PERBEDAAN KADAR KALIUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2011

(1)

PERBEDAAN KADAR UREUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI INSTALASI POST-HEMODIALISIS RSUD Dr. H.

ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

(Skripsi)

Oleh,

Lovensia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

ABSTRAK

PERBEDAAN KADAR KALIUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI

INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2011

Oleh LOVENSIA

Gagal ginjal kronis ditandai dengan penurunan bertahap dan berkelanjutan klirens ginjal atau laju filtrasi glomerulus, serta mengarah ke akumulasi urea dan bahan kimia lainnya dalam darah. Peningkatan kadar kreatinin, ureum, asam urat, serta elektrolit dapat diturunkan dengan hemodialisa. Uremia yang tidak tertangani juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi berat seperti kejang, koma, henti jantung, dan kematian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan yang bermakna secara statistik kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di instalasi hemodialisa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada bulan Desember 2012 dengan 32 responden yang telah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data hasil pemeriksaan menggunakan uji statistik dengan uji t-test berpasangan.

Hasil uji statistik dengan t-test berpasangan didapatkan nilai p=0,000 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar ureum serum yang bermakna pre dan post-hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik dengan selisih rerata penurunan kadar ureum sebesar 108 mg/dL.


(3)

ABSTRACT

DIFFERENCE OF UREA LEVEL SERUM IN CHRONIC RENAL FAILURE PATIENTS PRE-HEMODIALYSIS AND

POST-HEMODIALYSIS AT POST-HEMODIALYSIS ISNTALLATION DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE HOSPITAL 2012

By LOVENSIA

Chronic renal failure is characterized by a gradual and sustained reduction in renal clearance or glomerular filtration rate, and leads to accumulation of urea and other chemicals in the blood. Elevated levels of creatinine, urea (uremia), uric acid, and electrolytes may be reduced by hemodialysis. Untreated uremia can also lead to some serious complications such as seizures, coma, cardiac arrest, and death. The purpose of this study was to detect a statistically significant difference in the levels of urea before and after hemodialysis in patients with chronic renal failure at Dr. H. Abdul Moeloek Lampung province Hospital.

This study was an analytical with a cross-sectional study design conducted at Hospital Dr installation hemodialysis. H. Abdul Moeloek Lampung Province in December 2012 with 32 respondents who have been selected based on inclusion and exclusion criteria. The results of the data used statistical paired t-test.

The results of statistical tests obtained paired t-test p value = 0.000 (p <0.05) showed that there were differences in serum urea levels were significantly pre and post-hemodialysis in chronic renal failure patients with a mean difference of urea decreased levels of 108 mg / dL.


(4)

PERBEDAAN KADAR UREUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI INSTALASI POST-HEMODIALISIS RSUD Dr. H.

ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

Oleh

LOVENSIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Zulfian, Sp.PK

Sekretaris : dr. Oktafani

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed

NIP. 195704241987031001

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 05 Februari 2013


(6)

Judul Skripsi : PERBEDAAN KADAR UREUM SERUM PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

Nama Mahasiswa : Lovensia

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011057

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Zulfian, Sp.PK dr. Oktafani

NIP. 195404081982111002 NIP. 197610162005011003

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(7)

i

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 5

D. Manfaat Penelitian... 5

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep... 7

1. Kerangka Teori ... 7

2. Kerangka Konsep ... 8

F. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal ... 9

B. Gagal Ginjal Kronik ... 15

C. Uremia ... 30

D. Hemodialisis ... 37

III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 43

B. Waktu dan Tempat Penelitian . ... 43

C. Variabel Penelitian ... 43

D. Definisi Operasional ... 44

E. Populasi dan Sampel ... 45

F. Pengumpulan dan Analisis Data ... 48

G. Instrumen Penelitian ... 49


(8)

ii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 51 1. Karakteristik responden ... 51 2. Normalitas Data ... 54 3. Profil kadar ureum serum pre-hemodialisis dan post-hemodialisis. 55

4. Hasil uji Paired Sample t-test kadar ureum serum

pre-hemodialisis dan post-hemodialisis ... 57 B. Pembahasan ... 57 V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 62 B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(9)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Teori ... 7

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 8

Gambar 3. Anatomi ginjal ... 10

Gambar 4. Nefron ... 12

Gambar 5. Alur Penelitian ... 50

Gambar 6. Grafik distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ... 52

Gambar 7. Grafik distribusi responden berdasarkan usia ... 52

Gambar 8. Grafik distribusi responden berdasarkan penyakit yang mendasari GGK ... 52


(10)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik ... 16

Tabel 2. Klasifikasi derajat penyakit ginjal ... 17

Tabel 3. Penyebab kenaikan ureum ... 31

Tabel 4. Penyebab penurunan ureum ... 31

Tabel 5. Uji normalitas data Shapiro-Wilk ... 55

Tabel 6. Kadar ureum serum pre-post hemodialisis dan selisih pre-post hemodialisis ... 55

Tabel 7 Data hasil pemeriksaan kadar ureum serum pre-hemodialisis dan post-hemodialisis ... 56

Tabel 8. Hasil uji paired sample t-test kadar ureum serum pre-hemodialisis dan post-hemodialisis ... 57


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 Oktober 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari Bapak Lo Thin Hoi dan Ibu Liu Nyuk Mui. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Xaverius Panjang diselesaikan tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) di SD Xaverius Panjang sampai kelas 2 SD, kemudian melanjutkan di SD Xaverius teluk Betung sampai kelas 6 SD semester 2 dan diselesaikan di SD Santa Agnes Belinyu Bangka pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Santo Yosef Belinyu Bangka pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Belinyu Bangka, kemudian pindah sekolah dan diselesaikan di SMAN 3 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran periode 2010-2011.


(12)

Atas anugrah yang telah Tuhan berikan dalam

hidupku,

kupersembahkan karya ku ini kepada

Papa dan Mama

tercinta


(13)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan anugrah dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi berjudul ” Perbedaan Kadar Ureum Serum Penderita Gagal Ginjal Kronik Pre-Hemodialisis dan Post-Hemodialisis Di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2012” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Mama dan Papa yang tanpa lelah bekerja keras demi kedua anaknya, memberikan kasih sayang, perhatian, dan doa yang terbaik hingga saat ini. 2. Kakak kandung terbaik Lomario yang selalu memberikan masukan dan

dukungan serta nasihat yang membangun.

3. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

4. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(14)

5. dr. Zulfian, Sp.PK selaku Pembimbing Pertama atas semua bantuan, saran, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. dr. Oktafani selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, saran, bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

7. dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini. 8. dr. M. Ricky Ramadhian, selaku pembimbing akademik.

9. Bapak dan Ibu Staff Administrasi PSPD Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

10.Mas Sigit, Ibu Menik dan semua pihak di instalasi Hemodialisis dan Lab. PK RSUD AM Bandar Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasama dalam pengambilan data dan pengamatan.

11.Sepupu-sepupu terdekat, Evan Mebeno, Nela Desi, jiji Meti, jiji Ali, icong dan seluruh keluarga besar, terima kasih atas segala dukungannya.

12.Teman-teman satu tim penelitian dalam hemodialisa, Laras, Aprilia, Satya, Hario, Salman, terima kasih untuk semua bantuan dan masukannya.

13.Sahabat-sahabat tercinta yang selalu setia ada dalam setiap suka duka selama ini Talitha Badzlina Sayoeti, Gladys Clara Dea Putri, Arnia, dan Laras Maranatha L. Tobing, terima kasih atas pengalaman hidup yang tak terlupakan.

14.Teman-teman Dorlan FK Unila 09, Dyah Gaby Kesuma, Galih Wicaksono, M. Aprimond, Febrina, Cindy, Erin, Mentari, Annida, Gina, Hawa, Cyntia dan teman-teman lain, terima kasih atas segala pelajaran yang berharga yang telah kalian berikan. Sai Kedokteran Sai!


(15)

15.Sahabat-Sahabat KKN tercinta Pekon Batu Kebayan, Lampung Barat 2012, Serly Yovica, Ayu Hervi, Ezed Qyoko, terima kasih atas pengalaman serta kebersamaan 40 hari yang begitu akrab hingga saat ini dan teman-teman lain, Kak Chandra, Kak Yota, Ermalia, Amel, Maya, Adi, Wawan dan yang lainnya, terima kasih atas kerja samanya.

16.Bapak Ibu Keluarga KKN Pekon Batu Kebayan, Lampung Barat 2012, Pak Ridwan sekeluarga terima kasih atas segala pelajaran selama 40 hari yang berharga.

17.Sahabat-sahabat SMAN 3 B. Lampung, Tri Handoko, Mety, Ochi, Lady, Dessy, dan Echa di surga, terima kasih atas persahabatan hingga saat ini. 18.Sahabat-sahabat lain Hananosa dan, Wiwin, terima kasih karena sampai

saat ini selalu ada berbagi suka duka dan selalu memberikan motivasi. 19.Seluruh Civitas Akademika Program Studi Pendidikan Dokter yang tidak

dapat disebutkan satu–persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Februari 2013


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronis ditandai dengan penurunan bertahap dan berkelanjutan klirens ginjal atau laju filtrasi glomerulus, serta mengarah ke akumulasi urea dan bahan kimia lainnya dalam darah. Kidney Disease Improving Global Outcomes

(KDIGO) mendefinisikan bahwa laju filtrasi glomerulus yang kurang dari 60mL/menit/1,73 m2 dinyatakan sebagai penyakit ginjal kronis (Anonim, 2008).

Menurut data yang diperoleh, di Amerika Serikat penderita gagal ginjal kronik dari 166.000 penderita pada tahun 1990 menjadi 372.000 penderita tahun 2000. Diperkirakan pada tahun 2010 angka penderita ini akan menjadi 650.000 penderita. Di Jepang, penderita GGK dari tahun 1996 sampai 2000 meningkat dari 167.000 penderita yang menerima terapi pengganti ginjal menjadi lebih dari 200.000 penderita. Di Benua Afrika prevalensi GGK diestimasi 3-4 kali lipat dari negara maju. Cause Spesific Death Rate GGK diperkirakan mencapai 200/1.000.000 penduduk Afrika (Djoko, 2008).


(17)

Peningkatan prevalensi pasien gagal ginjal kronik membawa keprihatinan sejumlah orang. Saat ini di Indonesia 70.000 orang mengalami penyakit ginjal kronik yang memerlukan terapi pengganti ginjal dan diperkirakan jumlah ini setiap tahunnya bertambah seiring dengan meningkatnya penderita kanker dan penyakit degeneratif sehingga kebutuhan unit Hemodialisis juga meningkat (Anonim, 2012).

Salah satu produk sisa yang penting untuk dikeluarkan adalah ureum. Ureum merupakan produk sisa dari metabolisme tubuh. Kadar ureum kreatinin perlu dimonitor sebagai indikator kerusakan ginjal dan pemeriksaan ini dilakukan setiap akan menjalani hemodialisis (Curley, 2001). Keadaan terkumpulnya produk buangan organik dalam jumlah besar, tidak semuanya teridentifikasi, yang normalnya dibuang oleh ginjal dikenal dengan uremia. Tidak ada pembatasan waktu dari onset uremia pada pasien yang kehilangan fungsi ginjal secara progresif. Ciri-ciri uremia dapat teridentifikasi pada pasien gagal ginjal end-stage

dalam derajat rendah, GFR (Glomerular Filtration Rate) biasanya dibawah 50% dari rata-rata orang normal, dimana GFR pada pasien dengan usia rata-rata 30 tahun antara 100-120 ml per menit / 1,73m2 luas permukaan tubuh. (Meyer, et al., 2007). Gejala klinis dari uremia seperti, mual muntah, lemah, anorexia, penurunan berat badan, kram otot, pruritus, dan perubahan status mental. Uremia yang tidak tertangani juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi berat seperti kejang, koma, henti jantung, dan kematian. Perdarahan spontan juga dapat terjadi pada


(18)

uremia berat dan dapat pula terjadi perdarahan gastrointestinal, hematoma spontan subdural, atau perdarahan yang berkaitan dengan trauma (Brent, 2012).

Gangguan ginjal yang telah berada pada tahap berat ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal membuang sisa-sisa zat metabolisme dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh dipenuhi dengan air dan racun sehingga timbul gejala seperti mual, muntah dan sesak napas yang memerlukan hemodialisis darah sesegera mungkin (Indonesian Kidney Care Club/IKCC, 2008). Hemodialisa merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita gagal ginjal terminal. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta membantu menjaga tekanan darah (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008).

Hemodialisa merupakan salah satu pengobatan yang dilakukan pada penderita gagal ginjal kronik dengan cara memindahkan zat terlarut dalan darah dan air menuju ke cairan yang sudah diketahui komponennya secara difusi dan ultafiltrasi. Peningkatan kadar kreatinin, ureum, asam urat, serta elektrolit dapat diturunkan dengan hemodialisa. Tujuan dari hemodialisa sendiri pada dasarnya untuk menggantikan fungsi ginjal mengekskresi zat-zat yang bersifat racun bagi tubuh


(19)

karena terakumulasi dalam darah dan memperbaiki keseimbangan cairan tubuh (Cahayaningsih, 2009).

Oleh karena itu, dengan terapi hemodialisis yang ada diharapkan komplikasi pada uremia yang disebabkan oleh gagal ginjal kronik dapat teratasi. Atas dasar ini, maka peneliti tertarik untuk mengetahui kadar ureum serum sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik dengan frekuensi hemodialisis dua kali per minggu. Sehingga dapat diketahui angka kejadian uremia pada pasien gagal ginjal kronik sebelum menjalani hemodialisis dan komplikasi uremia akibat hemodialisis yang tidak tepat yang secara tidak langsung akan menggambarkan efektivitas hemodialisis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang terlihat bahwa hemodialisis merupakan terapi yang sering digunakan dalam penatalaksanaan gagal ginjal terutama pada stadium akhir, akan tetapi terapi hemodialisis yang tidak adekuat dapat pula menimbulkan komplikasi yaitu kejang, koma, cardiac arrest, dan perdarahan spontan yang disebabkan oleh uremia. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana profil kadar ureum serum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik?


(20)

2. Apakah terdapat perbedaan bermakna secara statistik kadar ureum serum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

2. Tujuan Khusus.

a. Untuk mengetahui kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

b. Untuk mengetahui adanya perbedaan yang bermakna secara statistik kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

c. Untuk mengetahui hubungan yang bermakna secara statistik kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.


(21)

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Bagi peneliti

Menambahkan pengetahuan dan informasi bagi peneliti tentang penyakit ginjal terutama tentang perubahan kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

2. Bagi para klinisi

Menambah sumber informasi kepada para klinisi di rumah sakit tentang perubahan kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

3. Bagi penelitian lain

Menambah sumber referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kadar ureum pada penderita gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah hemodialisis.


(22)

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Ket:

= Peningkatan = Penurunan

Gambar 1. Kerangka Teori (Price, et. al., 2006).

GGK Kerusakan

Nefron

Hiperplasia endotel dan mesangial Hipertrofi sel epitel

Volume Glomerulus densitas epitel

Obliterasi dan retraksi podosit

Konfeksi lokal Kf (Koefisien Ultrafiltrasi)

GFR

ureum Retensi Na

uremia Edema Hipertensi


(23)

2. Kerangka Konsep

Ket:

= Peningkatan = Penurunan

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik kadar ureum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandar Lampung.

Gagal Ginjal Kronik

Kreatinin

Retensi Natrium Ureum

Ureum Hemodialisis Kerusakan

Nefron


(24)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ginjal

1. Anatomi Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak saling bersebelahan dengan vertebra di bagian posterior inferior tubuh manusia yang normal. Setiap ginjal mempunyai berat hampir 115 gram dan mengandungi unit penapisnya yang dikenali sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus berfungsi sebagai alat penyaring manakala tubulus adalah struktur yang mirip dengan tuba yang berikatan dengan glomerulus. Ginjal berhubungan dengan kandung kemih melalui tuba yang dikenali sebagai ureter. Urin disimpan di dalam kandung kemih sebelum ia dikeluarkan ketika berkemih. Uretra menghubungkan kandung kemih dengan persekitaran luar tubuh (Pranay, 2010).


(25)

10

Gambar 3. Anatomi Ginjal (adamimage.com)

2. Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/

membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari. Selain itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus (Guyton dan Hall, 2007).


(26)

11

a. Fungsi Ginjal Fungsi ginjal adalah 1. Fungsi ekskresi

Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.

Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3ˉ.

Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.

Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam urat dan kreatinin.

2. Fungsi non ekskresi

Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah. Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.

Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Degradasi insulin.


(27)

12

b. Fungsi Nefron

Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).

Gambar 4. Nephron (Encyclopedia Britainica inc, 2007)

Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan dalam tubuh adalah :

1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan menghasilkan cairan filtrasi.


(28)

13

2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.

Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh, molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor, hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri afferent. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang


(29)

14

dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri efferent.

Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula bowman terdapat tiga lapisan:

1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus 2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar

3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)

Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal (Guyton dan Hall, 2007).

Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus


(30)

15

yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:

Tubulus penghubung Tubulus kolektivus kortikal Tubulus kloektivus medularis

Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

B. Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Pada individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis. Apapun sebabnya,


(31)

16

terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif. (Elizaberth C, 2009)

Menurut Chonchol 2005, Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang

terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Laju Filtrasi Glomerulus = (140-umur) x Berat Badan (mL/menit/ 1,73m2) 72 x kreatinin plasma (mg/dL)

The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate

(GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Berikut ini klasifikasi deraja tpenyakit gagal ginjal kronik berdasarkan ketetapan K/DOQI.


(32)

17

Tabel 2. Klasifikasi derajat penyakit ginjal (Suwitra, K., 2009)

Derajat Penjelasan LGF (mL/mn/ 1,73m2)

I Kerusakan ginjal dengan

GFR normal atau meningkat

≥90

II Kerusakan ginjal dengan

penurunan GFR ringan

60-89 III Kerusakan ginjal dengan

penurunan GFR sedang

30-59

IV Kerusakan ginjal dengan

penurunan GFR berat

15-29

V Gagal ginjal <15 atau dialisis

2. Etiologi

Etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati, diabetik, serta penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan penyebab yang tidak diketahui. Menurut (Price, 2006), penyebab GGK adalah :

1. Infeksi seperti pielonefritis kronik.

2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.

3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.

4. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal, dan asidosis tubulus.

5. Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.


(33)

18

6. Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan refluks ureter.

Walau bagaimanapun, penyebab utama GGK adalah diabetes dan tekanan darah yang tinggi. Diabetes terjadi apabila kadar gula darah melebihi paras normal, menyebabkan kerusakan organ-organ vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi punca utama kepada serangan jantung, strok dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menyebabkan hipertensi (NKF, 2010).

3. Gambaran Umum Perjalanan Klinis

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan LFG sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar ureum dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik.

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu : a. Stadium I

Stadium pertama dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar ureum normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang


(34)

19

berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti (Price. et al., 2006).

b. Stadium II

Satadium kedua perkembangan ini disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar ureum baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi ureum ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini (Price. et al., 2006).

c. Stadium III

Stadium ketiga atau stadium akhir gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar ureum akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir


(35)

20

gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis (Price, et al., 2006).

4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.


(36)

21

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.


(37)

22

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost

e. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

f. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

g. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi


(38)

23

sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

5. Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.


(39)

24

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:


(40)

25

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2. Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

6. Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

1)Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.


(41)

26

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3)Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4)Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simptomatik 1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.


(42)

27

2) Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

4) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

6) Hipertensi


(43)

28

7) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). 1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).


(44)

29

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006). 2) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai

co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:


(45)

30

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

b) Kualitas hidup normal kembali c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

C. Uremia

Uremia adalah sindom klinis yang berkaitan dengan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan hormon serta kelainan metabolik, dimana berkembang sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Uremia kebanyakan berkembang pada gagal ginjal kronik, tapi dapat juga terjadi pada gagal ginjal akut jika fungsi ginjal hilang secara cepat. Sampai sekarang, tidak ada toksin uremik tunggal yang telah diidentifikasi berperan atas semua manifestasi klinis uremia. Toksin, seperti hormon paratiroid (PTH), mikroglobulin beta2, poliamina, produk glikosilasi, dan molekul lainnya, diperkirakan berperan juga pada sindrom klinis uremia (Brent, 2012).


(46)

31

Kenaikan kadar ureum disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor pra renal, faktor renal, dan pasca renal. Begitu pula dengan penurunan kadar ureum dapat disebabkan oleh beberapa hal. Berikut ini adalah hal-hal yang menyebabkan kenaikan dan penurunan kadar ureum.

Tabel 3. Penyebab kenaikan ureum (Pagana, 2002).

Faktor Penyebab

Pra renal - Hipovolemia, rejatan, luka bakar, dehidrasi - Gagal jantung kongestif, infark miokard akut

- Perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan - Katabolisme protein berlebih, kelaparan

- Sepsis

Renal - Penyakit ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, nekrosis tubular akut)

- Obat-obatan nefrotoksik Pasca renal - Obstruksi ureter

- Obstruksi outlet kandung kemih

Tabel 4. Penyebab penurunan kadar ureum (Pagana, 2002).

Penyebab Mekanisme

Gagal hati Pembentukan uerum menurun karena

gangguan fungsi hati

Hidrasi berlebih Pengenceran ureum

Keseimbangan nitrogen negatif (malnutrisi, malabsorpsi)

Produksi ureum menurun

Kehamilan Pengenceran ureum karena retensi air


(47)

32

Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrom uremik. Pertama, gejala-gejala yang paling nyata adalah gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam-basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi ginjal. Kelompok kedua gambaran klinis adalah: gabungan kelainan kardiovaskular, neuromuskular, saluran cerna, dan kelainan lainnya (Price, et. al., 2006)

Asidosis Metabolik

Gagal ginjal ditandai dengan berbagai jenis gangguan biokimia. Salah satu kelainan konstan yang selalu tampak pada kelainan uremia adalah asidosis metabolik. Pada gagal ginjal, gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan pH plasma. Kadar HCO3- menurun karena digunakan untuk mendapat H+. ekskresi ion amonium (NH4+) merupakan mekanisme utama ginjal dalam usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3- (sebab mekanisme ini memungkinkan penambahan de novo HCO3- baru dan bukan hanya reabsorpsi HCO3- terfiltrasi dalam cairan ekstraselular). Pada gagal ginjal, ekskresi NH4+ total berkurang karena berkurangnya jumblah nefron. Ekskresi fosfat merupakan mekanisme lain untuk mengekskresikan H+ dalam bentuk asam yang dapat dititrasi (yaitu, H+ yang didapat fosfat). Namun, kecepatan ekskresi fosfat ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan fosfat, dan bukan untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa. Pada gagal ginjal, fosfat cenderung


(48)

33

tertahan dalam tubuh karena berkurangnya massa nefron dan karena faktor-faktor yang berkaitan dengan metabolisme kalsium (Price, et. al., 2006).

Kemungkinan gejala-gejala anoreksia, mual, dan lelah yang sering ditemukan pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh asidosis, salah satu gejala yang sudah jelas akibat asidosis adalah pernapasan Kussmaul, meskipun gejala ini kurang nyata pada asidosis kronik (Price, et. al., 2006).

Ketidakseimbangan Kalium

Ketidakseimbangan kalium (K+) merupakan salah satu gangguan serius yang dapat terjadi pada gagal ginjal, karena kehidupan hanya dapat berjalan dalam rentang kadar kalium plasma yang sempit sekali. Hipokalemia dapat menyertai poliuria pada gagal ginjal kronik dini, terutama pada penyakit-penyakit tubulus seperti pielonefritis kronik. Akan tetapi hiperkalemia selalu akan timbul bila pasien mengalami oliguria pada gagal ginjal kronik (Price, et. al., 2006)..

Disamping itu, asidosis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergeseran K+ dari dalan sel ke cairan ekstraselular. Efek hiperkalemia yang sangat mengancam kehidupan adalah pengaruhnya pada hantaran listrik jantung. Bila kadar K+ serum mencapai 7-8 mEq/L, akan timbul disritmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung (Price, et. al., 2006)..


(49)

34

Kelainan Hematologi

Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan sel-sel darah merah. Penurunan pembentukan sel darah merah ini diakibatkan defisiensi pembentukan eritropoietin oleh ginjal. Juga terdapat bukti bahwa racun uremik dapat menginaktifkan eritropoietin. Faktor kedua yang ikut berperan dalam anemia adalah masa hidup sel darah merah pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel darah merah normal. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan anemia antara lain, kehilangan darah iatrogenik, dan defisiensi zat besi dan asam folat. Kekurangan asam folat juga menyertai uremia, dan bila pasien mendapatkan pengobatan hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis (Price, et. al., 2006).

Pucat akibat anemia yang menetap merupakan ciri khas uremia. Anemia jelas akan mengakibatkan gejala kelalahan. Bila kadar hemoglobin 8 mg/dL atau kurang, dapat timbul dispnea sewaktu pasien melakukan kegiatan fisik. Memar, perdarahan hidung, dan saluran cerna dapat merupakan manifestasi gangguan pembekuan (Price, et. al., 2006).

Uremic encephalopathy

Menurut Lohr (2009), uremic encephalopathy adalah gangguan otak yang disebabkan oleh gagal ginjal kronis. Pada manusia, manifestasi dari kelainan ini meliputi gejala klinis ringan (kelemahan dan kelelahan) sampai gejala yang parah


(50)

35

(seizure dan koma). Keparahan dari uremic encephalopathy tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal. Uremic encephalopathy mempunyai patofisiologi yang kompleks dan terdapat kaitan dengan toksin yang terjadi pada gagal ginjal. hormon paratiroid (PTH) juga dapat menyebabkan uremic encephalopathy.

Hiperparatiroidisme dapat terjadi pada keadaan gagal ginjal, sehingga pada kondisi ini akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium pada korteks cerebri. Mekanisme khusus dari gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh PTH masih belum jelas. Namun, terdapat kemungkinan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi kalsium di sel-sel otak yang merupakan hasil dari peningkatan kadar kalsium dalam plasma dari kerja PTH yang berlebihan.

Teori lain tehadap penyebab uremic encephalopathy menyatakan bahwa uremic encephalopathy disebabkan oleh ketidakseimbangan nurotransmiter asam amino dalam otak. Selama fase awal uremic encephalopathy, cairan cerebrospinal (CSF) dapat digunakan untuk menentukan terjadinya peningkatan level glisin, level glutamin, serta penurunan GABA. Perubahan yang terjadi pada metabolisme dopamin dan serotonin di otak dapat mengawali dan menyebakan gejala klinis. Peningkatan uremia akan menghasilkan akumulasi komponen guanidino yang dapat menyebabkan aktivasi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate eksitatori serta akan menghambat reseptor GABA yang dapat mengakibatkan terjadinya myoklonus dan kejang.


(51)

36

Menurut Bucurescu (2008), uremia yang menggambarkan gangguan ginjal (insufisiensi ginjal) dan gangguan multiorgan dihasilkan oleh akumulasi metabolit protein, asam amino, serta gangguan proses katabolisme di ginjal, proses metabolik, dan proses endokrin. Tidak ada metabolit tunggal yang menyebabkan uremia. Uremic encephalopathy merupakan salah satu manifestasi dari gagal ginjal. Patofisiologi dari uremic encephalopathy adalah akumulasi senyawa organik seperti metabolit protein dan asam amino yang merusak neuron, antara lain dapat berupa urea, senyawa guanidine, asam urat, asam hippuric, beberapa macam asam amino, polipeptida, polyamine, phenol dan konjugat phenol, asam phenols dan asam indolic, acetoin, asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat. Selain itu juga akibat dari peningkatan level senyawa guanidine, yang meliputi guanidinosuccinic acid, methylguanidine, guanidine, dan kreatinin. Senyawa guanidino endogenus bersifat neurotoksik.

Abnormalitas yang berkaitan dengan keadaan uremic encephalopathy meliputi asidosis, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hipermagnesemia, overhidrasi, dan dehidrasi.

Tidak ada abnormalitas tunggal yang dapat menunjukkan lesio pada kejadian uremic encephalopathy. Peningkatan level glisin, asam amino yang berasal dari phenylalanin, tryptophan bebas, dan penurunan level gama-aminobutyric acid (GABA) pada cairan cerebrospinal akan bertanggung jawab terhadap penyakit. Uremic encephalitis juga dipengaruhi oleh faktor hormonal, yang meliputi hormon


(52)

37

paratiroid (PTH), insulin, growth hormon, glukagon, thyrotropin hormon, prolactin, luteinizing hormone, dan gastrin.

D. Hemodialisis

Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainya yaitu cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dialiser

(Price et. al., 2006). Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien PGK dengan End Stage Renal Disease (ESRD). Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur pasien (Kallenbach

et al, 2005).

Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin melewati

dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat dialirkan secara berlawanan arah dengan kecepatan 500-800mL/min. Darah dan dialisat sendiri hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel (Singh, et al., 2005) Prosedur dialisis tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage Renal Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik, hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler, asidosis yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang kurang dari 10 mL/min per 1,73 m2 (Singh, et al., 2005).


(53)

38

Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran semipermeabel. Cairan dialisat dikondisikan sedemikian sehingga memiliki gradien konsentrasi yang lebih rendah daripada darah sehingga zat-zat sisa akan berdifusi ke dialisat. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besar gradien konsentrasi, luas membran, dan koefisien transfer dari membran. Berat molekul juga berpengaruh dalam menentukan kecepatan difusi. Selain itu, transfer zat-zat ini juga bisa dibantu dengan tekanan ultrafiltrasi. Sementara air dan larutan lain yang berlebih akan ikut terbuang karena tekanan osmosis (Singh, et al., 2005).

Besarnya pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi denfan lambat dibanding dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen (Rahardjo P. et al., 2009).

Terdapat 4 jenis membran dialiser, yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh


(54)

39

membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa (Rahardjo P. et al., 2009).

Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi (Rahardjo P. et al., 2009).

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan salisilat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan diasilat harus dalam batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan diasilat perludimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis

air akan melewati membran semi permiabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida (Rahardjo P. et al., 2009).

Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisa. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan diasilat untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacat. Umumnya dipakai kembali bila volume


(55)

40

4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk mebuang formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapat menimbulkan ganguan pada pasien (Rahardjo P. et al., 2009).

Terdapat dua jenis cairan diasilat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanidfestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasikonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetrealkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi (Rahardjo P. et al., 2009).

Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sitem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung (Rahardjo P. et al., 2009).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu : 1. Indikasi absolut

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak


(56)

41

responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

2. Indikasi elektif

Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Indikasi pada gagal ginjal kronik.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009, pada umumnya indikasi dialisis pada Gagal Ginjal Kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 5mL/menit (normalnya GFR mencapai 125 mL/menit) dan dianggap baru perlu di mulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:

1. Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata 2. Serum Kalium > 6 meq/L

3. Ureum darah > 200 mg/dl 4. pH darah < 7,1

5. Anuria berkepanjangan (> 5 hari) 6. Fluid overloaded

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam dan


(57)

42

menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi

dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia (Rahardjo P. et al., 2009).


(58)

43

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional dengan tujuan menentukan kadar ureum serum sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2012 dan selanjutnya akan dilakukan analisis data. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dan pemeriksaannya dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.


(59)

44

Urease

Nitroprusside OH-

C. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisis. 2. Variabel Terikat

Kadar ureum serum pasien gagal ginjal kronik.

D. Definisi Operasional

Variabel Definisi Hasil Ukur Skala Ukur

Pasien gagal ginjal konik

pasien yang terbukti merupakan pasien gagal ginjal yang terlihat dari hasil pemeriksaan GFR yang ada di rekam medis.

Kategori berdasar GFR 0 = < 15 mL/mn/1,73m2 1 = > 15 mL/mn/1,73m2

Kategorik

Kadar Ureum serum

Kadar ureum serum yang diukur sebelum dan sesudah pasien hemodialisis dengan mengunakan metode Bethelot Metode Bethelot Urea

2NH3 + CO2 NH3 + Salisilat + NaOCl

Dicarboxyl indophenol


(60)

45

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Pada penelitian, subjek merupakan pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Kriteria inklusi subjek yang akan mengikuti penelitian adalah sebagai berikut: a. Bersedia sebagai sampel penelitian

b. Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

c. Pasien GGK yang menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan

Kriteria inklusi subjek yang akan mengikuti penelitian adalah sebagai berikut: a. Pasien yang hanya bersedia bila diambil darahnya saat sebelum atau sesudah

hemodialisa saja

b. Pasien yang mempunyai penyakit perdarahan yang terbukti dalam rekam medis


(61)

46

Zα + Zβ . Sd 2 X1-X2 2. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara consecutive random sampling yaitu setiap pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada saat periode penelitian dan lolos setelah dilihat dari kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian diambil sampai sesuai jumlah sampel yang telah ditetapkan.

3. Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan rumus uji hipotesis terhadap penelitian analitik numerik berpasangan dengan variable numerik, yaitu :

n =

(Dahlan, M., 2011).

Zα = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkatkesalahan α=0,05; maka z

= 1,96, α sebesar 0,05

Zβ = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkat kesalahan.

S= simpang baku dari rerata selisih. (nilai ini diambil asumsi peneliti dari dua kali nilai selisih rerata dua kelompok yang bermakna karena, tidak ditemukan nilai dari kepustakaan sebelumnya).

X1-X2 = selisih rerata dua kelompok yang bermakna (mempunyai nilai rerata klinis yaitu 75

mg/dL diambil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Previsha K. pada tahun 2010 di RSUD Dr. Pringadi )

- Bila kesalahan tipe II adalah 1%, maka tingkat kesalahan β= 0,99 ; zβ = 2,326 ; sehingga besar sampel,

n = Zα + Zβ . S 2 X1-X2


(62)

47

n = 1, 96 + 2,326. 150 2 n = 73 75

- Bila kesalahan tipe II adalah 5%, maka tingkat kesalahan β= 0,95 ; zβ = 1,645 ; sehingga besar sampel,

n = Zα + Zβ . S 2 X1-X2

n = 1,96 + 1.645 . 150 2 n = 51 75

- Bila kesalahan tipe II adalah 10%, maka tingkat kesalahan β= 0,90 ; zβ = 1,282 ; sehingga besar sampel,

n = Zα + Zβ . S 2 X1-X2

n = 1,96 + 1.282 . 150 2 n = 42 75

- Bila kesalahan tipe II adalah 20%, maka tingkat kesalahan β= 0,80 ; zβ = 0,842 ; sehingga besar sampel,

n = Zα + Zβ . S 2 X1-X2

n = 1,96 + 0,842 . 150 2 n = 32 75

Dengan pertimbangan mempermudah penelitian karena keterbatasan yang dimiliki peneliti dan akarena penelitian ini masih jarang dilakukan sehingga


(63)

48

power (β) yang dipakai yaitu 20%, maka kemungkinan jumlah sampel yang diambil adalah 32 orang, dan dimana terdapat pula kemungkinan terjadinya

Drop Out (10%) sehingga

n = 32 + (10% x 32) n = 32 + 3,2

n = 36 orang

Jadi dari hasil perhitungan sampel ditambah dengan angka kemungkinan terjadinya Drop Out, maka sampel yang diambil pada penelitian ini berjumlah 36 orang.

F. Pengumpulan Data dan Analisis Data

Data yang didapat dari hasil penelitian akan dianalisa secara desktiptif, semua data variabel ditabulasi secara manual dan dinyatakan dalam rata-rata dan nilai terendah dan nilai tertinggi kadar ureum serum. Data selanjutnya dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer menggunakan analisis univariat dengan teknik analisis Uji-t untuk kelompok berpasangan pada sebaran data berdistribusi normal, namun jika sebaran data tidak berdistribusi normal digunakan statistik non parametrik

Wilcoxon Match Pair Test, yaitu membandingkan rata-rata pasangan data satu sampel, data hasil pemeriksaan kadar ureum serum sebelum dilakukan hemodialisis dan setelah dilakukan hemodialisis.


(64)

49

G. Instrumen Penelitian

1. Formulir Data Responden.

2. Formulir Persetujuan Mengikuti Pemeriksaan. 3. Tabung Reaksi

4. Spuit 3 cc 5. Sentrifus


(65)

50

H. Alur Penelitian

Kriteri Inklusi Kriteria Eksklusi

Gambar 5. Alur penelitian Penentuan sampel Meminta izin dan informed consent

Jumlah sampel

Sampel diambil sebelum hemodialisis (pungsi vena)

Penentuan kadar ureum serum dengan metode Berthelot Penentuan kadar ureum serum

dengan metode Berthelot

Sampel diambil 5 menit setelah hemodialisis (pungsi vena)

Pengolahan dan penganalisaan data dengan program statistik perangkat


(66)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Renal failure (chronic). 21 Oktober 2012. www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907818/.

Anonim. 2012. RSUP Dr. Mohamad Hoesin Palembang merintis persiapan sarana transplantasi ginjal. 4 Oktober 2012. buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=310:r

sup-dr-mohamad-hoesin-palembang-merintis-persiapan-sarana-transplantasi-ginjal&catid=1:latest-news

Anonim. 2012. Urea N. 20 November 2012. http://prodia.co.id/kimia/urea-n

Brent, A. 2012. Uremia. 20 November 2012

www.emedicine.medscape.com/article/245296-workup#showall

Bucurescu G. 2008. Uremic Encephalopathy. 20 November 2012 www.emedicine.medscape.com/nephrology

Cahyaningsih, N. D. 2009. Hemodialisa (Cuci Darah). Jogjakarta : Mitra Cendikia Press

Chonchol, M., Spiegel, D.M., 2005. The patient with chronic kidney disease. In: Schrier, R.W., 6th ed. Manual of Nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins

Curley. 2001. Critical Care Nursing of Infants and Children. WB Saunders Co. Philadepphia

Dahlan, M.S. 2011. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta: Salemba Medika

Djoko, Santoso. 2008. Angka kejadian sakit ginjal di Indonesia. 21 Oktober 2012. www.angka.kejadian.int/publication//AB%20AGUSS.htm

Elizabeth, C J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC

Encyclopedia Britainica inc, 2007. 21 Oktober 2012 www.britannica.com/EBchecked/media/107139/Each-nephron-of-the-kidney-contains-blood-vessels-and-a


(67)

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedoteran. Jakarta: EGC

Horne, Mima M. 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam-Basa. Jakarta: EGC

IKCC. 2008. Indonesian Kidney Care Club/IKCC. 21 Okrober 2012. www.ikcc.or.id/print.php?id=284.

Kaliahpan, Previsha. 2010. Perbedaan kadar ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal di RSUD dr. Pringadi. 12 Oktober 2012.

www.repository.usu.ac.id/handle/123456789/25636&hl=en&tbo=d&strip =1

Kallenbach, J.Z., Gutch, C.F., Martha, S.H., & Corca, A.L. 2005. Review of Hemodialysis For Nurses and Dialysis Personel. St. Louis: Elsevier Mosby.

Kidney Anatomy. 21 Oktober 2012. http://www.adamimages.com/Kidney-anatomy-Illustration/PI294/F4

Lobo V., Gang S., Shah LJ., Ganju A., Pandya PK., Rajapurkar MM., Acharya VN. 2002. Effect of reuse of hollow fiber dialyzers upon Kt/V (Urea): a prospective study. Indian Journal of Nephrology

Lohr, JW. 2009. Encephalopathy, Uremic. 20 November 2012 www.emedicine.medscape.com/nephrology

Meyer, Toimothy W., Hostetter, Thomas H., 2007. Uremia. The New England

Journal of Medicine.

National Kidney Foundation, 2010. Chronic Kidney Disease (CKD). 21 Oktober 2012. www.kidney.org/kidneyDisease/ckd/index.cfm#what

Pagana KD, Pagana TJ. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory

Test. St Louis: Mosby

Pranay, K., Stoppler, M.C., 2010. Chronic Kidney Disease. 21 Oktober 2012. www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page18_em.htm#Auth ors%20and%20Editors

Price, S.A., Lorraine M.W., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


(68)

Rahardjo, P., Susalit, E, Suhardjo . 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.2(5): 1050-1052. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Singh AK, Brenner BM. 2005. Dialysis In the treatment of renal failure.

Harrison’s principle of internal medicine 16ed. USA: McGraw-Hill. Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi

Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,

Widmann, Frances K. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC


(1)

48

power (β) yang dipakai yaitu 20%, maka kemungkinan jumlah sampel yang diambil adalah 32 orang, dan dimana terdapat pula kemungkinan terjadinya Drop Out (10%) sehingga

n = 32 + (10% x 32) n = 32 + 3,2

n = 36 orang

Jadi dari hasil perhitungan sampel ditambah dengan angka kemungkinan terjadinya Drop Out, maka sampel yang diambil pada penelitian ini berjumlah 36 orang.

F. Pengumpulan Data dan Analisis Data

Data yang didapat dari hasil penelitian akan dianalisa secara desktiptif, semua data variabel ditabulasi secara manual dan dinyatakan dalam rata-rata dan nilai terendah dan nilai tertinggi kadar ureum serum. Data selanjutnya dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer menggunakan analisis univariat dengan teknik analisis Uji-t untuk kelompok berpasangan pada sebaran data berdistribusi normal, namun jika sebaran data tidak berdistribusi normal digunakan statistik non parametrik Wilcoxon Match Pair Test, yaitu membandingkan rata-rata pasangan data satu sampel, data hasil pemeriksaan kadar ureum serum sebelum dilakukan hemodialisis dan setelah dilakukan hemodialisis.


(2)

49

G. Instrumen Penelitian

1. Formulir Data Responden.

2. Formulir Persetujuan Mengikuti Pemeriksaan. 3. Tabung Reaksi

4. Spuit 3 cc 5. Sentrifus


(3)

50

H. Alur Penelitian

Kriteri Inklusi Kriteria Eksklusi

Gambar 5. Alur penelitian

Penentuan sampel Meminta izin dan informed consent

Jumlah sampel

Sampel diambil sebelum hemodialisis (pungsi vena)

Penentuan kadar ureum serum dengan metode Berthelot Penentuan kadar ureum serum

dengan metode Berthelot

Sampel diambil 5 menit setelah hemodialisis (pungsi vena)

Pengolahan dan penganalisaan data dengan program statistik perangkat


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Renal failure (chronic). 21 Oktober 2012. www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907818/.

Anonim. 2012. RSUP Dr. Mohamad Hoesin Palembang merintis persiapan

sarana transplantasi ginjal. 4 Oktober 2012.

buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=310:r

sup-dr-mohamad-hoesin-palembang-merintis-persiapan-sarana-transplantasi-ginjal&catid=1:latest-news

Anonim. 2012. Urea N. 20 November 2012. http://prodia.co.id/kimia/urea-n

Brent, A. 2012. Uremia. 20 November 2012

www.emedicine.medscape.com/article/245296-workup#showall

Bucurescu G. 2008. Uremic Encephalopathy. 20 November 2012 www.emedicine.medscape.com/nephrology

Cahyaningsih, N. D. 2009. Hemodialisa (Cuci Darah). Jogjakarta : Mitra Cendikia Press

Chonchol, M., Spiegel, D.M., 2005. The patient with chronic kidney disease. In: Schrier, R.W., 6th ed. Manual of Nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins

Curley. 2001. Critical Care Nursing of Infants and Children. WB Saunders Co. Philadepphia

Dahlan, M.S. 2011. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta: Salemba Medika

Djoko, Santoso. 2008. Angka kejadian sakit ginjal di Indonesia. 21 Oktober 2012. www.angka.kejadian.int/publication//AB%20AGUSS.htm

Elizabeth, C J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC

Encyclopedia Britainica inc, 2007. 21 Oktober 2012 www.britannica.com/EBchecked/media/107139/Each-nephron-of-the-kidney-contains-blood-vessels-and-a


(5)

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedoteran. Jakarta: EGC

Horne, Mima M. 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam-Basa. Jakarta: EGC

IKCC. 2008. Indonesian Kidney Care Club/IKCC. 21 Okrober 2012. www.ikcc.or.id/print.php?id=284.

Kaliahpan, Previsha. 2010. Perbedaan kadar ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah hemodialisis pada penderita gagal ginjal di RSUD dr. Pringadi. 12 Oktober 2012.

www.repository.usu.ac.id/handle/123456789/25636&hl=en&tbo=d&strip =1

Kallenbach, J.Z., Gutch, C.F., Martha, S.H., & Corca, A.L. 2005. Review of Hemodialysis For Nurses and Dialysis Personel. St. Louis: Elsevier Mosby.

Kidney Anatomy. 21 Oktober 2012. http://www.adamimages.com/Kidney-anatomy-Illustration/PI294/F4

Lobo V., Gang S., Shah LJ., Ganju A., Pandya PK., Rajapurkar MM., Acharya VN. 2002. Effect of reuse of hollow fiber dialyzers upon Kt/V (Urea): a prospective study. Indian Journal of Nephrology

Lohr, JW. 2009. Encephalopathy, Uremic. 20 November 2012 www.emedicine.medscape.com/nephrology

Meyer, Toimothy W., Hostetter, Thomas H., 2007. Uremia. The New England

Journal of Medicine.

National Kidney Foundation, 2010. Chronic Kidney Disease (CKD). 21 Oktober 2012. www.kidney.org/kidneyDisease/ckd/index.cfm#what

Pagana KD, Pagana TJ. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test. St Louis: Mosby

Pranay, K., Stoppler, M.C., 2010. Chronic Kidney Disease. 21 Oktober 2012. www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page18_em.htm#Auth ors%20and%20Editors

Price, S.A., Lorraine M.W., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


(6)

Rahardjo, P., Susalit, E, Suhardjo . 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.2(5): 1050-1052. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Singh AK, Brenner BM. 2005. Dialysis In the treatment of renal failure. Harrison’s principle of internal medicine 16ed. USA: McGraw-Hill. Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi

Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,

Widmann, Frances K. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC


Dokumen yang terkait

Gambaran self-care management pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di wilayah Tangerang Selatan tahun 2013

6 44 186

PERBEDAAN KADAR NATRIUM SERUM PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE DAN POST HEMODIALISIS RSUD ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2012

13 35 58

PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012

2 17 78

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PRE-HEMODIALISIS DAN POST-HEMODIALISIS DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012

33 109 56

Hubungan Adekuasi Hemodialisis dengan Asupan Makan dan Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung

11 38 56

PERBEDAAN KADAR LIMFOSIT PRE DAN POST HEMODIALISIS PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2015

0 10 54

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2016

0 19 69

PERBEDAAN JUMLAH NEUTROFIL PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK) DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

1 17 56

HUBUNGAN LAMA MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD ABDUL MOELOEK

14 120 64

PERBEDAAN KADAR MONOSIT PRE DAN POST HEMODIALISIS PADA PASIEN END STAGE RENAL DISEASE (ESRD) DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

1 8 62