Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang (Studi Kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur)

(1)

(2)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL €DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAPKEUNGGULAN KOMPETITIFUSAHATANI BERAS DI KABUPATEN KARAWANG (STUDI KASUS: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur)• BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN

MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK

TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.


(3)

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP

KEUNGGULAN KOMPETITIF USAHATANI

BERAS DI KABUPATEN KARAWANG

(Studi Kasus: Desa Kondangjaya,

Kecamatan Karawang Timur)

ANGGUN EKA ERVIANI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(4)

RINGKASAN

ANGGUN EKA ERVIANI. Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh NOVINDRA.

Pertanian adalah salah satu sektor dominan dalam struktur perekonomian Indonesia. Peran sektor pertanian antara lain sebagai penghasil pangan untuk kebutuhan penduduk. Salah satu produk pertanian Indonesia yang memiliki nilai strategis tinggi adalah beras. Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan sebagai penyangga perberasan nasional. Sebagai provinsi dengan tingkat produksi padi terbesar, jumlah produksi tiap tahunnya akan berdampak besar pada ketersediaan beras nasional. Adapun Kabupaten Karawang merupakan salah satu penghasil padi terbesar di Provinsi Jawa Barat, dan bahkan di Indonesia.

Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang menghadapi tantangan dalam mempertahankan tingkat produksi padi. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Karawang. Perubahan tersebut berupa perkembangan sektor industri yang cukup pesat diiringi dengan peningkatan penduduk dan berdampak pada pembangunan di semua sektor. Perkembangan industri selalu diiringi dengan konversi lahan, karena industri membutuhkan lahan yang strategis untuk produksi aktivitas pendukung lainnya. Lahan yang dikonversi adalah lahan pertanian berupa sawah atau ladang yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi kawasan di Kabupaten Karawang diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang. Setiap perubahan RTRW Kabupaten Karawang menyebabkan perubahan penetapan zonasi kawasan di Kabupaten Karawang. Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 memiliki zonasi kawasan industri yang lebih besar dibanding RTRW Kabupaten Karawang sebelumnya, yaitu tahun 1999, sehingga memicu terjadinya konversi lahan sawah yang lebih besar ditahun 2005 hingga 2010.

Hasil analisis matriks kebijakan menunjukkan bahwa usahatani beras di Kabupaten Karawang memiliki keunggulan kompetitif dalam berproduksi, baik sebelum maupun sesudah terjadi konversi lahan sawah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keuntungan usahatani secara privat pada usahatani beras di Desa Kondangjaya. Nilai indikator Rasio Biaya Privat (RBP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) yang kurang dari satu menunjukkan tingkat efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dalam usahatani ini pada saat sebelum dan sesudah konversi lahan sawah terjadi. Berdasarkan hasil analisis, konversi lahan sawah menurunkan tingkat keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang. Hal ini terbukti dari penurunan Keuntungan Privat (KP) dan peningkatan nilai RBP. Penurunan KP dan peningkatan RBP disebabkan oleh peningkatan biaya faktor domestik privat berupa biaya sewa lahan dan upah tenaga kerja sebagai akibat dari terjadinya konversi lahan sawah.


(5)

Dalam merumuskan kebijakan pemerintah dalam upaya menangani permasalahan konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang, dilakukan analisis simulasi kebijakan yang potensial untuk dilakukan, yaitu kebijakan Landreform. Kebijakan Landreform akan menghilangkan sistem bagi hasil dan biaya sewa lahan petani. Apabila dilaksanakan, kebijakan Landreform akan berdampak positif bagi usahatani beras di Desa Kondangjaya. Kebijakan Landreform meningkatkan keunggulan kompetitif usahatani beras di Desa Kondangjaya, dilihat dari nilai indikator RBP yang semakin kecil, yaitu berkurang sebesar 0,29. Selain itu dampak positif kebijakan ini juga dilihat dari peningkatan indikator Keuntungan Privat, Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan dan Rasio Subsidi Produsen. Kata kunci: keunggulan kompetitif, usahatani beras, konversi lahan sawah, Landreform


(6)

Judul Skripsi : Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang (Studi Kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur) Nama : Anggun Eka Erviani

NRP : H44070092

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Novindra, SP.

NIP. 19811102 200701 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT. NIP. 19660717 199203 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta 5 Agustus 1989, anak pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Edi Sarwono dan Rissa Desiana. Tahun 2001 penulis lulus dari SD Karang Tengah 07 dan pada tahun 2004 penulis lulus dari SMP Negeri 134 Jakarta Barat. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 112 Jakarta Barat, dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama masa kuliah penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) sebagai staff Bidang Sosial Lingkungan dan Kemasyarakatan (2008-2009) dan sebagai Bendahara Departemen Sosial dan Lingkungan (2009-2010). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) di tahun 2010. Penulis pernah menerima beasiswa Persatuan Orangtua Mahasiswa (2008), beasiswa Djarum Bakti Pendidikan (2009) dan beasiswa Prestasi dan Peningkatan Akademik (PPA) pada tahun 2010.


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, antara lain kepada:

1. Bapak Novindra, SP yang senantiasa dengan penuh ketekunan dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.

2. Bapak Ir. Nindyantoro, M.SP dan Adi Hadianto, SP, M.Si atas kesediaan beliau menjadi dosen penguji dan moderator dalam sidang skripsi.

3. Ibunda Rissa Desiana dan Ayahanda Edi Sarwono atas segala doa dan dukungan baik materi dan moral yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Serta adik-adikku tercinta, Anggi dan Rifqi, yang selalu memberi doa dan semangat kepada penulis.

4. Bapak Erin, Bapak Asep, Mang Ita, dan segenap warga Desa Kondangjaya yang telah membantu dalam pengambilan data untuk keperluan penelitian ini. 5. Muhammad Iqbal, Ria Larastiti, Erlinda, Rizky Amelia, Okkytania, Ario

Bismoko Sandjoyo dan Suci Nurul Hidayat, atas dukungan, perhatian, doa, dan bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan di ESL 44 yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman Pondok Putri Rahmah lantai 2 yang selalu memberi semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Tak lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Program Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berjudul Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang (Studi Kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur). Penelitian pada skripsi ini mengenai konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang dan pengaruhnya terhadap keunggulan kompetitif petani padi yang menggambarkan tingkat daya saingnya pada tingkat harga privat.

Penulis berharap, isi penelitian ini bisa menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam membuat kebijakan dan menjadi tambahan informasi bagi pembaca juga pelaku usahatani beras. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

Bogor, Mei 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……….... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Deskripsi Beras ... 10

2.2. Kebijakan Perberasan Nasional………..………. 11

2.3. Konversi Lahan Pertanian ... 12

2.4. Teori dan Sejarah Penerapan Kebijakan Landreform ... 13

2.5. Landasan Hukum Kebijakan Landreform ... 15

2.6. Penelitian Terdahulu ... 16

2.6.1. Penelitian Keunggulan Kompetitif ..……….. 16

2.6.2. Penelitian Konversi Lahan Sawah...……….. 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN………... 20

3.1. Kerangka Teoritis ……….… 20

3.1.1.Keunggulan Kompetitif ………..….. 22

3.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Lahan Pertanian....….…. 21

3.2.Kerangka Operasional …………....………..……… 22

IV. METODE PENELITIAN………….…..………... 25

4.1.Lokasi dan Waktu……….…..…..……….... 25

4.2. Jenis Data dan Sumber Data... 25

4.3. Penentuan Jumlah Responden ... 26

4.4. Pengumpulan Data ... 27

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data….………...… 27

4.5.1. Menentukan Input danOutput……….... 27

4.5.2.Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing………... 28

4.5.3. Alokasi Biaya Produksi ... 28

4.5.4. Alokasi Biaya Tataniaga ... 29

4.5.5.Penentuan Harga Bayangan………... 29

4.5.5.1. Harga Bayangan Output ... 30

4.5.5.2. Harga Bayangan Input ... 31

4.5.5.3. Harga Bayangan Faktor Domestik ... 33

4.5.5.4. Harga Bayangan Nilai Tukar ... 34


(11)

V. GAMBARAN UMUM ... 45

5.1. Keadaan Umum Kabupaten Karawang ... 45

5.1.1. Letak Geografis dan Batas Administratif ... 45

5.1.2. Pemerintahan ... 46

5.1.3. Jenis Tanah ... 47

5.2. Kondisi Wilayah Kecamatan Karawang Timur ... 47

5.3. Keadaan Wilayah Desa Kondangjaya ... 48

5.3.1. Profil Desa Kondangjaya ... 48

5.3.2. Penggunaan Lahan di Desa Kondangjaya ... 49

5.4. Karakteristik Petani Responden ... 49

5.4.1. Usia ... 49

5.4.2. Tingkat Pendidikan ... 50

5.4.3. Luas Lahan ... 51

5.4.3.1. Luas Lahan Sebelum Konversi (2005) ... 51

5.4.3.2. Luas Lahan Setelah Konversi (2010) ... 51

5.4.4. Sumber Modal ... 52

5.5. Karakteristik Usahatani Beras di Desa Kondangjaya ... 53

5.5.1. Input dan Output Usahatani Beras di Desa Kondangjaya ... 53

5.5.2. Proses Produksi Usahatani Beras di Desa Kondangjaya .... 54

5.5.2.1. Persiapan Lahan ... 54

5.5.2.2. Penanaman ... 55

5.5.2.3. Pemupukan ... 55

5.5.2.4. Penyiangan ... 55

5.5.2.5. Penyemprotan Pestisida ... 56

5.5.2.6. Pemanenan ... 56

5.5.2.7. Perontokan ... 57

5.5.2.8. Penjemuran ... 57

VI. PERBANDINGAN KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI BERAS SEBELUM DAN SESUDAH KONVERSI LAHAN SAWAH... 58

6.1. Perbandingan Tabel PAM Usahatani Beras di Desa Kondangjaya Tahun 2005 dan Tahun 2010 ... 58

6.2. Perbandingan Indikator PAM Usahatani Beras di Desa Kondangjaya Sebelum dan Sesudah Konversi Lahan Sawah ... 61

6.2.1. Perubahan Keunggulan Kompetitif ... 62

6.2.2. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah ... 62

6.2.2.1. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ... 63

6.2.2.2. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output ... 64

6.2.2.3. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output ... 66

VII. RUMUSAN KEBIJAKAN DALAM UPAYAMENGATASI PERMASALAHAN KONVERSI LAHAN SAWAH... 68


(12)

7.2. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah ... 70

7.2.1. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ... 70

7.2.2. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output ... 71

7.2.3. Perubahan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output ... 71

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 73

8.1. Simpulan ... 73

8.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA………...…... 75


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Jawa Barat

Tahun 2009 ... 3 2. Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang

Tahun 2005-2010... 6 3. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen

Domestik dan Asing ... 29 4. Matriks Analisis Kebijakan ... 36 5. Jumlah Desa dan Luas Area per Kecamatan di Kabupaten

Karawang Tahun 2009 ... 46 6. Luas Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2009 ... 48 7. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Beras di Desa Kondangjaya

Per Satu Musim Panen Tahun 2005 ... 53 8. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Beras di Desa Kondangjaya

Per Satu Musim Panen Tahun 2010 ... 54 9. Policy Analysis Matrix(PAM) Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2005 (Rp/Ha) ... 58 10.Policy Analysis Matrix(PAM) Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2010 (Rp/Ha) ... 60 11. Perbandingan Indikator-Indikator PAM pada Usahatani Beras di

Desa Kondangjaya Tahun 2005 dan Tahun 2010 ... 61 12. Tabel PAM Usahatani Beras di Desa Kondangjaya dengan

Penghapusan Biaya Sewa Lahan ... 69 13. Indikator PAM Usahatani Beras di Desa Kondangjaya dengan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Produksi Padi Provinsi Jawa Barat Tahun 2003-2009..……….... 2

2. Produksi Padi Ladang di Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009 ... 6

3. KerangkaOperasional ………... 24

4. Karakteristik Usia Responden ... 50

5. Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden ... 50


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konversi Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur

Tahun 2010………...………... 80 2. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan

Tahun 2005 ... 80 3. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan

Tahun 2010 ... 80 4. Perhitungan Harga Bayangan Input Pupuk Urea dan TSP

Tahun 2005 ... 81 5. Perhitungan Harga Bayangan Input Pupuk Urea dan TSP

Tahun 2010 ... 81 6. Perhitungan Harga Bayangan Beras ... 82 7. Perhitungan Penyusutan Peralatan Usahatani Beras ... 82 8. Penerimaan, Biaya Produksi, dan Keuntungan Usahatani Kacang

Panjang di Desa Pasirpanjang Tahun 2005 ... 82 9. Penerimaan, Biaya Produksi, dan Keuntungan Usahatani Kacang

Panjang di Desa Pasirpanjang Tahun 2010 ... 83 10. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam

Komponen Domestik dan Asing pada Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2005 ... 83 11. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam

Komponen Domestik dan Asing pada Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2010 ... 84 12. Dokumentasi Penelitian ... 85


(16)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pertanian adalah salah satu sektor dominan dalam struktur perekonomian Indonesia. Peran sektor pertanian antara lain sebagai penghasil pangan untuk kebutuhan penduduk, yang tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor lain. Tingkat produksi komoditas pertanian mencerminkan tingkat ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan merupakan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi maupun politik (Rasahan, 2000). Oleh karena itu, kondisi pertanian di semua daerah harus dijaga agar dapat tercipta suatu bentuk ketahanan pangan dalam jangka panjang.

Produk pertanian Indonesia yang memiliki nilai strategis tinggi adalah beras. Sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Konsumsi beras penduduk Indonesia perkapita pertahun rata-rata 133 kilogram, telah menjadikan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi beras tertinggi di dunia1. Dari sisi pemenuhan kebutuhan beras, ada tiga aspek yang perlu ditingkatkan, yaitu ketersediaan, stabilitas, dan kemampuan produksi (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).

Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan sebagai penyangga perberasan nasional2. Sebagai provinsi dengan tingkat produksi padi terbesar, jumlah produksi tiap tahunnya akan berdampak besar pada ketersediaan beras nasional. Produksi padi di Indonesia sepanjang tahun 2003 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 1.

1www.ipsnews.net/fao_magazine/rice.shtml diakses pada 11 Februari 2011 2www.bps.go.id diakses pada 11 Februari 2011


(17)

8600000 8800000 9000000 9200000 9400000 9600000 9800000 10000000 10200000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

to

n

Tahun


(18)

Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Jawa Barat Tahun 2009

Sumber : BPS Jawa Barat, 2010 (diolah)

Produksi beras dari Kabupaten Karawang memenuhi permintaan beras dari dalam maupun luar Pulau Jawa. Tingginya kualitas beras dari Kabupaten Karawang menyebabkan permintaan beras dari daerah ini juga tinggi. Hal ini berimplikasi pada harga pasaran beras dari Kabupaten Karawang yang lebih mahal dibanding beras dari daerah lain. Tingginya permintaan dan harga jual ini

Kabupaten / Kota Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/Ha) Kabupaten

Bogor 85.147 500.686 5,88

Sukabumi 144.499 796.502 5,51

Cianjur 144.026 766.039 5,32

Bandung 75.891 443.507 5,84

G a r u t 135.104 785.374 5,81

Tasikmalaya 120.254 724.703 6,03

C i a m i s 107.575 675.637 6,28

Kuningan 61.068 348.093 5,7

Cirebon 86.187 509.729 5,91

Majalengka 97.204 568.955 5,85

Sumedang 78.143 437.192 5,59

Indramayu 226.568 1.321.016 5,83

Subang 184.585 1.105.550 5,99

Purwakarta 41.662 231.285 5,55

Karawang 182.425 1.067.691 5,85

B e k a s i 105.825 620.868 5,86

Bandung Barat 43.847 243.570 5,55

Kota

B o g o r 1.269 7.112 5,60

Sukabumi 3.625 22.687 6,26

Bandung 1.897 10.897 5,74

Cirebon 656 3.643 5,55

Bekasi 1.013 5.678 5,60

Depok 793 4.596 5,80

Cimahi 504 2.933 5,82

Tasikmalaya 14.252 80.844 5,67

Banjar 6.184 37.895 6,13


(19)

berdampak positif pada pendapatan petani asal Kabupaten Karawang. Oleh karena itu, mempertahankan kondisi pertanian di Kabupaten Karawang tidak hanya bermanfaat dalam hal ketahanan pangan, tetapi juga berdampak terhadap kesejahteraan petani di Kabupaten Karawang.

Produksi beras dari Kabupaten Karawang mempengaruhi tingkat keunggulan kompetitif dibanding daerah lain di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam memproduksi beras dan bagaimana agar pengalokasian sumberdaya yang digunakan bisa menghasilkan pendapatan yang menguntungkan serta menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Dibutuhkan peran serta pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mendukung kegiatan pertanian di Kabupaten Karawang sehingga dapat meningkatkan keunggulan kompetitif serta mempertahankan status lumbung padi nasional. 1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional menjadi indikator dalam pencapaian ketahanan pangan. Luasnya lahan sawah (182.425 hektar) dan tingginya produksi padi (1.067.691 ton) menjadikan Kabupaten Karawang sebagai salah satu tumpuan dan harapan dalam memenuhi kebutuhan beras nasional (Tabel 1).

Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang menghadapi tantangan dalam mempertahankan tingkat produksi padi. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Karawang. Perubahan tersebut berupa perkembangan sektor industri yang cukup pesat diiringi dengan peningkatan penduduk dan berdampak pada pembangunan di semua sektor.


(20)

Perkembangan industri selalu diiringi dengan konversi lahan, karena industri membutuhkan lahan yang strategis untuk produksi aktivitas pendukung lainnya. Lahan yang dikonversi adalah lahan pertanian berupa sawah atau ladang yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi kawasan di Kabupaten Karawang diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang. Pelaksanaan dan pengawasan RTRW dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Karawang, sehingga setiap konversi yang dilakukan harus memiliki surat izin dari BPN Kabupaten Karawang. Penetapan RTRW Kabupaten Karawang dilakukan setiap lima tahun sekali sesuai dengan masa Pemerintahan Daerah Kabupaten Karawang. Setiap perubahan RTRW Kabupaten Karawang menyebabkan perubahan penetapan zonasi kawasan di Kabupaten Karawang. Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 memiliki zonasi kawasan industri yang lebih besar dibanding RTRW Kabupaten Karawang sebelumnya, yaitu tahun 1999, sehingga memicu terjadinya konversi lahan sawah yang lebih besar ditahun 2005 hingga 2010.

Pada Tabel 2 dapat dilihat luas konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Karawang berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Karawang dari tahun 2005 hingga 2010. Konversi lahan sawah terluas terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 67,2 hektar lahan sawah yang dijadikan perumahan dan jasa (rumah sakit). Sepanjang tahun 2005 hingga 2010 dibangun sembilan perumahan di Kabupaten Karawang. Pembangunan perumahan ini bermula dari banyaknya pembangunan pabrik dan industri di Kabupaten


(21)

Tahun Luas Lahan Konversi (Ha)

Kondisi Lahan Awal Kondisi Lahan Akhir

2005 14,0

53,0 0,2

Sawah 2x panen Sawah 1x panen Sawah 2x panen

Perumahan Perumahan Jasa

2006 22,0 Sawah 2x panen Perumahan

2007 0,6 Sawah 2x panen Jasa

2008 32,0

5,0 14,5

Sawah 2x panen Sawah 1x panen Sawah 2x panen

Perumahan Perumahan Jasa 2009 12,0 3,0 4,0 3,6 3,0

Sawah 2x panen Sawah 1x panen Sawah 1x panen Sawah 2x panen Sawah 1x panen

Perumahan Perumahan Industri Jasa Jasa 2010 30,0 23,1 1,6 0,3

Sawah 2x panen Sawah 1x panen Sawah 1x panen Sawah 2x panen

Perumahan Perumahan Industri Jasa 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

2005 2006 2007 2008 2009

to

n

Tahun


(22)

Berdasarkan Gambar 2, dapat ditunjukkan bahwa pada tahun 2006 terjadi penurunan produksi padi ladang yang signifikan, yaitu menurun sebesar 3.700 ton dari tahun 2005. Hal ini merupakan dampak dari implementasi RTRW Kabupaten Karawang yang dilaksanakan pada tahun 2005. Pada tahun 2006 hingga 2008 jumlah produksi padi ladang mengalami peningkatan sebesar 5.806 ton, namun terjadi penurunan produksi kembali pada tahun 2009 yaitu menurun sebesar 1.088 ton . Fluktuasi produksi padi ladang ini bergantung pada tingkat konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang pada tahun sebelumnya. Tingginya produksi padi ladang pada tahun 2007 dan 2008 disebabkan oleh rendahnya konversi lahan sawah pada tahun 2006 dan 2007 yang ditunjukkan pada Tabel 2. Adapun rendahnya produksi padi ladang pada tahun 2006 dan 2009 disebabkan oleh tingginya konversi lahan sawah pada tahun 2005 dan 2008.

Kecamatan Karawang Timur merupakan kecamatan yang mengalami konversi lahan sawah terluas pada tahun 2010, yaitu seluas 61,5 hektar (BPN Kabupaten Karawang, 2010). Konversi lahan sawah meningkatkan harga beberapa input pertanian, seperti harga sewa lahan sawah dan upah tenaga kerja untuk usahatani beras yang menurunkan keuntungan petani. Penurunan keuntungan karena peningkatan harga input mempengaruhi tingkat keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan sawah?


(23)

2. Bagaimana kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Membandingkan keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang sebelum dan setelah terjadi konversi lahan sawah

2. Menganalisis kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai dampak terjadinya konversi lahan sawah terhadap keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang ditahun berikutnya. Bagi civitas akademik, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan konversi lahan sawah. Bagi penulis sendiri diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dipelajari selama menuntut ilmu di Insitut Pertanian Bogor.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel pada beberapa kelompok tani yang bergerak di bidang usahatani beras di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Data


(24)

yang diolah merupakan data produksi dan biaya produksi usahatani beras pada tahun 2005 dan 2010. Berdasarkan fakta yang ada, dampak penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 baru mulai terjadi pada tahun 2006. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diasumsikan tahun 2005 belum terjadi konversi lahan sawah. Sedangkan tahun 2010 diasumsikan telah terjadi konversi lahan sawah akibat penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 tersebut. Pada tahun 2006 sampai tahun 2010 telah terjadi konversi lahan sawah, namun pada penelitian ini hanya tahun 2010 yang diambil sebagai tahun terjadinya konversi lahan sawah.

Kebijakan Landreform pada penelitian ini diasumsikan berupa pendistribusian lahan garapan petani pada lokasi dan kondisi lahan yang sama. Oleh karena itu, tidak ada biaya produksi tambahan pada usahatani beras di Kabupaten Karawang dengan adanya penetapan kebijakan Landreform.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Beras

Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling menggunakan alat pengupas dan penggiling. Gabah yang hanya terkupas bagian kulit luarnya disebut beras pecah kulit (brown rice). Sebagaimana bulir serealia lain, bagian terbesar beras didominasi oleh pati, yaitu sekitar 80 persen. Jika gabah tidak melalui penggilingan, bekatul dari gabah banyak mengandung vitamin B1, protein, lemak, vitamin B2, dan niasin3.

Secara nasional, sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi protein di tingkat rumah tangga berasal dari beras (Irawan, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi beras berperan penting dalam pemenuhan kecukupan konsumsi gizi rumah tangga dan ketahanan pangan nasional.

Hasil kajian tim studi dari East Asian/ASEAN Rice Reverse System pada tahun 2002, menyimpulkan bahwa perubahan di pasar beras internasional disebabkan antara lain oleh: (1) terjadinya peningkatan produksi beras di negara-negara anggota ASEAN, China, dan India; (2) berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi yang meningkatkan akses pasar dan membantu petani dalam menurunkan kehilangan hasil dalam proses pemasaran; (3) menurunnya laju peningkatan konsumsi beras karena peningkatan pendapatan dan urbanisasi; dan (4) terjadinya evolusi pasar, yaitu meningkatnya investasi di bidang produksi padi/beras serta jumlah pedagang besar di pasar beras internasional.


(26)

2.2. Kebijakan Perberasan Nasional

Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan mencapai ketahanan pangan nasional, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan ekonomi perberasan nasional. Dimulai dari program Bina Massal (Bimas) dari tahun 1965 hingga 1966, kemudian dilanjutkan dengan program Instruksi Massal (Inmas) pada tahun 1967. Setelah itu diikuti dengan Instruksi Khusus (Insus) dan Supra Insus. Sepanjang tahun 1970 hingga awal 1980, dilakukan investasi besar-besaran pada infrastruktur pertanian, pengembangan benih unggul serta pestisida, dan subsisi pada pupuk untuk petani. Pembangunan yang dilakukan hingga tahun 1984 ini disebut sebagai revolusi hijau. Hasil dari revolusi hijau terlihat dari adanya surplus pada produksi beras atau yang dikenal dengan sebutan swasembada beras.

Seiring berkembangnya liberalisasi perdagangan internasional, dari tahun 1984 hingga 1993 rutin dilakukan impor beras yang tiap tahunnya mencapai 160 ribu ton. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/tahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4,65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas dua juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras4.

Menurut Suryana dan Hermanto (2004), kebijakan perberasan nasional pada garis besarnya mencakup lima instrumen, yaitu (1) peningkatan produksi; (2) diversifikasi; (3) kebijakan harga; (4) kebijakan impor; dan (5) distribusi beras

4

www.dismal-science-indonesia-and-fantasy.blogspot.com/dilema-kebijakan-perberasan diakses pada 13 Februari 2011


(27)

untuk keluarga miskin. Selain itu terdapat juga kebijakan pemerintah di sektor lain yang berpengaruh pada pertanian, seperti kebijakan pemanfaatan lahan yang didalamnya terdapat aturan dalam pelaksanaan konversi lahan.

2.3. Konversi Lahan Pertanian

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan akan lahan terhadap pendapatan bersifat kurang elastis dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tentu saja memacu terjadinya konversi lahan pertanian (Irawan, 2004).

Menurut Rusastra dan Budhi (1997), konversi lahan pertanian merupakan suatu proses alami yang terkait dengan tiga masalah, yaitu kelangkaan lahan, dinamika pembangunan, dan pertumbuhan penduduk. Isu yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian semakin marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 hingga 1993 telah terjadi penyusutan lahan pertanian 1,28 juta hektar. Kondisi yang seperti ini sulit dihindari, mengingat pemanfaatan lahan untuk kegiatan nonpertanian lebih memberi keuntungan finansial dibanding pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada harga sewa lahan untuk kegiatan pertanian yang lebih rendah dibandingkan kegiatan non pertanian.


(28)

Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah yang terjadi bersifat kumulatif dan progresif. Konversi lahan sawah bersifat kumulatif berarti bahwa jika terjadi konversi lahan sawah yang menyebabkan hilangnya potensi produksi padi sebesar x1dan x2pada dua tahun berturut-turut, maka total potensi produksi yang hilang adalah sebesar x1ditambah x2. Sedangkan konversi lahan sawah yang bersifat progresif mengandung arti bahwa konversi lahan sawah akan semakin besar tiap tahunnya.

Di tingkat wilayah, menurut Pakpahan dan Anwar (1989), konversi lahan pertanian secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung, konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan saranan pemukiman, dan sebaran lahan pertanian.

2.4. Teori dan Sejarah Penerapan Kebijakan Landreform

Landreform merupakan langkah kebijakan pemerintah dalam menjalankan Reformasi Agraria yang tertuang pertama kali pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Reformasi Agraria dapat tercapai apabila Landreform dan Access Reform dapat dijalankan beriringan. Landreform adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundangan pertanahan.Access Reformmerupakan proses penyediaan akses bagi penerima manfaat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, seperti partisipasi ekonomi-politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan


(29)

kapasitas dan kemampuan, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan (Direktorat Landreform, 2010). Tujuan pelaksanaan Landreform meliputi:

1. Segi Sosial Ekonomi

Landreform dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

2. Segi Sosial Politis

Dengan landreform sistem tuan tanah dapat dihapuskan dan pemilikan tanah dalam skala besar dapat dibatasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil agar menjadi sumber-sumber penghidupan rakyat petani.

3. Segi Mental Psikologis

Landreform dapat meningkatkan semangat kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Kegiatan pokok Landreform adalah kegiatan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T). Selain itu dilakukan juga redistribusi tanah objek Landreform (Direktorat Landreform, 2010).

Rencana pelaksanaan Landreform terbaru adalah program Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada tahun 2007. Rencana pelaksanaan PPAN berupa redistribusi tanah negara ke sejumlah rumah tangga petani termiskin dan pemberian sertifikasi tanah (Bachriadi, 2006). Winoto (2005) menjelaskan, ada tiga kriteria tanah yang dibagikan kepada penduduk miskin. Pertama, tanah-tanah yang menurut undang-undang bisa diredistribusikan,


(30)

termasuk tanah-tanah hasil Landreform sebelumnya, seluas 1,1 juta hektar. Kedua adalah tanah-tanah yang berasal dari hutan produksi konversi seluas 8,5 juta jektar. Ketiga adalah tanah yang diidentifikasi Departemen Kehutanan dan BPN.

Kebijakan Landreform telah dilaksanakan oleh beberapa negara lain, yaitu Jepang, Taiwan, Cina, Korea Selatan, dan Mesir. Keberhasilan negara lain dalam melaksanakan kebijakan Landreform dikarenakan kebijakan ini dijadikan dasar bagi pembangunan ekonomi secara nasional yang kemudian dijadikan basis penting bagi pertumbuhan industri nasional yang kuat (Bachriardi, 2006). Negara Cina melaksanakan program Landreform dengan menerapkan Household Responsibility System yang memberikan setiap rumah tangga petani hak untuk melakukan usahatani di setiap tanah yang diberikan izin. Penerapan kebijakan ini ini berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan US$1,25 per hari dari sekitar 84 persen di tahun 1981 menjadi 16 persen di tahun 2005 (Lesmana, 2010).

2.5. Landasan Hukum Kebijakan Landreform

Landasan konstitusional dari kebijakan Landreform adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3), yang berbunyi: “Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari landasan

konstitusional ini dibentuk suatu landasan hukum berupa Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam penjelasan umumnya, dinyatakan bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:


(31)

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan;

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Landasan hukum dari kebijakan Landreform selain UUPA antara lain adalah Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, Undang-Undang No. 56 tahun 1960 tantang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (Direktorat Landreform, 2010). 2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan keunggulan kompetitif maupun konversi lahan sawah. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membedakan antara penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

2.6.1. Penelitian Keunggulan Kompetitif

Penelitian mengenai keunggulan kompetitif telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor oleh Astriana (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani jambu biji ini menguntungkan secara ekonomi dan finansial. Kebijakan pemerintah yang dikenai pada komoditas jambu biji pada penelitian ini adalah proteksi output dan subsidi input. Secara


(32)

keseluruhan, dampak kebijakan ini berpengaruh negatif, dan mengurangi tingkat keunggulan kompetitifnya. Pada penelitian ini dianalisis sensitivitas usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal dengan melakukan simulasi penurunan harga output sebesar 60 persen dan penurunan harga input sebesar 15 persen. Pada analisis sensitivitas gabungan yang dilakukan, usahatani ini ternyata kehilangan keunggulan kompetitif, namun tetap memiliki keunggulan komparatif.

Dewi (2004) meneliti mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai RBP sebesar 0,87. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah simulasi penurunan harga pupuk sebesar 20 persen dan nilai tukar rupiah melemah sebesar empat persen. Hasil analisis sensitivitas adalah keunggulan kompetitif usahatani kedelai tersebut tidak dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah, tetapi mengalami peningkatan dengan adanya penurunan harga pupuk sebesar 20 persen.

Perbedaan penelitian mengenai dampak konversi lahan sawah terhadap keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang dengan penelitian terdahulu adalah adanya masalah konversi lahan sawah yang terjadi di lokasi penelitian. Keunggulan kompetitif dilihat dari dua termin waktu yang berbeda, yaitu saat sebelum terjadinya konversi lahan sawah (2005) dan setelah terjadinya konversi lahan sawah (2010). Hasil dari penelitian ini adalah perbandingan keunggulan kompetitif usahatani beras yang dilihat dari tabel PAM sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan sawah dan rumusan kebijakan dalam menangani permasalah konversi lahan sawah.


(33)

2.6.2. Penelitian Konversi Lahan Sawah

Penelitian mengenai konversi lahan sawah sebelumnya telah banyak dilakukan. Sandi (2009) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2008 terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang yang disebabkan adanya izin pembangunan perumahan yang terdapat di beberapa kecamatan di Kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi sawah di Kabupaten Karawang secara signifikan adalah laju pertumbuhan penduduk dan luas lahan perumahan.

Irawan dan Friyatno (1998) meneliti mengenai dampak konversi lahan sawah di Pulau Jawa terhadap produksi beras dan kebijakan pengendaliannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum konversi lahan sawah lebih banyak terjadi pada provinsi atau kabupaten yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang relatif tinggi, serta kabupaten yang merupakan penyangga pusat pertumbuhan. Akibat konversi lahan sawah di Pulau Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperhitungkan secara akumulasi telah hilang sebesar 50,9 juta ton gabah atau sekitar 2,82 juta ton gabah per tahun. Pengurangan produksi padi akibat terjadinya konversi lahan sawah terbesar adalah di Provinsi Jawa Timur dengan proporsi 44,2 persen (22,5 juta ton padi) dari total pengurangan produksi padi di Pulau Jawa. Sedangkan urutan kedua dan ketiga adalah di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing 15,9 dan 10,8 juta ton padi.


(34)

Penelitian mengenai dampak konversi lahan sawah terhadap keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang menilai dampak dari adanya konversi lahan sawah berdasarkan perubahan keunggulan kompetitif usahatani beras di lokasi penelitian. Berbeda dengan penelitian terdahulu, tidak hanya perubahan produksi padi yang dihitung, tetapi juga perubahan keuntungan petani di lokasi penelitian.


(35)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis berisi teori-teori yang berkaitan dengan penelitian dampak konversi lahan sawah terhadap keunggulan kompetitif usahatani beras. Kerangka teoritis terdiri dari konsep keunggulan kompetitif, dampak kebijakan pemerintah terhadap lahan pertanian, dan matriks analisis kebijakan.

3.1.1. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang menerima manfaat tersebut (Kadariah et al., 1978). Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau sering disebut revealed competitive advantage, yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selanjutnya dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang bersangkutan.

Menurut Porter (1990) suatu negara yang memiliki keunggulan kompetitf adalah negara yang memproduksi suatu produk sebaik mungkin (berkualitas tinggi dan inovatif) dan mendapat keuntungan persaingan global dibanding negara yang permintaan domestiknya kecil.


(36)

3.1.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Lahan Pertanian

Sumberdaya lahan pertanian mempunyai manfaat yang luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebagai media utama dalam pertanian, ketersediaan lahan merupakan hal yang penting dan mutlak dalam keberlanjutan sektor pertanian. Menurut Winoto (2005), ditinjau dari aspek pertanahan, sektor pertanian dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain:

1. Terbatasnya sumberdaya yang cocok untuk kegiatan pertanian 2. Sempitnya tanah pertanian per kapita penduduk Indonesia 3. Cepatnya laju konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian

Dalam menangani permasalahan lahan pertanian, pemerintah mengambil langkah-langkah signifikan dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas sektor pertanian melalui berbagai kebijakan pengendalian lahan. Dimulai dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pasal 2 ayat 2, hingga Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 2009, lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sebidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Tujuan dari perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini antara lain:

1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 2. Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan


(37)

4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian milik petani

5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat 6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani

7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak 8. Mempertahankan keseimbangan ekologis

9. Mewujudkan revitalisasi pertanian

Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 23 (3), peraturan pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan sistem zonasi yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/ Kota. Penetapan RTRW yang berbeda di tiap Kabupaten/Kota memiliki dampak tersendiri bagi efisiensi pelaksanaan peraturan. Persoalannya, implementasi RTRW menjadi tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005). Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian konversi lahan sulit terlaksana, yaitu:

1. Kendala koordinasi kebijakan, yaitu terjadinya tumpang tindih kebijakan mengenai suatu lahan pertanian.

2. Kendala pelaksana kebijakan.

3. Kendala konsistensi kebijakan, yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi.

3.2. Kerangka Operasional

Beras merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis di Indonesia. Beras dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh sebagian besar penduduk dan


(38)

tidak bisa disubstitusi oleh komoditas lainnya. Keberadaan komoditas beras juga memiliki nilai strategis jika dilihat dari kenyataan bahwa mayoritas Indonesia memperoleh pendapatan dari komoditas ini. Berdasarkan keadaan tersebut, ketersediaan beras sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kabupaten Karawang sebagai kabupaten dengan produsen beras tertinggi ketiga di Indonesia, memiliki pengaruh besar bagi ketersediaan beras nasional (Tabel 1). Tingginya produksi beras dari Kabupaten Karawang menjadikan kabupaten ini sebagi lumbung padi nasional yang perlu dijaga kondisi pertaniannya.

Kabupaten Karawang sebagaimana kabupaten lainnya, memiliki tata aturan mengenai pemanfaatan lahan. Pada Kabupaten Karawang sendiri, peraturan yang mengatur pemanfaatan lahan adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang yang diperbaharui setiap lima tahun sekali. Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 meningkatkan luas konversi lahan sawah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di Kabupaten Karawang. Konversi lahan sawah mempengaruhi harga sejumlah input pertanian. Perubahan ini mempengaruhi keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang. Untuk itu, perlu dianalisis sejauh mana dampak konversi lahan sawah tersebut terhadap keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang dapat menurunkan luas konversi lahan sawah dan meningkatkan keunggulan kompetitif usahatani beras di Kabupaten Karawang. Kerangka operasional penelitian ini dapat dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 3.


(39)

Gambar 3. Kerangka Operasional

Pentingnya ketersediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan

penduduk Indonesia

Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional

Penetapan RTRW Kabupaten Karawang

analisis keunggulan kompetitif usahatani di Kabupaten Karawang

(PAM)

Konversi lahan sawah

Perbandingan keunggulan kompetitif beras di Kabupaten Karawang sebelum

dan sesudah konversi lahan sawah

Rumusan upaya pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten


(40)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu

Lokasi pengumpulan data untuk keperluan penelitian ini adalah di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja atau purposive, yaitu berdasarkan data bahwa Kabupaten Karawang merupakan sentra produksi beras di Jawa Barat. Kecamatan Karawang Timur dipilih karena mengalami konversi lahan sawah terluas dibanding kecamatan lainnya di Kabupaten Karawang (BPN Kabupaten Karawang, 2010). Dalam pemilihan desa untuk studi kasus, dipilih Desa Kondangjaya karena memiliki produksi padi yang cukup tinggi dan mengalami konversi lahan sawah yang terluas di banding desa lainnya di Kecamatan Karawang Timur. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Mei 2011 yang meliputi survey ke lokasi penelitian, penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan data dan penyusunan skripsi.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, yaitu petani. Data sekunder adalah data pendukung yang didapat dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Badan Pusat Statistik, dan hasil penelitian terdahulu. Data primer meliputi: jumlah produksi, biaya produksi, dan total penerimaan usahatani beras, sebelum dan sesudah adanya konversi lahan di Desa Kondangjaya.


(41)

Data biaya produksi dan harga output dibagi dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun 2005 dengan 2010, dengan tahun dasar tahun 2007. Hal ini dilakukan agar biaya dan penerimaan yang diterima petani baik di tahun 2005 maupun 2010 merupakan biaya dan penerimaan riil yang sudah memasukkan efek inflasi, sehingga mencerminkan kesejahteraan petani. Nilai IHK privat yang digunakan adalah IHK Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2005 (80,11) dan pada tahun 2010 (123,3) dengan tahun dasar 2007. Pemilihan Kabupaten Tasikmalaya karena kabupaten ini termasuk dalam data inflasi Badan Pusat Statistik di 66 kota, dan keadaan pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Karawang (Tabel 1). Data biaya sosial produksi dan harga bayangan output juga dibagi dengan nilai IHK dengan tahun dasar yang sama agar mencerminkan kesejahteraan sosial petani, yaitu kesejahteraan petani apabila tanpa distorsi pemerintah. Nilai IHK sosial yang digunakan adalah nilai IHK Amerika Serikat pada tahun 2005 (94,2) dan IHK Amerika Serikat pada tahun 2010 (105,2) dengan tahun dasar 2007.

4.3. Penentuan Jumlah Responden

Responden dalam penelitian ini adalah 30 orang petani padi penggarap di Desa Kondangjaya. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive, yaitu diambil masing-masing enam orang petani dari lima kelompok tani yang ada. Untuk menentukan biaya sosial lahan, dilakukan wawancara tambahan dengan sepuluh orang petani kacang panjang di Desa Pasir Panjang. Penentuan jumlah responden petani kacang panjang berdasarkan keadaan petani yang homogen di lokasi penelitian, sehingga jumlah sepuluh petani dianggap sudah


(42)

mewakili karakteristik petani kacang panjang di Desa Pasir Panjang secara keseluruhan.

4.4. Pengumpulan Data

Data primer yang dikumpulkan merupakan produksi dan biaya produksi beras pada tahun 2005 dan 2010. Tahun 2005 diasumsikan belum terjadi konversi lahan akibat penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004. Sedangkan tahun 2010 diasumsikan telah mengalami konversi lahan akibat penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004. Data sekunder dikumpulkan dari media internet maupun diambil langsung dari lokasi sumber data yang bersangkutan.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan model Policy Analysis Matrix (PAM). Metode analisis data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif disajikan dengan menginterpretasikan data yang diperoleh, sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data, diolah dan disederhanakan dalam bentuk tabulasi untuk dianalisis secara deskriptif menggunakan model PAM. Data diolah dengan bantuan komputer menggunakan program Microsoft excel dan Tabel Input Output Indonesia tahun 2005 untuk mengalokasikan biaya dan komponen tradable dan nontradable. Dalam membangun model PAM harus terlebih dahulu ditentukan input dan output produksi, yang kemudian dialokasikan menjadi barangtradabledannontradable. 4.5.1. Menentukan Input dan Output

Dalam penelitian ini, input yang diperhitungkan adalah semua komponen input yang digunakan dalam proses produksi. Komponen input tersebut antara lain: benih, pupuk, pestisida, lahan, tenaga kerja dan peralatan. Output yang


(43)

dihasilkan berupa Gabah Kering Giling (GKG) yang dikonversi dalam bentuk beras.

4.5.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing

Komponen biaya yang dikeluarkan selama proses produksi terdiri dari komponen biaya domestik dan biaya asing. Pengalokasikan biaya menjadi komponen domestik dan asing dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach) (Monke dan Pearson, 1989). Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta dipergunakan apabila produsen lokal dilindungi, sehingga tambahan penawaran input tradable didatangkan dari produsen lokal. Dalam hal ini, input-input yang tergolong nontradable adalah benih, pestisida, lahan, tenaga kerja, peralatan, dan penggunaan input lainnnya. Sedangkan inputtradableantara lain pupuk urea dan pupuk TSP.

4.5.3. Alokasi Biaya Produksi

Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input, penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input (Pearson et al.,2005). Pada usahatani beras ini, inputtradableseperti pupuk urea dan pupuk TSP digolongkan ke dalam komponen biaya domestik dan asing. Sedangkan input-input nontradable seperti benih, pestisida, lahan, tenaga kerja,


(44)

peralatan, dan biaya lainnya digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Alokasi biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing

No Uraian

Finansial Ekonomi

Domestik Asing Pajak Domestik Asing A Penerimaan Output

1 Output Padi 98.9% 0.0% 1.1% 100.0% 0.0%

B Input Produksi

1 Pupuk

a. Urea 92.0% 7.8% 0.2% 92.2% 7.8%

b. TSP 92.0% 7.8% 0.2% 92.2% 7.8%

c. Poska 92.0% 7.8% 0.2% 92.2% 7.8%

d. NPK kujang 92.0% 7.8% 0.2% 92.2% 7.8%

2 Obat-obatan

a. Decis 98.7% 0.0% 1.3% 100.0% 0.0%

3 Tenaga Kerja 98.3% 0.0% 1.7% 100.0% 0.0%

4 Penyusutan peralatan 96.8% 0.0% 3.2% 100.0% 0.0%

5 Sewa lahan 98.0% 0.0% 2.0% 100.0% 0.0%

6 Pajak bumi dan bangunan

98.5% 0.0% 1.5% 100.0% 0.0%

7 Jasa traktor 98.3% 0.0% 1.7% 100.0% 0.0%

Sumber : Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2005, diolah (2011)

4.5.4. Alokasi Biaya Tataniaga

Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu (Gittinger, 1986). Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. 4.5.5. Penentuan Harga Bayangan

Harga bayangan adalah nilai ekonomi dari suatu barang atau jasa yang menggambarkan biaya oportunitas (biaya oportunitas: nilai barang atau jasa yang


(45)

dikorbankan untuk alternatif penggunaan yang terbaik) terhadap masyarakat (Gittinger, 1986).

Menurut Pearson et al. (2005), harga sosial (harga efisien) untuk barang-barang tradable adalah harga internasional (harga dunia) untuk barang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk barang-barang impor, harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost dalam menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk barang-barang ekspor, harga ekspor barang tersebut menunjukan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik untuk diekspor, bukan dikonsumsi dalam negeri. 4.5.5.1. Harga Bayangan Output

Menurut Pearson et al. (2005), harga bayangan output tradable yang digunakan adalah harga yang berlaku pada perbatasan negara (border price), baik ketika barang tersebut tiba dari luar negeri (impor), maupun saat produk akan dikirim ke luar negeri (ekspor). Harga bayangan untuk produk yang akan diekspor disebut harga FOB (free on board), yaitu harga di pelabuhan yang dikonversikan dengan nilai tukar rupiah lalu dikurangi biaya transportasi dan tataniaga. Harga bayangan untuk output yang diimpor adalah harga CIF (cost of insurance freight) yang ditambah biaya tataniaga. Lain halnya dengan output nontradable, harga bayangan untuk output nontradable diestimasi dengan mengurangkan divergensi (baik karena distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar) dari nilai privatnya. Jika dampak divergensi sulit diestimasi, selanjutnya dengan mencari harga barang substitusinya untuk dijadikan proxy dari harga sosial barang-barangnontradable. Alternatif lainnya yaitu dengan menggunakan harga barang (atau substitusinya) di


(46)

negara tetangga. Pada penelitian ini, output yang dihasilkan adalah beras yang merupakan komoditas impor. Penentuan harga bayangan beras berdasarkan harga CIF yang dikonversikan dengan nilai tukar bayangan (SER = Shadow Exchange Rate) yang kemudian ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga. Pada penelitian ini didapatkan harga bayangan output adalah sebesar Rp 1.978 per kilogram pada tahun 2005, dan sebesar Rp 3.043,7 per kilogram pada tahun 2010 dengan memperhitungkan inflasi yang terjadi.

4.5.5.2. Harga Bayangan Input

Harga bayangan input ditentukan berdasarkan input tradable dan nontradable. Input tradable dalam penelitian ini merupakan komoditas impor, yaitu pupuk urea dan pupuk TSP. Menurut Pearsonet al.(2005), harga bayangan inputtradable adalahborder price, yaitu harga FOB untuk komoditas ekspor dan harga CIF untuk komoditas impor yang dikenai divergensi perdagangan antar negara (biaya tataniaga dan penanganan di pelabuhan). Harga input tradable ditentukan dengan mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya memproduksi barang atau jasanontradablekedalam unsur-unsur biaya inputtradabledan biaya faktor domestik (tenaga kerja, modal, lahan). Adapun input yang digunakan pada usahatani beras di Desa Kondangjaya meliputi:

1) Pupuk

Pupuk yang digunakan pada usahatani beras di Desa Kondangjaya adalah pupuk urea, TSP, Poska, dan NPK Kujang. Pupuk urea dan TSP masih menggunakan input yang diimpor dari negara lain, sehingga pendekatan harga bayangannya berdasarkan harga CIF yang kemudian ditambah dengan biaya tataniaga. Harga CIF didapat dari harga FOB yang ditambah dengan biaya


(47)

asuransi dan pengapalan kemudian dikalikan dengan harga SER berdasarkan nilai tukar yang berlaku. Pada penelitian ini, harga bayangan pupuk urea adalah sebesar Rp 2.699 per kilogram pada tahun 2005 dan sebesar Rp 3.762,4 per kilogram pada tahun 2010. Harga bayangan pupuk TSP adalah sebesar Rp 2.589 per kilogram pada tahun 2005 dan sebesar Rp 4.833 per kilogram pada tahun 2010. Pupuk Poska dan NPK Kujang tidak memiliki harga internasional dan tidak dikenai distorsi kebijakan pemerintah, sehingga pendekatan harga bayangan yang digunakan adalah harga aktual pada tingkat pedagang besar. Harga bayangan pupuk Poska adalah sebesar Rp 2.075 per kilogram pada tahun 2005, dan sebesar Rp 2.048,5 per kilogram pada tahun 2010. Harga bayangan pupuk NPK Kujang adalah sebesar Rp 1.592 per kilogram pada tahun 2005 dan sebesar 1.858,4 per kilogram pada tahun 2010.

2) Pestisida

Pestisida yang banyak digunakan pada petani padi di Desa Kondangjaya adalah Decis. Berdasarkan penelitian terdahulu, harga bayangan pestisida ditentukan dengan menghilangkan divergensi berupa pajak penjualan sebesar sepuluh persen dari harga aktual rata-rata. Harga bayangan pestisida adalah sebesar Rp 66.879 per liter pada tahun 2005 dan sebesar Rp 75.285,2 per liter pada tahun 2010.

3) Benih

Benih yang digunakan oleh petani di Desa Kondangjaya adalah benih padi jenis Ciherang. Harga bayangan benih berdasarkan harga beli aktual tingkat pedagang besar, karena tidak ada kegagalan pasar maupun kebijakan pemerintah yang dikenakan pada input ini. Harga bayangan benih adalah sebesar Rp 5.308


(48)

per kilogram pada tahun 2005, dan sebesar Rp 7.604,6 per kilogram pada tahun 2010.

4) Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam usahatani beras di Desa Kondangjaya adalah cangkul, parang, dan sprayer. Sebagian besar petani tidak mengerjakan secara langsung setiap proses produksi, melainkan dikerjakan oleh buruh yang membawa peralatan sendiri. Harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan per tahun yang nilainya sama dengan harga aktualnya, karena tidak ada kegagalan pasar maupun kebijakan pemerintah atas peralatan pertanian tersebut.

4.5.5.3. Harga Bayangan Faktor Domestik

Setiap faktor domestik memiliki cara yang berbeda-beda dalam penentuan harga bayangannya. Hal ini dikarenakan keadaan pasar setiap faktor domestik di lokasi penelitian berbeda.

1) Tenaga Kerja

Tenaga kerja pertanian dianggap homogen, karena semua dianggap sebagai tenaga kerja tidak terampil, dan tidak ada perbedaan upah antara tenaga kerja pria dan wanita. Biaya tenaga kerja dihitung per Hari Orang Kerja (HOK) dengan satu HOK adalah delapan jam kerja dan memiliki upah yang berbeda-beda di tiap aktivitas produksinya. Tenaga kerja lainnya yang digunakan dalam usahatani ini adalah jasa pembajakan sawah oleh sejumlah buruh dengan tarif sebesar Rp 624.220 per hektar lahan. Harga bayangan tenaga kerja pertanian ditetapkan 75 persen dari harga pasar. Hal ini karena selain jumlah tenaga kerja


(49)

yang banyak, tenaga kerja ini termasuk tenaga kerja kurang terdidik dengan produktivitas yang rendah (Sadikin, 2000).

2) Lahan

Harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi tertinggi komoditas lain apabila lahan tidak digunakan untuk memproduksi komoditas yang diteliti (Soetriono, 2006). Di Kecamatan Karawang Timur, tanaman yang ditanam oleh petani selain padi adalah tanaman kacang panjang di Desa Pasir Panjang. Oleh karena itu, harga bayangan lahan merupakan pendapatan yang diterima dari usahatani kacang panjang di daerah ini. Berdasarkan perhitungan, harga bayangan lahan pada penelitian ini adalah sebesar Rp 2.856.333 per hektar per satu musim tanam pada tahun 2005, dan sebesar Rp 2.463.561 per hektar per satu musim tanam pada tahun 2010.

4.5.5.4. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang

Harga bayangan nilai tukar uang dihitung berdasarkan rumus menurut Gittinger (1986):

=

Dimana:

SERt =Shadow Exchange Ratetahun ke-t (Nilai Tukar Bayangan, Rp/US$) OERt =Official Exchange Ratetahun ke-t (Nilai Tukar Resmi, Rp/US$) SCFt =Standard Convertion Factortahun ke-t (Faktor Konversi Standar)

Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut:

=

( ) ( )

Dimana:

SCFt = Faktor Konversi Standar tahun ke-t Mt = Nilai Impor tahun ke-t (Rp)


(50)

Tmt = Pajak Impor tahun ke-t (Rp) Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) Txt = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp)

Pada penelitian ini, nilai SCF dan SER pada tahun 2005 masing-masing adalah sebesar 99,39 persen dan Rp 9.773. Pada tahun 2010 nilai SCF dan SER masing-masing adalah sebesar 99,47 persen dan Rp 9.130.

4.6. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis matriks kebijakan (Policy Analysis Matrix). Tujuan dari penggunaan sebuah tabel PAM untuk analisis suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat, yaitu sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost). Tujuan lain dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari suatu kebijakan. Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu sentral diatas (Pearsonet al.,2005).

Tabel PAM terdiri dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis finansial (privat) dan analisis ekonomi (sosial). Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi menjadi komponen tradable (asing) dannontradable(domestik). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih, peralatan, lahan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearsonet al.,2005).


(51)

Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 4). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearsonet al.,2005). Tabel 4. Matriks Analisis Kebijakan

Keterangan Pendapatan Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik Nilai Finansial

(Harga Privat) A B C D

Nilai Ekonomi

(Harga Bayangan) E F G H

Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar (Divergensi)

I J K L

Keterangan:

Keuntungan Privat = D = A–B–C Keuntungan Sosial = H = E–F–G Transfer Output = I = A–E Transfer Input = J = B–F Transfer Faktor = K = C–G Transfer Bersih = L = D–H Rasio Keuntungan Privat = C/ (A–B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik = G/ (E–F) Koefisien Proteksi Nominal = outputtradable= A/ E

= Inputtradable = B/ F Koefisien Proteksi Efektif = (A–B) / (E–F)

Koefisien Keuntungan = (A–B–C) / (E–F–G) atau D/H Subsidy Rasio untuk Produsen = (D–H) atau L/E

Sumber: Pearsonet al.,2005

Dari matriks PAM dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) Analisis Keungulan Komparatif


(52)

Keunggulan komparatif dilihat dari keuntungan usahatani beras pada harga sosial. Keunggulan komparatif dianalis berdasarkan keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik.

a) Keuntungan Sosial (KS)

Keuntungan sosial merupakan indikator daya saing atau efisiensi dari sistem usahatani pada kondisi tidak ada efek divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar (Monke dan Pearson, 1989). Keuntungan sosial dirumuskan sebagai berikut:

KS (H) = E–F–G Keterangan:

E = Penerimaan sosial

F = Biaya inputtradablesosial G = Biaya inputnontradablesosial

Jika keuntungan sosial lebih besar dari nol (KS(H)>0) dan nilainya makin besar, maka sistem usahatani beras makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, jika keuntungan sosial kurang dari nol (KS(H)<0), maka sistem usahatani tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.

b) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)

Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu satuan devisa atau kemampuan sistem komoditi dalam membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial (Monke dan Pearson, 1989). BSD menggambarkan efisiensi ekonomi suatu pengusahaan komoditas. BSD dirumuskan sebagai berikut:


(53)

BSD =

=

Jika rasio biaya sumberdaya domestik kurang dari satu (BSD<1) dan nilainya semakin kecil berarti sistem komoditas makin efisien secara ekonomi, mempunyai daya saing yang makin tinggi dan mampu berjalan tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sebaliknya jika BSD>1 berarti sistem komoditas tidak mampu berjalan tanpa bantuan pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka karena memproduksi komoditi dengan biaya sosial yang lebih besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lain, maka melakukan impor akan lebih efisien dibandingkan dengan memproduksi sendiri.

2) Analisis Keungulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dilihat dari keuntungan usahatani beras pada harga privat. Keunggulan komparatif dianalis berdasarkan keuntungan privat dan rasio biaya privat.

a) Keuntungan Privat (KP)

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada (Monke dan Pearson, 1989). Jika nilai keuntungan lebih dari nol (KP(D)>0), maka sistem komoditas memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau ada komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. Suatu sistem komoditas tidak akan menguntungkan jika nilai KP(D)<0. Keuntungan privat didapat dengan rumus berikut:


(54)

KP (D) = A− B –C Keterangan:

A = Penerimaan privat

B = Biaya inputtradableprivat C = Biaya inputnontradableprivat b) Rasio Biaya Privat (RBP)

Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah terhadap harga privat. Nilai RBP mencerminkan berapa banyak sistem komoditas tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif yaknibreak eventsetelah membayar keuntungan normal (D=0) (Monke dan Pearson, 1989). Jelas bahwa perusahaan lebih menyukai D>0 dan ini dapat diraih jika C< (A-B). Maka usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable bertujuan memaksimumkan profit. Dengan demikian RBP menunjukkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai rasio biaya privat kurang dari satu (RBP<1), maka sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Semakin kecil nilai RBP, maka komoditas tersebut semakin memiliki daya saing (keunggulan kompetitif). Monke dan Pearson (1989) merumuskan nilai Rasio Biaya Privat sebagai berikut:

RBP = C

A − B=

Biaya faktor domestik pr ivat

Pener imaan pr ivat − Biaya input pr ivat 3) Dampak Kebijakan Pemerintah

Dampak kebijakan pemerintah terdiri dari kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input-output.


(55)

Kebijakan input adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi input suatu kegiatan produksi. Kebijakan input terdiri atas transfer input, koefisien proteksi input nominal, dan transfer faktor.

i) Transfer Input

Transfer Input adalah selisih antara biaya input tradablepada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya kebijakan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada inputtradable (Monke dan Pearson, 1989). Jika nilai TI positif (TI>0) menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya, jika TI bernilai negatif (TI<0) hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial (social opportunity) yang seharusnya dibayarkan. Transfer input dirumuskan sebagai berikut:

TI (J) = B–F Keterangan:

B = Biaya inputtradableprivat F = Biaya inputtradablesosial ii) Koefisien Proteksi Input Nominal (KPIN)

Koefisien proteksi input nominal merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. KPIN adalah rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya inputtradableyang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input (Monke dan Pearson, 1989). Apabila nilai KPIN kurang dari satu (KPIN<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing yang tradable sehingga produsen


(1)

Lampiran 1. Konversi Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun

2010

Sumber: BPN Kabupaten Karawang, 2011 (diolah)

Lampiran 2. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan

Tahun 2005

Uraian

Jumlah (Rp)

Total Ekspor (Xt)

832.015.119.749.495

Total Impor (Mt)

1.190.003.866.624.400

Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)

4.237.000.000.000

Penerimaan Pajak Impor (TMt)

16.699.000.000.000

Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt)

9.713

Keterangan : Berdasarkan data tahun 2005 Sumber : Badan Pusat Statistik 2011

SCF

t

=

Xt Mt

(Xt Txt) (Mt Tmt)

=

832.015.119.749.495 1.190.003.866.624.400

(832.015.119.749.495 4.237.000.000.000) (1.190.003.866.624.400 16.699.000.000.000)

= 99,39%

SERt =

OERt SCFt

=

9.713

99,39%

= 9.773

Lampiran 3. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan

Tahun 2010

Uraian

Jumlah (Rp)

Total Ekspor (Xt)

1.279.959.818.663.460

Total Impor (Mt)

1.112.573.366.911.990

Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)

5.130.000.000.000

Penerimaan Pajak Impor (TMt)

17.988.000.000.000

Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt)

9.081

Keterangan : Berdasarkan data tahun 2010 Sumber : Badan Pusat Statistik 2011

Desa

Luas Lahan Sawah yang Dikonversi (ha)

Peruntukan

Lahan

Desa Kondangjaya

38,0

Perumahan

Desa Palumbonsari

21,4

1,7

Perumahan

Rumah Sakit

Desa Margasari

1,3

Perumahan


(2)

SCF

t

=

Xt Mt

(Xt Txt) (Mt Tmt)

=

1.279.959.818.663.460 1.112.573.366.911.990

(1.279.959.818.663.460 5.130.000.000.000) (1.112.573.366.911.990 17.988.000.000.000)

= 99,47%

SERt =

OERt

SCFt

=

999.081

,47%

= 9.130

Lampiran 4.

Perhitungan Harga Bayangan Input Pupuk Urea dan TSP

Tahun 2005

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

Lampiran 5.

Perhitungan Harga Bayangan Input Pupuk Urea dan TSP

Tahun 2010

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

No.

Keterangan

Urea

TSP

1

FOB ($/ton)

209,3

201,4

2

Freight and Insurance ($/ton)

31,4

30,2

3

CIF Indonesia ($/ton)

240,7

231,6

4

Nilai Tukar (Rp/$)

9.713,0

9.713,0

5

Premium Nilai Tukar (%)

99,4

99,4

6

Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)

9.773

9.773,0

7

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)

2.352.219,1

2.263.434,9

8

Faktor konversi berat (kg/ton)

0,001

0,001

9

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)

2.352,2

2.263,4

10

Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)

70,0

70,0

11

Harga paritas impor tingkat pedagang besar (Rp/kg)

2.422,2

2.333,4

12

Biaya distribusi ke tingkat petani (Rp/kg)

120,0

105,0

13

Harga di tingkat petani

2.542,2

2.438,4

14

Harga riil (IHK AS = 94,2)

2.699,0

2.589,0

No.

Keterangan

Urea

TSP

1

FOB ($/ton)

357,0

463,8

2

Freight and Insurance ($/ton)

53,6

69,6

3

CIF Indonesia ($/ton)

410,6

533,4

4

Nilai Tukar (Rp/$)

9.081,0

9.081,0

5

Premium Nilai Tukar (%)

99,5

99,5

6

Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)

9.129,0

9.129,0

7

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)

3.748.069,0

4.869.340,0

8

Faktor konversi berat (kg/ton)

0,001

0,001

9

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)

3.748,1

4.869,3

10

Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)

70,0

70,0

11

Harga paritas impor tingkat pedagang besar

(Rp/kg)

3.818,1

4.939,3

12

Biaya distribusi ke tingkat petani (Rp/kg)

140,0

145,0

13

Harga di tingkat petani

3.958,1

5.084,3


(3)

Lampiran 6. Perhitungan Harga Bayangan Beras

No.

Keterangan

Tahun 2005

Tahun 2010

1

FOB ($/ton)

282,8

510,8

2

Freight and Insurance ($/ton)

14,1

25,5

3

CIF Indonesia ($/ton)

296,9

536,3

4

Nilai Tukar ($/USD)

9.713,0

9.081,0

5

Standart Convertion Factor

99,4%

99,5%

6

Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)

9.773,0

9.129,0

7

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)

2.901.879,7

4.896.454,7

8

Faktor konversi berat (dri ton ke kg) (kg/ton)

0,001

0,001

9

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)

2.901,9

4.896,5

10

handling, penyimpanan, susut

145,1

244,8

11

Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)

70,0

100,0

12

Nilai sebelum proses (rp/kg)

3.117,0

5.241,3

13

Faktor konversi pengolahan (%)

0,6

0,6

14

Harga paritas impor di tingkat petani (Rp/kg)

1.964,0

3.302,0

15

Biaya distribusi ke tingkat petani (Rp/kg) :

100,0

100,0

16

Harga paritas impor di tingkat petani (Rp/kg)

1.864,0

3.202,0

17

Harga riil (IHK AS)

1.978,0

3.043,7

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

Lampiran 7. Perhitungan Penyusutan Peralatan Usahatani Beras

No.

Peralatan

Jumlah

(unit)

Harga

(Rp)

Umur

teknis

Nilai

Penyusutan

1

Cangkul

2

117.500

4

219.333

61.754

2

Golok

1

75.800

3

83.380

26.056

3

Handsprayer

1

252.500

4

345.083

84.579

Total

647.797

172.390

Sumber: Data Primer, diolah (2011)

Lampiran 8. Penerimaan, Biaya Produksi, dan Keuntungan Usahatani

Kacang Panjang di Desa Pasirpanjang Tahun 2005 (Rp/Ha)

No. Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) Nilai

Penerimaan

1. Kacang Panjang 6.000 kg 1.911 11.464.968

Biaya Produksi

1. Benih 15 ltr 70.064 1.050.955

2. Pupuk:

Urea 200 kg 2.123 424.628

Mutiara 200 kg 6.900 1.380.042

Poska 200 kg 2.442 488.323

3. Obat-obatan

Prapaton 1 ltr 111.465 557.325

Curacron 1 ltr 47.771 238.854

4. Peralatan:

Cangkul 1 unit 17.693 17.693

Sprayer 1 unit 123.850 123.850

5. Tenaga Kerja 143 unit 26.539 1.326.964

6. Jasa Traktor 1 ha 530.786 530.786

7. Sewa Lahan 1 ha 2.653.928 2.653.928

Total 8.608.635


(4)

Lampiran 9.

Penerimaan, Biaya Produksi, dan Keuntungan Usahatani

Kacang Panjang di Desa Pasirpanjang Tahun 2010 (Rp/Ha)

No. Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) Nilai

Penerimaan

1. Kacang Panjang 6.000 kg 1.901 11.406.844

Biaya Produksi

1. Benih 15 ltr 66.540 998.099

2. Pupuk:

Urea 200 kg 2.376 475.285

Mutiara 200 kg 7.129 1.425.856

Poska 200 kg 2.376 475.285

3. Obat-obatan

Prapaton 1 ltr 114.068 570.342

Curacron 1 ltr 52.281 261.407

4. Peralatan:

Cangkul 1 unit 15.843 15.843

Sprayer 1 unit 110.900 110.900

5. Tenaga Kerja 143 unit 23.764 1.188.212

6. Jasa Traktor 1 ha 570.342 570.342

7. Sewa Lahan 1 ha 2.851.711 2.851.711

Total 10.131.496

Keuntungan 1.275.348

Sumber: Data Primer, diolah (

2011

)

Lampiran 10. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam

Komponen Domestik dan Asing pada Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2005 (Rp/Ha)

No. Input/Output Ekonomi Finansial

Domestik Asing Total Domestik Asing Pajak Total

A Penerimaan

1 Output beras 7.774.292 0 7.774.292 12.879.930 0 130.100 13.010.029

B Biaya produksi

1 Benih 132.696 0 132.696 152.270 0 1.694 153.964

2 Pupuk

Urea 469.034 39.679 508.713 326.561 27.686 710 354.957

TSP 212.811 18.004 230.815 171.909 14.575 374 186.858

Poska 92.485 7.824 100.310 126.889 10.758 276 137.923

NPK Kujang 268.318 22.699 291.017 393.581 33.369 856 427.806

3 Obat

Decis

332.188 0 332.188 428.427 0 5.643 434.070

4 Peralatan

Cangkul 131.113 0 131.113 149.258 0 4.934 154.192

Golok 27.660 0 27.660 31.488 0 1.041 32.529

Handsprayer 89.787 0 89.787 102.213 0 3.379 105.592

5 Sewa lahan 2.856.333 0 2.856.333 3.535.754 0 72.158 3.607.913

6 Tenaga kerja

Persiapan lahan 207.006 0 207.006 319.076 0 5.518 324.594

Penanaman 286.624 0 286.624 441.798 0 7.640 449.438

Pemupukan 429.936 0 429.936 662.697 0 11.461 674.157

Penyiangan 200.637 0 200.637 309.258 0 5.348 314.607

Penyemprotan 254.777 0 254.777 392.709 0 6.792 399.501

Pemanenan 597.134 0 597.134 920.412 0 15.918 936.330

Perontokan 318.471 0 318.471 490.886 0 8.489 499.376

7 Jasa Traktor 398.089 0 398.089 613.608 0 10.612 624.220

8 Pajak Sawah 70.488 0 70.488 81.653 0 1.243 82.896

Total 7.375.588 88.207 7.463.795 9.650.448 86.388 164.085 9.900.921


(5)

Lampiran 11. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam

Komponen Domestik dan Asing pada Usahatani Beras di Desa

Kondangjaya Tahun 2010 (Rp/Ha)

No. Input/Output Ekonomi Finansial

Domestik Asing Total Domestik Asing Pajak Total

A Penerimaan

1 Output beras 12.573.652 0 12.573.652 12.331.774 0 124.563 12.456.337

B Biaya produksi

1 Benih 190.114 0 190.114 191.089 0 2.125 193.214

2 Pupuk

Urea 653.898 55.319 709.217 256.353 21.734 557 278.644

TSP 442.040 37.396 479.436 162.879 13.809 354 177.042

Poska 78.759 6.663 85.422 77.360 6.559 168 84.087

NPK Kujang 331.203 28.019 359.222 361.774 30.672 786 393.233

3 Obat

Decis 373.941 0 373.941 349.975 0 4.610 354.584

4 Peralatan

Cangkul 117.403 0 117.403 96.987 0 3.206 100.193

Golok 24.768 0 24.768 20.461 0 676 21.138

Handsprayer 80.399 0 80.399 66.417 0 2.196 68.613

5 Sewa lahan 2.463.561 0 2.463.561 3.568.877 0 72.834 3.641.712

6 Tenaga kerja

Persiapan lahan 289.627 0 289.627 323.959 0 5.603 329.561

Penanaman 641.635 0 641.635 717.693 0 12.412 730.105

Pemupukan 962.452 0 962.452 1.076.539 0 18.618 1.095.157

Penyiangan 336.858 0 336.858 376.789 0 6.516 383.305

Penyemprotan 513.308 0 513.308 574.154 0 9.929 584.084

Pemanenan 855.513 0 855.513 956.924 0 16.549 973.473

Perontokan 427.757 0 427.757 478.462 0 8.275 486.736

7 Jasa Traktor 427.757 0 427.757 478.462 0 8.275 486.736

8 Pajak Sawah 63.118 0 63.118 53.058 0 808 53.865

Total 9.274.111 127.397 9.401.508 10.188.211 72.774 174.497 10.435.483


(6)

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian

Gerbang Utama Kabupaten Karawang Kondisi Desa Kondangjaya

Sawah di Desa Kondangjaya Petani Padi di Desa Kondangjaya

Konversi Lahan Sawah di Desa Kondangjaya

Konversi Lahan Sawah di Desa Kondangjaya