IMPLEMENTASI KAFALAH DALAM LKS DITINJAU

IMPLEMENTASI KAFALAH DALAM LKS DITINJAU DARI
PERSPEKTIF FIQIH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Fiqih Kontemporer Perbankan
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, M.Si

Disusun oleh
Maya Septi Cahyani (141267410)
Kelompok X
KELAS B

PROGRAM STUDI STRATA SATU PERBANKAN SYARIAH
(S1 PERBANKAN SYARIAH)
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 2017 M

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting. Modal
tersebut dapat bersifat material atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya).
Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa menggunakan
modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank.1 Untuk
melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di
antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (trust), dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan
(personal guarantie) dan jaminan kebendaan.2 Jaminan perorangan adalah
suatu perjanjian antara seorang yang memberikan utang/ kreditor (makful lahu)
dengan seorang sebagai penjamin (kafil) yang menjamin dipenuhinya
kewajiban-kewajiban si berutang/ debitor (makful „anhu). Sedangkan jaminan
kebendaan dapat diadakan antara kreditor (pemberi utang) dengan debitor nya
(peminjam), tetapi juga dapat diadakan antara kreditor dengan seorang pihak
yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitor ). Soal
jaminan, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah. Untuk itu kami
disini akan membahas dan mengupas tentang kafalah.

Maltuf Fitri, “Peran Dana Pihak Ketiga Dalam Kinerja Lembaga Pembiayaan Syariah
Dan Faktorfaktor Yang Memengaruhinya” dalam Economica, (Semarang: UIN Walisongo
Semarang), Vol. VII/edisi 1/Mei 2016, h. 79.

1

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2016), h. 225.
2

i

PEMBAHASAN
KONSEP DASAR KAFALAH

A. Pengertian Kafalah
Kafalah secara etimologi memiliki tiga makna yaitu damanah

(jaminan), hamalah (beban), dan za‟amah (tanggungan).3 Namun, secara
menyeluruh ketiga kata ini memiliki garis pengertian yang sama yaitu jaminan.
Secara terminologi, kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak yang memberikan utang (makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak yang berutang atau yang ditanggung (makful „anhu).
Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah mendefinisikan

kafalah sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang

mempunyai tanggung jawab menunaikan hak membayar utang.4 Dengan
demikian maka pembayaran utang menjadi tanggungan pihak penjamin.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) pasal 20 ayat
(12), kafalah didefinisikan sebagai jaminan atau garansi yang diberikan oleh
penjamin kepada pihak ketiga/ pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua/ peminjam.5 Sedangkan dalam fatwa DSN No.11/DSNMUI/
IV/2000 tentang kafalah menyebutkan bahwa kafalah adalah akad dari pihak
pertama dan pihak kedua, dapat berupa perjanjian yang mengikat dimana tidak
dapat dibatalkan secara sepihak, pihak penjamin tersebut bisa mendapatkan
imbalan dari pihak yang tertanggung selagi tidak memberatkan pihak
tertanggung.
Menurut Syafi’i Antonio, kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau

3

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), h. 181.


Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2016), h. 220.
4

5

Ibid.

ii

yang ditanggung.6 Sedangkan menurut Bank Indonesia, kafalah adalah akad
pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu utang
yang menjadi hak penerima jaminan.
Istilah kafalah dalam praktek perbankan, merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka
memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful „anhu) apabila pihak yang
ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis dapat dikatakan bahwa
pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan
dengan kontrak kerja/ perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan

pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan
kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/
kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan
nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa kafalah adalah
jaminan yang diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain.

B. Dasar Hukum Kafalah
Kafalah diperbolehkan berdasarkan legitimasi dari Al-Qur’an, Al-

Sunnah dan ijma’

ulama. Legitimasi dari Al-Qur’an adalah firman Allah

dalam surat Yusuf ayat 72, yang artinya:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta dan aku menjamin terhadapnya." (QS. Yusuf: 72)7


Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za‟im dalam ayat ini
adalah kafil (penjamin).8
6

Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangannya di
Indonesia , (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2015), h. 163.
7

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah.., h. 220.

iii

Selain ayat Al-Qur’an tersebut, terdapat sebuah hadits sebagai
legitimasi diperbolehkannya kafalah, yaitu:9
“Telah dihadapakan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya “Apakah dia mempunyai warisan? ”

Para sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah bertanya lagi,”Apakah dia
mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah

pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri

tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.”
Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut.” (HR. Bukhari no. 2127,

kitab al-Hawalah)
Kafalah sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa

telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, kafalah mendapatkan dasar hukum yang lebih
kokoh. Dalam pasal 19 Undang-Undang Perbankan Syariah antara lain
meliputi membeli, menjual, atau menjamin atas suatu risiko.10
Keberadaan kafalah sebagai akad di bidang jasa pada Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah telah diatur melalui Fatwa DSN-MUI Nomor 11/DSNMUI/IV/2000 tentang kafalah.11
Produk jasa perbankan syariah berdasarkan akad kafalah secara teknis
berdasarkan pada PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanna Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan
Jasa


Bank

Syariah,

sebagaimana

yang

telah

diubah

dengan

PBI

No.10/16/PBI/2008 pasal 3 PBI dimaksud menyebutkan Pemenuhan Prinsip

8


Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 38.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h. 124.
9

10

Khotibul Umam, Perbankan Syariah.., h. 164.

11

Ibid .

iv

Syariah sebagaimana dimaksud, antara lain dilakukan melalui kegiatan
pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain akad kafalah, hiwalah, dan
sharf.


Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang
Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini,
tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam
Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk
menegaskan madharat bagi orang-orang yang berutang. Para ulama sepakat
dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam muamalah
masyarakat. Kafalah sangat diperlukan dalam waktu tertentu, adakalanya orang
memerlukan modal dalam usaha dan untuk mendapatkan modal itu biasanya
harus ada jaminan dari seseorang yang dapat dipercaya. Agar pihak yang
berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang.
Para ulama fikih menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat
menerima jaminan/ tanggungan. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai
orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan.
Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh
ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada hadits tersebut di atas
tentang ketidaksediaan Nabi SAW menshalatkan jenazah karena meninggalkan
sejumlah utang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan
alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang
yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit. Jumhur fuqaha' juga

berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang
dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu
Hanifah tidak membolehkannya.

C. Rukun dan Syarat Kafalah
Seperti halnya amalan yang lain dalam muamalah, dalam kafalah pun
mempunyai rukun dan syarat. Rukun kafalah adalah bagian-bagian yang harus
ada dalam praktek kafalah, sedangkan syarat kafalah adalah syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh semua pihak dan objek agar syah atau diterima oleh syariat
v

praktek kafalah tersebut. Adapun rukun dan syarat kafalah adalah sebagai
berikut:
a. Rukun kafalah
1) Sighat Kafalah (ijab qabul), adalah kata atau ucapan yang harus
diucapkan dalam praktek kafalah12
2) Makful bih (obyek tanggungan), adalah barang atau uang yang statusnya
tertanggung13
3) Kafil (penjamin/ penanggung), adalah pihak yang mempunyai kecakapan
untuk mentasharufkan hartanya14
4) Makful ‟anhu (pihak yang dijamin), adalah pihak yang mempunyai
tanggungan harta yang harus dibayar, baik masih hidup maupun sudah
mati15
5) Makful lahu (pihak yang berpiutang), adalah Pihak Orang yang
berutang16
b. Syarat kafalah17
1) Kafil, disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka dalam mengelola harta
bendanya/ tidak dicegah membelanjakan hartanya dan dilakukan dengan
kehendaknya sendiri serta pihak penjamin harus mengetahui objek yang
dijaminnya. Selain itu, menurut kalangan Hanafiyah, pihak penjamin
harus ada di majelis akad agar mengetahui siapa dan apa yang
dijaminnya.

12

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.., h. 191.

Rezki Syahri Rakhmadi, “Konsep dan Penerapan Sistem Jaminan pada Lembaga
Keuangan Syariah”, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, (Jakarta: Sekolah Tinggi
Agama Islam Darul Ulum), Vol. 3, No. 1 (2013), h. 33.
13

14

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah , (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.106.

15

Ibid .

16

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.., h. 191.

17

Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (Jawa Timur: Yayasan PP.
Darussalam Blokagung, 2014), h. 61.

vi

2) Mafkul lahu, syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang
menjamin, harus cakap hukum dan harus ada pada saat akad. Selain itu,
pihak yang berpiutang harus berakal, tidak harus baligh tetapi seandainya
anak kecil, ia harus mumayyiz.
3) Makful „anhu, disyaratkan mempunyai kemampuan untuk menyerahkan
objek yang dijamin dan pihak yang dijamin harus diketahui oleh pihak
penjamin. Menurut kalangan Syafi’iyah, pihak yang ditanggung tidak
harus cakap hukum, bahkan menanggung orang yang telah meninggalpun
diperbolehkan.
4) Makful bihi, merupakan tanggungan peminjam baik berupa uang/ benda/
pekerjaan, dapat dilaksanakan oleh penjamin, merupakan piutang yang
mengikat, jelas nilai dan spesifikasinya, serta tidak diharamkan.
5) Sighat atau lafadz, disyaratkan keadaan sighat mengandung makna
menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.

D. Macam-Macam Kafalah
Menurut Imam al-Sarakhsi, kafalah ada dua macam, yaitu kafalah bi alnafsi (asuransi jiwa) dan kafalah bi al-mal (asuransi harta). Menurut Wahbah

al-Zuhaili, jenis-jenis kafalah antara lain adalah jaminan terhadap barang (alkafalah bil „ain) dan jaminan terhadap jiwa (al-kafalah bil nafs). Namun

ternyata dalam prakteknya kafalah memiliki lima macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Kafalah bil Mal yaitu jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.18
b. Kafalah bil Nafs yaitu jaminan atas diri seseorang karena nama baik atau
ketokohannya.19 Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical
Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu. Sebagai

contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bil nafs adalah
18

Muhmmad, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 37.
19

Ibid.

vii

seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan
ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
c. Kafalah bit Taslim yaitu jaminan pengembalian atas barang yang disewa,
ketika batas sewa berakhir.20 Jenis pemberian jaminan ini dapat
dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk
kerjasama dengan perusahaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito/ tabungan dan pihak bank diperbolehkan
memungut uang jasa kepada nasabah.
d. Kafalah al-Munjazah yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka
waktu dan untuk kepentingan/ tujuan tertentu.21 Dalam dunia perbankan,
kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan

prestasi).
e. Kafalah al-Muallaqah bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari
kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu

dan tujuan tertentu pula.22

20

Ascarya, Akad dan.., h. 107.

21

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah.., h. 226.

22

Ibid .

viii

DAFTAR PUSTAKA
Andi Ali Akbar. Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah. Jawa Timur: Yayasan
PP. Darussalam Blokagung, 2014.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014.
Imam Mustofa. Fiqih Mu‟amalah Kontemporer. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada. 2016.
Khotibul Umam. Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika
Perkembangannya di Indonesia . Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2015.
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Muhmmad. Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII
Press, 2000.
Zainudin Ali. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Maltuf Fitri. “Peran Dana Pihak Ketiga Dalam Kinerja Lembaga Pembiayaan
Syariah Dan Faktorfaktor Yang Memengaruhinya” dalam Economica.
Semarang: UIN Walisongo Semarang, Vol. VII/edisi 1/Mei 2016.
Rezki Syahri Rakhmadi. “Konsep dan Penerapan Sistem Jaminan pada Lembaga
Keuangan Syariah”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam.
Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum. Vol. 3, No. 1, 2013.

ix