong (20.60% dan 18.87%).

Hasil pengukuran terhadap nilai Indeks Glikemik (IG) menunjukkan bahwa nilai IG oyek garut sebesar 41, oyek suweg sebesar 42, oyek singkong sebesar 30, sedangkan tiwul garut memiliki nilai IG sebesar 40, tiwul suweg sebesar 40 dan tiwul singkong sebesar 29. Oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong tergolong bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55).

Kata kunci : oyek, tiwul, umbi-umbian, sifat fisiko kimia, indeks glikemik

1. Alumni Fakultas Pertanian Program Studi Magister Teknologi Agroindustri 2. Dosen Fakultas Pertanian Program Studi Magister Teknologi Agroindustri


(3)

OYEK AND TIWUL FROM ARROWROOT TUBERS

(Marantha arundinaceae L.),SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) AND

CASSAVA (Manihot utillisima) By

Verawati Hasan (1), Sussi Astuti (2), Susilawati (2)

Many diagnostic studies have been conducted on some of the suspected food to have a low glycemic index and high fiber foods, related its functions as a functional food, including the type tubers. Tubers are believed to have functional properties because it has fiber (dietary fiber). Utilization of minor tubers like suweg and arrowroot is as a raw material of oyek and tiwul not yet widely applied.

This study is aimed aims to describe the physico-chemical properties and indices glycemic oyek and tiwul made from tubers of arrowroot, suweg and cassava. Research conducted at the Laboratory of Chemistry and Biochemistry Polytechnic University of Lampung, Laboratory of Biochemistry IPB and Processing Laboratory Agricultural SMKN 2 Metro, from April to August 2011. Research compiled factorial with two replications. The first factor is the type of roots (arrowroot, suweg and cassava) and the second factor is the type of processed (oyek and tiwul). Data processed is in a descriptive study by using the average value average and is presented in the form of bar charts.

The results showed that levels of total starch in cassava oyek and tiwul and higher (68.28% and 77.28%) than the levels of total starch in oyek and tiwul from arrowroot (69.87% and 71.46%) and oyek and tiwul from suweg (65.37% and 70.8%); levels of amylose oyek and tiwul from suweg are the highest (26.29% and 26.89%) followed by oyek and tiwul from arrowroot (22.13% and 22.11%) and the lowest oyek and tiwul from cassava (15.81% and 13.92%); levels of amylopectin in oyek and tiwul from cassava are the highest (84.19% and 85.28%) followed by oyek and tiwul arrowroot (77.87% and 77.89%) and lowest oyek and tiwul from suweg (73.71% and 73.91%); levels of fiber content oyek and tiwul from suweg are the highest (14.41% and 15.17%) followed by oyek and tiwul from arrowroot (9.76% and 15.17%) and lowest oyek and tiwul from cassava (9.25% and 9.98%); levels of resistant starch oyek from arowroot is 14.89%, oyek from suweg 19.66%, oyek from cassava 7.20%, tiwul from arrowroot 9.43%, tiwul from suweg 20.04% and tiwul from cassava 7.64%. The highest starch digestibility obtained in oyek and tiwul from suweg (28.75% and 26.67%), followed by oyek and tiwul from arrowroot (24.47% and 22.76%) and the lowest oyek and tiwul from cassava (20.60% and 18.87%).

The measurement results of the IG indicate that IG value of arrowroot oyek is 41, oyek from suweg 42, oyek from cassava 30, while tiwul arrowroot have glycemic index 40, tiwul suweg 40, and cassava 29. Oyek and tiwul from arrowroot, suweg and cassava classified as food that has an index glycemic (GI) low (<55).

Key words: oyek, tiwul, tubers, physico-chemical properties, the glycemic index

1. Alumnus of Agriculture Faculty Magister Technology Agroindustry University of Lampung

2. Lecture of Agriculture Faculty Magister Technology Agroindustry University of Lampung


(4)

Judul Tesis : KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae, L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI), DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Nama Mahasiswa : Verawati Hasan

Nomor Pokok Mahasiswa : 0924051009

Jurusan : Magister Teknologi Agroindustri

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. Ir. Susilawati, M.S.

NIP 19670824 199303 2 002 NIP. 19610806 198702 2 001

2. Ketua Program Studi Magister Teknologi Agroindustri

Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D.


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si.

Anggota : Ir. Susilawati, M.S.

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Ir .Subeki, M.Si., M.Sc.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001

3. Direktur Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. NIP. 196011091985031001


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. viii

DAFTAR GAMBAR……….. xi

I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang dan Masalah……….... 1

B. Tujuan Penelitian………..… 5

C. Kerangka Pemikiran……….… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA……….……….. 8

A. Pangan Fungsional……….………. 8

B. Garut (Marantha arundinaceae L.)…………..………... 10

C. Suweg (Amorphallus campanullatusBI)……….….. 12

D. Singkong (Manihot utillisima)……….…………... 14

E. Oyek………... 17

F. Tiwul………..……….. 18

G. Pati………..………. 21

H. Pati Resisten……….………... 22

I. Indeks Glikemik………..………. 23

III. BAHAN DAN METODE……… 26

A. Tempat dan Waktu Penelitian………..………... 26

B. Bahan dan Alat………... 26

C. Metode Penelitian………..……….. 27

D. Pelaksanaan Penelitian……….………... 26

1. Pembuatan Oyek………...………. 28

2. Pembuatan Tiwul……...……… 31

3. Metode Pengamatan…...……… 35


(7)

b. Kadar Abu... c. Kadar Protein... d. Kadar Lemak... e. Kadar Karbohidrat... f. Kadar Serat Kasar...

34

36

36

37

36

2. Analisis Fisikokimia………... a. Kadar Total Pati... b. Kadar Amilosa dan Amilopektin... c. Kadar Serat Pangan... d. Pati Resisten... e. Daya Cerna Pati... 38

38

39

40

42

43

3. Penentuan IG Oyek dan Tiwul………... 44

4. Beban Glikemik………... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 47

A. Analisis Proksimat……….………. 47

B. Analisis Sifat Fisikokimia Oyek dan Tiwul………..……….. 50

C. Indeks Glikemik………. 62

D. Beban Glikemik……….………. 71

V. SIMPULAN DAN SARAN………. 73

A. Simpulan….……… 73

B. Saran……….………... 74

DAFTAR PUSTAKA... 76


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. viii

DAFTAR GAMBAR……….. xi

I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang dan Masalah……….... 1

B. Tujuan Penelitian………..… 5

C. Kerangka Pemikiran……….… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA……….……….. 8

A. Pangan Fungsional……….………. 8

B. Garut (Marantha arundinaceae L.)…………..………... 10

C. Suweg (Amorphallus campanullatusBI)……….….. 12

D. Singkong (Manihot utillisima)……….…………... 14

E. Oyek………... 17

F. Tiwul………..……….. 18

G. Pati………..………. 21

H. Pati Resisten……….………... 22

I. Indeks Glikemik………..………. 23

III. BAHAN DAN METODE……… 26

A. Tempat dan Waktu Penelitian………..………... 26

B. Bahan dan Alat………... 26

C. Metode Penelitian………..……….. 27

D. Pelaksanaan Penelitian……….………... 26

1. Pembuatan Oyek………...………. 28

2. Pembuatan Tiwul……...……… 31


(9)

a. Kadar Air... b. Kadar Abu... c. Kadar Protein... d. Kadar Lemak... e. Kadar Karbohidrat... f. Kadar Serat Kasar...

35

34

36

36

37

36

4. Analisis Fisikokimia………... a. Kadar Total Pati... b. Kadar Amilosa dan Amilopektin... c. Kadar Serat Pangan... d. Pati Resisten... e. Daya Cerna Pati... 38

38

39

40

42

43

3. Penentuan IG Oyek dan Tiwul………... 44

4. Beban Glikemik………... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 47

A. Analisis Proksimat……….………. 47

B. Analisis Sifat Fisikokimia Oyek dan Tiwul………..……….. 50

C. Indeks Glikemik………. 62

D. Beban Glikemik……….………. 71

V. SIMPULAN DAN SARAN………. 73

A. Simpulan….……… 73

B. Saran……….………... 74

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. 2. 3. 4.

5. 6. 7.

Komposisi kimia kultivar Creole dan Banana umbi garut…………... Komposisi kimia dan kandungan gizi umbi suweg per 100g bahan……..

Kandungan gizi singkong dan produk turunannya……….

Rerata hasil analisis proksimat oyek dan tiwul garut, suweg dan

singkong………...

Rekapitulasi sifat fisikokimia berbagai jenis oyek dan tiwul………..

Hasil analisis karbohidrat dan jumlah sampel yang dikonsumsi………….

Hasil pengukuran indeks glikemik oyek dan tiwul dari berbagai umbi………...

12 14 15

47 50 64

66 8. Beban glikemik oyek dan tiwul dari berbagai umbi……….………. 72


(11)

Gambar Halaman

1. Struktur molekul pati………. 21 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21

Kurva perubahan glukosa darah……… Diagram alir pembuatan oyek garut……….. Diagram alir pembuatan oyek suweg………

Diagram alir pembuatan oyek singkong………

Diagram alir pembuatan tiwul garut……….. Diagram alir pembuatan tiwul suweg……… Diagram alir pembuatan tiwul singkong………...

Diagram batang kadar total pati berbagai jenis oyek………

Diagram batang kadar total pati berbagai jenis tiwul………

Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis oyek………. Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis tiwul……… Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis oyek………..

Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis tiwul………...

Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis oyek……….. Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis tiwul………. Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis oyek………..

Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis tiwul………

Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis oyek……… Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis tiwul………

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

oyek garut……….. 28 29 30 31 32 33 34 51 51 55 55 55 56 58 58 59 60 62 62 66


(12)

23.

24.

25.

26.

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

oyek singkong………..

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

tiwul garut………...

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

tiwul suweg………

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi tiwul singkong………..

67

67

67 68


(13)

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Pada abad modern ini, filosofi makan telah banyak mengalami pergeseran. Makan bukanlah sekedar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah manfaat makanan bagi kesehatan tubuh. Pangan diharapkan memberikan lebih dari sekedar zat gizi sebagai kebutuhan dasar tubuh dan pemuas sensori, tetapi dapat juga bersifat fungsional.

Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat memberikan manfaat tambahan disamping fungsi dasar pangan tersebut. Makanan atau pangan dikatakan bersifat fungsional bila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh kearah yang bersifat positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Diversifikasi atau penganekaragaman pangan fungsional sebaiknya dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Nenek moyang bangsa Indonesia telah secara turun temurun dalam menyeleksi sumberdaya hayati


(15)

(pangan tradisional) yang mereka yakini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.

Menurut Ardiansyah (2008), pangan tradisional adalah makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa yang khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Pangan tradisional meliputi berbagai jenis bahan pangan seperti: bahan nabati (kacang-kacangan, sayuran hijau, umbi-umbian dan buah-buahan), hewani (kerang, ikan, unggas), dan rempah-rempah (jahe, kunyit, ketumbar, salam, sirih, dan lain-lain).

Pangan tradisional yang sangat populer bagi masyarakat pedesaan di Indonesia adalah oyek dan tiwul. Oyek dan tiwul pada umumnya dibuat dari singkong dan dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan yang kurang mampu atau pada saat musim paceklik sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Selain harga yang relatif lebih murah dibanding beras, oyek dan tiwul (singkong) diyakini masyarakat sebagai pangan tradisional yang memberi efek menguntungkan terhadap kesehatan.

Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg sebagai bahan baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan. Sebagai pengganti beras, oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Dari berbagai umbi-umbian minor yang diteliti ternyata umbi garut kukus memiliki indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar 14 (Marsono, 2002) dan umbi suweg kukus memiliki indeks glikemik sebesar 42 (Faridah, 2005). Kimpul, gembili, ganyong, dan ubi jalar memiliki indeks glikemik sebesar 95, 90, 105, 179 (Marsono, 2002).


(16)

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional. Dengan nilai IG umbi garut dan suweg kukus yang rendah, umbi garut dan suweg memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan terkait dengan nilai IG-nya.

Pangan dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional karena potensinya sebagai pengganti makanan pokok beras bagi penderita diabetes mellitus yang kian hari semakin meningkat di Indonesia. Menurut datan WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus di dunia. Pada tahun 2000, terdapat sekitar 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, 50% penderita sadar telah mengidap diabetes dan diantara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur (Anonim, 2010). Peningkatan penderita diabetes ini dapat terjadi karena peningkatan kesejahteraan dan ketersediaan pangan serta pola konsumsi yang tidak benar.

Salah satu upaya untuk pencegahan penyakit diabetes adalah dengan pengaturan pola konsumsi yang benar dan pemilihan makanan yang tepat. Menurut Shin et al (2003) pendekatan pemilahan dan pengaturan makanan menjadi cara yang masuk akal untuk mencegah penyakit tersebut. Pemilahan pangan adalah salah satu cara


(17)

merubah pola makan yang kurang baik menjadi lebih baik. Cara memilih pangan yang tepat diantaranya dengan memakan makanan yang banyak mengandung pati resisten. Bahan makanan yang banyak mengandung pati resisten banyak ditemukan pada akar umbi, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Konsumsi makanan berkadar karbohidrat tinggi seperti nasi dan makanan yang terbuat dari gandum lainnya ada baiknya dibatasi bagi para penderita diabetes. Sebagai gantinya dapat diberikan makanan yang memiliki pati resisten dan berindeks glikemik yang rendah seperti garut dan suweg. Pemanfaatan garut dan suweg yang dibuat menjadi oyek dan tiwul diharapkan dapat menjadi salah satu pangan fungsional khususnya bagi penderita diabetes.

Para ahli telah mempelajari faktor-faktor penyebab perbedaan IG antara pangan yang satu dengan lain. Menurut Sarwono (2002), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IG bahan pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar serat, dan anti gizi. Haliza (2006) menyatakan bahwa pengolahan mengakibatkan perubahan terhadap kandungan pati di dalam pangan menjadi sulit dicerna. Oleh karena itu diperlukan penelitian terhadap sifat fisikokimia dan IG oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong. Apabila dari hasil penelitian terbukti oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong memiliki IG rendah, maka sebagai pangan tradisional dapat direkomendasikan menjadi pangan fungsional bagi penderita diabetes.


(18)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong.

C. Kerangka Pemikiran

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber) yang cukup tinggi dan dapat dijadikan sebagai salah satu pangan fungsional.

Makanan modern pada saat ini kebanyakan mengandung pati yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan yang menyebabkan sulit untuk dicerna (Haliza, 2006). Kecenderungan pola konsumsi yang tidak benar dan kenaikan kesejahteraan masyarakat serta ketersediaan berbagai makanan menyebabkan kenaikan prevalensi penyakit diabetes di Indonesia. Menurut data WHO Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes di dunia. Pada tahun 2000 terdapat 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Minimnya informasi tentang gejala diabetes, pencegahannya dan pola konsumsi yang tidak benar di masyarakat menyebabkan kecenderungan penderita penyakit ini kian meningkat di tahun-tahun mendatang.

Diversifikasi pangan fungsional terutama yang terbuat dari umbi-umbian perlu dilakukan sedini mungkin. Keanekaragaman hayati di Indonesia yang berlimpah termasuk umbi-umbian minor seperti garut, gembili, kimpul, sukun, suweg, talas,


(19)

ganyong dan lain-lain, masih memiliki potensi yang besar untuk digali manfaatnya bagi kepentingan masyarakat.

Oyek dan tiwul merupakan salah satu makanan yang cukup populer dikalangan masyarakat kelas bawah, terutama dikonsumsi pada saat paceklik. Pola konsumtif masyarakat yang membeli makanan hanya semata-mata berdasarkan atas pertimbangan selera dan prestise, bukan untuk pencapaian tingkat kesehatan yang optimal, membuat oyek tidak banyak dilirik oleh kalangan atas, sehingga oyek lebih dikenal atau identik sebagai pangan masyarakat kelas bawah.

Oyek dan tiwul yang dikenal di masyarakat biasanya terbuat dari ubi kayu padahal tidak menutup kemungkinan bagi umbi-umbian lain yang memiliki sifat fungsional untuk dibuat sebagai oyek. Beberapa penelitian difokuskan untuk meneliti indeks glikemik umbi-umbian minor, salah satunya adalah garut yang ternyata memiliki indeks glikemik yang rendah. Menurut Marsono (2002) umbi garut kukus memiliki indeks glikemik sebesar 14, sedangkan Faridah (2005) menyatakan bahwa umbi suweg kukus memiliki IG sebesar 42. Kedua umbi tersebut tergolong bahan pangan yang memiliki IG rendah.

Berdasarkan nilai IG-nya, pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG < 55, pangan IG sedang dengan rentang nilai IG 55 – 70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG > 70. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004).


(20)

Dibandingkan dengan umbi kukus, oyek dan tiwul lebih mewakili sebagai pangan pokok pengganti beras, bagi penderita diabetes. Namun pemanfaatan umbi-umbian minor seperti umbi garut dan umbi suweg sebagai bahan baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan, dan sejauh ini belum ada informasi hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sifat fisikokimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong terkait fungsinya sebagai pangan fungsional.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pangan Fungsional

Menurut Astawan (2009), fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, bobot tubuh dan aktivitas fisik. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah

fungsi primer. Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder, yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik Seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga semakin bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tersier.

Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu: (1) sensori (warna dan penampilan yang menarik dan cita rasa yang enak), (2) nutritional (bernilai gizi tinggi), dan (3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari


(22)

pangan fungsional antara lain adalah: (1) pencegahan dari timbulnya penyakit, (2) meningkatnya daya tahan tubuh, (3) regulasi kondisi ritme fisik tubuh, (4) memperlambat proses penuaan, dan (5) menyehatkan kembali (recovery).

Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan alami, (2) dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, dan dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung didalamnya.

Pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi- fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi layaknya makanan atau minuman, serta mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen (Anonim, 2007).


(23)

Menurut Ardiansyah (2008), kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis- jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan kesehatan dan pengobatan.

Sebagian besar zat-zat bioaktif dalam bahan pangan tersebut juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai produk pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa datang kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional yang diproduksi di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari negara kita, atau diproduksi dengan lisensi dari negara lain sedangkan komponen bioaktifnya berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.

Dalam rangka pengembangan pangan tradisional dengan peningkatan mutu dan keamanannya harus tetap mengacu pada food habbit atau kebiasaan makan, dengan cara; (1) setiap masukan hal-hal baru akan mudah diterima apabila ada kesamaan dengan ciri yang telah ada dan (2) atribut yang menjadi ciri pangan tradisional sebaiknya tetap dipertahankan.

B. Garut (Marantha arundinaceae L.)

Garut (Marantha arundinaceae L.) merupakan sumber karbohidrat lokal yang belum banyak termanfaatkan. Selain memiliki banyak manfaat, garut juga mudah ditanam. Tanaman yang kini nyaris terlupakan di tengah gaya dan pola makan kita ini mengandung karbohidrat dan zat besi lebih tinggi dibandingkan tepung terigu dan beras giling. Sementara itu, kandungan lemaknya lebih rendah dari


(24)

terigu dan beras, serta kandungan kalori tepung garut pun hampir setara dengan beras dan terigu (Anonim, 2007).

Garut, irut, harut atau patat sagu merupakan salah satu anggota dari suku

Marantaceae. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan dikenal dengan nama Marantha arundinaceae L. Tanaman ini tumbuh tegak dengan tinggi 60 – 80 cm, batang sejatinya terdapat dalam tanah, berbentuk kumparan menebal ke arah puncak.

Daunnya berbentuk bundar telur hingga lanset bundar telur, berwarna hijau berbecak putih (Anonim, 2007). Umbinya berwarna putih ditutupi dengan kulit yang bersisik berwarna coklat muda, berbentuk silinder. Tanaman ini berasal dari Amerika khususnya daerah tropik, kemudian menyebar ke Negara-negara tropik lainnya seperti Indonesia, India, Sri Lanka dan Philipina. Jenis tanaman ubi-ubian ini tumbuh pada ketinggian 0 – 900 m dpl, dan tumbuh baik pada ketinggian 60 – 90 m dpl. Tanah yang lembab dan di tempat-tempat yang terlindung merupakan habitat yang terbaik (Sastapraja et al., 1977).

Menurut Kay (1973), garut atau arrowroot memiliki dua kultivar utama yaitu

creole dan banana. Kultivar creole memiliki rhizoma yang kecil memanjang, dengan susunan menyebar di sekitar batang dan terpenetrasi lebih dalam ke dalam tanah, sedangkan kultivar banana berumbi pendek tebal, sedikit memiliki serat, dan rhizomanya terbentuk lebih dekat ke permukaan tanah. Kedua kultivar ini memiliki komposisi kimia yang tidak jauh berbeda. Komposisi kimia kedua kultivar garut dapat dilihat pada Tabel 1.


(25)

Tabel 1. Komposisi kimia kultivar creole dan banana umbi garut per 100 g bahan No Komposisi kimia Creole Banana

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Air ( g) Abu (g) Lemak (g) Serat (g)

Protein kasar (g) Pati (g)

69,1 1,4 0,1 1,3 1,0 21,3

72,0 1,3 0,1 0,6 2,2 19,4 Sumber : Lingga et al. (1991)

Perbanyakan tanaman garut dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari rimpang yang bertunas. Tanaman ini biasanya ditanam pada permulaan musim hujan sesudah tanah digemburkan lebih dahulu. Selama pertumbuhan, tanah sekali-kali perlu digemburkan. Umbi dapat dipanen pada umur 10 – 11 bulan, bila daun-daunnya mulai melayu. Tepung garut mempunyai prospek yang baik dalam mensubtitusi atau menggantikan tepung terigu karena mempunyai sifat yang mendekati sifat tepung terigu, serta memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan tepung terigu maupun beras giling.

Dengan karakteristik yang lebih mendekati tepung terigu tersebut, sesungguhnya tepung garut dapat dipergunakan sebagai alternatif untuk pengganti terigu dalam penggunaan bahan baku kue, mie, roti kering maupun bubur bayi, makanan diet pengganti nasi.

C. Suweg (Amorphophallus campanullatus)

Suweg adalah salah satu jenis marga Amorphophallus yang termasuk kedalam suku talas-talasan (Araceae). Suweg berasal dari daerah Asia tropik dan Afrika kemudian menyebar sampai ke Indonesia (daerah Jawa), Filipina, dan Kepulauan


(26)

Pasifik (Kriswidarti, 1980). Di Indonesia sebagian kecil saja penduduk yang mengenal dan menanam suweg. Tanaman suweg umumnya tumbuh liar di hutan, dan belum ada usaha untuk membudidayakannya secara besar-besaran, meskipun suweg memiliki potensi besar sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi (Lingga et al., 2003).

Tanaman marga Amorphophallus mempunyai 90 jenis (Kay, 1973). Di Indonesia jenis yang banyak dijumpai adalah Amorphophallus campanulatus BI sedangkan di Jepang, jenis suweg yang sudah diusahakan besar-besaran adalah Amorphallus conjac dengan kandungan pati cukup tinggi (Kriswidarti, 1980).

Ada dua varietas Amorphophallus campanulatus yaitu varietas cyvestris yang berbatang besar, berwarna agak gelap, umbinya sangat gatal dan varietas hortensis

yang berbatang lebih halus dan umbinya tidak begitu gatal (Kriswidarti, 1980).

Amorphophallus campanulatus varietas hortensis banyak ditanam rakyat sebagai pangan karena umbinya banyak mengandung pati. Sedangkan Amorphophallus campanulatus varietas cylvestris belum dimanfaatkan oleh penduduk dan masih merupakan tumbuhan liar (Rosman dan Rusli, 1991). Hal lain yang juga membedakan kedua varietas tersebut adalah halus kasarnya bintil-bintil pada tangkai daun yang berwarna belang-belang. Bintil pada varietas cylvestris jika diraba terasa lebih kasar dan tajam (Lingga et al., 1991).

Suweg mempunyai bentuk umbi setengah bulat dengan diameter antara 10-25 cm. Umbi ini mengandung kristal oksalat yang menyebabkan rasa gatal bila dimakan (Purseglove, 1975). Menurut Bradburry (1988) dari 100 gr umbi suweg


(27)

(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382 mg. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat dilakukan perendaman. Perendaman umbi yang paling baik adalah dengan menggunakan air bersih dengan lama perendaman 12 jam asam oksalat akan larut dan terbebas keluar (Drajat, 1987).

Umbi suweg mengandung banyak mengandung karbohidrat. Menurut Rosman et al., (1994), komponen karbohidrat yang paling utama adalah pati. Selain mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, umbi suweg juga mengandung komposisi gizi lain seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia dan kandungan gizi umbi suweg per 100 g bahan Komposisi Jumlah

I II III

Energi (Kj) - 336 420

Air (%) 71,82 77,8 75-79

Protein (g) - 2,24 1,5

Lemak (g) - 0,06 0,4-2

Pati (g) 23,26 16,6 18

Abu (g) 0,54 1,36 -

Serat (g) - 1,45 0,6

Kalsium (mg) - - 50

Fosfor (mg) - 67 20

Besi (mg) - 0,51 0,6

Vitamin A (IU) - - 434

Vitamin B1 (mg) - - -

Vitamin C (mg) - - -

Sumber : I) Drajat (1987) II) Bradburyy (1988) III) Yuzammi (1998)

D. Singkong (Manihot utilisima)

Singkong atau ubi kayu atau ketela pohon merupakan tiga nama yang berbeda dengan makna yang sama. Tanaman ini berasal Brazil yang akhirnya menyebar


(28)

ke berbagai belahan dunia. Singkong merupakan tanaman rakyat yang banyak berperan sebagai sumber pangan penduduk di daerah rawan pangan. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil singkong di dunia. Sebagai sumber pangan nilai utama singkong adalah nilai kalorinya yang tinggi. Kandungan gizi singkong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan gizi singkong dan produk turunannya per 100 g bahan

No. Kandungan Gizi Singkong Gaplek Tepung Tapioka 1. Kalori (Kal) 146 338 363

2. Protein (g) 1,2 1,5 1,1 3. Lemak (g) 0,3 0,7 0,5 4. Karbohidrat (g) 34,7 81,3 88,2 5. Zat kapur (mg) 33 80 84 6. Phospor (mg) 40 60 125 7. Zat besi (mg) 0,7 1,9 1,0 8. Vitamin A (S.I) 0 0 0 9. Thiamin (mg) 20 0 0,4 10. Vitamin C (mg) 38 0 0 Sumber : Lingga et al. (1991)

Menurut Lingga et al., (1991), singkong memiliki banyak varietas yang tersebar dan dikenal di masyarakat diantaranya adalah:

a. Aipin mangi

Varietas ini berasal dari Brazil, tidak beracun, umbi memanjang, rasa manis. b. Aipin valenca

Varietas ini juga berasal dari Brazil, aman dikonsumsi, rasa manis, dan bentuk umbi agak gemuk.

c. Mandioca basiorao


(29)

d. Mandioca Sao Pedro Preto (SPP)

Berasal dari Brazil, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit dan mengandung racun.

e. Bogor

Berasal dari Bogor, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit meskipun telah dimasak dan mengandung racun.

f. Muara

Varietas ini merupakan hasil persilangan dari jenis Bogor, umbi besar, bertangkai pendek dan beracun.

g. Betawi

Varietas Betawi juga berasal dari Bogor dan merupakan hasil persilangan antara Malaka dan Basiorao. Umbi besar tidak bertangkai, dan aman untuk dikonsumsi.

Selain varietas-varietas tersebut diatas, terdapat beberapa varietas lain diantaranya

Trapecum itaparica, Tapicuru, Criolincha, Pucuk biru, Pengkang, 802, Mentega,

W 236, Sulingen, Iding dan lain-lain.

Menurut Anwar (2009), singkong yang baik dipergunakan dalam pembuatan oyek dan tiwul adalah singkong putih dan singkong kuning dari jenis singkong manis yang mempunyai kandungan HCN (sianida) rendah. Sianida atau racun pada singkong dapat hilang setelah pencucian, perendaman, pemasakan, serta pengeringan selama proses produksi oyek atau beras-singkong.


(30)

E. Oyek

Oyek merupakan nama tradisional yang digunakan untuk menyebut hasil olahan dari ubi kayu yang berbentuk butiran-butiran. Nama ilmiahnya adalah beras-singkong atau cassava rice, yang dapat digunakan sebagai beras simulasi pengganti bahan makanan pokok yang keseluruhan bahan bakunya berasal dari singkong. Beras-singkong sangat populer di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga pada sebagian masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung.

Menurut Anwar (2009) teknologi pembuatan beras-singkong secara tradisional hampir sama untuk semua wilayah, baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan atau dari Filipina. Singkong direndam beberapa hari, kemudian dicuci sampai bersih untuk menghilangkan bau dan kotoran, selanjutnya dibuat tepung dan dikeringkan. Untuk membuat butiran seperti beras tepung dipercikkan air, dibuat butiran kecil, kemudian dikukus dan dikeringkan.

Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan panas matahari. Beras-singkong ini dapat disimpan cukup lama apabila pengeringan cukup sempurna atau kadar airnya cukup rendah.

Alternatif cara lain, singkong yang telah direndam setelah dicuci bersih langsung dihancurkan dan dibuat butiran seperti beras tanpa terlebih dahulu dibuat tepung. Butiran yang terbentuk dikukus dan dikeringkan. Masalah yang sering timbul dalam pembuatan beras-singkong adalah pengeringan yang tidak sempurna, sehingga sering produknya ditumbuhi jamur dan bau yang kurang sedap. Bau yang kurang sedap juga timbul karena perendaman yang terlalu lama dan


(31)

pencucian yang kurang sempurna. Keadaan inilah yang diduga sebagai penyebab beras-singkong yang dibuat secara tradisional dengan nama oyek menjadi kurang diminati.

Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras-singkong semi-instan sama dengan teknologi pembuatan beras instan dengan sedikit modifikasi. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan dalam pembuatan beras-singkong semi-instan, yaitu perendaman, pengukusan, dan pengeringan.

Perendaman dan pemasakan ditujukan agar terjadi gelatinasi dan pengembangan granula pati. Pati yang mengalami gelatinasi setelah dikeringkan molekulnya dapat lebih mudah menyerap air kembali dalam jumlah besar karena perendaman dengan larutan soda kue atau dengan larutan perendaman meta fosfat menjadikan tekstur produk semi-instan lebih porous. Struktur pati yang porous setelah pengeringan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras-singkong semi-instan pada waktu rehidrasi. Sifat inilah yang digunakan dalam pembuatan pangan instan. Diharapkan dengan menggunakan teknologi semi-instan ini tidak menjadikan beras-singkong kurang diminati lagi (Anwar, 2009).

F. Tiwul

Tiwul adalah makanan pokok pengganti beras yang biasanya terbuat dari singkong, yang merupakan makanan khas masyarakat Gunung Kidul (Mita, 2009). Singkong yang dipergunakan dalam pembuatan gaplek adalah singkong yang tidak beracun sehingga aman untuk dikonsumsi. Racun pada singkong sebenarnya dapat dihilangkan dengan proses perendaman dan pemanasan. Proses


(32)

pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat menghindarkan masyarakat yang mengkonsumsi tiwul dari bahaya keracunan sianida.

Perbedaan yang utama dalam pembuatan tiwul dengan oyek adalah pada proses pengolahannya. Dalam pembuatan tiwul didahului proses pembuatan gaplek terlebih dahulu.

Secara tradisional, gaplek yang akan diolah menjadi tiwul harus ditepungkan dengan cara ditumbuk. Alat penumbuknya berupa lumpang dan alu, yang juga merupakan alat penumbuk padi, jagung, serta produk pertanian lainnya. Lumpang biasanya terbuat dari kayu atau batu. Bentuknya segi empat berukuran sekitar 80 cm x 0,70 cm x 60 cm, dengan lubang di bagian tengahnya berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 30 cm. Kedalaman lubang sekitar 30 cm, dengan diameter yang makin mengecil. Alunya sendiri berupa kayu yang berat dan keras berdiameter 10 cm, panjang 2 m, dengan pegangan di bagian tengahnya yang dibuat mengecil.

Gaplek yang telah ditumbuk, akan diayak dengan menggunakan tampah. Tampah adalah anyaman bambu yang rapat dan halus, dipotong menjadi lingkaran yang berdiameter 70 cm. Proses pengayakan tepung gaplek dengan menggunakan tampah, serta memerlukan keterampilan tinggi. Mula-mula gaplek yang sudah ditumbuk diletakkan dalam tampah. Tampah digoyang melingkar berulangkali hingga gaplek kasar mengumpul di bagian tengah yang kemudian diambil untuk ditumbuk ulang. Tampah digetarkan naik turun dengan sangat cepat, hingga tepung gaplek terkumpul di bawah dan bergerak ke arah belakang. Sementara butiran yang masih kasar berada di atas dan bergerak ke depan yang kemudian


(33)

ditumpahkan ke wadah lain untuk ditumbuk ulang. Proses ini dilakukan terus-menerus sampai diperoleh tepung gaplek halus. Selanjutnya, tepung gaplek halus ini diberi air sampai menggumpal dan kembali dihancurkan secara manual dengan tangan. Proses ini tetap dilakukan dalam tampah. Untuk memperoleh adonan berupa butiran yang akan menjadi tiwul, dilakukan proses pemutaran. Tepung yang masih berupa butiran agak kasar dihancurkan dengan tangan hingga seluruh tepung menjadi partikel halus yang siap ditanak (dikukus). Bila ingin disimpan dalam waktu lama setelah proses pengukusan tiwul basah dapat dilkeringkan sehingga dapat memperpanjang masa simpannya. Pada saat akan memasaknya tiwul kering terlebih dahulu dilakukan perendaman untuk mempercepat proses pengukusan.

Tepung gaplek kualitas baik berwarna putih bersih dan beraroma harum khas gaplek. Tepung kualitas kurang baik berwarna agak cokelat atau abu-abu. Warna cokelat diakibatkan oleh adanya partikel tanah liat karena setelah dikupas, singkong tidak dicuci. Warna abu-abu disebabkan oleh adanya kapang karena proses penjemuran tidak sempurna. Setelah dimasak menjadi tiwul, warna tepung gaplek yang putih itu akan menjadi cokelat muda cerah agak kekuningan.

Aromanya harum. Teksturnya mirip kue apem tetapi lebih remah. Rasa tiwul kualitas baik agak manis akibat sebagian karbohidrat dalam pati singkong terfermentasi menjadi gula pada proses pembuatan gaplek maupun penepungan (Anonim, 2010)

Tiwul sebagai makanan pokok, memiliki kandungan kalori lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul


(34)

dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang (Anonim, 2010).

G. Pati

Pati yang merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan, adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al., 2006). Pati merupakan polisakarida yang tidak mempunyai rasa manis, dan merupakan jenis karbohidrat yang paling sering digunakan sebagai sumber energi dalam bentuk makanan pokok serta dalam bentuk makanan lain (Hodge and Osman, 1976). Struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul pati Sumber : Anonim (2009)

Pada umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena tersusun atas tiga komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan material lain seperti lemak dan protein (Banks et al., 1975). Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringent yang unik. Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah


(35)

mikroskop terlihat kristal gelap dan terang, inilah yang disebut sifat birefringent. Granula pati yang telah menyerap air, apabila dipanaskan akan mengalami pembengkakan yang pada suhu tertentu bersifat irreversibel.

Perubahan ini disebut proses gelatinisasi, dan suhu saat terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi yang berbeda-beda pada setiap jenis pati. Pada saat tergelatinisasi, sifat birefringent pati akan hilang. Pati tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, proses ini disebut retrogradasi (BeMiller and Whistler, 1996).

H. Pati Resisten

Menurut EURESTA (European FLAIR-Concerted Action on the 'Physiological implication of the consumption of resistant starch in man') definisi pati resisten adalah jumlah keseluruhan dari pati dan produk hasil degradasi pati yang tidak terserap dalam usus halus pada individu yang sehat (Anonim, 2010). Definisi lain menyatakan pati resisten sebagai fraksi kecil dari pati yang resisten terhadap proses hidrolisis oleh α-amilase dan pullulanase pada perlakuan in vitro. Setelah diinkubasi selama 120 menit (Englyst et al., 1992).

Menurut Brown et al. (1995) ada tiga jenis pati resisten (RS1, RS2, dan RS3) dapat ditemui secara alami di bahan pangan ataupun juga terbentuk sebagai bagian dari proses normal pemasakan. Croghan (2002) menyatakan bahwa pati tahan cerna dikelompokkan dalam empat tipe yaitu: (1) pati tahan cerna tipe 1 adalah kelompok pati yang terperangkap di dalam sel tanaman, misalnya pada kacang-kacangan dan serealia, (2) pati tahan cerna tipe 2 adalah granula pati mentah


(36)

sehingga sulit untuk dihidrolisis, contohnya umbi-umbian mentah seperti pati kentang, jagung dan pisang, (3) pati tahan cerna tipe 3 berupa pati retrogradasi atau pati dalam bentuk kristal, yang terdapat pada cornflakes, kentang matang yang didinginkan (4) pati tahan cerna tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara kimia (Tovar et al., 1999).

I. Indeks Glikemik

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan (Sarwono, 2002; Rimbawan dan Siagian, 2004).

Indeks glikemik ditemukan pada awal tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan penanganan yang paling baik bagi penderita DM. Pada masa itu diet pada penderita DM didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar gula darah. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah, sehingga melepaskan glukosa dengan lambat ke dalam darah. Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan


(37)

digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan yang diuji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et al., 1990). Sebagai pangan acuan digunakan glukosa murni atau roti tawar yang dianggap memiliki IG 100.

Kategori pangan menurut rentang IG yaitu : (1) IG rendah, rentang IG < 55 (2) IG sedang, rentang IG 55 – 70, (3) IG tinggi, rentang IG > 70. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Penderita penyakit diabetes dianjurkan memilih pangan yang ber-IG rendah, sebab pangan tersebut tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis (Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG pangan berguna bagi penderita gangguan metabolisme glukosa seperti penderita diabetes dalam memilih jenis makanan yang tepat untuk dapat mengontrol kadar glukosa darah, dan bagi populasi umum untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut (El, 1999). Nilai IG sejumlah pangan


(38)

telah ditentukan dan disajikan dalam bentuk tabel umum. Akan tetapi terdapat kemungkinan perbedaan nilai IG untuk jenis pangan yang sama antara dua daerah yang berbeda akibat perbedaan faktor tumbuh bahan pangan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya IG pangan adalah proses pengolahan, ukuran partikel dan tingkat gelatinisasi, perbandingan amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Nilai IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi gula darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar gula darah. Oleh karena itu, dikembangkan pula konsep yang dapat mengoreksi kelemahan dari IG, yaitu dengan menentukan nilai beban glikemik (BG). Nilai BG diperoleh dengan mengalikan nilai IG pangan dengan kadar karbohidratnya. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004).


(39)

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri Universitas Lampung, Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011.

B. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan oyek dan tiwul adalah umbi garut varietas creole, suweg (Amorphallus champanulatus BI) dan singkong (Manihot uttilisima) yang telah siap panen, diperoleh dari petani di Ganjar Asri Metro. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah K2SO4, NaOH, Na2S2O3, H3BO3, HCl, enzim α amylase (termamyl), enzim amiloglukosidase, fenol 5%, glukosa anhidrat, petroleum eter, buffer natrium fosfat, HCl, heksana, H2SO4, indikator metil merah-metil biru, KI, I2, asam asetat, glukosa murni, pepsin, glukosa anhidrat, amilosa murni, larutan DNS, dan larutan maltosa murni.

Alat-alat yang dipergunakan diantaranya adalah: slicer, pisau, parut, hammer mill, loyang, oven, tanur, neraca analitik, desikator, soxhlet, labu kjeldahl, glukometer,


(40)

vortexs, pH-meter, pipet volumetric, erlenmeyer, cawan porselen, gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, kapas bebas lemak, kertas saring Whatman 40, kertas lakmus, penangas air, alumunium foil, sentrifus dan spektrofotometer.

C. Metode Penelitian

Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis umbi (garut, suweg, singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang.

D. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian diawali dengan pembuatan oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong, kemudian dilakukan analisis proksimat (kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar karbohidrat dan serat kasar) dan analisis fisikokimia (kadar total pati, amilosa, amilopektin, serat pangan, daya cerna pati dan pati resisten ) terhadap oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong.

Penentuan indeks glikemik dan beban indeks glikemik oyek umbi garut, suweg, dan singkong menggunakan glukosa murni sebagai standar. Uji indeks glikemik (IG) dilakukan dengan menggunakan manusia sebagai objek penelitian. Sukarelawan yang berpartisipasi berjumlah 10 orang, yang telah lolos seleksi. Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan untuk penentuan IG adalah sehat, non- diabetes, memiliki kadar glukosa puasa normal (70-120 mg/dl) dan memiliki nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kisaran normal 18.5-25 Kg/m2.


(41)

Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa (kecuali air putih selama 10 jam pada malam hari. Pada setiap pengambilan darah yang telah ditetapkan, sampel darah sukarelawan diambil sebanyak 0,5 µL. Pengambilan sampel darah relawan dilakukan setiap selang 30 menit sekali yaitu 0 menit (kadar gula darah puasa), serta 30 menit, 90 menit, dan 120 menit setelah mengkonsumsi oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong.

Nilai kadar gula darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x sebagai waktu pengukuran dan sumbu y sebagai kadar gula darah (Gambar 2). Indeks glikemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai standar (Haliza dkk., 2006). Nilai indeks glikemik akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang sukarelawan tersebut.

-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60

0 30 60 90 120

waktu (menit)

P

e

ruba

ha

n

k

a

da

r

gl

uk

os

a

da

ra

h

(m

g/

dl

)

Glukosa Oyek Garut

Gambar 2. Contoh kurva perubahan glukosa darah

1. Pembuatan Oyek

Oyek dibuat dengan beberapa tahapan yaitu pencucian, pemarutan, pemerasan, pembentukan butiran dan pengukusan selama 10 menit. Setelah pengukusan oyek dapat langsung dikonsumsi, tetapi bila akan disimpan maka oyek dapat


(42)

dikeringkan kembali. Proses pembuatan oyek garut disajikan pada Gambar 3, oyek suweg pada Gambar 4, sedangkan oyek singkong pada Gambar 5.

a. Pembuatan Oyek Garut

Gambar 3. Diagram alir pembuatan oyek garut

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pencucian

Pemarutan

Pemerasan

Ampas

Filtrat Umbi Garut (1 kg)

Pengukusan (10 menit)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Oyek Garut Kering ( 300 gr)


(43)

b. Pembuatan Oyek Suweg

Gambar 4. Diagram alir pembuatan oyek suweg

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pengupasan

Pencucian

Pemotongan (3-4 cm)

Perendaman dalam air (12 jam) Suweg (1 kg)

Pemerasan

Ampas

Pembentukan butiran ( diameter = 2-3 mm)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Oyek Suweg (325 gr) Pengukusan (10 menit)

Filtrat Penghancuran


(44)

c. Pembuatan Oyek Singkong

Gambar 5. Diagram alir pembuatan oyek singkong

Sumber : Sukarti , 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

2. PembuatanTiwul

Tiwul dibuat dengan beberapa tahapan, yaitu pencucian, pengupasan, pengecilan ukuran (pengirisan), pengeringan dengan sinar matahari, penumbukan,pengayakan dengan menggunakan ayakan 60 mesh, pembentukan butiran, dan pengukusan.

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan ( 10 menit)

Oyek Singkong (350 gr) Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Perendaman (5 hari)

Pemerasan Pengupasan

Ampas Singkong (1 kg)


(45)

Jika akan disimpan dalam waktu yang lama tiwul dapat dikeringkan kembali. Proses pembuatan tiwul garut disajikan pada Gambar 6, tiwul suweg pada Gambar 7 sedangkan tiwul singkong disajikan pada Gambar 8.

a. Pembuatan Tiwul Garut

Gambar 6. Diagram alir pembuatan tiwul garut

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pengayakan (60 mesh) Pencucian

Pengukusan ( 10 menit)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Tiwul Garut (350 gr)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm) Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari )

Gaplek

Penggilingan Umbi Garut (1 kg)


(46)

b. Pembuatan Tiwul Suweg

Gambar 7. Diagram alir pembuatan tiwul suweg

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Perendaman dalam air (12 jam)

Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari) Pencucian

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Tiwul Suweg (350 gr)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan (10 menit) Pengayakan (60 mesh)

Penggilingan Pengupasan Umbi Suweg (1 kg)

Gaplek Pengupasan Umbi Suweg (1 kg)


(47)

c. Pembuatan Tiwul Singkong

Gambar 8. Diagram alir pembuatan tiwul singkong

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Penggilingan

Pengayakan (60 mesh)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan (10 menit) Pengupasan

Pencucian

Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari ) Singkong (1 kg)

Tiwul Singkong (350 gr) Gaplek


(48)

E. Metode Pengamatan

Uji proksimat meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat by different (AOAC, 1995), dilakukan terhadap sampel oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Analisis sifat fisiko kimia oyek dan tiwul meliputi kadar total pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar serat pangan metode enzimatis, pati resisten, dan daya cerna pati. Pengukuran indeks glikemik terhadap sampel oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong dilakukan oleh 10 relawan dengan menggunakan glukometer.

1. Analisis Proksimat

a. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.

Kadar air (%) = (berat awal-berat akhir) x 100 % berat akhir

b. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel dimasukkan dalam cawan


(49)

porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur bersuhu 550oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu (%) = berat abu x 100 % berat sampel

c. Kadar Protein, Metode Semi Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Ditimbang sejumlah kecil sampel (0.2 g) dalam labu kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan didinginkan, ditambah 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator metil merah. Ujung selang kondensor harus terendam larutan untuk menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Distilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (tanpa sampel). Jumlah titrasi sampel (a) dan titrasi blanko (b) dinyatakan dalam ml HCl 0.02 N.

Kadar N (%) = (a -b) x N HCl x 14,007 x 100 % mg sampel

Kadar protein (%) = Kadar N (%) x 6,25

d. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel


(50)

tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang.

Kadar lemak (%) = berat lemak x 100 % berat sampel

e. Kadar Karbohidrat by difference

Kadar karbohidrat pada sampel dihitung secara by difference, yaitu dengan cara mengurangkan 100 % dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein kadar lemak dan kadar serat kasar.

Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak + kadar serat kasar)

f. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian ditambah dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik kemudian dididihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Suspensi disaring dengan kertas saring, dan residu yang didapat dicuci dengan air mendidih hingga tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dipindahkan ke dalam erlenmeyer, sedangkan yang tertinggal di kertas saring dicuci kembali dengan 200 ml NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer. Sampel dididihkan kembali selama 30 menit dan disaring sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10 %. Residu dicuci dengan 15 ml alkohol 95%, kemudian kertas saring dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan lalu ditimbang.


(51)

(berat kertas saring + residu) - berat kertas saring kosong

Serat kasar (%) = x 100 Berat sampel

2. Analisis Fisikokimia

a. Penentuan Kadar Total Pati

Penetapan kadar pati dilakukan berdasarkan metode AOAC (1984). Sebanyak 2 g bahan dimasukkan kedalam erlenmeyer, lalu ditambahkan aquadest sampai volume 50 ml, kemudian disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Suspensi disaring dengan kain saring, dan endapannya dicuci dengan aquadest sampai diperoleh filtrat sebanyak 250 ml. Endapan dipindahkan secara kuantitatif dari kain saring kedalam erlenmeyer 500 ml dengan pencucian menggunakan 200 ml aquadest kemudian ditambahkan HCl 25% sebanyak 20 ml, dihidrolisis dibawah pendingin balik selama 1,5 jam dan didinginkan. Selanjutnya dinetralkan dengan NaOH 45% dan dilakukan pengenceran sampai volumenya 500 ml, lalu disaring dengan kain saring.

Sebelum penentuan kadar pati sampel, terlebih dahulu dibuat kurva standar dengan membuat larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100 ml air), dari larutan glukosa standar tersebut dilakukan 6 kali pengenceran sehingga diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/ml. Sebanyak 7 buah tabung reaksi bersih, masing-masing diisi dengan 1 ml larutan glukosa standar tersebut di atas. Satu tabung diisi aquadest sebagai blanko. Kemudian dalam tabung reaksi ditambahakan fenol 5% sebanyak 1 ml. Panaskan dengan penangas air pada suhu 30oC selama 20 menit. Kurva standar glukosa dengan OD (Optical Density). Optical density masing-masing larutan tersebut dibaca pada


(52)

panjang gelombang 490 nm. Penentuan kadar pati sampel dilakukan seperti cara penentuan kurva standar glukosa. Jumlah kadar pati ditentukan berdasarkan OD larutan contoh dan kurva standar dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar pati (%) = A x B x C x 0,9 x 100%

D Keterangan:

A = Glukosa yang diperoleh dari kurva standar B = Volume sampel (ml)

C = Faktor pengenceran sampel D = Berat sampel (g)

0,9 = Faktor penentu kadar pati

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al., 1989)

Pembuatan kurva standar amilosa

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera sebagai larutan stok standar.

Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dan dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit,


(53)

lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.

Analisis sampel

Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 ml larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar yang diperoleh. Kadar amilopektin diperoleh dengan cara by different, yaitu dengan cara mengurangkan nilai 100% dengan kadar amilosa.

c. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC, 1995)

Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 gram sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer natrium fosfat pH 6 dan dibuat suspensi. Lalu ditambahkan 0.1 ml termamyl, ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 100ºC selama 15 menit, diangkat dan didinginkan, kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup dan


(54)

diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC selama 60 menit sambil diagitasi, danterakhir pH diatur dengan HCl menjadi 4.5. Selanjutnya disaring dengan crucible kering porositas 2 yang telah ditimbang bobotnya yang mengandung celite kering (bobot diketahui), lalu dicuci dua kali dengan aquades.

Residu (serat makanan tidak larut/IDF)

Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).

Filtrat (serat makanan larut/SDF)

Volume filtrat diatur dengan akuades sampai dengan 100 ml, lalu ditambah dengan 400 ml etanol 95% hangat (60ºC), diendapkan 1 jam. Lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering dan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105ºC hingga berat konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Selanjutnya diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2).


(55)

Serat makanan total/TDF dan blanko

Serat makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai SDF dan IDF. Nilai blanko untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel.

Nilai IDF (% bb) = ((D1 – I1 – B1)/w) x 100% Nilai SDF(% bb) = ((D2 – I2 – B2)/w) x 100% Nilai TDF(% bb) = Nilai IDF + SDF

d. Pati Resisten (Kim, et al., 2003)

Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0) dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 95ºC selama 15 menit, dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali.

Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5 ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (50 mg/ml protease dalam buffer fosfat), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 60ºC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan menambahkan 5 ml larutan HCl 0.325 N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60ºC selama 30 menit.

Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran didiamkan selama satu malam pada suhu ruang. Endapan disaring dengan kertas


(56)

saring Whatman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78% sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali, dan dengan 10 ml aseton sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 40ºC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu dengan bobot sampel dikalikan 100. Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi kadar pati resisten dalam umbi segar dan dalam tepung umbi, dengan menggunakan nilai rendemen pembuatan tepung dan kadar total pati tepung umbi.

Kadar RS (%) = bobot residu x 100 % bobot sampel

e. Daya Cerna Pati (Muchtadi, 1992)

Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90ºC sambil diaduk. Setelah suhu 90ºC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (asam dinitrosalisilat). Larutan dipanaskan


(57)

dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan, ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen dengan vortex, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosa murni 0.5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1 ml dengan air destilata.

Daya cerna pati = A - a x 100% B-b

Dimana : A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko

B = kadar maltosa pati murni

b = kadar maltosa blanko pati murni

3. Penentuan Indeks Glikemik Oyek dan Tiwul (El, 1999 yang dimodifikasi)

Sebelum dilakukan penentuan nilai indeks glikemik (IG), dilakukan analisis proksimat terhadap oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong untuk menentukan jumlah sampel yang harus dikonsumsi oleh relawan. Jumlah sampel ditentukan mengandung 50 g karbohidrat. Uji indeks glisemik dilakukan dengan menggunakan manusia sebagai objek penelitian. Sukarelawan yang berpartisipasi berjumlah 10 orang, yang telah lolos seleksi. Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan untuk penentuan IG adalah sehat, non-diabetes, memiliki kadar glukosa puasa normal (70-120 mg/dl) dan memiliki nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kisaran normal 18.5-25 Kg/m2.

Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa (kecuali air putih) selama 10 jam pada malam hari, selama dua jam pasca konsumsi oyek dan tiwul


(58)

garut, suweg dan singkong, diambil sampel darah sukarelawan sebanyak 0.5 µL (finger-prick capillary blood sample method). Pengambilan sampel darah relawan dilakukan setiap selang 30 menit sekali yaitu 0 menit (kadar gula darah puasa), 30 menit, 90 menit, dan 120 menit setelah mengkonsumsi oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong.

Nilai kadar gula darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x sebagai waktu pengukuran dan sumbu y sebagai kadar gula darah. Indeks glisemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai standar (Haliza et al., 2006). Nilai indeks glisemik akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang sukarelawan tersebut.

Data yang diperoleh ditebar pada grafik dengan kadar glukosa darah (mg/dl) pada sumbu y dan waktu (menit) pada sumbu x, lalu dibuat kurva respon kadar glukosa darah untuk masing-masing relawan. Dari kurva yang terbentuk, dihitung luas area dibawah kurva dan ditentukan nilai IG masing-masing sampel dari setiap relawan, lalu dihitung rata-ratannya.

IG = luas area dibawah kurva respon glikemik sampel x 100 % luas area dibawah kurva respon glikemik standar glukosa

Perhitungan indeks glikemik dilakukan dengan menghitung luas area dibawah kurva. Salah satu cara menghitung luas area dibawah kurva adalah dengan menggunakan rumus trapezoida dengan pendekatan luas trapesium, dengan tahapan sebagai berikut:


(59)

lebarnya adalah h satuan

b. Menggambar garis-garis vertikal yang panjangnya y1, y2, dan seterusnya disebut ordinat, sehingga terlihat bagian-bagian yang berbentuk trapesium. c. Menghitung luas trapesium (luas trapesium I : y1 + y2 x h ;

2

luas trapesium II : y2 + y3 x h, dan seterusnya) (Rohayati et al., 1996).

Menurut Wirodikromo (2006) bahwa luas yang dibatasi oleh kurva y = f (x), sumbu x, garis x = a dan garis x = b ditentukan oleh:

a. L = ∫b = f (x) dx, untuk f (x) ≥ 0 a

b. L = - ∫b = f (x) atau L = │ ∫b = f (x) dx│, untuk f (x) ≤ 0. a a

4. Penentuan Beban Glikemik

Beban glikemik (BG) memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah. Beban glikemik dalam suatu bahan pangan ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BG = IG x CHO Keterangan:

BG = beban glikemik IG = indeks glikemik (%)


(60)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

(1) Hasil analisis terhadap sifat fisiko kimia oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong menunjukkan bahwa:

a. kadar total pati oyek dan tiwul singkong tertinggi (68.28% dan 77.28%) diikuti oyek dan tiwul garut (69.87% dan 71.46%), dan terendah oyek dan tiwul suweg (65.37% dan 70.80%

b. kadar amilosa oyek dan tiwul suweg tertinggi (26.29% dan 26.89%) diikuti oyek dan tiwul garut (22.13% dan 22.11%) dan terendah oyek dan tiwul singkong (15.81% dan 13.72%

c. kadar amilopektin oyek dan tiwul singkong tertinggi (84.19% dan 85.28%) diikuti oyek dan tiwul garut (77.87% dan 77.89%) dan terendah oyek dan tiwul suweg ( 73.71% dan 73.91%)

d. kadar serat pangan oyek dan tiwul suweg tertinggi (14.41% dan 15.17%) diikuti oyek dan tiwul garut (9.76% dan 15.17%) dan terendah oyek dan tiwul singkong (9.25% dan 9.98%)

e. kadar pati resisten oyek garut 14.89%, tiwul garut 19.43%, oyek suweg 19.66%, tiwul suweg 20.04%, oyek singkong 7.20% dan tiwul singkong 7.64%


(61)

f. daya cerna pati oyek dan tiwul suweg tertinggi (28.75% dan 26.67%) (24.47% dan 19.43%), diikuti oyek dan tiwul garut (24.47% dan 19.43%), dan terendah oyek dan tiwul singkong (20.60% dan 18.87%).

(2) Indeks glikemik (IG) oyek garut sebesar 41, oyek suweg sebesar 42, oyek singkong sebesar 30, sedangkan tiwul garut memiliki IG sebesar 40, tiwul suweg sebesar 40 dan tiwul singkong sebesar 29. Oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong tergolong bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55).

B. Saran

(1) Oyek dan tiwul dari garut, suweg dan singkong memiliki nilai IG rendah (< 55) sehingga dapat disarankan sebagai pangan fungsional

(2) Kemampuan oyek dan tiwul dari garut, suweg dan singkong dalam menghambat laju gukosa darah masih perlu dikaji lebih lanjut secara in vitro untuk memberikan acuan dasar yang kuat dalam pemilihan jenis umbi yang memiliki sifat fungsionalitas yang lebih baik sebagai pangan fungsional.


(1)

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 9 pasca konsumsi tiwul garut

-10 0 10 20 30 40

0 30 60 90 120

waktu (menit) P e rub a ha n k a da r gl uk os a da ra h (m g/ dl ) Glukosa Tiwul Garut

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 10 pasca konsumsi tiwul garut

-20 0 20 40 60

0 30 60 90 120

waktu (menit) P e ruba ha n k a da r gl uk os a da ra h (m g/ dl ) Glukosa Tiwul Garut


(2)

Lampiran 3. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian

Singkong Pengupasan

Pencucian

Pemotongan Pengirisan


(3)

Penjemuran Penggilingan

Pembentukan butiran Pengukusan


(4)

Suweg Pengupasan

Pengirisan Perendaman

Pembentukan butiran Butiran oyek sebelum dikukus


(5)

Pelaksanaan Pengukuran Kadar Gula Darah Relawan

Glukometer Pengambilan sampel darah


(6)