IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN

IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih
Kontemporer
Dosen Pengampu
Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:
Istiqomah

141265210

Kelas A

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN ) METRO
2017

JENIS-JENIS SYIRKAH
A. Pendahuluan

Ragam musyarakah pada bank islam dipengaruhi oleh sikap lembaga
pengawasan syari‟ah pada masing-masing bank itu sendiri. Musyarakah dapat
terjadi pada satu atau beberapa model usaha dengan lembaga perdagangan,
perindustrian maupun dengan bank islam lainnya. Musyarakah juga dapat terjadi
dimana beberapa orang menanamkan saham untuk membiayai atau mendirikan
proyek usaha.1
Syirkah secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu syirkah hak milik
(syirkah al-amlak) dan syirkah transaksi (syirkah al-uqud). Syirkah hak milik
adalah syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang
diwarisi oleh dua orang atau yang menjadi pembelian mereka atau hibah bagi
mereka. Adapun syirkah transaksi adalah syirkah yang objeknya adalah
pengembangan hak milik. Syirkah transaksi bisa diklasifikasikan menjadi empat
macam yaitu „inan, ‘abdan, , wujuh dan mufawadhah.2
B. Jenis-jenis Syirkah
Meskipun kaum muslimin bersepakat bahwa syirkah hukumnya boleh,
namun

berbeda

pendapat


dalam

hal

pembagian

bentuknya.

Menurut

Abdurraham Al-Jaziri dalam Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib al-Arba’ah, Hanifiyah
membagi syirkah menjadi menjadi dua, yaitu syirkah melalui kepemilikan (syirkah
milk/amlak) dan syirkah melalui perikatan (syirkah ‘uqûd).3
1. Syirkah amlak
Menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah, syirkah milk hukumnya
tidak boleh karena masing-masing partisipan dapat men-tasyarruf-kan
bagian hartanya tanpa izin, karenanya pihak lain seolah-olah orang asing
yang tidak memiliki kewenangan terhadap harta tersebut. Sedangkan
Asmuni, “Aplikasi Musyarakah pada Perbankan Islam (Studi Fiqh Terhadap Produk

Perbankan Islam)” dalam jurnal Al Mawaridh, Vol. IV, 2004, (20-45), h. 34.
2
Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam” dalam Jurnal Ekonomi Islam,
Vol. 21, No. 3, September 2013, (1-8), h. 5.
3
Burhanuddin Susamto, “Pendapat Al-Mazâhib Al-Arba’ah Tentang Bentuk Syirkah dan
Aplikasinya Dalam Perseroan Modern” dalam Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6, No.1, Juni 2014,
(10-19), h. 14
1

1

menurut Wahbah Zuhaily dalam kitab Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu,
menyatakan bahwa masing-masing pihak dalam syirkah milk dengan segala
bentuknya bagaikan orang asing, sehingga tidak boleh men-tasyarruf-kan
harta tanpa izin jika bukan menjadi kewenanganya.4
Jadi, Syirkah amlak (holding partnership) adalah keikutsertaan atau
keinginan bersama untuk menghasilkan sesuatu yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan menyertakan harta. Ada dua macam syirkah amlak
yaitu terdiri dari syirkah amlak ikhtiyari (perkongsian sukarela) dan syirkah

amlak ijbari (perkongsian paksa).5
a.

Syirkah amlak ikhtiyari
Syirkah

amlak

ikhtiyari

atau

perkongsian

sukarela

adalah

kesepakatan dua orang atau lebih untuk memiliki suatu barang tanpa
adanya keterpaksaan dari masing-masing pihak. Syirkah ikhtiyâri juga

berarti berkumpulnya harta benda melalui usaha kedua pihak, seperti
percampuran harta hasil kerjasama transaksi jual beli. Contohnya dua
orang yang bersepakat untuk membeli suatu barang, misalnya satu
buah mobil truk untuk angkutan barang.6
b.

Syirkah amlak ijbari
Syirkah amlak ijbari atau perkongsian yang bersifat memaksa

adalah perkongsian dimana para pihak yang terlibat dalam kepemilikan
barang atau suatu aset tidak bisa menghindar dari bagian dan porsinya
dalam kepemilikan tersebut, karena memang sudah menjadi ketentuan
hukum. Jadi syirkah ijbari yaitu bergabungnya dua orang atau lebih
dalam kepemilikan harta benda tanpa usaha, seperti harta warisan.
Misalnya dalam hal bagian harta waris bagi saudara orang yang
mewariskan, apabila jumlah saudara lebih dari satu orang, maka mereka

4

Ibid., h. 15

Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta, LPFE Usakti, 2011), h. 292.
6
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontenporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2016), h. 130.

5

2

secara ijbari berkongsi mendapat seperenam. Artinya seperenam harta
warisan dibagi sejumlah saudara yang ada.7
2. Syirkah ‘Uqud
Syirkah ‘Uqud adalah dua pihak atau lebih membuat perjanjian atau
kontrak untuk menggabungkan harta guna melakukan usaha atau bisnis dan
hasilnya dibagi baik berupa laba maupun rugi. 8
Musyârakah

akad

atau


syirkah

al-‘uqud

tercipta

dengan

cara

kesepakatan, dimana dua orang atau lebih setuju bahwa setiap orang dari
mereka memberikan kontribusi modal musyarakah, mereka sepakat berbagi
keuntungan dan kerugian. Menurut Hanabilah, syirkah terdiri dari lima
macam, yaitu syirkah ’inan, mufawadhah, abdan, wujuh dan mudharabah.
Sedangkan menurut Hanafiyah, syirkah terdiri dari enam macam, yaitu
syirkah amwâl, amal, dan wujûh. Kemudian dari masing-masing syirkah
tersebut dibagi menjadi mufawadhah dan inan. Menurut pendapat Mâlikiyah
dan Syâfi‟iyah, syirkah terbagi menjadi empat macam, yaitu syirkah inân,
mufâwadhah, abdân dan wujûh. Adanya perbedaan pembagian bentuk

tersebut tentu menimbulkan pendapat hukum yang berbeda pula. Para
ulama fiqh bersepakat dalam hal kebolehan syirkah ’inân, namun untuk
syirkah

lainnya

masih

diperselisihkan

ke-syar’iah-annya.

Syafi‟iyah,

termasuk Zahiriyah dan Imamiyah menganggap semua bentuk syirkah
hukumnya batil kecuali ’inân dan mudhârabah. Sedangkan Hanabilah
membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufâwadhah. Malikiyah
membolehkan semua syirkah kecuali syirkah wujûh. Hanafiyah dan Zaidiyah
cendrung membolehkan semua syirkah selama memenuhi rukun dan
syaratnya9

Syirkah ‘Uqud terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

7

Ibid ,. h. 131
Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 30
9
Mila Fursiana Salma Musfiroh, Musyârakah Dalam Ekonomi Islam (Aplikasi Musyarakah
Dalam Dalam Fiqih dan Perbankan Syariah) dalam Jurnal Studi Al-quran dan Hukum, Vol. II No.
01, Mei 2016, (173-186), h. 176.
8

3

a. Syirkah al-‘inan
Syirkah al-‘inân adalah kontak antara dua orang atau lebih, setiap orang
memberikan suatu porsi dari modal dan partisipasi dalam kerja semua pihak
berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati oleh
mereka, namun porsi masing-masing pihak (baik dalam kontribusi modal

kerja maupun bagi hasil) tidak harus sama atau identik, tapi sesuai dengan
kesepakatan mereka.10
Mazhab Hanafi dan Hambali mengizinkan praktik ini dengan memilih
salah satu alternative berikut:
1) Keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang
diberikan oleh masing-masing pihak.
2) Keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi modal
masing-masing berbeda.
3) Keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi dana yang diberikan
sama.
Mazhab Maliki dan Syafi‟i menerima jenis akad musyârakah ini dengan
syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proposional sesuai
distribusi dana yang ditanamkan. Musyârakah jenis ini yang diaplikasikan
dalam perbankan syariah. Syirkah al-‘inân ini para pihak berserikat
mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama. 11
Ada dua syarat yang harus terpenuhi dalam syirkah ‘inan sebagaimana
diterangkan al-Kasani yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili:
1)

Modal syirkah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat membeli.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Oleh karena itu, syirkah menjadi tidak sah jika modal yang digunakan
berupa hutang atau harta yang tidak ada. Karena tujuan dari transaksi
syirkah adalah mendapat keuntungan, dan keuntungan tidak mungkin
didapatkan tanpa bekerja atau membelanjakan modal. Sementara
pembelanjaan itu tidak mungkin dilakukan pada harta yang masih
diutang orang atau pada harta yang tidak ada, sehingga tujuan syirkah

10
11

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 49.
Mila Fursiana Salma Musfiroh, Musyârakah Dalam..., h. 177.

4

tidak bisa terwujud. Juga, karena orang yang berutang bisa saja tidak
membayar utangnya dan barang yang hilang atau tidak ada belum
tentu akan kembali lagi.
2)

Modal syirkah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak
Yaitu seperti uang, dirham dan dinar dimasa lalu, atau mata uang yag
tersebar luas sekarang dimasa modern. Ini adalah syarat menurut
mayoritas ulama.
Dalam Pasal 173 KHES disebutkan bahwa dalam syirkah ‘inan dapat

berupa kerjasama dalam permodalan sekaligus kerjasama keahlian dan
kerja. Adapun masalah risiko, pembagian pekerjaan dan keuntungan
dilakukan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bermitra. Pasal 175
KHES menyebutkan bahwa:
1) Para pihak dalam syirkah ‘inan tidak wajib untuk menyerahkan semua
uangnya sebagai sumber dana modal.
2) Para pihak dibolehkan mempunyai harta yang terpisah dari modal
syirkah ‘inan.12
Contoh syirkah ‘inan: Rendy dan Deny adalah sarjana teknik komputer.
Mereka sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka
pusat service dan

penjualan

komponen

komputer.

Masing-masing

memberikan kontribusi modal sebesar Rp10 juta dan keduanya samasama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya
disyaratkan harus berupa uang (nuqud). Sementara barang (‘urûdh) seperti
rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh
masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masingmasing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar
50%.
b. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian

12

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 133-134.

5

secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
utang dibagi oleh masing-masing pihak.13
Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara
itu, mazhab Syafi‟i dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar
terjadi persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur
gharar atau ketidakjelasan.14
Dari penjelasan diatas tergambar dalam akad Syirkah Mufawadhah
terkandung dua akad lainnya yaitu akad wakalah (kuasa dari mitra yang satu
kemitra yang lainnya untuk melakukan usaha) dan akad kafalah (tanggungan
atau jaminan) yaitu masing-masing mitra berkewajiban menjaga harta
syirkah dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya
atau tidak dilakukannya sesuai dengan kesepakatan.
Syarat-syarat syirkah mufawadhah secara umum menurut wahbah alZuhaili terdiri dari, yaitu:
1) Syarik
Yaitu pelaku syirkah mufawadhah harus cakap melakukan perbuatan
hukum yang berupa wakalah (kuasa) dan kafalah (penjamin), yaitu
keduanya harus merdeka, baligh, berakal, dan bijaksana (rasyid). Karena
diantara hukum mufawadhah adalah bahwa hak dan kewajiban yang
mengikat satu pihak dalam transaksi perdagangan, maka juga mengikat
pihak yang lainnya. Dengan begitu, masing-masing sekutu menjadi kafil
(penanggung) atas kewajiban yang harus dilaksanakan mitranya dan sisi
lain dia juga menjadi wakil bagi mitranya untuk mengambil haknya.
2) Modal Usaha
Modal usaha harus sama, baik ketika syirkah mufawadhah dimulai
maupun ketika berakhir. Apabila modal salah satu syarik lebih besar dari
yang lainnya, maka syirkah tersebut tidak lagi sama (ghair mufawadhah),
karena akad syirkah mufawadhah disebut ” mufawadhah” karena jumlah
modal yang dimiliki oleh para syarik adalah sama.

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 92.
14
Ascarya, Akad dan Produk, h. 49.
13

6

3) Modal syirkah dalam syirkah mufawadhah harus utuh dari awal hingga
akhir akad.
Oleh karena itu syirkah mufawadhah batal dengan sendirinya apabila
salah satu syarik menghibahkan modal usahanya kepada pihak lain,
karena sudah tidak sama lagi julah modal para syarik. Para syarik
dilarang melakukan akad tabarru‟ dalam pengelolaan dana syirkah, hibah
termasuk akad tabarru‟ yaitu akad yang dilakukan bukan dalam rangka
mendapatkan keuntungan.
4) Hasil usaha yang berupa keuntungan dan kerugian yang diterima atau
dibebankan oleh kepada masing-masing syarik haruslah sama. Apabila
dalam klausula perjanjian ditetapkan bahwa keuntungan salah satu
syarik lebih besar dari syarik lainnya, maka syirkah mufawadhah dengan
sendirinya batal karena ketidaksamaan.
5) Bidang usaha atau bisnis yang dilakukan oleh masing-masing syarik
dalam dalam syirkah mufawadhah haruslah bidang bisnis yang mubah
(boleh) berdasarkan syariah.
6) Syirkah mufawadhah harus dinyatakan secara jelas dan tegas dalam
akta perjanjian. Syarat ini berbeda dengan syarat syirkah ‘inan yang tidak
mesti dinyatakan secara jelas dan tegas dalam akta perjanjian, karena
dalam syirkah ‘inan tidak keharusan bagi syarik agar sama jumlah dalam
menyertakan modalnya, agamanya, dan keuntungan (termasuk beban
kerugian) yang diterimanya.
Adapun syarat-syarat khusus syirkah mufawadhah adalah:
1) Pengakuan Utang
Dalam syirkah syirkah mufawadhah terkandung akad kafalah yaitu
syarik yang satu menjamin syarik yang lainnya. Oleh karena itu, utang
yang timbul karena usaha yang dilakukan oleh salah satu syarik menjadi
utang pula bagi syarik lainnya.
2) Gadai
Setiap syarik dalam syirkah mufawadhah boleh melakukan gadai (baik
sebagai rahin maupun sebagai murtahin) tanpa memerlukan izin dari
syarik lainnya. Hal ini berbeda dengan syirkah „inan, dimana gadai yang
dilakukan oleh salah satu syarik boleh dilakukan apabila telah mendapat
izin khusus dari para syarik lainnya.

7

3) Tuntutan
Dalam syirkah mufawadhah terkandung wakalah, oleh karena itu,
perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu syarik menjadi
tanggung jawab syarik lainnya. Apabila dalam pembelian barang yang
dilakukan oleh salah satu syarik terdapat cacat, maka syarik lainnya
berhak untuk meminta ganti kepada pihak penjual. Begitu juga kalau
terjadi komplain dari pihak lain terhadap salah satu syarik, maka semua
syarik wajib bertanggung jawab terhadap komplain tersebut.15
Contohnya: Doni adalah pemodal yang berkontribusi modal kepada Dodi
dan Toni. Kemudian, Dodi dan Toni juga sepakat untuk berkontribusi modal
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada Dodi dan Toni. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi
adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika Dodi dan Toni sepakat masing-masing
bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika Doni
memberikan modal kepada Dodi dan Toni, berarti di antara mereka bertiga
terwujud muḍārabah. Di sini Doni sebagai pemodal, sedangkan Dodi dan
Toni sebagai pengelola. Ketika Dodi dan Toni sepakat bahwa masingmasing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti
terwujud syirkah ‘inān di antara Dodi dan Toni. Ketika Dodi dan Toni
membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh antara Dodi dan Toni. Dengan
demikian,

bentuk syirkah seperti

ini

telah

menggabungkan

semua

jenis syirkah dan disebut syirkah mufāwaḍah.
c. Syirkah ‘abdan
Al-musyarakah ini adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan itu. Misalnya kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap
sebuah proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order
pembuatan seragam sebuah kantor.16

15

16

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad ..., h. 39-43.
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah..., h. 93.

8

Jadi syirkah ‘abdan atau syirkah ‘amwal adalah kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dimana pekerjaan ini
tidak

membutuhkan modal

uang

akan tetapi

hanya

membutuhkan

17

keterampilan tertentu dan tenaga.

Sebagai contoh, dua orang yang mempunyai keterampilan dalam
menjahit pakaian. Keduanya berkongsi untuk mengerjakan satu paket
borongan penjahitan baju seragam. Keduanya sama-sama mempunyai
perlatan konveksi untuk mengerjakan borongan tersebut. Keuntungan dibagi
antara dua orang tersebut sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Pekerjaan dalam syirkah ‘abdan akan mempunyai nilai ekonomi atau
dapat dihargai apabila pekerjaan tersebut dapat terukur, baik berdasarkan
durasi waktu maupun dari sisi hasil.
Dalam hal ini Pasal 148 menyebutkan:
1)

Suatu pekerjaan memiliki nilai apabila dapat dihitung dan diukur

2)

Suatu pekerjaan dapat dihargai atau dinilai berdasarkan jasa atau hasil
Pasal 150 menyatakan:

1)

Suatu akad kerjasama pekerjaan dapat dilakukan dengan syarat
masing-masing pihak mempunyai keterampilan untuk bekerja.

2)

Pembagian tugas dalam akad kerjasama pekerjaan

dilakukan

berdasarkan kesepakatan.
Pembagian tugas atau pekerjaan diantara anggota tidak harus sama,
akan tetapi disesuaikan dengan keahlian. Oleh karena itu, upah atau
keuntungan dalam syirkah abdan tidak harus sama akan tetapi disesuaikan
dengan andil partisipasi, jenis pekerjaan yang dilakukan, volume dan
proporsi kerja.
Risiko dalam syirkah abdan pada dasarnya ditanggung bersama para
pihak yang berkongsi. Namun demikian apabila terjadi kerusakan atau
rendahnya kualitas hasil pekerjaan yang diakibatkan oleh kelalaian salah
17

Imam Mustafa, Fiqh Muamalah..., h. 138.

9

satu pihak atau anggota, maka anggota tersebut yang bertanggung jawab
atas risiko tersebut.18
Contoh syirkah ‘abdan adalah kerjasama antara Rudi dan Salman yang
keduanya sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Rudi mendapatkan sebesar 60%
dan Salman sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan
profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Keuntungan yang
diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak
sama di antara syarik (mitra usaha).
d. Syirkah wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang
secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan
kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini
tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada
jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.19
Oleh karena itu, syirkah wujuh dilakukan atas dasar watsiqah al-tujar
(nama besar atau nama baik atau kredibilitas bisnis) atau jah (kredibilitas
bisnis atau kepercayaan pebisnis lain kepada yang bersangkutan) yang
dijadikan dasar terjadinya syirkah wujuh, sedangkan keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, sementara pihak yang menyertakan kredibilitas
usaha tidak dibebani kerugian.20

18

Ibid ..., h. 140.
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah ..., h. 93.
20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 130.
19

10

Jadi syirkah wujuh yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk
membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal

kepercayaan dan

keuntungan dibagi antara sesama mereka.21
Berkaitan dengan pembagian keuntungan, dalam syirkah wujuh tidak
boleh ada perbedaan dalam pembagian keuntungan apabila jumlah
penjualan barang sama. Artinya apabila anggota syirkah ini berhasil menjual
barang yang dibelinya dalam jumlah yang sama, maka keuntungan juga
harus dibagi rata. Pembagian keuntungan berdasarkan jumlah penjualan
barang yang telah dilakukan anggota perkongsian. Dalam KHES Pasal 140
ayat (3) disebutkan bahwa “Pembagian keuntungan dalam syirkah al-wujuh
ditentukan berdasarkan kesepakatan”.22
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah syirkah wujûh hukumnya boleh karena
mengerjakan suatu pekerjaan boleh hukumnya. Masing-masing yang terikat
perjanjian boleh berbeda kepemilikan terhadap sesuatu yang ditransaksikan.
Adapun apabila memperoleh kuntungan, maka akan dibagi diantara
keduanya sesuai porsi (konstribusi) masing-masing dalam kepemilikan.
Namun Syafi‟iyah dan Malikiyah membatalkannya, karena suatu syirkah
sesungguhnya terkait dengan harta dan pekerjaan. Ibnu Rusy dalam kitab
Bidâyah Al-Mustahid: Nihâyah al-Muqtashid menyatakan bahwa syirkah
wujûh merupakan bentuk jaminan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki
modal. Kemudian ia mengutip Imam Malik dan Syafi‟I yang menyatakan
bahwa syirkah harus terkait dengan harta dan pekerjaan. Tanpa adanya
kedua unsur tersebut dalam masalah syirkah dapat menimbulkan gharâr.
Dikatakan demikian karena masing-masing pihak saling bertukar pekerjaan
tanpa adanya pembatasan profesi dan kekhususan pekerjaan.23
Contohnya: Adi dan Dani melakukan kerjasama dengan pedagang. Lalu
Adi dan Dani bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang
pedagang secara kredit. Adi dan Dani bersepakat bahwa masing-masing
memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang

21

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 226.
Imam Mustafa, Fiqh Muamalah..., h.142.
23
Burhanuddin Susamto, “Pendapat Al-Mazâhib..., h. 16.
22

11

tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya
dikembalikan kepada pedagang.
C. KESIMPULAN
Secara garis besar, syirkah dibagi menjadi dua macam, yaitu syirkah
amlak (hak milik ) dan syirkah „uqud (syirkah transaksi). Syirkah hak milik adalah
syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang
diwarisi oleh dua orang atau yang menjadi pembelian mereka atau hibah bagi
mereka.
Sedangkan syirkah transaksi adalah syirkah yang objeknya adalah
pengembangan hak milik. Syirkah transaksi dapat diklasifikasikan menjadi empat
macam yaitu „inan, ‘abdan, , wujuh dan mufawadhah.

12

DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. 2006. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta. Rajawali Pers.
Hasanudin,

Maulana

dan

Mubarok,

Jaih.

2012.

Perkembangan

Akad

Musyarakah. Jakarta. Kencana.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta. Kencana.
Mustofa, Imam. 2016. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta. PT Raja Grafindo
Persada.
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Pers.
Syafi‟i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta.
Gema Insani.
Wiroso. 2011. Produk Perbankan Syariah. Jakarta. LPFE Usakti.
Deny Setiawan,

Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam dalam Jurnal

Ekonomi Islam, Vol. 21, No. 3, September 2013, (1-8)
Asmuni, “Aplikasi Musyarakah pada Perbankan Islam (Studi Fiqh Terhadap
Produk Perbankan Islam)” dalam jurnal Al Mawaridh, Vol. IV, 2004, (20-45
Mila Fursiana Salma Musfiroh, Musyârakah Dalam Ekonomi Islam (Aplikasi
Musyarakah Dalam Dalam Fiqih dan Perbankan Syariah) dalam Jurnal
Studi Al-quran dan Hukum, Vol. II No. 01, Mei 2016, (173-186

13