Glosa BAHAN DAN METODE

[mau w aba ɳ ] Pelemahan vokal pada pilah awal konfiks : [məu w aba] Segmentalisasi luncuran : [məuwaba ɳ ] Pelesapan vokal pada pilah awal konfiks : [muwaba ɳ ] Kata [ŋaŋə aŋ] ʈ dibentuk dari dasar [aŋə ] ʈ ditambah sufiks pemarkah kausatif [– aŋ] menjadi [aŋə aŋ], ʈ selanjutnya ditambah sufiks pemarkah pasif [ŋ-], maka menjadi [ŋaŋə aŋ]. ʈ Sufiks [ŋ-] memiliki dua varian, yakni [–aŋ] dan [–a ] ɳ . Kata ŋələkadaŋ] ‘melahirkan’ dibentuk dari kata dasar lekad ditambah sufiks pemarkah Kausatif–aŋ. menjadi [ləkadaŋ], pada tahap berikutnya ditambah dengan prefiks pemarkah aktif [ŋ-] sehingga menjadi [ŋələkadaŋ]. Sufiks {–aŋ} memiliki dua buah varian, yakni {–a } ɳ yang terdapat pada DSd dan { – aŋ} semua DP lainnya. Dengan demikian, selain bentuk [aŋə aŋ], ʈ dan [ləkadaŋ], ditemukan juga [aŋə a ] ʈ ɳ dan [ləkada ]; ɳ selain [ ŋaŋə aŋ] ʈ dan [ŋələkada ] ɳ dan Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut. Contoh lain

1. Glosa

DBD DPdw DSd DSb

1. ‘meludahkan’

[ŋəc haŋ] ʊ [ŋəc haŋ] ʊ [ŋəc ha ] ʊ ɳ [ŋəc haŋ] ʊ 2. ‘keguguran’ [krur ] ɔɳ [ŋəlab haŋ] ʊ [ŋəlab haŋ] ʊ [ŋəlab ha ] ʊ ɳ [ŋəlab haŋ] ʊ 3. ‘membalikkan’ [ma ŋaŋ] ɖɪ [ma ŋaŋ] ɖɪ [ma ŋa ] ɖɪ ɳ [ma ŋaŋ] ɖɪ 4. ‘dikompreskan’ [k mpr saŋa] ɔ ɛ [k mpr saŋa] ɔ ɛ [k mpr sa a] ɔ ɛ ɳ [k mpr saŋa ɔ ɛ ] 5. ‘diberdirikan’ [juj kaŋa] ʊ [juj kaŋa] ʊ [uj ka a] ʊ ɳ [juj kaŋa] ʊ 6. ‘didudukkan’ [ əgakaŋa] ʈ [ əgakaŋa] ʈ [ əgaka a] ʈ ɳ [ əgakaŋa] ʈ ǝɔʊɛɖʈŋɔɲɪɳ Kata [məwaba ] ɳ ‘menguap’ dibentuk dari bentuk dasar [u w ab] ditambah konfiks [ma--a ] ɳ menjadi [mau w aba ] ɳ yang mengalami proses morfofonik menjadi [məwaba ] ɳ dan [muwaba ] ɳ . Tahapan prosesnya sebagai berikut. 39 Varian [məwaba ] ɳ Proses morfologis : {uab} + {ma--an} [mau w aba ɳ ] Pelemahan vokal pada pilahan awal konfiks : [məu w aba ɳ ] Segmentalisasi luncuran [məuwaba ɳ ] pemotongan vokal vowel truncation : [məwaba ɳ ] Varian [muwaban] Proses morfologis : {uab} + {ma--an} [mau w aba ɳ ] Pelemahan vokal pada pilah awal konfiks : [məu w aba ɳ ] Segmentalisasi luncuran : [məuwaba ɳ ] Pelesapan vokal pada pilah awal konfiks : [muwaba ɳ ] ǝɔʊɛɖʈŋɔɲɪɳ Jadi pada DSd terdapat kehomoniman sufiks -aɳ, yakni {-a } ɳ hanya yang hanya merupakan alomorf {-aŋ} dan {-aɳ} sebagai pemarkah komparatif seperti pada kosakata berikut ini. Ia suba seger-an jani. 2TG sudah sehat-KOMP sekarang ‘Dia sudah lebih sehat sekarang.’ Panak-me-ne kicak-an anyang panak-ku-ne anak-2TGPOS-DEF kecil-KOMP dengan anak-1TGPOS-DEF ‘Anakmu lebih kecil daripada anakku.’ 4.2.1.2 Kosakata dalam Bentuk Kata Berklitik Kosakata DBA dalam layanan kesehatan masyarakat dengan bentuk kata atau frasa berklitik dapat dibedakan atas kosakata dengan klitik pemarkah posesif dan klitik pemarkah definit. Hal itu dapat dilihat dengan lebih jelas pada uraian berikut ini. 40 1 Kata dengan Klitik Pemarkah Posesif. Dalam dialek-dialek DBA pada umumnya hanya ditemukan klitik pemarkah posesif O3, yakni [– e] ɳ , sedangkan dalam DPdw ditemukan, baik klitik pemarkah posesif O1, O2, maupun O3, masing-masing [–ku], [-me], dan [- e] ɳ , psds DSb ditemukan juga klitik pemarkah posesif O1. Kata [ima-ɳ-ɳe] pada kalimat 1 dibentuk dengan menambahkan klitik pemarkah posesif O 3 [– e] ɳ pada kata dasar. Selain klitik pemarkah posesif O 3 ditemukan juga klitik pemarkah posesif O 1 dan O 2 seperti terlihat pada contoh berikut ini. 5 Ba kento panak-ane ento ngara gaenanga banten terus mati. sudah begitu anak-POS itu tidak dibuatkan sajen terus meninggal ‘Lalu anaknya itu tidak dibuatkan sajen terus meninggal.’ 6 Cunguh-me-ne barak. hidung 2Sg POS-DEF merah’ ‘Hidungmu merah’ . 7 Ima-n ime-ng -ku -ne beseh tangan-LIG ibu-LIG-POS-DEF bengkak ‘Tangan Ibu saya bengkak.’ Kata [pa aka e] ɳ ɳɳ ‘anaknya’ pada kalimat 2 dibentuk dari kata dasar [pa ak] ɳ ‘anak’ dilekati klitik pemarkah posesif O 2 tunggal sehingga menjadi [pa aka e] ɳ ɳɳ . Kata [cuŋuhme e] ɳ ‘hidungmu’ pada kalimat 3 dibentuk dari kata dasar [cuŋuh] dilekati klitik pemarkah posesif O 2 tunggal [–me] sehingga menjadi [cuŋuhme], kemudian dilekati klitik pemarkah definit –e sehingga terbentuk kata [cuŋuhme ]e ɳ . Jadi ada dua klitik pada kata ini, yakni klitik pemarkah posesif O 2 tunggal [–me] dan klitik pemarkah definit [–e]. Hierarki gramatikal kata-kata tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini. [ paɳɳakaɳe ] [cuŋuhme e] ɳ 41 [ cuŋuhme] [pa ak] [- e] ɳɳ ɳ [cuŋuh] [-me] [- e] ɳ Klitik pemarkah posesif yang ditemukan pada semua DP hanyalah pemarkah posesif O3, sedangkan klitik pemarkah posesif O 1 dan O 2 hanya ditemukan pada dialek Pedawa. Contoh lainnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini. No. Glosa DBD Pdw Sb Sd 1. ‘ayahnya’ [bapaɳɳ e [bapaɳɳe] [bapaɳaɳe] [bapaɳe] 2. ‘ayahku’ - [bapaŋku e] ɳ - - 3. ‘ayahmu’ - [bapame e] ɳ - - 4. ‘bajunya’ baj e ʊɳɳ [baju e] ɳɳ [baju a e] ɳ ɳ [baj e] ʊɳ 5. ‘bajuku’ - [bajuŋku e] ɳ - - 6. ‘bajumu’ - [bajume e] ɳ - - Dari data di atas dapat dilihat, selain karena ada dan tidaknya klitik, kebervariasian juga terjadi karena variasi morfofonemik di antara kata [bapaɳe], [bapaɳɳe], dan [bapaɳaɳe] ‘ayahnya’. Pada varian [bapaɳe] hanya terjadi proses morfologis klitisasi, yakni penambahan klitik pemarkah posesif {-ne} pada kata bapa; pada varian [bapaɳɳe], terjadi proses morfologis klitisasi disertai penambahan konsonan [ ] ɳ , yang berfungsi sebagai ligatur, di antara kata dasar dan klitik; pada [bapanane], terjadi proses morfologis, penambahan ligatur [ ], ɳ dan penambahan vokal pelancaran ucapan [a] di antara ligatur [ ] ɳ dan klitik {–ɳe}. Proses serupa terjadi pada variasi kata baju e, baju e, baju a e. ɳ ɳɳ ɳ ɳ Klitik [–ku] pada kata [im ŋku] ɛ dalam kalimat 7 merupakan pemarkah posesif O 2 . Contoh lain No. Glosa DPdw DSd DSb 42 1. ‘cucuku’ [cucuŋku e] ɳ [cucu oke e] ɳ ɳ [cucu kaka e] ɳ ɳ 2. ‘ayahku’ [bapaŋku] [bapa oke e] ɳ ɳ [bapa uke e] ɳ ɳ 3. ‘ibuku’ [im ŋku] ɛ [m m ɛ ɛɳ oke e] ɳ [m m oke e] ɛ ɛɳ ɳ 4. 5. 6. ‘mataku’ ‘perutku’ ‘rumahku’ [ma aŋkune] ʈ [basaŋku] [umahkune] [mata oke e] ɳ ɳ [basaŋuke e] ɳ [umah oke e] ɳ [mata oke e] ɳ ɳ [basang uke e] ɳ [umah kaka e ɳ Dari contoh di atas dapat dilihat ligature [- -] ɳ ,yang dalam BBU dan DP lain direalisasikan dengan konsonan nasal alveolar [ɳ], sementara pada DPdw direalisasik- an dengan [ŋ]. Perbedaan ini terjadi karena [-ɳ-] diikuti konsonan dorsovelar. Dengan kata lain terjadi asimilasi prsial regresif–n-sebagai akibat asimilasi da 1 Getih-e ane ng-sambung idup-ne. diikuti darah-DEF yang AKT-sambung hidup-POS ‘Darah yang menyambung hidupnya.’ 2 Ima-n ime-ng -ku -ne beseh. tangan-LIG ibu-LIG-POS-DEF bengkak ‘Tangan Ibu saya bengkak.’ Klitik –ne pada kalimat 2 dan kalimat 3 di atas merupakan pemarkah definit. Pada kalimat 2 klitik – e ɳ merupakan pemarkah definit pada tataran frasa, yakni memarkahi frasa ima im ŋku ɳ ɛ ‘tangan ibuku’, sedangkan – e ɳ pada kalimat 3 merupakah pemarkah definit pada tataran kata, yakni memarkahi kata cuŋuhme ‘hidungmu’

4.2.1.3 Kosakata dalam Bentuk Kata Ulang

Kata ulang adalah kata yang dihasilkan dengan melakukan proses perulangan atau reduplikasi terhadap bentuk dasar , baik secara keseluruhan maupun sebagian. 43 Kosakata dalam DBA pada ranah layanan kesehatan masyarakat, ditemukan cukup bervariasi, seperti terlihat pada kalimat-kalimat berikut ini. 1 Ara dadi alu ngamah mi sai-sai tidak boleh dulu makan mi sering-R ‘Belum boleh dulu sering-sering makan mi.’ 2 Ara baanga ngamah kacang-kacangan. tidak beri-PAS makan kacang-R-an ‘Tidak diberi makan kacang-kacangan.’ 3 Ke-kolongan-ne sakit. Rpar-kerongkongan-POS sakit ‘Kerongkongannya sakit.’ 4 Batis-a-ne sakit kebet-kebet. Kaki-PU-POS sakit senut-R ‘Kakinya sakit se nut-senut.’ Kata sai-sai ‘sering-sering’ dibentuk dari kata sai ‘sering’ ditambah morfem {R} Dasar sai Penambahan morfem {R-} sai-sai Kata sai-sai tergolong kata ulang murni atau dwilingga. Proses perulangan ini menyatakan makna ’iteratif’. Contoh lain k b t-k b t ǝ ǝ ǝ ǝ ’senut-senut’ aŋs g-aŋs g ǝ ǝ ’terengah-engah’ kli y s-kli ǝ y s ǝ ’terasa sebentar-sebentar mules’ Kata kacaŋ-kacaŋan ’aneka kacang’ dibentuk degan proses sebagai berikut. Dasar kacaŋ Penambahan morfem {R-} kacaŋ-kacaŋ Penambahan sufiks {-aɳ} kacaŋ-kacaŋaɳ 44 Sesuai tahapan prosesnya, kata kacaŋ-kacaŋa ɳ tergolong kata ulang berimbuhan dalam hal ini kata ulang bersufiks. Proses penambahan morfem R, yang dilanjutkan dengan penambahan sufiks –aɳ, menghadirkan makna ’bermacam-oacam’. Contoh lain do -do a ɳ ɳ ɳ ’sayur-sayuran’ sayur-sayuraɳ be-beaɳ’daging-dagingan’ Kata kekolongan ’kerongkongan’ dibentuk dengan proses sebagai berikut. Dasar kol ŋa ɔ ɳ Penambahan morfem {Rpar-} kokol ŋan ɔ Pelemahan vokal pada K__ kəkol ŋan ɔ Contoh lain pəparu ‘paru-paru’ pəpi u ʈ ‘tujuh’ pap l ŋan ɛ ɛ ‘pelipis’ Proses perulangan ini tidak menghadirkan makna tertentu, tetapi memiliki fungsi meningkatkan keformalan. Contoh lain No. Glosa DBD DPdw DSd DSb 1. kerongkongan [kol ŋa ] ɔ ɳ [kəkol ŋa ] ɔ ɳ [kəkol ŋa ] ɔ ɳ [bah ŋ] ʊ 2. ‘paru-paru’ [paru paru] [paparu] [paru paru] [paru paru] 3. ‘terengah-engah’ [aŋs g aŋs g] ǝ ǝ [gər Ɂ][dəkah ɛ gər Ɂ] ɛ [aŋs g ǝ aŋs g] ǝ [aŋs g aŋs g] ǝ ǝ 4. ‘senut-senut’ [kəbə -kəbə ] ʈ ʈ [kəbə ] ʈ [ŋəbə bə ] ʈ ʈ [kəbə kəbə ] ʈ ʈ [kəbə kəbət] ʈ 5. ‘kemasukan benda kecil’ [subsʊba ] ɳ [subsuba ] ɳ [subsʊba ] ɳ [s ŋs ŋa ] ɪ ɪ ɳ 6. ‘mulas’ [kli y as kli y s] ǝ [kli y əs] [kli y s kli ǝ y s] ǝ [kli y s kli s] ǝ ɳǝ

4.2.1.4 Kosakata dalam Bentuk Kata Majemuk

45 Dalam DBA cukup banyak ditemukan kosakata dalam bentuk kata majemuk, tetapi tidak menampakkan adanya variasi secara gramatikal. Kalaupun ada variasi antar-DP lebih bersifat leksikal. Berikut dapat dilihat contoh kosakata dalam bentuk katamajemuk No. Glosa DBD DPdw D Sd DSb 1. air ketuban [y h m] ɛ ɲɔ [y h ɛ kə uba ʈ ɳ] [y h m] ɛ ɲɔ [y h m] ɛ ɲɔ [y h m] ɛ ɲɔ 2. air susu [y h o o] ɛ ɲ ɲ [y h o o] ɛ ɲ ɲ [y h o o] ɛ ɲ ɲ [y h o o] ɛ ɲ ɲ 3. anak tekak [ca k ɳʈɪ kək l ŋa ] ɔ ɔ ɳ [kaɳc l ɪ kol ŋa ɔ ɳ] [ a ŋ] ʈ ɳǝ [ba kuluŋa ] ʈʊɳ ɳ 4. betis [bə əkan ʈ ba s] ʈɪ [bə əɁan ʈ ba s] ɪ [ ] ɔɔɖ [bə əka ba s] ʈ ɳ ʈɪ 5. dada [ aŋkah] ʈ [ aŋkah] ʈ [ aŋkah] ʈ [ aŋkah] ʈ 6. gendang telinga - - - [kən aŋ kup ŋ] ɖ ɪ 7. gigi paling belakang [paŋgal pəŋiɉəŋ] [paŋgal pəŋiɉəŋ] [paŋgal pəŋiɉəŋ] [paŋgal pəŋiɉəŋ] 8. ibu jari [i a limə] ɳ ɳ [imeɳ ima] [ina lima] ɳ [lima meme] ɳ [ uɉ h][kac ŋ] ʈ ʊ ɪ 9. lepas tali pusat [kəp s ʊ puŋsə ] ɖ [kə s ʈʊ puŋsə ] ɖ [kəp s ʊ puŋsə ] ɖ [kəp s puŋsə ] ʊ ɖ

4.2.1 Kosakata dalam Bentuk Frasa

Kosa kata dalam bentuk frasa banyak ditemukan dalam DBA. Kebervariasian pada tataran frasa juga cenderung diakibatkan oleh proses fonologis. Kebervariasian secara gramatikal sangat terbatas pada frasa dengan pewatas numeralia. Contoh No . Glosa DBD DPdw D Sd DSb 46 1. kami berdua [caŋ ɉaʔ u ɖ w a] [aku ayaŋku a ɖ ɖ w a] [caŋ ɉaʔ u ɖ w a] [oke ɉak uwa] ɖ 2. kami bertiga [caŋ ɉa lu] ʔ ʈǝ [aku ayaŋku əlu ʈ ] [caŋ ɉaʔ lu] ʈǝ [oke ɉak əlu] ʈ Dari contoh di atas dapat dilihat DPdw memiliki kekhasan struktur frasa. Pada DBD, DSd, dan DSb struktur frasa untuk glosa ‘kami berdua’ dan ‘kami bertiga’ adalah sebagai berikut. Pronomina + Preposisi + Numeralia ca ŋ jak u ɖ w a oke ɉak uwa ɖ ca ŋ jak əlu ʈ oke ɉak əlu ʈ sementara pada DPdw, strukturnya sebagai berikut. Pronomina + Preposisi + Pronomina + Numeralia aku ayaŋ ku a ɖ ɖ w a aku ayaŋ ku əlu ʈ Jadi ada repetisi pronomina di sini sehingga terbentuk konstruksi berpronomina ganda, [ aku ayaŋku a ɖ ɖ w a] . Dalam DBD ditemukan juga konstruksi [ ɉa ʔ caŋ u ɖ w a] atau [ a ɖ ɖ w a] , tetapi tidak didahului oleh pronomina, kecuali pronomina yang diawal berfungsi sebagai subjek. Jadi strukturnya hanya Preposisi + Pronomina + Numeralia ajak caŋ a wa ɖ ɖ Kosakata dalam bentuk frasa, yang kebervariasiannya hanya leksikal danatau fonologis dapat dilihat pada contoh berikut. No. Glosa DPdw DSd DSb 1. ‘cucuku’ [cucuŋku e] ɳ [cucu oke e] ɳ ɳ [cucuɳ kaka e] ɳ 47 2. ‘ayahku’ [bapaŋku] [bapa oke e] ɳ ɳ [bapa uke e] ɳ ɳ 3. ‘ibuku’ [im ŋku] ɛ [meme oke e] ɳ ɳ [memeɳ oke e] ɳ 4. ‘mataku’ ‘perutku’ [ma aŋku e] ʈ ɳ [basaŋku] [mata oke e] ɳ ɳ [basaŋ uke e] ɳ [mata oke e] ɳ ɳ [basaŋ uke e] ɳ 5. ‘tertusuk duri, [bəlbəla əbək ɳ ʈ dui] [ us k u i] ʈ ʊ ɖ ʷ [ əbək uhi] ʈ ɖ 6. ‘sakit punggung’ [sak u ŋ] ɪʈ ʈ ɳɖʊ [ aki aŋ u ] ɲ ʈ ʈ ɳɖʊ [sak t ɪ pu k] ɳɖʊ KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal berikut ini. 1. DBA bervariasi secara fonologis, baik dibandingkan dengan DBA maupun di antara DP yang satu dengan yang lainnya. Variasi fonologis dapat dibedakan atas variasi teratur dan variasi sporadis.. 2. Secara gramatikal DBA tidak terlalu berbeda dengan DBA. Perbedaannya lebih diakibatkan oleh pengaruh fonologis yang tampak pada proses morfofonemis. 3. Pengelompokan variasi secara fonologis, khususnya variasi teratur, yang menonjol adalah 1 realisasi fonem a pada posisi akhir yang memiliki dua varian, yakni [ ɘ] pada DNP dan[a] pada semua DP lainnya; 2 distribusi fonem h dalam kapasitasnya sebagai onset di tengah kata, yang pada DPdw dan DSd tidak wujud , dan pada sejumlah DP lainnya wujud. Pengelompokan secara gramatikal 1 pada tataran morfologis dapat diklasifikasi atas kata dengan klitik pemarkah posesif O3 dapat dipilah atas 48 klisasi semata pipine pada DSd, klitisasi yang disertai penambahan ligatur [n] pipinne pada DPdw dan DST, dan klitisasi yang disertai ligatur [n] dan pelancar ucapan [a] pipinnane pada DSb dan 2 pada tataran sintaksis dalam hal ini frasa dapat diklsifikasi atas konstruksi frasa pronominal dengan satu pronomina dan frasa pronominal dengan pronomina ganda. 49 4. DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi. 1978. “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabahasa” Disertasi. Unuversitas Indonesia Jakarta. Bawa, I Wayan. 19791980. Bahasa Bali di daerah Propinsi Bali: Sebuah Pemerian Geografi Dialek. Jakarta: Proyek Penelitian ILDEP melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa, I Wayan. 1983. Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia Dhanawaty, Ni Made. 1981. Bahasa Bali di Kabupaten Tabanan: Sebuah Telaah Geografi Dialek. Skripsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dhanawaty, Ni Made dkk. 2012. “Model Akomodasi dalam Upaya Pengembangan Toleransi Antaretnis Pada Masyarakat Transmigran di Provinsi Lampung”. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Strategis Nasional Universitas Udayana. Ismani, Hj. Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. Lauder, Multamia R.M.T. 2002. ”Revaluasi Konsep Pemilah Bahasa dan Dialek untuk Bahasa Nusantara”, dalam Makara: Sosial Humaniora. Volume VI, No. 2. Agustus 2002: 34—42. Jakarta:Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Madia, I Made. 1984. Variasi Sistem Fonologi Bahasa Bali di Nusa Penida: Sebuah Kajian Dialektologi Struktural Laporan Penelitian. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakrta: PT Raja Grafindo Persada. 50 Lampiran 1 Makalah Senastek VARIASI PRONOMINA PERSONA BAHASA BALI DALAM LAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT Ni Made Suryati, Ni Made Dhanawaty, I Made Budiarsa, I Wayan Simpen, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Jl. Nias 13 Denpasar, Telp 224121 suryati.jirnayayahoo.com, sainandanayahoo.co.id Abstrak Bahasa Bali dibedakan atas dialek bahasa Bali Dataran DBD dan dialek bahasa Bali Aga DBA. DBD memiliki variasi secara vertikal, sedangkan DBA tidak kosakata yang dalam DBD tergolong tak-Alus TA, dalam DBA merupakan varian biasa. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam ranah layanan kesehatan jika petugas kesehatan yang bertugas di daerah DBA berasal dari DBD. Penelitian ini bertujuan membahas variasi pronomina persona tunggal DBA di desa Sembiran DS dan Seraya Timur DST dalam komunikasi layanan kesehatan masyarakat. Hasilnya diharapkan dapat bermanfaat bagi para medis yang bertugas di desa tersebut. Hasil penelitian, dengan menerapkan teori dialektologi dan metode padan ini, menunjukkan bahwa pronomina persona DS dan DST dan DBD bervariasi secara leksikal dan fonologis. Secara leksikal persona I tunggal DBD titi y aŋ, i–caŋ dan yaŋ direalisasikan menjadi oke dan kaka pada DS; b–iba, uke, dan wane pada DST. Pronomina II tunggal ragane, cai, ai, dan ibə pada DBD, pada DS ɲ cai, ai, dan ŋko, pada DST cai dan ai. Pronomina III tunggal idə, dane dan ɲ ɲ i –yə pada DBD, direalisasikan menjadi ya pada DS dan DST. Secara fonologis, fonem a pada distribusi akhir, pada DBD direalisasikan dengan ə, pada DS dan DST dengan a. Kata kunci: variasi, pronomina, komunikasi, leksikal, fonologis DIALECT VARIATION IN BALINESE PERSONAL PRONOUNS APPLIED IN PUBLIC HEALTH SERVICE Abstract Balinese language is divided into two dialects, namely Bali DataranDBD, and Bali AgaDBA dialect. The DBD variation happens vertically, but not in DBA. Some vocabulary in DBD that are classified into lowTak-AlusTA are classified as 51 common variants in DBA, therefore it often create misunderstanding, especially for DBD public health workers when they serve the people in DBA area. This research aims to explore the Balinese personal pronoun variations in DBA SembiranDA, and Seraya TimurDST. Hopefully, this research can be useful for the DBD public health workers who work in DBA areas. The results, by applying the dialectology theory and correlation method or metode padan, showed that the personal pronouns of DS and DST varied lexically and phonologically. Lexically, the personal pronoun of first person singular in DBD titi y aŋA, i–caŋ and yaŋTA was realized as oke and kaka in DS also b– iba, uke, and wane in DST. The second person singular raganeA, cai ai, ɲ and ibəTA in DBD, were realized as cai, ai, and ŋko in DS also cai and ai ɲ ɲ in DST; and the third person singular idə, daneA and i –yəTA in DBD, were realized as ya, in DS and DST. Meanwhile phonologically, the realization of phoneme a at the end of the word in DBD was realized as ə, in DS and DST was a. Keywords: variation, pronoun, communication, lexical, phonological 1. PENDAHULUAN Bahasa Bali BB seperti bahasa daerah lainya di Indonesia yaitu bahasa Jawa, Sunda, Madura memiliki variasi baik secara geografis maupun secara stratifikas sosial, Variasi yang dimunculkan oleh kedua pengklasifikasian di atas disebut dengan dialek Fishman, 1975: 22; Linn ed., 1998: 5. Variasi yang didasarkan atas perbedaannya secara geografis disebut dengan istilah geografi dialek atau dialek region- al, sedangkan variasi yang ditimbulkan oleh stratifikasi sosial disebut dengan istilah dialek sosial atau sosiole. Selanjutnya, dialek sosial dapat dibedakan berdasarkan: etnik, umur, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian Trungill, 1977. Secara geografis, berdasarkan hasil penelitian secara garis besar BB dapat dikelompokkan menjadi 1 bahasa Bali Dialek Bali Dataran DBD yang tersebar di daerah Bali dataran dan 2 bahasa Bali Dialek Bali Aga DBA yang tersebar di daerah-daerah pegunungan pulau Bali, Nusa Penida, Lem - bongan, dan pulau Serangan Bawa, 1983. DBA memiliki karakter fonologis, gramatikal, dan leksikal yang berbeda dengan DBD. Oleh karena itu sulit dipahami oleh penutur DBD. Berdasarkan stratifikasi sosial, secara tradisional variasi BB dipengaruhi oleh adanya sistem wangsa yang dimiliki oleh penutur BB. Secara moderen, variasi BB juga dipengaruhi oleh stratifikai sosial penutur BB berdasarkan jabatan, kedudukan penutur BB di masyarakat. Variasi BB berdasarkan stratifikasi sosial hanya dimiliki masyarakat DBD. Dengan adanya variasi BB berdasarkan stratifikasi sosial, BB khususnya pada tataran kata dapat dipilah menjadi beberapa macam. Pembagian kata dalam BB dikemukakan oleh beberapa ahli bahasa, seperti Bagus 1975, Kersten 1957, Naryana 1984, Tinggen 1995. Pembagian yang terakhir dan paling lengkap dikemukakan oleh Suasta 2001 walaupun hanya ditunjukkan melalui kalimat-kalimat. Suryati 2008 menegaskan kembali pembagian kata dalam BB, yang dala tulisan itu ada kekeliruan dalam menempatkan satu kata yaitu kata krua mider yang seharusnya bentuk tersendiri dimasukkan bagian dari kruna alus. Untuk selanjutnya istilah kata diganti dengan kruna. Berikut disajikan pembagian kruna BB yang paling lengkap, yaitu 1 Kruna alus, dibedakan menjadi: 1 alus singgih asi digunakan untuk menghormati atau memuliakan yang patut dihormati, 2 alus sor aso digunakan untuk merendahkan diri, 3 alus madia ama merupakan bentuk singkatan dari bentuk alus, dan 4 alus mider ami digunakan baik untuk menghormati maupun merendahkan diri karena bentuk ini hanya 52 memiliki satu bentuk halus; 2 kruna mider digunakan untuk semua lapisan masyarakat Bali karena bentuk ini hanya memiliki satu bentuk; 3 Kruna Andap digunakan dalam pergaulan masyarakat pada umumnya, nilai rasanya biasa atau sering disebut kruna keparalumrah: 4 Kruna Kasar biasanya digunakan apabila berkomunikasi dengan keluarga kalangan non tri wangsa, dengan kerahabat dekat, dan ada juga bentuk untuk bertengkar. Memperhatikan situasi kebahasaan seperti diuraikan di atas, satu kata dalam DBD memiliki beberapa bentuk tergantung pemakainya dan dengan siapa berbicara. Oleh karena itu satu kata dalam DBD yang merupakan bentuk kasar, dalam DBA merupakan bentuk biasa karena DBA tidak mengenal variai stratifikasi sosial sehingga jika petugas misalnya yang bertugas di daerah DBA berasal dari DBD dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman. Misalnya kata iba dalam DBD berarti kamu yang memiliki nilai rasa kasar dan biasanya digunakan dalam konteks bertengkar, sedangkan pada DBA yang ada di Seraya Timur kata iba ‘saya. Jika seorang dokter yang berasal dari DBD bertanya pada pasiennya: Kenapa Me? Kenapa Bu? Pasiennya menjawab Iba bengel. Bisa dibayangkan dokter yang tidak mengenal bahasa pasiennya akan berkata: Pih kasar sajan munyin pasiene, buina balikanga. I raga nakonin ia, mabalik I raga orange bengel. Padahal kulit I ragane alus.’Pih kasar sekali perkataan pasien, lagi pula dibalik, saya menanyai dia, terbalik malahan saya dikatakan bintik-bintik, padahal kulit saya halus’. Sebenarnya maksud pasien tidak begitu, makna kalimat sebenarnya adalah ‘Saya pusing’. Oleh karena itulah penelitian ini membahas salah satu aspek yang merupakan bagian dari layanan kesehatan masyarakat, yaitu variasi pronomina persona bahasa Bali dengan membandingkan DBD dengan DBA khusus DBA Sembiran selanjutnya disingkat DS dan DBA Seraya Timur selanjutnya disingkat DST. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskrifsikan variasi pronomina persona tunggal DBD dengan DBA khususnya DS dan DST baik secara leksikal maupun fonologis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bekal bagi para medis yang berasal dari DBD jika bertugas di wilayah DBA agar tidak terjadi kesalahpahaman.

2. BAHAN DAN METODE

Sumber data penelitian ini adalah tuturan lisan yang digunakan oleh penutur DBD, penutur DS, dan DST. Metode yang diterapkan dalam penyediaan data adalah metode pupuan lapangan. Metode ini lebih lanjut dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap khususnya cakap semuka Sudaryanto, 1988: 2—9. Pada tahap penganalisisan data digunakan metode padan dengan teknik dasarnya adalah teknik pilah unsur penentu. Teknik lanjutannya yaitu teknik hubung banding Sudaryanto, 1993: 13— 30; bdk dengan Djajasudarma, 1993: 58. Dalam penerapan metode padan dengan teknik hubung banding menyamakan dan membedakan, masing-masing digunakan untuk memilah unsur-unsur kebahasaan BB, khususnya unsur-unsur yang sama atau unsur yang tidak sama. Dengan meng teori gunakan kedua teknik itu, dapat dipisahkan bentuk-bentuk yang sama dan bentuk-bentuk yang berbeda. Penelitian ini menerapkan teori dialektologi yang didukung oleh teori tradisional dan struktural Chambers dan Peter Tradgill, 1980: 37—46 dan Petyt, 1980: 171 Teori dialektologi tradisional digunakan untuk menganalisis variasi leksikal, sedangkan digunakan untuk menganalisis variasi fonologis. Teori struktural beranggapan bahwa struktural 53 membedakan berbagai tipe perbedaan fonetis sesuai dengan efeknya terhadap struktur fonologis dari dialek-dialek tertentu Allen dan Linn ed., 1986: 20—24. Yang jelas dialektologi struktural harus memperhatikan relasi struktural dalam setiap dialek dan fungsi unsur-unsur fonetik dalam sistemnya sendiri Petyt, l980: l21; Kurath, 1972: 30. Menurut Weinreich dalam suatu bahasa dapat disusun suatu sistem yang lebih tinggi tingkatannya, yang mewujudkan baik kemiripan maupun perbedaan di antara sistem-sistem yang lebih rendah. Sistem yang lebih tinggi disebut diasistem atau supersistem; sedangkan sistem yang lebih rendah disebut subsistem. Jadi ada hubungan hiponimi antara diasistem dan subsistemAllen dan Linn ed., 1986: 22 .

2. HAS I L DA N P E M B A H A S A N