Analisis Spasial Konversi Lahan Sawah Menuju Ketahanan Beras Domestik di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH
MENUJU KETAHANAN BERAS DOMESTIK
DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

RIZKI LINTANG ERLANGGA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial
Konversi Lahan Sawah Menuju Ketahanan Beras Domestik di Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Rizki Lintang Erlangga
NIM A14080011

ABSTRAK
RIZKI LINTANG ERLANGGA. Analisis Spasial Konversi Lahan Sawah Menuju
Ketahanan Beras Domestik di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Dibimbing
oleh BABA BARUS dan KHURSATUL MUNIBAH.
Kabupaten Bogor mempunyai pertumbuhan penduduk, ekonomi, maupun
infrastruktur yang sangat cepat sehingga kebutuhan lahan untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal tumbuh dengan sangat cepat. Konversi lahan ke
pemukiman bersifat irreversible (tidak dapat balik) dan berdampak jangka
panjang. Sebagian besar yang dikonversikan adalah lahan sawah sehingga
berdampak terhadap ketahanan pangan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
sebaran sawah berdasarkan lereng dan jarak jalan, menganalisi sosial ekonomi
petani lahan sawah, dan mengetahui kecukupan beras domestik serta mengetahui
potensi ancaman ketahanan beras domestik akibat. Teknik analisis yang
digunakan adalah intrepretasi citra untuk mengetahui karakteristik

penggunaan/penutupan lahan dan melihat sebaran lahan sawah berdasarkan
kemiringan lereng dan jarak jalan, melihat karakteristik sosial ekonomi petani
lahan sawah dari hasil wawancara, regresi logistik untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi konversi lahan, perhitungan neraca beras, dan tumpang tindih
untuk mengetahui ancaman ketahanan beras. Penggunaan lahan di Kecamatan
Ciampea didominasi oleh tegalan, kebun campuran dan sawah. Keberadaan lahan
sawah dominan di daerah selatan dan sebagian kecil di daerah utara. Hasil dari
analisis regresi logistik biner diperoleh variabel luas sawah (X5) yang paling
berpengaruh nyata dan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata. Fungsi
persamaan yang diperoleh (Y) = -49.769 + 8.193X5. Berdasarkan tingkat
ancaman ketahanan beras, 9 desa termasuk kategori sedang dan 4 desa termasuk
kategori tinggi, sedangkan berdasarkan tingkat potensi konversi lahan sawah 8
desa termasuk kategori rendah, 2 desa termasuk kategori sedang dan 3 desa
termasuk kategori tinggi. Neraca beras di Kecamatan Ciampea dalam kondisi
defisit karena hampir seluruh desa mengalami defisit neraca beras dan hanya 1
desa yang surplus neraca beras. Kondisi ini mengancam pemenuhan kebutuhan
beras di Kecamatan Ciampea, sedangkan untuk tingkat potensi konversi lahan
sawah masih tergolong dominan tingkat rendah dan terancamnya ketahanan beras
domestik karena potensi ancaman beras dominan kategori sedang.
Kata kunci: Ciampea, Ketahanan Beras, Konversi Lahan, Lahan Sawah, Neraca

Beras, Sosial Ekonomi

ABSTRACT
RIZKI LINTANG ERLANGGA. Spasial Analysis of Paddy Fields Conversion in
Relation to Domestic Rice Security in Sub-district Ciampea Bogor Regency.
Supervised by BABA BARUS and KHURSATUL MUNIBAH.
Bogor regency has high of population growth, economy, and infrastructure
so that the need for residential land is also high. Land conversion to settlements is
irreversible (not-return) and has long-term impact. Conversion of paddy fields to

settlements has impact to food security. The aim of this research is to: analyze the
distibution of paddy fields based on slope and road distance, analyze
socioeconomic of paddy fields farmer and determine the adequacy of domestic
rice and the potential threat of domestic rice security due to. The techniques used
are the analysis of images to find out characteristics of land cover/use and see the
distribution of paddy fields by slope and distance of the road, determine the
socioeconomic characteristics of paddy field farmers through interviews, logistic
regression to determine factors affecting land conversion, calculation of the
balance of the rice, and overlay to find out rice security threat. The type of land
use in sub-district Ciampea dominated by dryland, mixed farming, and rice fields.

The existence of paddy fields and farming are dominant at southern regions and a
small portion is at the northern area. The result of regression analysis logistics
binary obtained that the variable of broad rice fields ( X5 ) has the most influential
factor.The equation is (Y) =-49.769 + 8.193X5. Based on the level of rice security
threat, 9 villages belong to categorized of medium and 4 villages belong to high
category, while based on level of potential rice fields conversion 8 villages belong
to categorize of low, 2 villages belong to medium category and 3 villages belong
to high category. The balance of rice in the sub-district Ciampea is deficit,
because almost entire village belong to deficit status and only one village has
surplus status. This condition has threaten the availability of rice while the level of
potential rice fields conversion dominanted by low category and has failed to
fullfil domestic food security in sub-district Ciampea, as it’s dominant villages
belong to medium category.
Keywords: Balance of Rice, Ciampea, Land Conversion, Paddy Fields, Rice
Security, Sosio-economic

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN SAWAH
MENUJU KETAHANAN BERAS DOMESTIK
DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR


RIZKI LINTANG ERLANGGA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Spasial Konversi Lahan Sawah Menuju Ketahanan Beras
Domestik di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
Nama
: Rizki Lintang Erlangga
NIM
: A14080011


Disetujui oleh

Dr Baba Barus, MSc
Pembimbing I

Dr Khursatul Munibah, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah

mitigasi bencana, dengan judul Analisis Spasial Konversi Lahan Sawah Menuju
Ketahanan Beras Domestik di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi para
pembacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Dr Baba Barus, M.Sc selaku pembimbing skripsi I dan Dr Khursatul
Munibah, M.Sc selaku pembimbing skripsi II yang telah memberikan
dukungan, perhatian dan masukan bagi penulis dalam kegiatan
penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Bambang Hendro Trisasongko, M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi
ini.
3. Keluarga yang saya cintai, ayah, ibu, kakak yang selalu berada di
samping penulis, senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian
motivasi dan mendoakn penulis setiap waktu.

4. Seluruh teman – teman MSL 45 dan adik kelas terima kasih atas
kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan.
5. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang telah membantu demi kesempurnaan
karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Rizki Lintang Erlangga

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Interpretasi Citra

2

Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

3

Alih Fungsi Lahan Pertanian

4

Konversi Lahan

5

Ketahanan Pangan

6


METODE

7

Waktu dan Tempat

7

Alat dan Bahan

7

Metode Penelitian

8

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

12

Kondisi Fisik

12

Kondisi Sosial dan Ekonomi

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Sebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kemiringan Lereng dan Jarak ke Jalan

13

Analisis Sosial dan Ekonomi Petani Lahan Sawah

17

Analisis Potensi Konversi Lahan Sawah

19

Data Spasial Potensi Konversi

21

Analisis Potensi Ancaman Ketahanan Beras Domestik

22

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

42

DAFTAR TABEL
Daftar Data Sekunder dan Sumber Data
Jumlah responden
Kelas Potensi Konversi
Tingkat Kategori Ancaman Ketahanan Beras
Karakteristik Penggunaan Lahan
Hasil Regresi Logistik untuk Faktor yang Mempengaruhi Konversi
Lahan Sawah

7
9
10
11
14
21

DAFTAR GAMBAR
Peta Lokasi Penelitian
Titik Pengamatan dan Titik Penyebaran Kuesioner
Diagram Alir Penelitian
Peta Penggunaan Lahan
Grafik Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kemiringan Lereng
Sawah Berterastering
Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Jarak Sawah dari Jalan
Keadaan Irigasi
Grafik Nilai Landrent Sawah
Keadaan Ekonomi Petani
Grafik Pola Pengusahaan
Grafik Pola Kepemilikan
Grafik Tingkat Keinganan Konversi
Peta Potensi Konversi Lahan Sawah
Peta Neraca Beras
Peta Potensi Ancaman Ketahanan Beras

7
8
12
15
15
16
16
17
18
18
18
18
19
21
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
Kuesioner Lapangan
Data Perhitungan Neraca Beras per Desa di Kecamatan Ciampea
Karakteristik Sosial Ekonomi
Karakteristik Fisik Sawah
Data Kepemilikan Sawah
Data Pola Tanam

27
32
33
35
37
39

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan
jumlah penduduk terbesar dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Menurut
BPS tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat mencapai 47 juta jiwa dan
kabupaten yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Bogor
mencapai 11 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 3,13% untuk
tahun 2009-2010. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah penyangga
Ibukota. Dengan Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga Ibukota akan
berpengaruh pada pertumbuhan penduduk, ekonomi, maupun infrastruktur akan
meningkat sangat cepat sehingga kebutuhan akan tempat tinggal sangat tinggi.
Berdasarkan data BPS (2006), jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada
tahun 2001 berupa pemukiman, jasa dan industri sebesar 314658 Ha dan pada
tahun 2006 meningkat menjadi 319862 Ha.
Berkurangnya lahan sawah yang ada di Kabupaten Bogor akibat adanya
konversi lahan yang berdampak pada ketahanan pangan di Kabupaten Bogor
sehingga berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat Kabupaten
Bogor yang saat ini masih minus. Menurut Suryana (2010), ketahanan pangan
sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas
politik dan keamanan atau ketahanan nasional. Dalam UU No. 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau dalam cakupan satu daerah.
Ini terlihat dari salah satu kecamatannya yaitu Kecamatan Ciampea, dimana
sudah banyak konversi lahan dari lahan sawah ke lahan non sawah seperti
perumahan. Terlihat dari kurun waktu 2000 – 2007 luas lahan permukiman di
Kecamatan Ciampea mengalami peningkatan sebesar 337 Ha dari 1080 Ha
menjadi 1417 Ha dengan laju pertumbuhan hingga 3,96% per tahun (Laporan
Tahunan Kecamatan Ciampea, 2008). Selain itu, Kecamatan Ciampea juga dilalui
jalan nasional yang menghubungkan Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dan
adanya perbaikan akses jalan di desa sehingga bermunculan pemukiman –
pemukiman baru.
Penelitian ini menjadi penting karena konversi lahan yang telah terjadi sulit
untuk dikendalikan. Kondisi ini terlihat jelas di Kecamatan Ciampea yang terus
menerus melakukan pembangunan khususnya perumahan di kawasan pertanian
(lahan sawah). Kecamatan Ciampea merupakan salah satu wilayah yang memiliki
potensi yang baik untuk lahan pertanian lahan basah.
Konversi lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat balik) dan
berdampak jangka panjang, karenanya jika sudah tekonversi maka kecil
kemungkinan untuk dapat dikembalikan lagi ke penggunaan awal. Sebagian besar
lahan yang dikonversikan adalah lahan pertanian terutama lahan sawah.
Terkait dengan hal tersebut, perlu adanya perlindungan terhadap lahan
pertanian terutama lahan sawah sehingga pemenuhan kebutuhan pangan secara
lokal dapat terpenuhi. Undang – undang yang mengatur hal tersebut sudah ada

2
yaitu UU No.41 2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dan PP No.1 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian Berkelanjutan, tetapi masih perlu diaplikasikan di lapangan. Peraturan
ini berperan untuk menjaga agar laju alih fungsi lahan dapat dikurangi. Peraturan
ini diharapkan juga dapat mengatasi permasalahan yang menjadi penyebab
perubahan alih fungsi lahan pada lahan sawah.
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan ketahanan pangan
suatu daerah dalam hal kemerataan pangan bagi seluruh rumah tangga di daerah
tersebut. Selain itu, penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah
Kecamatan Ciampea dalam membuat kebijakan untuk mempertahankan lahan
sawah yang ada.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis sebaran lahan sawah berdasarkan lereng dan jarak jalan
2. Menganalisis sosial ekonomi petani lahan sawah
3. Mengetahui kecukupan beras domestik dan potensi ancaman ketahanan beras
domestik akibat konversi lahan

TINJAUAN PUSTAKA
Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar pada citra dan
menilai arti penting obyek tersebut (Este dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1986).
Rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan objek yang tergambar
pada citra, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi merupaka pengamatan
atas ada atau tidaknya suatu objek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk
mencirikan objek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup,
yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Tahap analisis merupakan tahap
dikumpulkannya keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan
Simonett 1975 dalam Sutanto 1986).
Sembilan unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh Sutanto (1986),
yaitu:
1) Rona, menunjukan adanya tingkat keabuan yang teramati pada foto
udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara
logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala
keabuan.
2) Warna, dapat dipresentasikan terhadap tiga unsur (hue, value, chroma)
dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada
kertas cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada
perbedaan rona pada foto udara hitam putih.
3) Ukuran memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan stereoskop
untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam
pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon
anakan, dan semak.

3
4) Bentuk, bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk
merujuk pada konfigurasi umum suati objek sebagaimana terekam
pada citra penginderaan jauh.
5) Tekstur, perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara
dengan resolusi citra spasial yang semakin baik. Tekstur merupakan
frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara.
6) Bayangan, berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek
7) Pola, merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk
mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya
pengulangan kenampakan – kenampakan alami. Sering berasosiasi
dengan geologi, topografi tanah, iklim, dan komunitas tanaman.
8) Situs, menjelaskan tentang posisi muka bumi dan citra yang diamati
dalam kaitannya dengan kenampakan disekitarnya atau berkonotasi
terhadap gabungan faktor – faktor lingkungan yang mempengaruhi
karakteristik makro objek.
9) Asosiasi, menunjukan suatu komunitas objek yang memiliki
keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat
dimana masing – masing membentuk keberadaan yang lainnya.
Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan
Lahan merupakan dataran bumi yang ciri – cirinya mencakup segala tanda
pengenal, baik yang bersifat cukup mantap maupun yang dapat diramalkan
bersifat mendaur, dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi dan populasi
tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau dan masa
kini, sejauh tanda – tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh atas
penggunaan lahan oleh manusia pada masa kini dan masa datang (FAO dalam
Sitorus 1992). Penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek – objek yang
menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek – objek
tersebut (Lillesand dan Kiefer 1997).
Berbeda dengan penutupan lahan, menurut Lillesand dan Kiefer (1997)
penggunaan lahan merupakan perwujudan fisik objek – objek yang menutupi
lahan dan berkembang dengan kegiatan manusia pada bidang – bidang lahan
tersebut. Sitorus (1992) menyatakan bahwa penggunaan lahan adalah penggunaan
utama atau penggunaan kedua (apabila merupakan penggunaan berganda) dari
sebidang lahan seperti lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput, dan
sebagainya, jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat.
Penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual
(Arsyad 1989).
Secara garis besar, penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian merupakan penggunaan semua sumber – sumber
alam yang bertujuan untuk memperoleh hasil produksi pertanian bagi kehidupan
manusia dan dibedakan atas tegalan, sawah, kebun karet, padang rumput, hutan
produksi, padang alang – alang dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan non
pertanian dibedakan menjadi penggunaan kota atau desa (permukiman), industri,
rekreasi, pertambangan dan sebagaianya (Arsyad 2000).

4

Alih Fungsi Lahan Pertanian
Menurut PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian Berkelanjutan, alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah
perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan lahan
pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.
Permasalahan sektor pertanian di Indonesia sebagian besar terkait dengan
pertanahan adalah terbatasnya sumber daya tanah yang cocok untuk kegiatan
pertanian, sempitnya tanah pertanian per kapita (900 m2/kapita), makin
banyaknya petani gurem (kurang dari 0,5 Ha per keluarga), tidak amannya status
penguasaan tanah (land tenure), dan cepatnya konversi tanah pertanian menjadi
non-pertanian (Kurnia dalam Akib 2002).
Berdasarkan penelitian Hadinata dan Sugiyantoro (2011), di daerah
Kabupaten Bandung mengalami alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dari
tahun 2004 – 2011 sebesar 4,96%, alih fungsi lahan ini disebabkan oleh tekanan
kenaikan jumlah penduduk yang berdampak akan kebutuhan ruang. Selain itu
faktor penyebab alih fungsi tanah pertanian adalah, lokasi tanah pertanian banyak
diminati untuk kegiatan non-pertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor
pertanian, fragmentasi tanah pertanian, kepentingan pembangunan wilayah yang
seringkali mengorbankan sektor pertanian, dan lemahnya peraturan dan
penegakan hukum.
Lebih lanjut lagi, masalah pengelolaan pertanahan dalam pengendalian
alih fungsi tanah pertanian adalah belum adanya peraturan perundangan yang
secara khusus mencegah alih fungsi tanah pertanian. Akan tetapi ada peraturan
perundangan yang terkait dengan alih fungsi lahan pertanian misalnya pada UU
No. 24 Tahun 1992 tentang Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan
Budidaya Pangan/SIT. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena
tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala
mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit
dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang
terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion 2003).
Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada adalah : (i) Objek
lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan
kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga
konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (ii)
Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang
jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika
terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena
ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi (Simatupang dan Irawan
2002).
Untuk itu diperlukan penetapan tanah pertanian yang dilindungi. Saat ini,
proses administrasi pertanahan untuk tanah pertanian mengacu pada arahan
peruntukan dalam RTRW, dengan memberikan persyaratan penggunaan dan
pemanfaatan tanah (PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah). Selain itu, saat
ini sudah ada beberapa peraturan perundangan yang terkait sekaligus
mengkhususkan mengenai perlindungan tanah pertanian antara lain UU No. 41

5
tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No.
1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan,
serta pada Permen No. 7 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan
Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsi semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan
tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan
disebabkan oleh faktor – faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Utomo 1992).
Menurut Houghton (1991) terdapat tujuh tipe perubahan tata guna lahan dalam
perubahan stok karbon, yaitu konversi ekosistem alami menjadi ladang, konversi
ekosistem alami menjadi lahan pertanian budidaya, ladang terbengkalai,
peternakan terbengkalai, hutan produksi kayu dan daerah penghijaun.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan
pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi
lahan dipengaruhi dua faktro utama, yaitu:
1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan
pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan kemiskinan
ekonomi.
2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur
ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi
rumah tangga), dan strategi bertahan rumah tangga.
Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Rusli dalam Hidayati (2013) mengungkapkan bahwa dengan
meningkatnya jumlah penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin
besar, sekali pun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk
menyebalkan persediaan lahan semakin kecil.
Persediaan lahan akan semakin kecil seiring dengan adanya alih fungsi
lahan yang terus terjadi. Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan Ismail
dalam Hidayati (2013) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa
konversi lahan mengakibatkan: (1) penurunan luas lahan pertanian di Kota
Medan dari tahun 2001 sampai 2008 sebesar 4088 Ha atau berkurang sebesar
36.5% dari luas lahan pertanian tahun 2001. (2) hasil analisis menunjukan bahwa
faktor – faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam
menjual lahan mereka adalah produktivitas dan proporsi pendapatan dengan
derajat kepercayaan 5%, sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan adalah
harga jual lahan dan luas lahan, sedangkan faktor yang kebijakan dan pajak tidak
langsung mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Irawan (2005)
menunjukan bahwa dari tahun 2000 – 2002 luas konversi lahan untuk kegiatan

6
pembangunan nonpertanian mencapai 110,16 ribu hektar per tahun (58,68% dari
total luas sawah yang dikonversi). Menurut Irawan (2005), konversi lahan pada
dasarnya akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan oleh sektor
pertanian dan sektor nonpertanian. Banyak faktor yang melatarbelakangi
terjadinya persaingan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepentingan masing –
masing pihak secara sosial maupun ekonomi.
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah masalah yang sangat serius bagi sebuah negara.
Pemantapan ketahanan pangan merupakan prioritas utama pembangunan, karena
pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi manusia. Pengertian
ketahanan pangan menurut UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan kemandirian pangan adalah
kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan
ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang
cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun
harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber – sumber pangan yang
beragam sesuai keragaman lokal.
Menurut Suryana (2001) ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan
ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, politik dan keamanan atau ketahanan
nasional. Dua komponen yang utama dalam perwujudan ketahanan pangan yaitu
adanya peningkatan kebutuhan pangan yang sejalan dengan adanya peningkatan
penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh
pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan lebih mudah (Suryana 2002).
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Rachman et. al (2005),
menunjukan keberlanjutan ketahanan pangan nasional secara agregat
(Kkal/kapita/hari) cukup baik, stabil dan terjamin Untuk komoditas beras tingkat
kemandiriannya cukup baik ditunjukan oleh rataan tingkat ketergantungan
ketersediaan terhadap produksi domestik sebesar 96 persen, sedangkan rataan
ketergantungan terhadap impor sebesar 5.1 persen per tahun pada kurun waktu
tahun 1969 – 2001.
Indonesia selalu dikenal sebagai negara agraris, ternyata untuk mencapai
target ini bukanlah hal mudah. Lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih
fungsi lahan hanya salah satu kendalanya. Di sisi lain, di banyak daerah di
Indonesia, bahkan di daerah permukiman sering ditemukan lahan-lahan terlantar
yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Maka, demi terwujudnya ketahanan
pangan di Indonesia, pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan untuk
kembali memaksimalkan sektor pertanian. Salah satunya adalah dengan
mengoptimalisasi lahan terlantar.

7

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini terdiri diri
pengamatan di lapang dan
analisis
data
spasial.
Pengamatan
di
lapang
berlokasi
di
Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor
(Gambar
1).
Sedangkan
analisis data spasial dilakukan
di Divisi Penginderaan Jauh
dan
Informasi
Spasial,
Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dimulai pada
bulan April 2013 sampai bulan
Desember 2013.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Pada penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri dari hasil wawancara terhadap responden petani. Data sekunder
terdiri dari peta sawah Kabupaten Bogor, peta kemiringan lereng, peta jaringan
jalan, peta administrasi Kecamatan Ciampea, citra Ikonos Kabupaten Bogor, peta
rupa bumi Ciampea, dan data potensi desa Kecamatan Ciampea. Data yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar Data Sekunder dan Sumber Data
No.
1.
2.
3.
4.

Data
Peta Administrasi Kecamatan Ciampea
Peta Rupa Bumi Kecamatan Ciampea
Data Potensi Desa Kecamatan Ciampea
tahun 2012
Peta Kemiringan Lereng

5.
6.
7.

Peta Jaringan Jalan
Citra Ikonos Kabupaten Bogor 2010
Peta Sawah Kabupaten Bogor

Sumber
Badan Informasi Geospasial
Badan Informasi Geospasial
Badan Pusat Statistik
Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Wilayah (P4W-IPB)
Badan Informasi Geospasial
Kementerian Pertanian
Kementerian Pertanian

8
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer
dengan perangkat lunak berupa ArcGIS 9.3, Microsoft Excel, SPSS 18 serta
penggunaan alat GPS Garmin GPSMap 78s.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan,
tahap interpretasi citra, tahap survei lapang, tahap analisis data. Secara ringkas
tahap penelitian disajikan pada Gambar 2.
Tahap Persiapan
Persiapan meliputi pemilihan topik penelitian, studi literatur, dan
pengumpulan data-data sekunder yang diperlukan untuk penelitian. Pada tahap ini
juga dilakukan pembuatan kuesioner terstruktur atau pedoman pertanyaan.
Tahap Interpretasi Citra
Interpretasi dilakukan pada
citra Ikonos untuk identifikasi
penutupan/penggunaan
lahan.
Hasil interpretasi penutupan/
penggunaan lahan melalui citra
Ikonos yang didukung dengan
verifikasi lapang.
Pada tahap klasifikasi
penutupan/penggunanaan lahan
ini mengacu berdasarkan Standar
Klasifikasi Penutup Lahan Skala
1:50.000 yang dikeluarkan oleh
Badan Standarisasi Nasional.
Hasil pada tahap interpretasi citra
adalah
peta
penutupan/
penggunaan lahan tahun 2010.

Gambar 2. Titik Pengamatan dan Titik
Penyebaran Kuesioner
Tahap Survei Lapang
Survei lapang dilakukan dengan metode Simple Random Sampling (Sampel
Acak Sederhana). Pada tahap dilakukan verifikasi untuk mengetahui kesesuaian
hasil interpretasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan serta melakukan
dokumentasi kegiatan dalam bentuk foto.
Selain itu, pada tahap ini dilakukan pengambilan data primer dengan
menggunakan kuesioner. Jumlah kuesioner yang disebarkan di seluruh Kecamatan

9
Ciampea adalah 50 buah. Penyebaran responden ditetapkan berdasarkan jumlah
luasan sawah yang ada di masing – masing desa, jika luasan sawah makin luas
maka jumlah kuesioner yang disebar akan lebih banyak (Tabel 2). Selama
pengambilan data primer, wawancara dengan petani (petani penggarap maupun
petani pemilik) dilakukan di lahan sawah responden dan untuk mendapatkan
informasi lebih detil tentang keadaan sawah, keadaan ekonomi sosial rumah
tangga petani, minat petani dalam pertanian dan minat petani untuk mengkonversi
lahan sawah yang dimiliki. Selain itu, penelitian ini memiliki 158 titik
pengamatan yang diamati untuk melihat wilayah yang terindikasi mengalami
perubahan berdasarkan informasi dari masyarakat pada saat di lapangan dan
jaringan jalan.
Tabel 2 Jumlah responden
Desa
Ciampea
Benteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Ciampea Udik
Bojong Rangkas
Cibadak
Cibanteng
Cinangka
Tegal Waru
Cicadas
Cibuntu
Bojong Jengkol

Luas sawah (Ha)
20.09
35.44
55.76
117.92
137.65
10.69
18.7
2.51
85.99
20.96
37.08
84.73
59.92

Jumlah responden
2
2
5
7
7
1
3
1
4
5
4
5
3

Tahap Analisis
1. Analisis sebaran lahan sawah berdasarkan kemiringan lereng dan jarak
jalan
Analisis sebaran lahan sawah berdasarkan lereng dan jarak jalan dilakukan
dengan interpretasi lahan sawah secara visual pada citra dengan pendekatan unsur
– unsur interpretasi yaitu rona, tekstur, ukuran, bentuk, pola, bayangan, site dan
asosiasi, kemudian dilakukan penarikan batas (dijitasi) pada layar komputer (on
screen) dan selanjutnya akan ditumpang tindihkan dengan peta kemiringan lereng
dan peta buffer jalan untuk melihat persebaran lahan sawah berdasarkan
kemiringan lereng dan jarak jalan.
2. Analisis karakteristik sosial ekonomi petani lahan sawah
Analisis karakteristik sosial ekonomi petani lahan sawah dilakukan dengan
melihat karakteristik sosial ekonomi petani dari hasil wawancara yang dilakukan
menggunakan kuesioner. Karakteristik sosial antara lain: pola kepemilikan, pola
pengusahaan. Sedangkan karakteristik ekonomi antara lain: landrent sawah dan
kecukupan ekonomi petani.
3. Analisis potensi konversi lahan sawah
Untuk mengetahui potensi konversi lahan sawah dilakukan dengan cara
analisis regresi logistik biner dengan faktor: pola kepemilikan, pola pengusahaan,

10
kemiringan lereng, jarak sawah ke jalan, keadaan saluran irigasi, landrent sawah,
serta keadaan ekonomi responden petani. Data yang digunakan untuk analisis
regresi linier biner adalah data wawancara responden petani berupa data persepsi
dari masing – masing responden petani.
Model yang digunakan pada regresi logistik biner adalah
� � (�⁄ − �) = � + � � + � � +. . +�8 �8
Dimana:
Log (P/1-P)
= Y (keinginan mengkonversi lahan sawah)
β
= Koefisien
X1
= Landrent sawah
X2
= Keadaan ekonomi
X3
= Jarak sawah ke jalan
X4
= Kemiringan lereng
X5
= Luas sawah
X6
= Keadaan irigasi
X7
= Pola kepemilikan
X8
= Pola pengusahaan
Hasil dari model yang digunakan akan mendapatkan faktor yang paling
berpengaruh terhadap konversi lahan sawah yang terjadi. Setelah mendapatkan
faktor tersebut akan dilakukan pengklasifikasian faktor tersebut.
Batas kelas klasifikasi berdasarkan pada data rata – rata luas lahan
kepemilikan sawah per desa di daerah penelitian dan berdasarkan pada rata – rata
luas lahan kepemilikan lahan sawah petani yaitu kurang dari 0.5 Ha (Kurnia
dalam Akib 2002), seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Kelas Potensi Konversi
Kelas Potensi Konversi
Rendah
Sedang
Tinggi

Luas Sawah (Ha)
≤ 0.5
0.5 – 1
≥1

Contoh perhitungan rata – rata luas lahan kepemilikan sawah:
Desa Cihideung Ilir
Perbandingan petani pemilik (PP) : petani penggarap (PPg) (dari hasil kuesioner):
3:2
Luas sawah Desa Cihideung Ilir: 55.76 Ha
Jumlah petani di desa Cihideung Ilir: 2610 orang



ℎ �� = �

∗�

= ⁄ ∗
=



� ℎ






�� ⁄�

�� =
=

.








� ℎ
= . �

ℎ ��


11
4. Analisis kecukupan beras domestik
Untuk mengetahui potensi dari ancaman ketahanan pangan dilakukan
dengan menghitung neraca pangan. Perhitungan neraca pangan dilakukan dengan
pendekatan surplus dan defisit produksi beras. Pendekatan ini didasarkan asumsi
luasan dan sebaran lokasi sawah tetap seperti saat ini. Surplus dan defisit beras
dihitung berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan beras.
Pendekatan ini menggunakan data jumlah penduduk, standar kebutuhan,
beras per kapita Kabupaten Bogor, produktifitas lahan per desa, indeks
pertanaman rata – rata per desa dan sebaran luas lahan sawah aktual. Persamaan
untuk menghitung status kecukupan pangan (surplus/defisit) beras adalah sebagai
berikut:
Sk i  ( Asi * Y pi * IPpi * C )  ( Pi * S j ) dimana :
Ski = Status kecukupan atau surplus/minus beras di setiap wilayah desa
ke-i
Asi = Luas sawah baku di wilayah desa ke-i
Ypi = Produktifitas padi di wilayah desa ke-i
IPpi = Indeks pertanaman padi rata-rata di wilayah desa ke-i
Pi
= Jumlah penduduk di wilayah desa ke-i
Sj
= Standar konsumsi pangan ke-j, dimana j = standar konsumsi beras
Kabupaten Bogor (105.86 kg/kapita)
C
= Faktor konversi dari gabah ke beras dengan nilai konstanta sebesar
0,6274 (Suhari S 2011)

5. Analisis ancaman ketahanan beras domestik
Analisis ancaman ketahanan beras dibuat melalui proses overlay antara peta
potensi konversi dengan peta neraca beras. Kombinasi ini menghasilkan peta
potensi ancaman ketahanan beras. Pengkategorian berdasarkan hasil tumpang
tindih antara peta potensi konversi dengan peta neraca beras dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat Kategori Ancaman Ketahanan Beras
Tingkat Konversi
Status Neraca

Tinggi

Sedang

Rendah

Defisit

Tinggi

Tinggi

Sedang

Surplus

Sedang

Rendah

Rendah

12

Hasil Wawancara
1. Kondisi ekonomi petani
2. Luas sawah
3. Pola kepemilikan
4. Pola pengusahaan
5. Kondisi saluran irigasi
6. Landrent
7. Kemiringan lereng
8. Jarak sawah ke jalan

Peta
Sawah

Verifikasi dan
Dijitasi

Jumlah Penduduk
per Desa

Peta Kemiringan
Lereng

Analisis faktor yang
mempengaruhi terjadinya
konversi lahan sawah
(Analisis Regresi Logistik)

Peta Potensi Konversi
Lahan Sawah

Citra Ikonos
Kabupaten Bogor
2010

Data Podes
Kecamatan
Ciampea 2012

Peta Penggunaan Lahan

Peta Buffer
Jalan

Peta Neraca Beras

Peta Persebaran
Sawah Berdasarkan
Kemiringan Lereng

Peta Potensi Ancaman Pangan

Peta Persebaran
Sawah
Berdasarkan Jalan

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kecamatan Ciampea adalah salah satu kecamatan yang berada di daerah
Kabupaten Bogor. Secara geografis Kecamatan Ciampea terletak diantara 06.528°
sampai 06.63° Lintang Selatan dan 106.729° sampai 106.673° Bujur Timur. Batas
administrasi wilayah Kecamatan Ciampea berbatasan dengan kecamatan –
kecamatan: sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan
dengan Kecamatan Tenjolaya dan Kecamatan Pamijahan, sebelah timur dengan
Kecamatan Dramaga, dan sebelah barat dengan Kecamatan Cibungbulang.
Secara administrasi Kecamatan Ciampea terdiri dari 13 desa yaitu Ciampea,
Tegal Waru, Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Cibadak, Cinangka, Ciampea
Udik, Cibuntu, Cihideung Ilir, Cihideung Udik, Cibanteng dan Benteng.
Kecamatan Ciampea memiliki kontur yang terdiri dari dataran sampai
berombak sekitar 45 persen dan berombak sampai berbukit sekitar 55 persen dari
luas keseluruhan wilayah Kecamatan Ciampea. Daerah dataran sampai berombak
umumnya berada di kawasan sebelah utara sedangkan daerah berombak sampai

13
berbukit berada di kawasan sebelah selatan. Ketinggian wilayah antara 170 – 350
meter dari permukaan laut dan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam.
Kecamatan Ciampea memiliki gunung kapur yang berada di desa Ciampea
yang sekaligus berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang. Selain itu
Kecamatan Ciampea juga dilewati sungai yaitu sungai Ciampea yang tepat berada
di tengah Kecamatan Ciampea. Kecamatan Ciampea umumnya termasuk beriklim
tropis. Kisaran suhu udara di Kecamatan Ciampea adalah 20°C - 30°C dan
banyaknya curah hujan sekitar 278 mm.
Kondisi Sosial dan Ekonomi
Jumlah penduduk Kecamatan Ciampea pada sensus terakhir tahun 2012
mencapai 149.568 jiwa yang terdiri dari 77.176 orang laki – laki dan 72.391 orang
perempuan serta tercatat sebanyak 32.787 kepala keluarga (BPS 2013). Kepadatan
penduduk Kecamatan Ciampea mencapai 200 jiwa/km2. Jumlah angkatan kerja
adalah 76.144 jiwa, yang terdiri dari laki – laki sebanyak 37.876 jiwa dan
perempuan sebanyak 38.268 jiwa. Pekerjaan penduduk Kecamatan Ciampea
beraneka ragam, tetapi sebagian besar bekerja sebagai petani, pedagang dan buruh.
Sarana perekonomian yang ada di Kecamatan Ciampea antara lain Koperasi
Unit Desa (KUD) sebanyak 12 unit, koperasi produksi sebanyak 5 unit, koperasi
lainnya sebanyak 3 unit, pasar umum sebanyak 1 unit, pasar bangunan permanen
sebanyak 1 unit, pasar bangunan semi permanen sebanyak 401 unit,
toko/kios/warung sebanyak 645 unit, dan Bank sebanyak 1 unit. Disamping itu, di
Kecamatan Ciampea juga terdapat industri mulai dari industri kecil hingga
industri besar. Jumlah industri besar adalah sebanyak 17 lokasi, industri sedang
sebanyak 12 lokasi, industri kecil sebanyak 75 lokasi, dan Usaha Kecil Mikro
(UKM) sebanyak 460 lokasi.
Semua industri – industri tersebut tersebar di 13 desa yang ada di
Kecamatan Ciampea. Jenis usaha lain yang berkontribusi bagi perekonomian
Kecamatan Ciampea adalah rumah makan/warung makan sebanyak 46 unit dan
perdagangan sebanyak 670 unit.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kemiringan Lereng dan Jarak ke Jalan
Penggunaan lahan di Kecamatan Ciampea terdiri dari 6 kelas yaitu sawah,
tegalan, semak, lahan terbangun, kebun campuran, dan lahan terbuka.
Penggunaan/penutupan lahan di Kecamatan Ciampea didominasi oleh tegalan
dengan luasan 1117.7 Ha (34.63%), kebun campuran dengan luasan 726.2 Ha
(22.5%) dan sawah dengan luasan 687.4 Ha (21.3%) terlihat pada Tabel 5.

14
Tabel 5. Karakteristik Penggunaan Lahan
No
1.

Kelas
Luas (ha)
Sawah
687.4

2.

Tegalan
1117.7

3.

Lahan
terbangun
650.3

4.

Kebun
campuran
726.2

5.

Semak
45.2

6.

Lahan
terbuka
16.4

Kenampakan
pada citra

Keterangan
Pertanian lahan
basah
yang
ditanam semusim.
Tanaman berupa
padi
Pertanian lahan
kering
yang
ditanam semusim.
Tanaman berupa
selain padi

Rona hijau terang
hingga gelap, bentuk
persegi dan tidak
beraturan.
Dekat
permukiman
dan
tubuh air.
Rona hijau terang
hingga
kecoklatan,
bentuk persegi dan
tidak beraturan. Dekat
permukiman.

Area yang telah Rona coklat, bentuk
mengalami
tidak beraturan. Dekat
substitusi penutup dengan jaringan jalan.
lahan

Lahan
yang Rona hijau tua, bentuk
ditumbuhi
tidak beraturan, dekat
vegetasi
dan dengan permukiman
berada di sekitar
permukiman
Lahan
kering Rona hijau terang,
yang ditumbuhi tekstur halus, bentuk
vegetasi
tidak
beraturan,
menyebar.

Lahan
tanpa Rona putih hingga
tutupan lahan
kecoklatan,
bentuk
tidak
beraturan,
mengumpul.

15
Persebaran sawah yang
ditemukan tidak merata di
seluruh desa. Hanya desa di
daerah selatan seperti Desa
Ciampea
Udik,
Cibuntu,
Cihideung Ilir, Cihideung Udik,
dan Cinangka memiliki luas
lahan sawah yang besar
sedangkan semakin ke utara
luasan lahan sawah makin kecil
(Gambar
4).
Dari
hasil
wawancara diperoleh informasi
bahwa luasan sawah di sebelah
utara lebih sedikit disebabkan
adanya alih fungsi lahan sawah
menjadi non sawah. Lahan yang
dibudidayakan terkonversi akan
berakibat
buruk
terhadap
ketahanan pangan (Deng et al.
2006).

Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan
300
250

Luas sawah (Ha)

Persebaran lahan sawah
berdasarkan kemiringan lereng
dominan tersebar di daerah
berlereng landai (9% - 15%) dan
di daerah berlereng agak curam
(16% - 25%) (Gambar 5). Desa
yang menjadi pusat lahan sawah
berada di daerah berlereng landai
dan agak curam seperti: Desa
Ciampea Udik, Cihideung Udik
dan beberapa desa yang berada di
sebelah
selatan.
Tingginya
jumlah sawah yang berada di
daerah berlereng agak curam
terlihat pada banyaknya sawah
yang berterasering (Gambar 6).

200
150
100
50
0
datar landai agak curam sangat
curam
curam

Kelas lereng

Gambar 5. Grafik Persebaran Lahan Sawah
Berdasarkan Kemiringan Lereng

16
Rendahnya persebaran sawah di daerah berlereng datar disebabkan sawah
sudah banyak mengalami konversi menjadi non sawah. Tingginya konversi lahan
sawah yang berada di daerah berlereng datar menyebabkan para petani
menggunakan lahan – lahan yang berada di daerah yang berlereng agak curam
untuk melakukan usaha tani mereka.
Persebaran lahan sawah berdasarkan jarak sawah dari jalan
memperlihatkan konversi lahan sawah menjadi non sawah. Berdasarkan hasil
penelitian Rustiadi dan Barus (2012), memperlihatkan bahwa secara umum luas
konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah semakin besar pada jarak yang
semakin dekat dengan jalan.
600

Luas sawah (ha)

500
400
300
200
100
0

Jarak sawah dari jalan (meter)

Gambar 6. Sawah Berterastering

Gambar 7. Persebaran Lahan Sawah
Berdasarkan Jarak Sawah dari Jalan

Berbeda dengan yang ada Kecamatan Ciampea terlihat dominan di daerah
dengan jarak sawah ke jalan 0 – 200 m (Gambar 7). Di Kecamatan Ciampea
terdapat beberapa kategori jalan diantara lain: jalan setapak, jalan lokal, jalan
kabupaten dan jalan provinsi. Pada daerah yang dominan sawah tersebut
sebagaian besar merupakan jalan dengan kategori jalan lokal dan jalan setapak.
Sedangkan untuk di jalan kabupaten dan jalan provinsi semakin dekat dengan
kategori jalan tersebut maka jumlah sawah semakin sedikit dan dapat dikatakan
tidak ada. Kemudahan akses menuju ke sawah dan tingginya keinginan tetap
bekerja di sawah diduga menjadi pilihan petani tetap mempertahankan sawahnya
yang berada di jarak 0 – 200 m.
Keadaan saluran irigasi dikatakan buruk jika saluran sudah tidak dapat
mengalirkan air pada saat musim kering, penuh dengan sampah – sampah dari
rumah tangga serta keadaan saluran irigasi sudah tidak ada perawatan. Sedangkan
keadaan saluran irigasi dikatakan baik jika saluran masih dapat mengalirkan air
baik dalam volume banyak maupun sedikit baik pada musim kemarau atau musim
hujan serta keadaan saluran irigasi masih terawat. Pengkategorian ini dilakukan
secara subyektif dengan melihat langsung keadaan saluran irigasi.
Terbengkalainya saluran irigasi merupakan salah satu aspek yang
mempengaruhi produktivitas pertanian khususnya ketersediaan beras (Lemhanas
2013). Keadaan saluran irigasi di Kecamatan Ciampea sebagian besar dalam

17

6
5
4
3
2
1
0
Ciampea
Benteng
Cibanteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Bojong Jengkol
Cinangka
Bojong Rangkas
Cibadak
Cicadas
Cibuntu
Ciampea Udik
Tegal Waru

Jumlah responden

kondisi buruk. Hanya sebagian kecil wilayah keadaan irigasi masih dalam kondisi
baik (Gambar 8). Hasil wawancara responden, diketahui bahwa kerusakan saluran
irigasi ini lebih disebabkan oleh kurang adanya perawatan dari pihak – pihak yang
terkait maupun dari petani itu sendiri. Keadaan saluran irigasi yang buruk
dominan berada di daerah utara.
Kegiatan usaha tani yang berlokasi pada air irigasi yang terjamin akan
memberikan hasil produksi yang lebih tinggi daripada usaha tani yang tidak
terjamin air irigasinya (Kallo 1983). Pernyataan ini sesuai dengan keadaan di
Kecamatan Ciampea yang keadaan saluran irigasinya dalam keadaan buruk yang
menyebabkan rata – rata produktivitas beras di Kecamatan Ciampea hanya 4.16
ton/Ha dan masih dibawah rata – rata produktivitas beras Kabupaten Bogor 5.4
ton/Ha (BPS 2013).
Analisis Sosial dan Ekonomi Petani
8
Lahan Sawah
7

Baik

Buruk

Potensi konversi lahan sawah
disebabkan oleh beberapa faktor
salah satunya urbanisasi (Pandey dan
Seto 2013). Pada penelitian ini lebih
khusus membahas karakteristik dari
sawah yang ada di Kecamatan
Ciampea dengan melihat karakteristik
ekonomi (keadaan ekonomi petani,
dan nilai landrent sawah), dan
karakterisrik sosial (penguasaan dan
pengusahaan sawah) untuk melihat
adanya potensi konversi lahan sawah.

Gambar 8. Keadaan Irigasi
Keadaan ekonomi petani sebagian besar tidak memberikan penghasilan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari (Gambar 9).
Tingginya biaya produksi menyebabkan petani mendapatkan keuntungan yang
sangat kecil dari hasil panen dan berpengaruh terhadap nilai landrent sawahnya.
Nilai landrent sawah di Kecamatan Ciampea rata – rata sebesar Rp 1678
2
/m /tahun. Pada Gambar 10, terlihat bahwa nilai landrent sawah tertinggi sebesar
Rp 2789 /m2/tahun sedangkan nilai landrent sawah terendah sebesar Rp 853
/m2/tahun. Dari nilai landrent sawah yang sudah diperoleh kemudian
dikelompokkan berdasarkan standar deviasi menjadi 3 kelas, yaitu rendah (≤ Rp
1174 /m2/tahun), sedang (Rp 1174 /m2/tahun – Rp 2209 /m2/tahun), tinggi (≥ Rp
2209 /m2/tahun).
Perbedaan nilai landrent sawah yang di Kecamatan Ciampea lebih
disebabkan adanya perbedaan biaya produksi, output lahan (kg/Ha) dan jarak
tempat produksi ke pusat pasar. Desa Cibadak menjadi desa yang memiliki nilai
landrent sawah yang tertinggi disebabkan oleh rendahnya biaya produksi dan
jarak yang dekat dengan pusat pasar dan juga output yang dihasilkan cukup tinggi.
Sedangkan, Bojong Rangkas yang memiliki nilai landrent sawah yang hampir
sama dengan Cibadak disebabkan oleh sama – sama memiliki output yang cukup

18
tinggi dan dekat dengan pusat pasar, akan tetapi memiliki biaya produksi yang
cukup tinggi.

dalam rupiah

3000
2500
2000
1500
1000

Tidak mencukupi

500
0
Ciampea
Benteng
Cibanteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Bojong Jengkol
Cinangka
Bojong Rangkas
Cibadak
Cicadas
Cibuntu
Ciampea Udik
Tegal Waru

Ciampea
Benteng
Cibanteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Bojong Jengkol
Cinangka
Bojong Rangkas
Cibadak
Cicadas
Cibuntu
Ciampea Udik
Tegal Waru

Jumlah responden

Nilai Landrent (Rp/m2/th)
8
7
6
5
4
3
2
1
0

Mencukupi

Gambar 10. Keadaan Ekonomi Petani

Gambar 9. Grafik Nilai Landrent Sawah

Pola kepemilikan dan pengusahaan diduga berpengaruh dalam menetukan
ketahanan pangan domestik. Pada Gambar 11, terlihat bahwa sebagian besar
petani di Kecamatan Ciampea adalah petani penggarap. Petani penggarap adalah
petani yang mengusahakan lahan milik orang lain dan terikat dengan pemilik
lahan melalui sistem bagi hasil, sewa atau gadai.
Selain itu, ada petani pemilik yang memiliki dan menggarap lahan miliknya
sendiri. Pola pengusahaan yang dominan di Kecamatan Ciampea adalah pola
pengusahaan 2 (Gambar 12), yaitu pembiayaan selama penanaman akan dibagi
bersama antara pemilik dan penggarap dan hasil dibagi bersama setelah
pembagian hasil untuk kuli tanam dan kuli panen. Penggunaan kuli tanam maupun
panen dilakukan dengan sistem “ngepak” yaitu sistem dimana kuli tanam yang
dipakai dan digunakan juga sebagai kuli panen.
Petani Penggarap

Pola Pengusahaan-1

Gambar 12. Grafik Pola Kepemilikan

Pola Pengusahaan-2

8
7
6
5
4
3
2
1
0

Ciampea
Benteng
Cibanteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Bojong Jengkol
Cinangka
Bojong Rangkas
Cibadak
Cicadas
Cibuntu
Ciampea Udik
Tegal Waru

Jumlah responden
Ciampea
Benteng
Cibanteng
Cihideung Ilir
Cihideung Udik
Bojong Jengkol
Cinangka
Bojong Rangkas
Cibadak
Cicadas
Cibuntu
Ciampea Udik
Tegal Waru

Jumlah responden

Petani Pemilik
8
7
6
5
4
3
2
1
0

Gambar 11. Gra