Potensi penggunaan tenaga kerbau untuk pengolahan tanah pada lahan sawah studi kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

(1)

POTENSI PENGGUNAAN TENAGA KERBAU UNTUK

PENGOLAHAN TANAH PADA LAHAN SAWAH : STUDI

KASUS KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR,

JAWA BARAT

LUKMAN ADLIN HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Penggunaan Tenaga Kerbau untuk Pengolahan Tanah Pada Lahan Sawah : Studi Kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2009

Lukman Adlin Harahap


(3)

ABSTRACT

LUKMAN ADLIN HARAHAP. Potency of Buffalo Use in Paddy Field Land Tillage : Case Study of Ciampea Regency, Bogor District, West Java Province of Indonesia. Under direction of I WAYAN ASTIKA, and LEOPOLD OSCAR NELWAN.

The reliance on fossil fuel in agriculture has been causing some problems due to its fluctuating price, limited availability and emission of green house effect gas which is harmful to nature. The use of water buffalo becomes reasonable due to limitations of machine use, thus it is feasible to examine it again as an alternative of labor source, and also as a potential source of biogas, organic fertilizer and energy saving. This research was directed to assess both the energy use water buffalo and machine, build a model to predict the water buffalo labor availability and finally the biogas and fertilizer production potency of the water buffalo. A pair of buffalo uses 4542,56 MJ/ha with 96% of it comes from grass while machine uses 1086,45 MJ/ha with 95% of it comes from fossil fuel (diesel). Using systems dynamics model as a case in Ciampea District, Bogor Regency,West Java Province of Indonesia a simulation thus conducted. Scenario with highest performance would reduce machine use to zero in 2020 and saving fuel cost up to Rp.447.595.500 and energy up to 3,89 GJ while producing 255.283 m3 of biogas and substituting 17% of N anorganic fertilizer use, 9% of P anorganic fertilizer use and 28% K anorganic fertilizer use.


(4)

RINGKASAN

LUKMAN ADLIN HARAHAP. Potensi Penggunaan Tenaga Kerbau untuk Pengolahan Tanah Pada Lahan Sawah : Studi Kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh I WAYAN ASTIKA, dan LEOPOLD OSCAR NELWAN.

Ketergantungan pada penggunaan mesin untuk pengolahan lahan sawah memiliki beberapa masalah yang berkaitan dengan bahan bakar, antara lain harganya yang kian meningkat, ketersediaannya pada petani dan juga emisi gas rumah kaca yang merusak lingkungan. Penggunaan tenaga kerbau untuk pengolahan lahan sawah menjadi layak untuk dikaji kembali dengan keterbatasan penggunaan mesin selain kelebihan tenaga kerbau yang memiliki hasil sampingan biogas dan pupuk.

Kelayakan penggunaan kerbau dibandingkan dengan penggunaan mesin dikaji dari segi ekonomi dan energi. Lalu perlu juga untuk dilihat ketersediaan kemampuan tenaga kerbau untuk menggantikan tenaga traktor, untuk melakukan hal ini dikembangkan sebuah model dinamis dengan mengambil studi kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Model yang dihasilkan kemudian diverifikasi dan diuji validitasnya dengan menggunakan uji rataan sampel berpasangan (uji t) antara data aktual dan data yang dihasilkan dengan simulasi menggunakan model. Model yang valid kemudian dianalisis sensitifitasnya untuk melihat variabel yang paling berpengaruh pada variabel-variabel yang dijadikan parameter keluaran simulasi dengan menggunakan model. Berdasarkan analisis sensitifitas kemudian dikembangkan strategi-strategi yang dimanifestasikan dalam bentuk skenario-skenario yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan mesin di daerah studi kasus. Dari simulasi yang dilakukan berdasarkan skenario-skenario yang dikembangkan kemudian dapat dilihat skenario yang performanya paling baik dalam mengurangi penggunaan mesin.

Analisis teknoekonomi menunjukkan bahwa pada luas olahan lahan per tahun 11 hektar, penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan lebih menguntungkan daripada penggunaan mesin, penggunaan kerbau dapat memberikan keuntungan Rp. 7,22 juta per tahunnya (dengan 4 pasang kerbau), sedang pada luas olahan lahan per tahun yang sama, mesin hanya mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.1,3 juta. Tetapi bila penerimaan pada penggunaan kerbau hanya berasal dari pengolahan lahan saja, pengunaan kerbau justru merugikan, nilai kerugian yang diderita pada luas olahan lahan per tahun 11 hektar adalah sebesar Rp.1,94 juta per tahun.

Analisis energi menunjukkan bahwa efisensi penggunaan energi pada kerbau masih lebih rendah daripada penggunaan energi pada mesin, yaitu 26,63% berbanding 38,17%. Meskipun demikian, masukan energi pada kerbau yang paling besar berasal dari rumput (96,5%) sedangkan masukan energi pada mesin yang paling besar berasal dari Bahan Bakar Minyak Diesel (95,5%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kerbau lebih bersahabat dengan lingkungan daripada mesin pada studi kasus ini.


(5)

Model yang dikembangkan terdiri dari empat submodel, yaitu submodel kerbau jantan, submodel kerbau betina, submode lahan dan submodel pengolahan lahan. Uji t yang dilakukan pada validasi populasi dan validasi luas lahan menunjukkan bahwa data yang dihasilkan pada saat simulasi degan menggunakan model tidak berbeda nyata dengan data aktual, dengan demikian model dapat dikatakan valid.

Analisis sensitifitas menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang berpengaruh pada keluaran model, yaitu populasi kerbau betina dewasa, tingkat pemotongan kerbau betina dewasa dan tingkat penjualan kerbau betina dewasa. Ketiga variabel mempengaruhi 10 dari 10 variabel pengamatan. Sedang yang variabel yang nilai pengaruhnya paling besar adalah tingkat penjualan dan tingkat pemotongan kerbau betina dewasa pada tingkat yang sama.

Berdasarkan analisis sensitifitas, maka strategi yang dikembangkan adalah peningkatan populasi kerbau betina dewasa, penurunan tingkat penjualan kerbau betina dewasa dan penurunan tingkat pemotongan kerbau betina dewasa. Strategi-strategi ini kemudian diwujudkan dalam bentuk tiga skenario dasar yaitu Skenario penambahan kerbau betina dewasa, Skenario penundaan pemotongan kerbau betina dewasa dan Skenario State of Nature. Skenario penambahan kerbau betina dewasa dibagi ke dalam lima subskenario yaitu penambahan 5, 10, 15, 20 dan 25 ekor kerbau betina dewasa per tahun. Skenario penundaan pemotongan kerbau betina dewasa juga dibagi ke dalam lima subskenario yaitu tingkat pemotongan 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%, tingkat penjualan untuk kelima subskenario sama, yaitu sebesar 0%. Sedangkan Skenario State of Nature merupakan skenario dasar dimana tidak dilakukan perubahan apapun pada model dengan tujuan agar Skenario ini dapat dijadikan acuan performa Skenario yang lain.

Hasil simulasi dengan skenario-skenario yang dikembangkan menunjukkan bahwa Skenario penambahan kerbau betina sebanyak 25 ekor per tahun akan mampu mengurangi penggunaan mesin hingga menjadi nol pada sejak tahun 2020, performa ini merupakan performa terbaik dari kesemua skenario yang dikembangkan. Selain itu, Skenario ini juga mampu menghemat biaya bahan bakar sampai dengan Rp.447.595.500 dan energi sampai dengan 3,89 GJ. Di samping itu, populasi dalam Skenario ini juga mampu memproduksi 255.283 m3 biogas dan menggantikan penggunaan pupuk N anorganik sebesar 17%, pupuk P anorganik sebesar 9% dan Pupuk K anorganik sebesar 28%.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

POTENSI PENGGUNAAN TENAGA KERBAU UNTUK

PENGOLAHAN TANAH PADA LAHAN SAWAH : STUDI

KASUS KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR,

JAWA BARAT

LUKMAN ADLIN HARAHAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tesis : Potensi Penggunaan Tenaga Kerbau untuk Pengolahan Tanah Pada Lahan Sawah : Studi Kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

Nama : Lukman Adlin Harahap

NIM : F151050101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Keteknikan Pertanian

Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


(10)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Potensi Penggunaan Tenaga Kerbau untuk Pengolahan Tanah Pada Lahan Sawah : Studi Kasus Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat” dapat diselesaikan.

Tak lupa ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada :

1. Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si selaku ketua komisi pembimbing atas petunjuk, saran dan dukungannya selama pengerjaan tesis ini.

2. Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas saran dan koreksinya hingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Zahara, staf bagian Prodal Dinas Pertanian Kabupaten Jawa Barat, atas bantuannya dalam mengumpulkan data.

4. Ibu Puri dan Mbak Dian, para staf bagian Prodal Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Jawa Barat, atas bantuannya dalam mengumpulkan data.

5. Pak Jamal atas bantuannya selama mengumpulkan data lapangan.

Semoga tesis ini dapat menjadi referensi yang baik dan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Pebruari 2009 Lukman Adlin Harahap


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Juni 1982 dari ayah Ir. Chairul Anwar Harahap dan ibu Ratna Dewi Lubis. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan pada tahun 2005 diterima di Program Studi Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis berkerja sebagai tenaga pengajar honorer di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Pada Januari 2009, penulis mengikuti student symposium yang diadakan di

University of Ibaraki, Jepang dan menyajikan poster berjudul Water Buffalo As A Source Of Draft Power, Organic Fertilizer And Energy Saving.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Tenaga dalam Pengolahan Tanah Padi Sawah... 5

B. Pendekatan Sistem ... 9

C. Verifikasi dan Validasi ... 13

D. Simulasi dan Analisis Sensitifitas... 14

BAB III. METODE PENELITIAN ... 15

A. Waktu Dan Tempat Penelitian ... 15

B. Tahapan Penelitian... 15

C. Analisis Ekonomi dan Energi ... 16

Analisis Ekonomi... 16

Analisis Energi... 16

D. Rancangan Model ... 18

E. Verifikasi dan Validasi ... 20

F. Analisis Sensitifitas dan Pengembangan Strategi ... 21

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 23

B. Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah Dengan Menggunakan Tenaga Mesin dan Tenaga Kerbau ... 25

Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah dengan Tenaga Mesin ... 25

Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah dengan Tenaga Kerbau ... 27

Perbandingan Keuntungan Penggunaan Mesin dan Pengunaan Kerbau ... 28

C. Analisis Energi Pengolahan Tanah Dengan Menggunakan Tenaga Mesin dan Tenaga Kerbau ... 31

D. Model Pengolahan Lahan dengan Menggunakan Tenaga Kerbau ... 34

Submodel Kerbau Jantan ... 34

Submodel Kerbau Betina ... 35

Submodel Lahan ... 36

Submodel Pengolahan Tanah... 37

E. Verifikasi dan Validasi ... 38


(13)

Validasi Luas Tanam Lahan Sawah... 39

F. Analisis Sensitifitas dan Pengembangan Strategi ... 40

G. Simulasi... 43

Perubahan Luas Tanam Lahan Sawah ... 44

Pertumbuhan Populasi ... 46

Ketersediaan Tenaga Untuk Pengolahan Lahan ... 48

Dampak Penerapan Skenario Pada Penggunaan Energi ... 51

Produksi Biogas dan Pupuk Organik ... 53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

Kesimpulan ... 56

Saran ... 58


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Emisi Gas Efek Rumah Kaca Berdasarkan Jenis dan Sumbernya... 1

Gambar 2. Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem(Manetsch dan Park, 1977) . 10 Gambar 3. Pola Pendekatan Pengembangan Sistem Dinamik (Sushil, 1993) ... 11

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian ... 15

Gambar 5. Diagram Sebab Akibat Submodel Ternak ... 19

Gambar 6. Diagram Sebab Akibat Submodel Lahan... 20

Gambar 7. Luas tanam lahan sawah Kecamatan Ciampea (1995 – 2006) ... 24

Gambar 8. Jumlah populasi kerbau Kecamatan Ciampea (1995 – 2006)... 24

Gambar 9. Grafik biaya pokok dan biaya total mesin untuk luas olahan lahan per tahun 1 hektar/tahun sampai dengan 16 hektar/tahun... 26

Gambar 10. Grafik biaya pokok dan biaya total penggunaan hewan. ... 28

Gambar 11 Grafik biaya total dan biaya pokok penggunaan mesin untuk pengolahan lahan seluas 11 hektar sampai dengan 16 hektar... 29

Gambar 12 Grafik biaya total dan biaya pokok penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan seluas 11 hektar sampai dengan 16 hektar... 29

Gambar 13. Grafik penerimaan dan biaya tahunan pada penggunaan mesin untuk pengolahan lahan sawah untuk luas olahan pertahun 11 hektar sampai 16 hektar... 30

Gambar 14. Grafik penerimaan dan biaya tahunan pada penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan sawah untuk luas olahan pertahun 11 hektar sampai 16 hektar... 30

Gambar 15. Pengukuran feses dan urine yang dihasilkan selama di dalam kandang 34 Gambar 16. Diagram Alir Sistem Dinamik Submodel Kerbau Jantan ... 35

Gambar 17. Diagram Alir Sistem Dinamik Submodel Kerbau Betina... 36

Gambar 18. Diagram Alir Sistem Dinamik Submodel Lahan ... 37

Gambar 19. Diagram Alir Sistem Dinamik Submodel Pengolahan Tanah ... 38

Gambar 20. Grafik perubahan luas lahan tipe I dan II berserta DDL... 46

Gambar 21. Grafik perkembangan populasi total kerbau (Skenario 1) ... 47

Gambar 22. Grafik perkembangan populasi total kerbau (Skenario 2) ... 48


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Peta Daerah Penelitian, Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

Propinsi Jawa Barat... 63

Lampiran 2. Contoh perhitungan teknoekonomi penggunan mesin untuk pengolahan lahan dengan menggunakan mesin dengan luasan olahan lahan 11 hektar per tahun. ... 65

Lampiran 3. Contoh perhitungan analisis teknoekonomi untuk pengolahan lahan dengan menggunakan tenaga kerbau dengan luasan olahan lahan 3 hektar per tahun... 66

Lampiran 4. Analisis teknoekonomi untuk masing-masing luas olahan lahan per tahun dalam penggunaan mesin untuk rentang 11 hektar sampai 16 hektar per tahun... 67

Lampiran 5. Analisis teknoekonomi untuk masing-masing luas olahan lahan per tahun dalam penggunaan 4 pasang kerbau untuk rentang 11 hektar sampai 16 hektar per tahun ... 68

Lampiran 6. Daftar Variabel Model Sistem Dinamik ... 70

Lampiran 7. Hasil uji t untuk validasi model (populasi kerbau) ... 72

Lampiran 8. Hasil uji t untuk validasi model (luas tanam lahan sawah)... 73

Lampiran 9. Data Hasil Simulasi... 74


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Item masukan dan keluaran pada penyusunan neraca energi mesin dan

kerbau dalam analisis energi ... 16

Tabel 2. Neraca energi dalam penggunaan traktor dalam pengolahan lahan seluas satu hektar. ... 32

Tabel 3. Neraca energi dalam penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan seluas satu hektar ... 33

Tabel 4. Data yang digunakan dalam validasi populasi kerbau ... 39

Tabel 5. Data yang digunakan dalam validasi luas tanam lahan sawah ... 39

Tabel 6. Nilai berbagai variabel yang diamati dalam analisis sensitifitas ... 40

Tabel 7. Perubahan luas tanam lahan sawah tipe I dan II selama simulasi... 45

Tabel 8. Perubahan nilai Daya Dukung Lahan (DDL) selama simulasi ... 45

Tabel 9 . Proyeksi populasi total tenaga kerbau untuk masing-masing skenario .. 46

Tabel 10. Ketersediaan tenaga kerbau untuk pengolahan tanah untuk masing-masing skenario ... 49

Tabel 11. Luas lahan sawah yang dapat diolah dengan menggunakan tenaga kerbau... 50

Tabel 12. Perubahan kebutuhan jam kerja traktor untuk masing-masing skenario 51 Tabel 13. Nilai ekonomi dan energi yang dapat dihemat berdasarkan selisih kebutuhan jam kerja mesin ... 52

Tabel 14. Proyeksi produksi biogas berdasarkan perubahan populasi kerbau... 53

Tabel 15. Proyeksi produksi pupuk organik berdasarkan perubahan populasi kerbau... 54

Tabel 16. Persentase pupuk anorganik yang tergantikan oleh pupuk organik yang dihasilkan oleh populasi kerbau... 54


(17)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pengolahan lahan padi sawah dikenal 3 macam sumber tenaga, yaitu manusia, hewan ternak dan mesin. Dengan kecenderungan tenaga manusia dan hewan yang terus menurun jumlahnya secara otomatis penggunaan tenaga mesin untuk menutupi kapasitas olahan lahan yang kurang akan meningkat. Hal ini berarti potensi peningkatan dalam penggunaan bahan bakar fosil yang berarti pula peningkatan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab terjadinya global warming atau pemanasan global. Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) yang makin meningkat juga menjadi masalah. Di Indonesia, kenaikan harga BBM telah terjadi beberapa kali pada rentang tahun 2003 sampai dengan 2008, pada tahun 2005 sendiri terjadi beberapa kali, dari 2003 sampai pada akhir tahun 2005, harga solar naik sekitar 160% dari level harga Rp.1.650 per liternya hingga ke Rp.4.300 per liternya, bensin juga mengalami kenaikan sekitar 130% dari level harga Rp 1810 hingga ke Rp.4.500 per liternya. Pada tahun 2008, harga BBM kembali naik dengan kenaikan rata-rata 30% hingga mencapai harga Rp.5.500 untuk solar dan Rp.6.000 untuk bensin (ESDM, 2008).

Pemanasan global yang memicu perubahan iklim dunia disebabkan oleh gas rumah kaca dengan emisi CO2 sebagai kontributor dominan dan sebagian besar

merupakan emisi yang berasal dari penggunaan energi, seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 1. UNFCC memproyeksikan suhu rata-rata dunia akan meningkat sebanyak 3oC pada tahun 2100 jika tidak ada aksi yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas efek rumah kaca ini.

Gambar 1. Emisi Gas Efek Rumah Kaca Berdasarkan Jenis dan Sumbernya (sumber : UNFCC,2007)


(18)

Pemanasan global menyebabkan suhu rata-rata tahunan meningkat sebesar 0.3oC sejak tahun 1990 dan intensitas curah hujan meningkat rata-rata 2 sampai 3 % dan dalam periode pendek, meningkatkan resiko banjir secara signifikan di Indonesia yang pada akhirnya akan menuntun pula pada krisis pangan akibat gagal panen(DTE, 2007).

Dengan kecenderungan meningkatnya kesempatan kerja di bidang non pertanian, tenaga manusia yang tersedia untuk pengolahan lahan akan cenderung menurun. Hasil penelitian Ananto (1990) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menunjukkan penurunan jumlah tenaga buruh tani sebesar 1,51 % per tahun dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1988.

Fokus pada tenaga ternak menjadi pilihan ketika tenaga pada wilayah pertanian tidak mencukupi dan tenaga mesin harus dipakai seminim mungkin. Menurut Smith(1982), selain tidak perlu menggunakan bahan bakar fosil yang harus diimpor, ternak tarik juga menghasilkan hasil sampingan seperti susu, daging, bahan bakar atau pupuk selain tenaganya dan sangat mendukung untuk sistem pertanian terintegrasi.

Ternak kerja memegang peranan yang penting dalam usaha peningkatan peroduksi pertanian di negara sedang berkembang, hampir 50% tenaga pengolahan lahan pertanian adalah ternak kerja (Ramaswamy, 1985). Salah satu ternak kerja yang banyak digunakan untuk mengolah lahan pertanian basah di Asia Tenggara adalah kerbau (Smith, 1981). Sampai saat ini, ternak kerbau menyumbangkan 20-30% tenaganya dalam usaha pertanian di Cina Selatan, Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina dan negara-negara Indocina. Walaupun mekanisasi pertanian telah berkembang pesat pada 20 tahun terakhir, namun tetap sulit untuk menganjurkan petani agar mengganti ternak kerbau dengan traktor, karena adanya beberapa keuntungan tambahan dari penggunaan ternak kerbau, diantaranya adalah tersedianya pupuk kandang untuk tanah pertanian dan tidak diperlukannya bahan bakar. Selain itu kerbau merupakan ternak kerja yang mempunyai tenaga kuat, struktur badan yang sesuai dengan tugasnya terutama pada bagian kaki, teracaknya lebar dan persendian kakinya sangat lentur sehingga memudahkan gerakan berputar (NRC, 1981).

Di Kabupaten Subang, Jawa Barat, pemilikan traktor memiliki R-C ( Revenue-Cost) ratio lebih rendah daripada pemilikan ternak, R-C ratio traktor 0,79 sedang R-C

ratio ternak 1,68 di daerah non mekanisasi dan 1,46 di daerah mekanisasi (Suryadi, 1983). Nilai R-C ratio lebih kecil dari 1 menunjukkan bahwa pemilikan traktor merugikan pemiliknya. Oleh karena itu, usaha untuk menggunakan tenaga ternak


(19)

C. Batasan Masalah 1. Batasan sistem :

− Daerah yang dikaji adalah desa-desa di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.

− Penelitian hanya mengkaji penggunaan tenaga hewan pada kegiatan pengolahan lahan padi sawah.

− Hewan ternak yang dimaksud dalam kajian ini adalah kerbau. 2. Batasan data :

− Data yang digunakan adalah data jumlah dan umur hewan untuk masing-masing jenis kelamin, dan pengunaan lahan serta data-data lain yang diperlukan pada tingkat kecamatan dan desa.

− Rentang data yang digunakan adalah dari tahun 1995 sampai tahun 2006 3. Asumsi-asumsi :

− Tenaga mesin diperlakukan sebagai tenaga pendukung untuk melengkapi kekurangan tenaga pengolahan lahan dengan menggunakan tenaga hewan.

− Tidak terjadi ledakan dan kelesuan perubahan jumlah tenaga hewan di daerah studi.

− Hewan yang dipergunakan tenaganya diperlakukan sebagai hewan tarik dan hewan ternak.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi suatu metoda analisis berkaitan dengan pengambilan kebijakan oleh pihak–pihak yang berwenang, khususnya instansi-instansi pemerintah di bidang pertanian.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak–pihak yang berkepentingan.


(20)

kerugian. Sedangkan Ananto (1983) menyatakan bahwa dari kelayakan usaha di Kabupaten Kerawang, Jawa Barat, analisis finasial menunjukkan bahwa dengan B/C

(Benefit to Cost) ratio 1,23 dan IRR 39,16 persen serta kapasitas pengolahan tanah melewati titik breakeven, maka pengusahaan traktor sebagai sumber tenaga pengolah tanah adalah layak. Sebaliknya hewan tarik dengan B/C ratio 0,7 dan kapasitas pengolahan tanah lebih rendah dari titik breakeven, maka pengusahaan hewan sebagai sumber tenaga pengolahan tanah kurang layak.

Melihat kenaikan harga bahan bakar yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya biaya-biaya maka perlu dikaji ulang kelayakan ekonomis penggunaan traktor untuk pengolahan tanah dan membandingkannya dengan penggunaan hewan. Dengan demikian penggunaan tenaga ternak dalam pengolahan lahan padi sawah juga perlu dikaji lagi untuk melihat ketersediaan tenaga ternak saat ini dan strategi-strategi apa yang dapat dikembangkan di masa depan sehingga jumlahnya mencukupi untuk mencapai olahan lahan tepat waktu dan penggunaan tenaga mesin dapat diminimalisir.

Untuk mengembangkan strategi-strategi yang dimaksud perlu dilihat kecenderungan perilaku sistem ketersediaan hewan dan juga pengaruhnya terhadap luas lahan yang dapat diolah, dengan demikian perlu dibangun sebuah model sistem dinamik yang dapat merepresentasikan sistem di daerah studi kasus. Strategi-strategi yang dikembangkan kemudian dilihat performanya dalam simulasi menggunakan model sistem dinamik yang telah dibangun untuk melihat strategi yang memberikan performa terbaik.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui potensi tenaga ternak di suatu wilayah sebagai tenaga pengolah lahan sawah untuk menggantikan tenaga traktor

2. Mengetahui potensi manfaat lain dari tenaga ternak selain sebagai tenaga tarik yaitu produksi biogas dan pupuk.


(21)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tenaga dalam Pengolahan Tanah Padi Sawah

Menurut Daywin, dkk (1999), pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk mempersiapkan lahan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi tanah yang siap tanam, yang terbagi menjadi dua yaitu pengolahan tanah pertama dan pengolahan tanah kedua.

Disadur dari Siregar (1987), pengolahan tanah yang ideal pada padi sawah berlangsung dengan urutan sebagai berikut :

1. Lahan diairi terlebih dahulu, tujuan pertama dari pengairan ini adalah untuk melunakkan tanah sedemikian rupa sehingga untuk mudah diolah, tujuan keduanya adalah untuk memusnahkan rerumputan yang tumbuh denga subur di kotakan sawah. Penggenangan air berlangsung selama beberapa waktu.

2. Setelah tanahnya sudah cukup lunak, kotakan sawah dibajak. Pembajakan dilakukan untuk membentuk kontur petakan sawah agar bagian terendah sawah ada di tengah dan membenamkan rerumputan dari penanaman sebelumnya. Tujuan pembentukan kontur demikian adalah agar air lebih banyak tertampung dalam petakan sawah.

3. Setelah lahan dibiarkan selama 2 minggu, dilakukan penyisiran pertama dengan menggunakan garu, gumpalan-gumpalan tanah bajakan itu dipecahkan sedemikian rupa sehingga tanah itu betul-betul merupakan bubur yang sangat lunak.

Dalam pengolahan tanah padi sawah, dikenal 3 macam sumber tenaga; tenaga manusia, tenaga hewan ternak dan tenaga kerja mesin, menurut Akbar (2001) penggunaan ketiga jenis sumber tenaga pengolahan tanah itu bergantung pada beberapa kondisi :

- Kondisi topografi lahan - Ketersediaan sumber tenaga


(22)

- Luas lahan - Modal kerja

Penerapan mekanisasi pertanian dalam upaya meningkatkan produksi pertanian merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Deptan (1993) menyatakan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Langkanya tenaga kerja/buruh tani yang disebabkan oleh banyaknya tenaga kerja muda yang cenderung meninggalkan lapangan pertanian. 2. Terjadinya kelangkaan tenaga ternak karena populasinya semakin menurun

akibat pemeliharaan yang kurang intensif dan semakin meningkatnya kebutuhan daging potong.

3. Adanya perkembangan jaringan irigasi dan inovasi teknologi tanaman pangan sehingga harus dilakukan jadwal tanam yang ketat.

4. Peningkatan produktivitas menyebabkan meningkatnya kebutuhan alat-alat pertanian.

Adiratma (1977) menyatakan bahwa sampai saat ini masih banyak orang yang berpendapat bahwa mekanisasi pertanian adalah ”motorisasi” atau ”traktorisasi”. Pandangan ini sering menimbulkan pendapat yang ”pro” dan ”kontra” terhadap mekanisasi pertanian dan menganggap sebagai ”momok” yang mengkhawatirkan bagi perluasan kesempatan kerja.

Sampai sekarang masih terdapat kelompok yang setuju dan tidak setuju tentang adanya mekanisasi. Hamid (1973) menyebutkan alasan-alasan yang diajukan oleh para penerima dan penentang mekanisasi sebagai berikut :

Mekanisasi dianggap baik karena :

a. Dapat meningkatkan hasil karena perkerjaan lebih tepat dan efektif. b. Kemungkinan dilaksanakannya “multiple cropping

c. Mengurangi ketergantungan terhadap ternak yang produktifitasnya rendah sedang biayanya mahal

d. Dapat meningkatkan produktifitas kerja e. Menurunkan biaya produksi


(23)

Mekanisasi dianggap tidak baik karena :

a. Di negara-negara berkembang modal adalah barang langka, karena itu sebaiknya tidak dipakai di sektor pertanian karena di sektor ini terdapat banyak tenaga kerja.

b. Mekanisasi menggantikan tenaga manusia

c. Mekanisasi dapat memperbesar perbedaan pendapatan.

Menurut Ananto (1990), secara umum mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan semua alat mesin pertanian yang digerakkan oleh tanaga manusia, ternak, mekanis/motor dan alam, untuk melaksanakan semua kegiatan yang berhubungan dengan budidaya pertanian, panen dan penanganan pasca panen.

Untuk mengefisienkan usahatani pertanian, penggunaan teknik/mekanisasi merupakan salah satu pemecahan masalah untuk meningkatkan keuntungan. Penggunaan traktor dapat mengolah lahan dengan cepat, sehingga dalam satu musim tanam petani dapat menanam komoditas pertanian cukup banyak. Namun demikian banyak kendala yang membatasi penggunaan traktor. Kendala-kendala itu antara lain : relatif sempitnya penguasaan lahan oleh sebagian besar petani di Indonesia, tingkat ekonomi petani masih banyak yang belum “mampu”, teknologi perawatan masih kurang memadai, disamping masalah topografi dan biaya perawatan yang cukup tinggi. Usaha efisiensi usahatani di Indonesia dapat ditingkatkan dengan teknologi madya. Salah satu teknologi madya ini diantaranya dengan menggunakan bajak yang ditarik sapi/kerbau untuk mengolah lahan usahatani. Keuntungan penggunaan sapi/kerbau sebagai tenaga kerja diantaranya : modal yang diperlukan masih dapat dijangkau oleh petani, dapat berkembang biak, biaya produksi relatif rendah, penghasil pupuk kandang. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan membudidayakan ternak kerja (sapi/kerbau) tidak ada nilai penyusutan, bahkan yang dihasilkan adalah nilai tambah yang cukup berarti untuk peningkatan pendapatan petani peternak.(Setiadi, 1994)

Jusuf Maamun (1983) mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan, dengan memakai data dari penelitian “The Consequences of Small Ricefarm Mechanization on Income, Rural Employment and Production in Asia”. Dengan 149 traktor contoh, ia memperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun dari traktor yang dioperasikan petani


(24)

menguntungkan. Dalam analisis ini traktor dibagi dua kelompok yaitu kelompok traktor model 1975 dan kelompok trakor model 1976.

Penelitian Sinaga (1978) dan M. Husen Sawit, dkk (1979) yang mengambil kasus di Jawa Barat melihat belum adanya gejala kekurangan tenaga kerja, malah ada kecenderungan kesempatan kerja yang semakin memburuk. Walaupun kekurangan itu terjadi, tetapi sifatnya sangat lokal dan tidak perlu harus dipecahkan dengan traktor. Demikian pula pendapatan jam kerja di luar sektor pertanian di pedesaan masih rendah dan upah buruh tani tidak menunjukkan kenaikan yang cukup meyakinkan dan malahan turun dalam tiga tahun terakhir. Data empiris maupun pandangan teoritis, traktor tidak akan memecahkan masalah peningkatan produksi di daerah padat penduduk seperti pulau Jawa dan Bali.

Penelitian lain yang mengambil lokasi di Jawa Barat, memperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan traktor oleh petani tidak menguntungkan (Sugianto, dkk, 1981). Dengan mengambil 60 petani pemilik traktor sebagai contoh, petani pemilik traktor ini tidak bisa mengembalikan angsuran yang diwajibkan selama enam musim. Hal ini disebabkan karena jumlah angsuran jauh melebihi pendapatan yang diperoleh dari penyewaan traktor. Petani pemilik traktor hanya mampu mengembalikan sebanyak 82,5 persen dari nilai angsuran tanpa bunga.

Kesimpulan penelitian di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat tadi, dikuatkan pula dengan hasil penelitian Sinaga (1977) dan Sutawan, dkk. (1980) yang dilakukan di Bali. Kedua peneliti berkesimpulan bahwa pengusahaan traktor di Bali tidak menguntungkan.

Suatu hasil yang kontradiktif dengan hasil penelitian di atas diperoleh beberapa peneliti. Bunasor (1981) meneliti penggunaan traktor di Jawa Barat dengan memakai data IRRI dan dengan contoh 61 pemilik traktor menyimpulkan bahwa pengusahaan traktor yang memakai solar akan menguntungkan sedangkan yang memakai premium tidak menguntungkan. Penelitian Simatupang (1980) juga mendukung hasil yang diperoleh Bunasor. Soedjatmiko (1976), Hamid (1980), dan Colter, dkk. (1982) mempunyai kesimpulan yang sama dengan Bunasor untuk daerah penelitian di Bali.


(25)

Setelah membandingkan beberapa hasil penelitian tentang penggunaan traktor di beberapa negara, Binswanger (1978) menyimpulkan sebagai berikut :

a. Peneliti gagal membuktikan bahwa traktor dapat menaikkan intensitas penanaman, produksi, waktu senggang dan pendapatan kotor

b. Banyak peneliti yang memakai analisa cost benefit, menaksir nilai benefit

terlalu tinggi

c. Walaupun pengusahaan traktor tidak menguntungkan tetapi tetap makin banyak petani yang menanamkan modalnya pada traktor. Hal ini disebabkan karena beberapa hal :

(i) Traktor dapat mempermudah pengolahan tanah dan meringankan pekerjaan

(ii) Memungkinkan untuk membuka lahan baru

(iii)Adanya subsidi yang diperoleh oleh pemilik traktor

(iv)Kenaikan tingkat upah buruh yang mencerminkan kelangkaan tenaga kerja manusia

B. Pendekatan Sistem

Sistem merupakan kesatuan yang utuh, yang mana mempunyai implikasi bahwa kajian terhadap bagian sistem secara terpisah tidak akan memberikan pengertian yang lengkap mengenai sistem tersebut, hal ini disebabkan karena adanya interaksi antar bagian-bagian tersebut di dalam sistem (Dent dan Anderson, 1971)

Analisis sistem didefinisikan sebagai sebuah usaha untuk membantu pengambil keputusan dalam memilih jalur tindakan yang diharapkan di masa depan dengan cara : 1. secara sistematik menguji dan menguji kembali (reexamining) tujuan yang

berhubungan dan kebijakan atau strategi alternatif untuk mencapainya.

2. membandingkan secara kuantitatif biaya ekonomis, keefektifan (keuntungan), dan resiko dari alternatif – alternatif yang ada ketika mungkin. Analisis sistem juga dianggap sebagai strategi riset daripada sebuah metode atau teknik, dan dalam tahap pengembangannya sekarang, analisis sistem masih lebih merupakan sebuah seni daripada suatu ilmu, meskipun menggunakan metode ilmiah ketika mungkin diperlukan. Secara keseluruhan, analisis sistem dapat dipandang sebagai suatu pendekatan, atau cara pandang, terhadap pemilihan dari bermacam –


(26)

macam alternatif yang rumit yang biasanya berada dalam keadaan ketidakpastian (Fisher, 1971).

Gambar 2. Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem(Manetsch dan Park, 1977) Mulai

Analisis Kebutuhan

Perumusan Masalah

Identifikasi Sistem :

1. Diagram Lingkar Sebab Akibat 2. Diagram Masukan Keluaran 3. Diagram Alir

Pemodelan (Program)

Validasi Model

Evaluasi Periodik Implementasi

Layak ? Tidak


(27)

Dalam mempelajari sistem perlu ditentukan batas sistem (system boundaries) agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut, sebab dalam keadaan sesungguhnya sangat sulit untuk melihat batas sistem, tapi tanpa batas yang jelas sulit diharapkan hasil dari sistem(Dent dan Blackie, 1979).

Manetsch dan Park (1977) menyatakan pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan identifikasi serangkaian kebutuhan, perumusan masalah, identifikasi sistem dan pemodelan. Tahapan dalam pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Sushil (1993), pemodelan dengan menggunakan sistem dinamik pada umumnya mengikuti suatu pola pendekatan. Ada beberapa pola pendekatan, skema pola-pola itu digambarkan seperti pada Gambar 3

Pola I Pola II

Pola III Pola IV

Pola V Pola VI

Gambar 3. Pola Pendekatan Pengembangan Sistem Dinamik (Sushil, 1993)

Sub System Diagram

Causal Loop Diagram Policy Structure Diagram Flow Diagram

Equation Flow Diagram

Equation

Sub System Diagram

Policy Structure Diagram Flow Diagram

Equation

Causal Loop Diagram

Flow Diagram

Equation Causal Loop Diagram

Equation

Sub System Diagram Causal Loop Diagram

Flow Diagram Equation


(28)

Pemilihan pola pendekatan tergantung pada situasi permasalahan, pembuat model dan software yang digunakan untuk membuat modelnya.

Sebuah sistem dapat direpresentasikan dengan menggunakan cara analitik ataupun simulasi. Sangat baik untuk selalu menggunakan cara analitik, tetapi, kebanyakan sistem adalah hal yang kompleks, oleh karena itu terkadang digunakan simulasi. Menurut Law dan Kelton (1991), simulasi diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi berbeda seperti berikut :

ƒ Model simulasi statik vs dinamik : model simulasi statik adalah gambaran dari sistem pada waktu tertentu, atau yang digunakan untuk menggambarkan sebuah sistem dimana waktu tidak memegang peranan; contoh simulasi statik adalah simulasi model Monte Carlo. Model simulasi dinamik menggambarkan sebuah sistem yang berubah seiring waktu, seperti sistem konveyor pabrik.

ƒ Model simulasi deterministik vs stokastik : jika sebuah model simulasi tidak mengandung komponen probabilistik, maka disebut deterministik; sebuah sistem rumit dari persamaan difrensial yang menjelaskan sebuah reaksi kimia merupakan model yang demikian. Dalam model deterministik, keluaran ’ditentukan’ setelah serangkaian jumlah masukan dan hubungan telah dijelaskan, meskipun akan memakan banyak waktu komputer untuk menguji apa itu. Kebanyakan sistem harus dimodelkan memiliki paling tidak beberapa komponen masukan acak, dan hal ini melahirkan model simulasi stokastik. Kebanyakan sistem antrian dan inventori dimodelkan secara stokastik. Model simulasi stokastik menghasilkan luaran yang acak juga, dan dengan demikian harus diperlakukan sebagai perkiraan dari karakteristik model sebenarnya.

ƒ Model simulasi berkelanjutan (continuous) vs model simulasi terputus (discrete) : model simulasi berkelanjutan dan terputus analog dengan sistem berkelanjutan dan terputus. Model terputus tidak selalu digunakan untuk memodelkan sistem terputus dan begitu pula sebaliknya. Keputusan untuk menggunakan model simulasi terputus atau berkelanjutan bergantung pada tujuan spesifik dari studi. Sebagai contoh, sebuah model aliran lalu lintas dalam sebuah jalan bebas hambatan akan menjadi model terputus apabila karakteristik dan pergerakan masing – masing mobil penting. Lain hal, jika


(29)

mobil – mobil diperlakukan sebagai pecahan, aliran lalu lintas dapat diuraikan dengan persamaan difrensial dalam sebuah model berkelanjutan.

C. Verifikasi dan Validasi

Agar dapat berguna, suatu model harus dinyatakan valid terlebih dahulu dengan melalui proses validasi. Menurut Sushil (1993), suatu model sistem dinamik divalidasi dalam beberapa tahap, seperti dapat dilihat dibawah :

1. validasi struktur model 2. validasi perilaku model 3. validasi implikasi kebijakan

Menurut Macal (2005), verifikasi model dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah model sudah berkerja seperti yang dimaksud?” dan validasi model dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah model sudah mewakili dan meniru dengan benar perilaku sistem dunia nyata?”. Dilakukannya verifikasi bertujuan untuk memastikan hal-hal berikut: (1) model telah diprogram dengan benar, (2) algoritme-algoritme telah diterapkan dengan sesuai, (3) model tidak mengandung galat,

oversight, atau bugs (kesalahan pemrograman), sementara, dilakukannya validasi akan memastikan model memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam hal metode yang digunakan dan hasil yang dicapai. Tujuan akhir dari validasi adalah untuk membuat model berguna ketika model mengenali masalah yang benar, menyediakan informasi yang akurat mengenai sistem yang dimodelkan dan membuat model benar-benar digunakan.

Promosiana (1991) melakukan validasi dengan melakukan t test pada tingkat kepercayaan lima persen (5%). Data nyata dan hasil simulasi dicari persamaan liniernya berdasarkan persamaan berikut :

y = a + bx (1)

dimana :

y = nilai parameter pada waktu x x = waktu kejadian (event) a = intersept


(30)

apabila a (intersept) dan b (slope) antara data nyata dan hasil simulasi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan lima persen, maka model tersebut dianggap valid (sah).

D. Simulasi dan Analisis Sensitifitas

Menurut Stoecker (1989), simulasi sistem berarti pengamatan terhadap sebuah sistem buatan yang meniru kinerja dari sistem asli. Simulasi tidak dilakukan pada saat desain. Biasanya dalam simulasi dilakukan keadaan – keadaan atau nilai – nilai diluar desain untuk melihat bagaimana model merespon perubahan tertentu.

Model simulasi menitik beratkan pada usaha meniru atau memodelkan sistem yang nyata setepat mungkin untuk kemudian melaksanaan percobaan dengan model tersebut secara sistematis, sehingga dapat dibandingkan berbagai macam alternatif untuk dapat memilih alternatif yang lebih baik (Winardi, 1980).

Macal (2005) menyatakan ada beberapa alasan mengapa model dan simulasi digunakan, yaitu (1) kita dibatasi oleh pemikiran linier sehingga kita tidak dapat memahami bagaimana bermacam-macam bagian sistem berinteraksi dan menyatu, (2) kita tidak dapat membayangkan seluruh kemungkinan yang dapat ditampilkan oleh sistem asli, (3) kita tidak dapat memperkirakan efek penuh dari kejadian-kejadian menggunakan model mental kita yang terbatas, (4) kita tidak dapat memperkirakan kejadian baru yang bahkan model mental kita saja tidak bisa membayangkannya. Macal juga menyatakan bahwa model digunakan untuk menghasilkan pemahaman, bukan angka karena model memberi kita “ruang pikir” untuk memahami variabel-variabel kunci berserta sebab dan akibatnya. Model pada akhirnya akan digunakan untuk membangun pendapat yang masuk akal mengenai mengapa sebuah kejadian mungkin atau tidak mungkin terjadi berdasarkan model.

Simulasi pertamakali akan dilakukan dengan parameter-parameter masukan alami dari sistem yang dikaji untuk melihat kecenderungan respon dari model sistem. Setelah dilakukan simulasi kemudian dilakukan analisis sensitifitas. Menurut Ananto (1990), analisis sensitifitas atau analisis kepekaan dimaksudkan untuk melihat parameter atau peubah keputusan mana yang mempunyai peranan penting di dalam sistem, sehingga dapat dilakukan kajian yang lebih teliti terhadap parameter sistem tersebut.


(31)

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan pada Februari 2008 sampai dengan Juni 2008 di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pengolahan data, pembuatan dan kalibrasi model dilakukan di Laboratorium Sistem Manajemen Mekanisasi Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Darmaga, Bogor pada Juni 2008 sampai dengan Desember 2008.

B. Tahapan Penelitian

Penelitian akan dikerjakan melalui dua tahap : 1. Tahap analisis ekonomi dan energi.

2. Tahap pembuatan model.

Diagram alir penelitian pada pembuatan model pembuatan model dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

MERANCANG MODEL

MENENTUKAN KEBUTUHAN

DATA

MENGUMPULKAN DAN MENGOLAH DATA

DATA TERSEDIA

?

MEMBUAT MODEL VERIFIKASI

MODEL TERVERIFIKASI

?

VALIDASI

MODEL TERVALIDASI

?

SIMULASI, ANALISIS SENSITIFITAS

PENGEMBANGAN DAN EVALUASI STRATEGI

YA

YA

YA TIDAK

TIDAK

MODIFIKASI MODEL TIDAK


(32)

C. Analisis Ekonomi dan Energi Analisis Ekonomi

Analisis eknonomi dilakukan untuk membandingkan bagaimana performa mesin dan kerbau dari segi ekonomi. Biaya terdiri dari biaya operasional dan biaya tetap. Biaya operasional mesin terdiri dari biaya BBM, biaya oli, biaya upah, dan biaya perbaikan. Biaya tetap mesin hanya berasal dari biaya penyusutan. Biaya operasional kerbau terdiri dari upah pencari rumput dan upah operator. Penentuan biaya tetap kerbau ada ada dua macam, model pertama adalah biaya tetap terdiri dari penyusutan yang nilainya negatif akibat nilai kerbau yang naik seiring waktu dan model kedua adalah biaya tetap dianggap tidak ada dengan asumsi bahwa tidak ada biaya penyusutan pada tenaga kerbau.

Analisis Energi

Analisis energi dilakukan untuk membandingkan performa mesin dan kerbau dari segi energi. Energi yang diperkirakan adalah energi yang digunakan dan dihasilkan selama pengolahan lahan seluas 1 hektar. Tabel 1 berisi item masukan dan keluaran pada neraca energi untuk mesin dan kerbau.

Tabel 1. Item masukan dan keluaran pada penyusunan neraca energi mesin dan kerbau dalam analisis energi

Mesin Kerbau Masukan Masukan BBM (solar) rumput

pelumas/oli pengadaan rumput operator operator

Keluaran Keluaran tenaga tarik tenaga tarik

biogas

pupuk (N)

pupuk (P2O5)

pupuk (K2O)

Untuk analisis energi pada penggunaan mesin, digunakan persamaan-persamaan berikut :

KBBM = JHKM × JJKM × BBPJ (2)


(33)

DPOW = JHKM × JJKM × DTRAK (5) Keterangan :

KBBM = Konsumsi BBM (liter)

JHKM = Jumlah hari kerja mesin untuk mengolah lahan 1 ha (hari) JJKM = Jumlah jam kerja mesin per hari (jam/hari)

BBPJ = Konsumsi bahan bakar per jam (liter/jam) KOLI = Konsumsi oli/pelumas (liter)

OPJ = Konsumsi oli/pelumas per jam (liter/jam)

JKOP = Jumlah jam kerja operator selama mengolah lahan 1 ha (jam) DPOW = Daya traktor selama mengolah lahan 1 ha (kW.jam)

DTRAK = Daya kerja traktor per jam (kW)

Untuk analisis energi pada penggunaan kerbau, digunakan persamaan-persamaan berikut :

KR = KRH × JHKH (6)

PR = JWPR × JHKH (7)

JKOP = JHKH × JJKH (8)

DHW = JHKH × JJKH × DSM (9)

BG = PFH × JHKH × PBG (10)

PPU1 = (PF × K1F) + (PU × K1U) (11)

PPU2 = (PF × K2F) + (PU × K2U) (12)

PPU3 = (PF × K3F) + (PU × K3U) (13)

PF = PFH × JHKH (14)

PU = PUH × JHKH (15)

Keterangan :

KR = Konsumsi rumput (kg)

KRH = Konsumsi rumput harian (kg/hari)

JHKH = Jumlah hari kerja kerbau untuk mengolah lahan 1 hektar (hari) JJKH = Jumlah jam kerja kerbau per hari (jam/hari)

PR = Jumlah jam yang dibutuhkan untuk mengumpulkan rumput (jam) JWPR = Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan rumput per

hari (jam/hari)

DHW = Daya kerbau selama mengolah lahan 1 ha (kW.jam) DSM = Daya kerbau setara mesin (kW)


(34)

BG = Jumlah biogas yang dihasilkan selama mengolah lahan (m3) PBG = Jumlah biogas yang dihasilkan dari 1 kg feses (m3/kg) PF = Produksi feses selama pengolahan lahan 1 hektar (kg) PU = Produksi urine selama pengolahan lahan 1 hektar (kg) PFH = Produksi feses harian (kg/hari)

PUH = Produksi urine harian (kg/hari) PPU1 = Produksi pupuk nitrogen (kg) K1F = Kadar nitrogen pada feses (%) K1U = Kadar nitrogen pada urine (%) PPU2 = Produksi pupuk fosfor (kg) K2F = Kadar fosfor pada feses (%) K2U = Kadar fosfor pada urine (%) PPU3 = Produksi pupuk klorat (kg) K3F = Kadar kalium pada feses (%) K3U = Kadar kalium pada urine (%) D. Rancangan Model

Dalam model yang akan dibuat ada dua submodel yang dikembangkan, yaitu submodel ternak dan submodel lahan. Submodel ternak digunakan untuk melakukan simulasi perkembangan jumlah ternak dan submodel lahan digunakan untuk melakukan simulasi pola penggunaan lahan pertanian.

Berikut adalah variabel yang termasuk di dalam submodel ternak: 1) Multiplikasi:

a. jumlah kelahiran b. jumlah kematian c. lamanya mengandung

d. persentase/peluang mengandung,(dianulir bila dilakukan inseminasi buatan)

e. jumlah kerbau jantan(dianulir bila dilakukan inseminasi buatan) f. jumlah kerbau betina

g. survivability kerbau muda(berserta rentang umur, karena yang dipakai untuk mengolah lahan biasanya kerbau dewasa saja)


(35)

2) Kinerja:

a. Kapasitas olah lahan(ha/jam) b. Durasi kerja dalam sehari(jam/hari)

Variabel-variabel diatas diperkirakan saling berinteraksi seperti digambarkan pada diagram sebab akibat dalam Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Sebab Akibat Submodel Ternak

Dalam pembuatan submodel lahan, dilalui tahapan seperti dibawah ini :

I. Mendapatkan data mengenai topografi lahan untuk menentukan zonasi dari tiap lahan padi sawah berdasarkan aksesibilitasnya terhadap tenaga pengolahan lahan menggunakan mesin.

II. Mendapatkan data mengenai luas baku lahan dan penggunaan lahan untuk laju perubahan penggunaan lahan.

III. Mendapatkan data mengenai pola tanam lahan padi sawah untuk menentukan luas tanam padi sawah tiap tahunnya sehingga dapat ditentukan kecenderungan perubahannya.

IV. Luas lahan hijauan adalah salah satu keterkaitan langsung submodel lahan dan submodel ternak, untuk itu perlu ditentukan beberapa hal sebagai berikut:

1. luas lahan bera/lahan tidur (ha)

2. produksi rumput per satuan luas lahan(kg/ha)

3. besarnya konversi lahan bera menjadi lahan olahan untuk menentukan kecenderungan perubahannya jumlah kelahiran per periode jumlah kematian per periode peluang mengandung jumlah kerbau jantan lamanya mengandung survivability kerbau muda Kapasitas olah lahan Durasi kerja harian jumlah kerbau betina + − + + + + + + + + + + − − −


(36)

Variabel yang disertakan dalam submodel lahan adalah sebagai berikut : 1. luas baku lahan pertanian

2. tingkat konversi lahan baku pertanian

3. luas lahan dengan kategori zona I (tidak dapat diakses mesin) 4. luas penanaman padi sawah pada zona I

5. tingkat konversi padi sawah pada zona I

6. luas lahan dengan kategori zona II (dapat diakses mesin) 7. luas penanaman padi sawah pada zona II

8. tingkat konversi padi sawah pada zona II 9. luas lahan bera

10.tingkat konversi lahan bera

11.produktivitas rumput pada lahan bera

Interaksi antar variabel pada submodel lahan seperti digambarkan pada diagram sebab akibat seperti dalam Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Sebab Akibat Submodel Lahan E. Verifikasi dan Validasi

Verifikasi dilakukan sebelum dilakukan validasi. Sesuai dengan fungsinya, verifikasi dilakukan dengan cara memeriksa persamaan-persamaan dan nilai-nilai pada variabel untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan rancangan atau tidak.

Validasi dilakukan untuk menguji seberapa dekat model yang dibangun mampu mewakili sistem, pada dasarnya hal ini dilakukan dengan membandingkan data hasil

tingkat konversi lahan

tingkat konversi padi sawah zona I

luas zona I

luas zona II luas tanam

luas padi sawah zona I

luas lahan bera

tingkat konversi padi sawah zona II

luas padi sawah zona II

tingkat konversi lahan bera

produktivitas rumput +

+

+

+ +

− −

− −


(37)

Untuk melakukan validasi pada model yang dibangun, metode validasi yang digunakan Promosiana (1991) dalam thesisnya akan digunakan.

Variabel yang akan divalidasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jumlah tenaga kerbau tersedia.

2. Luas lahan yang tersedia untuk diolah.

Data yang digunakan untuk validasi adalah data tahun 2001 hingga tahun 2006, sedangkan data dari tahun 1995 hingga 2000 digunakan untuk kalibrasi model. Uji t dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 13.

F. Analisis Sensitifitas dan Pengembangan Strategi

Analisis sensitifitas dilakukan untuk melihat variabel mana yang paling berpengaruh terhadap hasil akhir dari model. Variabel yang diuji sensitifitasnya antara lain adalah tingkat pemotongan, tingkat penjualan dan populasi kerbau. Variabel yang diuji kebanyakan adalah variabel – variabel yang berasal dari submodel kerbau, hal ini didasarkan pada tujuan model adalah untuk melihat bagaimana tenaga kerbau yang tersedia mampu mengolah lahan sawah yang ada sehingga submodel lain tidak perlu diuji sensitifitasnya. Nilai – nilai variabel yang digunakan dalam uji sensitifitas adalah nilai – nilai variabel pada keadaan alamiahnya.

Pada saat analisis sensitifitas dilakukan, nilai variabel yang diuji dinaikkan dan diturunkan 10% sedangkan variabel lain dibiarkan tidak berubah, lalu nilai-nilai variabel yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai variabel pada keadaan awal sehingga dapat dilihat perubahannya.

Variabel yang diamati dalam analisis sensitifitas adalah sebagai berikut : 1. Populasi kerbau jantan anak.

2. Populasi kerbau jantan dewasa. 3. Populasi kerbau betina anak. 4. Populasi kerbau betina anak. 5. Populasi total.

6. Tenaga kerbau total.

7. Luas lahan yang dapat diolah dengan menggunakan tenaga kerbau.

8. Kelebihan luas lahan yang dapat diolah dengan menggunakan tenaga kerbau. 9. Jam kerja tenaga mesin yang dibutuhkan.


(38)

10.Luas lahan tipe II yang tidak dapat diolah dengan menggunakan tenaga kerbau.

Berdasarkan hasil analisis kepekaan dikembangkan strategi-strategi dalam bentuk skenario. Dengan berdasarkan skenario yang dikembangkan kemudian dapat ditentukan cara untuk mengurangi kebutuhan mesin.


(39)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Ciampea merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor bagian Barat, terdiri dari 19 Desa, 116 RW, 494 RT, dengan topografi wilayah datar, bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan antara 0-25%. Jenis tanah yang dominan adalah podsolik merah kuning, andosol dan regosol.

Secara geografis berbatasan dengan :

− Wilayah Kabupaten Sukabumi di sebelah selatan,

− Wilayah Kecamatan Dramaga dan Ciomas di sebelah timur,

− Wilayah Kecamatan Kemang di sebelah utara, dan

− Wilayah Kecamatan Pamijahan dan Cibungbulang di sebelah barat.

Jarak dari ibukota kecamatan (Desa Bojongrangkas) ke Kota Bogor (Kebun Raya) sebagai pusat pertumbuhan wilayah sejauh 15 km, sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten Bogor (Cibinong) sebagai pusat administrasi pemerintahan sejauh 40 km, jarak ke ibukota Propinsi (Bandung) sejauh 120 km dan jarak ke ibukota negara (Jakarta) sejauh 60 km.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2000), luas lahan sawah di Kecamatan Ciampea 3017 ha (57,83% dari luas wilayah Kecamatan) dengan jenis irigasi sederhana seluas 1375 ha (26,01%), irigasi setengah teknis seluas 1326 ha (25,42%), irigasi desa seluas 269 ha (5,16%) dan sawah dengan irigasi teknis seluas 65 ha (1,25%). Sedangkan dari luas lahan darat seluruhnya 2200 ha (42,17%), didominasi oleh lahan pekarangan seluas 1108 ha (21,24%), berupa kebun/tegalan seluas 350 ha (6,71%) dan lahan hutan rakyat seluas 108 ha (2,07%). Di Kecamatan Ciampea juga terdapat lahan perkebunan 199 ha (3,81%) dan hutan negara seluas 26 ha (0,50%).

Jumlah penduduk yang berkerja di sektor pertanian sebanyak 34032 orang, di sektor pertambangan dan penggalian sebanyak 737 orang, di sektor industri sebanyak 3802 orang dan di sektor konstruksi sebanyak 1459 orang. Dengan demikian sektor pertanian masih merupakan sumber penghasilan utama bagi sebagian besar masyarakat Kecamatan Ciampea.


(40)

Jenis dan jumlah industri yang ada di Kecamatan Ciampea sampai dengan tahun 2000 terdiri dari industri makanan dan tembakau sebanyak 3 unit, industri pakaian jadi dan kulit sebanyak 3 unit, industri bahan galian bukan logam sebanyak 3 unit dan industri pengolahan lainnya sebanyak 3 unit(Sumarya,2002).

0 2000 4000 6000 8000 199 5 199 6

1997 199 8

1999 200 0

2001 200 2

200 3

2004 200 5 2006 Tahun L ua s T a na m L a ha n Sa w a h (h ek ta r)

Luas Tanam Padi Sawah

Gambar 7. Luas tanam lahan sawah Kecamatan Ciampea (1995 – 2006)

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa luas tanam lahan sawah di Kecamatan Ciampea memiliki kecenderungan untuk turun, meskipun ada beberapa kali kenaikan yaitu pada periode tahun 1995 – 1997 dan periode tahun 2000 – 2002. Pada tahun 2006 lahan sawah yang ditanam hanya seluas 3079 hektar, jauh lebih kecil daripada pada tahun 1995 yaitu seluas 5356 hektar.

0 200 400 600 800 1000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 200 1

2002 2003 2004 200 5 2006 Tahun Po p u la si K er b a u (E k o r)

Populasi Ternak Kerbau

Gambar 8. Jumlah populasi kerbau Kecamatan Ciampea (1995 – 2006)

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa Populasi kerbau di Kecamatan Ciampea juga memiliki kecenderungan untuk menurun, meskipun ada beeberapa kali kenaikan seperti pada tahun periode 1995 – 1996, 1998 – 2000, dan 2001 – 2003. Hingga pada tahun periode 2004 – 2006 masih terjadi kenaikan. Tetapi kenaikan yang terajadi


(41)

selama periode beberapa tahun selalu diikuti dengan penurunan populasi yang curam, penurunan populasi yang paling curam terdapat pada tahun 2000 – 2001, dari 877 ekor hingga menjadi 386 ekor saja.

B. Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah Dengan Menggunakan Tenaga Mesin dan Tenaga Kerbau

Analisis teknoekonomi dilakukan untuk mengkaji penggunaan tenaga mesin dan tenaga kerbau dari segi ekonomis ketika digunakan untuk pengolahan tanah pada lahan sawah. Hasil analisis kemudian dibandingkan untuk melihat seberapa besar perbedaan diantara penggunaan mesin dan kerbau secara ekonomis.

Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah dengan Tenaga Mesin

Analisis teknoekonomi pengolahan tanah dengan tenaga mesin dilakukan berdasarkan data-data yang didapatkan dari lapangan serta beberapa asumsi. Mesin yang dimaksud dalam analisis ini adalah traktor tangan dengan daya sebesar 6 HP. Dari data lapangan didapatkan bahwa konsumsi bahan bakar mesin tersebut adalah sebesar 1 lt/jam. Dari Daywin, et.al (1999), konsumsi bahan bakar traktor tangan adalah sebesar 0,17 lt/HP/jam, dengan mengalikan nilai ini dengan daya traktor, didapatkan nilai 1,02 lt/jam, dengan demikian, data dari lapangan tidak berbeda jauh dengan nilai konsumsi bahan bakar secara teoritik. Harga bahan bakar yang digunakan adalah harga bahan bakar diesel ketika penelitian dilaksanakan, yaitu sebesar Rp.5.500/liter.

Selain konsumsi bahan bakar, dalam biaya operasional/biaya tidak tetap mesin juga ada biaya oli, biaya perbaikan dan biaya upah. Dari data lapangan, didapatkan bahwa traktor diganti olinya setiap 100 jam pemakaian dan setiap penggantian dibutuhkan 2 liter oli, harga oli per liternya adalah Rp.17.000 sehingga dengan demikian, biaya oli per jamnya adalah sebesar Rp.340/jam. Sedangkan biaya perbaikan diasumsikan sebesar 1% harga awal per 100 jam (Pramudya, 2001), dengan harga awal Rp.14.000.000, maka biaya perbaikan per jam adalah sebesar Rp. 1.400/jam. Dari data lapangan, upah per jam untuk operator traktor adalah sebesar Rp. 70.000/jam.

Biaya tetap tenaga mesin terdiri dari biaya penyusutan, besarnya biaya penyusutan ini tergantung sekali kepada luas olahan lahan per tahun yang berarti juga jam kerja per tahun. Dengan asumsi bahwa umur ekonomis traktor yang digunakan


(42)

adalah 6 tahun dan jam pelayanannya sebesar 1200 jam, maka jam kerja rata-rata per tahun adalah sebesar 200 jam. Berdasarkan JICA (1987), besarnya nilai penyusutan per tahun dihitung dengan persamaan berikut :

LOT JJKH

JHKH

JKPT = × × (16)

E S P

D1 = − (17)

JKPT Y

S P

D2 = − × (18)

Dimana:

P = Nilai awal mesin (Rp)

S = Nilai sisa mesin (Rp) = 0,1 × P E = Umur ekonomis mesin (th) Y = Jam pelayanan mesin (jam) JKPT = Jam kerja per tahun (jam/th)

LOT = Luas olahan lahan per tahun (ha/th)

Persamaan 17 digunakan apabila jumlah jam kerja per tahun dibawah jumlah rata-rata jam kerja per tahun, sedang persamaan 18 digunakan apabila jam kerja per tahun diatas jumlah rata-rata jam kerja per tahun.

0 20 000 40 000 60 000 80 000 100 000 120 000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Luas Olahan Lahan (ha/th)

B iay a T o tal (R p /j a m ) 0 500 000 1000 000 1500 000 2000 000 2500 000 3000 000 B iay a P o k o k ( R p /h a)

Biaya Pokok Biaya Total

Gambar 9. Grafik biaya pokok dan biaya total mesin untuk luas olahan lahan per tahun 1 ha/th sampai dengan 16 ha/th.

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai biaya total dan biaya pokok terus menurun dengan meningkatnya luas olahan lahan per tahun, penurunan tidak terjadi lagi untuk luas olahan lahan lebih besar dari 8 hektar karena biaya penyusutan tidak lagi turun. Sesuai dengan cara perhitungan yang sebelumnya sudah disebutkan, maka


(43)

untuk luas olahan lahan 9 hektar per tahun, dimana per hektarnya dibutuhkan 3 hari kerja dan per harinya traktor berkerja 8 jam, maka jumlah jam kerja per tahunnya adalah sebesar 216 jam/th, karena nilai ini lebih besar daripada jam kerja rata-rata per tahun (200 jam/th) maka nilai penyusutan adalah sebesar Rp.252.000 per hektar. Contoh perhitungan untuk analisis teknoekonomi penggunaan mesin dapat dilihat pada Lampiran 2.

Analisis Teknoekonomi Pengolahan Tanah dengan Tenaga Kerbau

Perhitungan pada analisis teknoekonomi penggunaan kerbau sedikit berbeda dengan perhitungan pada analisis teknoekonomi penggunaan mesin. Pada analisis ini, kesemua biaya dihitung jumlah tahunannya terlebih dahulu lalu kemudian hasilnya kembali dikonversi ke dalam nilai per hektar dengan cara membagi setiap nilai dengan luas olahan lahan per tahun dengan demikian didapatkan nilai biaya per hektarnya.

Biaya operasional tenaga kerbau terdiri dari upah pencari rumput dan upah operator. Upah pencari rumput didasarkan kepada konsumsi sepasang kerbau sebesar 50 kg per hari dan harga rumput Rp.70/kg sehingga upah pencari rumput untuk per pasang per hari adalah sebesar Rp.3.500/hari. Upah operator didasarkan kepada perimbangan biaya sewa dengan upah operator dimana upah operator adalah sebesar 40% dari biaya sewa, dengan biaya sewa Rp.40.000/hari, maka upah operator adalah sebesar Rp.16.000/hari.

Biaya tetap kerbau dianggap tidak ada, sedangkan pertambahan nilai kerbau yang berasal dari pertambahan bobot tubuh dialokasikan sebagai manfaat tambahan pada pemasukan. Selain pertambahan bobot tubuh, produksi biogas dan pupuk juga termasuk sebagai manfaat tambahan.

Dengan menggunakan asumsi bahwa gasifikasi dapat menghasilkan biogas sebanyak 0,031 m3/kg kotoran ruminansia besar (Haryati, 2007), jumlah produksi biogas per tahun dapat diperoleh. Biogas diasumsikan dapat menggantikan gas rumahan yang tarifnya Rp.2.300/m3.

Dengan asumsi bahwa kotoran mengandung 0,38% N, 0,18% P2O5 dan 0,02%

K2O (Crowder dan Chedda, 1982) dan urine mengandung 1 % N, 0,2% P2O5 dan

1,35% K2O (Sutejo, 1994) , dapat dihitung jumlah produksi N, P dan K. Dengan

asumsi bahwa N yang diproduksi dapat menggantikan penggunaan pupuk Urea, P yang diproduksi dapat menggantikan penggunaan SP-36 pupuk dan K yang digunakan


(44)

dapat menggantikan pupuk KCl, maka dapat dihitung juga nilai dari kandungan bahan organik yang diproduksi. Harga pupuk yang digunakan adalah harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi tahun 2008.

0 2 000 4 000 6 000 8 000 10 000 12 000

3 4 5 6

Luas Olahan Lahan (ha/th)

B iay a T ot a l (R p /j am ) 0 200 000 400 000 600 000 800 000 B iay a P ok ok (R up ia h /ha)

Biaya total Biaya pokok

Gambar 10. Grafik biaya pokok dan biaya total penggunaan hewan.

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 10, untuk luas olahan lahan sebesar 3 sampai 6 hektar per tahun, biaya total dan biaya pokok cenderung menurun seiring dengan peningkatan luas olahan lahan per tahun, hal ini disebabkan karena semakin menurunnya upah pencari rumput. Secara logis, biaya untuk mencari rumput yang dialokasikan untuk sepanjang tahun akan semakin mengecil nilai per hektarnya apabila semakin banyak luas olahan lahan yang dikerjakan, karena nilainya pembaginya (luas olahan lahan per tahun) membesar. Contoh untuk perhitungan analisis teknoekonomi penggunaan tenaga kerbau dapat dilihat pada Lampiran 3. Perbandingan Keuntungan Penggunaan Mesin dan Pengunaan Kerbau

Untuk dapat membandingkan keuntungan penggunaan mesin dan penggunaan kerbau, terlebih dahulu waktu olah lahan kerbau harus disamakan dengan mesin. Dengan sepasang kerbau, dalam setahun dapat diolah lahan seluas 3 hektar sampai dengan 6 hektar, sedangkan pada mesin, dapat diolah lahan seluas 11 sampai dengan 16 hektar. Bila nilai minimum kapasitas olah tanah per tahun kerbau dibandingkan dengan nilai pada mesin, maka dapat dilihat bahwa dalam hal luas olahan lahan per tahun, satu unit mesin akan memiliki luas olahan per tahun yang sama dengan 4 pasang kerbau.


(45)

0 5 000 10 000 15 000 20 000 25 000 30 000

11 12 13 14 15 16 Luas Olahan Lahan (ha/th)

B iay a To ta l ( R p /ja m) 0 100 000 200 000 300 000 400 000 500 000 600 000 700 000 Bi aya P ok ok ( R p/ ha )

Biaya Total Biaya Pokok

Gambar 11. Grafik biaya total dan biaya pokok penggunaan mesin untuk pengolahan lahan seluas 11 hektar sampai dengan 16 hektar

Grafik pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada rentang luas olahan lahan per tahun 11 hektar sampai 16 hektar per tahun, biaya pokok dan biaya total memperlihatkan nilai yang sama untuk setiap tahunnya, penyebab hal ini sudah dijelaskan pada bagian analisa teknoekonomi penggunaan mesin. Pada rentang ini, besarnya biaya pokok adalah Rp.630 320/ha.

0 10 000 20 000 30 000 40 000 50 000 60 000

11 12 13 14 15 16

Luas Olahan Lahan (ha/th)

B iay a T ot a l ( R p /ja m) 0 100 000 200 000 300 000 400 000 500 000 600 000 700 000 B ia y a P o ko k ( Rp /ha )

Biaya total Biaya pokok

Gambar 12. Grafik biaya total dan biaya pokok penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan seluas 11 hektar sampai dengan 16 hektar

Grafik pada Gambar 12 menunjukkan bahwa besarnya biaya total dan biaya pokok cenderung menurun seiring dengan bertambahnya luas olahan lahan per tahun. Pada luas olahan lahan 11 hektar per tahun, biaya pokok adalah sebesar Rp.656 545.per hektar. Pada luas olahan lahan terbesar, yaitu 16 hektar pertahun, biaya pokok menjadi Rp.511 375 per hektar.


(46)

0 5 000 000 10 000 000 15 000 000

11 12 13 14 15 16

Luas Olahan Lahan (ha/th)

P en er ima an d a n Bi ay a T a hu na n ( R p/ th)

Penerimaan tahunan Biaya tahunan

Gambar 13. Grafik penerimaan dan biaya tahunan pada penggunaan mesin untuk pengolahan lahan sawah untuk luas olahan pertahun 11 hektar sampai 16 hektar

Gambar 13 menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya tahunan meningkat dengan gradien yang tidak jauh berbeda seiring dengan meningkatnya luas olah lahan per tahun. Pada luas olahan 11 hektar per tahun, penggunaan mesin akan memiliki penerimaan sebesar Rp.8,25 juta dan pengeluaran sebesar Rp.6,933 juta, dengan demikian keuntungan yang didapatkan per tahun adalah sebesar Rp.1,316 juta. Sedangkan pada luas olahan 16 hektar per tahun, penggunaan mesin akan memiliki penerimaan sebesar Rp.12 juta dan biaya sebesar Rp.10,085 juta, dengan demikian keuntungan yang didapatkan per tahun adalah sebesar Rp.1,914 juta. Nilai untuk keseluruhan luasan lahan dapat dilihat pada Lampiran 4.

0 5 000 000 10 000 000 15 000 000 20 000 000

11 12 13 14 15 16

Luas Olahan Lahan (ha/th)

P en er im aan d an B iay a T a huna n ( R p/ th)

Penerimaan tahunan Biaya tahunan

Gambar 14. Grafik penerimaan dan biaya tahunan pada penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan sawah untuk luas olahan pertahun 11 hektar sampai 16 hektar.

Gambar 14 menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya tahunan meningkat dengan gradien yang sedikit berbeda seiring dengan meningkatnya luas olah lahan per tahun. Garis penerimaan tahunan memiliki kemiringan lebih tinggi daripada biaya tahunan. Pada luas olahan 11 hektar per tahun, penggunaan kerbau akan memiliki


(47)

penerimaan sebesar Rp.13,05 juta dan pengeluaran sebesar Rp.7,22 juta, dengan demikian keuntungan yang didapatkan per tahun adalah sebesar Rp.5,83 juta per tahun. Sedangkan pada luas olahan 16 hektar per tahun, penggunaan mesin akan memiliki penerimaan sebesar Rp.15,45 juta dan pengeluaran sebesar Rp.8,18 juta, dengan demikian keuntungan yang didapatkan per tahun adalah sebesar Rp.7,63 juta. Nilai untuk keseluruhan luas olahan lahan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Biaya pokok dan biaya total pada penggunaan kerbau lebih tinggi daripada biaya pokok dan biaya total pada penggunaan mesin. Meski demikian, seperti sebelumnya disebutkan, kerbau memiliki potensi manfaat tambahan dalam bentuk pertambahan nilai karena pertambahan bobot tubuh, produksi biogas dan produksi pupuk. Dengan memasukkan manfaat tambahan ini sebagai penerimaan, pada luas olahan lahan 11 hektar per tahun, penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan sawah akan memberikan keuntungan Rp. 7,22 juta per tahunnya, sedang pada level yang sama, mesin hanya mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.1,3 juta saja. Tetapi, tanpa memasukkan manfaat tambahan sebagai penerimaan, penggunaan kerbau menunjukkan nilai keuntungan tahunan yang negatif, yaitu sebesar Rp.-1,94 juta, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan kerbau merugikan bila kerbau hanya digunakan untuk pengolahan lahan saja. Nilai kerugian ini cenderung untuk berkurang dengan bertambah luasnya olahan lahan per tahun, pada luas olahan lahan per tahun 16 hektar per tahun, kerugian yang diderita hanya sebesar Rp.502 ribu saja.

C. Analisis Energi Pengolahan Tanah Dengan Menggunakan Tenaga Mesin dan Tenaga Kerbau

Selain analisis ekonomi, dilakukan juga analisis energi untuk melihat besarnya perbandingan energi yang digunakan dalam pengolahan tanah dengan menggunakan traktor dan kerbau.

Pada analisis energi penggunaan mesin untuk pengolahan lahan, digunakan beberapa data dan asumsi. Konsumsi bahan bakar per jam diasumsikan 1lt/jam, sama dengan asumsi yang digunakan pada analisis teknoekonomi, dengan demikian, dengan jam kerja per hari 8 jam/hari dan jumlah hari kerja per hektar adalah 3 hari per hektar, maka jumlah konsumsi bahan bakar per hektar adalah sebesar 24 liter.

Jumlah pelumas yang digunakan per jam juga analog dengan nilai pada analisis teknoekonomi, yaitu 0,02 lt/jam, sehingga, dengan cara yang sama seperti pada


(48)

perhitungan konsumsi bahan bakar, jumlah konsumsi pelumas per hektar adalah sebesar 0.48 lt/ha.

Input atau masukan pada analisis energi penggunaan mesin hanya terdiri dari tenaga tarik. Dengan berdasarkan pada jumlah daya mesin sebesar 6 HP, maka dengan koefisien dari McColly dan Martin (1955) sebesar 0,85, nilai draw bar HP mesin yang digunakan adalah sebesar 0,85 × HP, yaitu sebesar 5,1 HP. Dengan jumlah jam kerja per hektar sebesar 24 jam, maka besarnya tenaga tarik adalah 115,2 kWh.

Dengan tidak memperhitungkan embodied energy pada traktor dan alat-alat tambahan yang digunakan, analisis energi pada traktor menunjukkan bahwa traktor mengkonsumsi energi sebesar 1086,45 MJ untuk mengolah lahan seluas 1 hektar. Komposisi dari masukan energi pada traktor dapat dilihat seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Neraca energi dalam penggunaan traktor dalam pengolahan lahan seluas satu hektar.

Item Jumlah Satuan Jumlah Energi %

per satuan (MJ/satuan)

per hektar (MJ/ha)

Input

Bahan bakar (solar) 24 liter 43(1) 1032,00 95,5

Pelumas 0,48 liter 40,433(2) 19,41 1,6

Operator 24 jam 1,46(3) 35,04 2,9

Total 1086,45

Output

Tenaga tarik 115,2 kWh 3,6(4) 414,72 100

Total 414,72

Selisih 671,73

Efisiensi 38,17

(1)

Campbell (1983)

(2)

USDE (2002)

(3)

Irwanto (1996)

(4)

Tipler (1991)

Sedangkan pada penggunaan kerbau, juga tanpa memperhitungkan nilai

embodied energy pada kerbau dan alat-alat tambahan, analisis energi menunjukkan bahwa sepasang kerbau mengkonsumsi energi sebesar 4542,56 MJ untuk mengolah lahan seluas 1 hektar. Komposisi dari masukan energi pada kerbau dapat dilihat seperti pada Tabel 3. Berbeda dengan traktor, kerbau memiliki hasil sampingan berupa kotoran yang memiliki potensi energi tersendiri, tergantung dari cara mengolahnya. Jika tiap 2 m3 biogas memiliki nilai energi setara dengan 36 MJ


(49)

(Reksowardojo dan Soerawidjaja, 2006) dapat diasumsikan bahwa setiap kilogram kotoran mengandung 0,558 MJ. Berdasarkan nilai ini, dapat dihitung bahwa selama mengelola lahan seluas 1 hektar kerbau dapat menghasilkan energi dalam bentuk biogas sebesar 585,9 MJ. Selain biogas, juga dihasilkan pupuk organik

Dengan manggunakan asumsi yang sama seperti pada analisis teknoekonomi, selama mengolah lahan 1 hektar, dapat dihasilkan pupuk N dengan nilai energi setara 266,36 MJ, pupuk P2O5 dengan nilai energi setara 38,56 MJ dan pupuk K2O dengan

nilai energi setara 35,36 MJ.

Tabel 3. Neraca energi dalam penggunaan kerbau untuk pengolahan lahan seluas satu hektar

Item Jumlah Satuan Jumlah Energi %

per satuan

(MJ/satuan)

per hektar (MJ/ha)

Input

Rumput 875 kg 5,01 4383,75 96,5

Pengadaan rumput 26,25 jam 1,7 44,63 1,0

Operator 78,75 jam 1,45 114,19 2,5

total 4542,56

Output

Tenaga tarik 78,8 kWh 3,6 283,50 23,4

Biogas 32,55 m3 18 585,90 48,4

Pupuk (N) 6,342 kg 42* 266,36 22,0

Pupuk (P2O5) 2,142 kg 18* 38,56 3,2

Pupuk (K2O) 4,4205 kg 8* 35,36 2,9

total 1209,68

Selisih 3332,88

Efisiensi 26,63

* Küsters and Lammel (1999)

Perhitungan di atas berdasarkan pada anggapan bahwa kotoran dan urin yang bisa dikumpulkan hanyalah yang dikeluarkan di dalam kandang dan kerbau kebanyakan berada di luar kandang pada siang hari, maka perlu diukur banyaknya produksi kotoran dan urin kerbau pada saat di dalam kandang. Nilai yang didapat dari pengukuran adalah rata-rata 12 kg kotoran dan 4,5 liter urin setiap malamnya. Gambar 15 diambil saat kotoran dan urin diukur berat dan volumenya.

Input tenaga pada pengolahan tanah menggunakan kerbau ternyata membutuhkan energi yang lebih besar daripada penggunaan traktor, dan efisiensi penggunaan tenaga kerbau untuk tenaga tarik juga jauh lebih kecil daripada traktor,


(50)

yaitu 26,63% untuk kerbau dan 38,17% untuk traktor. Meski demikian, perlu dicermati juga bahwa input terbesar pada kerbau (rumput; 96,5%) dan traktor (solar; 95,47%) adalah sumber energi yang sama sekali berbeda. Rumput adalah biomassa yang merupakan sumber energi terbarukan sedangkan solar adalah sumber energi tidak terbarukan. Selain itu, tenaga kerbau juga dapat menghasilkan energi dalam bentuk pupuk organik, keberadaan pupuk ini, meski tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan nilai input energi pada kerbau, dapat membantu mengurangi biaya yang harus dikeluakan petani dalam penggunaan pupuk di lapangan dengan mensubstitusi penggunaan pupuk anorganik dengan pupuk organik.

Gambar 15. Pengukuran feses dan urine yang dihasilkan selama di dalam kandang D. Model Pengolahan Lahan dengan Menggunakan Tenaga Kerbau

Model dibagi ke dalam beberapa submodel yang saling berkaitan, pembagiannya adalah sebagai berikut :

1. Submodel kerbau jantan 2. Submodel kerbau betina 3. Submodel lahan

4. Submodel pengolahan tanah Submodel Kerbau Jantan

Kerbau jantan yang bisa dipakai untuk pengolahan lahan adalah kerbau jantan dewasa, yaitu kerbau yang berumur minimal 3 tahun. Dengan demikian populasi kerbau jantan dipisahkan ke dalam kerbau jantan dewasa (H_Jantan_D) dan kerbau jantan anak, (H_Jantan_Anak). Kerbau anak akan menjadu kerbau dewasa dalam 3


(51)

tahun, sehingga akan ada perpindahan populasi menggunakan sebuah delay

(A_ke_D_J ) setelah 3 tahun simulasi berjalan.

Gambar 16. Diagram Alir Sistem Dinamik Submodel Kerbau Jantan

Dalam model awal, ditentukan bahwa tidak ada pembelian kerbau, sehingga tidak ada penambahan jumlah kerbau dengan pembelian, baik untuk kerbau anak atau kerbau dewasa sehingga penambahan jumlah kerbau hanya berasal dari pembiakan kerbau yang ada (Pert_J).

Pengurangan pada populasi dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu mati secara alami, pemotongan, penjualan dan afkir. Kerbau disebut afkir setelah 10 sampai 15 tahun dan biasanya dipotong. Dengan demikian, dianggap bahwa pengurangan jumlah kerbau terjadi karena dijual, dipotong dan mati secara alami (Out_J_D untuk kerbau dewasa , Out_J_A untuk kerbau muda). Out_J_D dipengaruhi oleh fraksi dari kerbau yang mati (R_Dth), dipotong (R_Po_J_D ) dan dijual (R_Ju_J_D). Out_J_A hanya dipengaruhi oleh R_Dth dengan asumsi bahwa tidak ada kerbau muda yang dipotong atau dijual keluar daerah.

Diagram alir dari model sistem dinamik yang dihasilkan dapat dilihat seperti pada Gambar 16.

Submodel Kerbau Betina

Seperti pada kerbau jantan, pertambahan kerbau betina juga dianggap hanya berasal dari pembiakan kerbau yang ada (Pert_B). Populasi kerbau anak (H_Betina_A) dan populasi kerbau dewasa (H_Betina_D) seperti pada kerbau jantan, kerbau anak yang sudah berumur 3 tahun berpindah ke populasi kerbau dewasa


(1)

Time H_Betina_A H_Betina_D H_Jantan_A H_Jantan_D LL_Z1 LL_Z2 Pop_T

0 56 77 86 167 1,172.25 3,516.75 386

1 71 63 91 142 1,055.03 3,165.08 367

2 77 56 92 123 949.5225 2,848.57 348

3 81 51 77 122 854.5703 2,563.71 331

4 71 60 67 115 769.1132 2,307.34 313

5 68 63 64 106 692.2019 2,076.61 301

6 67 63 64 97 622.9817 1,868.95 291

7 67 62 65 89 560.6835 1,682.05 283

8 64 64 63 86 504.6152 1,513.85 277

9 63 71 62 84 454.1537 1,362.46 280

10 64 76 63 82 408.7383 1,226.22 285

11 66 80 65 81 367.8645 1,103.59 292

12 68 84 67 81 331.078 993.2341 300

13 68 89 67 83 297.9702 893.9107 307

14 69 94 68 85 268.1732 804.5196 316

15 70 99 69 88 241.3559 724.0676 326

16 72 104 71 91 217.2203 651.6609 338

17 73 110 72 96 195.4983 586.4948 351

18 75 115 74 100 175.9484 527.8453 364

19 76 121 75 106 158.3536 475.0608 378

20 78 127 77 111 142.5182 427.5547 393

Time DDL Ten_H_Tot K_O_L_H Keb_Jm_Krj_T KOLH_Sisa Z2_sisa 0 7,643.07 210.89 632.67 153,620 -1,125.71 6,400.83 1 6,878.76 177.91 533.73 139,115 -1,048.81 5,796.42 2 6,190.89 154.92 464.76 125,577 -959.5238 5,232.38 3 5,571.80 151.07 453.21 112,182 -828.6454 4,674.21 4 5,014.62 149.2 447.6 100,010 -706.0698 4,167.08 5 4,513.16 141.91 425.73 89,460 -612.5729 3,727.48 6 4,061.84 132.91 398.73 80,140 -535.7426 3,339.16 7 3,655.66 124.34 373.02 71,786 -468.0053 2,991.08 8 3,290.09 122.48 367.44 63,847 -389.4828 2,660.25 9 2,961.08 124.47 373.41 56,437 -307.8205 2,351.51 10 2,664.97 125.32 375.96 49,836 -237.1475 2,076.47 11 2,398.48 126.6 379.8 43,858 -171.9967 1,827.39 12 2,158.63 128.88 386.64 38,396 -109.977 1,599.83 13 1,942.77 133.73 401.19 33,280 -45.76533 1,386.63 14 1,748.49 138.58 415.74 28,640 13.4802 1,193.30 15 1,573.64 144.43 433.29 24,357 71.25618 1,014.85 16 1,416.28 150.28 450.84 20,460 125.0096 852.4817 17 1,274.65 158.7 476.1 16,726 182.8526 696.8896 18 1,147.18 165.55 496.65 13,417 232.7273 559.0406 19 1,032.47 174.97 524.91 10,206 287.3796 425.2116 20 929.2189 183.39 550.17 7,319 336.3926 304.9394


(2)

Time H_Betina_A H_Betina_D H_Jantan_A H_Jantan_D LL_Z1 LL_Z2 Pop_T

0 56 77 86 167 1,172.25 3,516.75 386

1 71 63 91 142 1,055.03 3,165.08 367

2 77 56 92 123 949.5225 2,848.57 348

3 81 51 77 122 854.5703 2,563.71 331

4 71 60 67 115 769.1132 2,307.34 313

5 68 63 64 106 692.2019 2,076.61 301

6 67 63 64 97 622.9817 1,868.95 291

7 67 62 65 89 560.6835 1,682.05 283

8 64 64 63 86 504.6152 1,513.85 277

9 63 76 62 84 454.1537 1,362.46 285

10 65 85 64 82 408.7383 1,226.22 296

11 70 92 69 81 367.8645 1,103.59 312

12 75 98 74 81 331.078 993.2341 328

13 78 106 77 84 297.9702 893.9107 345

14 81 115 80 89 268.1732 804.5196 365

15 84 124 83 95 241.3559 724.0676 386

16 89 132 88 101 217.2203 651.6609 410

17 93 141 92 108 195.4983 586.4948 434

18 98 150 97 116 175.9484 527.8453 461

19 102 160 101 125 158.3536 475.0608 488 20 106 170 105 134 142.5182 427.5547 515 Time DDL Ten_H_Tot K_O_L_H Keb_Jm_Krj_T KOLH_Sisa Z2_sisa

0 7,643.07 210.89 632.67 153,620 -1,125.71 6,400.83 1 6,878.76 177.91 533.73 139,115 -1,048.81 5,796.42 2 6,190.89 154.92 464.76 125,577 -959.5238 5,232.38 3 5,571.80 151.07 453.21 112,182 -828.6454 4,674.21 4 5,014.62 149.2 447.6 100,010 -706.0698 4,167.08 5 4,513.16 141.91 425.73 89,460 -612.5729 3,727.48 6 4,061.84 132.91 398.73 80,140 -535.7426 3,339.16 7 3,655.66 124.34 373.02 71,786 -468.0053 2,991.08 8 3,290.09 122.48 367.44 63,847 -389.4828 2,660.25 9 2,961.08 127.32 381.96 56,232 -299.2705 2,342.96 10 2,664.97 130.45 391.35 49,466 -221.7575 2,061.08 11 2,398.48 133.44 400.32 43,365 -151.4767 1,806.87 12 2,158.63 136.86 410.58 37,822 -86.03704 1,575.89 13 1,942.77 144.42 433.26 32,510 -13.69533 1,354.56 14 1,748.49 154.55 463.65 27,490 61.3902 1,145.39 15 1,573.64 165.68 497.04 22,827 135.0062 951.0953 16 1,416.28 176.24 528.72 18,591 202.8896 774.6017 17 1,274.65 188.37 565.11 14,590 271.8626 607.8796 18 1,147.18 201.5 604.5 10,829 340.5773 451.1906 19 1,032.47 216.2 648.6 7,237 411.0696 301.5216 20 929.2189 230.9 692.7 3,898 478.9226 162.4094


(3)

Time H_Betina_A H_Betina_D H_Jantan_A H_Jantan_D LL_Z1 LL_Z2 Pop_T

0 56 77 86 167 1,172.25 3,516.75 386

1 71 63 91 142 1,055.03 3,165.08 367

2 77 56 92 123 949.5225 2,848.57 348

3 81 51 77 122 854.5703 2,563.71 331

4 71 60 67 115 769.1132 2,307.34 313

5 68 63 64 106 692.2019 2,076.61 301

6 67 63 64 97 622.9817 1,868.95 291

7 67 62 65 89 560.6835 1,682.05 283

8 64 64 63 86 504.6152 1,513.85 277

9 63 81 62 84 454.1537 1,362.46 290

10 67 94 66 82 408.7383 1,226.22 309

11 73 104 73 81 367.8645 1,103.59 331

12 81 113 81 81 331.078 993.2341 356

13 87 125 87 86 297.9702 893.9107 385

14 93 137 93 93 268.1732 804.5196 416

15 100 149 100 101 241.3559 724.0676 450 16 107 161 107 110 217.2203 651.6609 485 17 113 173 113 120 195.4983 586.4948 519 18 119 187 119 132 175.9484 527.8453 557 19 126 200 126 144 158.3536 475.0608 596 20 133 214 133 156 142.5182 427.5547 636 Time DDL Ten_H_Tot K_O_L_H Keb_Jm_Krj_T KOLH_Sisa Z2_sisa

0 7,643.07 210.89 632.67 153,620 -1,125.71 6,400.83 1 6,878.76 177.91 533.73 139,115 -1,048.81 5,796.42 2 6,190.89 154.92 464.76 125,577 -959.5238 5,232.38 3 5,571.80 151.07 453.21 112,182 -828.6454 4,674.21 4 5,014.62 149.2 447.6 100,010 -706.0698 4,167.08 5 4,513.16 141.91 425.73 89,460 -612.5729 3,727.48 6 4,061.84 132.91 398.73 80,140 -535.7426 3,339.16 7 3,655.66 124.34 373.02 71,786 -468.0053 2,991.08 8 3,290.09 122.48 367.44 63,847 -389.4828 2,660.25 9 2,961.08 130.17 390.51 56,026 -290.7205 2,334.41 10 2,664.97 135.58 406.74 49,097 -206.3675 2,045.69 11 2,398.48 140.28 420.84 42,873 -130.9567 1,786.35 12 2,158.63 145.41 436.23 37,206 -60.38704 1,550.24 13 1,942.77 157.25 471.75 31,586 24.79467 1,316.07 14 1,748.49 171.09 513.27 26,299 111.0102 1,095.77 15 1,573.64 185.93 557.79 21,369 195.7562 890.3453 16 1,416.28 201.77 605.31 16,753 279.4796 698.0117 17 1,274.65 218.61 655.83 12,412 362.5826 517.1596 18 1,147.18 238.59 715.77 8,159 451.8473 339.9206 19 1,032.47 258 774 4,227 536.4696 176.1216 20 929.2189 277.98 833.94 509 620.1626 21.1694


(4)

Time H_Betina_A H_Betina_D H_Jantan_A H_Jantan_D LL_Z1 LL_Z2 Pop_T

0 56 77 86 167 1,172.25 3,516.75 386

1 71 63 91 142 1,055.03 3,165.08 367

2 77 56 92 123 949.5225 2,848.57 348

3 81 51 77 122 854.5703 2,563.71 331

4 71 60 67 115 769.1132 2,307.34 313

5 68 63 64 106 692.2019 2,076.61 301

6 67 63 64 97 622.9817 1,868.95 291

7 67 62 65 89 560.6835 1,682.05 283

8 64 64 63 86 504.6152 1,513.85 277

9 63 86 62 84 454.1537 1,362.46 295

10 68 103 67 82 408.7383 1,226.22 320

11 77 116 76 81 367.8645 1,103.59 350

12 89 127 88 81 331.078 993.2341 385

13 98 141 97 87 297.9702 893.9107 423

14 106 157 105 96 268.1732 804.5196 464 15 113 173 112 107 241.3559 724.0676 505 16 122 189 121 119 217.2203 651.6609 551 17 131 205 130 132 195.4983 586.4948 598 18 141 221 140 146 175.9484 527.8453 648 19 149 239 148 162 158.3536 475.0608 698 20 159 257 158 178 142.5182 427.5547 752 Time DDL Ten_H_Tot K_O_L_H Keb_Jm_Krj_T KOLH_Sisa Z2_sisa

0 7,643.07 210.89 632.67 153,620 -1,125.71 6,400.83 1 6,878.76 177.91 533.73 139,115 -1,048.81 5,796.42 2 6,190.89 154.92 464.76 125,577 -959.5238 5,232.38 3 5,571.80 151.07 453.21 112,182 -828.6454 4,674.21 4 5,014.62 149.2 447.6 100,010 -706.0698 4,167.08 5 4,513.16 141.91 425.73 89,460 -612.5729 3,727.48 6 4,061.84 132.91 398.73 80,140 -535.7426 3,339.16 7 3,655.66 124.34 373.02 71,786 -468.0053 2,991.08 8 3,290.09 122.48 367.44 63,847 -389.4828 2,660.25 9 2,961.08 133.02 399.06 55,821 -282.1705 2,325.86 10 2,664.97 140.71 422.13 48,728 -190.9775 2,030.30 11 2,398.48 147.12 441.36 42,380 -110.4367 1,765.83 12 2,158.63 153.39 460.17 36,632 -36.44704 1,526.30 13 1,942.77 167.37 502.11 30,858 55.15467 1,285.71 14 1,748.49 185.49 556.47 25,262 154.2102 1,052.57 15 1,573.64 205.61 616.83 19,952 254.7962 831.3053 16 1,416.28 226.73 680.19 14,956 354.3596 623.1317 17 1,274.65 248.85 746.55 10,235 453.3026 426.4396 18 1,147.18 271.97 815.91 5,755 551.9873 239.7806 19 1,032.47 298.23 894.69 1,331 657.1596 55.43156 20 929.2189 324.49 973.47 0 759.6926 -118.3606


(5)

Time H_Betina_A H_Betina_D H_Jantan_A H_Jantan_D LL_Z1 LL_Z2 Pop_T

0 56 77 86 167 1,172.25 3,516.75 386

1 71 63 91 142 1,055.03 3,165.08 367

2 77 56 92 123 949.5225 2,848.57 348

3 81 51 77 122 854.5703 2,563.71 331

4 71 60 67 115 769.1132 2,307.34 313

5 68 63 64 106 692.2019 2,076.61 301

6 67 63 64 97 622.9817 1,868.95 291

7 67 62 65 89 560.6835 1,682.05 283

8 64 64 63 86 504.6152 1,513.85 277

9 63 91 62 84 454.1537 1,362.46 300

10 69 112 68 82 408.7383 1,226.22 331

11 80 128 79 81 367.8645 1,103.59 368

12 95 141 94 81 331.078 993.2341 411

13 107 158 106 88 297.9702 893.9107 459 14 117 177 116 99 268.1732 804.5196 509 15 127 197 126 113 241.3559 724.0676 563 16 139 216 138 128 217.2203 651.6609 621 17 150 236 149 144 195.4983 586.4948 679 18 162 256 161 161 175.9484 527.8453 740 19 173 278 172 180 158.3536 475.0608 803 20 185 300 184 200 142.5182 427.5547 869 Time DDL Ten_H_Tot K_O_L_H Keb_Jm_Krj_T KOLH_Sisa Z2_sisa

0 7,643.07 210.89 632.67 153,620 -1,125.71 6,400.83 1 6,878.76 177.91 533.73 139,115 -1,048.81 5,796.42 2 6,190.89 154.92 464.76 125,577 -959.5238 5,232.38 3 5,571.80 151.07 453.21 112,182 -828.6454 4,674.21 4 5,014.62 149.2 447.6 100,010 -706.0698 4,167.08 5 4,513.16 141.91 425.73 89,460 -612.5729 3,727.48 6 4,061.84 132.91 398.73 80,140 -535.7426 3,339.16 7 3,655.66 124.34 373.02 71,786 -468.0053 2,991.08 8 3,290.09 122.48 367.44 63,847 -389.4828 2,660.25 9 2,961.08 135.87 407.61 55,616 -273.6205 2,317.31 10 2,664.97 145.84 437.52 48,358 -175.5875 2,014.91 11 2,398.48 153.96 461.88 41,888 -89.91671 1,745.31 12 2,158.63 161.37 484.11 36,057 -12.50704 1,502.36 13 1,942.77 178.06 534.18 30,088 87.22467 1,253.64 14 1,748.49 199.89 599.67 24,225 197.4102 1,009.37 15 1,573.64 225.29 675.87 18,535 313.8362 772.2653 16 1,416.28 251.12 753.36 13,200 427.5296 549.9617 17 1,274.65 278.52 835.56 8,099 542.3126 337.4296 18 1,147.18 306.92 920.76 3,239 656.8373 134.9306 19 1,032.47 338.46 1,015.38 0 777.8496 -65.25844 20 929.2189 371 1,113 0 899.2226 -257.8906


(6)

Lahan sawah yang telah selesai diolah

Pengolahan lahan sawah dengan

sepasang

kerbau

Kerbau yang sedang dimandikan

Keadaan umum kandang kerbau

Bajak lahan sawah

Keranjang untuk pakan, kapasitas total