PERBEDAAN KADAR NATRIUM SERUM PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE DAN POST HEMODIALISIS RSUD ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2012

(1)

PERBEDAAN KADAR NATRIUM SERUM PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE DAN POST HEMODIALISIS RSUD ABDUL

MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2012

(Skripsi)

Oleh

LARAS MARANATHA TOBING

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

(3)

(4)

Judul Skripsi : PERBEDAAN KADAR NATRIUM SERUM PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE DAN

POST-HEMODIALISIS RSUD ABDUL

MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

Nama Mahasiswa : Laras Maranatha Tobing Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011055

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Zulfian, Sp.PK dr. Ari Wahyuni

NIP. 195404081982111002 NIP. 198406102009122004

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :

dr. Zulfian, Sp.PK

Sekretaris :

dr. Ari Wahyuni

Penguji

Bukan Pembimbing :

dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed

NIP. 195704241987031001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 7 Desember 1990, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Bapak Torkis L. Tobing, SH, MH dan Ibu Tujuana br. Nainggolan, SPd.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan pada tahun 1997 di TK Xaverius Tanjung Karang, Sekolah Dasar (SD) di SD Xaverius Tanjung Karang pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Fransiskus Tanjung Karang pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Fransiskus Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Unila Periode 2009-2011 dan PMPATD Pakis Rescue Team periode 2009-2010. Selain itu penulis juga aktif dalam Paduan Suara FK Unila periode 2009-2011 serta pernah mewakili FK Unila dalam salah satu kompetisi olahraga basket antar Fakultas Kedokteran se-Indonesia pada tahun 2012.


(7)

Buku ini saya

persembahkan kepada

kedua orang tua tercinta,

abang, adik, sahabat serta

keluarga besar FK Unila .

In the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years. -Abraham Lincoln Take a chance, make a change and breakaway..


(8)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat-Nya yang tidak pernah berkesudahan hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul “Perbedaan Kadar Natrium Serum Pasien Gagal Ginjal Kronik Pre dan Post-Hemodialisis RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2012” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Yang tercinta Papa, Mama, Abang Nuel, Bismar, Choki; yang selalu setia mendengar keluhan, menemani, dan menjadi tumpuan penulis untuk selalu memberikan yang terbaik.

2. Opung dan keluarga besar atas perhatian, harapan, dan motivasi bagi studi penulis selama ini.

3. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

4. Dr. Zulfian, Sp. PK, selaku Pembimbing Utama atas kesediaan dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(9)

5. Dr. Ari Wahyuni, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan nasihat dalam proses penyelesaian skripsi ini; 6. Dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp. PK, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi;

atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini; 7. Dr. M. Ricky Ramadhian, selaku Pembimbing Akademik;

8. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang diberikan.

10.Ibu Meni, Mas Sigit, dan seluruh tenaga kesehatan di instalasi Hemodialisis dan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek; atas keramahan dan kebesaran hati menerima penulis, bantuan dan kerja sama dalam menyelesaikan penelitian.

11.Pasien instalasi hemodialiasis RSUD Abdul Moeloek; atas keramahan, kerelaan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

12.Teman-teman kelompok penelitian hemodialisis: Lovensia, Apel, Satya, Hario; terima kasih atas kesempatan berbagi dan bekerja sama.

13.Arnia, Dea, Lovensia, Talitha; we fight, we argue, we get mad at each other. But, we have each other back till the end. Terima kasih atas ketulusan dan loyalitas yang telah kalian berikan selama ini.

14.Lovensia; terima kasih untuk kesetiaan, kesabaran, atas segala bantuan dan kritik di dalam maupun di luar penelitian, terima kasih telah berbagi kesenangan ini. 15.Teman-teman Permako Medis atas motivasi dan penguatan di dalam doa.


(10)

16.Gaby, Annida, Ghina, Nurul, Risqa Atina, Reza, dan Ranintha; terima kasih atas bantuannya setiap kali seminar.

17.Teman-teman satu PA Ikbal, Kharisma, Lewi, Lovensia, Pasca, Reza Remontito, De-em, Marlintan, Iqbal, Muslim; terima kasih atas kebersamaannya.

18.Teman-teman pertutorialan; terima kasih untuk ilmu, cerita, dan pengalaman. Terima kasih atas kesempatan berbagi, senang bisa mengenal kalian.

19.Seluruh keluarga Dorlan (angkatan 2009) atas kebersamaan dan persahabatan yang dibangun selama ini.

20.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Namun, kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

Bandar Lampung, Januari 2013


(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan reabsorbsi jumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar tubuh dengan urin melalui sistem pengumpul urin. (Price and Wilson, 2006)

Penyakit ginjal kronis merupakan permasalahan bidang nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek, sering diawali dengan tanpa keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal ginjal terminal). Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi gagal ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per satu juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya, di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,


(16)

2

insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per satu juta penduduk per tahun. (Suwitra, 2009)

Hasil survei Depkes dalam Profil Kesehatan Indonesia 2007, menunjukkan bahwa gagal ginjal merupakan penyakit utama keenam, penyebab kematian pada tahun 2006 dengan persentase 2,99% terhadap total kematian di rumah sakit (Depkes, 2008). Di Indonesia belum diketahui angka kejadiannya secara pasti karena masih kurangnya penelitian yang dilakukan. Akan tetapi, dilihat dari peningkatan jumlah penderita gagal ginjal pada data kunjungan ke poliklinik ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani cuci darah (hemodialisis), gagal ginjal kronik kini menjadi masalah kesehatan yang sering dijumpai. Di RS Abdul Moeloek Bandar Lampung, jumlah kunjungan pasien hemodialisis per hari mencapai 57 pasien dengan rata-rata kunjungan sekitar 1500 pasien tiap bulannya.

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi penganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Sejauh ini, menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC, 2006), hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada penderita gagal ginjal kronis. Hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, namun tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari, juga tidak akan memperbaiki seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap


(17)

3

akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2004).

Selama proses hemodialisis, pasien membutuhkan kontrol terpadu untuk mencegah terjadinya komplikasi dalam meningkatkan kenyamanan pasien. Pengawasan yang dilakukan, secara spesifik, dapat berupa keseimbangan cairan dan elektrolit penting yang dipengaruhi dialisat dan profil elektrolit pasien.

Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium, kalium, klorida dan bikarbonat (Yaswir, 2012).

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel. Natrium dan anion terkait (terutama klorida) bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen zat terlarut dalam cairan ekstrasel (Guyton, 2007).

Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menjelaskan faktor elektrolit, salah satunya natrium, yang berhubungan dengan beberapa komplikasi hemodialisis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan van Stone, kadar natrium serum digunakan sebagai gambaran distribusi cairan dialisat selama hemodialisis. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan dialisat rendah natrium berhubungan dengan peningkatan hipotensi simtomatik.


(18)

4

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Waikar, didapat bahwa konsentrasi natrium serum yang rendah pada pasien dialisis berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. Sedangkan Siti Hamnah dalam penelitiannya mendapati adanya hubungan kuat kadar natrium darah dengan kejadian kejang otot.

Pada penelitian ini, penulis ingin meneliti perbedaan kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis. Subyek pada penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada Instalasi Hemodialisis di RSUD Abdul Moeloek karena terbatasnya rumah sakit di Lampung yang menyediakan sarana hemodialisis.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perbedaan kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi :

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.


(19)

5

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik sebelum menjalani hemodialisis.

b. Untuk mengetahui kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik sesudah menjalani hemodialisis.

c. Untuk mengetahui perbedaan kadar natrium serum pasien gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Peneliti, menambah pengetahuan tentang penyakit gagal ginjal kronik terutama mengenai kadar natrium serum pada pasien yang menjalani hemodialisis.

2. Institusi kesehatan, sebagai sumber informasi perubahan kadar natrium serum pada pasien gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis.


(20)

6

E. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka teori

Gagal Ginjal Kronik

Uremia Kreatinin

Gangguan elektrolit

hiperkalemia hiperfosfatemia hipokalsemia hiponatremia

hemodialisis

difusi Na+

post dialisis

kadar Na+ normal


(21)

7

F. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka konsep

G. Hipotesis

Terdapat perbedaan bermakna secara statistik kadar natrium serum pada pasien gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis.

Gagal Ginjal Kronik Penurunan jumlah nefron progresif

Gangguan fungsi glomerulus dan

tubulus

Pertahanan keseimbangan elektrolit (natrium)

Peningkatan ekskresi Natrium

dan Hormon

Hiponatremia


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak

(sangat vaskuler), tugas dasarnya adalah “menyaring atau membersihkan”

darah dan membuang produk akhir metabolism tubuh (Smeltzer, 2002). Tubuh manusia normal memiliki sepasang ginjal. Dua organ ginjal ini masing-masing mempunyai lebih dari satu juta unit penyaringan mini yang disebut nefron.

Ginjal merupakan salah satu organ yang penting bagi makhluk hidup. Ginjal memiliki berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi sisa metabolisme dan bahan kimia asing, pengatur tekanan arteri, sekresi hormon, dan glukoneogenesis. Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, akan terlihat dua bagian utama yaitu korteks di bagian luar dan medulla di bagian dalam. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru sehingga apabila terjadi trauma pada ginjal, penyakit ginjal, atau terjadi penuaan normal, akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap (Guyton, 2007)


(23)

9

Fungsi ginjal pada dasarnya meliputi : 1. Fungsi Ekskresi

Ginjal akan mengeluarkan urin sekitar 1,5 liter/24 jam (1 ml/menit), yang mengandung banyak sekali zat-zat sisa/limbah metabolisme (proses pembangunan energi, bahan dasar jaringan tubuh dan lain-lain dari bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh, dari berbagai jalur). Zat-zat ini banyak sekali yang sifatnya toksik (racun) yang berbahaya bila terlalu banyak tertumpuk di dalam tubuh.

2. Fungsi Regulasi

Ginjal memproduksi urin sebanyak cairan yang masuk ke dalam tubuh dikurangi kebutuhan tubuh. Urin ini semula adalah berupa filtrasi darah di glomerulus. Ginjal dapat mengatur jumlah produksi urin, banyaknya bahan-bahan yang harus diserap kembali oleh tubuh, dan banyaknya bahan-bahan yang dikeluarkan. Dengan demikian regulasi air dan elektrolit darah merupakan salah satu fungsi utama ginjal. 3. Fungsi Sekresi

Ginjal menghasilkan berbagai substansi yang sangat perlu bagi tubuh, seperti :

a. Renin

Hormon ini menyebabkan pembentukan angiotensin II yaitu protein yang bersifat vasokonstriktor kuat yang berguna untuk memacu retensi garam. Hormon ini perlu untuk pemeliharaan tekanan darah.


(24)

10

b. Vitamin D

Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal menjadi bentuk aktif 1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang terutama berperan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus.

c. Eritropoetin

Merupakan protein yang diproduksi di ginjal; meningkatkan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.

d. Prostaglandin

Diproduksi di ginjal; memiliki berbagai efek, terutama pada tonus pembuluh darah ginjal.

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Dalam proses pembentukan urin, ginjal menyerap kembali elektrolit penting melalui transport aktif dalam tahap reabsorpsi. Komposisi dan volume cairan ekstraseluler ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus. (Sherwood, 2006)

1. Filtrasi Glomerulus

Merupakan proses pertama dalam pembentukan urin. Air, ion dan zat makanan serta zat terlarut dikeluarkan dari darah ke tubulus proksimal. Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsula Bowman harus melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus, yaitu dinding kapiler glomerulus, membran basal dan lapisan dalam kapsula


(25)

11

Bowman. Sel darah dan beberapa protein besar atau protein bermuatan negative seperti albumin secara efektif tertahan oleh karena ukuran dan muatan pada membrane filtrasi glomerular. Sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil atau yang bermuatan positif, seperti air dan kristaloid akan tersaring. Tujuan utama filtrasi glomerulus adalah terbentuknya filtral primer di tubulus proksimal. (Sherwood, 2006)

Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125 ml/menit pada pria dan 160 L filtrate per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita. (Sherwood, 2006)

2. Reabsorpsi Tubulus

Reabsorpsi tubulus merupakan proses menyerap zat-zat yang diperlukan tubuh dari lumen tubulus ke kapiler peritubulus. Proses ini merupakan transport transepitel aktif dan pasif karena sel-sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction.

Berikut ini merupakan zat-zat yang direabsorpsi di ginjal : a. Reabsorpsi glukosa

Glukosa direabsorpsi secara transport aktif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase,


(26)

12

karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi. b. Reabsorpsi natrium

Natrium yang difiltrasi seluruhnya oleh glomerulus, 98-99% akan direabsorpsi secara aktif di tubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% direabsorpsi di lengkung Henle, dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul (Sherwood, 2006). Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air, dan urea (Corwin, 2009).

c. Reabsorpsi air

Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Sebanyak 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa Henle. Sisanya akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin. (Sherwood, 2006)

d. Reabsorpsi klorida

Direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dari natrium. Jumlah ion klorida yang direabsorpsi ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi ion natrium. (Sherwood, 2006)

e. Reabsorpsi kalium

Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan direabsorpsi di ansa henle pars asendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul. (Corwin, 2009)


(27)

13

f. Reabsorpsi urea

Urea merupakan produk akhir dari metabolism protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus pengumpul, urea akan mulai direabsorpsi kembali. (Sherwood, 2006)

g. Reabsorpsi fosfat dan kalsium

Ginjal secara langsung mengatur kadar ion fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars asendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh hormone paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan diekskresikan ke dalam urin.


(28)

14

Gambar 3. Proses reabsorpsi tubulus

3. Sekresi Tubulus

Sekresi adalah proses perpindahan zat dari kapiler peritubulus kembali ke lumen tubulus. Proses sekresi yang terpenting adalah sekresi ion H+, K+ dan ion-ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transport transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam-basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan disekresikan dalam urin dan kontrol ion K+ tersebut diatur oleh hormone antidiuretik (ADH).


(29)

15

B. Gagal Ginjal Kronis

1. Definisi

Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang ireversibel atau apabila Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) berada di bawah 60 ml/min/1.73 m2 dan telah berlangsung minimal 3 bulan. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu lama. Dalam kondisi tersebut diperlukan terapi pengganti untuk mempertahankan hidup penderita yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. (Suwitra, 2007)

Batasan penyakit ginjal kronik sebagai berikut:

a. Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

i. kelainan patalogik

ii. petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

b. Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73 m2 selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Sesuai dengan tes kreatinin klirens, maka gagal ginjal kronik dapat diklasifikasikan dengan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut (Sukandar, 2006):


(30)

16

Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronis

Derajat Primer (LFG) Sekunder (kreatinin mg%) Normal 1 2 3 4 5 Normal 50 – 80 % normal 20 – 50 % normal 10 – 5 %normal 5 – 10 % normal < 5 % normal

Normal Normal – 2,4

2,5 – 4,9 5,0 – 7,9 8,0 – 12,0

>12,0

Klasifikasi stadium penyakit gagal ginjal kronik ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Pada tahun 2002, The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mengklasifikasikan tahapan perkembangan penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut:

Stadium 1 : kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90 ml/min/1.73 m2 Stadium 2 : penurunan ringan pada LFG: 60-89 ml/min/1.73 m2

Stadium 3 : penurunan sedang pada LFG: 30-59 ml/min/1.73 m2 Stadium 4 : penurunan berat di LFG: 15-29 ml/min/1.73 m2 Stadium 5 : gagal ginjal LFG <15 ml/min/1.73 m2 atau dialisis

2. Etiologi

Adapun sebab-sebab gagal ginjal kronik yang sering ditemukan dapat dibagi menjadi 8 golongan yaitu, sebagai berikut (Soenarso, 2004) :

a. Penyakit glomerulus primer : penyakit glomerulus akut termasuk gromerulonefrintis progresif cepat, penyebab terbanyak adalah gromerulonefrintis kronik.


(31)

17

b. Penyakit tubulus primer : hiperkalamia primer, hipokalemia kronik, keracunan logam berat seperti tembaga.

c. Penyakit vaskuler : iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri ginjal, hipertensi.

d. Infeksi : pielonefritis kronik atrofi, tuberkulosis.

e. Obstruksi : batu ginjal, fibrosis, retroperitoneal, pembesaran prostat, striktur, uretra dan tumor.

f. Penyakit autoimun : lupus eritematosus, sistemik, poliarperitis nodosa, seklerodema.

g. Penyakit ginjal metabolik : diabetes melitus, amelordosis, nefropatik, analgesik, gout.

Penyebab gagal ginjal pasein yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 (Suwitra, 2007) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyebab penyakit ginjal kronis

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis Diabetes mellitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi

Sebab lain

46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%


(32)

18

3. Patofisiologi

Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju penyaringan glomerulus (GFR), sehingga kadar urea darah meningkat, kenaikan kadarurea darah dan meningkatnya proses penyaringan oleh nefron yang mengalami hipertropi, menyebabakan muatan solut yang sampai ke masing masing tubulus yang masih berfungsi akan menjadi lebih besardaripada keadaan normal (William, 2009).

Menurut teori nefron utuh, kehilangan fungsi ginjal normal akibat dari penurunan jumlah nefron yang berfungsi dengan tepat. Gambaran parsial dari teori ini adalah bahwa keseimbangan antara glomerulus dan tubulus dipertahankan nilai jumlah nefron berkurang sampai yang tidakadekuat untuk mempertahankan keseimbangan hemostastis akibatnya mempengaruhi semua sistem tubuh karena ketidakmampuan ginjal melakukan fungsi metaboliknya dan untuk membersihkan toksin daridarah (Tambayong, 2000).

4. Diagnosis

Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa penderita gagal ginjal kronis (Alatas, 2002) :

1. Pemeriksaan laboratorium: urin, kreatinin darah, sedimen urin dan elektrolit serum.

2. Pemeriksaan EKG. 3. Ultrasonografi (USG). 4. Foto polos abdomen.


(33)

19

5. Pemeriksaan radiologi tulang. 6. Pielografi Intra Vena (PIV). 7. Pemeriksaan Pielografi Retrograd. 8. Pemeriksaan foto dada.

C. Gambaran Natrium pada Gagal Ginjal Kronis

Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+), kalium (K+) , klorida (Cl-), dan bikarbonat (HCO3-). Pemeriksaan keempat elektrolit mayor

tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil elektrolit”.

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, kalium kation terbanyak dalam cairan intrasel dan klorida merupakan anion terbanyak dalam cairan ekstrasel. Jumlah natrium, kalium dan klorida dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama melalui ginjal. Gangguan keseimbangan natrium, kalium dan klorida berupa hipo- dan hiper-. Hipo- terjadi bila konsentrasi elektrolit tersebut dalam tubuh turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal dan hiper- bila konsentrasinya meningkat di atas normal. (Yaswir, 2012).


(34)

20

Profil elektrolit biasa digunakan sebagai skrining keseimbangan elektrolit atau asam basa dan monitor efek suatu terapi pada ketidakseimbangan yang dipengaruhi fungsi organ tubuh. Tes bagi elektrolit meliputi pengukuran kadar natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat terutama dalam diagnosis dan manajemen ginjal, endokrin, asam-basa, keseimbangan air, dan keadaan lainnya. Kalium paling sering digunakan sebagai elektrolit marker bagi gagal ginjal. Kombinasi penurunan filtrasi dan sekresi kalium pada tubulus distal pada gagal ginjal mengakibatkan peningkatan kalium plasma. Sedangkan natrium dapat digunakan sebagai marker fungsi tubular (Gowda, 2010).

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel

menggambarkan perubahan konsentrasi natrium (Darwis, dkk, 2008).

Natrium dan anion terkait (terutama klorida) bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen elektrolit dalam cairan ekstrasel, maka konsentrasi natrium plasma merupakan indikator yang cukup baik bagi osmolaritas plasma pada banyak keadaan. Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekivalen di bawah normal (sekitar 142 mEq/L) (Guyton, 2007).


(35)

21

Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit.

Natrium berperan dalam menjaga keseimbangan asam-basa di dalam tubuh dengan mengimbangi zat-zat yang membentuk asam. Natrium berperan dalam trasmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium berperan pula dalam absorbpsi glukosa dan sebagai alat angkut zat-zat gizi lain melelui membran terutama melalui dinding usus (Almatsier, 2002).

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya

direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas (Yaswir, 2012).

Sejumlah mekanisme homeostatik bekerja tidak hanya untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit dan osmotik cairan tubuh, tetapi juga


(36)

22

volume cairan tubuh total. Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit normal terjadi akibat keseimbangan dinamis antara makanan dan minuman yang masuk dengan keseimbangan yang melibatkan sejumlah besar sistem organ. Ginjal memperantarai sebagian besar pengendalian kadar elektrolit dan cairan. TBW (Total Body Water) dan konsentrasi elektrolit sangat ditentukan

oleh “apa yang disimpan ginjal”. Ginjal sendiri berespons terhadap seumlah

hormon dalam menjalankan fungsi regulasinya.

Keseimbangan air tubuh dan garam (NaCl) berkaitan erat, mempengaruhi osmolalitas maupun volume ECF. Keseimbangan air tubuh terutama diatur oleh mekanisme rasa haus dan hormone antidiuretic (ADH) untuk mempertahankan isoosmotik plasma (hampir 287 mOsm/kg). Sebaliknya, keseimbangan natrium terutama diatur oleh aldosterone untuk mempertahankan volume ECF dan perfusi jaringan. Pengaturan osmotik diperantarai oleh hipotalamus, hipofisis, dan tubulus ginjal.

Natrium serum umummya mencerminkan osmolalitas plasma karena garam natrium merupakan 90% dari elektrolit ECF. Hiponatremia menunjukkan bahwa pengenceran cairan tubuh terjadi oleh kelebihan air relatif terhadap elektrolit total; tidak setara dengan kekurangan NA+. Hipernatremia selalu menunjukkan hiperosmotik cairan tubuh (terdapat kekurangan air relatif terhadap elektrolit total); jarang disebabkan oleh kelebihan natrium absolut. Kadar glukosa serum turut mempengaruhi kadar narium serum. Pada keadaan osmosis substansi aktif (misalnya pada pasien hiperglikemia atau pasien yang


(37)

23

menerima infus manitol), peningkatan osmolalitas serum diamati, hasilnya pergerakan air keluar dari sel dan selanjutnya pengurangan kadar natrium serum oleh pengenceran. Hal ini telah dihitung bahwa setiap kenaikan 3,4 mmol/L kadar glukosa darah akan menarik air keluar dari sel yang cukup untuk mengurangi 1 mmol/L konsentrasi natrium serum (dengan kata lain, penurunan 1,6 mmol/L kadar natrium serum tiap kenaikan 5,6 mmol/L kadar glukosa). Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa hiperglikemia yang disebabkan penurunan konsentrasi natrium diperkirakan jauh lebih tinggi dari

“standar” faktor koreksi 1,6 mmol/L, khususnya apabila kadar glukosa lebih

besar dari 22,2 mmol/L. Hillier dan rekannya telah mengusulkan bahwa faktor koreksi 2,4 mmol/L adalah perkiraan yang lebih baik secara keseluruhan estimasi dari hubungan kadar natrium dan glukosa. (Milionis, 2002)

Berkurangnya natrium tubuh (hiponatremia) secara akut menimbulkan gejala-gejala hipovolemia disertai hipotensi, syok, dan kelainan jantung terkait seperti takikardia. Pada keadaan yang lebih kronis, hiponatremia yang signifikan menyebabkan kelainan susunan saraf pusat (kebingungan dan kelainan mental). Kekurangan natrium dapat terjadi karena beberapa abnormalitas. Mungkin terdpat penyakit ginjal yang disertai pengeluaran garam (salt-losing renal disorder) atau penyakit ginjal lain yang mengganggu kemampuan ginjal mengatur elektrolit. Retensi natrium dapat terjadi pada penyakit ginjal atau jantung, tetapi biasanya juga terjadi retensi air sehingga tidak terjadi peningkatan kadar natrium (Sacher, 2004).


(38)

24

Hiponatremia mungkin terjadi karena gangguan ekskresi air yang tidak terkait dengan kekurangan atau kelebihan garam yang cukup banyak. Pada keadaan ini volume ekstraseluler hanya sedikit berlebih, karena kelebihan air akan didistribusikan di seluruh ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler dalam proporsi sesuai dengan volumenya. Jadi hanya sekitar sepertiga dari kelebihan air akan berada di ruang ekstraseluler. Pasien oliguria akan mengalami hiponatremia pengenceran (dilutional), jika restriksi air lewat oral atau parenteral tidak dilakukan dengan baik. Kemampuan untuk mengeluarkan air sangat terbatas pada gagal ginjal kronik lanjut. Pengaturan boleh minum jika haus dapat mencegah hiponatremia delusional. Akan tetapi, hiponatremia dapat timbul karena masukan cairan meningkat (misalnya pasien disuruh minum paksa). Karena kemampuan ekskresi garam pada gagal ginjal kronik juga terganggu, pada banyak pasien dijumpai adanya hiponatremia terkait dengan edema atau deplesi garam dari pada volume ekstraseluler yang normal (Isselbacher, 2008).

Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponatremia dapat dirandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare, dan muntah. Pemberian garam pada pasien GGK harus dalam batas toleransi maksimal dengan tujuan untuk mempertahankan volume cairan ekstravaskular. Oleh karena itu pengawasan terhadap terjadinya hiponatremia sangat penting untuk dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium elektrolit Na+ dalam urin dan darah. (Sukandar, 2006)


(39)

25

Tabel 3. Penyebab gangguan metabolisme natrium dan air Gangguan Metabolisme Natrium dan Air

I. Kehilangan natrium dan air (kehilangan volume) A. Kehilangan ekstrarenal

1.Saluran makanan (muntah, diare, pengisapan saluran cerna, fistula)

2.Sekuestrasi abdominal (peritonitis, reakumulasi cepat asites)

3.Kulit (keringat, luka bakar) B. Kehilangan renal

1.Penyakit ginjal (fase diuretik gagal ginjal akut, diuresis pasca obstruksi, gagal ginjal kronik, penyakit tubulus boros garam)

2.Kelebihan diuretic

3.Diuresis osmotic (glikosuria diabetic)

4.Defisiensi mineralokortikoid (penyakit Addison, hipoaldosteronisme)

II. Hiponatremia

A. Dengan kehilangan volume ekstraseluler

B. Dengan kelebihan volume ekstraseluler dan edema

C. Dengan volume ekstraseluler yang normal atau meningkat sedang (tanpa edema)

1.Gagal ginjal akut dan kronik

2.Gangguan diuresis air sementara (nyeri, obat-obat, emosi) 3.Sindroma sekresi hormone antidiuretic yang tidak memadai

(SIADH)

4.Endokrin (defisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme) 5.Polydipsia berat

6.Esensial (“sindroma sel sabit”) D. Tanpa hipoosmolalitas plasma

1.Osmotic (hiperglikemia, manitol)

2.Artifak (hiperlipemia, hiperproteinemia, kesalahan laboratorium)

III. Hipernatremia

A. Terutama karena kehilangan air 1.Ekstrarenal

i. Kulit (kehilangan tidak disadari) ii. Paru-paru

2.Renal

i. Diabetes insipidus (sentral, nefrogenik) 3.Gangguan fungsi hipotalamus

B. Akibat kehilangan air yang disertai kehilangan natrium 1.Ekstrarenal

i. Keringat 2.Renal

i. Diuresis osmotic (glikosuria, urea) C. Akibat mendapat natrium

1.Pemberian natrium berlebihan

2.Hiperfungsi adrenal (hiperaldosteronisme, sindroma Cushing)


(40)

26

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa pada gagal ginjal kronik antara lain (Sukandar, 2006) :

1. Homeostasis natrium dan air

Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara

perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.

2. Homeostasis kalium

Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karena konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan, transfusion of stored red blood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefron bagian distal. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya


(41)

27

merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastrointestinal.

3. Asidosis metabolik

Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

Kemampuan ekskresi garam pada gagal ginjal kronik juga terganggu, pada banyak pasien dijumpai adanya hiponatremia terkait dengan edema atau deplesi garam dari pada volume ekstraseluler yang normal (Isselbacher, 2008).

Pada pasien yang menjalani hemodialisis, cairan dialisat turut mempengaruhi keseimbangan natrium tubuh. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis (Suwitra, 2009).


(42)

28

D. Hemodialisis

Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia, seperti urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi (Setyawan, 2001).

Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria sedangkan pada wanita di atas 4 mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomelurofiltration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring di tempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.


(43)

29

Tujuan hemodialisis adalah mengeluarkan sisa-sisa protein serta mengoreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasein dengan kompartemen larutan dialisat melalui selaput (membrane) semipermeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (dialyzer). Membran semipermeabel merupakan lapisan yang penuh pori-pori. Air dan benda yang larut di dalamnya (solute) yang mempunyai berat molekul besar tidak dapat melaluinya maka konsentrasinya tidak berubah.

Prinsip mekanisme kerja hemodialisis adalah pergerakan larutan dari darah pasien melewati membrane semipermeable ke dalam cairan dialisat. Hemodialisis merupakan pilihan utama terapi pengganti sampai sekarang. Pada saat dialisis maka darah mengalir ke dalam suatu alat yang terdiri dari dua bagian :

1. Kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeable buatan. 2. Kompartemen dialisat yang berisi cairan dialisis. Cairan dialisis adalah

cairan bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sesuai dengan serum normal.

Berikut ini disajikan komposisi dialisat pada alat hemodialisis :

Tabel 4. Komposisi dialisat standar

Komposisi elektrolit dalam dialisat standar Na K Cl Ca Mg Asetat

132 – 135 mEq/L 2 – 3 mEq/L 100 – 110 mEq/L 3.5 mEq/L 1.5 mEq/L 35 – 45 mEq/L


(44)

30

Sumber: goeshealth.com

Sumber: kidney.niddk.nih.gov

Gambar 4. Mekanisme hemodialisis

Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hypervolemia (edema paru-paru), hyperkalemia atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Apabila terdapat kenaikan terus ureum dan kreatinin darah pada pasien oliguria dan dengan pengobatan konservatif tidak ada tanda-tanda perbaikan (produksi urin bertambah, ureum dan kreatinin tetap atau menurun), maka sudah saatnya dipertimbangkan untuk melakukan dialisis.


(45)

31

Hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, namun tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari, juga tidak akan memperbaiki seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi.(Smeltzer dan Bare, 2004).

Masalah-masalah yang mungkin timbul pada saat pasien menjalani hemodialisis (Suzzanne, 2004) yaitu :

1. Hipotensi biasanya terjadi selama perawatan ketika cairan dipindahkan. Mual dan muntah, diaphoresis (berkeringat), tachicardi (nadi cepat), dan pusing merupakan tanda dan gejala dari hipotensi.

2. Nyeri otot tiba-tiba, biasanya terjadi karena keterlambatan cairan dialisis dan elektrolit dapat dengan cepat hilang pada CES.

3. Disrithmia disebabkan oleh pertukaran elektrolit dan pH atau dari perpindahan anti arhythmic selama pengobatan dialisis.

4. Emboli udara biasanya jarang tetapi biasanya terdapat jika udara masuk ke saluran pembuluh darah pasien.

5. Nyeri dada yang disebabkan oleh anemia atau pasien dengan penyakit arteriosklerosis hati.

E. Elektroda Selektif Ion

Metode ISE (Ion-Selective Electrode) mempunyai akurasi yang baik, koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator dapat dipercaya dan mempunyai program pemantapan mutu yang baik.


(46)

32

Elektroda selektif-ion merupakan metoda yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu ion secara kuantitatif dengan menggunakan membran sebagai sensor kimia yang potensialnya berubah secara reversibel terhadap perubahan aktivitas ion yang ditentukan. Membran merupakan bagian terpenting yang menentukan selektivitas suatu ISE.

ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk memeriksa secara langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh. Metode inilah yang umumnya digunakan pada laboratorium gawat darurat. Metode ISE indirek yang berkembang lebih dulu dalam sejarah teknologi ISE, yaitu memeriksa sampel yang sudah diencerkan (Klutts, 2006).

Prinsip pengukuran :

Pada dasarnya alat yang menggunakan metode ISE untuk menghitung kadar ion sampel dengan membandingkan kadar ion yang tidak diketahui nilainya dengan kadar ion yang diketahui nilainya. Membran ion selektif pada alat mengalami reaksi dengan elektrolit sampel. Membran merupakan penukar ion, bereaksi terhadap perubahan listrik ion sehingga menyebabkan perubahan potensial membran. Perubahan potensial membran ini diukur, dihitung menggunakan persamaan Nerst, hasilnya kemudian dihubungkan dengan amplifier dan ditampilkan oleh alat. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(47)

33

Sumber: Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

Gambar 5. Prinsip pengukuran elektrolit dengan metode ISE

Salah satu persamaan Nernst yang dipakai yaitu:

(+) untuk kation (-) untuk anion E = Potensial elektrik yang diukur

E’ = Sistem e.m.f pada larutan standar

R = Konstanta Gas (8,31 J/Kmol) T = Suhu

n = Valensi ion yang diukur

F = Konstanta Faraday 96,496 A.s/g f1 = Koefisien aktivitas


(48)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional analitik yang bertujuan untuk membandingkan kadar natrium serum sebelum dan sesudah dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik di Instalasi Hemodialisis RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu penelitian

Penelitian dan pengumpulan data akan dilakukan pada bulan November-Desember 2012.

2. Tempat penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Unit Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dan pemeriksaan serta analisis sampel dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moleok Provinsi Lampung.


(49)

35

C. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. 2. Variabel Terikat

Kadar natrium serum.

D. Definisi Operasional

1. Pasien gagal ginjal kronik

Adalah pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal irreversible dan melakukan terapi pengganti ginjal yang tetap. Pada penelitian ini, pasien tetap RSUD Abdul Moeloek yang menjalani terapi hemodialisis dan telah berlangsung lebih dari 3 bulan.

2. Kadar natrium serum

Merupakan kandungan natrium yang terdapat pada serum penderita gagal ginjal kronik yang akan dan telah menjalani hemodialisis. Dalam penelitian ini diambil darah vena responden, harus diambil sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis. Dikatakan normal apabila berada pada kisaran 135-145 mmol/L, dikatakan hiponatremia apabila <135 mmol/L, dan dikatakan hipernatremia apabila >145 mmol/L. Dilakukan koreksi hiponatremia apabila kadar glukosa darah pasien >200 mg/dl (kenaikan >100 g/dl).


(50)

36

3. Hemodialisis

Adalah terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi sampel penelitian ini merupakan pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Subjek yang akan mengikuti penelitian apabila sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut :

a. Bersedia sebagai sampel penelitian.

b. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

c. Pasien GGK yang menjalani hemodialisis 2 kali seminggu.

Dan akan dikeluarkan apabila termasuk ke dalam kriteria eksklusi berikut :


(51)

37

Zα + Zβ . Sd 2

d 2. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel diambil secara consecutive random sampling yaitu setiap pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek yang aktif dalam periode penelitian dan lolos penyaringan kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian diambil sampai sesuai jumlah yang dibutuhkan.

3. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan dengan rumus uji hipotesis terhadap penelitian analitik berpasangan dengan variable numerik, yaitu :

n =

(Sastroasmoro, 2011)

Zα = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkat kesalahan α=0,05; maka z = 1,96, α sebesar 0,05

Zβ = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkat kesalahanβ= 0,80 z = 0,842, β sebesar 0,80. Nilai ini diambil karena penelitian yang dilakukan masih jarang sehingga peneliti menentukkan nilai kepercayaannya yaitu 20%.

Sd = Simpang baku dari rerata selisih (nilai ini diambil dari asumsi dua kali nilai selisih

rerata dua kelompok yang bermakna karena, tidak ditemukan nilai dari kepustakaan sebelumnya).

d = selisih rerata dua kelompok yang bermakna (mempunyai nilai klinis yaitu 3 mmol/L) n = Zα + Zβ . Sd 2

d

n = 1,96 + 0.842 . 6 2 n = 32 3


(52)

38

Jika nilai β 5 %, 10 %, 15 % maka jumlah sampel berturut-turut 52, 42, dan

36, sehingga dipakai nilai β 20 % dengan pertimbangan mempermudah

penelitian karena keterbatasan yang dimiliki peneliti dan alas an lain karena penelitian ini masih jarang dilakukan sehingga power (β) yang dipakai yaitu 20%.

Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out :

n

n’ = n : besar sampel yang dihitung

(1-f) f : perkiraan proporsi drop out (10%)

31

n’ = = 36

(1 - 0,1)

Jadi sampel yang disertakan berjumlah 36 orang.

F. Pengumpulan Data dan Analisis Data

Data yang didapat dianalisa secara deskriptif, semua data variabel ditabulasi secara manual dan dinyatakan dalam rata-rata dan nilai terendah dan nilai tertinggi. Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer menggunakan analisis statistik univariat (satu variabel bebas) dengan teknik analisis Paired Sample t-test jika sebaran data berdistribusi normal, namun jika sebaran data tidak berdistribusi normal digunakan statistik non parametrik Wilcoxon Match Pair Test, yaitu membandingkan rata-rata pasangan data satu sampel, data hasil pemeriksaan kadar natrium serum sebelum dilakukan hemodialisis dan setelah dilakukan hemodialisis.


(53)

39

G. Instrumen Penelitian

Beberapa instrument yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Formulir data responden.

2. Formulir persetujuan mengikuti pemeriksaan. 3. Pengukur kadar glukosa darah.

4. Tabung Reaksi. 5. Spuit 10 cc. 6. Sentrifus. 7. Alat ISE.


(54)

40

H. Alur Penelitian

Kriteri Inklusi Kriteria Eksklusi

Gambar 6 . Alur Penelitian Penentuan sampel Meminta izin dan informed consent

Jumlah sampel

Pengambilan sampel untuk glukosa darah

Pengambilan sampel dan penentuan kadar natrium serum

Pengambilan sampel dan penentuan kadar natrium serum

Setelah menjalani hemodialisis

Pengolahan dan penganalisaan data dengan program statistik yang

tersedia


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas H., Tambunan T, dan Partini P. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Ashish K Duggal, PushpaYadav, AK Agarwal, BB Rewari. 2006. Clinical Approach to Altered Serum Sodium Levels. JIACM 2006; 7(2): 91-103. Ates K, Nergizoglu G, Keven K et al. 2001. Effect of Fluid and Sodium Removal

on Mortality in Peritoneal Dialysis Patients. Kidney Int 2001; 60: 767-76. Cahyaningsih, N. D. 2009. Hemodialisa (Cuci Darah). Mitra Cendikia Press,

Yogyakarta.

Charra, B., Chazot, C. 2003. Volume Control, Blood Pressure and Cardiovascular Function. Nephron Physiol 2003;93;p94-p101.

Choncol, M., Spiegel D. M. 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R. W., 6th ed. Manual of Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins., 177-186. Philadelphia.

Cynthia, 2011. Skripsi : Karakteristik Pemeriksaan Laboratorium pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok Periode Januari

2008- Desember 2010. FK-UPN “Veteran”.

Darwis, D., dkk. 2008. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa: Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana Edisi Ke-2. FK-UI, Jakarta.

Depkes.2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

De Paula FM, Peixoto AJ, Pinto LV, Dorigo D, Patricio PJ, Santos SF. 2004. Clinical Consequences of An Individualized Dialysate Sodium Prescription in Hemodialysis Patients. Kidney Int 2004; 66: 1232-82. Duggal, A. K., Pushpa Yadav, AK Agarwal, BB Rewari. 2006. Clinical

Approach to Altered Serum Sodium Levels. JIACM 2006; 7(2): 91-103 Gandasoebrata, R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat, Jakarta.


(56)

63

Guyton A.C, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. dr.Luqman Yanuar Rahman (Ed).EGC, Jakarta.

Gowda S, Desai PB, Kulkarni SS, Hull VV, Math AAK, Vernekar SN. Markers of Renal Function Tests. North Am J Med Sci2010; 2: 170-173.

Hamnah, S. Hubungan Kadar Natrium Darah dengan Kejadian Kram Otot Intradialisis di Unit Hemodialisis RSAL Dr. Minthohardjo Jakarta Tahun 2012.FK UMJ, Jakarta.

Hillier, T.A., Abbott R.D., Barrett E.J. 2004. Hyponatremia: Evaluating The Correction factor for Hyperglicemia. Am J Med 1999; 106(4): 399-403. Isselbacher, KJ., dkk. 2008. Harrison’s Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam

Volume I. The McGraw-Hill Companies, USA.

Jaroszynski, AJ, et al. 2006. Effect of Haemodyalisis on Signal-Averaged Electrocardiogram P-wave Parameters. Nephrol Dial Transplant (2006) 21 : 425-430.

Kim, G. 2009. Dialysis Unphysiology and Sodium Balance. Electrolyte Blood Press 7:31-37, 2009.

Klutts J.S. and Scott M.G. 2006. Physiology and disorders of Water, Electrolyte, and Acid-Base Metabolism. In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics, 4thEd. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2006, pp. 1747-1775.

Langhoff, E., J. Ladefoged. 1985. Sodium Activity, Sodium Concentration, and Osmolality in Plasma in Acute and Chronic Renal Failure.ClinChem 31/11, 1811-1814 (1985).

Levin, A, et all. 2008. Guidelines for The Management of Chronic Kidney Disease. CMAJ 2008; 179(11).

Milionis, H.J., George L. Liamis, Moses S. Elisaf. 2002. The Hyponatremic Patient: A Systemic approach to laboratory Diagnosis. CMAJ 2002; 166(8):1056-62.

Moret K., et al. 2002. Ionic Mass Balance and Blood Volume Preservation During a High, Standard, and Individidualized Dialysate Sodium Concentration. Nephrol. Dial. Transplant (2002)17 (8): 1463-1469.

Penne, E.L., Levin N.W., Kotanko, P. 2010. Improving Volume Status by Comprehensive Dietary and Dialytic Sodium Management in Chronic Hemodialaysis Patients. Blood Purif 2010; 30: 71-78.


(57)

64

Penne, E.L., et al. 2010. Correction of Serum Sodium for Glucose Concentration in Hemodialysis Patients With Poor Glucose Control. New York, American Diabetes Association.

Pudji Rahardjo. 2007. Hemodialisis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. FK UI, Jakarta.

Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku II. Edisi 6. EGC, Jakarta.

Rafael Perez-Garcia, Juan M. Lopez-Gomez, Rosa Jofre, Eduarco Junco, Fernando Valderrabano. 2001. Haemodialysis Dose, Extracellular Volume Control and Arterial Hypertension. Nephrol Dial Transplant (2001) 16 [Suppl 1]: 98-101.

Rindiastuti, Y. 2008. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.http://www.journal.UNS.ac.id/AB/filter/20Compilation/Thought. Htm

Rundle, C.C. 2000. A Beginners Guide to Ion Selective Electrode Measurements. Nico2000 Ltd, London.

Sacher, RA. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. EGC, Jakarta.

Sam, R., et al. 2006. Composition and Clinical Use of Hemodialysates. Hemodialysis International 2006; 10 : 15-28.

Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke 3. Sagung Seto, Jakarta.

Sherwood, L. 2006. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC, Jakarta.

Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. FKUI, Jakarta.

Suzanne C, O Smeltzer, Brenda Bare. 2004.Brunner and Suddarth's Textbook of

Medical-Surgical of Nursing. Lippincott Williams & Wilkins.

Philadelphia.

Soenarso.2004. Apek Klinik Gagal Ginjal Kronik. FK Unjani, Cimahi.

Sukandar, E. 2006.Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. FK-Unpad, Bandung.

Sukandar, E. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad, Bandung.


(58)

65

Waikar, Sushrut S, Gary CC, Steven MB. Mortality Associated with Low Serum Sodium Concentration in Maintenance Hemodialysis. Am J Med 2011; 124: 77-84.

Wang, H. Jyh-Chang Hwang, Meng-Liang Chen, Wei-Chih Kan, Charn-Ting Wang. Effect of Dialysate Sodium Concentration on Fluid Gain in Chronic Hemodialysis Patients. Acta Nephrologica 2007; 21: 128-134. Yaswir, R., Ira Ferawati. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium,

Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas 2012;1(2) FK-Unand.


(1)

G. Instrumen Penelitian

Beberapa instrument yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Formulir data responden.

2. Formulir persetujuan mengikuti pemeriksaan. 3. Pengukur kadar glukosa darah.

4. Tabung Reaksi. 5. Spuit 10 cc. 6. Sentrifus. 7. Alat ISE.


(2)

40

H. Alur Penelitian

Kriteri Inklusi Kriteria Eksklusi

Gambar 6 . Alur Penelitian Penentuan sampel Meminta izin dan informed consent

Jumlah sampel

Pengambilan sampel untuk glukosa darah

Pengambilan sampel dan penentuan kadar natrium serum

Pengambilan sampel dan penentuan kadar natrium serum

Setelah menjalani hemodialisis

Pengolahan dan penganalisaan data dengan program statistik yang

tersedia


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas H., Tambunan T, dan Partini P. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Ashish K Duggal, PushpaYadav, AK Agarwal, BB Rewari. 2006. Clinical Approach to Altered Serum Sodium Levels. JIACM 2006; 7(2): 91-103. Ates K, Nergizoglu G, Keven K et al. 2001. Effect of Fluid and Sodium Removal

on Mortality in Peritoneal Dialysis Patients. Kidney Int 2001; 60: 767-76. Cahyaningsih, N. D. 2009. Hemodialisa (Cuci Darah). Mitra Cendikia Press,

Yogyakarta.

Charra, B., Chazot, C. 2003. Volume Control, Blood Pressure and Cardiovascular Function. Nephron Physiol 2003;93;p94-p101.

Choncol, M., Spiegel D. M. 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R. W., 6th ed. Manual of Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins., 177-186. Philadelphia.

Cynthia, 2011. Skripsi : Karakteristik Pemeriksaan Laboratorium pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok Periode Januari 2008- Desember 2010. FK-UPN “Veteran”.

Darwis, D., dkk. 2008. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa: Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana Edisi Ke-2. FK-UI, Jakarta.

Depkes.2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

De Paula FM, Peixoto AJ, Pinto LV, Dorigo D, Patricio PJ, Santos SF. 2004. Clinical Consequences of An Individualized Dialysate Sodium Prescription in Hemodialysis Patients. Kidney Int 2004; 66: 1232-82. Duggal, A. K., Pushpa Yadav, AK Agarwal, BB Rewari. 2006. Clinical

Approach to Altered Serum Sodium Levels. JIACM 2006; 7(2): 91-103 Gandasoebrata, R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat, Jakarta.


(4)

63

Guyton A.C, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. dr.Luqman Yanuar Rahman (Ed).EGC, Jakarta.

Gowda S, Desai PB, Kulkarni SS, Hull VV, Math AAK, Vernekar SN. Markers of Renal Function Tests. North Am J Med Sci2010; 2: 170-173.

Hamnah, S. Hubungan Kadar Natrium Darah dengan Kejadian Kram Otot Intradialisis di Unit Hemodialisis RSAL Dr. Minthohardjo Jakarta Tahun 2012.FK UMJ, Jakarta.

Hillier, T.A., Abbott R.D., Barrett E.J. 2004. Hyponatremia: Evaluating The Correction factor for Hyperglicemia. Am J Med 1999; 106(4): 399-403. Isselbacher, KJ., dkk. 2008. Harrison’s Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam

Volume I. The McGraw-Hill Companies, USA.

Jaroszynski, AJ, et al. 2006. Effect of Haemodyalisis on Signal-Averaged Electrocardiogram P-wave Parameters. Nephrol Dial Transplant (2006) 21 : 425-430.

Kim, G. 2009. Dialysis Unphysiology and Sodium Balance. Electrolyte Blood Press 7:31-37, 2009.

Klutts J.S. and Scott M.G. 2006. Physiology and disorders of Water, Electrolyte, and Acid-Base Metabolism. In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics, 4thEd. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2006, pp. 1747-1775.

Langhoff, E., J. Ladefoged. 1985. Sodium Activity, Sodium Concentration, and Osmolality in Plasma in Acute and Chronic Renal Failure.ClinChem 31/11, 1811-1814 (1985).

Levin, A, et all. 2008. Guidelines for The Management of Chronic Kidney Disease. CMAJ 2008; 179(11).

Milionis, H.J., George L. Liamis, Moses S. Elisaf. 2002. The Hyponatremic Patient: A Systemic approach to laboratory Diagnosis. CMAJ 2002; 166(8):1056-62.

Moret K., et al. 2002. Ionic Mass Balance and Blood Volume Preservation During a High, Standard, and Individidualized Dialysate Sodium Concentration. Nephrol. Dial. Transplant (2002)17 (8): 1463-1469.

Penne, E.L., Levin N.W., Kotanko, P. 2010. Improving Volume Status by Comprehensive Dietary and Dialytic Sodium Management in Chronic Hemodialaysis Patients. Blood Purif 2010; 30: 71-78.


(5)

Penne, E.L., et al. 2010. Correction of Serum Sodium for Glucose Concentration in Hemodialysis Patients With Poor Glucose Control. New York, American Diabetes Association.

Pudji Rahardjo. 2007. Hemodialisis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. FK UI, Jakarta.

Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku II. Edisi 6. EGC, Jakarta.

Rafael Perez-Garcia, Juan M. Lopez-Gomez, Rosa Jofre, Eduarco Junco, Fernando Valderrabano. 2001. Haemodialysis Dose, Extracellular Volume Control and Arterial Hypertension. Nephrol Dial Transplant (2001) 16 [Suppl 1]: 98-101.

Rindiastuti, Y. 2008. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.http://www.journal.UNS.ac.id/AB/filter/20Compilation/Thought. Htm

Rundle, C.C. 2000. A Beginners Guide to Ion Selective Electrode Measurements. Nico2000 Ltd, London.

Sacher, RA. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. EGC, Jakarta.

Sam, R., et al. 2006. Composition and Clinical Use of Hemodialysates. Hemodialysis International 2006; 10 : 15-28.

Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke 3. Sagung Seto, Jakarta.

Sherwood, L. 2006. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC, Jakarta.

Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. FKUI, Jakarta.

Suzanne C, O Smeltzer, Brenda Bare. 2004.Brunner and Suddarth's Textbook of Medical-Surgical of Nursing. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.

Soenarso.2004. Apek Klinik Gagal Ginjal Kronik. FK Unjani, Cimahi.

Sukandar, E. 2006.Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. FK-Unpad, Bandung.

Sukandar, E. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad, Bandung.


(6)

65

Waikar, Sushrut S, Gary CC, Steven MB. Mortality Associated with Low Serum Sodium Concentration in Maintenance Hemodialysis. Am J Med 2011; 124: 77-84.

Wang, H. Jyh-Chang Hwang, Meng-Liang Chen, Wei-Chih Kan, Charn-Ting Wang. Effect of Dialysate Sodium Concentration on Fluid Gain in Chronic Hemodialysis Patients. Acta Nephrologica 2007; 21: 128-134. Yaswir, R., Ira Ferawati. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium,

Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas 2012;1(2) FK-Unand.


Dokumen yang terkait

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

3 100 81

PERBEDAAN KADAR KALIUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2011

9 45 68

PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

2 17 78

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012

33 109 56

Hubungan Adekuasi Hemodialisis dengan Asupan Makan dan Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung

11 38 56

PERBEDAAN KADAR LIMFOSIT PRE DAN POST HEMODIALISIS PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2015

0 10 54

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2016

0 19 69

PERBEDAAN JUMLAH NEUTROFIL PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK) DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

1 17 56

HUBUNGAN LAMA MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD ABDUL MOELOEK

14 120 64

PERBEDAAN KADAR MONOSIT PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN END STAGE RENAL DISEASE (ESRD) DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

1 8 62