Karakterisasi Berbagai Aksesi Sagu (Metroxylon Spp ) Di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat

KARAKTERISASI BERBAGAI AKSESI SAGU (Metroxylon
spp.) DI KABUPATEN SORONG SELATAN, PAPUA BARAT

RATIH KEMALA DEWI
A252120081

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Berbagai
Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ratih Kemala Dewi
NIM A252120081

iv

RINGKASAN
RATIH KEMALA DEWI. Karakterisasi Berbagai Aksesi Sagu (Metroxylon spp.)
di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Dibimbing oleh HMH BINTORO
DJOEFRIE dan SUDRADJAT.
Sagu merupakan tanaman sumber karbohidrat terbesar di dunia karena
memiliki kandungan karbohidrat tertinggi dibandingkan dengan tanaman pangan
lainnya. Pati kering yang dihasilkan mencapai 200-400 kg batang-1. Lebih dari
50% populasi sagu dunia terdapat di Indonesia dan 90% dari sagu di Indonesia
terdapat di Papua. Oleh karenanya, Papua merupakan sumber keragaman genetik

tanaman sagu. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap
berbagai aksesi sagu di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Terdapat 12
aksesi sagu di Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat yaitu
Fasai, Fasampe, Falia, Fanomik, Fasongka, Fafion, Fakattao, Fanke, Fablen,
Failik, Fakreit dan Fanke. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan
pengamatan pada morfologi, potensi produksi, dan DNA. DNA dianalisis dengan
menggunakan teknik RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA). Sebanyak
2 cm2 dari pucuk daun anakan diambil dari setiap aksesi untuk keperluan analisis
DNA.
Terdapat perbedaan karakter morfologi dari dua belas aksesi sagu di lokasi
penelitian, seperti warna kuncup daun muda anakan, bentuk tajuk, jumlah daun,
tinggi batang, keberadaan duri, kandungan pati, serta warna empulur dan pati.
Aksesi Fablen merupakan satu-satunya aksesi yang tidak berduri. Berdasarkan
hasil analisis RAPD ternyata berbagai aksesi sagu tersebut memiliki hubungan
yang cukup jauh. Hanya aksesi Fanke dan Fakreit yang memiliki tingkat
kemiripan sebanyak 81%, aksesi lainnya memiliki nilai kemiripan dibawah 80%.
Sebagian besar aksesi sagu tersebut merupakan aksesi unggul yang
berpotensi untuk lebih dikembangkan karena memiliki kandungan pati lebih dari
200 kg batang-1. Aksesi Fanomik merupakan aksesi sagu yang memiliki potensi
hasil tertinggi. Berdasarkan perhitungan jumlah pohon masak tebang per hektar di

hutan sagu alami Kecamatan Saifi, Kabupaten, Sorong Selatan, akan didapatkan
pati kering sebanyak 38.43 ton ha-1 tahun-1.
Kata Kunci : aksesi, genetik, keragaman, pangan, pati, produksi

v

SUMMARY
RATIH KEMALA DEWI. Characterization of Sago Palm (Metroxylon spp.)
Accessions in South Sorong District, West Papua. Supervised by HMH
BINTORO DJOEFRIE and SUDRADJAT
Sago palm is the world largest carbohydrate source. It can produce dry
starch about 200-400 kg trunk-1. More than 50% sago palm population in the
world belongs to Indonesia and 90% sago palm in Indonesia found in Papua with
a large genetic variations. This research was aim to determine morphological
characteristics and genetic relationship of sago palm accessions in South Sorong
District, West Papua. Based on local people, there are 12 accessions of sago
palm, they are Fasai, Fasampe, Falia, Fanomik, Fasongka, Fafion, Fakattao,
Fanke, Fablen, Failik, Fakreit and Fanke. Observation was taken in
morphological characteristics, yield potential, and DNA. DNA analyzed by RAPD
technique. About 2 cm2 of shoots tip taken in every accession.

Among these accessions, there are so many differences based on
morphological characteristics such as shoots color, crown shape, trunk height,
number of leaf, existence of spine, starch content, also pith and starch color.
Based on RAPD marker, only Fanke and Fakreit that has a close relationship
(81%) and the other is quite far in relationship (less than 80% in similarity test).
Almost all of them were high yielding accsseions. They can produce more
than 200 kg trunk-1 of dry starch without maintenance. Fanomik is high yielding
accessions. It can produce more than 400 kg trunk-1 of dry starch. Sago palm
productivity in the natural forest of Saifi Subdistrict, South Sorong District, West
Papua was estimated to reach approximately 38.43 ton ha-1year-1 of sago dry
starch.
Key words : accessions, diversity, food, genetic, starch, yield

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi

KARAKTERISASI BERBAGAI AKSESI SAGU (Metroxylon
spp.) DI KABUPATEN SORONG SELATAN, PAPUA BARAT

RATIH KEMALA DEWI
A252120081
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

vii

Penguji

: Dr Ir Iskandar Lubis, MS

viii

Judul Tesis : Karakterisasi Berbagai Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Nama
: Ratih Kemala Dewi
NIM
: A252120081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie, M Agr
Ketua

Dr Ir Sudradjat, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:


Tanggal Lulus:

ix

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian
ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap berbagai aksesi sagu di
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie, M
Agr dan Dr Ir Sudrajat, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Penulis juga berterimakasih kepada Pemerintah Daerah Sorong Selatan, BPPT,
dan Program Diploma IPB yang telah memberikan dukungan dana penelitian serta
kepada Direktorat Pendidikan Tinggi atas beasiswa yang diberikan melalui
program Beasiswa Unggulan. Penulis juga berterimakasih kepada para petani di
Kampung Sayal, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan atas bantuan selama
pelaksanaan penelitian serta kepada keluarga Ibu Dewi Heremba yang telah
menyediakan akomodasi selama penulis menjalani penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.

Saat ini sebagian dari hasil penelitian sedang diproses untuk dipublikasikan
ke Jurnal Agronomi Indonesia (JAI) dengan judul Potensi Produksi Beberapa
Aksesi Sagu (Metroxylon spp.) di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan
telah memasuki tahap penelaahan oleh reviewer.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Ratih Kemala Dewi

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Tanaman Sagu
Botani Tanaman Sagu
Ekologi Tanaman Sagu
Panen dan Potensi Produksi Sagu
Penyebaran Sagu di Papua dan Papua Barat
Keragaman Genetik Sagu
Penanda Genetik
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Pengambilan Data
Analisis Data
Pelaksanaan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakter Morfologi
Potensi Produksi
Pembahasan
Karakter Morfologi

Hubungan Kekerabatan
Potensi Produksi
Kualitas Pati Sagu
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

xi
xi
xii
1
1
2
2
3
3
4
7
8
8
9
10
12
12
12
13
13
13
21
21
21
21
33
35
35
36
38
40
41
41
41
42

xi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7

8
9
10

Sebaran potensi sagu dengan beberapa faktor persyaratan tempat
tumbuh di Provinsi Papua Barat
Informasi awal berbagai aksesi sagu di Kecamatan Saifi,
Kabupaten Sorong Selatan
Karakter batang berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal, Distrik
Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Karakteristik daun berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Karakteristik buah berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Kerapatan stomata epidermis bagian bawah berbagai aksesi sagu
di Kampung Sayal, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan,
Papua Barat
Komposisi kimia pati dalam bobot basah (%) berbagai aksesi
sagu di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong
Selatan, Papua Barat
Potensi produksi berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Potensi Produksi Sagu di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi,
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Potensi produksi tanaman sagu di beberapa Kabupaten di
Provinsi Papua dan Papua Barat (pohon ha-1)

9
12
22
28
29

32

32
33
33
40

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13
14

15

Bagian apex batang pada saat fase vegetative
Skema cabang pertama pada tandan bunga sagu
Perkembangan tandan bunga
Ilustari anak daun
Ilustrasi daun sagu
Perkembangan bunga tanaman sagu
Perkembangan buah tanaman sagu
Bagan Warna
Cara analisis DNA dengan skoring
Cara membedakan aksesi sagu yang berduri menurut penduduk
di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong
Selatan, Papua Barat
Variasi Bentuk tajuk berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Variasi batang berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Akar nafas yang muncul di permukaan tanah dan batang
Warna kuncup daun muda anakan berbagai aksesi sagu di
Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan,
Papua Barat
Susunan tandan bunga sagu aksesi Fasinan

5
6
6
14
14
15
16
17
20

23
24
25
26

27
28

xii

16
17
18

19
20
21
22

23

Bentuk buah berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat
Penampang melintang buah sagu yang tidak berbiji
Pola duri pada pangkal pelepah daun dewasa berbagai aksesi
sagu di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Sorong Selatan,
Papua Barat
Empulur sagu yang teroksidasi udara (bagian yang berwarna
cokelat)
Warna empulur berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Kecamatan Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat
Hasil amplifikasi DNA berbagai aksesi sagu di Kampung Sayal,
Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat
Dendogram berbagai aksesi sagu berdasarkan karakter genetik
di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Sorong Selatan, Papua
Barat
Dendogram berbagai aksesi sagu berdasarkan karakter
morfologi di Kampung Sayal, Kecamatan Saifi, Sorong Selatan,
Papua Barat

29
29

30
31
31
34

34

35

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

18

19
20

Peta indikatif sebaran sagu di Provinsi Papua Barat
Deskripsi aksesi Fasinan
Deskripsi aksesi Fasampe
Deskripsi aksesi Fablen
Deskripsi aksesi Fakreit
Deskripsi aksesi Fafion
Deskripsi aksesi Failik
Deskripsi aksesi Fablen
Deskripsi aksesi Fasai
Deskripsi aksesi Fanke
Deskripsi aksesi Fasongka
Deskripsi aksesi Fanomik
Deskripsi aksesi Fakattao
Hasil skoring berdasarkan analisis RAPD berbagai aksesi sagu di
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Hasil similarity test berbagai aksesi sagu di Kecamatan Saifi,
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat (NTSYS 2.02)
Hasil skoring berdasarkan karakter morfologi berbagai aksesi
sagu di Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
Kode ciri dan skoring berdasarkan karakter morofologi berbagai
aksesi sagu di Kecamatan saifi, Kabupaten Sorong Selatan,
Papua Barat
Hasil similarity test berdasarkan karakter morfologi berbagai
aksesi sagu di Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua
Barat
Hasil uji t kerapatan stomata dan potensi hasil tanaman sagu
Riwayat Hidup

46
47
50
52
55
57
60
62
65
68
71
73
76
79
81
82

83

85
86
87

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sagu merupakan tanaman sumber karbohidrat terbesar di dunia karena
memiliki kandungan karbohidrat tertinggi dibandingkan tanaman pangan lainnya.
Karbohidrat tersebut diperoleh dari pati sagu yang tersimpan dalam batang sagu.
Kandungan pati dalam satu batang sagu diperkirakan mencapai 200-400 kg bahkan sagu jenis Para yang terdapat di daerah Sentani, Papua memiliki kandungan
pati sebanyak 975 kg per pohon (Bintoro et al. 2010). Sagu telah lama dikonsumsi
sebagai makanan pokok, terutama oleh penduduk Indonesia bagian Timur.
Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan revolusi hijau di seluruh Nusantara
menyebabkan konsumsi sagu mengalami penurunan secara drastis (Wardis 2013).
Walaupun dalam jumlah yang kecil, sagu masih menjadi makanan pokok untuk
sebagian penduduk Indonesia bagian Timur karena ketersediaan beras yang
terbatas.
Selain menjadi makanan pokok, sagu dapat digunakan sebagai bahan baku
industri, baik industri pangan maupun nonpangan. Sagu dapat dijadikan gula cair,
bioetanol, dan plastik yang dapat terurai. Adeni et al (2010) menyatakan, sagu
dapat menghasilkan bioetanol sekitar 80 000 - 10 000 L ha-1 tahun-1 dan dapat
mengurangi pemanasan global karena sagu mampu memproduksi oksigen
sebanyak 9.52 ton ha-1 dan menyerap 0.3% CO2 dari setiap 1 juta hektar hutan
sagu. Adeni et al (2010) juga menyatakan bahwa limbah dari tanaman sagupun
masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dan kompos.
Indonesia memiliki populasi tanaman sagu terbesar di dunia. Lebih dari
50% populasi sagu dunia dimiliki oleh Indonesia dan 90% dari populasi tersebut
ditemukan di Papua dan Papua Barat (Bintoro 2008). Luas sebaran sagu di
Provinsi Papua sekitar 4.7 juta hektar dan di Papua Barat sekitar 510 ribu hektar
(Bintoro et al. 2014). Ketersediaan sagu yang melimpah dapat digunakan sebagai
upaya untuk membantu menyelesaikan permasalahan dunia terutama dalam hal
pangan dan energi. Menurut Konuma (2013) sejak tahun 1990 jumlah penduduk
dunia yang memerlukan bahan pangan sekitar 7 milyar jiwa dan sekitar 868 juta
(12%) diantaranya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2050 diprediksikan jumlah
penduduk akan mencapai 9.2 milyar jiwa.
Sagu merupakan tanaman C3 yang dapat hidup pada lahan marginal seperti di lahan gambut, rawa dan tanah yang tergenang (Okazaki et al. 2013). Sagu
dapat tumbuh pada pH tanah yang bervariasi dari 3.6-5.7 (Anugoolprasert et al.
2012). Sagu merupakan tanaman potensial yang harus dikembangkan.
Papua dan Papua Barat merupakan daerah yang memiliki populasi terluas
di dunia sehingga keragaman genetik di tempat tersebut sangat tinggi. Abbas et al
(2010) menyatakan bahwa Papua merupakan pusat asal berkembangnya spesies
tanaman sagu (center of origin). Namun, belum banyak penelitian yang dilakukan
terkait karakterisasi untuk setiap aksesi sagu tersebut. Setiap daerah sagu memiliki
aksesi tersendiri dengan sebutan yang berbeda-beda. Berbagai aksesi tersebut
dibedakan berdasar-kan ciri morfologi seperti warna pucuk daun, ukuran,
kerapatan, kekerasan dan letak duri, warna pelepah daun, diameter dan tinggi
batang, serta warna pati (Bintoro 2008).

2

Karakter morfologi belum cukup untuk menggambarkan keragaman genetik karena masih dipengaruhi oleh lingkungan. Terdapat kemungkinan aksesi sagu
tersebut memiliki kekerabatan yang dekat atau bahkan merupakan aksesi yang sama. Boosermsuk et al. (1995) menyatakan Populasi tanaman sagu yang diambil
dari Thailand memiliki variasi isozime yang rendah. Hal tersebut menunjukkan tanaman sagu yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan genetik yang dekat.
Kjaer et al. (2004) menyatakan perbedaan geografi menyebabkan variasi
genetik. Abbas et al. (2009) menyatakan populasi sagu yang diambil dari 6 pulau
di Indonesia memiliki hubungan genetik. Berdasarkan analisis RAPD, tanaman
sagu dari Papua memiliki kekerabatan genetik yang dekat dengan tanaman sagu
dari Kalimantan dan Sumatra, sedangkan tanaman sagu dari Maluku berkerabat
dekat dengan tanaman sagu dari Sulawesi, dan tanaman sagu dari Jawa tidak
memiliki kekerabatan dengan yang lainnya.
Keberadaan duri merupakan ciri yang sering dipakai penduduk lokal untuk
membedakan aksesi sagunya. Jong (1995) menyatakan tanaman sagu yang berduri
dapat berasal dari tanaman sagu yang tidak berduri begitupun sebaliknya. Novero
et al. (2012) menambahkan bahwa adanya duri pada tanaman sagu merupakan
peristiwa epigenetik yang dipengaruhi oleh lingkungan. Berdasarkan analisis
terhadap methylation DNA, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap persentase methylation DNA antara tanamaan sagu yang berduri dan tidak berduri
yang disebabkan oleh lingkungan tumbuh yang tergenang. Karakterisasi berbagai
aksesi sagu penting untuk dilakukan, terutama untuk pengembangan aksesi sagu
yang memiliki produktivitas tinggi.
Tujuan
1. Mendapatkan informasi mengenai karakter berbagai aksesi sagu di Kabupaten
Sorong Selatan, Papua Barat
2. Mengetahui potensi produksi dari berbagai aksesi sagu di Kabupaten Sorong
Selatan, Papua Barat
3. Menentukan hubungan kekerabatan genetik antar aksesi sagu di Kabupaten
Sorong Selatan, Papua Barat
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat aksesi sagu
dengan karakter morfologi yang berbeda, namun memiliki kekerabatan genetik
yang dekat.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Tanaman Sagu
Menurut GRIN (2011) tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) termasuk
dalam famili Arecaceae (alt. Palmae) dengan genus Metroxylon. Secara harfiah
tanaman sagu berasal dari kata metro yang berarti pati dan xylon yang berarti
xilem sehingga Metroxylon adalah pati yang tersimpan dalam batang. Sebelumnya
Beccari (1918) dalam Barahima (2006) membagi spesies Metroxylon menjadi dua
kelompok, yaitu Eumetroxylon yang memiliki tiga spesies (M. sagu Rottb., M.
rumphii Mart., dan M. Squarossum Becc.) dan Coelococcus yang memiliki enam
spesies (M. warburghii Heim., M. upoluense Becc., M. vitiense Benth. Et hook,
M. amicarum var. Commune Becc., dan var. Majus Becc., M. salmonense Becc.,
dan M. bougainvilense Becc.). Klasifikasi Beccari tersebut didasarkan pada
ukuran dan bentuk buah, oleh karenanya klasifikasi tersebut dianggap belum
akurat.
Rauwerdink (1986) mereduksi klasifikasi Beccari dan mengklasifikasikannya berdasarkan adanya duri, membentuk rumpun atau tidak, dan jumlah sisik
yang menutupi buah. Metroxylon dibagi menjadi lima spesies yaitu M. sagu yang
membentuk rumpun, berduri, dan buahnya memiliki 18 baris yang membujur, M.
amicarum, M. vitiense, M. salomonense, dan M. warburghii yaitu jenis sagu yang
tidak berduri dan buahnya ditutupi 24 - 28 sisik longitudinal. Pada kenyataannya,
sagu yang berduri memiliki kemungkinan untuk memproduksi sagu yang berduri
dan tidak berduri. Hal tersebut mengindikasikan karakter yang heterozigot dan
mungkin membentuk embrio dari dua genotipe (Rauwerdink 1986). Studi selanjutnya mengenai adanya sagu yang berumpun dan yang menyendiri dipelajari oleh
McClatchey pada tahun 1998 dan pada tahun 2005, Ia mendeskripsikan genus
Metroxylon yang terdiri atas enam spesies yaitu M. amicarum (H. Wendland)
Beccari, M. paulcoxii McClatchey, M. sagu Rottboell, M. salomonense (Warburg)
Beccari, M. vitiense (H. Wendland) H. wendland ex Bentham & Hooker f., M.
warburghii (Heim) Beccari (McClatchey et al. 2006).
Perkembangan selanjutnya mengenai taksonomi tanaman sagu mulai
terjawab dengan berkembangnya metode penanda molekuler. Miftahorrachman et
al. (1998) dan Kjaer et al. (2004) menggunakan teknik amplified fragment length
polymorphism (AFLP) untuk menginvestigasi struktur genetik dari 76 M. sagu
yang dikoleksi dari tujuh lokasi dari Papua New Guinea (PNG) dan mencoba
mengkorelasikan variasi genetik dengan variasi morfologi serta jarak distribusi.
Mereka menyimpulkan variasi morfologi dari karakter vegetatif tidak selalu
berhubungan dengan muncul atau tidaknya duri dan tidak berhubungan secara
genetik, tetapi genetik dan jarak distribusi memiliki linkage. Hasil tersebut
mendukung klasifikasi Rauwerdink 1986 yang menyatakan hanya ada satu spesies
M. sagu di PNG. Ehara et al (2003) menemukan kesimpulan yang sama dari 38
tanaman yang dikoleksi dari 22 lokasi dari Sumatra Barat sampai PNG
menggunakan RAPD untuk menganalisis karakter genetik.

4

Botani Tanaman Sagu
Tanaman sagu mempunyai daun seperti daun kelapa. Menurut Flach
(1997) daun sagu merupakan pinnate-leaved. Jumlah daun pada tanaman sagu
yang tumbuh dalam kondisi optimum 24 daun. Setiap bulan akan muncul tunas
daun baru, dan daun yang paling tua akan mengalami gugur (senescens) dan
kemudian mati. Daun yang telah membuka sempurna (dewasa) memiliki panjang
daun antara 5-8 m dengan 100-140 helai anak daun. Beberapa anak daun memiliki
panjang 150 cm dengan lebar lebih dari 10 cm. Daun yang sudah tua biasanya
akan gugur (senescens) dan digantikan oleh daun yang baru pada bagian terminal.
Terdapat bekas luka (leaf scar) pada batang setiap kali daun mengalami gugur,
namun terdapat juga varietas yang bekas pelepah tuanya tetap menempel pada
batang.
Pada masa rosette, sebelum terbentuk batang, daun sagu lebih kecil dari
ukuran daun dewasa. Kecepatan produksi daun lebih cepat dibandingkan pada saat
telah terbentuk batang. Rata-rata pembentukan daun sekitar 2 daun per bulan.
Kecepatan pembentukan daun lebih konstan setiap bulannya dibandingkan dengan
perkembangan panjang daun. Pada kondisi lingkungan dengan unsur hara kurang,
panjang daun akan lebih pendek, walaupun kecepatan pembentukan daun masih
dalam keadaan tetap. Namun demikian, perubahan kondisi ekologi, misalnya
tergenang dalam waktu yang lama, akan memperlambat kecepatan pembentukan
daun (Flach 1997).
Flach (1997) juga menyatakan diameter batang sagu tanpa pelepah
berkisar antara 35-60 cm dengan tinggi 6-16 m tergantung varietas dan kondisi
lingkungan. Pati sagu tersimpan dalam jaringan parenkim, pada umumnuya
kandungan pati 10-25% dari bobot batang, bobot batang berkisar (1-2 ton).
Menurut Flach (1997) lamanya pertumbuhan batang sagu dapat diketahui dari
bekas pelepah yang masih terlihat pada batang saat inisiasi bunga. Pada kondisi
yang normal, akan terbentuk 54 bekas pelepah, jika setiap bulan muncul satu
daun, maka secara fisiologis usia tanaman sagu tersebut adalah 54 bulan.
Diperkirakan dalam satu siklus tanaman sagu menghabiskan waktu sekitar 11-12
tahun. Terdapat juga tipe lainnya yang memiliki masa pertumbuhan yang lebih
lama, pembentukan batang lebih dari 4.5 tahun dan siklus hidup lebih dari 16
tahun. Tanaman sagu tipe tersebut biasanya, tidak hanya memiliki batang yang
tinggi tetapi juga memiliki ukuran daun yang lebih besar.
Pada kondisi yang tergenang, tanaman sagu membentuk pneumatophores
atau akar nafas (Flach 1997). Akar sagu dibedakan menjadi akar kecil dan akar
besar. Menurut Nitta et al (2002), akar kecil memiliki diameter kurang dari 6 mm,
sedangkan akar besar memiliki diameter 6 - 11 mm. Akar besar merupakan akar
adventif yang muncul dari batang dan tumbuh menuju dalam tanah, sedangkan
akar kecil merupakan akar lateral yang terbentuk dari akar besar atau akar-akar
kecil lainnya yang tumbuh tidak hanya ke bawah tetapi juga ke atas muncul ke
permukaan tanah. Baik akar kecil maupun akar besar mempunyai struktur internal
sama yang terdiri atas epidermis, eksodermis, sel sklerenkim, korteks, dan stele.
Akar besar (adventif) berfungsi untuk konduktansi udara dan trasnportasi unsur
hara serta air, sedangkan akar kecil (akar lateral) berfungsi untuk pertukaran gas
karena dapat muncul pada permukaan tanah.

5

Tanaman sagu merupakan palma soboliferous yang memproduksi banyak
anakan (sucker). Secara alami, anakan sagu akan muncul pada bagian bawah
batang dan membentuk rumpun dalam berbagai tahap pertumbuhan. Kadangkadang, anakan tersebut dapat muncul dari batang bagian atas. Siklus hidup
tanaman sagu hepaksantik diakhiri dengan munculnya tandan bunga yang sangat
besar dengan buah yang sangat banyak. Setelah buah terbentuk, pohon akan
segera mati. Kemudian, satu atau lebih anakan dalam satu rumpun tersebut akan
menggantikan tanaman induk yang telah mati.
Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) terdapat dua tipe tanaman sagu
berdasarkan munculnya bunga, yaitu tanaman sagu hepaksantik yang siklus
hidupnya diakhiri dengan munculnya bunga dan tanaman pleonantik yang dapat
berbunga dan berbuah lebih dari satu kali. Bunga tanaman sagu hepaksantik hanya
muncul sekali dalam satu siklus hidupnya. Setelah tanaman berbunga dan daun
mengalami senescens yang sempurna maka tanaman sagu akan mati.
Menurut Flach (1997) tanaman sagu mulai memasuki generatif sejak
terjadinya inisiasi bunga (inflorescens). Pembungaan sagu hepaksantik diawali
dengan munculnya jantung pada bagian terminal (ujung batang) sagu. Inisiasi
bunga akan terjadi jika jumlah daun sudah terbentuk secara sempurna. Waktu
yang diperlukan untuk pematangan buah minimal 3 tahun sejak inisiasi bunga.
Pembungaan telah sempurna jika bunga sudah keluar dari cabang tandan bunga
yang ke-3. Terjadi perubahan pada bagian meristem apex ketika masa vegetatif
dan masa generatif. Pada masa vegetatif, apex berbentuk concave dan pada saat
memasuki generatif menjadi convex (Gambar 1). Cabang bunga ke dua dan ke tiga
tidak akan muncul jika cabang pertama belum mencapai pertumbuhan yang
maksimum (Gambar 2 dan Gambar 3). Munculnya bunga dimulai dari ranting
terbawah menuju ke atas.

Gambar 1 Bagian apex batang pada saat fase vegetative (kiri) dan generatif
(kanan) (a. tampak atas, b. tampak samping, c. skema longitudinal
bagian yang dipotong untuk pengambilan gambar) (Schuiling 2009)

6

Gambar 2 Skema cabang pertama pada tandan bunga sagu (Schuiling 2009)

Gambar 3 Perkembangan tandan bunga (ax0) pada inisiasi bunga sagu (a. Jantung
bunga sagu yang masih tertutup oleh braktea, b. inisiasi bunga pada
tahap jantung, semua cabang dihilangkan, c. tandan (cabang utama)
dalam kondisi pertumbuhan maksimum, d. braktea yan
Bunga sagu terdiri atas bunga jantan dan bunga hermafrodit, yang
membentuk dyad. Ukuran ke dua bunga tersebut tidak berbeda, hanya pada bunga

7

jantan, ginoecium direduksi menjadi pistillode. Pada saat awal perkembangan
bunga, tunas bunga selalu berpasangan. Satu bunga merupakan staminate (bunga
jantan), bunga yang lainnya hermafrodit. Selanjutnya, salah satu dari bunga
tersebut akan menggugurkan diri sebelum antesis. Pada umumnya bunga jantan
lebih banyak yang manggugurkan diri dibandingkan bunga hermafrodit. Bunga
jantan masak setelah 30 hari sejak bunga membuka, sedangkan bunga hermafrodit
akan reseptif setelah 50 hari. Bunga jantan masak lebih awal dan membuka 2-4
minggu sebelum bunga hermafrodit. Kadang-kadang juga terdapat kemungkinan
masak bersamaan (Flach 1997).
Buah sagu ditutupi oleh baris-baris vertikal seperti buah salak. Embrio
terletak basal buah dan menempel seolah-olah seperti homogenous endosperm.
Sebagian besar buah sagu merupakan buah partenokarpri yang terjadi tanpa
adanya fertilisasi. Buah tersebut hanya diisi oleh mesokarp yang lunak. Buah
tersebut tidak berbiji. Buah partenokarpri biasanya lebih kecil dibandingkan buah
yang berbiji. Biji sagu dapat berkecambah jika telah masak secara fisiologis dan
disimpan dalam lingkungan yang lembab. Jika biji sagu disimpan dalam tempat
yang kering, maka biji tersebut akan kehilangan viabilitas dengan segera. Buah
yang telah masak memiliki ukuran yang besar dan telah mengalami perubahan
warna menjadi kuning keemasan (Flach 1997).
Tanaman sagu hepaksantik secara umum terbagi menjadi lima varietas
yaitu M. rumphii Mart (sagu tuni), M. sagu Rottb. (sagu molat), M. silvester Mart.
(sagu ihur), M. longispinum Mart. (sagu makanaru), dan M. micracantum Mart.
(sagu rotan). Dari kelima varietas tersebut yang memiliki arti ekonomi penting
adalah Ihur, Tuni, dan Molat (Bintoro et al. 2010).
Ekologi Tanaman Sagu
Menurut Okazaki et al (2013) tanaman sagu merupakan tanaman C3. Sagu
dapat dijumpai pada daerah tropika basah di Asia Tenggara dan Oseania.
Tanaman sagu mendominasi lahan rawa baik yang tergenang permanen atau semi
permanen, juga ditemukan tumbuh pada tanah gambut dan mineral dengan
minimal pH 4.5. Anugoolpraset et al (2012) menyatakan sagu dapat tumbuh pada
pH tanah yang bervariasi dari 3.6 - 5.7. Tanaman sagu dapat tumbuh baik pada
ketinggian 0 - 700 m dpl, dengan rata-rata suhu tahunan 17 - 35 oC dan curah
hujan lebih dari 2000 mm tahun-1.
Tanaman sagu umumnya tumbuh secara alami dan berkembang menjadi
hutan sagu bercampur dengan tanaman lainnya. Pada hutan sagu yang telah stabil,
vegetasi tanaman di dominasi oleh tanaman sagu. Di Pulau Seram dan Papua, secara umum tipe habitat tanaman sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu
habitat lahan kering dan habitat lahan tergenang atau rawa-rawa baik yang tergenang secara temporer maupun permanen. Dua tipe habitat tersebut dapat
dipisahkan lebih lanjut menjadi empat tipe yaitu habitat tergenang temporer air
payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh adanya pasang surut, habitat
tergenang temporer oleh air tawar yaitu tipe habitat yang genangannya sangat
ditentukan oleh ada - tidaknya hujan, habitat tergenang permanen, yaitu tipe
habitat yang mengalami genangan pada periode waktu relatif cukup lama,
biasanya lebih dari satu bulan, dan habitat lahan kering, artinya kondisi habitatnya
tidak pernah tergenang (Botanri et al. 2011).

8

Hasil penelitian studi ekologi tanaman sagu menunjukkan bahwa tidak
semua varietas sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Varietas sagu yang
dapat tumbuh dan berkembang pada semua tipe habitat yaitu sagu Tuni,
Makanaru, dan Silvester. Sagu Rotan dan Molat tumbuh pada habitat terbatas.
Sagu rotan hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering, sedangkan
sagu molat ditemukan tumbuh pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air
tawar dan tergenang permanen (Botanri et al. 2011)
Berdasarkan tipe habitat dan kemampuan beradaptasinya, Botanri et al
(2011) menyatakan sagu tuni memiliki kemampuan adaptasi yang luas (eurytolerance), sedangkan sagu makanaru, silvester, dan molat mempunyai daya
adaptasi sedang (meso tolerance), dan sagu rotan memiliki daya adaptasi yang
terbatas (steno tolerance).
Panen dan Potensi Produksi Sagu
Sagu dipanen ketika kandungan pati dalam batang dalam keadaan
maksimum. Sagu paling baik dipanen saat memasuki fase inisiasi bunga (Flach
1997). Menurut Schuiling (2009) kandungan dan distribusi pati sagu berbeda
disetiap fase pertumbuhan. Akumulasi pati dimulai sejak masa vegetatif dan
meningkat secara signifikan menjelang masa generatif (inisiasi bunga).
Kandungan pati (starch density) pada batang saat berakhirnya vegetatif
diperkirakan sebesar 260 kg m-3, sedangkan rata-rata kandungan pati (starch
density) saat masa generatif diperkirakan sebesar 230-240 kg m-3.
Menurut Bintoro et al (2010) sagu dapat menghasilkan 200-400 pati
pohon-1. Apabila dilakukan penanaman dengan jarak tanam 8 m x 8m sampai 10
m x 10 m maka populasi dapat mencapai 100-150 pohon ha-1. Namun, populasi
sagu di alam yang tumbuh secara alami sangat jauh dari perhitungan tersebut.
Menurut hasil survei di beberapa kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat,
rata-rata populasi sagu di hutan alami yang siap panen sekitar 70 pohon ha -1 dan
memiliki kecenderungan menurun untuk panen pada tahun berikutnya (Bintoro et
al. 2014).
Penyebaran Sagu di Papua dan Papua Barat
Sagu di Papua dan Papua Barat tersebar pada beberapa kabupaten.
Berdasarkan faktor persyaratan tempat tumbuh tanaman sagu dan sebaran
penggunaaan lahan serta pertimbangan biofisik (ketinggian tempat, kelas lereng,
jenis tanah, iklim dan penutupan lahan) menunjukkan bahwa secara indikatif luas
potensi sagu di Provinsi Papua 4.7 ha dan di Provinsi Papua Barat 510 ha (Tabel
1) (Bintoro et al. 2014).
Sagu di Papua dan Papua Barat terdiri atas banyak aksesi. Setiap daerah
sagu memiliki berbagai macam aksesi sagu berdasarkan nama lokal masingmasing. Menurut Miftahorrachman dan Novarianto dalam Bintoro (2008) terdapat
18 aksesi sagu di Desa Kehiran, Sentani, Jayapura dengan nama Yeba, Osoghulu,
Wanni, Phane, Hobolo, Follo, Hilli, Yhoguleng, Fikhlea, Yakhali, Phara,
Ebesung, Ruruna, Yaghalobe, Habela, Rondo, Phui, dan Manno. Aksesi tersebut
memiliki tinggi batang, jumlah daun, keberadaan duri, dan potensi hasil yang
berbeda-beda.

9

Tabel 1 Sebaran potensi sagu dengan beberapa faktor persyaratan tempat tumbuh
di Provinsi Papua Barat
Lokasi

Luas
(ha)

Kawasan hutan dan Perairan (ha)
HPT
HP
HPK
APL

Tata
ruang

Kab. Fakfak

12.137

3.892

1.564

5.012

1.670

Hutan
rawa

Kab. Fakfak

12.138

3.893

1.565

5.013

1.671

Hutan
rawa

Kab.
Manokwari
Kab. Raja
Ampat

1.476

131

41

1.203

102

2.107

0

158

1.792

156

Kab. Sorong

4.566

474

0

4.092

0

Kab. Sorong
Selatan
Kab. Teluk
Bintuni
Kab. Teluk
Wondana
Jumlah

150.842

11.853

69.791

69.198

0

152.214

30.192

68.018

53.432

572

4.620

1.790

0

2.754

76

369.382

50.915

175.668

139.938

2.861

Belukar
rawa
Belukar
rawa

Belukar
rawa
Belukar
rawa
Belukar
rawa
Belukar
rawa

Biofisik
Keting Penutupan
gian
Lahan
tempat
0-400
Hutan rawa
primer,
hutan rawa
sekunder
0-401
Hutan rawa
primer,
hutan rawa
sekunder
0-400
Hutan rawa
sekunder
0-400
Hutan rawa
sekunder,
Belukar
rawa
0-400
Hutan rawa
sekunder
0-400
Hutan rawa
sekunder
0-400
Hutan rawa
sekunder
0-400
Hutan rawa
sekunder

Lereng,
tanah,
iklim
Skoring
< 125

Skoring
< 126

Skoring
< 125
Skoring
< 125

Skoring
< 125
Skoring
< 125
Skoring
< 125
Skoring
< 125

Sumber : Bintoro et al (2014)
Keragaman Genetik Sagu
Abbas et al (2010) menyatakan bahwa Papua merupakan pusat asal
berkembangnya spesies tanaman sagu (center of origin). Analisis mengenai
hubungan kekerabatan sagu di Indonesia disampaikan oleh Ehara (2009)
menggunakan metode RAPD. Hasil dari analisis tersebut menghasilkan 2 sub
kelompok utama. Kelompok A terdiri atas 2 sub kelompok A1 dan A2. Sub
kelompok A1 terdiri atas 9 populasi dari Johor, 8 populasi dari Sumatera, 1
populasi dari Jawa Barat, dan 2 populasi dari Roe (roe 1, Roe 2), Sulawesi
Tenggara. Sub kelompok A2 terdiri atas 3 populasi lainnya dari Sulawesi
Tenggara, Indonesia dan 2 populasi dari Mindanao, Filipina. Sub kelompok A1
terutama terdiri atas sagu di sebelah barat Malay Archipelago. Kelompok B terdiri
atas 12 populasi di sebelah timur Malay Archipelago, yaitu 8 populasi dari Seram,
4 populasi dari Ambon di Pulau Maluku, Indonesia. Sub kelompok B1 terdiri atas
6 populasi dari Seram (Tuni 1, 2, 3; Molat 1,2, dan Ihur). Sub kelompok B2 terdiri
atas 2 populasi dari Seram (Makanaru 1, 2) dan 4 populasi dari Ambon (Makanaru
3, 4; Tuni 4, 5). Terdapat aksesi Wakar yang terdapat di luar kelompok utama
yang berasal dari Papua New Guinea. Berdasarkan hasil tersebut jarak genetik
tanaman sagu berhubungan dengan jarak distribusi secara geografi.
Kjaer et al. (2004) menyatakan perbedaan geografi menyebabkan variasi
genetik. Abbas et al. (2009) menyatakan populasi sagu yang diambil dari 6 pulau
di Indonesia memiliki hubungan genetik. Berdasarkan analisis RAPD, tanaman
sagu dari Papua memiliki kekerabatan genetik yang dekat dengan tanaman sagu
dari Kalimantan dan Sumatra, sedangkan tanaman sagu dari Maluku berkerabat
dekat dengan tanaman sagu dari Sulawesi, dan tanaman sagu dari Jawa tidak
memiliki kekerabatan dengan yang lainnya.

10

Penanda Genetik
DNA (deoxyribo nucleic acid) merupakan material genetik pada manusia
dan hampir seluruh organisme termasuk tumbuhan. Sebagian besar DNA terletak
pada inti sel (nukleus) yang disebut nuclear DNA, tetapi juga ada sebagian kecil
yang tersimpan dalam mitokondria yang disebut mitochondrial DNA atau mtDNA). Informasi pada DNA disimpan sebagai kode yang tersusun dalam 4 basa
yaitu adenin (A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T).
Setiap sel mengandung ratusan mitokondria yang bertempat di sitoplasma.
Mitokondria bertugas memproduksi energi melalui proses fosforilasi oksidatif.
Reaksi tersebut menggunakan oksigen dan gula sederhana untuk membuat
adenosine triphosphate (ATP) sebagai sumber energi utama sel. Sejumlah enzim
membantu proses fosforilasi tersebut di dalam mitokondria. Mitokondria memiliki
mtDNA yang mengandung 37 gen untuk memastikan mitokondria berfungsi
dengan baik. Tiga belas diantaranya merupakan gen yang menginstruksikan untuk membuat enzim termasuk dalam proses fosforilasi oksidatif, selebihnya adalah
gen yang menginstruksikan untuk membuat molekul transfer RNA (tRNA) dan
ribosomal RNAs (rRNA). Kedua jenis RNA tersebut berfungsi melakukan
transkripsi protein.
Rangkaian basa nukleotida pada sekuen DNA dapat berubah yang
disebabkan oleh beberapa peristiwa seperti delesi, inversi, translokasi, dan
transposisi. Peristiwa tersebut dapat terjadi secara alami maupun secara induksi.
Perubahan-perubahan pada sekuen DNA tersebut tidak selalu mengubah fenotip
(keadaan morfologi) tanaman. Oleh karenanya, penggunaan penanda morfologi
menjadi terbatas pemanfaatannya. Adanya penanda DNA yang langsung menyatu
dengan sistem genetik tanaman lebih mencerminkan keadaan genom yang
sebenarnya. Penggunaan penanda DNA memungkinkan untuk melakukan analisis
keragaman genetik (DNA finger printing) yang lebih baik terutama untuk
mengkarakterisasi suatu populasi tanaman. Penanda DNA mampu menyediakan
polimorfisme pita DNA dalam jumlah yang banyak, konsisten, dan tidak
dipengaruhi oleh lingkungan.
Penggunaan DNA sebagai penanda ditentukan berdasarkan polimorfisme
DNA. Restriction fragment length polymorphism (RFLP) merupakan teknik yang
digunakan untuk menganalisis keragaman genetik banyak spesies dan dapat
digunakan untuk menyusun peta genetik (genetic linkage map). Namun,
penggunaan teknik RLFP tersebut memerlukan waktu yang lama dan juga
membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh itu, lebih dari satu dekade teknik
polymerase chain reaction (PCR) menjadi pilihan teknik yang banyak digunakan
dan memicu perkembangan beberapa novel genetic assays yang berdasarkan
amplifikasi selektif DNA. Keberhasilan teknik PCR dikarenakan teknik tersebut
sederhana dan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi. Teknik PCR memiliki
kelemahan, yaitu memerlukan sekuen DNA dalam jumlah yang banyak sehingga
penggunaannya menjadi terbatas. RAPD merupakan pengembangan dari teknik
PCR. Dalam teknik RAPD, tidak membutuhkan penanda dalam jumlah yang
banyak dan tidak memerlukan cloning dan sequencing dari genom yang akan
diketahui (Bardakci 2001). Primer yang akan digunakan merupakan primer yang
umum (universal) dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot.

11

Selain itu mampu menghasilkan karakter yang tidak terbatas jumlahnya, bahanbahan yang digunakan relatif murah, mudah dalam preparasi dan memberikan
hasil yang cepat dibanding teknik molekuler lainnya (Tingey et al. 1992, Weising
et al. 1995).
Prinsip standar teknik RAPD menggunakan oligonukleotida rantai pendek
(10 basa) dari sekuen DNA acak sebagai primer untuk mengamplifikasi total
genom DNA pada suhu yang rendah untuk proses penempelan primer (annealing) dengan menggunakan teknik PCR. Produk amplifikasi pada umumnya
dipisahkan dalam gel agarosa dan etidium bromida. Welsh dan McClelland (1990)
telah mengembangkan metode yang mirip dengan menggunakan primer sepanjang 15 nukleotida dengan amplifikasi dan elektroforesis yang berbeda dari
RAPD. Teknik tersebut disebut arbitrarily primed polymerase chain reaction
(AP-PCR). Selain itu, juga terdapat tenik PCR yang menggunakan primer yang
lebih pendek (kurang dari 10 nukleotida) yang disebut DNA amplification
fingerprinting (DAF). Teknik tersebut juga menghasilkan profil finger printing
DNA yang komplek.
Profil amplifikasi DNA yang dihasilkan bergantung pada sekuen homolog
nukleotida diantara cetakan DNA dan primer oligonukleotida pada setiap akhir
produk amplifikasi. Variasi nukleotida diantara cetakan DNA yang berbeda akan
menghasilkan ada atau tidaknya pita (band) karena perubahan tempat primer.
Pada umumnya, setiap primer mengamplifikasi secara langsung pada beberapa lokus sehingga alelisme tidak dapat dibedakan. Berdasarkan hal tersebut, pada teknik RAPD heterozigot tidak dapat dibedakan. Oleh karenanya, penanda RAPD
adalah penanda dominan (Bardakci 2001). Kelemahan lain dari teknik RAPD adalah reproducibility yang rendah. Hal tersebut dikarenakan PCR sangat sensitif terhadap perubahan keadaan reaksi. Rendahnya reproducibility juga disebabkan intensitas pita yang rendah. Perbedaan antara konsentrasi cetakan DNA dari 2 individu sampel menyebabkan hilang atau bertambahnya pita (Bardakci 1996).
Bardakci (2001) telah merangkum kegunaan analisis RAPD. Diantara
manfaat dari analsisi RAPD adalah dapat digunakan untuk menyusun peta
genetik, menduga keragaman genetik populasi, dan menunjang kegiatan
pemuliaan baik pada hewan maupun tumbuhan.

12

METODE
Waktu dan Tempat
Pengambilan data dilakukan pada bulan April-Juni 2014 bertempat di
Dusun Sagu Sayal, Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua
Barat. Analisis DNA dengan metode RAPD dan pengamatan stomata dilakukan
pada bulan Juni-Juli 2014 di Laboratorium PMB (Plant Molecular and
Biotechnology Laboratorium) dan Laboratorium Mikro Teknik, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 12 aksesi tanaman sagu yang terdapat di
Kecamatan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan (Tabel 2)
Tabel 2 Informasi awal berbagai aksesi sagu di Kecamatan Saifi, Kabupaten
Sorong Selatan
Aksesi

Produksi

Warna
Pati

Fasampe
Fanke
Fafion
Fakreit
Failik
Fasinan
Falia

Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Tinggi
Tinggi

Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih

Fanomik
Fakattao
Fablein

Tinggi
Tinggi
Tinggi

Putih
Putih
Putih

Fasongka
Fasai

Tinggi
Rendah

Putih
Putih

Berduri/
tidak
berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
tidak
berduri
Berduri
Berduri

Keterangan

Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
batang licin, umur
berbunga pendek
Budidaya
Budidaya
Budidaya
Budidaya
tidak dibudidayakan

Sumber : Melianus Saflafo (Kepala Kampung Sayal, Kecamatan Saifi) melalui Amarillis
(2013), Konsultasi pribadi

Alat yang digunakan adalah alat ukur tinggi dan diameter, kamera digital,
GPS, timbangan, plastik klip, cooler box, blue ice, dan parang serta peralatan
laboratorium.

13

Pengambilan Data
Data diambil dengan pengamatan secara langsung pada tanaman contoh
terpilih. Pengamatan terkait dengan morfologi diambil sebelum tanaman contoh
ditebang. Metode pengambilan contoh dilakukan dengan mengambil contoh
secara acak pada setiap aksesi tanaman sagu. Tanaman contoh yang diambil telah
memenuhi kriteria panen, yaitu pada saat tanaman sagu dalam fase generatif (pada
saat inisiasi bunga). Selain pengambilan data primer, juga diambil data sekunder
berupa keterangan terkait cuaca seperti curah hujan, suhu, serta kelembaban.
Analisis Data
Data yang didapatkan dari karakterisasi berdasarkan morfologi dianalisis
secara deskriptif. Hubungan kekerabatannya dapat diketahui berdasarkan jumlah
pita polimorfik yang dimiliki bersama, yang selanjutnya diolah dengan menggunakan program NTSYS-pc version 2.02 (Jamshidi dan Jamshidi 2011). Dendogram dibuat berdasarkan karakter morfologi dan genetik.
Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi, produksi, dan genetik.
Informasi mengenai karakter tersebut didapatkan dengan pengamatan secara
langsung melalui pengukuran (kuantitatif) dan pemotretan (kualitatif) pada bagian
batang, daun, bunga, dan buah termasuk habitus tanaman sagu dan produksinya
dengan rincian sebagai berikut :
1. Habitus tanaman
Peubah yang diamati adalah tahapan pertumbuhan rumpun sagu, bentuk tajuk,
dan membentuk rumpun atau tidak.
2. Batang
Tinggi batang
Tinggi batang diukur pada pohon yang dipanen dengan mengukur panjang
batang hingga ujung batang (pelepah terakhir). Tinggi batang yang masih
tersisa (tunggul), masih tertanam di tanah, juga diukur untuk mendapatkan
tinggi batang dari permukaan tanah sampai ujung batang (pelepah terakhir).
Diameter batang
Diameter batang diamati dengan menggunakan meteran lingkar diambil pada
beberapa titik pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Diameter batang
diamati setelah batang ditebang. Kemudian ditentukan tiga titik untuk diambil
diameternya.
3. Daun
Warna daun
Warna daun diamati secara visual dengan cara diambil gambarnya pada fase
anakan.
Jumlah daun pada fase masak dewasa
Jumlah daun diamati dengan menghitung jumlah pelepah daun pada tanaman
induk.
Panjang dan lebar anak daun

14

Panjang dan lebar anak daun diamati pada daun yang telah dewasa pada
tanaman induk. Anak daun yang diamati adalah anak daun yang pertumbuhannya telah mencapai maksimum/dewasa (30 - 40% jarak dari pangkal
daun).
Luas anak daun
Luas anak daun dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Gambar 4) :
S(e) = 0.785 Lleaflet x Wleaflet
Keterangan :
S(e)
: luas anak daun
Lleaflet
: panjang anak daun
Wleaflet
: lebar anak daun
sisi kanan

sisi kiri

helai daun bagian atas

atas
lebar anak
daun

helai daun bagian atas
tulang anak daun
panjang anak daun
rachis
bawah

Gambar 4 Ilustari anak daun (Nakamura et al. 2005)
Jumlah anak daun
Jumlah anak daun diamati pada daun yang telah dewasa pada tanaman induk
pada sisi kiri dan kanan tulang daun dan dihitung secara manual (Gambar 5).
panjang rachis
petiol

sisi kiri (L)

pelepah daun

sisi kanan (R)
anak daun

panjang petiol

leaf blade length
panjang daun

Gambar 5 Ilustrasi daun sagu (Nakamura et al. 2004)
Panjang tulang daun (rachis)
Panjang tulang daun diamati pada daun yang telah dewasa, diukur pada
tulang daun yang terdapat anak daun (Gambar 5).

15

Panjang dan lebar petiol
Panjang petiol diamati pada daun yang telah dewasa, diukur dari pangkal
pelepah sampai anak daun pertama (Gambar 5). Lebar petiol diamati dan
diukur pada bagian pangkal pelepah (Gambar 5).
4. Bunga
Bentuk bunga, warna, dan bentuk tandan bunga diamati secara visual dan
diambil gambarnya. Berikut perkembangan bunga pada tanaman sagu sebagai
pedoman pengamatan di lapangan (Gambar 6),
a. Bunga masih
tertutup oleh
braktea
b. Bunga telah
mekar
c. Bunga telah
mekar dan tunas
bunga telah
membuka

Gambar 6 Perkembangan bunga tanaman sagu (Schuiling 2009)
5. Buah
Bentuk dan warna buah diamati secara visual dan diambil gambarnya. Berikut
perkembangan pembentukan buah pada tanaman sagu sebagai pedoman
pengataman di lapangan (Gambar 7).
Diameter Buah
Diameter buah diukur dengan menggunakan jangka sorong pada buah tua.
6. Kerapatan Duri
Kerapatan duri diamati secara visual dengan mengklasifikasikan ke dalam 3
kategori yaitu sangat padat, padat, dan jarang dengan kriteria sebagai berikut :
Sangat padat
: > 70% menutupi permukaan
Padat
: 50-70% menutupi permukaan

16

Jarang
: < 50% menutupi permukaan
Kerapatan duri diamati pada daun sagu (pelepah dan helai anak daun) pada
fase anakan dan dewasa.
a. Zygot terbentuk
dalam ovari dan
ovari menuju
perkembangan buah
b. Buah yang belum
matang,
c. Buah yang telah
matang
d. Buah yang relatif
kecil tapi telah
matang, tanpa biji
(kanan) dan berbiji
(kiri)
e. Buah yang berbiji
(atas) dan tidak
berbiji (bawah)
f. Embrio menempel
pada endosperm

Gambar 7 Perkembangan buah tanaman sagu (Schuiling 2009)
7. Produksi, Rendemen dan Kadar Air Pati
Produksi pati didekati dengan menggunakan perbandingan volume. Pati
diperoleh dari empulur sagu. Empulur diambil dari batang dengan menggunakan wadah yang telah diketahui volumenya (ring sample) setiap 2-3 m.
Empulur yang didapatkan dihancurkan dan diletakkan dalam wadah yang
telah berisi air, kemudian empulur diramas-ramas untuk diekstrak pati-nya.
Ekstrak pati diulangi sebanyak 3 kali, masing-masing dengan mengguna-kan
200 ml air. Volume air yang digunakan untuk memeras empulur sama pada
setiap ulangan. Air perasan kemudian diendapkan untuk mendapatkan pati,
kemudian pati tersebut dikeringkan. Setelah didapatkan pati kering kemudian
ditimbang. Produksi pati per pohon kemudian dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :




�=

volume batang
x bobot pati kering contoh


Volume batang = � 2 x tinggi, dengan � = 3. 14 dan r = jari-jari batang sagu
Bobot pati kering merupakan rata-rata dari contoh yang diambil.
Rendemen pati dihitung dengan rumus sebagai berikut :

17



=

bobot pati kering contoh
x 100%
bobot empulur

Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar air =
Keterangan :
BB = bobot basah pati
BK = bobot kering pati

8.

��−�
��

x 100%

Warna pati
Warna pati diamati secara visual dan diambil gambarnya. Warna pati
dicocokkan dengan bagan warna (munsell color chart) yang telah disiapkan
(Gambar 8).

Gambar 8 Bagan Warna (munsell color chart)
9.

Kerapatan stomata
Jumlah stomata diamati dengan cara melihat duplikasi stomata pada
epidermis bagian bawah daun ketiga dari daun termuda. Daun tersebut
diambil dari anakan yang telah memiliki batang. Stomata diduplikat dengan
menggunakan cat kuku yang telah dioleskan pada bagian atas dan bawah
daun. Lapisan yang telah menempel pada cat kuku diambil dan diletakkan
pada kaca preparat. Kaca preparat disimpan sampai siap digunakan, selanjutnya jumlah stomata diamati dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 kali.
Kerapatan stomata dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

18

Kerapatan Stomata =

Jumlah Stomata
��

� �



10. Komposisi kimia pati sagu
Untuk mengetahui kandungan karbohidrat dalam pati sagu dilakukan analisis
dengan metode luff schrool. Prosedur penetapan karbohidrat adalah sebagai
berikut :
a. contoh pati ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer asah,
b. 200 ml HCl 10% dan batu didih ditambahkan ke dalam erlenmeyer,
c. larutan dihidrolisis dengan pemanasan yang menggunakan pendingin
tegak selama 3 jam,
d. setel