Pengaturan Ketentuan Sanksi Pidana Dalam Peraturan Daerah

(1)

TESIS

OLEH

HASNAN

107005006/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

HASNAN

107005006/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) Ketua

(Dr. Marlina, S.H., M.Hum.) (Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. Anggota : 1. Dr. Marlina, S.H., M.Hum.

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum. 3. Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum.


(5)

dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Kebijakan untuk mencantumkan ancaman pidana dalam peraturan daerah, menunjukkan bahwa legislatif daerah berkeinginan untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan tertentu dalam peraturan daerah.

Penelitian ini adalah peneitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Peneliti menggunakan teori tujuan hukum dan teori desentralisasi, disini peneliti mencoba untuk melihat apakah pengaturan peraturan daerah di Kota Medan yang diterbitkan sejak tahun 2009 s.d. 2011 sudah relefan dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 143 ayat (2) dan (3) serta Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan pada Pasal 15.

Kebijakan sanksi pidana Peraturan Daerah selama ini mengacu pada jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pada pidana pokok yang digunakan berupa pidana kurungan atau pidana denda. Selain menggunakan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, Peraturan Daerah juga menggunakan sanksi administrasi. Penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan administrasi sifatnya merupakan pemberian peringatan (prevensi) agar substansi yang telah diatur didalam perundang-undangan tersebut tidak dilanggar. Jenis-jenis sanksi pidana yang digunakan dalam peraturan daerah ini erat kaitannya dengan bobot dan kualifikasi tindak pidana yang di atur dalam Peraturan Daerah. Mengacu pada pembagian kualifikasi delik dalam KUHP yang membagi kejahatan dan pelanggaran maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara umum mengkualifikasikan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah sebagai pelanggaran.

Pengaturan sanksi pidana pada peraturan Daerah di Kota Medan secara yuridis normatif memang dapat dibenarkan, namun pencantuman sanksi pidana pada peraturan daerah dengan ancaman pidana kurungan lebih dari 6 (enam) bulan bahkan memberikan sanksi penjara hingga 2 tahun sangat kurang tepat, sebab apabila peraturan daerah bebas mencantumkan jenis sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi diatasnya akan menyebabkan kerumitan dalam penerapan sanksinya.

Analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah harus tetap memiliki batasan-batasan pengaturan sanksi pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun

rumusan pasal yang perlu diperbaiki adalah: “Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya”. Rumusan pada frasa: selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya harus dilakukan perbaikan sehingga mempertegas pembatasan pengaturan sanksi pidana pada peraturan daerah.


(6)

regional regulation is also a regulation which implements another regulation

above it and accommodates the region’s specific condition. The policy to specify

criminal penalty in a regional regulation indicates that the regional legislative wants to criminalize certain acts in its regional regulation.

The research was judicial normative in which the problems appeared in the research were analyzed through legal principles and referred to legal norms found in the legal provisions. The researcher used the theory of legal objective and the theory of decentralization in order to see whether the implementation of the regional regulations in Medan from 2009 until 2011 were relevant to Law No. 32/2004 on Regional Administration in Article 143, paragraphs 2 and 3 and to Law No. 12/2011 on the Establishment of Legal Provisions in Article 15.

The policy of imposing criminal sanction in the Regional Regulation has been referred to the kinds of criminal act stipulated in Article 10 of the Penal Code in which the principal punishment is detention or fine. Besides using criminal sanction as it is regulated in the Penal Code, regional regulation also uses administrative sanction. The use of criminal sanction in the Administrative Act is only to give warning (prevention) in order that the substance of the statutory provision is not violated. The kinds of criminal sanction used in this regional regulation are closely related to the weight and the qualification of criminal act found in the Regional Regulation. Referring to the division of the punishable act qualification in the Penal Code which consists of crime and violation, Law No. 32/2004 on Regional Administration generally qualifies criminal act in the Regional Regulation as a violation.

Regulating criminal sanction in the Regional Regulation in Medan is judicial normatively allowed, but specifying criminal sanction in the regional regulation with six-month detention and two years of imprisonment is not appropriate because, if any kind of criminal sanction can be specified in a regional regulation following the regulation above it, the implementation of the sanction will be complicated.

The results of the research showed that a Regional Regulation should have clear definition in regulating criminal sanction according to Law No. 32/2004 on Regional Administration and Law No. 12/2011 on the Establishment of Legal Provisions. The formulation article which should be corrected is “the Provincial Regulation and the Municipal Regulation which regulate detention or fine implied

in paragraph 2 as they are stipulated in other legal provisions,” and the

formulation of phrase which should be corrected is “…besides what is intended in

paragraph 2, according to what is stipulated in other legal provisions” so that the

definition of regulating criminal sanction in the Regional Regulation can be clearly understandable.


(7)

rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah Saw. yang membimbing ummat manusia menuju kebenaran dan kebahagiaan hakiki.

Penulisan tesis ini berjudul PENGATURAN KETENTUAN SANKSI

PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH, penelitian ini bertujuan untuk

memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini dapat diselesaikan karena mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Melalui kata pengantar ini Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., dengan perhatian dan kesabaran mereka membimbing Penulis menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM)., Sp.A. (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(8)

Program Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum. dan Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. selaku penguji dalam penyelesaian tesis tesis ini di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap Penulis.

5. Dosen pengajar penulis selama mengikuti pendidikan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat memahami ilmu hukum lebih mendalam.

6. Sangat teristimewa kepada istriku tercinta dr. Rika Dewi Rahmawati Putri, sungguh sangat luar biasa memberikan dukungan dalam segala hal, dan kesabaran menunggu kepergianku dari rumah di Aceh Singkil (selama sepekan berada 3 hari di Medan), telah berlangsung selama 2,5 tahun, serta


(9)

pendidikan Magister Ilmu Hukum.

7. Teristimewa juga kepada orang tuaku: Darman Manik, S.Pd. (Bapak), dan Tarima Br. Cibro (Mamak), selanjutnya mertuaku: Ahmad Sururi (Ayah) dan Erda Siswati (Ibu), turut memberikan doa dan semangat kepada Ananda menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Hukum.

8. Special kepada kakak penulis, Darhima, S.Pd., serta adik-adik: Sufriadi Admaja, S.Ked. (sekarang lagi coast), Etty Susmilawati, Rahmat Satria, Amrulia Hidayat, S.T., Tri Kartika Sari dan Meidita Hasanah, kalian menjadi inspirasi supaya kelak Penulis dapat memberikan yang terbaik.

9. Sahabat dan rekan seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara tahun masuk 2010 (Paralel A) dan Jurusan Hukum Pidana: Joko Rizkiyono, Laila Surya Nasution, Muslim, Muhammad Idris, Muhammad Riau, Rifi Handayani, Dessy Agustina, Zonni Aroma, Bahrumsyahputra, Okto, Liza Baiduri, Iwan, Friska Anggi Siregar, Emi, Ely, Dilla, Andi, Agung, Patar, Bambang dan kawan lainnya yang tidak tersebutkan semuanya. Kalian menjadi penyemangat penulis untuk berlomba menyelesaikan pendidikan secepat-cepatnya. Terimakasih semuanya ya. 10.Para pegawai dan karyawan di lingkungan Program Magister Ilmu Hukum


(10)

Penutup pada pengantar ini, penulis berharap semoga ilmu yang telah didapat selama pendidikan dapat diamalkan dan berkontribusi bagi pembangunan masyarakat utamanya penegakan hukum, dan semoga tesis ini menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengambil kebijakan dan masyarakat umum dalam pengaturan ketentuan sanksi pidana dalam peraturan daerah.

Medan, 9 November 2012 Penulis,

H a s n a n 107005006


(11)

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

STATUS : MENIKAH (1 isteri dan 3 orang anak) E-MAIL : hasnan_advokat@yahoo.com

ALAMAT : JL. CUT MUTIA, DESA RIMO, KECAMATAN GUNUNG MERIAH, KABUPATEN ACEH SINGKIL. PEKERJAAN : ADVOKAT MAGANG

PADA KANTOR OK. ISKANDAR dan AZIARNI HASIBUAN & PARTNERS, JL. BRIGJEND. KATAMSO NO. 371-A MEDAN 20159.

PENDIDIKAN : 1. SD NEGERI SIATAS, SIMPANG KANAN, ACEH SINGKIL, LULUS TAHUN 1997.

2. SMP NEGERI 1 SINGKIL, ACEH SINGKIL, LULUS TAHUN 2000.

3. MAN SINGKIL, ACEH SINGKIL, LULUS TAHUN 2003.

4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA, BANDA ACEH, LULUS TAHUN 2009.

5. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, LULUS TAHUN 2012.


(12)

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP……….. vii

DAFTAR ISI……… viii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan ……….. 10

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ……….. 11

E. Keaslian Penelitian ………. 12

F. Kerangka Teori dan Konsep ……… 12

1. Kerangka Teori ……….. 12

2. Konsep ………... 26

G. Metode Penelitian ……… 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ……….. 28

2. Pendekatan Masalah ………. 28

3. Sumber hukum dan bahan hukum ……… 29

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ……… 31

5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ……….. 31

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH ………... 33

A. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Aspek Hukum Pidana Substantif ... 33

1. Pola Jenis Sanksi Pidana ... 34

2. Pola Jumlah atau lama (berat-ringannya) pidana ... 56

3. Pola Perumusan Sanksi Pidana ... 61

B. Pengaturan Sanksi Pidana ditinjau dari Tujuan Pemidanaan... 65

C. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Penegakan Hukum ... 72

D. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Hukum Acara Pidana ... 78

BAB III KONSEP KETENTUAN SANKSI PIDANA PADA PERATURAN DAERAH ... 96

A. Kedudukan Peraturan Daerah ……… 96


(13)

c. Teori treatment……… 113

d. Teori socialdeffence ... 113

2. Tujuan pidana dan pemidanaan……… 116

3. Ruang lingkup pola pemidanaan menurut KUHP……… 120

a. Pola jenis sanksi pidana ………. 120

b. Pola lama (berat ringannya pidana)……… 128

BAB IV WEWENANG PENETAPAN SANKSI PIDANA PADA PERATURAN DAERAH ………. 130

A. Asas Legalitas Penetapan Sanksi Peraturan Daerah ……….. 130

B. Politik Hukum Penggunaan Sanksi Pidana ……… 134

C. Penetapan Sanksi Pidana dan Orientasi Tujuan Pemidanaan ………… 140

D. Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Penetapan Sanksi ………. 147

E. Sejarah Pengaturan Sanksi Pidana pada Peraturan Daerah ……… 155

1. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah ………… 157

2. UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah ……… 158

3. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ……….. 161

4. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ……….. 164

5. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah ……….. 165

6. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ……… 166

7. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ……… 170

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 174

A. Kesimpulan ………. 174

B. Saran……… 177


(14)

dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Kebijakan untuk mencantumkan ancaman pidana dalam peraturan daerah, menunjukkan bahwa legislatif daerah berkeinginan untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan tertentu dalam peraturan daerah.

Penelitian ini adalah peneitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Peneliti menggunakan teori tujuan hukum dan teori desentralisasi, disini peneliti mencoba untuk melihat apakah pengaturan peraturan daerah di Kota Medan yang diterbitkan sejak tahun 2009 s.d. 2011 sudah relefan dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 143 ayat (2) dan (3) serta Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan pada Pasal 15.

Kebijakan sanksi pidana Peraturan Daerah selama ini mengacu pada jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pada pidana pokok yang digunakan berupa pidana kurungan atau pidana denda. Selain menggunakan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, Peraturan Daerah juga menggunakan sanksi administrasi. Penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan administrasi sifatnya merupakan pemberian peringatan (prevensi) agar substansi yang telah diatur didalam perundang-undangan tersebut tidak dilanggar. Jenis-jenis sanksi pidana yang digunakan dalam peraturan daerah ini erat kaitannya dengan bobot dan kualifikasi tindak pidana yang di atur dalam Peraturan Daerah. Mengacu pada pembagian kualifikasi delik dalam KUHP yang membagi kejahatan dan pelanggaran maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara umum mengkualifikasikan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah sebagai pelanggaran.

Pengaturan sanksi pidana pada peraturan Daerah di Kota Medan secara yuridis normatif memang dapat dibenarkan, namun pencantuman sanksi pidana pada peraturan daerah dengan ancaman pidana kurungan lebih dari 6 (enam) bulan bahkan memberikan sanksi penjara hingga 2 tahun sangat kurang tepat, sebab apabila peraturan daerah bebas mencantumkan jenis sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi diatasnya akan menyebabkan kerumitan dalam penerapan sanksinya.

Analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah harus tetap memiliki batasan-batasan pengaturan sanksi pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun

rumusan pasal yang perlu diperbaiki adalah: “Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya”. Rumusan pada frasa: selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya harus dilakukan perbaikan sehingga mempertegas pembatasan pengaturan sanksi pidana pada peraturan daerah.


(15)

regional regulation is also a regulation which implements another regulation

above it and accommodates the region’s specific condition. The policy to specify

criminal penalty in a regional regulation indicates that the regional legislative wants to criminalize certain acts in its regional regulation.

The research was judicial normative in which the problems appeared in the research were analyzed through legal principles and referred to legal norms found in the legal provisions. The researcher used the theory of legal objective and the theory of decentralization in order to see whether the implementation of the regional regulations in Medan from 2009 until 2011 were relevant to Law No. 32/2004 on Regional Administration in Article 143, paragraphs 2 and 3 and to Law No. 12/2011 on the Establishment of Legal Provisions in Article 15.

The policy of imposing criminal sanction in the Regional Regulation has been referred to the kinds of criminal act stipulated in Article 10 of the Penal Code in which the principal punishment is detention or fine. Besides using criminal sanction as it is regulated in the Penal Code, regional regulation also uses administrative sanction. The use of criminal sanction in the Administrative Act is only to give warning (prevention) in order that the substance of the statutory provision is not violated. The kinds of criminal sanction used in this regional regulation are closely related to the weight and the qualification of criminal act found in the Regional Regulation. Referring to the division of the punishable act qualification in the Penal Code which consists of crime and violation, Law No. 32/2004 on Regional Administration generally qualifies criminal act in the Regional Regulation as a violation.

Regulating criminal sanction in the Regional Regulation in Medan is judicial normatively allowed, but specifying criminal sanction in the regional regulation with six-month detention and two years of imprisonment is not appropriate because, if any kind of criminal sanction can be specified in a regional regulation following the regulation above it, the implementation of the sanction will be complicated.

The results of the research showed that a Regional Regulation should have clear definition in regulating criminal sanction according to Law No. 32/2004 on Regional Administration and Law No. 12/2011 on the Establishment of Legal Provisions. The formulation article which should be corrected is “the Provincial Regulation and the Municipal Regulation which regulate detention or fine implied

in paragraph 2 as they are stipulated in other legal provisions,” and the

formulation of phrase which should be corrected is “…besides what is intended in

paragraph 2, according to what is stipulated in other legal provisions” so that the

definition of regulating criminal sanction in the Regional Regulation can be clearly understandable.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan hukum pidana ternyata semakin banyak digunakan dan di andalkan dalam rangka mengatur dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Dinamika hukum dapat terlihat dari adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab tentang ”ketentuan sanksi

pidana” pada bagian akhir sebagian besar produk peraturan perundang-undangan

di Indonesia. Pencantuman bab tentang ketentuan sanksi pidana tersebut tidak hanya terlihat dalam produk peraturan perundang-undangan pusat yang berbentuk

“Undang-undang”, melainkan dapat terlihat pula dalam produk peraturan

perundang-undangan lokal yang berbentuk “Peraturan Daerah”.1

Kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab tentang

“ketentuan pidana” dalam suatu Peraturan Daerah (selanjutnya disebut Perda),

pada dasarnya dapat dibenarkan dari perspektif hukum pidana, khususnya dilihat dari aspek-aspek yang terkandung dalam asas legalitas.2

Pengertian Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah3 adalah “Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan

1

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hal. 159.

2

D. Schaffmeister, et. al., Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 6-7. 3

Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


(17)

Daerah Kabupaten/Kota”. Peraturan Daerah4 mengatur urusan rumah tangga di bidang otonomi dan urusan rumah tangga di bidang tugas pembantuan. Di bidang otonomi, Perda dapat mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.5

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 selanjutnya telah dilakukan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 136 disebutkan:

1. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

2. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

3. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

4. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

5. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Melalui amandemen UUD 1945 kedua, perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945).

4

Materi muatan Perda mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

5

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UII, Yogyakarta, 2002, hal. 72.


(18)

Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 14 menggariskan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya pada Pasal 15 disebutkan lebih tegas bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ribuan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogat legis inferiori.”

Negara Indonesia adalah negara hukum6 dalam kerangka keberlakuan hukum dan ditaatinya norma yang telah ditetapkan, serta mendukung pemasukan uang bagi daerah, menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, kriminalisasi/penalisasi Perda-Perda tersebut dapat diikuti dengan pengaturan atas perbuatan tertentu berupa pensifatan perbuatan sebagai perbuatan pidana, serta

6


(19)

penetapan sanksi pidana bagi barang siapa yang mencocoki rumusan perbuatan yang dimaksudkan.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai daerah otonom, daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah baik di daerah provinsi maupun kabupaten/kota, yang merupakan eksekutif di daerah, sedangkan DPRD baik di daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota merupakan lembaga legislatif daerah.

Peraturan daerah adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda sebagai salah satu instrumen yuridisnya.

Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam Konstitusi dan Undang-undang Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut juga terjadi pada


(20)

penataan materi muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada Pemerintah Daerah.

Mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan peraturan daerah pun mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Penataan jenis perilaku akan menghasilkan Perda tentang larangan atau kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi. Penetapan sanksi dalam perda akan berkombinasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi. Ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004, menetapkan :

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Ketentuan Pasal 143 ayat (1) tersebut di atas menjadi dasar hukum pengaturan sanksi administrasi, tujuan utamanya adalah menyelesaikan pelanggaran (reparatory). Sanksi administrasi dapat diterapkan langsung oleh pemerintah. Oleh sebab itu, peraturan daerah harus merumuskan secara lengkap dasar hukum, jenis sanksi, prosedur dan pejabat yang berwenang menerapkan sanksi administrasi. Berbeda dengan sanksi pidana, karena perancang perda hanya


(21)

cukup merumuskan dalam perda, sedang penerapan sanksinya dilakukan melalui prosedur KUHAP.

Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur tentang pengaturan pidana pada peraturan daerah, Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) yaitu:

(1). Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam; a. Undang-undang;

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Mengacu pada undang-undang tersebut, terjadi inkonsistensi pembuat aturan, pada ayat (2) disebutkan ancaman pidana kurungan paling lama 6

(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah), sedangkan pada ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam

Peraturan Perundang-undangan lainnya. Pengaturan seperti ini menjadi salah satu hal yang menarik untuk peneliti kaji dari aspek peraturan perundang-undangan, terutama Peraturan Daerah Kota Medan yang mencantumkan acaman pidana kurungan atau penjara mencapai maksimum 2 tahun.


(22)

Peraturan daerah juga tidak mencantumkan apakah suatu perbuatan yang dilarang masuk pelanggaran atau kejahatan. Pembagian antara pelanggaran dan kejahatan ini sangat penting, karena akan mendasari seluruh sistem pidana di indonesia, sekalipun akan ditinggalkan dalam penyusunan KUHP yang baru. Ini merupakan pemilihan yang juga penting dari sudut pandang hukum acara pidana, karena berkaitan dengan kompetensi absolut.7

Kesinkronisasian antara Perda sebagai hukum lokal dengan hukum pidana kodifikasi, semestinya pengkualifikasian peraturan daerah harus ditulis secara tegas apakah masuk pelanggaran atau kejahatan. Pengkualifikasian ketentuan pidana dalam KUHP, sepanjang berkenaan dengan delik-delik yang termaktub dalam KUHP, petunjuk tentang apakah suatu tindakan pidana masuk kategori kejahatan atau pelanggaran dapat ditemukan dari penempatannya. Buku kedua hanya mengatur kejahatan sedangkan buku ketiga hanya memuat pelanggaran. Selanjutnya berkenaan dengan ketentuan pidana yang dicantuman dalam perundang-undangan khusus, dan Perda apakah perbuatan tersebut merupakan pelanggaran atau kejahatan harus ditetapkan tersendiri. Harus dilakukan untuk memungkinkan proses peradilan terhadap tindak pidana yang bersangkutan. Berkaitan dengan materi hukum yang di atur Perda dalam proses kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan, sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana dalam Perda harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila;

7


(23)

sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan perbaikan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perumusan hukum pidana dalam Perda harus memperhatikan batasan wewenang yang diberikan undang-undang di atasnya, baik Perda pidana yang delegasi undang-undang atau tidak delegasi undang-undang; c. Perumusan Pidana dalam Perda memperhatikan aspirasi dan potensi

yang ada di daerah/karakteristik daerah, dimana Perda itu di keluarkan; d. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan

hukum pidana di dalam Perda harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat;

e. Penggunaan hukum pidana dalam perda harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principles) juga social cost atau biaya sosial;

f. Penggunaan hukum pidana dalam Perda harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).8 Penegakan hukum perbuatan pidana pada Perda di daerah akan menjadi sangat penting, karena dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan dalam mengurus dan mengatur pemerintahan di daerah.

Kebijakan kriminalisasi dan penegakan hukum pidana dalam peraturan daerah yang substansi pengaturannya berbeda-beda juga menimbulkan pesoalan hierarki perundang-undangan, hal ini telah dilakukan berkali-kali pengubahan, dimulai dari TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terakhir

8

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 33-34.


(24)

diganti dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Jadi setiap Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum di atasnya.

Penelitian ini juga mengkaji pengaturan 24 Peraturan Daerah di Kota Medan dalam rentang waktu 3 tahun, sejak 2009 s.d. 2011 yang terdapat 10 peraturan daerah yang mencantumkan bab tentang sanksi pidana yang ancaman pidana maksimum 2 tahun, selanjutnya peneliti analisis dengan mengaitkan undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang- Perundang-undangan yang memberikan pengaturan khusus dan batasan-batasan pencantuman sanksi pidana pada peraturan daerah.

Wewenang penetapan sanksi pidana pada peraturan daerah tidak dapat mengabaikan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. Secara teoretik, wewenang yang berasal dari peraturan perundang-undangan itu dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat, namun kewenangan untuk membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Penetapan pidana pada peraturan daerah yang mengandung sanksi pidana merupakan wewenang atribusi, karena Undang-undang menetapkan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan


(25)

sanksi pidana pada peraturan daerah yang bersangkutan. Penelitian ini mengkaji dan mengkorelasikan dengan asas legalitas dalam pemidanaan, politik hukum penggunaan sanksi pidana, orientasi pemidanaan dan sejarah pengaturan sanksi pidana pada peraturan daerah, dengan demikian peneliti dapat menemukan jawaban tentang bagaimana pengaturan ketentuan sanksi pidana dalam peraturan daerah.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan sanksi pidana pada Peraturan daerah? 2. Bagaimana konsep ketentuan sanksi pidana pada Peraturan Daerah? 3. Bagaimana wewenang penetapan sanksi pidana Peraturan Daerah?

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini yang menitikberatkan pada penerapan aspek pidana pada peraturan daerah ditinjau dari sistem peradilan pidana, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan sanksi pidana pada Peraturan Daerah.


(26)

2. Untuk mengetahui serta menjelaskan konsep ketentuan sanksi pidana pada Peraturan Daerah.

3. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai wewenang penetapan sanksi pidana pada Peraturan Daerah.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teoritis.

Hasil penelitian ini dalam aspek teoritis, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memerkaya pemahaman akademisi di bidang ilmu hukum, khususnya hukum pidana, serta menambah khasanah kajian tata negara dibidang hukum pemerintahan daerah.

Manfaat dari segi praktis, diharapkan penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan pemerintahan daerah dalam merumuskan peraturan daerah terutama penerapan aspek pidana pada peraturan daerah ditinjau dari sitem peradilan pidana. Para aparat penegak hukum diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan serta langkah-langkah penanganan dan penyelesaian perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pada peraturan daerah.


(27)

Manfaat penelitian ini, adalah:

1. Diketahuinya pengaturan sanksi pidana pada Peraturan Daerah. 2. Diketahuinya konsep ketentuan sanksi pidana pada Peraturan Daerah. 3. Diketahuinya wewenang penetapan sanksi pidana Peraturan Daerah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian mengenai “Penerapan

Ketentuan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah” belum pernah dilakukan. Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan peraturan daerah, namun aspek yang dibahas berbeda. Maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Keranga teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahn (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang


(28)

mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan

eksternal bagi pembaca.9

Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.10

Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi;

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diteliti; 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-fator tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.11 Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual,

9

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80. 10

Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni,

Yogyakarta, Paradigma, 2005, hlm. 239. 11


(29)

teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas tesis ini adalah dengan mempergunakan beberapa teori yaitu; Teori Tujuan Hukum dan Teori Desentralisasi.

1. Teori Tujuan Hukum

Banyak pendapat ahli yang membicarakan tujuan hukum diantaranya menurut Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa dalam pergaulan hidup manusia, kepentingan-kepentingan manusia dapat senantiasa bertentangan satu dengan yang lain. Maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu.12 Kepentingan-kepentingan manusia itu bermacam-macam, seperti kepentingan untuk menikmati apa yang menjadi haknya, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum, kepentingan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup lahir batin dan sebagainya.

Muchsin mengatakan sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan itu.13 Secara umum, Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Maksudnya hukum menghendaki perdamaian, yang semuanya bermuara pada suasana damai. Rudolf Von Jhering mengatakan bahwa

12

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.11.

13


(30)

tujuan hukum adalah untuk memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan. Van Kant mengatakan tujuan hukum ialah untuk menjamin kepastian hukum (Rechtszekerheid, Law Certainty), yakni mengenai hak dan kewajiban di dalam pergaulan hidup masyarakat. Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat untuk membangun masyarakat (law is tool of social engineering).

Teori yang berkenaan dengan judul penulis diatas adalah Teori yang berkenaan dengan tujuan Hukum yakni 1). Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Vant Kant, Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya. 2). Kemanfaatan Hukum ialah terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib

(rechtsorde), sedangkan 3). Keadilan Hukum maksudnya setiap orang tidak akan merasa dirugikan kepentingannya dalam batas-batas yang layak.

Teori Kepastian Hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Tugas itu terkumpul dua tugas lain: hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil


(31)

terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada dua (2) macam pengertian

“kepastian hukum” yaitu kepastian “oleh karena” hukum dan kepastian

“dalam atau dari hukum”. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang-undang-undang

itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam

undang-undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlain-lainan.14

Satjipto Raharjo berpendapat dalam bukunya “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa: Teori Kegunaan Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum).15 Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan kemanfaatan atau kegunaan hukum adalah untuk terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (Rechtsorde).

Teori Keadilan Hukum menerangkan bahwa: setiap orang tidak akan merasa dirugikan kepentingannya dalam batas-batas yang layak. Jadi keadilan bukan berarti bahwa setiap orang memperoleh bagian yang sama. Keadilan dibagi kepada dua (2) macam yakni:

14

Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, Disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan, 2007, hlm. 43.

15


(32)

1. Keadilan Distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya. Contohnya dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengenai persamaan kedudukan.

2. Keadilan Kommutatif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan. Contohnya dalam hal tukar menukar barang ataupun jasa, diusahakan supaya sedapat mungkin terdapat yang dipersamakan antara yang dipertukarkan, maka pada hakekatnya tidak ada undang-undang yang sempurna, bahkan justru ada ketidak-adilan dalam undang-undang yang resmi berlaku

(Gesetzliches unrecht) tapi sebaliknya ada pula keadilan di luar undang-undang (Uebergesetzliches Recht). Siapapun harus berhati-hati mempergunakan ungkapan, slogan ataupun semboyan “menegakkan

supremasi hukum” kalau yang ditegakkan belum tentu ataupun sama

sekali tidak mengandung keadilan, karena yang dimaksud sebenarnya adalah “menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan” dan penegakan supremasi hukum yang berkeadilan itu adalah bagian dari perjuangan hidup dan sekaligus menggambarkan karakteristik masyarakatnya.16

16

S. Tasrif, Menegakkan Supremasi Hukum, dalam buku Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru, diterbitkan oleh Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Jakarta, 1971, hlm. 18-19.


(33)

Tujuan hukum pada dasarnya untuk mengatur pergaulan hidup secara damai, yakni bahwa tujuan hukum yang demikian hanya dapat dicapai jika hukum mengandung “keadilan” maksudnya peraturan yang mampu memelihara kepentingan setiap orang sebanyak-banyaknya yang menjadi bagiannya.

2. Teori Desentralisasi

Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu

de” berarti lepas dan centrum berarti pusat. Jadi menurut perkataan berasal dari

desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.17

Desentralisasi dalam arti self government menurut Smith dalam Khairul Muluk18 berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki self government

melalui lembaga politik yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yurisdiksinya. Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat didaerah pemilihan tertentu. Karena dewan perwakilan rakyat daerah merupakan elemen dalam penyelenggraaan pemerintahan di daerah.

17

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT Alumni Bandung, 2004, hlm. 117.

18

Smith, dalam Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 8.


(34)

Henry Maddick dalam Juanda mengatakan, desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah19 Amrah Muslimin menyebutkan, sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan- badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri.20

Berdasarkan pendapat Bachrul Elmi menyebutkan, bahwa desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintahan pusat kepada daerah, untuk melaksanakan dan meyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab daerah meliputi : urusan umum dan pemerintahan, penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan.21

Penyerahan urusan pemerintahan lebih lanjut menurut Siswanto Sunarno22 menjelaskan bahwa desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Desentralisasi merupakan

19

Henry Maddick dalam Juanda, Loc.Cit.

20

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5.

21

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Universitas Indonesia Press, 2002, hlm. 7.

22


(35)

pengotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.

Pemerintahan daerah pada hakekatnya melaksanakan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturan-peraturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat.

Sistem daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, oleh Jimly Asshiddiqie23, dinyatakan memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga dikenal tiga ajaran dalam pembagian

23

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm. 423. (selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie II).


(36)

penyelenggaraan pemerintah negara, yakni: (1) ajaran rumah tangga materiil; (2) ajaran rumah tangga formil;dan (3) ajaran rumah tangga riil. Lebih lanjut ketiga ajaran rumah tangga ini dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut:24

1. Ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat. Urusan rumah tangga ini melihat materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintahan pusat atau daerah masing-masing. Dengan demikian pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan sesuatu urusan dengan baik karena urusan itu termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah, atau sebaliknya pemerintah daerah tidak akan mampu menyelenggarakan suatu urusan karena urusan itu termasuk materi yang harus diselenggarakan oleh pusat.

2. Ajaran rumah tangga formil, merupakan urusan rumah tangga daerah dengan penyerahannyadidasarkan atas peraturan perundang-undangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang.

3. Ajaran rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata, dengan didasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya, sesuatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional. Akan tetapi sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang dan penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan undang-undang atau peraturan peraturan lainnya.

Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi seluas-luasnya, berdasarkan pendapat Sudono Syueb menyebutkan pada intinya, bahwa daerah diberikan kebebasan dan kemadirian untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menentukan sendiri kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah

24


(37)

dalam pemilihan langsung kepada masyarakat. Melalui pemilihan langsung, maka dihasilkan kepala daerah otonom adalah pemimpin rakyat di daerah bersangkutan yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, karena melibatkan sebesar-besarnya peran rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta menciptakan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang demokratis akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi, partisipatif, efektif dan efisien serta bermoral yaitu pemerintahan daerah melaksanakan tindakan pemerintahan dengan baik dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah dan rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas, serta dapat berlangsung secara terbuka dan siap dikoreksi oleh rakyat sesuai esensi prinsip transparansi. Melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat sehingga dapat disebutkan otonomi daerah secara luas adalah prinsip demokrasi, prinsip pemerataan, prinsip kesetaraan, dan prinsip keadilan bagi daerah serta prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaran pemerintahan daerah25

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama

25


(38)

dalam tujuan otonomi daerah yakni, pelaksanaan pembangunan dan layanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.26 Adapun tujuan kebijakan otonomi daerah menurut Joko Widodo antara lain sebagai berikut:27

1. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintah daerah. 2. Pemberdayaan masyarakat dan daerah.

3. Peningkatatan kualitas layanan masyarakat.

4. Peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. 5. Terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik.

6. Terbebasnya praktek penyelenggaraan pemerintahan dari malpraktek, baik berupa korupsi, kolusi maupun nepotisme.

Peranan otonomi daerah dimaknai dengan delegatie of authority and responbility yang menjadi ukuran adalah kewenangan dan tanggungjawab dalam membuat dan mengambil keputusan sendiri yang sesuaidengan situasi, kondisi, kebutuhan dan permasalahan yang terjadi di daerah. J.Wajong28 berpendapat bahwa hakekat otonomi daerah mengandung makna yaitu mengatur dan mengurus. Mengatur bersifat legislatif dan mengurus bersifat eksekutif. Hak otonomi memberikan kepercayaan yang besar berupa kebebasan

(zelfstandigheid) untuk melakukan kegiatan di daerah. Hak kebebasan atau

zelfstandigheid merupakan dasar otonomi namun tidak bermakna kemerdekaan atau onafhankelijkheid terhadap pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat berkewajiban untuk melakukan pengawasan menurut ketentuan-ketentuan dalam

26

HAW. Widjaja, Op.Cit hlm. 208. 27

Joko Widodo, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hlm. 6.

28


(39)

undang-undang dan pengawasan oleh kepala daerah sebagai wakil pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah kabupaten dan/atau kota. Tujuan dilakukan pengawasan, untuk menjamin susunan dan jalanya pemerintahan yang baik dan kegiatan pemerintahan negara yang dilaksanakan kepada pemerintahan daerah. Sedangkan tujuan diadakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keragaman daerah.

Penyelenggaraan desentralisasi dalam otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan daerah serta aspirasi masyarakat yang berkembang untuk menjaga dan memelihara keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah yang dilakukan melalui pelimpahan berbagai jenis kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi dalam daerah otonom berada diluar hierarkhis dari hubungan pemerintahan pusat.

Kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, yaitu kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan, kecuali kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusatkarena karakter dan sifatnya bersifat nasional. Kewenangan yang terpusat


(40)

pada pemerintah negara merupakan ciri dari suatu negara kesatuan. Ciri dari negara kesatuan oleh C.F.Strong dinyatakan sebagai berikut:

”The essence of a unitary state is that the souvereeignity is undivided,

or, in other words, that the powers of central goverment are unrestricted, for the constitution of a unitary state dose not admint of

any other law making body than the central one”29

(Ciri dari Negara Kesatuan ialah bahwa kedaulatan tidak terbagi atau dengan perkataan lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengalami adanya badan legislative lain, selain legislative pusat).

Penyelenggaraan pemerintahan negara yang dikaitkan dengan otonomi daerah didasarkan atas luas wilayah serta menggunakan asas kewilayahan, yaitu daerah merupakan wilayah pusat dan pusat merupakan pusatnya daerah.

Menurut pendapat Peneliti desentralisasi dalam asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan kebebasan dan kemandirian yang seluas-luasnya dilakukan oleh pemerintahan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh kepala daerah yang memiliki fungsi atau bidang pekerjaan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan demokrasi.

29


(41)

2. Konsep

Membaca dan memahami penulisan pada penelitian ini diperlukan penyamaan persepsi, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka koseptual sebagaimana yang terdapat di bawah ini.

a. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. b. Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Hal ini di atur dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil diartikan juga sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah.


(42)

d. Polisi Pamong Praja yaitu aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

e. Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum baik yang disebut dalam KUHP maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. f. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

g. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

h. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

i. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti


(43)

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif.30 Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekuder yang berkaitan dengan masalah “pengaturan ketentuan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah”.

2. Pendekatan Masalah

Tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach).31 Pendekatan Perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini ialah kebijakan dalam pengaturan pemidanaan dalam Peraturan Daerah. Penelitian ini menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan kegunaan dari

30

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan istilah doktrinal, yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam perundang-undangan

(law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process).

31

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, Edisi Revisi, Cet. 2, 2006, hlm. 295.


(44)

metode penelitian hukum normatif, yaitu untuk mengetahui dan mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu.32

Pendekatan perundang-undangan, konseptual dan komparatif dipandang perlu untuk pendalaman, di samping sebagai pelengkap pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan perundang-undangan diperlukan untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan aspek pidana pada peraturan daerah ditinjau dari sistem peradilan pidana yang didasarkan pada kebijakan legislatif.

Pendekatan konseptual digunakan dalam rangka untuk lebih memahami mengenai konsep pengaturan sanksi pidana pada peraturan daerah, penerapan sanksi pidana dan mekanisme pelaksanaanya sehingga pemidanaan pada peraturan daerah dapat diketahui dengan tuntas.

3. Sumber Hukum dan Bahan Hukum

Penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan yang bersumber dari perpustakaan dan dokumen pemerintah. Adapun sumber dan bahan hukum yang dimaksud diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari :

a) Norma atau kaedah dasar, yaitu alinea keempat pembukaan UUD 1945;

b) Peraturan dasar, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 H ayat (2);

32

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke 20, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 140.


(45)

c) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

d) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

e) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang; g) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 Tentang Pelaksanaan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum;

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang), di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekologi, teknik, filsafat dan lainnya yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.


(46)

Surat kabar, majalah mingguan juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini. Sepanjang surat kabar dan majalah tersebut memuat informasi yang relevan dengan pengaturan pemidanaan dalam Peraturan Daerah.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan penelitian diperoleh dengan penelitian kepustakaan. Bahan-bahan dikumpulkan dan dicatat menjadi kutipan langsung, ikhtisar dan analisis. Bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi dan mengoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pengaturan pemidanaan dalam Peraturan Daerah.

5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel kemudian diuraikan dan dihubungkan dengan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deskriptif-analisis, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada di analisis untuk melihat pola kecenderungan dalam penerapan aspek pidana


(47)

pada peraturan daerah ditinjau dari sistem peradilan pidana. Penelitian ini diharapkan dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan pemidanaan dalam Peraturan Daerah secara tepat.


(48)

BAB II

PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH

A. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah Ditinjau dari Aspek

Hukum Pidana Substantif.

Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Ketentuan Pasal 103 tersebut menjadi pedoman pembentuk Undang-undang dalam menentukan garis kebijakan pemidanaan dalam undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berikut dengan peraturan pelaksanaannya (termasuk Peraturan Daerah). Garis kebijakan yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana substantif dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya mengacu pada ketentuan umum KUHP.

Kebijakan sanksi pidana yang demikian ini tidak dapat dilepaskan dari anggapan yang memandang bahwa KUHP sebagai induk dari keseluruhan peraturan pidana, sehingga praktik legislatif tampaknya menggunakan pola pemidanaan menurut KUHP sebagai acuan atau pedoman dalam membuat peraturan perundang-undangan pidana lainnya.


(49)

Beberapa ketentuan hukum pidana substantif dalam KUHP yang dijadikan acuan atau pedoman antara lain berkenaan dengan kualifikasi tindak pidana, perumusan sanksi pidana, jenis sanksi pidana, jumlah atau lamanya ancaman pidana. Namun dalam kenyataannya, ada beberapa ketentuan hukum pidana substantif dalam KUHP yang diterapkan dalam pemidanaan di Peraturan Daerah mengalami kendala dalam penerapannya. Atas dasar hal tersebut perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana substantif yang ada dalam KUHP.

Ketentuan hukum pidana substantif dalam KUHP yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam pembentukan Peraturan Daerah harus dilakukan perubahan mendasar. Seberapa jauh perubahan mendasar hukum pidana substantif tersebut mampu menunjang kebijakan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah, akan dibahas dalam uraian dibawah ini.

1. Pola Jenis Sanksi Pidana

Kebijakan sanksi pidana Peraturan Daerah selama ini mengacu pada jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana pokok yang digunakan yakni, pidana kurungan dan pidana denda. Pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu. Selain menggunakan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, Peraturan Daerah juga menggunakan sanksi administrasi.

Penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan administrasi sifatnya merupakan pemberian peringatan (prevensi) agar substansi yang


(50)

telah diatur didalam perundang-undangan tersebut tidak dilanggar. Pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga dalam perundang-undangan administrasi, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara.34

W.F Prins mengemukakan seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon

“hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri “in cauda

venenum” dengan ketentuan pidana (“in cauda venenum” secara harfiah berarti: ada racun di ekor/buntut).35 Berkaitan dengan hal tersebut, Paulscholten mengemukakan pula bahwa hukum pidana memberikan sanksi luar biasa, baik kepada beberapa kaidah hukum umum, maupun kepada peraturan hukum administrasi.36

Keberadaan sanksi pidana dalam hukum administrasi ini menurut Barda Nawawi Arif pada hakikatnya merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/ melaksanakan hukum administrasi atau dengan kata lain merupakan bentuk

“fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentaliasi hukum pidana di bidang

hukum administrasi”.37

Siti Sundari Rangkuti mengemukakan bahwa fungsi sanksi pidana administrasi terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu

34

Philipus, M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Op. Cit., hlm. 245. 35

Ibid, hlm. 45 dan 46. 36

W.F Prins, 1983, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm. 17.

37


(51)

pengendalian perbuatan terlarang. Sanksi pidana administrasi ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut.38 Keberadaan sanksi pidana dalam hukum administrasi sangat erat kaitannya dengan usaha-usaha pencapaian tujuan peraturan-peraturan hukum administrasi itu sendiri.

Jenis-jenis sanksi pidana yang digunakan dalam peraturan daerah ini erat kaitannya dengan bobot dan kualifikasi tindak pidana yang di atur dalam Peraturan Daerah. Mengacu pada pembagian kualifikasi delik dalam KUHP yang membagi kejahatan dan pelanggaran maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara umum mengkualifikasikan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah sebagai pelanggaran.

Terhadap kualifikasi yang demikian tersebut, secara umum legislatif daerah dalam merumuskan jenis sanksi pidana dalam Peraturan Daerah lebih menekankan kepada pidana kurungan di alternatifkan dengan pidana denda. Hanya dalam Peraturan Daerah tertentu seperti Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah di ancam dengan pidana penjara. Tabel dibawah ini dikemukakan contoh-contoh perumusan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah dalam lingkup Peraturan Daerah di Kota Medan, sebagai berikut:

38

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Op. Cit., hlm. 192 - 193.


(1)

M.S., Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni, Yogyakarta, Paradigma, 2005.

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, 2001.

Mangunhardjana, A., lsme-isme Dalam Etika: dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2006.

Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Alumni, 1986.

Naisbitt, John, dan Aburdene, Megatrend 2000, Jakarta, Binarupa Aksara, 1990.

Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Osborne David, dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta, PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1996.

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994.

---, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta, Bina Aksara, 1982.

Praja S. Achmad, Soemadi., dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1982.

Prakoso, Djoko, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985.


(2)

Prasetyo,Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa Media, 2011.

Prins, W.F., Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Pradnya Paramitha, 1983.

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Bandung, Sinar Baru, 1983. ---, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, Cet. ke-3, 1991.

Rasyid, Ryaas, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Yarsif Watampone, 1996.

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pers, 2002.

Saleh, Roeslan, Mencari asas-asas Umum yang Sesuai untuk Hukum Pidana Nasional, Kumpulan bahan upgrading hukum pidana, Jilid 2.

---, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, 1983. ---, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, 1983. Schaffmeister, D., et. al., Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1995.

---, Pidana Badan Singkat sebagai Pidana di waktu luang (diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeljono), Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991.

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: lde Dasar Double Track Sistem & lmplementasinya, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Smith, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang, Bayumedia Publishing, 2005.

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.

Soejito, Irawan, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Jakarta, Bina Aksara, 1989.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. Sundari Rangkuti, Siti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya, Airlangga University Press, 1996.


(3)

Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 1996.

Tasrif, S., Menegakkan Supremasi Hukum, dalam buku Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru, Jakarta, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), 1971.

Triatmojo, Sudibyo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang ada dalam KUHP. Bandung, Alumni, 1982.

Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana ll, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1987.

Wajong, J., Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta, Djambatan, 1975.

Widodo, Joko, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Malang, Bayu Media Publishing, 2008.

B. Makalah/Disertasi/Karya Ilmiah

Hartono, Sunaryati, Perspektif Politik Hukum Nasional; Sebuah Pemikiran,

Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 5 Tahun ke 10, 1980.

Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman, 1980.

Lokollo, J.E., Perkembangan Pidana Denda di Indonesia, Surabaya, Disertasi, Universitas Airlangga, 1988.

Lubis, Solly, Diktat Teori Hukum, Disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan.

Moeljosoedarmo, Soewoto, Pengertian dan Problematik Politik Hukum,

Makalah Diskusi Politik Hukum, Surabaya, Pascasarjana Untag, Agustus, 1999. Muladi, Pidana Mati ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan, Makalah pada Simposium Nasional Tentang “Relevansi Pidana Mati di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, tanggal 15 Juni 1989.


(4)

Nur Hari Susanto, Sri, Memahami Asas Ne Bis Vexari Rule dan Penggunaannya dalam Sanksi Hukum Administrasi, Majalah, Masalah-Masalah Hukum, Tahun XXV No.7, Semarang, FH. UNDIP, 1995.

Soedarto, Hukum Pidana Jihd 1 A, Badan Penyediaan Kuliah FH-UNDIP,

Semarang, 1973.

C. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090.


(5)

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2007 Tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 tahun 2008 Tentang Kebijakan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 1 tahun 2009 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 tahun 2009 Tentang Urusan Pemerintahan Kota Medan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2009 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Medan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 5 tahun 2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Medan No. 1 Tahun 2005 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 tahun 2009 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Balita (KIBBLA).

Republik Indonesia,Peraturan DaerahKota Medan No. 7 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Medan Tahun 2006 - 2025.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 9 tahun 2009 tentang Retribusi Izin Pengelolaan Pengeboran, Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Kota Medan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 11 tahun 2009 tentang Rumah Susun.


(6)

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 14 tahun 2009 tentang Pengembangan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kota Medan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 1 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 1 tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Medan.

Republik Indonesia,Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Republik Indonesia, Peraturan DaerahKota Medan No. 4 tahun 2011 tentang Pajak Hotel.

Republik Indonesia,Peraturan Daerah Kota Medan No. 5 tahun 2011 tentang Pajak Restoran.

Republik Indonesia,Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah.

Republik Indonesia,Peraturan Daerah Kota Medan No. 7 tahun 2011 tentang Pajak Hiburan

Republik Indonesia,Peraturan DaerahKota Medan No. 10 tahun 2011 tentang Pajak Parkir.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 11 tahun 2011 tentang Pajak Reklame.

Republik Indonesia,Peraturan DaerahKota Medan No. 12 tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kota Medan No. 16 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan.