TEKNOLOGI PENGGEMUKAN SAPI POTONG DENGAN SUPLEMEN FOSFOLIPID UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI KABUPATEN CIAMIS

TEKNOLOGI PENGGEMUKAN SAPI POTONG DENGAN SUPLEMEN
FOSFOLIPID UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI
DI KABUPATEN CIAMIS
Oleh:
Agus Yuniawan Isyanto dan Dadi
RINGKASAN
Ternak sapi potong yang diimpor dari luar kabupaten Ciamis pada tahun
2008 sebanyak 12.603 menunjukkan adanya potensi untuk pengembangan
ternak sapi potong di kabupaten Ciamis, sehingga diharapkan kabupaten Ciamis
dapat berswasembada daging sapi. Upaya untuk mencapai swasembada daging
sapi ini dapat dilihat dari sisi pembibitan maupun penggemukan ternak sapi
potong.
Untuk penggemukan sapi dalam waktu relatif singkat, maka ransum yang
diberikan harus terdiri dari hijauan dan konsentrat karena Pertambahan Bobot
Badan (PBB) yang ditargetkan umumnya tinggi. Salah satu alternatif pakan
tambahan untuk meningkatkan PBB ternak sapi potong adalah pemberian
suplemen fosfolipid.
Kegiatan ini secara keseluruhan mencakup tiga kegiatan utama, yaitu: (1)
tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap pelaporan. Evaluasi
kegiatan penerapan teknologi fosfolipid diarahkan pada dua indikator, yaitu
pertambahan bobot badan (PBB) harian dan pendapatan peternak.

Hasil pelaksanaan kegiatan menunjukkan bahwa: (1) Pemberian pakan
tambahan posfolipid pada usaha penggemukan ternak sapi potong
selama 160 hari mempunyai pertambahan bobot badan harian (PBB)
sebesar 1,30 kg/ekor/hari, dan (2) Keuntungan yang diperoleh peternak
yang melaksanakan usaha penggemukan ternak sapi potong dengan
menggunakan pakan tambahan posfolipid sebesar Rp 4.412.531 selama 6
bulan pemeliharaan (160 hari), atau Rp 735.422 per ekor per bulan.
SUMMARY
Beef that imported from outside of Ciamis regency on 2008 as much 12.603
tails points out to mark sense potencies for developmental fattening at Ciamis
regency, so expected by regency Ciamis can get self-sufficient beef. Effort to
reach self-sufficient this beef gets to be seen from breeding and also fattening.
Fattening that did in short period needs grass and concentrate to achieve
weight increased daily. One of supplementation element alternative to
increase weight increased daily is phospholypid.
This activity including three phases, which is: (1) preparation phases, (2)
performing phases, and (3) reporting phases. The evaluation of phospholypid
application directed to two indicators, which is weight increase daily and
cattleman’s income.
Activity performing result points out that: (1) The application of

supplementation of phospholypid in 160 days have weight increase daily as
big as 1,30 kg/tail/day, and (2) cattleman’s income as big as Rp
4.412.531 up to 6 months preserve (160 days), or Rp 735.422 per
moon.

1

PENDAHULUAN
Kelompok peternak sapi potong di Kabupaten Ciamis pada tahun 2008
tercatat sebanyak 138 kelompok. Populasi ternak sapi potong sebanyak 34.292
ekor dengan produksi daging sapi sebanyak 1.765.308 kg. Pemasukan ternak
sapi potong dari luar kabupaten ke Kabupaten Ciamis pada tahun 2008
sebanyak 12.603 ekor, sedangkan pengeluaran ternak sapi potong dari
Kabupaten Ciamis ke luar kabupaten sebanyak 8.724 ekor, dan jumlah
pemotongan sapi di wilayah Kabupaten Ciamis sebanyak 8.880 ekor.
Ternak sapi potong yang diimpor dari luar kabupaten Ciamis pada tahun
2008 sebanyak 12.603 menunjukkan adanya potensi untuk pengembangan
ternak sapi potong di kabupaten Ciamis, sehingga diharapkan kabupaten Ciamis
dapat berswasembada daging sapi. Upaya untuk mencapai swasembada daging
sapi ini dapat dilihat dari sisi pembibitan maupun penggemukan ternak sapi

potong.
Untuk penggemukan sapi dalam waktu relatif singkat, maka ransum yang
diberikan harus terdiri dari hijauan dan konsentrat karena Pertambahan Bobot
Badan (PBB) yang ditargetkan umumnya tinggi. Namun demikian, pemakaian
konsentrat di tingkat petani kecil perlu diantisipasi dengan jenis pakan lain yang
lebih murah dan praktis seperti penggunaan makanan ternak produktif dan
berkualitas yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya melalui perlakuan biologis
sehingga aman bagi ternak dan konsumen akhir. Selain

itu,

usaha

penggemukan sapi potong sangat terkait dengan nilai keuntungan
ekonomi. Semakin lama waktu proses penggemukan yang tidak diimbangi
dengan pertambahan bobot badannya maka peternak akan merugi,
sehingga usaha penggemukan sapi potong akan ditinggalkan oleh
peternak.
Jenis hijauan pakan ternak yang umum digunakan oleh peternak
sapi penggemukan di Kabupaten Ciamis adalah rumput lapangan.

Rumput lapangan ini dikenal memiliki nutrisi rendah baik kandungan
protein, energi maupun daya cernanya. Oleh karena itu diperlukan
perbaikan kualitas hijauan maupun teknologi pakan tambahan yang dapat
memacu daya cerna hijauan yang dimakan oleh sapi.
Salah satu alternatif pakan tambahan untuk meningkatkan PBB
ternak sapi potong adalah pemberian suplemen fosfolipid. Penelitian
Yasin dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen fosfolipid

2

akan memberikan PBB sebesar 1,30 kg/hari yang akan memberikan
keuntungan kepada peternak sebesar Rp 650.853/bulan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka diperlukan penerapan
teknologi suplementasi fosfolipid pada usaha penggemukan ternak sapi potong di
Kabupaten Ciamis dalam pengembangan penggemukan sapi potong di
Kabupaten Ciamis untuk menuju swasembada daging.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usaha penggemukan
sapi potong di Kabupaten Ciamis adalah rendahnya penguasaan inovasi di
bidang iptek pada tingkat peternak, khususnya yang berkaitan dengan teknologi
pakan ternak. Untuk itu diperlukan upaya diseminasi iptek yang sudah dilakukan

pengkajiannya di tingkat perguruan tinggi untuk diaplikasikan di tingkat peternak.
Salah satu hasil kajian yang bisa diterapkan dalam pengembangan usaha
penggemukan sapi potong tersebut adalah suplementasi fosfolipid pada pakan
ternak sapi potong yang dapat meningkatkan PBB ternak, dan secara langsung
dapat meningkatkan pendapatan peternak.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang berkaitan dengan
penerapan teknologi fosfolipid adalah:
1.

Kendala-kendala apa saja yang akan ditemui pada penerapan teknologi
suplementasi fosfolipid pada tingkat peternak?

2.

Bagaimana pertumbuhan bobot badan (PBB) harian pada ternak sapi
potong yang diberikan suplementasi fosfolipid?

3.

Bagaimana


pendapatan

peternak

setelah

menerapkan

teknologi

suplementasi fosfolipid?
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar peternak dapat menerapkan
teknologi penggemukan sapi potong dengan menggunakan suplemen fosfolipid
dengan terget peningkatan bobot badan ternak lebih dari 0,67 kg/ekor/hari yang
berbasis pemanfaatan hijauan pakan ternak.

Dengan tercapainya tujuan ini

maka akan memacu para peternak sapi potong di Kabupaten Ciamis untuk lebih

giat lagi dalam memelihara ternaknya yang berorientasi bisnis, sehingga akan
menambah pendapatan peternak sapi potong dan sekaligus akan meningkatkan
pendapatan asli daerah melalui retribusi ternak. Pada akhirnya, keberhasilan
teknologi penggemukan sapi potong ini akan mempercepat pencapaian
swasembada daging di Propinsi Jawa Barat maupun Nasional.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging sapi tahun
2005 dengan penetapan beberapa kebijakan strategis, yaitu: (1) pengembangan
wilayah

berdasarkan

komoditas

ternak

unggulan,


(2)

pengembangan

kelembagaan peternak, (3) peningkatan usaha dan industri peternakan, (4)
optimalisasi pemanfaatan, pengamanan, dan perlindungan sumberdaya alam
lokal, (5) pengembangan kemitraan yang saling menguntungkan, dan (6)
mengembangkan teknologi tepat guna. Tiga sasaran utama program tersebut
adalah peningkatan populasi, penurunan impor sapi bakalan, dan peningkatan
pemotongan sapi lokal (Ilham, 2006).
Program swasembada daging tahun 2005 tidak berhasil karena tidak
tercapainya tiga sasaran utama program tersebut. Ada lima penyebab
ketidakberhasilan tersebut, yaitu: (1) kebijakan program yang dirumuskan tidak
disertai dengan rencana operasional yang rinci, (2) program-program yang dibuat
bersifat top-down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin
dicapai, (3) strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak
memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada komoditas
unggulan, (4) implementasi program-program tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan evaluasi dampak program, dan (5) program-program tidak secara

jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi secara nasional.
Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi
serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara
nasional cenderung meningkat (Kariyasa, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat
Muslim (2006) yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini
permintaan konsumsi daging sapi potong terus meningkat dan tampaknya telah
melampaui kemampuan produksi daging sapi dalam negeri. Akibatnya jumlah
impor dalam berbagai bentuk cenderung juga mengalami peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat pada
tahun-tahun mendatang, dan pertumbuhan ini akan memacu peningkatan
konsumsi. Sektor produksi pertanian khususnya subsektor peternakan harus
melakukan

antisipasi

peningkatan

konsumsi

tersebut,


terutama

untuk

menghindarkan pengurasan cadangan devisa untuk impor daging dan susu,
kendati pemerintah sudah menetapkan bahwa Indonesia akan mencapai
kecukupan (bukan swasembada) daging pada tahun 2010 (Yusdja dan Ilham,
2007).

4

Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memacu produksi
ternak dalam negeri seperti: (1) pengembangan pakan ternak, (2) peningkatan
mutu bibit melalui program inseminasi buatan, dan (3) program pemberantasan
penyakit (Ilham, 1998, dalam Kariyasa, 2003). Pemerintah juga telah melakukan
upaya-upaya

pemberdayaan


usaha

peternakan

rakyat

dengan

konsep

pengembangan Industri Peternakan Rakyat (Inayat) dengan pola kemitraan
antara perusahaan dengan peternakan rakyat dalam bentuk Perusahaan Inti
Rakyat (PIR). Namun tampaknya semua usaha yang telah dilakukan pemerintah
tersebut belum berhasil secara signifikan memacu produksi ternak dalam negeri.
Hal ini terbukti dari volume impor daging sapi Indonesia selama periode 19901999 mengalami peningkatan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,94 persen per
tahun (Ilham, dkk., 2001, dalam Kariyasa, 2003).
Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber
yaitu: sapi lokal, sapi impor, dan daging impor (Hadi dan Ilham, 2000, dalam
Kariyasa, 2003). Ini sejalan dengan pendapat Yusdja dan Ilham (2007) yang
menyatakan bahwa kebutuhan konsumsi daging sekitar 65 persen dipenuhi dari
produk impor dan 25 persen di antaranya berasal dari impor sapi bakalan. Selain
itu, Talib, dkk. (2007) menyatakan tingginya ketergantungan pada supply sapi
bakalan dan daging impor ( setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Arifin dan Pabicara (2008),
impor ternak sapi dan daging serta jeroan menduduki ranking ketiga selama
kurun waktu 5 tahun terakhir (2002-2007) dengan nilai US$ 367.272 ribu atau
sebesar Rp 3,3 triliun. Porsinya untuk impor sapi dan daging ini sebesar 14,5%
dari impor keseluruhan.
Selaras dengan data di atas, data Statistik Peternakan pada BPS (2006)
juga memperlihatkan bahwa 65 persen produksi daging dalam negeri berasal
dari impor. Hal ini diperlihatkan oleh peningkatan impor ayam broiler dan jumlah
sapi bakalan yang akan digemukkan di dalam negeri yang telah mencapai angka
fantastis yakni 450 ribu ekor. Dengan ketergantungan kepada ternak impor serta
impor bahan baku pakan, sebenarnya Indonesia hanya mendapat nilai tambah
dari tenaga kerja (Yusdja dan Ilham, 2007). Berdasarkan hal tersebut, Hadi, dkk.,
(1999) dalam Kariyasa (2003) memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan
teknologi secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri serta
tidak adanya peningkatan populasi sapi yang berarti, maka senjang antara

5

produksi daging sapi dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin
melebar, sehingga berdampak pada volume impor yang semakin besar.
Menurut Simatupang dan Maulana (2007), jumlah populasi sapi potong
mengalami penurunan absolut dari rata-rata 11.276.583 ekor per tahun pada
periode tahun 1990-1999 menjadi 10.706.226 ekor per tahun pada periode tahun
2000-2005. Berbanding lurus dengan perkembangan populasinya, produksi
daging sapi tumbuh lambat dan praktis konstan sekitar 2,3 persen per tahun.
Produksi daging sapi pada periode 2000-2005 hanya 465.003 ton per tahun.
Diberlakukannya perdagangan bebas di satu sisi merupakan peluang dan
di sisi lain sekaligus juga merupakan tantangan bagi peternak-peternak
Indonesia. Dari aspek produksi, hal tersebut sangat tergantung kepada harga
sarana produksi, seperti pakan dan harga komoditas peternakan; dan efisiensi
produksi. Biaya produksi diduga akan naik, tergantung kepada komponen impor
bahan baku industri pakan dan obat hewan serta bibit unggul. Sementara itu,
harga produk peternakan diduga akan turun, sehingga peternakan dihadapkan
pada persaingan terbuka dengan negara-negara produsen yang lebih maju yang
tentunya lebih efisien dalam biaya produksi (Adnyana dan Kariyasa, 1996, dalam
Kariyasa, 2003).
Beberapa potensi yang ada dan dapat dipergunakan untuk pengembangan
usaha peternakan sapi potong di Indonesia antara lain : (1) adanya pasar
domestik yang potensial, (2) daya dukung lahan/alam untuk menyediakan pakan
ternak sangat besar dan relatif murah, (3) sumberdaya manusia dan
kelembagaan relatif tersedia, (4) sumberdaya genetik ternak, dan (5) tersedianya
teknologi tepat guna (Diwyanto, et al., 2005).
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan pada usaha pengembangan
peternakan sapi potong di Indonesia adalah teknologi pakan, baik hijauan pakan
ternak maupun teknologi suplementasi pakan ternak.
Salah satu jenis hijauan yang adaptif untuk ekosistem lahan kering
dataran rendah seperti Kabupaten Ciamis adalah tanaman legum stylo
(Stylosanthes guianensis). Tepung legum stylo dalam konsentrat 15 %
telah dibuktikan oleh Yasin (2001) pengaruhnya terhadap keragaan sapi
potong. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pertambahan bobot badan
ternak sebesar 0,67 kg/ekor/hari, nilai konversi 7,37 dan keuntungan
usaha sebesar Rp. 220.000,-/ekor/bulan. Namun demikian penggunaan

6

stylo dalam bentuk konsentrat sangat tidak praktis bagi petani sehingga
diperlukan pembuktian penggunaan hijauan stylo segar.
Selain perbaikan kualitas hijauan, untuk usaha penggemukan sapi
potong diperlukan pula pemacu daya cerna hijauan dalam sistem
pencernaan sapi potong. Menurut Usri (2000), senyawa fosfolipid telah
diketahui merupakan senyawa yang berpotensi meningkatkan daya cerna
hijauan dalam system pencernaan sapi potong.
Yasin

(2003)

melakukan

penelitian

mengenai

penggunaan

suplementasi fosfolipid pada ternak sapi potong dengan hasil penelitian
adanya pertambahan bobot badan (PBB) harian sebesar 1,30 kg/hari,
dengan pendapatan atau keuntungan yang diperoleh peternak sebanyak
Rp 650.853 per bulan.
Posfolipid adalah senyawa organik yang merupakan unsur utama membran
sel pada semua makhluk hidup baik pada bakteri, tanaman, insekta maupun
manusia.

Senyawa fosfolipid didasari oleh Phosphatidic Acid (PA) yang

termasuk digliserida dan terdiri dari molekul gliserol dimana asam lemak terikat
pada 2 Karbon pertama dan fosfat pada karbon ke-3. Dengan mensenyawakan
berbagai grup utama pada ikatan fosfat dalam PA, dapat dibuat banyak fosfolipid
seperti phosphatidyl inositol yang merupakan penggabungan PA dengan inositol,
phosphatidyl ethanolamine (PE atau cephalin) yang merupakan penggabungan
PA dengan ethanolamine dan juga phosphatidyl choline (PC atau lecithin) yang
merupakan penggabungan PA dengan choline.
Fosfolipid dalam bentuk lecithin banyak ditemukan dalam berbagai protein
ternak seperti daging dan juga dalam kacang kedele, kuning telur dan kacang
tanah. Senyawa organik ini diperlukan untuk memelihara integritas membran sel
dan untuk memfasilitasi pergerakan dari lemak, ion, gizi dari dan ke dalam sel
(Usri, 2001).Oleh karena itu, pemberian posfolipid dalam bentuk lecithin kepada
ternak penggemukan sangat berpeluang untuk meningkatkan daya serap gizi
dari pakan yang dikonsumsinya. Hal ini amat berguna bagi jenis pakan yang
banyak mengandung lignin atau tanin seperti ditemukan dalam HMT tropis,
karena lignin dan tanin tersebut dapat terlarut oleh lecithin sehingga proteksi
terhadap kandungan gizi dalam HMT dapat dihilangkan yang secara tidak
langsung dapat memperbaiki nilai nutrisi HMT yang dikonsumsi oleh ternak.
Perbaikan nilai nutrisi yang dikonsumsi sudah tentu akan bermuara kepada

7

perbaikan keragaan ternak yakni peningkatan bobot badan harian ternak dan
efisiensi usaha.
TAHAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Secara keseluruhan, kegiatan penerapan iptek ini mencakup tiga kegiatan
utama, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap
pelaporan.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dalam kegiatan ini meliputi beberapa kegiatan sebagai
berikut :
1.1. Pemilihan Komponen Teknologi
Sistem produksi penggemukan sapi potong yang dianggap sesuai adalah
sistem dikandangkan. Pakan diberikan dalam bentuk hijauan rumput lapangan
dengan suplementasi berupa legum stylo dan pemberian fosfolipid. Cara
pemberian

ditetapkan

sesuai

dengan

rancangan

penerapan

teknologi.

Pengendalian kesehatan dilakukan terhadap penyakit (vaksinasi penyakit
menular), ektoparasit (kutu/caplak) dan endoparasit (cacing).
1.2. Perakitan Paket Teknologi
Paket teknologi yang diterapkan sudah dirakit dari awal, yakni berupa
pemberian posfolipid dalam bentuk lecithin dengan dosis sesuai penerapan
teknologi, namun demikian modifikasi masih dapat dilakukan tergantung dari
permasalahan yang dihadapi di lapangan.
1.3. Penentuan Kelompok Sasaran
Keluarga tani yang dijadikan kelompok sasaran kegiatan adalah 30 orang
peternak yang tergabung dalam kelompok ternak Trijaya di Desa Situmandala
Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis, dimana pada masing-masing peternak
tersebut diterapkan teknologi suplementasi fosfolipid pada satu ekor sapi.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dalam kegiatan ini meliputi berbagai kegiatan sebagai
berikut :
2.1. Pelatihan
Pelatihan dilakukan dengan tujuan selain untuk sosialisasi kegiatan
penerapan teknologi suplementasi fosfolipid, juga agar semua anggota kelompok
dapat memahami prosedur pembuatan fosfolipid. Selain itu juga agar semua
anggota kelompok dapat memahami latar belakang, tujuan, dan manfaat dari
8

penerapan

teknologi

suplementasi

fosfolipid,

serta

untuk

menanamkan

kebersamaan dengan pihak peternak di sekitarnya sehingga tercipta tanggung
jawab dan rasa memiliki di antara semua anggota kelompok.
Kegiatan pelatihan ini dilakukan dengan dua metode, yaitu: (1)
Pemaparan materi mengenai teknologi penggemukan sapi potong dan
suplementasi fosfolipid, dan (2) Praktek pembuatan fosfolipid.
2.2. Penerapan teknologi fosfolipid
Penerapan teknologi fosfolipid dilakukan di masing-masing kandang milik
peternak dengan harapan peternak secara langsung dapat membuktikan dan
menyimpulkan aplikasi paket teknologi yang digunakan. Terdapat dua kegiatan
utama dalam kegiatan penerapan teknologi fosfolipid ini, yakni:
(1) Evaluasi dampak penerapan fosfolipid dalam perbaikan serapan gizi hijauan
pakan ternak bagi penggemukan sapi potong, khususnya yang berkaitan
dengan PBB harian.
(2) Evaluasi dampak penerapan teknologi fosfolipid terhadap pendapatan pada
agribisnis penggemukan sapi potong di lokasi kegiatan.
2.3. Monitoring
Monitoring dilakukan terhadap petani pelaksana penerapan teknologi
fosfolipid secara rutin dengan interval satu kali dalam dua minggu selama enam
bulan. Selain itu, dalam kegiatan monitoring ini dilakukan penimbangan berat
badan sapi untuk mengetahui pertambahan bobot badan sapi, juga untuk
memperoleh

data

yang

diperlukan

dalam

melakukan

analisis

ekonomi

penggemukan sapi potong dengan menggunakan teknologi suplementasi
fosfolipid.
2.4. Pendampingan
Pendampingan diarahkan pada petani pelaksana penerapan teknologi
fosfolipid agar melaksanakan kegiatan penggemukan sapi potong sesuai dengan
yang direkomendasikan.
Pendampingan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada
petani peternak kooperator agar dalam melaksanakan aplikasi paket
teknologi berjalan dengan baik, mulai dari pembuatan fosfolipid sampai
pada pemberian fosfolipid pada ternak sapi. Metode pendampingan
dilakukan dengan metode anjangsono kepada petani peternak, yakni
peternak yang melaksanakan aplikasi fosfolipid dikunjungi oleh anggota
tim setiap dua minggu sekali.

9

3. Tahap Pelaporan
Pelaporan dilakukan pada pertengahan dan akhir pelaksanakan kegiatan
penerapan teknologi fosfolipid.
RANCANGAN EVALUASI KEGIATAN
Evaluasi kegiatan penerapan teknologi fosfolipid diarahkan pada dua
indikator, yaitu pertambahan bobot badan (PBB) harian dan pendapatan
peternak. Selengkapnya mengenai evaluasi ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator pelaksanaan kegiatan
No
1

Indikator evaluasi
PBB harian

2

Pendapatan

Waktu pelaksanaan
Minggu terakhir setiap bulan
selama pelaksanaan
kegiatan (6 bulan)
Minggu terakhir pada akhir
kegiatan (bulan ke-6)

Tolok ukur
PBB 1,30 kg/hari

Peningkatan
pendapatan sebesar
Rp 650.853,-

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Pertambahan Bobot Badan (PBB) Harian
Analisis

pertambahan

bobot

badan

harian

dilakukan

untuk

mengetahui pertambahan bobot badan harian sapi yang digemukkan
dengan menggunakan pakan tambahan posfolipid. Pengukuran berat
badan dilakukan selama kurang lebih enam bulan (160 hari) dengan
selang

waktu pengukuran adalah dua minggu sekali. Pengukuran

dilakukan dengan cara melakukan pengukuran lingkar dada sapi dengan
menggunakan meteran, dan hasil pengukuran dikonversikan ke dalam
satuan berat badan sapi.
Sapi yang digemukkan selama 160 hari tersebut mempunyai berat
badan awal 122,33 kg. Dengan menggunakan pakan tambahan posfolipid
dengan dosis sebanyak 200 mg per ekor per hari diketahui bahwa bobot
badan akhir sapi sebesar 330,05. Dengan demikian maka penambahan
bobot badan selama penggemukan 160 hari tersebut adalah 207,72 kg
atau terjadi pertambahan bobot

badan

harian sapi sebesar

1,30

kg/ekor/hari. Maka dengan demikian target pertambahan bobot badan
harian yang telah ditetapkan dalam kegiatan ini tercapai, yaitu terjadinya
pertambahan bobot badan harian sebesar 1,30 kg/ekor/hari.
10

Tingginya pertambahan bobot badan harian sapi potong yang
diberikan pakan tambahan fosfolipid sebesar 1,30 kg per ekor per hari ini
disebabkan karena fosfolipid berperan dalam metabolisme lemak maupun
sebagai penyusun struktur membran sel otot di dalam tubuh ternak.
Sejalan dengan pendapat Harper et al. (1999), bahwa penambahan
fosfolipid dapat meningkatkan aktivitas metabolisme lemak menjadi asamasam lemak, gliserol, dan senyawa asam fosfor dan cholin yang tersebar
luas di dalam sel-sel tubuh sebagai penyusun utama fungsi struktur
membran sel tubuh. Dengan demikian, penambahan fosfolipid diduga
dapat meningkatkan hiperplasi (perbanyakan) dan hipertropi (perbesaran)
sel-sel tubuh yang secara tidak langsung dapat meningkatkan bobot
badan sapi.

Di samping itu, akibat terjadinya peningkatan aktivitas

metabolisme di dalam tubuh, ternyata penambahan fosfolipid membawa
konsekuensi meningkatkan nafsu makan (palatabilitas) ternak sapi. Hal
ini terlihat bahwa pada sapi yang diberi pakan tambahan fosfolipid
mampu menghabiskan total pakan yang diberikan per hari.
Peningkatan nafsu makan yang diikuti dengan peningkatan daya
cerna pakan akibat pemberian suplemen fosfolipid menyebabkan pakan
yang dicerna hampir seluruhnya akan menjadi lemak dan daging yang
mengakibatkan tingginya pertambahan bobot harian pada ternak sapi
yang diberi pakan suplemen posfolipid yaitu sebesar 1,30 k g/ekor/hari.
Namun demikian masih belum diketahui bagaimana kualitas daging
tersebut apakah mengandung lebih banyak lemak otot (marbling) atau
sebaliknya lebih banyak daging (otot). Untuk itu direkomendasikan
adanya kegiatan lanjutan berupa pemeriksaan kualitas daging dari
perlakuan pemberian fosfolipid pada sapi potong tersebut.
Analisis Ekonomi Pemberian Suplemen Posfolipid
Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan selama pelaksanaan
kegiatan diperoleh beberapa indikator teknis yang diperlukan dalam
melakukan analisis ekonomi usaha penggemukan ternak sapi potong
dengan menggunakan pakan tambahan berupa posfolipid.
Indikator atau koefisien teknis dalam pelaksanaan penggemukan
sapi dengan menggunakan pakan tambahan posfolipid tersebut adalah
sebagai berikut :

11

Sapi yang digemukkan adalah sapi jantan hasil IB, ras/bangsa

-

peranakan Ongole (PO) dengan umur 12-15 bulan, dengan rata-rata
berat badan awal 122,33 kg.
Harga daging sapi hidup/kg sebesar Rp 32.000, dengan demikian

-

rata-rata harga sapi yang digemukkan adalah Rp 3.914.650.
-

Rata-rata pertambahan bobot badan harian 1,30 kg per hari.

-

Pemberian rumput lapangan 10% dari berat badan per ekor per hari
dengan harga Rp 150/kg.
Pemberian fosfolipid sebanyak 200 mg per ekor per hari @ Rp. 500,-

-

Tabel 2. Analisis ekonomi penerapan teknologi posfolipid
No
I

Bulan

Uraian

1

2

3

4

5

Jumlah

6

Biaya
1. Pembelian sapi bakalan

3.914.650

3.914.650

2. Pakan
a. Rumput lapangan

48.037

81.635

98.511

111.697

132.320

72.219

544.419

b. Fosfolipid

15.000

15.000

15.000

15.000

15.000

15.000

90.000

3. Obat-obatan

100.000

4. Tenaga kerja
Jumlah Biaya
II.

75.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

1.500.000

4.277.687

396.635

413.511

426.697

447.320

387.219

6.149.069

Penerimaan
1. Penjualan sapi

10.561.600

2. Penjualan kotoran ternak

20.000

20.000

20.000

20.000

20.000

20.000

120.000
10.681.600

Jumlah Penerimaan

4.412.531

III.

Keuntungan

IV.

Keuntungan/ekor/ bulan

V,

R/C

735.422
1,74

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata biaya yang dikeluarkan pada
usaha penggemukan sapi potong selama 160 hari dengan menggunakan
pakan

tambahan

posfolipid

sebanyak

Rp

6.124.069.

Biaya

yang

dikeluarkan tersebut meliputi biaya untuk pembelian sapi bakalan dengan
berat rata-rata 122,33 kg sebesar Rp 3.914.650, biaya pembelian rumput
hijauan ternak Rp 544.419, biaya pemberian posfolipid Rp 90.000, biaya
obat-obatan Rp 100.000, dan biaya tenaga kerja Rp 1.500.000.
Penerimaan dari usaha penggemukan sapi potong yang menerapkan
pakan tambahan posfolipid sebesar Rp 10.681.600, yang terdiri dari
penjualan sapi Rp 10.561.600 dan penjualan kotoran sapi Rp 120.000,-

12

Dengan

demikian,

maka

keuntungan

yang

diperoleh

pada

usaha

penggemukan sapi potong yang diberikan pakan tambahan posfolipid
sebesar Rp 4.412.531 atau Rp 735.422 per ekor per bulan.
Tingginya keuntungan yang diperoleh dari usaha penggemukan ternak sapi
potong dengan menggunakan pakan tambahan posfolipid tersebut disebabkan
oleh tingginya pertambahan bobot badan harian sebesar 1,30 kg per ekor per
hari.. Semakin tinggi pertambaan bobot badan harian dari suatu usaha
penggemukan sapi potong maka akan semakin tinggi pula keuntungan dari
usaha tersebut, dengan asumsi harga input dan output dianggap sama.
Tingginya keuntungan peternak apabila melaksanakan usaha penggemukan sapi
potong dengan perlakuan E ini akan meningkatkan kesejahteraan peternak,
sehingga peternak akan lebih terangsang dalam melaksanakan usahanya.
R/C merupakan rasio antara penerimaan (revenue) dengan biaya
(cost) yang menunjukkan kelayakan dari suatu usaha, dimana suatu
usaha akan menguntungkan atau memperoleh keuntungan apabila nilai
R/C lebih dari 1. Semakin tinggi nilai R/C pada suatu usaha maka akan
semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh pada usaha tersebut.
R/C pada usaha penggemukan sapi potong dengan menggunakan
pakan tambahan fosfolipid sebesar 1,74, yang menunjukkan bahwa
artinya dari setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 1,- akan diperoleh
penerimaan sebesar Rp. 1,74,- sehingga dengan demikian akan diperoleh
keuntungan sebesar Rp. 0,74,- Atau dengan kata lain, keuntungan yang
diperoleh sebesar 74% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemberian pakan tambahan posfolipid pada usaha penggemukan
ternak sapi potong selama 160 hari mempunyai pertambahan bobot
badan harian (PBB) sebesar 1,30 kg/ekor/hari. Tingginya PBB harian
tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan nafsu makan dan
peningkatan daya cerna pada saluran pencernaan sapi.
2. Keuntungan yang diperoleh peternak yang melaksanakan usaha
penggemukan ternak

sapi

potong

dengan

menggunakan

pakan

tambahan posfolipid sebesar Rp Rp 4.412.531 selama 6 bulan
pemeliharaan (160 hari), atau Rp 735.422 per ekor per bulan.

13

Saran
1. Pertambahan bobot badan harian dengan penggunaan teknologi
suplementasi pakan posfolipid sebesar 1,30 kg/ekor/hari dengan
keuntungan sebesar Rp 735.422/ekor/bulan menunjukkan bahwa
penerapan teknologi

suplementasi

pakan posfolipid

memberikan

manfaat kepada peternak. Oleh karena itu, penerapan teknologi
suplementasi pakan posfolipid ini perlu lebih diintensifkan pada semua
peternak yang melaksanakan usaha penggemukan ternak sapi potong,
selain untuk meningkatkan kesejahteranaan peternak, juga untuk
meminimalkan kesenjangan antara penawaran dengan permintaan
terhadap daging sapi di Kabupaten Ciamis.
2. Peternak yang telah menerapkan dan merasakan manfaat dari
penerapan suplementasi pakan posfolipid dapat dilibatkan sebagai
kader dan pelopor aplikasi penggunaan fosfolipid di kalangan peternak
lainnya Kabupaten ciamis.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M.C., dan Pabicara, S. 2008. Analisa Impor Ekspor Peternakan.
http://www.ditjennak.go.id/publikasi/analisa.pdf. Diakses tanggal 17 Maret
2009.
Diwyanto, K., Priyanti, A., dan Inounu, I. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Komoditas Peternakan: Unggas, Sapi dan Kambing-Domba. Wartazoa Vol.
15 No. 1 Th. 2005: 11-25.
Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis. 2003. Laporan Tahunan Dinas
Pertanian Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis. 2008. Laporan Tahunan Dinas
Peternakan Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Ilham, N. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada
Daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 4 No. 2, Juni 2006:131145.
Kariyasa, K. 2003. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia
Sebelum dan Saat Krisis Ekononi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada
Daging Sapi 2005. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-kariyasa
%20-daging%20sapi%20di%20indonesia(1).pdf. Diakses tanggal 12 Maret
2009.
Muslim, C. 2006. Pengembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak Dalam Upaya
Pencapaian Swasembada Daging di Indonesia: Suatu Tinjauan Evaluasi.
Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 4 No. 3, September 2006: 226-239.
Simatupang, P., dan Maulana, M. 2007. Prospek Penawaran dan Permintaan
Bahan Pangan Utama: Analisis. Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan
Revitalisasi Produksi. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros_PST
_06.pdf. Diakses tanggal 12 maret 2009.

14

Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis. 1997. Visi dan Misi Kabupaten
Ciamis. Ciamis.
Talib, C., Inounu, I., dan Bamualim, A. 2007. Restrukturisasi Peternakan di
Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 1, Maret 2007: 1-14.
Usri, T. 2000. Analisis Daya Cerna Hijauan Makanan Ternak Melalui
Aplikasi Senyawa Fosfolipid pada Penggemukan Sapi Potong.
Fakultas Pertanian Universitas Galuh. Ciamis.
Usri, T. 2001. Analisis Kandungan Fosfolipid pada Berbagai Komoditas
Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Galuh. Ciamis.
Yasin, H.A. 2001. Aplikasi Legum Stylo dalam Penggemukan Sapi Potong.
Fakultas Pertanian Universitas Galuh. Ciamis.
Yasin, H.A., dkk. 2003. Teknologi Penggemukan Sapi Potong dengan
Suplementasi Fosfolipid. LPPM Unversitas Galuh. Ciamis.
Yusdja, Y., dan Ilham, N. 2007. Suatu Gagasan Tentang Peternakan Masa
Depan dan Strategi Mewujudkannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.
25 No. 1, Juli 2007: 19-28.

15