Studi Produksi Gula Cair untuk Peningkatan Budidaya dan Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong Selatan

STUDI PRODUKSI GULA CAIR UNTUK PENINGKATAN
BUDIDAYA DAN PASCAPANEN SAGU (Metroxylon spp.)
ASAL SORONG SELATAN

AGIEF JULIO PRATAMA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Produksi Gula Cair
untuk Peningkatan Budidaya dan Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong
Selatan adalah karya saya yang dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Agief Julio Pratama
NIM A24110106

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
AGIEF JULIO PRATAMA. Studi Produksi Gula Cair untuk Peningkatan Budidaya
dan Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong Selatan. Dibimbing oleh
MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE dan AGUS BUDIYANTO.
Sagu merupakan tanaman potensial untuk dikembangkan sebagai bahan
pangan dan non pangan bagi masyarakat Indonesia. Potensi sagu Indonesia sangat
tinggi sehingga budidaya dan pascapanen diperlukan untuk meningkatkan nilai
tambah tanaman sagu. Sagu sebagai sumber pati yang tinggi dapat dimanfaatkan
untuk produksi gula cair. Produksi pati sagu mencapai 200−400 kg pati pohon-1.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal produksi gula cair dari
pati sagu asal Sorong Selatan. Pati sagu yang digunakan yaitu pati sagu jenis
Fasampe dan Fafion. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Bogor, dari Februari 2015 sampai Juni
2015. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan split split plot, perbandingan pati
dengan air sebagai petak utama, enzim α-amilase sebagai anak petak dan enzim
glukoamilase sebagai anak anak petak. Hasil penelitian diperoleh kondisi optimum
produksi gula cair dari pati sagu Fasampe yaitu perbandingan pati dan air sebesar
1:4 dengan enzim α-amilase 1 mL kg-1 pati dan enzim glukoamilase 1 mL kg-1 pati.
Gula cair yang dihasilkan memiliki nilai brix 17.3 °Brix dan kadar gula total 19%.
Kondisi optimum produksi gula cair dari pati sagu Fafion yaitu perbandingan pati
dan air sebesar 1:4 dengan enzim α-amilase 1.2 mL kg-1 pati dan enzim
glukoamilase 1.2 mL kg-1 pati. Gula cair yang dihasilkan memiliki nilai brix 15
°Brix dan kadar gula total 16.2%.
Kata kunci: budidaya, gula cair, optimasi, pascapanen, pati sagu, Sorong Selatan

ABSTRACT
AGIEF JULIO PRATAMA. Study of Sugar Syrup Production to Develop
Cultivation and Postharvest of Southern Sorong Sago Palm. Supervised by
MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE and AGUS BUDIYANTO.

Sago palm is a potential plant to develop as food and non food materials for
Indonesian. The potential of sago in Indonesia is very high so cultivation and
postharvest are required to increase added value of sago plant. Sago palm as a
source of starch can be used in sugar syrup production. The potency of starch is
200−400 kg tree-1. The aim of this study is to get the optimal condition of sago
starch from South Sorong due to sugar syrup processing. This experiment was
conducted at Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and
Development, Bogor, from February to June 2015. The experimental design used
split split plot, ratio starch and water as main factor, α-amylase enzim as sub factor,
and glucoamylase as sub sub factor. The optimum condition to make sugar syrup
from sago starch Fasampe type is the 1:4 combination between water and sago
starch Fasampe type with α-amylase enzyme 1 mL kg-1 of starch and glucoamylase
1 mL kg-1 of starch. The result of the sugar brix value is 17.3 °Brix and the total
sugar content is 19%. The optimum condition to make sugar syrup from sago starch
Fafion type is the 1:4 combination between water and sago starch Fafion type, αamylase enzyme 1.2 mL kg-1 of starch and glucoamylase 1.2 mL kg-1 of starch. The
result of the sugar brix value is 15 °Brix and total sugar content is 16.2%.
Key words: cultivation, optimization, postharvest, sago starch, South Sorong,
sugar syrup

STUDI PRODUKSI GULA CAIR UNTUK PENINGKATAN

BUDIDAYA DAN PASCAPANEN SAGU (Metroxylon spp.)
ASAL SORONG SELATAN

AGIEF JULIO PRATAMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Assalamu’alaikum wr.wb. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan
penelitian dengan judul Studi Produksi Gula Cair untuk Peningkatan Budidaya dan

Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong Selatan. Tulisan ini dibuat
berdasarkan kurangnya pengetahuan masyarakat Sorong Selatan terhadap
pascapanen sagu yang hanya dijadikan makanan utama yaitu papeda. Selain itu
potensi sagu yang ada di Papua dan Papua Barat sangat tinggi, sehingga perlu
dilakukan pascapanen sagu yang dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat.
Pengetahuan tentang pengolahan pascapanen sagu berpengaruh terhadap proses
budidaya tanaman sagu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal
untuk memproduksi gula cair dari sagu asal Sorong Selatan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kepada Mamah dan Bapak serta adik yang senantiasa memberikan
dukungan sepenuh hati baik doa maupun materil yang tak pernah putus
hingga saat ini.
2. Prof. Dr. Ir. H. MH Bintoro Djoefrie, MAgr dan Agus Budiyanto STP,
MSc sebagai pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan
curahan waktunya selama kegiatan penelitian.
3. Balai Besar Pasca Panen yang telah memberikan tempat serta dana
penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
4. Beasiswa Bidik Misi yang telah mendanai pendidikan selama menjalankan
pendidikan sarjana.
5. Juang Gema Kartika, SP, MSi selaku moderator dalam seminar hasil

penelitian dan Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc selaku dosen penguji yang
telah memberikan masukan dan saran.
6. Dosen mata kuliah Teknik Penulisan Ilmiah yang telah mengajarkan caracara menulis proposal penelitian dan tulisan ilmiah.
7. Pak M. Triyono dan Ibu Pia L selaku analis di BB Pasca Panen, Pak Adom
dan Pak Asep Cupes selaku teknisi BB Pasca Panen.
8. Team Sagu Penikmat Cireng, teman-teman Agronomi dan Hortikultura
angkatan 48, teman-teman IKMT 48, SALAM ISC 2013, Kelompok KKP
Desa Drunten Kulon, PALAGRO, DANDELION TRAVELERS,
RANGERS, Divisi Fundraising MPKMB 49 dan seluruh teman-teman
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas segala dukungan
semangat yang diberikan selama ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai referensi untuk
penelitian maupun hal-hal yang bersangkutan dengan pendidikan. Mohon maaf atas
segala kekurangan. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bogor, Juli 2015
Agief Julio Pratama

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sagu
Syarat Tumbuh Sagu
Budidaya Tanaman Sagu
Manfaat Tanaman Sagu
Deskripsi Aksesi Sagu Jenis Fasampe
Deskripsi Aksesi Sagu Jenis Fafion
Gula Cair Sagu
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan Pendahuluan
Perlakuan Percobaan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Pengamatan Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Brix Gula Cair
pH Gula Cair
Warna Gula Cair
Kadar Gula Total
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xii
xiii
xiii
1
1
2
2

2
2
3
4
5
5
6
7
8
8
8
8
8
9
10
11
12
12
14
17

20
23
23
24
24
28
32

DAFTAR TABEL
1

2

3

4

5

6


7

8

9

10

11

12

13

14

15

Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:4
Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:4
Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:5
Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:5
Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:6
Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:6
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:4
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:4
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:5
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:5
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:6
Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim αamilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:6
Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:4
Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:4
Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:5

12

12

13

13

13

14

15

15

15

16

16

16

18

18

18

16 Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:5
17 Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe
dengan air 1:6
18 Nilai rata-rata warna pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion
dengan air 1:6
19 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fasampe dengan air 1:4
20 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fafion dengan air 1:4
21 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fasampe dengan air 1:5
22 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fafion dengan air 1:5
23 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fasampe dengan air 1:6
24 Nilai rata-rata kadar gula total beberapa perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu
Fafion dengan air 1:6

19

19

19

20

21

21

22

22

23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Mekanisme hidrolisis pati oleh α-amilase
Mekanisme hidrolisis pati oleh glukoamilase
Kerangka pikir penelitian

7
7
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Penentuan kadar gula total
Kurva standar kadar gula total
Rekapitulasi sidik ragam gula cair pati sagu jenis fafion
Rekapitulasi sidik ragam gula cair pati sagu jenis fasampe
Pengaruh air dan enzim terhadap warna gula cair pati sagu jenis
Fasampe
Pengaruh air dan enzim terhadap warna gula cair pati sagu jenis
Fafion
Produksi gula cair skala besar

28
28
28
28
29
30
31

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki luasan sagu paling luas di dunia, lebih dari 50% populasi
sagu dunia dan 90% dari populasi tersebut ditemukan di Papua dan Papua Barat
(Bintoro 2008). Luas lahan sagu di Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai 5.2
juta ha dan dari luasan tersebut 1.1 juta ha sudah diizinkan untuk dikonversi
menjadi lahan non sagu (Djoefrie et al. 2014). Sekitar 40% dari vegetasi sagu di
Papua merupakan areal produksi yang potensial dan siap untuk dipanen (Yumte
2008). Tanaman sagu yang ditemukan di Provinsi Papua lebih dari 60 jenis aksesi
dan Papua dianggap sebagai sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia
(Limbongan 2007). Tanaman sagu dapat tumbuh baik di lahan sub optimal seperti
daerah rawa. Tanah masam atau bersalinitas tinggi yang tanaman lain belum tentu
mampu tumbuh baik (Flach dan Schuiling 1989). Sistem perakaran yang kuat
menjadikan pohon sagu sangat kuat dan mampu menahan banjir, goncangan angin,
agen bioremediasi untuk menghilangkan kontaminan logam berat maupun
mikroorganisme (Stanton 1991).
Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif.
Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 20–40 ton pati kering ha1
tahun-1. Produktivitas tersebut setara dengan tebu, namun lebih tinggi
dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10–
15 ton pati kering ha-1 tahun-1 (Bintoro et al. 2010). Pati sagu memiliki manfaat
yang sama dengan pati dari tanaman lainnya yang dapat digunakan untuk berbagai
macam keperluan, misalnya sebagai makanan pokok, bahan baku industri makanan,
bahan bakar etanol, bahan baku penyedap makanan, bahan baku gula cair, pakan
ternak dan sebagai bahan baku industri lainnya (Govindasamy et al. 1997; Bintoro
2000; Mohamed 2012).
Pati sagu memiliki potensi yang besar sebagai bahan dasar pembuatan gula
cair. Potensi pati yang mencapai 20–40 ton ha-1 tahun-1, apabila tidak seluruhnya
dikonsumsi sebagai makanan pokok, tetapi dijadikan gula cair, maka kebutuhan
gula akan tercukupi dari pengolahan pati sagu (Bintoro et al. 2010). Kebutuhan gula
di Indonesia sangat besar. Kebutuhan gula penduduk Indonesia pada tahun 2013
mencapai 5.7 juta ton, angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang hanya
mencapai 5.3 juta ton. Kebutuhan gula tersebut tidak diimbangi dengan produksi
gula dalam negeri. Produksi gula tebu pada tahun 2013 dengan luasan 472.03 ribu
ha hanya mampu menghasilkan gula sebanyak 2.55 juta ton dan dalam hal ini
berakibat pada peningkatan impor gula (tahun 2011 impor gula sebesar 2.37 juta
ton, tahun 2012 sebesar 2.74 juta ton dan tahun 2013 sebesar 3.34 juta ton) (BPS
2013). Produksi gula cair selain tebu diperlukan untuk menopang kebutuhan gula
yang tinggi. Salah satu alternatif produksi gula dari pati sagu diharapkan
swasembada gula dapat tercapai. Potensi lahan sagu yang siap untuk dipanen
menjadi nilai tambah tersendiri bagi Indonesia.
Pati sagu dapat dijadikan gula cair dengan cara menghidrolisis pati
menggunakan enzim (Akyuni 2004). Produksi gula dari pati sagu dengan hidrolisis
secara enzimatis mempunyai keunggulan yaitu kemudahan proses produksi dan
biaya proses lebih murah. Pati sagu yang digunakan pada penelitian Akyuni (2004)

masih belum spesifik tempat sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan gula
cair sagu asal Sorong Selatan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal untuk produksi
gula cair sagu yang berasal dari Sorong Selatan. Tujuan selanjutnya
merekomendasikan jenis sagu yang dapat dibudidayakan secara intensif di
Kabupaten Sorong Selatan untuk diproduksi menjadi gula cair, serta mendorong
petani untuk membudidayakan tanaman sagu.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini yaitu terdapat perbandingan yang tepat antara
enzim dan pati sehingga menghasilkan gula cair yang maksimal. Hipotesis lainnya
terdapat pati sagu asal Sorong Selatan yang cocok dijadikan gula cair dari segi
warna dan kadar gula total, karena kandungan karbohidrat yang berbeda-beda.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sagu
Sagu (Metroxylon spp.) termasuk tanaman monokotil dari famili Areacaceae
(alt. Palmae) subfamily Calamoideae genus Metroxylon (GRIN 2011). Sagu
merupakan jenis tanaman yang menyimpan pati pada bagian batangnya. Batang
sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa
empulur yang mengandung serat-serat pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3–5
cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan
bangunan. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis
dibandingkan sagu dewasa (Haryanto dan Pangloli 1992).
Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua,
yaitu tanaman sagu yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan
kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali
(Hepaxanthic) dengan kandungan pati yang lebih banyak (Bintoro et al. 2010).
Pengelompokkan selain berdasarkan bunga, dituturkan Bintoro (2008) yang
mengelompokkan sagu berdasarkan ada tidaknya duri. Sagu berduri terdiri atas
Sagu Tuni (M. rumphii Mart), Sagu Ihur (M. sylvestre Mart), Sagu Makanaru (M.
logispinum Mart), dan Sagu Duri Rotan (M. microcanthum Mart) serta jenis yang
tidak berduri, yaitu Sagu Molat (M. sagu Rottb).
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman penghasil karbohidrat paling
potensial tetapi belum optimal pemanfaatannya. Setiap hektar terdapat 30 pohon
dan setiap pohonnya diperoleh 300 kg tepung pati, jika terdapat tiga juta hektar
pohon sagu maka dalam setahun diperoleh 30–60 juta ton pati sagu (Djoefrie 1999;
Bintoro et al. 2010). Produktivitas pati sagu sangat tinggi dibandingkan tanaman
penghasil karbohidrat lainnya. Produktivitas pati sagu sebesar 24 ton ha-1 tahun-1,

3
jagung 5.5 ton ha-1, gandum 5 ton ha-1, padi 6 ton ha-1 dan kentang 2.5 ton ha-1
(Bujang dan Ahmad 2000). Sagu menghasilkan 200−400 kg pati pohon-1, bahkan
sagu jenis Phara yang berada di sekitar danau Sentani, Irian Jaya memiliki
kandungan pati sebanyak 835 kg pati pohon-1 (Saitoh et al. 2004). Produktivitas
pati sagu dari setiap individu yang tumbuh di Indonesia dan Malaysia memiliki
produktivitas pati yang berbeda-beda dari 19−975 kg pati kering pohon-1
(Yamamoto 2011).

Syarat Tumbuh Sagu
Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu berupa kawasan yang
berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah
berwarna cokelat, dan bereaksi agak masam. Sagu dapat tumbuh pada pH tanah
yang bervariasi dari 3.6−5.7, dengan rata-rata suhu tahunan 17−35 °C
(Anugoolprasert et al. 2012) atau pada suhu 24−30 °C dan curah hujan lebih dari 2
000 mm tahun-1 (Mulyanto dan Suwardi 2000). Sagu tidak toleran terhadap suhu
beku dan pertumbuhannya lambat pada iklim yang dingin contohnya di kawasan
Hawai, Florida dan Queensland (McClatchey et al. 2006). Tanaman sagu
memerlukan sinar matahari dalam jumlah banyak dan kurang tahan terhadap
naungan (Djoefrie 1999). Tumbuhan sagu di Pulau Seram, Provinsi Maluku tumbuh
dan berkembang pada empat habitat, yaitu tipe habitat lahan kering, tergenang tidak
permanen air tawar, tergenang tidak permanen air payau, dan tergenang permanen
(Samin et al. 2011).
Tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah,
pertumbuhan tanaman sagu akan kurang baik. Tipe habitat tumbuhan sagu di Pulau
Seram memiliki kandungan bahan organik tanah dan kapasitas tukar kation (KTK)
yang sedang, Fe dan Al yang tergolong sedang serta kemasaman tanah yang rendah
(Samin et al. 2011). Pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya
unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium dan magnesium
(Haryanto dan Pangloli 1992).
Sagu dapat hidup pada tanah berpasir mempunyai kandungan bahan organik
yang tinggi (Djoefrie 1999). Sagu tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, latosol,
andosol, podzolik merah kuning, grumosol, alluvial dan hidromofik. Sagu dapat
tumbuh dengan baik di Maluku dan Irian Jaya pada tanah tropaquept, baik yang
termasuk golongan typic maupun vertic (Djoefrie 1999). Tanah yang kurang baik
bagi sagu yaitu fluvaquent dari golongan sulfic. Secara alami tanaman sagu
merupakan vegetasi yang mendominasi lahan berawa tetap dan musiman. Tanaman
sagu dapat tumbuh dengan baik sampai ketinggian 400 m di atas permukaan laut
(dpl) (Djoefrie 1999) atau pada ketinggian 0−700 m dpl (Anugoolprasert et al.
2012). Sagu dengan ketinggian lebih dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan
kandungan patinya rendah (Djoefrie 1999). Ketinggian lebih dari 400 m dpl tinggi
tanaman sagu sekitar 6 m, sedangkan tegakan sagu secara alamiah ditemukan
sampai 1000 m dpl (Bintoro 2008). Tanaman sagu dapat tumbuh pada suatu
kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Tanaman pangan lainnya seperti
padi, jagung, umbi-umbian dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam ≥
1 m, tetapi pati yang masih terdapat di batang sagu tidak akan rusak bila tanaman
sagu terendam ≥ 1 m selama beberapa hari (Bintoro 2008).

4
Budidaya Tanaman Sagu
Budidaya sagu meliputi persiapan bahan tanam, persiapan lahan dan
pemeliharaan. Persiapan bahan tanam mencakup seleksi bibit, perlakuan terhadap
bibit dan persemaian. Bahan tanam dapat diperoleh dari anakan sagu yang tumbuh
pada tanaman induk. Pemilihan anakan harus seragam agar anakan sagu memiliki
waktu yang tidak terlalu jauh dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kriteria
anakan yang bagus untuk bibit ditandai dengan pelepah yang masih hijau, bobot
anakan antara 1.5−5 kg, kondisi anakan sehat tidak terkena hama atau penyakit,
memiliki jumlah akar yang banyak, tempat penyimpanan bahan makanan (banir)
berwarna merah muda dan keras, diutamakan anakan yang memiliki perakaran
berbentuk huruf “L” karena memiliki cadangan makanan yang lebih banyak
(Bintoro et al. 2010). Selanjutnya bibit disemai di dalam rakit selama tiga bulan.
Bibit-bibit yang ditanam pada musim hujan memiliki daya tumbuh yang lebih baik
dibandingkan dengan bibit yang ditanam pada musim kemarau (Listio 2007).
Persiapan lahan meliputi pembuatan lubang tanam, penanaman, pengaturan
jarak tanam dan pembuatan naungan. Lubang tanam yang dibuat berukuran 30 cm
x 30 cm x 30 cm atau menyesuaikan dengan ukuran banir. Penanaman dilakukan
setelah bibit disemai selama tiga bulan dan telah memiliki 2−3 helai daun baru serta
memiliki perakaran yang baik. Cara penanaman dilakukan dengan membenamkan
banir ke dalam lubang tanam, bagian pangkal banir ditutup dengan tanah. Akarakar dibenamkan pada tanah penutup lubang dan pangkalnya agak ditekan sedikit
ke dalam tanah. Bibit kemudian diberi dua batang kayu yang diletakkan secara
bersilang agar bibit tegak dan lurus. Pengaturan jarak tanam 8 m x 8 m menurut
Rahman (2009) menunjukkan pertumbuhan aktual rata-rata terbaik untuk jumlah
anakan, tinggi tanaman dan lingkar batang. Pengaturan jarak tanam yang semakin
lebar menurut Mualim et al. (2009) menyebabkan indeks luas daun (ILD) yang
semakin sempit, sementara itu menurut Ramlafatma et al. (1999) jarak tanam
mempengaruhi diameter batang dan tinggi tanaman. Jarak tanam sagu dapat
berukuran 7 m x 7 m, 10 m x 10 m, 10 m x 5 m, 15 m x 15 m, 20 m x 20 m
tergantung rencana diversifikasi yang akan dilakukan (Louhenapessy et al. 2010).
Pola penanaman dapat berbentuk segitiga apabila pada lahan dikembangkan
diversifikasi dengan tanaman lain dan dapat juga berbentuk bujur sangkar.
Pembuatan naungan dimaksudkan untuk melindungi tanaman muda dari sinar
matahari langsung. Naungan memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman,
panjang daun, lebar daun, panjang cabang, bobot basah dan bobot kering (Ekawati
et al. 2010). Naungan berpengaruh terhadap tinggi bibit pada dua minggu setelah
perlakuan dan panjang anak daun pertama pada sepuluh minggu setelah perlakuan
(Yulianingrum 2012). Pemeliharaan tanaman sagu mencakup pengendalian gulma,
pengimasan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, penjarangan anakan,
sensus, penyulaman dan panen. Pengimasan merupakan kegiatan penebasan kayu
di areal penanaman sagu pada gawangan hidup dan jalur tanaman. Pengimasan
tersebut mirip seperti pengendalian gulma, hanya saja ukuran gulmanya yang besar
dan berkayu. Pemberian pupuk daun pada anakan sagu tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan anakan sagu (Dewi 2009). Hal yang sama terjadi pada
pemupukan N, P dan K yang diberikan pada anakan sagu tidak memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan awal (Ahmad 2012; Hofsah 2012; Andriani 2012).
Tujuan dilakukan penjarangan anakan agar pertumbuhan anakan sagu tidak terlalu

5
rapat karena dapat menyulitkan pemeliharaan dan pemanenan serta akan menjadi
saingan bagi pohon induk dalam menyerap unsur hara maupun cahaya matahari
(Haryanto dan Pangloli 1992).

Manfaat Tanaman Sagu
Tanaman sagu memiliki manfaat yang beragam bagi manusia. Daunnya dapat
dijadikan atap rumah tradisional, tulang daunnya dapat dibuat dinding, lidinya
dapat dibuat sapu, kulit batang dapat dijadikan lantai. Empulur sagu setelah diparut
dapat dijadikan pakan ternak, limbah dari parutan berupa serat dapat dijadikan
makanan ternak, media tumbuh untuk jamur atau untuk media berbagai tanaman
pertanian (Bintoro 2008). Pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku empekempek, dodol, bakso, cendol dan onde-one. Pati sagu dapat diproses lebih lanjut
menjadi high fructose syrup (HFS), asam amino, sorbitol dan asam organik
(Bintoro 2000). Pati sagu sebagaimana pati lainnya dapat digunakan untuk berbagai
macam keperluan, misalnya sebagai makanan pokok, bahan baku industri makanan,
bahan bakar, bahan baku penyedap makanan, bahan baku gula cair, bahan baku
plastik ramah lingkungan, pakan ternak dan sebagai bahan baku berbagai industri
lainnya (Bintoro 2008). Dekstrin dari pati sagu dapat dijadikan bahan baku industri
kosmetik, industri farmasi, pestisida dan perekat (Flach 1997).
Pati sagu telah lama digunakan sebagai bahan makanan pokok terutama di
kawasan timur Indonesia seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Saat ini
pati sagu telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan ringan,
kosmetik, pakan ternak, biogas, dan selulosa dari ampas sagu dapat diolah lebih
lanjut menjadi produk-produk ramah lingkungan seperti plastik organik, serta high
fructose syrup (HFS) (BPPP 2013).
Pati sagu memegang peranan penting sebagai sumber karbohidrat, selain itu pati
sagu juga berperan sebagai sumber karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan dapat
dikatakan sebagai pati resisten (resistant starch). Pati resisten merupakan pati
retrogradasi dan lolos dari sistem pencernaan manusia sehat. Produk utamanya berupa
senyawa asam lemak rantai pendek yang mampu menghambat proliferasi sel kanker
(Purwani 2012). Pati resisten dalam sistem pencernaan tidak dapat dicerna oleh usus
kecil, namun dilewatkan ke dalam usus besar dan difermentasi oleh bakteri mikroflora
membentuk asam lemak rantai pendek yang baik untuk kesehatan dan mencegah
kanker usus. Asam lemak yang terbentuk akan diserap oleh darah dan dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

Deskripsi Aksesi Sagu Jenis Fasampe
Termasuk tanaman hepaxanthic, yaitu tanaman sagu yang berbunga dan berbuah
satu kali. Habitus tanaman dari aksesi Fasampe sebagai berikut: bentuk tajuk tegak,
hidup dalam rumpun. Satu rumpun terdiri atas berbagai fase pertumbuhan yaitu semai
(anakan masih menempel pada induk), sapihan (anakan sudah terpisah dari induk tapi
belum memiliki batang), tiang (anakan sudah memiliki batang), pohon dewasa yang
sudah masak tebang, dan pohon yang sudah lewat masak tebang, tanaman berduri.
Waktu panen pada saat fase masak tebang yaitu sejak tanaman berjantung hingga

6
berbunga, jika sudah berbuah pati yang terkandung dalam empulur sudah sangat
berkurang kemudian tanaman akan mati.
Batang utama dari aksesi Fasampe tunggal, terdapat bekas pelepah menutupi
seluruh pohon, tetapi jika sudah masak tebang sudah tidak terdapat bekas pelepah tua
pada batangnya. Tinggi batang 15 m, diameter batang tanpa kulit 39.3 cm dengan kulit
45.3 cm. Warna empelur merah muda (5 YR 8/3). Warna pucuk daun anakan berwarna
merah. Warna daun dewasa berwarna hijau, jumlah daun pada fase masak dewasa
sebanyak 13 buah. Panjang anak daun 173−176 cm, lebar 9−11 cm dan jumlah anak
daun pada satu sisi 91−93 helai. Panjang rachis 700−750 cm. Duri sangat rapat pada
pangkal pelepah daun baik pada daun anakan maupun pada fase dewasa. Namun, pada
fase dewasa duri di pelepah daun mulai memendek. Panjang pelepah 174−180 cm,
dengan lebar 40−50 cm.
Aksesi Fasampe mulai produksi pada umur 10 tahun. Produksi rata-rata 244.53
kg pati kering pohon-1. Jumlah pohon yang dapat ditebang dalam satu ha sebanyak 23
pohon dengan produksi rata-rata ha-1 tahun-1. Rendemen pati basah sebesar 27.72% dan
rendemen pati kering sebesar 17.97%. Warna pati saagu aksesi Fasampe merah muda
(5 YR 8/3) (Dewi 2015).

Deskripsi Aksesi Sagu Jenis Fafion
Termasuk tanaman hepaxanthic, yaitu tanaman sagu yang berbunga dan berbuah
satu kali. Habitus tanaman dari aksesi Fafion sebagai berikut: bentuk tajuk tegak,
hidup dalam rumpun. Satu rumpun terdiri atas berbagai fase pertumbuhan yaitu
semai (anakan masih menempel pada induk), sapihan (anakan sudah terpisah dari
induk tapi belum memiliki batang), tiang (anakan sudah memiliki batang), pohon
dewasa yang sudah masak tebang, dan pohon yang sudah lewat masak tebang,
tanaman berduri. Waktu panen saat fase masak tebang yaitu sejak tanaman
berjantung hingga berbunga, jika sudah berbuah pati yang terkandung dalam
tanaman akan mati.
Batang utama dari aksesi Fafion tunggal, terdapat bekas pelepah tua yang
menutupi setengah bagian atas. Tinggi batang 16.16 m, diameter batang tanpa kulit
42 cm dengan kulit 48 cm. Warna empelur merah muda (5 YR 8/3). Warna pucuk
daun anakan berwarna merah kecoklatan. Warna daun dewasa berwarna hijau,
jumlah daun pada fase masak dewasa sebanyak 15 buah. Panjang anak daun 157−
167 cm, lebar 10−11 cm dan jumlah anak daun pada satu sisi 84−88 helai. Panjang
rachis 900−910 cm. Duri sangat rapat pada pangkal pelepah daun baik pada daun
anakan maupun pada fase dewasa. Namun, pada fase dewasa duri pada pelepah
daun sudah memendek. Panjang pelepah 235−240 cm, dengan lebar 43−50 cm.
Aksesi Fafion mulai produksi pada umur 10 tahun. Produksi rata-rata 310 kg
pati kering pohon-1. Jumlah pohon yang dapat ditebang dalam satu ha sebanyak 19
pohon (dihitung dari hutan sagu campuran, dalam satu ha terdapat beberapa jenis
sagu) dengan produksi rata-rata ha-1 tahun-1. Rendemen pati basah sebesar 26.68%
dan rendemen pati kering sebesar 18.31%. Warna pati sagu aksesi Fafion merah
muda (5 YR 8/4) (Dewi 2015).

7
Gula Cair Sagu
Tanaman sagu dapat menghasilkan 25−30 ton pati ha-1 tahun-1 yang setara
dengan 10−15 ton etanol ha-1 tahun-1 atau 25−30 ton gula cair (high fructose syrop)
ha-1 tahun-1 (Bintoro 2008). Pembuatan sirup glukosa terdiri atas dua metode
hidrolisis, yaitu proses hidrolisis pati secara enzimatis dan non enzimatis.
Proses produksi glukosa melalui hidrolisis enzimatis terdiri atas tahap
likuifikasi dan tahap sakarifikasi (Fridayani 2006). Proses likuifikasi merupakan
proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim α-amilase yang
menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dari
oligosakarida atau dekstrin (Maksum et al. 2001). Enzim α-amilase merupakan
enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam (endo-hydrolase)
dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan α(1,4) glikosidik pada amilosa, amilopektin dan glikogen. Ikatan α-(1,6) glikosidik
tidak dapat diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang
lebih pendek. Pemutusan pati oleh α-amilase dilakukan secara acak (Gambar 1)
Berdasarkan hasil penelitian Ruiz et al. (2011) enzim α-amilase pada tahap
likufikasi optimum pada pH 5. Tahap likuifikasi optimum pada suhu 80 °C dan
menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan suhu 90 °C (Maksum
et al. 2001). Enzim α-amilase memiliki kisaran pH optimum pada 5–7, dan suhu
optimum antara 90–105 °C (Naz 2002). Hasil penelitian Wibisono (2004), pH
optimum α-amilase sebesar 5.2 dengan suhu optimum 95 °C. Hasil penelitian
Budiyanto et al. (2006) waktu optimum tahap likuifikasi 60 menit dengan
konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati kering.
Amilopektin

Amilosa

Gambar 1 Mekanisme hidrolisis pati oleh α-amilase

Amilopektin

Amilosa

Gambar 2 Mekanisme hidrolisis pati oleh glukoamilase
Proses kedua yaitu sakarifikasi. Proses tersebut merupakan proses pemecahan
pati menjadi gula reduksi menggunakan enzim glukoamilase (Dewi et al. 2005).

Glukoamilase dikenal juga dengan amiloglukosidase (AMG) atau α-1,4-D-glukan
glukohidrolase yang bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati menjadi
molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi baik pada ikatan α-1,4
maupun α-1,6 (Tjokroadikoesoemo 1986). Enzim glukoamilase dapat menginversi
konfigurasi dari rantai yang pecah dan dapat memecah ikatan α-(1,6), α-(1,3), α(1,2) dan α-(1,1) glikosidik, meskipun kecepatan pemecahannya lebih rendah
dibandingkan pada pemotongan ikatan α-(1,4) glikosidik (Gambar 2). Hasil
penelitian Budiyanto et al. (2006) proses sakarifikasi optimum pada waktu 48 jam
dengan konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati. Kisaran pH optimum proses sakarifikasi
sebesar 4.5 (Chaplin dan Bucke 1990) dengan suhu 50 °C (Budiyanto et al. 2006).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2015. Kegiatan
penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu pati sagu jenis Fasampe dan
Fafion yang berasal dari Sorong Selatan, α-amilase, glukoamilase, aquades, fenol
dan H2SO4. Alat-alat yang akan digunakan berupa Erlenmeyer, sudip, kertas saring,
neraca analitik, mikropipet, refraktometer, spektrofotometer, chromameter, pH
meter, termometer, gelas piala, labu ukur, tabung reaksi, pipet, waterbath, label,
botol plastik 80 mL dan tisu.

Pelaksanaan Percobaan
Percobaan Pendahuluan
Penelitian diawali dengan melakukan penelitian pendahuluan menggunakan
pati sagu yang terdapat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen
Pertanian. Perbandingan pati dan air yang digunakan yaitu 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 dan 1:6
dengan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase 1 mL kg-1 pati. Pati sagu
sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan dengan air
sebanyak 40 mL (untuk perbandingan 1:2), dan ditambahkan enzim α-amilase
sebanyak 20 μL. Erlenmeyer dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 100 °C
sambil dilakukan pengadukan hingga pati berubah warna menjadi kecoklatan atau
suhu di dalam labu menjadi 80−95 °C. Erlenmeyer diangkat dari waterbath dan
didinginkan sampai suhu 50 °C, kemudian ditambahkan enzim glukoamilase
sebanyak 20 μL dan diaduk hingga rata. Selanjutnya gula cair tersebut diinkubasi
selama 48 jam.

9
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa terbentuknya gula cair yang
optimum dihasilkan dari perbandingan pati dan air 1:4, 1:5 dan 1:6. Perbandingan
pati dan air yang optimum tersebut dilanjutkan ke penelitian sebenarnya dengan
perlakuan kombinasi perbandingan air dan konsentrasi enzim α-amilase serta
konsentrasi enzim glukoamilase.
Perlakuan Percobaan
Penelitian yang sebenarnya dilakukan dengan menggunakan pati sebanyak 25
g setiap perlakuannya. Perbandingan pati dan air yang digunakan 1:4, 1:5 dan 1:6.
Berdasarkan hal tersebut jumlah air yang digunakan sebanyak 100 mL setara
dengan 1:4, 125 mL setara dengan 1:5 dan 150 mL setara dengan 1:5. Enzim αamilase dan enzim glukoamilase yang digunakan sebanyak 20 μL setara dengan 0.8
mL kg-1 pati, β5 μL setara dengan 1 mL kg-1 pati dan γ0 μL setara dengan 1.2 mL
kg-1 pati. Setiap perlakuan menggunakan kode A, B dan C. Kode A untuk
perbandingan air, kode A1 menunjukkan perbandingan air 1:4, A2 perbandingan
air 1:5, dan A3 perbandingan air 1:6. Kode B untuk konsentrasi enzim α-amilase,
kode B1 menunjukkan konsentrasi enzim α-amilase 0.8 mL kg-1 pati, kode B2
konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati, dan kode B3 konsentrasi enzim 1.2 mL kg-1 pati.
Kode C untuk enzim glukoamilase, kode C1 menunjukkan konsentrasi enzim
glukoamilase 0.8 mL kg-1 pati, kode C2 konsentrasi enzim 1 mL kg-1 pati, dan kode
C3 konsentrasi enzim 1.2 mL kg-1 pati.
Pati sagu, air dan enzim α-amilase dicampur dalam Erlenmeyer dan
dipanaskan dalam waterbath hingga suhu menjadi 80−95 °C. Tahap ini disebut
dengan likuifikasi. Selanjutnya didinginkan sampai suhu 50 °C, kemudian
dilakukan penambahan enzim glukoamilase (0.8 mL kg-1 pati, 1 mL kg-1 pati dan
1.2 mL kg-1 pati, tahap ini disebut sakarifikasi. Selama proses likuifikasi dilakukan
pengadukan, agar pati tidak menggumpal. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam.
Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran kadar gula total (KGT). Gula cair yang
telah diinkubasi selama 48 jam diambil sebanyak 1 mL, kemudian dilarutkan air
dalam labu takar 100 mL. Larutan tersebut disaring menggunakan kertas saring.
Sesudah dilakukan penyaringan, diambil larutan sebanyak 1 mL dan dimasukan ke
dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan fenol sebanyak 1 mL dan H2S04
sebanyak 5 mL. Tahap selanjutnya mengukur nilai absorban dari setiap perlakuan.
Pengukuran nilai absorbansi menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang
gelombang 550 nm. Pengukuran perlakuan dilakukan sebanyak dua kali atau duplo.

10
Berikut ini merupakan kerangka pikir penelitian pembuatan gula cair dari pati sagu
(Gambar 1).
Pati sagu

Fasampe

Fafion

Perbandingan pati dengan air
1:4 ; 1:5 ; 1:6

Enzim

Asam

Enzim α-amilase
(0.8 mL kg-1 pati; 1.0 mL kg-1 pati; 1.2 mL kg-1 pati)
Suhu 95 °C (Wibisono 2004)
Enzim glukoamilase
(0.8 mL kg pati; 1.0 mL kg-1 pati; 1.2 mL kg-1 pati)
Suhu 50 °C (Derosya 2010), waktu 48 jam (Akyuni
2004)
-1

Gula cair
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan rancangan perlakuan split split plot. Perlakuan perbandingan pati dengan air sebagai petak utama, perlakuan enzim α-amilase sebagai
anak petak dan perlakuan enzim glukoamilase sebagai anak petak. Model aditif
linier yang digunakan sebagai berikut :
Yijkl = µ + αi + j + k + (α )ijk + εijkl
Keterangan:
Yijkl = respon pengamatan faktor perbandingan pati dengan air ke-i enzim αamilase ke-j enzim glukoamilase ke-k dan ulangan ke-l
µ
= nilai tengah populasi
αi
= pengaruh faktor perbandingan pati dengan air ke-i (i = 1:4, 1:5, 1:6)
= pengaruh enzim α-amilase ke-j (j = 0.8, 1, 1.2)
j

11
k

εijkl

= pengaruh enzim glukoamilase ke-k (k = 0.8, 1, 1.2)
= pengaruh galat percobaan

Perbandingan pati dengan air terdapat tiga taraf yaitu 1:4, 1:5 dan 1:6. Enzim
α-amilase terdiri atas tiga taraf konsentrasi yaitu 0.8 mL kg-1 pati, 1 mL kg-1 pati
dan 1.2 mL kg-1 pati. Enzim glukoamilase terdiri atas tiga taraf konsentrasi yaitu
0.8 mL kg-1 pati, 1 mL kg-1 pati dan 1.2 mL kg-1 pati. Setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak dua kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 108 satuan
percobaan.
Data percobaan diasumsikan memiliki pengaruh yang bersifat aditif,
menyebar normal, galat percobaan saling bebas dan menyebar normal serta ragam
galat percobaan bersifat homogen. Data yang diperoleh diuji dengan uji F
menggunakan aplikasi SAS 9.1 dan apabila menunjukkan pengaruh yang nyata
maka dilanjutkan dengan pengujian Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
taraf 5%.

Pengamatan Percobaan
Pengamatan dilakukan satu hari setelah dilakukan pemanasan di waterbath.
Peubah yang diamati meliputi:
1. pH
Pengukuran pH dilakukan 48 jam setelah dilakukan penambahan enzim αamilase dan enzim glukoamilase. Pengukuran menggunakan alat yang bernama
pH meter.
2. Brix
Brix diukur menggunakan alat refraktometer, setelah dilakukan
penambahan enzim α-amilase dan enzim glukoamilase. Satu atau dua tetes
sampel diteteskan pada alat kemudian dilihat hasilnya.
3. Warna
Pengukuran warna dilakukan setelah penambahan enzim α-amilase dan
enzim glukoamilase, menggunakan alat chromameter Minolta 300. Sebanyak 10
mL sampel diletakkan dalam wadah chromameter kemudian bagian pinggir
wadah ditutup dengan menggunakan ring lalu disinari cahaya chromameter ke
dalam wadah tersebut.
4. Kadar gula total
Pengukuran dilakukan 48 jam setelah dilakukan penambahan enzim αamilase dan enzim glukoamilase. Pengukuran kadar gula total berdasarkan nilai
absorban dan jumlah sampel yang digunakan. Kadar gula total dihitung
menggunakan rumus dari Dubois et al. (1959):
Kadar Gula Total (%) =

absorban
100
×
sloope g sampel

10 000

x Faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Brix Gula Cair
Pengukuran padatan terlarut menggunakan hand refractometer dengan satuan
derajat brix (°Brix). Brix merupakan zat padat kering terlarut dalam larutan (g/100
g larutan) yang dihitung sebagai sukrosa (Kuspratomo et al. 2012). Pengujian brix
setelah diinkubasi selama 48 jam dilakukan untuk melihat perlakuan yang
memberikan hasil nilai brix tertinggi. Produk akhir dari penambahan enzim αamilase dan enzim glukoamilase berupa sirup gula sederhana. Hasil pengukuran
nilai brix gula cair dari pati sagu jenis Fasampe dan Fafion menunjukkan hasil yang
berbeda-beda dari setiap perlakuan. Nilai brix gula cair dari pati sagu jenis Fasampe
dengan perbandingan pati dengan air 1:4 berkisar 12.80 °Brix−17.80 °Brix,
sedangkan gula cair pati sagu jenis Fafion dengan perbandingan pati dengan air 1:4
berkisar 14.10 °Brix−16.00 °Brix. Nilai brix tertinggi tersebut terdapat pada
perlakuan dengan konsentrasi enzim α-amilase 1.2 mL kg-1 pati dan konsentrasi
enzim glukoamilase 0.8 mL kg-1 pati untuk gula cair dari pati sagu jenis Fasampe.
Untuk gula cair dari pati sagu jenis Fafion, nilai brix tertinggi terdapat pada
perlakuan dengan konsentrasi enzim α-amilase 1.2 mL kg-1 pati dan konsentrasi
enzim glukoamilase 0.8 mL kg-1 pati (Tabel 1 dan Tabel 2).
Tabel 1 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
16.50a (A)
17.40a (A)
17.80a (A)
a (A)
a (A)
12.80
17.30
17.10a (A)
17.30a (A)
17.50a (A)
16.80a (A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

Tabel 2 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
14.10a (A)
15.10a (A)
16.00a (A)
a (A)
a (A)
15.50
15.00
15.30a (A)
15.00a (A)
15.00a (A)
15.00a (A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

Nilai brix gula cair dari pati sagu jenis Fasampe dengan perbandingan pati
dengan air 1:5 berkisar 1β.80 °Brix−15.10 °Brix, sedangkan gula cair pati sagu jenis
Fafion dengan perbandingan pati dengan air 1:5 berkisar 12.50 °Brix−14.00 °Brix.
Nilai brix tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi enzim α-amilase
0.8 mL kg-1 pati dan konsentrasi enzim glukoamilase 1 mL kg-1 pati untuk gula cair

13
dari pati sagu jenis Fasampe. Untuk gula cair dari pati sagu jenis Fafion, nilai brix
tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi enzim α-amilase 0.8 mL kg-1
pati dan 1 mL kg-1 pati, konsentrasi enzim glukoamilase 1.2 mL kg-1 pati dan 1 mL
kg-1 pati (Tabel 3 dan Tabel 4).
Tabel 3 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
14.60a (A)
14.80a (A)
14.50a (A)
a (A)
a (A)
15.10
14.90
12.80a (B)
a (A)
a (A)
14.50
14.90
14.60a (A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

Tabel 4 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
12.50a (A)
12.50b (A)
13.00a (A)
a (A)
a (A)
12.50
14.00
12.90a (A)
a (A)
ab (A)
14.00
13.20
13.60a (A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

Nilai brix gula cair dari pati sagu jenis Fasampe dengan perbandingan pati
dengan air 1:6 berkisar 11.γ0 °Brix−1γ.10 °Brix, sedangkan gula cair pati sagu jenis
Fafion dengan perbandingan pati dengan air 1:6 berkisar 11.00 °Brix−12.00 °Brix.
Nilai brix tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi enzim α-amilase
0.8 mL kg-1 pati dan 1.2 mL kg-1 pati, konsentrasi enzim glukoamilase 0.8 mL kg-1
pati dan 1 mL kg-1 pati untuk gula cair dari pati sagu jenis Fasampe. Untuk gula
cair dari pati sagu jenis Fafion, nilai brix tertinggi terdapat pada perlakuan dengan
konsentrasi enzim α-amilase 1 mL kg-1 pati dan 1.2 mL kg-1 pati, serta konsentrasi
enzim glukoamilase 1.2 mL kg-1 pati (Tabel 5 dan Tabel 6).
Tabel 5 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
13.10a (A)
12.70a (A)
12.00a (AB)
a (A)
a (A)
12.70
12.30
13.10a (A)
a (A)
a (A)
13.00
12.90
11.30b (B)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

14
Tabel 6 Nilai rata-rata brix pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fafion dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
°Brix
11.60a (A)
11.00b (A)
11.00b (A)
a (A)
a (A)
11.50
11.80
11.00b (A)
a (A)
a (A)
11.70
12.00
12.00a (A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf kapital yang
sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada
taraf 5%.

Penambahan air yang semakin tinggi akan mengurangi nilai brix karena
jumlah pati sagu terlarut akan lebih sedikit. Sagu dalam penelitian ini berperan
sebagai substrat, semakin tinggi substrat maka produk yang dihasilkan akan
semakin bertambah. Hal tersebut terlihat pada perlakuan perbandingan pati dengan
air. Hasil dari perbandingan pati dengan air 1:4 memiliki rata-rata nilai brix yang
lebih tinggi dibandingkan nilai brix perbandingan pati dengan air 1:6. Penurunan
tersebut diduga pati sagu tidak terhidrolisis secara sempurna. Hal ini disebabkan
aktivitas enzim yang tidak bekerja secara optimal. Proses penguraian pati sagu
menjadi glukosa dibantu oleh aktivitas enzim. Konsentrasi dari masing-masing
enzim juga mempengaruhi nilai brix gula cair yang ditandai dengan berkurangnya
substrat.
Peningkatan konsentrasi enzim dapat meningkatkan gula pereduksi karena
besarnya kemampuan atau aktivitas enzim dalam melakukan reaksi katalitik
(Maksum et al. 2001). Konsentrasi enzim yang tinggi dengan waktu sakarifikasi
yang lebih lama akan meningkatkan produk (gula reduksi) (Budiyanto et al. 2006).
Waktu sakarifikasi dalam pembuatan gula cair dengan suhu optimum 50 °C akan
mempengaruhi nilai brix (Hartoto et al. 2005; Budiyanto et al. 2006: Derosya
2010).

pH Gula Cair
Nilai pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai pH didefinisikan
sebagai kologaritma aktivitasion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas
ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan
pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut, pH bersifat relatif
terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan
persetujuan internasional. Nilai pH merupakan salah satu contoh fungsi keasaman.
Konsentrasi ion hidrogen dapat diukur dalam larutan non-akuatik, namun
perhitungannya akan menggunakan fungsi keasaman yang berbeda.
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui pH optimum dengan hasil kadar
gula total dan nilai brix yang tinggi pada gula cair yang berasal dari pati sagu jenis
Fasampe dan Fafion. Hasil pengukuran pH setelah diinkubasi selama 48 jam
dengan perbandingan pati dengan air 1:4 memiliki kisaran pH 4.65−4.8 untuk gula
cair dari pati sagu jenis Fasampe. Gula cair dari pati sagu jenis Fafion kisaran pH
4.10−4.55. Nilai pH tertinggi untuk gula cair sagu Fasampe terdapat pada perlakuan
dengan konsentrasi enzim α-amilase 0.8 mL kg-1 pati dan enzim glukoamilase 0.8

15
mL kg-1 pati. Nilai pH tertinggi gula cair sagu Fafion terdapat pada perlakuan
dengan konsentrasi enzim α-amilase 1 mL kg-1 pati dan 1.2 mL kg-1 pati, enzim
glukoamilase 0.8 mL kg-1 pati (Tabel 7 dan Tabel 8).
Tabel 7 Nilai rata-rata pH pada beberapa perlakuan konsentrasi enzim α-amilase
dan glukoamilase pada perbandingan pati sagu Fasampe dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase (mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
………............

4.80a (A)
4.65a (A)
4.70a (A)

4.65a (A)
4.65a (A)
4.70a (A)

4.65a (A)
4.70a (A)
4.65a (