BAB V KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU
MENURUT IBNU THUFAYL
A. Aspek Teologi
Substansi akal bagi Ibnu Thufayl menunjukkan peranan akal terhadap apa yang terjadi dengan alam sekitar. Sehingga akal menunjukkan sebagai
daya pikir untuk memahami sesuatu. Bagi Ibnu Thufayl akal adalah suatu daya yang hanya dimilki manusia dan yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Akal merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya.
Wahyu pun bersubstansi sebagai konfirmasi bagi akal untuk mencapai pengetahuan yang hakiki yakni tentang adanya Tuhan. Dalam mana wahyu
memiliki jalan yang berbeda dengan akal. Sehingga wahyu dapat mencapai pengetahuannya dengan sendirinya, begitu pula akal dapat mencapai
pengetahuan yang sejati melalui proses pelatihan terhadap fenomena alam sekitar.
Ibnu Thufayl mengisyaratkan dua jalan dasar dari sebuah pengetahuan dapat dicapai dan hal ini pun yang dimiliki manusia dalam mencapai
pengetahuan sejati. Dalam pencapaian Tuhan terdapat beberapa sifat, yakni, sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, Ilmu, Kudrat, dan Hikmah.
Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta‟addud
al-qudama berbilangnya yang qadim sebagaimana paham Mu‟tazilah.
72
Falsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui oleh akal.
Sejatinya substansi dari akal memiliki peran yang lebih dari wahyu bagi manusia karena akal merupakan daya yang tertanam dalam diri
manusia. Sedangkan wahyu hanya manusia yang dianugerahkan secara khusus untuk mendapatkan wahyu dari Tuhan.
B. Aspek Epistemologi
Bagi Ibnu Thufayl, pengalaman merupakan suatu proses pengenalan lingkungan melalui indera. Organ-organ indera berfungsi berkat jiwa
hewani yang ada dalam hati. Berbagai data indera yang kacau mencapai otak yang menyebarkan ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf, yang
selanjutnya diproses menjadi kesatuan yang persetif. Jiwa hewani itu satu. Bila berfungsi di mata ia menjadi penglihatan,
bila di telinga ia menjadi pendengaran, bila di hidung ia menjadi penciuman. Setiap organ indera ada unit yang menfungsikan dan tidak mungkin ada
fungsi kecuali ada kontak dengan jiwa. Sistem ini disebut dengan jaringan saraf. Apabila jaringan ini tidak berfungsi atau terputus, maka fungsi organ
juga tidak bekerja. Jaringan organ ini bersumberdaya dari otak dan otak bersumberdaya dari hati. Sedang otak itu mempunyai jiwa yang banyak
karena di situlah merupakan sentral daya, lalu didistribusikan ke bagian- bagian lain. Setiap organ mempunyai jiwa untuk dapat berfungsi. Bila jiwa
pada setiap organ tubuh lenyap secara total, maka akan mengalami kematian.
Manusia memperoleh pengetahuan dengan akal aktif yang menyinari jiwanya, meskipun ia hidup dalam keterasingan dan tidak kontak dengan
manusia lain. Begitu pula ia dapat mencapai segala hakekat dan merasakannya dengan akalnya itu dengan bantuan unsur luar. Akan tetapi
dengan syarat, manusia itu adalah manusia yang telah diberi oleh Yang Maha Kuasa kemampuan filosofis seperti Hayy bin Yaqdzon.
Filsafat merupakan pemahaman akal secara murni atas kebenaran konsep-konsep dan imajinasi sesungguhnya tidak dapat dijangkau cara-cara
pengungkapan konvensional. Hal seperti itu hanya dapat dimengerti oleh kalangan filosof. Agama diperuntukkan bagi semua orang dengan tidak
mengabaikan tingkatan-tingkatan kemampuan akal para penganutnya antara yang awam dan khawas. Filsafat hanya diberikan kepada orang-orang
berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan mereka harus dipahami secara hati-hati, dalam konteks yang bersamaan dengan agama, karena keduanya
membawa “satu” kebenaran sekalipun dengan cara yang berbeda.
C. Aspek Aksiologi