Sosiologi pertambangan

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

PT Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. PT Freeport Indonesia salah satu perusahaan tambang terkemuka di dunia yang melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia.

Perusahaan ini merupakan pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di Distrik Tembagapura, Kabupaten Timika, Provinsi Papua.

B. PERMASALAHAN

a. Bagaiamana sejarah PT. Freeport Indonesia?

b. Bagaimana perbandingan antara kebijakan pemerintah dengan kebijakan PT. Freeport Indonesia?

c. Kasus-kasus apa saja yang terjadi di PT. Freeport Indonesia?

C. TUJUAN

a. Untuk mengetahui sejarah PT. Freeport Indonesia

b. Untuk membandingkan antar kebijakan pemerintah dan kebijakan PT. Freeport Indonesia

c. Untuk mengetahui kasus yang terjadi di PT. Freeport Indonesia.


(2)

d. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah sosiologi pertambangan.


(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah PT. Freeport Indonesia

Awal mula PT Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan yang unik untuk diketahui. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.

Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tibatiba jauh di -pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. –Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.

Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.


(4)

Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.

Pada pertengahan tahun tiga puluhan, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.

Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisanya serta melakukan penilaian.

Di awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).


(5)

Pimpinan tertinggi Freeport di masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Beliau bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.

Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.

Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada tahun 1973


(6)

Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.

B. Perbandingan Antara Kebijakan Pemerintah dengan Kebijakan PT. Freeport Indonesia

A. Kebijakan Pemerintah

Peraturan dasar yang mengatur usaha pertambangan di Indonesia adalah UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No11/1967. Dalam UU Pertambangan dinyatakan bahwa segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU Pokok Pertambangan membagi bahan galian menjadi tiga golongan. Pertama, bahan galian golongan A atau strategis, seperti migas, batubara, dan timah. Kedua, bahan galian golongan B atau vital, seperti emas, tembaga, intan. Ketiga, bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital, seperti batu granit dan pasir.

Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan.


(7)

Sementara untuk bahan galian yang strategis dan tidak vital dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

Usaha pertambangan ini dapat meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan. Usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perorangan berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) yang diberikan dengan surat keputusan menteri.

Sementara usaha pertambangan bahan galian yang tidak tergolong strategis maupun vital dapat dilakukan dengan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral dapat menunjuk swasta nasional atau swasta asing untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara pemegang KP.

Pasang surut investasi di pertambangan amat ditentukan oleh kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu,modal asing dalam industri pertambangan juga bergantung kepada kebijakan peraturan pendukungnya. Investor asing tentu tidak mau mempertaruhkan modalnya dengan sia-sia. Pasalnya, investasi di pertambangan membutuhkan modal besar, teknologi tinggi, serta risiko yang amat besar.

Salah satu kebijakan yang dianggap kontraproduktif adalah UU Kehutanan No. 1/1999 yang melarang beroperasinya penambangan umum di kawasan hutan lindung. Repotnya, UU Kehutanan ini dikeluarkan setelah konsesi penambangan dibagi-bagi. Padahal, banyak perusahaan pertambangan yang terlambat mengetahui karena UU Kehutanan tidak disosialisasikan dengan baik ke perusahaan pertambangan


(8)

Masa emas

Tiga bulan setelah terbitnya UU Penanaman Modal Asing, pada April 1967 Freeport adalah pemodal asing pertama yang masuk ke Indonesia. Setelah itu, pada kurun 1968 masuk 16 pertambangan luar negeri, seperti Inco, Bliton Mij, Alcoa, Kennecott, dan US Steel. Saat itu, Kontrak Karya (KK) sebagai produk hukum pertambangan sudah diterima kalangan pertambangan internasional.

Dalam KK, pemerintah bertindak mewakili negara sebagai law endorcement. Selama ini, kehadiran pemerintah sebagai pemegang saham oleh perusahaan tambang asing digunakan sebagai jaminan stabilitas. KK pertambangan memuat ketentuan yang lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan "5a Contract" pada zaman Hindia Belanda.

KK pertambangan memberikan hak kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya sejak tahap survei, eksplorasi, eksplorasi, sampai dengan tahap eksploitasi, pengolahan, sampai ke penjualan hasil usahanya. Jadi, tidak ada pemisahan antara tahap praproduksi dan tahap operasi produksi.

KK pertambangan juga memuat ketentuan mengenai keuangan dan perpajakan selama jangka waktu berlakunya kontrak. Selain itu, pemerintah juga memberikan lex spesialis pada KK Pertambangan. Dengan demikian, ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercantum dalam kontrak tidak akan berubah karena berganti-gantinya peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Investor merasa ada kepastian hukum bagi usahanya.. Jaminan kepastian hukum ini penting karena usaha pertambangan memerlukan modal besar dan beresiko tinggi.


(9)

Mulai 1981 hingga 1995, penanaman modal asing (PMA) di pertambangan batubara tidak berlaku lagi KK pertambangan, tetapi Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batubara (KKS Batubara) yang kemudian berganti menjadi Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan (PKP2B). Jika dalam KK Pertambangan yang menjadi principal adalah pemerintah, maka dalam KKS Batubara dan PKP2B yang menjadi principal adalah perusahaan tambang batubara negara selaku pemegang Kuasa Pertambangan. KKS Batubara pun telah diterima dunia pertambangan internasional.

Dari sentralisasi ke desentralisasi

Sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.

Pada awal pemerintahannya (1966-1971), sistem politik Orde Baru masih demokratis yang memberikan peluang desentralisasi. Namun, sejak 1971 hingga tumbangnya rezim Soeharto, sistem politiknya otoriter yang memiliki karakter ortodoks. Sejak 1998, konfigurasi politik Indonesia kembali menuju demokratis. Indonesia membuka lembaran baru dengan memberikan kewenangan dan kemungkinan pengembangan inisiatif daerah yang sebesar-besarnya dalam kerangka negara kesatuan.

UU No. 22 199 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara


(10)

Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan perkembangan mendasar terhadap kebijakan pertambangan nasional. Sentralisasi makin tidak populer dan berganti menjadi desentralisasi. Semangat kedua UU ini ini dalam pendayagunaan sumberdaya mineral adalah pendelegasian kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan dan perimbangan yang lebih jelas dan wajar atas penerimaan negara antara pusat dan daerah.

Otonomi daerah merupakan landasan tambahan bagi penyusunan kebijakan pertambangan nasional, terutama jika dikaitkan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebelum adanya UU No.25/1999, sudah ada iuran pertambangan berupa iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (land-rent) bumi yang dibagihasilkan ke daerah. Sesuai dengan PP No.32/1969, bagian pemerintah pusat 30% dan daerah 70% dari total iuran pertambangan. Bahkan berdasarkan PP No.79/1992, bagian porsi daerah menjadi 80%. Perinciannya, propinsi 16% dan daerah tingkat II 64%.

Dalam UU No.25/1999, pembagiannya tidak jauh berbeda, tetapi royalty dan land-rent dipisahkan. Selain itu, ada perbedaan pendapatan antara propinsi dan kabupaten atau kota. Untuk iuran tetap, pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, dan 64% untuk kapupaten atau kota penghasil. Sementara untuk royalty,pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan kabupaten/kota lain dalam propinsi.

Sebagai konsekuensi desentralisasi dan dekonsentrasi pengalihan kewenangan pusat ke daerah, fungsi pusat akan menjadi pengambil kebijakan dan regulator. Namun, agaknya pelaksanaan otonomi tidak berjalan mulus. Pasalnya, masih


(11)

banyak daerah yang belum siap melaksanakan otonomi daerah.

B. Kebijakan Perusahaan ( PT. Freeport Indonesia)

Adapun Kebijakan Perusahaan PT. Freeport Indonesia adalah : a. PTFI hanya percaya melakukan bisnis dengan pemasok,

kontraktor, konsultan dan mitra bisnis lainnya yang menunjukkan standar tinggi dalam etika perilaku bisnis.

b. PTFI akan memastikan bahwa seluruh karyawan membaca, memahami dan mengikuti Prinsip-prinsip tersebut dalam segala hal yang dikerjakan.

c. Kebijakan kami adalah untuk tunduk pada hukum negara tempat kita beroperasi, juga untuk melakukan bisnis sesuai dengan Prinsip-prinsip dan nilai-nilai kami. Jika budaya setempat atau praktik-praktik setempat berbeda dari standar yang tercantum dalam PBC, yang dilakukan adalah mengikuti Prinsip-prinsip dalam PCB. Jika ada konflik yang serius dengan harapan setempat, kami akan berkonsultasi dengan pejabat Kepatuhan yang ditunjuk untuk menentukan cara yang tepat untuk melakukan bisnis di lokasi tersebut.

d. PTFI akan melatih semua karyawan dalam Prinsip-prinsip ini. Semua karyawan baru akan menerima pelatihan seperti ini selama masa orientasi mereka di perusahaan dan pelatihan tambahan mengenai Prinsip-prinsip akan diberikan secara berkala.

C. Kasus-Kasus yang terjadi di PT.Freeport Indonesia 1. Metode penambangan

Sumberdaya mineral merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Bagaimanapun metodenya pasti akan


(12)

menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang.

2. Kebijakan dari pemerintah.

Ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil sikap merupakan angin segar bagi PT Freeport Indonesia untuk dapat melanjutkan penambangannya di tanah Papua. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh PT Freeport Indonesia sangat besar. Jika hal ini terus dilanjutkan maka generasi yang akan datang tidak dapat menikmati lagi kekayaan alam yang ada di Indonesia. 3. Pembuangan limbah yang tidak pada tempatnya.

Limbah yang dihasilkan dari proses penambangan PT Freeport sangat banyak. Limbah-limbah tersebut merupakan limbah yang tidak dapat di daur ulang. Selain itu pembuangan limbah di DAS Ajkwa dan danau Wanagon menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Tentunya sungai ajkwa dan danau wanagon sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh penduduk setempat karena sudah tercemar dan berbahaya bagi

kehidupan sehari-hari.

4. Prosedur penambangan.

Kerusakan lingkungan dalam skala besar dikarenakan wilayah penambangan yang sangat luas. Berdasarkan analisis citra


(13)

LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek Selain itu kerusakan lingkungan disebabkan penggunaan alat-alat berat.


(14)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

PT Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.

PT Freeport Indonesia juga merupakan pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia. PT. Freeport Indonesia pun memiliki beberapa kebijakan. Namun, PT. Freeport Indonesia memiliki akar permasalahan pada Metode Penambangan, Kebijakan Dari Pemerintah,Pembuangan Limbah Yang Bukan Pada Tempatnya, dan Prosedur Penambangan.

B. SARAN

Pemerintah semestinya terus melakukan peninjauan terhadap semua aktifitas penambangan di PT. Freeport Indonesia agar tidak terjadi permasalahan baik yang berdampak pada lingkungan, pekerja, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitar tambang.


(15)

LAMPIRAN GAMBAR PT. FREEPORT INDONESIA


(16)

DAFTAR PUSTAKA

http://daditzberpikir.blogspot.sg/2008/10/permasalahan-pt-freeport-indonesia.html

http://sosiopage.blogspot.sg/2012/01/freeport-indonesia-homophone-repot.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Freeport_Indonesia

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4183/kebijakan-pertambangan-dari-sentralisasi-ke-desentralisasi

http://www.voaindonesia.com/content/freeport-kaji-kebijakan-sektor-pertambangan/1830730.html


(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Studi Kasus PT. Freeport Indonesia, Papua” kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepadasemua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir.

Makassar, 21 Mei 2014

Penyusun


(18)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan

I. Latar Belakang... 1 II. Permasalahan... 1 III. Tujuan... 1 Bab II : Pembahasan

I. Sejarah PT. Freeport Indonesia... 2

II. Kebijakan Pemerintah Dengan Kebijakan Perusahaan ... 4

III. Kasus-Kasus PT. Freeport Indonesia... 8 Bab III : Penutup

I. Kesimpulan... 11 II. Saran... 11 Lampiran Gambar... 12 Daftar Pustaka


(1)

LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek Selain itu kerusakan lingkungan disebabkan penggunaan alat-alat berat.


(2)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

PT Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.

PT Freeport Indonesia juga merupakan pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia. PT. Freeport Indonesia pun memiliki beberapa kebijakan. Namun, PT. Freeport Indonesia memiliki akar permasalahan pada Metode Penambangan, Kebijakan Dari Pemerintah,Pembuangan Limbah Yang Bukan Pada Tempatnya, dan Prosedur Penambangan.

B. SARAN

Pemerintah semestinya terus melakukan peninjauan terhadap semua aktifitas penambangan di PT. Freeport Indonesia agar tidak terjadi permasalahan baik yang berdampak pada lingkungan, pekerja, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitar tambang.


(3)

LAMPIRAN GAMBAR PT. FREEPORT INDONESIA


(4)

DAFTAR PUSTAKA

http://daditzberpikir.blogspot.sg/2008/10/permasalahan-pt-freeport-indonesia.html

http://sosiopage.blogspot.sg/2012/01/freeport-indonesia-homophone-repot.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Freeport_Indonesia

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4183/kebijakan-pertambangan-dari-sentralisasi-ke-desentralisasi

http://www.voaindonesia.com/content/freeport-kaji-kebijakan-sektor-pertambangan/1830730.html


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Studi Kasus PT. Freeport Indonesia, Papua” kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepadasemua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir.

Makassar, 21 Mei 2014

Penyusun

17 I


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan

I. Latar Belakang... 1 II. Permasalahan... 1 III. Tujuan... 1 Bab II : Pembahasan

I. Sejarah PT. Freeport Indonesia... 2

II. Kebijakan Pemerintah Dengan Kebijakan Perusahaan ... 4

III. Kasus-Kasus PT. Freeport Indonesia... 8 Bab III : Penutup

I. Kesimpulan... 11 II. Saran... 11 Lampiran Gambar... 12 Daftar Pustaka

18 II