Studi Produksi Bioetanol untuk Peningkatan Budidaya dan Nilai Tambah Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong

STUDI PRODUKSI BIOETANOL
UNTUK PENINGKATAN BUDIDAYA DAN NILAI TAMBAH
PASCAPANEN SAGU (Metroxylon spp.) ASAL SORONG

SUTRISNO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Produksi
Bioetanol untuk Peningkatan Budidaya dan Nilai Tambah Pascapanen Sagu
(Metroxylon spp.) Asal Sorong adalah karya saya yang dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Sutrisno
NIM A24134003

__________________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait

i

ABSTRAK
SUTRISNO. Studi Produksi Bioetanol untuk Peningkatan Budidaya dan Nilai
Tambah Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong. Dibimbing oleh
MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE dan AGUS BUDIYANTO.
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman penghasil pati yang potensial
dengan produksi 20 – 40 ton pati ha-1 tahun-1. Pati sagu banyak terbuang setiap
tahun karena pohon sagu yang siap panen tidak dimanfaatkan dengan baik.

Masyarakat menggunakan sagu hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan harian.
Rendahnya pemanfaatan sagu oleh masyarakat menyebabkan sagu dipanen hanya
sesuai kebutuhan. Pati sagu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan
energi alternatif yang terbarukan berupa bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui optimasi penggunaan enzim penghidrolisis pati sagu asal Sorong, dan
perbandingan air dengan pati untuk produksi bioetanol. Tujuan yang kedua yaitu
memastikan jenis sagu Iwarwo dapat digunakan untuk memproduksi bioetanol,
sehingga menjadi penggerak bagi petani sagu dalam membudidayakan sagu secara
intensif di Kabupaten Sorong. Penelitian ini menggunakan enzim untuk
menghidrolisis pati sagu menjadi gula cair. Fermentasi gula cair menggunakan ragi
yang mengandung Saccharomyces cereviseae, sehingga menghasilkan bioetanol.
Pati sagu yang digunakan pada penelitian ini berjenis Iwarwo. Kadar etanol
tertinggi 10.93% diperoleh setelah 72 jam fermentasi dengan perlakuan
perbandingan pati sagu dengan air 1:5, 1 mL enzim α-amilase kg-1 pati sagu dan
1.2 mL enzim glukoamilase kg-1 pati sagu.
Kata kunci: bioetanol, hidrolisis, optimasi, pati sagu, Sorong

ii

iii


ABSTRACT
Sutrisno. Study of Bioethanol production for cultivation increase and post-harvest
value-added of Sago (Metroxylon spp.) from Sorong. Supervised by MOCHAMAD
HASJIM BINTORO DJOEFRIE and AGUS BUDIYANTO.
Sago (Metroxylon spp.) is a potential starch-producing crop which produce
20 – 40 tonnes starch ha-1 year-1. Each years, big amount of sago starch are wasted
because it is not exploited well. The people only utilize sago starch for consumption
in daily food needs. The low utilization of sago reduces its harvest performances.
Sago starch can be used as raw material for renewable alternative energy such as
bioethanol. The main object of this study is to analyze the optimation of enzyme
application to hydrolyze sago starch that were collected from Sorong and the ratio
of water with starch usage in bioethanol fermentation. The second aim is to ensure
the kind of sago starch that can be used to produce bioethanol, so that it becomes
the driving force for sago farmers in the cultivation of sago intensively in Sorong
District. This study was used enzyme to hydrolyze sago starch into liquid sugar.
Fermentation of liquid sugar used yeast contained Saccharomyces cereviseae until
it produces bioethanol. The sago starch are used in this study that is Iwarwo type.
The highest etanol content was 10.93% at 72 hours after fermentation. The result
was collected from condition of 1:5 sago starch with water ratio treatment, 1 mL of

α-amylase enzyme kg-1 sago starch and 1.2 mL glucoamylase enzyme kg-1 sago
starch.
Key words: bioethanol, hydrolysis, optimation, sago starch, Sorong

iv

v

STUDI PRODUKSI BIOETANOL
UNTUK PENINGKATAN BUDIDAYA DAN NILAI TAMBAH
PASCAPANEN SAGU (Metroxylon spp.) ASAL SORONG

SUTRISNO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iv

v

Judul
Nama
NIM

: Studi Produksi Bioetanol untuk Peningkatan Budidaya dan Nilai
Tambah Pascapanen Sagu (Metroxylon spp.) Asal Sorong
: Sutrisno
: A24134003

Disetujui oleh


Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie, MAgr
Pembimbing I

Agus Budiyanto, STP, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

vi

vii

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT dan disertai rasa syukur atas segala rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian Studi Produksi
Bioetanol untuk Peningkatan Budidaya dan Nilai Tambah Pascapanen Sagu
(Metroxylon spp.) Asal Sorong. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, keluarga beliau SAW, para sahabat dan orang-orang
yang mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini dibuat atas
dasar permasalahan energi dunia saat ini yang sedang mengalami krisis akibat
semakin tingginya jumlah penduduk dan cadangan energi yang semakin menipis. Hal
tersebut perlu dikembangkan bahan energi alternatif yang cukup efisien sebagai
substitusi kebutuhan bahan bakar terutama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi optimal produksi bioetanol dari sagu asal Sorong.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie, MAgr dan Bapak Agus
Budiyanto, STP, MSc. sebagai pembimbing skripsi dan Ibu Siti Marwiyah,
SP, MSi. sebagai dosen penguji ujian skripsi.
2. Ibu Dr. Endang Yuli Purwani, MSi, Bapak Muhammad Triyono, SSi, Ibu
Pia Lestiani A.Md, Ibu Dini, Bapak Danu, Bapak Adom, Bapak Asep,
peneliti, staf, analis, teknisi dan karyawan BB Pascapanen yang telah
banyak membantu selama proses penelitian.
3. Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah banyak memberikan arahan dan nasihat selama masa studi.

4. Keluarga tercinta, Ibu, Ayah, kakak-kakak dan adik, yang senantiasa
mendoakan dan memberikan dukungan semangat dan nasihat terhadap
amalan-amalan budi serta kasih sayang kepada penulis.
5. Para dosen mata kuliah Teknik Penulisan Ilmiah yang telah mengajarkan
cara-cara menulis proposal penelitian dan tulisan ilmiah.
6. Saudara Agief Julio Pratama, Ray Pratama Alamako, Muhammad Prayoga,
Muhammad Firdaus, Dodi Andika, dan saudari Fenti Fatmawati atas
bantuan yang telah dilakukan selama penelitian.
7. Teman-teman mahasiswa dan dosen keluarga besar bimbingan Bapak Prof
Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie, MAgr yang telah memberi dukungan.
8. Teman-teman dari Departemen Agronomi dan Hortikultura Alih Jenis
2013, 2014, angkatan 2011, 2012 dan 2013 dan Rumah Quran Daarut
Tarbiyah Bogor yang memberikan dukungan agar penulisan hasil
penelitian ini selesai.
Hasil penelitian ini masih belum dapat dikatakan sempurna. Semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai referensi untuk penelitian dan
hal-hal yang bersangkutan dengan pendidikan.
Bogor, Agustus 2015
Sutrisno


viii

ix

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sagu
Pertumbuhan Tanaman Sagu
Bioetanol Sagu
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Peralatan Penelitian
Perancangan Percobaan

Pelaksanaan Percobaan
Percobaan Pendahuluan
Prosedur Percobaan
Pengamatan Percobaan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Padatan Terlarut (TPT)
pH
Warna
Kadar Gula Total
Kadar Etanol
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
xiii
xiii
1

1
2
2
2
2
2
3
5
5
5
6
6
6
7
7
9
9
9
14
19
20
21
26
27
30
33

DAFTAR TABEL

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5

9

10

10

10

10

11

11

11

12

12

12

12

13

13

xi

15 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
16 Nilai rata-rata pH sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:4
17 Nilai rata-rata pH sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:5
18 Nilai rata-rata pH sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:6
19 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
20 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
21 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
22 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
23 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
24 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
25 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
26 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
27 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
28 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
29 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
30 Nilai rata-rata pH setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6

13

14

15

15

15

15

16

16

16

17

17

17

17

18

18

18

xii

31 Nilai rata-rata warna pada masing-masing tiga perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:4
32 Nilai rata-rata warna pada masing-masing tiga perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:5
33 Nilai rata-rata warna pada masing-masing tiga perlakuan konsentrasi
enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:6
34 Nilai rata-rata kadar gula total pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:4
35 Nilai rata-rata kadar gula total pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:5
36 Nilai rata-rata kadar gula total pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:6
37 Nilai rata-rata kadar etanol 24 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
38 Nilai rata-rata kadar etanol 24 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
39 Nilai rata-rata kadar etanol 24 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
40 Nilai rata-rata kadar etanol 48 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
41 Nilai rata-rata kadar etanol 48 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
42 Nilai rata-rata kadar etanol 48 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
43 Nilai rata-rata kadar etanol 72 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
44 Nilai rata-rata kadar etanol 72 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5
45 Nilai rata-rata kadar etanol 72 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:6
46 Nilai rata-rata kadar etanol 96 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:4
47 Nilai rata-rata kadar etanol 96 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
perbandingan pati dengan air 1:5

20
20
20

21

21

21

22

22

22

22

23

23

23

24

24

24

24

xiii

48 Nilai rata-rata kadar etanol 96 jam setelah fermentasi pada masing-masing
tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada
25
perbandingan pati dengan air 1:6

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Jalur biosintesis etanol dari glukosa (Gokarn et al. 1997)
Total Padatan Terlarut (TPT) pada waktu fermentasi
pH pada waktu fermentasi
Kadar etanol pada waktu fermentasi

4
14
19
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Diagram alir pembuatan bioetanol dari pati sagu (Budiyanto et al. 2006;
Amin dan Empayus 2014)
Penentuan kadar gula total
Kurva standar glukosa untuk menentukan kadar gula total
Warna hidrolisat pati sagu pada saat sebelum fermentasi

30
31
31
32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sagu menyimpan sumber karbohidrat di dalam batang. Sagu menghasilkan
karbohidrat yang paling produktif jika dibandingkan dengan tanaman jagung,
kentang, ubi kayu, dan ubi jalar. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat
mencapai 20 - 40 ton pati kering ha-1tahun-1. Produktivitas sagu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan produktivitas ubi kayu dan kentang yang memiliki produktivitas pati kering 10 - 15 ton ha-1tahun-1 (Bintoro et al. 2010).
Lahan sagu di Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki luas 5.2 juta ha.
Lahan seluas 1.1 juta ha dari lahan sagu telah dikonversi menjadi lahan non sagu
(Djoefrie et al. 2014). Konversi lahan sagu digunakan untuk pembangunan kantor
maupun perumahan karena tidak terlepas dari sedikitnya pemanfaatan sagu oleh
satu keluarga yang hanya memerlukan 2 - 3 batang, sedangkan sisanya dibiarkan
mati. Pemerintah setempat kurang memperhatikan tanaman sagu, sehingga
konversi lahan sagu kian meningkat dari tahun ke tahun (Djoefrie et al. 2013).
Sekitar 40% vagetasi sagu di Papua merupakan areal produksi yang potensial dan telah siap untuk dipanen. Masyarakat lokal mengolah sagu untuk konsumsi
sehari-hari dan sebagian dijual ke pasar. Pengolahan sagu masih menggunakan
teknik tradisional yang diturunkan secara turun temurun (Yumte 2008). Pemanfaatan pati sagu harus diperhatikan karena hasil olahan pati sagu mempunyai
nilai yang lebih tinggi daripada pati sagu yang tanpa diolah. Pengolahan pati sagu
tersebut harus mempertimbangkan aspek kebutuhan yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas.
Pati sagu dapat digunakan sebagai bahan bakar etanol (Djoefrie et al. 2013).
Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi gula bahan-bahan
berkarbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol mempunyai sifat
berupa cairan yang tidak stabil, mudah terbakar dan tidak berwarna. Etanol menjadi
salah satu bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan.
Gas emisi karbon yang dihasilkan etanol lebih rendah dibandingkan dengan bensin
atau sejenisnya (sampai 85% lebih rendah). Negara-negara maju telah lebih dulu
mengembangkan etanol sebagai biofuel. Hal tersebut dapat menjadi motivasi bagi
Indonesia untuk turut serta mengembangkan etanol sebagai bahan bakar alternatif
(Komarayati 2007).
Jumlah pati sagu yang terbuang di Papua setiap tahunnya diperkirakan
sekitar 6 juta ton. Jumlah pati tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal untuk
bioetanol maka dapat diperoleh sekitar 3 juta kilo liter (kL) tahun-1 dengan asumsi
faktor konversi sebesar 0.6. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar
16 juta kL tahun-1. Bioetanol diperlukan 1.6 juta kL jika bioetanol yang dihasilkan
dapat menggantikan premium sebesar 10% (campuran premium: etanol, 90:10).
Kebutuhan tersebut sudah tertutupi hanya dengan penggunaan pati sagu
(Sumaryono et al. 2007)
Pemanfaatan pati sagu menjadi bioetanol dapat menjadi stimulus untuk
mengembangkan industri bioetanol di daerah penghasil sagu, seperti di Papua dan
Papua Barat. Hal tersebut dapat tercapai dengan baik apabila bahan baku tersedia
secara masif dan berkelanjutan. Bahan baku pati sagu didapatkan melalui proses

2

pengelolaan budidaya sagu yang intensif. Budidaya sagu dan industri bioetanol
yang intensif dengan memanfaatkan sumber daya manusia lokal dapat membuka
lapangan pekerjaan, dan hal tersebut akan memberikan pengaruh yang positif
terhadap taraf ekonomi masyarakat setempat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi penggunaan enzim
penghidrolisis pati sagu asal Sorong dan perbandingan antara pati sagu dengan air
untuk produksi bioetanol. Tujuan yang kedua yaitu memastikan jenis sagu Iwarwo
dapat digunakan untuk memproduksi bioetanol, sehingga menjadi penggerak bagi
petani sagu dalam membudidayakan sagu secara intensif di Kabupaten Sorong.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini yaitu terdapat perbandingan yang optimal
antara pati sagu dengan air dan enzim penghidrolisis pati sagu asal Sorong yang
dapat diaplikasikan untuk pembuatan bioetanol.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sagu
Sagu (Metroxylonsp) merupakan salah satu jenis tanaman pangan non biji
yang telah cukup banyak dikenal oleh penduduk Indonesia terutama di kawasan
yang memiliki sedikit sawah. Beberapa daerah di Maluku telah mengonsumsi sagu
sebagai makanan pokok. Sagu yang merupakan tanaman penghasil karbohidrat
yang potensial di Indonesia dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan
sesuai dengan INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli 1992).
Tanaman penghasil karbohidrat lain misalnya jagung, kentang, ubi jalar, ubi
kayu dan umbi-umbian lainnya mempunyai produksi tidak lebih dari 10 ton ha-1,
sehingga dibutuhkan lahan yang luas untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Salah satu tanaman alternatif dari sumber penghasil karbohidrat yaitu sagu. Sagu
menghasilkan 200 – 400 kg pati pohon-1, bahkan sampai 800 kg. Penanaman sagu
dengan jarak tanam 7 m x 7 m sampai 10 m x 10 m akan diperoleh populasi sagu
mencapai 100 – 200 pohon ha-1. Pati sagu yang akan dihasilkan berdasarkan
populasi tersebut mencapai 30 – 60 ton pati sagu (Bintoro et al. 2010).
Pertumbuhan Tanaman Sagu
Sagu dapat tumbuh dengan baik dari Filipina bagian Selatan (Utara) sampai
pulau Rote (Selatan) atau dari 10o LU – 10o LS dari Kepulauan Pasifik (Barat)
sampai ke India bagian Timur (Timur) di sepanjang tepi sungai, di tepi danau
ataupun di rawa-rawa dangkal. Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sampai 400 m dpl (di atas permukaan laut). Pertumbuhan sagu akan lambat
dan berkadar pati rendah jika pada ketinggian lebih dari 400 m dpl (Bintoro 2010).
Sagu membutuhkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhannya.
Lingkungan tersebut dicirikan dengan daerah yang berlumpur, akar napas tidak

3

terendam, air tanah berwarna cokelat, bereaksi agak masam, kaya bahan organik
dan kaya mineral. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang
sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu (Bintoro et al. 2010). Sagu tumbuh
di daerah rawa-rawa berair tawar, rawa bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar
sumber air dan hutan-hutan rawa dengan kadar garam yang tidak terlalu tinggi
(Haryanto dan Pangloli 1992).
Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembang biak dengan menghasilkan anakan. Satu indukan tanaman sagu mampu menghasilkan anakan yang
banyak. Anakan sagu yang berumur 4 – 5 tahun mulai membentuk batang,
kemudian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang
menjadi anakan (sucker) (Bintoro 2008). Kondisi tanaman sagu yang baik dengan
dua anakan akan berkembang menjadi pohon setiap 3 – 4 tahun (Flach 1983).
Tanaman sagu yang siap dipanen ditunjukkan dari perubahan yang terjadi
pada daun, duri, pucuk, dan batang. Tanaman sagu dipanen ketika daun-daun sagu
telah memendek (fase nyorong) hingga mencapai fase inisiasi bunga (Mahardika
2012). Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai usia dewasa antara
10 – 15 tahun tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya. Kemunculan bunga
pada tanaman sagu dewasa menandakan sagu sudah mendekati akhir pertumbuhannya (Bintoro et al. 2010).
Keadaan pati yang terkandung dalam batang pada fase tersebut maksimal.
Pati yang dihasilkan dari proses fotosintesis pada kondisi tersebut belum dimanfaatkan untuk pembentukan bunga dan buah. Pemanenan pada saat pohon sagu berbunga sudah terlambat karena pati yang terkandung dalam batang sebagian sudah
digunakan untuk pembentukan bunga. Tanaman sagu yang sudah memasuki fase
berbuah yang tidak dipanen akan mati, karena pati sudah digunakan sepenuhnya
untuk pembentukan buah (Andany 2009).
Pemanfaatan areal sagu nasional masih sangat rendah. Hal tersebut
disebabkan masyarakat yang kurang berminat dalam mengelola sagu. Kurangnya
minat masyarakat tersebut disebabkan oleh kemampuan yang rendah dalam
memproduksi pati sagu dan mengolah pati sagu menjadi bentuk-bentuk produk
lanjutannya. Kondisi geografis habitat tanaman sagu umumnya pada daerah yang
sukar dijangkau, sehingga pengelolaan sagu kurang maksimal. Kecenderungan
masyarakat menilai pangan sagu tidak superior seperti beras dan beberapa
komoditas karbohidrat lainnya membuat minat masyarakat yang rendah terhadap
pengembangan sagu (Samad 2002).
Teknologi ekstraksi merupakan cara untuk mengeluarkan pati dari serat
tanaman dengan bantuan air. Cara tersebut termasuk ke dalam rangkaian kegiatan
penghancuran empulur, pembuatan slurry (bubur), pengadukan, penyaringan dan
pengendapan. Ekstraksi pati sagu yang dipakai oleh industri kecil atau pengrajin
sagu masih menerapkan ekstraksi tradisional yang dilakukan dengan tenaga manusia, sehingga memiliki produktivitas yang rendah. Hal tersebut berbeda dengan
ketika ekstraksi pati sagu pada sebagian kegiatannya digerakkan dengan tenaga
mekanis, sehingga akan menghasilkan produktivitas yang tinggi (Samad 2002).
Bioetanol Sagu
Sagu dapat dimanfaatkan dalam berbagai sektor industri. Sagu dibutuhkan
dalam industri makanan, industri pakan ternak, industri tekstil, industri farmasi,

4

industri kosmetika, dan industri kimia. Pati sagu juga dapat digunakan sebagai
bahan energi. Pemanfaatan sagu menjadi bahan energi dilakukan melalui
pengolahan pati sagu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan fermentasi (Sari
2009).
Hidrolisis pati melalui proses enzimatis dengan dua tahap yaitu likuifikasi
dan sakarifikasi. Kedua proses tersebut sangat tergantung dengan waktu dan
jumlah enzim yang digunakan. Likuifikasi adalah proses hidrolisis pati menjadi
dekstrin oleh α-amilase pada suhu di atas suhu gelatinasi dengan pH optimum
aktivitas α-amilase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim.
Larutan didinginkan sampai 50 – 60oC setelah proses likuifikasi yang disebut proses
sakarifikasi. Piruvat sebagai produk hidrolisis glukosa terpecah dalam beberapa
jalur biosintesis multi produk (Gokarn et al. 1997) seperti pada Gambar 1.
glukosa

oksaloasetat

Suksinat

fosfoenol piruvat

piruvat

Butirat

asetil CoA

Aseton

Asetat

Laktat

asetaldehid

Etanol

Gambar 1 Jalur biosintesis etanol dari glukosa (Gokarn et al. 1997)
Khamir yang umum digunakan dalam fermentasi yaitu Saccharomyces
cerevisiae karena jenis ini dapat diproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang
cukup tinggi (12 - 18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif
melakukan fermentasi pada suhu 4 - 32oC. Menurut Kunkee dan Mardon (1970), S.
cereviseae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa, dan rafinosa. Frazier
dan Westhoff (1978) menyatakan bahwa S. cerevisiae yang termasuk top yeast
tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC. S. cereviseae var
Ellipsoides mampu menghasilkan etanol dalam jumlah yang tinggi pada media
yang sesuai dengan pertumbuhannya yaitu 16% dari bahan baku bukan sirup dan
18% dari bahan baku sirup. Menurut Prescot dan Dunn (1981), S. cerevisiae
digunakan dalam pembuatan roti sehingga lebih dikenal sebagai ragi roti,
sedangkan ragi tape biasa masyarakat digunakan dalam pembuatan tape dan
mempunyai kemampuan dalam fermentasi alkohol. Kedua ragi tersebut biasa
digunakan masyarakat sehingga memudahkan aplikasi fermentasi alkohol di skala
pedesaan.
Etanol (etil alkohol) merupakan cairan yang mudah menguap, mudah
terbakar, tak berwarna dan memiliki bau khas alkohol. Etanol termasuk ke dalam
alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O

5

dengan berat molekul 46.07 g mol-1. Etanol termasuk jenis alkohol yang paling
sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etanol dapat dibuat dari bahan
nabati yang mengandung gula, pati atau lignoselulosa yang dikenal dengan istilah
bioetanol (Yuliana 2011).
Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada
kondisi yang sesuai. Penambahan khamir ke dalam gula dapat dilakukan dalam
bentuk kering maupun bentuk suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida (C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasi, sedangkan disakarida, pati, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih
dahulu menjadi komponen sederhana (monosakarida), setelah itu dapat difermentasi secara biologis dan kimia (Sa’id 1987).
Etanol termasuk salah satu bahan bakar terbarukan yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Etanol dapat dimanfaatkan dalam bentuk murni atau sebagai
campuran untuk hidrogen maupun bahan bakar bensin. Interaksi etanol dengan
hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell. Penggunaan interaksi
campuran tersebut dapat juga digunakan dalam mesin pembakaran dalam (internal
combustion engine) konvensional. Diversifikasi bahan baku etanol di Indonesia
perlu dikembangkan karena Indonesia memiliki kekayaan aneka jenis tanaman
(Retno et al. 2009).
Proses Ishizaki dapat mengonversi 1 ton pati sagu menjadi 1 ton gula cair
dan bisa diperoleh 640 liter etanol (Bujang 2010). Peningkatan peranan pati sagu
menjadi bioenergi dapat dilakukan dengan usaha perbaikan lahan sagu melalui
rehabilitasi lahan ataupun tindakan budidaya. Pembuatan bioetanol melalui sagu
memiliki kelebihan dengan komoditas lain. Hal tersebut karena sagu tidak memerlukan tindakan pemeliharaan dan budidaya yang berat jika dibandingkan
dengan tanaman lain seperti ubi kayu dan jagung. Kedua komoditas tersebut membutuhkan proses budidaya yang memakan biaya dan waktu untuk mendapatkan pati
(Louhenapessy et al. 2010).

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen) yang berlokasi di Jalan
Tentara Pelajar 12, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Februari sampai Mei 2015.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan-bahan media fermentasi terdiri atas pati sagu (Metroxylon spp.) jenis
Iwarwo asal Kabupaten Sorong, enzim α-amilase, enzim glukoamilase, air suling,
NPK, urea, dan fermipan. Bahan-bahan analisis kadar gula total terdiri atas larutan
fenol 5 % dan H2SO4 pekat. Air suling dan glukosa standar digunakan dalam

6

pembuatan kurva standar glukosa. Pengukuran kadar etanol menggunakan etanol
standar 1% sebagai pembanding.
Alat-alat pada pembuatan media meliputi timbangan analitik, sendok kecil,
labu, erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, mikropipet, pengaduk, penangas air,
termometer, dan botol plastik sampling. Mortar dan penumbuk (pestle) digunakan
untuk menghaluskan NPK dan urea. Alat-alat untuk pengukuran kadar gula total
terdiri atas pipet 1 mL, labu takar 100 mL, pipet tetes, corong gelas, kertas saring,
labu erlenmeyer, pipet 5 mL, tabung reaksi, rak tabung reaksi, rubber bulb, botol,
ruang asam, dan spektrofotometer. Alat yang digunakan untuk analisis gula cair
terdiri atas refraktometer, pH meter dan chromameter, sedangkan untuk
pengukuran kadar etanol menggunakan kromatografi gas.
Perancangan Percobaan
Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan rancangan perlakuan split split plot. Perlakuan perbandingan pati dengan air sebagai petak utama, perlakuan enzim α-amilase sebagai anak
petak dan perlakuan enzim glukoamilase sebagai anak anak petak. Model aditif
linier yang digunakan sebagai berikut :
Yijkl = µ + αi + j+ k + (α )ijk + εijkl
Keterangan:
Yijkl = respon pengamatan faktor perbandingan pati dengan air ke-i enzim αamilase ke-j enzim glukoamilase ke-k dan ulangan ke-l
µ
= nilai tengah populasi
αi
= pengaruh faktor perbandingan pati dengan air ke-i (i = 1:4, 1:5, 1:6)
= pengaruh enzim α-amilase ke-j (j = 0.8, 1, 1.2)
j
= pengaruh enzim glukoamilase ke-k (k = 0.8, 1, 1.2)
k
εijkl
= pengaruh galat percobaan
Perbandingan pati dengan air terdapat tiga taraf yaitu 1:4, 1:5 dan 1:6. Enzim
α-amilase terdiri atas tiga taraf konsentrasi yaitu 0.8 mL kg-1 pati, 1 mL kg-1 pati,
dan 1.2 mL kg-1 pati. Enzim glukoamilase terdiri atas tiga taraf konsentrasi yaitu
0.8 mL kg-1pati, 1 mL kg-1 pati, dan 1.2 mL kg-1pati. Setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak dua kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 54 satuan
percobaan.
Data percobaan diasumsikan memiliki pengaruh yang bersifat aditif dan
menyebar normal. Galat percobaan saling bebas dan menyebar normal serta ragam
galat percobaan bersifat homogen.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui komposisi pati dan air
yang dapat digunakan untuk analisis terhadap larutan gula cair. Larutan gula cair
digunakan sebagai bahan untuk pembuatan bioetanol.
Percobaan pendahuluan dilakukan dengan menggunakan pati sagu yang
tersedia di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
(BB Pascapanen). Perbandingan pati (kg) dan air (L) yang digunakan terdiri atas
1:2, 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Pati sagu yang digunakan sebanyak 20 g. Air yang
digunakan sebanyak 40 mL, 60 mL, 80 mL, 100 mL, dan 120 mL. Konsentrasi

7

enzim α-amilase dan glukoamilase yang digunakan 1 mL kg-1 pati. Hal tersebut
berdasarkan penelitian Budiyanto et al. (2006) yang menyatakan enzim α-amilase
dan glukoamilase 1 mL kg-1 pati optimum untuk digunakan dalam pembuatan gula
cair.
Budiyanto et al. (2006) menyatakan pembuatan gula cair berawal dari proses
likuifikasi sampai sakarifikasi. Pembuatan suspensi dilakukan dengan mencampurkan pati dan air. Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan enzim α-amilase pada
suspensi pati. Larutan dipanaskan pada suhu 92oC selama 20-60 menit sambil
diaduk. Perubahan warna biru yang timbul berarti larutan tersebut masih
mengandung amilosa, sedangkan jika berwarna coklat berarti sudah mengandung
dekstrosa. Proses likuifikasi dilakukan dengan menggunakan alat penangas air.
Amin dan Empayus (2014) menyatakan bahwa larutan hasil likuifikasi
didinginkan sampai suhu 60oC dan ditambahkan enzim glukoamilase. Larutan gula
cair didinginkan sampai suhu larutan mencapai di bawah 35oC.
Larutan gula cair disimpan di dalam ruang pendingin selama 24 - 48 jam.
Penelitian pendahuluan menghasilkan gula cair optimum dengan perbandingan 1:4,
1:5, dan 1:6 (pati : air). Hasil percobaan pendahuluan dilanjutkan dalam percobaan
utama.
Prosedur Percobaan
Proses pembuatan bioetanol berawal dari pembuatan sirup glukosa sampai
bioetanol (Lampiran 1). Proses likuifikasi sampai sakarifikasi sama dengan pada
proses percobaan pendahuluan. Perbedaan percobaan pendahuluan dengan
percobaan utama terletak pada bahan yang digunakan. Percobaan utama
menggunakan pati sagu jenis Iwarwo sebanyak 25 g. Air yang digunakan terdiri
atas tiga perlakuan 100 mL, 125 mL dan 150 mL. Enzim α-amilase yang digunakan
terdiri atas tiga perlakuan dengan konsentrasi 20 µ L, 25 µL, dan 30 µL. Enzim
glukoamilase menggunakan tiga perlakuan yang terdiri atas konsentrasi 20 µL, 25
µL, dan 30 µL.
Larutan gula cair yang belum difermentasi dimasukkan ke dalam botol plastik
dan disimpan di dalam ruang pendingin selama 24 jam. Pengukuran kadar gula total,
warna, Total Padatan Terlarut (TPT), dan pH larutan dilakukan setelah masa
penyimpanan 48 jam.
Proses fermentasi dilakukan setelah pengukuran kadar gula total, warna, dan
TPT. Amin dan Empayus (2014) menyebutkan ragi sebanyak 4 g L-1, urea 6 g L-1,
dan NPK 1.5 g L-1 ditambahkan ke dalam larutan yang telah dingin. Urea dan NPK
berfungsi sebagai nutrisi pada proses fermentasi.
Peubah yang diamati setelah larutan difermentasi terdiri atas TPT, pH, dan
kadar etanol. Pengamatan dilakukan pada fermentasi 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan
96 jam.
Pengamatan Percobaan
Pengukuran Total Padatan Terlarut (TPT)
TPT diukur untuk mengetahui konsentrasi bahan terlarut. Alat yang
digunakan untuk mengukur TPT disebut refraktometer. Larutan sampel saat
sebelum dan setelah fermentasi diteteskan pada permukaan kaca refraktometer.
Tetesan tersebut diratakan dan ditutup dengan penutup refraktometer. TPT larutan

8

tersebut dapat dilihat pada skala yang tertera di dalam refraktometer melalui lensa
teropong.
Pengukuran pH
pH meter digunakan untuk mengukur pH larutan sampel saat sebelum dan
setelah fermentasi. Pengukuran pH dilakukan dengan memasukkan pH meter ke
dalam larutan sampel yang telah dimasukkan ke dalam gelas plastik. pH meter
didiamkan sekitar satu menit sampai pH yang tertera pada layar pH meter stabil.
Pengukuran Warna
Warna media yang belum difermentasi diukur dengan menggunakan
chromameter. Pengukuran warna diawali dengan pengambilan sampel, kemudian
dimasukkan ke dalam wadah sampel chromameter. Sampel ditembak dengan
chromameter, sehingga muncul angka-angka yang menunjukkan spesifikasi kelas
warna. Pengukuran sebanyak dua kali.
Pengukuran Kadar Gula Total
Pengukuran kadar gula total sampel menggunakan bantuan kurva standar
gula total (Lampiran 2 dan 3). Kurva standar yang dibuat terdiri atas larutan glukosa
dengan kensentrasi 0, 25, 50, 75, dan 100 ppm dalam volume 2 mL dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Masing-masing larutan glukosa tersebut ditambahkan fenol
5% 1 mL dan H2SO4 pekat 5 mL, kemudian didiamkan selama 10 menit dan
dikocok. Absorbansi larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 550 nm
(Dubois et al. 1956).
Metode pengukuran kadar gula total hampir sama dengan pengukuran
standar gula total. Perbedaan tersebut terletak pada larutan glukosa 2 mL diganti
dengan 1 gram sampel gula cair dan dilakukan pengenceran pada sampel. Larutan
sampel 1 gram diencerkan dengan menggunakan akuades sampai volume 100 mL
di dalam labu ukur. Larutan hasil pengenceran disaring dengan menggunakan kertas
saring. Larutan sampel hasil penyaringan diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan fenol 1 mL dan H2SO4 pekat 5 mL.
Pencampuran larutan H2SO4 pekat dilakukan di dalam ruang asam. Campuran
larutan tersebut didiamkan selama 10 menit dan dikocok.
Kadar gula total diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan nilai
absorbansi sampel. Nilai absorbansi diukur dengan alat spektrofotometer. Spektrofotometer dikalibrasi dengan larutan blangko. Larutan blangko dibuat dengan
mencampurkan akuades 1 mL, fenol 5% 1 mL, dan H2SO4 pekat 5 mL di dalam
tabung reaksi. Larutan blangko, larutan standar, dan larutan sampel dimasukkan ke
dalam kuvet, kemudian dimasukkan ke dalam spektrofotomer secara bergantian.
Nilai absorban dari masing-masing larutan standar dan sampel tersebut dapat
diketahui dari angka yang tertera pada spektrofotometer (Dubois et al. 1956).
Rumus kadar gula total (Dubois et al. 1956):

Kadar gula total (%) =

100
Absorbansi x
(sampel)
Slope
1000

x faktor pengenceran

9

Pengukuran Kadar Etanol
Kadar etanol sampel diukur dengan menggunakan alat kromatografi gas.
Kromatografi yang dipakai memiliki spesifikasi berupa gas pembawa N2, detektor
FID (250 oC), suhu final 100 oC, suhu initial 100 oC, suhu injektor 200 oC, dan suhu
detektor 250 oC. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan waktu retensi
sampel dengan waktu retensi standar etanol (Schaumloffel 2005).
Persamaan yang digunakan untuk mengukur kadar etanol sebagai berikut
(Schaumloffel 2005):
Kadar etanol (% ) = Luas area sampel x (standar)
Luas area standar
Analisis Data
Data yang diperoleh diuji dengan uji F menggunakan aplikasi perangkat
lunak SAS 9.1. Hasil yang ditunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5 %. Peubah yang diamati
terdiri atas Total Padatan Terlarut (TPT), pH, kadar gula total, dan kadar etanol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Padatan Terlarut (TPT)
Total padatan terlarut (TPT) adalah jumlah zat padat yang larut (dalam g)
setiap 100 g larutan. TPT diamati sebelum dan setelah pemberian Saccharomyces
cereviseae pada proses fermentasi. Analisis interaksi pada TPT sebelum fermentasi
antara perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase menunjukkan TPT
tertinggi 18.80 oBrix terjadi pada pengenceran dengan perbandingan pati dengan air
sebesar 1:4 (Tabel 1, 2, dan 3).
TPT setelah fermentasi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
TPT sebelum fermentasi (Tabel 4,5, dan 6). TPT tertinggi pada 24 jam setelah fermentasi berdasarkan analisis interaksi dengan perlakuan konsentrasi enzim
α-amilase dan glukoamilase terjadi pada pengenceran 1:4 dengan kadar TPT
13.90 oBrix.
Tabel 1 Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan
konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati
dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
18.70a(A)
18.20a(A)
18.80a(A)
a(A)
a(A)
17.80
18.20
17.90a(A)
17.50a(A)
18.40a(A)
18.50a(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

10

Tabel 2 Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan
pati dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
14.50b(C)
15.30b(B)
18.10a(A)
a(AB)
b(B)
15.60
15.10
16.50b(A)
a(B)
a(A)
16.00
16.60
12.20c(C)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 3 Nilai rata-rata TPT sebelum fermentasi pada masing-masing tiga perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan
pati dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
12.20b(C)
12.50b(B)
13.00b(A)
a(A)
a(AB)
13.10
13.20
13.50a(A)
a(A)
a(A)
13.00
13.00
13.00b(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 4 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
13.00a(A)
13.10a(A)
13.50a(A)
a(A)
a(A)
12.20
12.60
12.20a(A)
a(A)
a(A)
12.20
13.60a(A)
13.90

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 5 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
8.90a(B)
9.50a(B)
12.50a(A)
10.70a(A)
9.80a(A)
11.20a(A)
a(AB)
a(A)
10.20
6.50b(B)
11.70

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

11

Tabel 6 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 24 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
7.20a(A)
7.60a(A)
8.80a(A)
a(A)
a(A)
7.40
8.40
8.60a(A)
a(A)
a(A)
7.60
8.50
7.90a(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Penurunan TPT tidak hanya terjadi pada sebelum dan setelah 24 jam
fermentasi, melainkan juga terjadi pada 48 jam setelah fermentasi. Pengenceran 1:4
dengan perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase menghasilkan
analisis interaksi tertinggi dengan TPT sebesar 10.50 oBrix (Tabel 7, 8, dan 9).
TPT pada 72 jam setelah fermentasi mengalami penurunan jika disbandingkan dengan TPT pada 48 jam setelah fermentasi. Analisis interaksi antara konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase menghasilkan nilai TPT tertinggi
7.50 oBrix yang terjadi pada pengenceran 1:4 (Tabel 10, 11, dan 12).
TPT terus mengalami penurunan sampai masa akhir pengamatan 96 jam
fermentasi. Pengenceran 1:4 dengan perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan
glukoamilase menghasilkan analisis interaksi tertinggi dengan TPT sebesar
6.00 oBrix (Tabel 13, 14, dan 15).
Tabel 7 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
9.80a(A)
9.60a(A)
10.10a(A)
a(A)
a(A)
8.60
9.10
8.50b(A)
a(B)
a(A)
9.00
10.40
10.50a(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 8 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
6.20b(B)
6.50a(B)
9.40a(A)
a(AB)
a(B)
7.70
6.60
7.80b(A)
a(A)
a(A)
7.50
7.20
4.10c(B)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

12

Tabel 9 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 48 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
4.90a(B)
4.70a(B)
6.90a(A)
a(A)
a(A)
4.30
5.00
5.50b(A)
a(A)
a(A)
4.80
5.20
5.20b(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 10 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
6.90a(A)
6.60a(A)
7.50a(A)
a(A)
a(A)
5.90
6.60
5.20a(A)
a(A)
a(A)
6.40
7.20
6.30a(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 11 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
4.80a(B)
4.90a(B)
6.70a(A)
a(A)
a(A)
5.00
5.50
5.20b(A)
4.80a(AB)
5.00a(A)
3.80c(B)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 12 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 72 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:6
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
o
………… Brix………….
3.80a(B)
3.80a(B)
5.10a(A)
a(A)
a(A)
3.90
3.90
4.10b(A)
a(A)
a(A)
3.90
4.00
4.00b(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

13

Tabel 13 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:4
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
5.90a(A)
5.40a(A)
6.00a(A)
a(A)
a(A)
5.30
5.50
5.20b(A)
a(B)
a(B)
5.40
5.60
6.00a(A)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Tabel 14 Nilai rata-rata TPT setelah fermentasi 96 jam pada masing-masing tiga
perlakuan konsentrasi enzim α-amilase dan glukoamilase pada perbandingan pati dengan air 1:5
Konsentrasi enzim
glukoamilase
(mL kg-1)
0.8
1.0
1.2

Konsentrasi enzim α-amilase (mL kg-1)
0.8
1
1.2
…………oBrix………….
4.40c(B)
4.60b(AB)
5.30a(A)
a(A)
c(A)
5.00
4.40
5.00a(A)
b(A)
a(A)
4.80
4.80
3.60b(B)

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama atau huruf
kapital yang sama pada b