Studi Histopatologi Organ Otak dan Paru-Paru Hamster dan Mencit yang Diinfeksi Coxiella burnetii

 

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN OTAK DAN PARU-PARU
HAMSTER DAN MENCIT YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii

ROSITA
B04070188

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul kajian histopatologi organ
otak dan paru-paru pada hamster dan mencit yang dinfeksi Coxiella burnetti
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Rosita
NIM 04070188

 

ABSTRAK
ROSITA. Studi Histopatologi Organ Otak dan Paru-Paru Hamster dan Mencit
yang Diinfeksi Coxiella burnetii. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan
MAWAR SUBANGKIT.
Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui lesio histopatologi otak dan
paru-paru hamster dan tikus yang diinfeksi bakteri Coxiella burnetii dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK). Sebanyak 3
kelompok hewan percobaan, terdiri dari kelompok I (Hamster A), kelompok II
(Hamster B), dan kelompok III (mencit). Kelompok I diinfeksi dengan bakteri

Coxiella burnetii, dipelihara selama 7 hari kemudian dieutanasi menggunakan
diazepam sebanyak 0,25 ml dan otak dan paru-paru diambil untuk menjadi sampel
pertama. Limpa kelompok ini diekstraksi dan diinfeksikan ke grup II. Prosedur ini
diulang dari kelompok II dengan kelompok III. Hasil penelitian menunjukkan
lesio berupa infiltrasi sel-sel radang, kongesti, hemoragi, edema, dan nekrosis
pada otak ketiga kelompok hewan dengan tingkat keparahan yang berbeda. Lesio
pada organ paru-paru menunjukkan infiltrasi sel-sel radang, kongesti, hemoragi,
emfisema, dan edema. Pewarnaan IHK menunjukkan hasil positif pada hamster
dan mencit.
Kata kunci : Coxiella burnetii, paru-paru, otak

ABSTRACT
ROSITA. Histopathology Study of Hamster’s and Mice’s Brain and Lung which
were Infected with Coxiella burnetii. Supervised by AGUS SETIYONO and
MAWAR SUBANGKIT.
This study aims were to describe histopathological lesions of the brain and
lungs of hamster and mice were infected with bacterium Coxiella burnetii using
Hematoxylin Eosin (HE) staining and immunohistochemistry (IHC) technique. A
total of 3 groups of experimental animals, consists of group I (hamster A), group
II (hamster B), and group III (mice). Group I infected with bacterium Coxiella

burnetii, maintained for 5 days then were euthanazied by 0.25 ml diazepam and
colected brain and lungs to be the first sample. Spleen of this group was extracted
and infected to group II. This procedure was repeated from group II to group III.
The results showed lesions in the form of infiltration of inflammatory cells,
congestion, hemorrhage, edema, and necrosis of the brain in all three groups of
animals with different levels of severity. Lesions in the lung organ showed
infiltration of inflammatory cells, congestion, hemorrhage, emphysema, and
edema. IHK staining showed positive results in both brain and lungs whether
hamsters or mice.
Keyword : brain, Coxiella burnetii, and lung

 

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN OTAK DAN PARU-PARU
HAMSTER DAN MENCIT YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii

ROSITA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Penelitian
Nama
NRP

Studi Histopatologi Organ Otak dan Paro-Paro Hamster dan
Meneit yang Diinfeksi Coxiella burnetii
Rosita
B04070188

Disetujui,
Dosen Pembimbing

drh1ubangkit


o MS. Ph.D. APVet

Pembimbing II

Diketahui,

MS. Ph D. APVet

Tanggal Lulus :

rm 7 OCT lO i セ@

 

Judul Penelitian :
Nama
NRP

:
:


Studi Histopatologi Organ Otak dan Paru-Paru Hamster dan
Mencit yang Diinfeksi Coxiella burnetii
Rosita
B04070188

Disetujui,
Dosen Pembimbing

drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D. APVetdrh.
Pembimbing I

Mawar Subangkit
Pembimbing II

Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

drh. Agus Setiyono, MS. Ph D. APVet
 

 Tanggal Lulus :
 
 
 
 

 

 

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian
adalah Studi Histopatologi Organ Otak dan Paru-Paru Hamster dan Mencit yang
Diinfeksi Coxiella burnetii. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Juli
2012.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D,
APVet dan Bapak drh. Mawar Subangkit, MSi selaku dosen pembimbing skripsi
yang memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih penulis haturkan
kepada Bapak Prof. Dr. drh. Muhammad Agus Setiadi selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan banyak pengarahan dan nasehatnya. Ucapan
terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Sholeh, Bapak Kasnadi, serta seluruh
staf Patologi yang memberikan banyak bantuan selama penulis melakukan
penelitian.UngkapanterimakasihjugadisampaikankepadaBapak Abd. Rasid SP dan
Almh. Rahmatia, dan abang Adi yang telah memberikan kasih sayang serta
bantuan materinya kepada penulis. Terima kasih kepada group Khanza, Mba
Tania, El Fattah Catfish Group, Mba Ani, Mba Ana, Bapak dan Ibu Ciledug, AnNahl, Gianuzzi 44, teman-teman sepenelitian, serta seluruh pihak yang telah
membantu penulis selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan,
untuk itu penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang membangun dari
seluruh pihak. Semogaskripsiinibermanfaat.

Bogor, September 2013

Rosita

 

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR


i

DAFTAR TABEL

i

PENDAHULUAN

1

Latar belakang

2

Tujuan penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

MATERI DAN METODE

2

Waktu dan tempat penelitian

2

Bahan dan alat

2

Prosedur penelitian

2

Penginfeksian hewan coba


2

Pemilihan organ

3

Dehidrasi

3

Pembuatan blok embedding

3

Prosedur trimming

4

Pewarnaan imunohistokimia

4

Deparafinisasi

4

Prosedur imunohistokimia

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Hasil

5

Gambaran histopatologi otak setelah diinfeksi dengan bakteri C.burnetii

7

Gambaran histopatologi paru-paru setelah diinfeksi dengan bakteri
C. burnetii.
SIMPULAN DAN SARAN

9
11

Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

11

RIWAYAT HIDUP

13

 

i

DAFTAR TABEL
1. Hasil pengamatan organ otak dan paru-paru pada hamster dan mencit
setelah diinfeksi C. burnetii
2. Hasil pengamatan imunohistokimia pada organ otak dan paru-paru

6
7

DAFTAR GAMBAR
1. Perbandingan histopatologi organ otak setelah diinfeksi C. burnetti
dengan pewarnaan HE
2. Perbandingan histopatologi organ paru-paru setelah diinfeksi C. burnetti
dengan pewarnaan HE
3. Organ paru-paru pada kelompok I setelah diinfeksi bakteri C. burnetii
dengan pewarnaan HE
4. Hasil pengamatan organ otak mencit dengan pewarnaan HE
5. Histopalogi otak mencit
6. Hasil pewarnaan IHK pada organ paru-paru

 

6
6
7
8
9
10

 

PENDAHULUAN
Latar belakang
Q fever merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella
burnetii (C. burnetii). Penyakit ini pertama kali ditemukan di daerah Queensland,
Australia (Jennifer et al 2002). Manusia biasanya tertular Q fever setelah kontak
dengan hewan yang terinfeksi. Selain itu, penularan Q fever dapat diperantarai
oleh paparan lingkungan yang terkontaminasi Q fever. Penularan dapat terjadi
melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan terinfeksi, pangan
berasal dari hewan ternak yang terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak
lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab Q fever.
Q fever telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara seperti
Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia,
Thailand, Taiwan, dan Malaysia. Menurut Angelakis dan Raoult 2010,
penyebaran Q fever ada di seluruh dunia kecuali New Zealand. Sejak tahun 19992004, dilaporkan terjadi 18 kasus Q fever pada hewan domba, kambing, kucing,
anjing dan hewan liar di 12 negara di dunia.
Mencit merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan untuk
penelitian. Menurut Andoh 2007, mencit memiliki tingkat kematian tinggi dan
kerentanan yang baik terhadap infeksi C. burnetii sedangkan Proreshnaya et al
1960 menyatakan hamster dapat digunakan dalam kasus-kasus yang
membutuhkan isolasi dari jaringan terinfeksi dan untuk mendapatkan antigen
C. burnetii fase I. Penelitian tentang infeksi C. burnetii dapat dilakukan dengan
pengamatan histopatologi. Pengamatan lesio histopatologi merupakan salah satu
cara untuk mendiagnosa infeksi suatu penyakit. Selain melakukan pengamatan
lesio organ, cara lain untuk melakukan identifikasi terhadap penyakit ini adalah
dengan melakukan pewarnaan imunohistokimia (IHK).
C. burnetii memiliki dua fase antigen yang berbeda, yaitu fase I dan fase II.
C. burnetii fase I diperoleh di alam dengan tingkat virulensi tinggi sedangkan
C. burnetii yang mengekspresikan antigen fase II kurang menular dan ditemukan
setelah passage di sel kultur. Perbedaan fase ini diperoleh dari karakteristik
biokimia termasuk komposisi lipopolisakarida bakteri (OIE 2007).
Rute inhalasi merupakan rute utama penyebab infeksi C. burnetii pada
manusia. Sementara rute pencernaan dianggap sebagai penyebab lain infeksi
C. burnetii pada manusia (konsumsi produk hasil peternakan). Kebanyakan kasus
infeksi C. burnetii menunjukkan gejala asymptomatic atau gejala nonspecific flulike illness. Organ otak dan paru merupakan organ yang dapat mengalami lesio
akibat infeksi C. butnetii (Babudieri 1959). Bakteri C. butnetii masuk ke organ
otak dan paru melalui pembuluh darah. Menurut Marrie et al 1988, Q fever akut
meyebabkan pneumoni, hepatitis, dan encepalitis.
Limpa merupakan organ pertahanan yang berperan pada proses peradangan,
khususnya peradangan yang bersifat sistemik. Ekstrak limpa dapat diinfeksikan
pada telur berembrio. Metode ini membantu dalam kasus-kasus yang
membutuhkan isolasi dari jaringan terkontaminasi dengan beberapa bakteri atau
untuk memperoleh fase I antigen Coxiella dari sel fase II (Fournier et al 1998).
Imunohistokimia merupakan teknik untuk mendeteksi antigen pada sel atau
jaringan dengan prinsip reaksi ikatan antigen dan antibodi. Prinsip pewarnaan

 

imunohistokimia metode peroksidase, yaitu antigen yang ada pada jaringan
berikatan dengan antibodi yang spesifik.
Menurut Polak dan Noorden 2003, terdapat dua metode dasar identifikasi
antigen dalam jaringan dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct
method) dan tidak langsung (indirect method). Metode langsung (direct method)
merupakan metode pewarnaan satu langkah karena hanya melibatkan antibodi
primer, yaitu antibodi yang terlabel. Metode tidak langsung (indirect method)
menggunakan dua jenis antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan
antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang
diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan
berikatan dengan antibodi primer (second layer).
Penambahan substrat yang berisi kromogen dan H2O2 akan memunculkan
endapan berwarna coklat dan H2O. Endapan coklat merupakan hasil penguraian
substrat (kromogen dan H2O2) oleh enzim peroksidase. Warna coklat yang
muncul menandakan reaksi positif, yang artinya di dalam jaringan terdapat
antigen. Apabila di jaringan tersebut tidak terdapat antigen, maka tidak akan
muncul warna coklat. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan
substrat berupa kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa
kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa
tertentu (Ramos 2005).
Metode Avidin Biotin Complex (ABC) adalah metode analisis imunohistokimia
menggunakan afinitas terhadap molekul avidin-biotin oleh tiga enzim
peroksidase. Situs pengikatan beberapa biotin dalam molekul avidin tetravalen
bertujuan untuk amplifikasi dan merespon sinyal yang disampaikan oleh antigen
target. Metode ini lebih sensitif dibandingkan metode tidak langsung.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lesio histopatologi organ otak dan
organ paru-paru hamster dan mencit yang diinfeksi bakteri C. burnetii dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan IHK.
Manfaat
Mendapatkan data informasi dasar infeksi C. burnetii pada hamster dan mencit
khususnya organ otak dan paru-paru.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan Juli 2012 sampai Agustus 2013. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

 

Bahan dan Alat
Hewan coba yang digunakan pada penelitian adalah hamster berumur 4-5
minggu dengan jenis kelamin jantan sebanyak 6 ekor dan mencit berumur 4
minggu sebanyak 5 ekor dengan jenis kelamin jantan. Total hewan coba yang
digunakan berjumlah 11 ekor. Bahan lain yang digunakan adalah Coxiella
burnetii strain Nine Mile, Phosphate Buffered Saline (PBS), Buffered Neutral
Formalin (BNF)10%, etanol (70%, 80%, 90%, absolut), xylene, parafin, entelan,
pewarna Hematoksilin Eosin (HE), antibodi primer anti-C. burnetii, pewarna
imunohistokimia, diazepam, dan aquades.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang dan syringe. Pada
tahap nekropsi, peralatan yang digunakan adalah styrofoam, skalpel, gunting,
pinset, dan pot plastik. Peralatan tambahan lainya adalah peralatan untuk
pembuatan slide histopatologi dan untuk melakukan pengamatan, yaitu mikroskop
cahaya dan alat foto micrograph.
Penginfeksian Hewan Coba
Hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I (hamster A, passage I)
terdiri dari 3 ekor hamster, kelompok II (hamster B, passage II) terdiri dari 3 ekor
hamster, dan kelompok III (mencit dari hamster B passage II) terdiri dari 5 ekor
mencit. Kelompok I diinjeksi dengan bakteri C. burnetii strain Nine Mile secara
intraperitoneal (i,p.), kemudian dipelihara selama 7 hari. Setelah dipelihara,
hewan coba tersebut dieutanasi menggunakan diazepam dengan dosis 0,25 ml,
lalu dilakukan nekropsi. Diazepam merupakan tergolong sedativa yang dapat
digunakan untuk eutanasi pada hewan coba. Setelah pemanenan, organ paru-paru
dan otak dipisahkan untuk dijadikan sample kelompok hewan I. Limpa pada
kelompok hewan I digerus dan diambil ekstraknya. Ekstrak limpa ditambahkan
dengan larutan PBS. Larutan PBS tersebut kemudian disentrifuse untuk diambil
ekstraknya. Ekstrak yang telah diambil kemudian diinjeksikan ke kelompok II
sebanyak 0,4 ml. Kelompok ini dipelihara selama 7 hari lalu dipanen. Setelah
pemanenan, organ paru-paru dan otak dipisahkan untuk dijadikan sample untuk
kelompok II. Organ limpa pada kelompok ini kemudian diambil dan diproses
seperti pada kelompok I. Setelah itu, ekstrak limpa yang sudah jadi diinfeksikan
lagi ke kelompok III. Hewan coba kelompok III kemudian dipelihara selama 7
hari lalu dipanen. Organ otak dan paru-paru pada kelompok ketiga dipisahkan
untuk dijadikan sample untuk kelompok III. Metode ini disebut passage. Organ
otak dan paru-paru yang telah dipisahkan dari ketiga kelompok tersebut dibuat
menjadi slide histopatologi. Kemudian kedua organ ini dikaji secara histopatologi
dengan melihat tanda-tanda infeksi dan tanda-tanda peradangan.
Pemilihan organ
Langkah pertama dalam pembuatan blok adalah pemilihan organ. Organ yang
telah dipilih kemudian direndam di dalam cairan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10% selama 72 jam. Setelah organnya siap digunakan, dilanjutkan dengan
pembuatan blok. Proses pembuatan blok dimulai dengan dehidrasi, embedding,
lalu trimming.

 

Dehidrasi
Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahan-lahan
dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Adapun tahapan
dehidrasinya adalah dengan etanol 70%, 80%, 90%, 95%, absolut 1, absolut 2,
organ direndam masing-masing 2 jam pada cairan etanol 70% sampai tahap
absolut 2. Kemudian organ tersebut direndam dengan xylol 1 dan xylol 2 masingmasing selama 40 menit. Setelah itu, sampel diinfiltrasi dengan parafin 1 dan 2
selama 30 menit pada suhu 60° C.
Pembuatan blok embedding
-

Embedding adalah proses pembuatan blok organ dengan menggunakan parafin.
Embedding dimulai dengan menyiapkan cetakan yang ukurannya sesuai dengan
sampel jaringan. Cetakan diisi dengan parafin dari larutan tissue embedding
control. Organ dari parafin II diambil lalu dimasukkan pada cetakan dengan posisi
bagian yang akan dipotong pada bagian bawah, sebelumnya bagian dalam cetakan
parafin diberi gliserin untuk mempermudah melepaskan parafin. Pada satu
cetakan dapat diisi beberapa organ. Cetakan dapat didinginkan pada cold plate
untuk mencegah terjadinya pembekuan pada parafin bagian atas. Cetakan dapat
diinkubasi dalam air dingin setelah parafin membeku sehingga blok paraffin dapat
dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung di-trimming untuk
mempermudah pemotongan dengan microtom.
Prosedur trimming
Trimming adalah penipisan organ untuk mendapatkan bagian organ yang
bagus. Tujuan trimming untuk memudahkan larutan fiksasi masuk sampai pada
bagian terdalam dari slide. Prosedur trimming diawali dengan mengeluarkan
organ terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan. Organ dipotong di atas
alas yang lembut pada bagian yang diinginkan dengan dua mata pisau. Setelah itu
dilanjutkan dengan pemotongan dengan mikrotom. Ukuran ketebalan sampel 35 μm. Kemudian, dilekatkan pada gelas objek yang telah coating dan disimpan
dalam inkubator.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Preparat dicelupkan ke dalam pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8
menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir kemudian dibilas dengan Lithium
carbonat selama 3 detik, lalu dibilas dengan air mengalir. Kemudian preparat
dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 15 detik. Setelah itu preparat
dicelupkan ke dalam etanol 90% selama 10 kali, ke dalam etanol absolut I 10 kali,
absolut II 2 menit, xylene I selama 1 menit, xylene II selama 1 menit. Setelah itu
preparat ditutup cover glass menggunakan entelan dan diperiksa dibawah
mikroskop cahaya.

 

Deparafinisasi
Slide yang telah disiapkan direndam di dalam xylol sebanyak tiga kali dengan
masing-masing waktu 5 menit. Kemudian tahap berikutnya adalah rehidrasi
menggunakan alkohol bertingkat (absolut, 96%, 80%, 70%) masing-masing
selama 5 menit lalu dibilas dengan menggunakan aquades selama 5 menit.
Prosedur imunohistokimia (IHK)
Langkah pertama, slide dipanaskan menggunakan antigen retrieval selama 30
menit dengan suhu 95°C lalu dilarutkan dalam citric acid kemudian ditambahkan
PBS. Setelah itu diaplikasikan blocking endogenous peroxida, menggunakan
H2O2 0,3% (Dako, Inc) selama 30 menit pada suhu ruang. Slide selanjutnya dicuci
dengan Phosphate Buffered Saline (PBS) sebanyak 3 kali selama 5 menit.
Kemudian diaplikasikan Blocking Normal Serum, blocking ini dilakukan
menggunakan serum FBS 1 % (Sigma USA) selama 30 menit pada suhu ruang.
Slide kemudian dicuci dengan PBS selama 5 menit sebanyak 3 kali. Slide preparat
yang telah di-blocking diinkubasi dengan antibodi primer Rabbit anti-C. burnetii
antibody selama satu malam pada suhu 4°C. Slide yang telah diinkubasi tersebut
dicuci lagi sebanyak 3 kali selama 5 menit dengan menggunakan PBS kemudian
ditetesi dengan antibodi sekunder berlabel biotin kemudian diinkubasi selama 30
menit pada suhu ruang. Kemudian slide tersebut dicuci selama 5 menit sebanyak 3
kali menggunakan PBS. Setelah slide dicuci, lalu ditetesi Streptavidin (USA)
Horseradish peroxidase (HRP), didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang.
Slide dicuci lagi dengan PBS, kemudian diaplikasi dengan kromogen untuk HRP
yaitu diaminobenzidine (DAB) lalu dibilas dengan aquades. Setelah itu dilakukan
counter straining menggunakan hematoksilin sebanyak 10 kali celupan, kemudian
dicuci dengan aquades lalu proses ini diakhiri dengan mounting (penutupan
sediaan dengan cover glass) menggunakan entelan dan diperiksa dibawah
mikroskop cahaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pengamatan pada organ otak dan paru-paru menunjukkan nilai yang
berbeda. Pada organ otak kelompok I (Hamster A) terjadi peradangan dengan
tingkat keparahan ringan. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit dan
sel mikroglia. Pada kelompok II (Hamster B) menunjukkan adanya peradangan
dengan derajat sedang. Hal ini ditandai dengan adanya nekrosis ringan pada
beberapa titik lokasi pada otak. Pada kelompok III (Mencit) menunjukkan
peradangan dengan tingkat keparahan yang jelas. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya perdarahan yang tersebar ringan sampai nekrosis sedang.
Hasil pengamatan pada organ paru-paru menujukkan derajat keparahan yang
lebih tinggi dibandingkan pada organ otak. Pada organ paru-paru kelompok I
(Hamster A) menunjukkan adanya peradangan dengan tingkat keparahan sedang.
Hal ini ditandai dengan adanya akumulasi limfosit dan makrofag yang tersebar
merata pada organ paru-paru. Pada organ paru-paru kelompok II (Hamster B)

 

menunjukkan kerusakan dengan derajat keparahan jelas. Hal ini ditandai dengan
pendarahan ringan yang tersebar dan adanya nekrosis sedang. Pada kelompok III
(Mencit) menunjukkan kerusakan parah, hal ini ditandai dengan persebaran
limfosit dan makrofag yang banyak serta hemoragi yang parah. Hasil
selengkapnya disajikan pada Tabel I.
Tabel 1 Hasil pengamatan organ otak dan paru-paru pada hamster dan
mencit setelah diinfeksi C. burnetii
No

Organ

1.
2.

Otak
Paru-paru

I (Hamster A)
1
2

Kelompok
II (Hamster B)
2
3

III (Mencit)
3
4

Ket 0 : tidak ada kerusakan; 1 : ringan, 2: sedang; 3: jelas 4 : parah
1, Ringan : peradangan ringan, terdiri dari sedikit peningkatan jumlah limfosit dan makrofag; 2,
sedang : peradangan sedang, ditandai dengan akumulasi limfosit dan makrofag yang tersebar,
kadang-kadang disertai dengan nekrosis ringan; 3 jelas : ditandai peradangan yang terdiri dari
infiltrasi makrofag dan akumulasi limfosit dengan hiperemia dan perdarahan dan tersebar ringan
sampai nekrosis sedang; 4 parah : peradangan berat, ditandai dengan akumulasi makrofag dan
limfosit dengan hiperemi dan perdarahan serta nekrosis parah.

Gambar 1. Perbandingan histopatologi organ otak setelah diinfeksi C. burnetti
dengan pewarnaan HE. A (Kelompok I) peradangan ringan, ditandai
adanya sedikit peningkatan sel radang, perbesaran objektif 20x. B
(kelompok II) peradangan sedang, ditandai dengan akumulasi sel
mikgroglia yang tersebar merata, perbesaran objektif 40x. C
(kelompok III) peradangan jelas, ditandai adanya hemoragi ringan
dan peningkatan akumulasi sel radang, perbesaran objektif 20x.
 

Gambar 2. Perbandingan histopatologi organ paru-paru dengan setelah diinfeksi
C. burnetti dengan pewarnaan HE, perbesaran objektif 10x.  

 

A (Kelompok I) dengan peradangan sedang, ditandai adanya peningkatan sel
radang. B (kelompok II) dengan peradangan yang jelas, ditandai dengan infitrasi
sel radang yang tersebar merata. C (kelompok III) dengan peradangan yang parah,
ditandai adanya hemoragi parah.
 

Tabel 2 Hasil pewarnaan imunohistokimia pada organ otak dan paru-paru
No
1.
2.
3.

Kelompok
I
II
III

Hasil pewarnaan imunohistokimia
Positif
Positif
Positif

Gambar 3. Organ paru-paru pada kelompok I setelah diinfeksi bakteri
C. burneti dengan pewarnaan HE, perbesaran objektif 40x. Tanda
panah menunjukkan nekrosis ringan.
Gambaran Histopatologi otak setelah diinfeksi dengan bakteri C. burnetti
Hasil pengamatan pada organ otak kelompok I menunjukkan peradangan
ringan, terlihat adanya infiltrasi sel radang, dan limfosit. Sel radang merupakan
sel-sel yang memegang peran penting dalam proses peradangan. Peradangan
merupakan mekanisme pertahanan aktif tubuh yang terdiri dari leukosit atau
granulosit (polimorfonuklear). Keberadaan sel radang menunjukkan adanya agen
patogen. Bakteri yang menginfeksi melepaskan eksotoksin atau endoktoksin yang
spesifik (Underwood 1999).
Selain lesio tersebut, ditemukan pula lesio berupa kongesti dan edema.
Kongesti merupakan suatu keadaan dimana darah berakumulasi atau tertimbun di
dalam pembuluh darah yang melebar. Kongesti yang bertambah parah
mengakibatkan penumpukkan deoksihemoglobin. Statis darah yang tidak
mengandung oksigen dalam waktu lama mengakibatkan hipoksia berat yang
menyebabkan kematian sel (Mitchell 2006). Menurut Gilbert et al 2010, infeksi
C. burnetii menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak.

 

Sel mikroglia merupakan sel makrofag pada otak. Akumulasi sel mikroglia
pada otak menunjukkan adanya respon pertahanan akibat inflamasi.

Gambar 4. Hasil pengamatan organ otak mencit dengan pewarnaan HE,
perbesaran objektif 40x. Keterangan, A : Sel mikroglia. B : edema
di sekitar kongesti pembuluh darah. C : kongesti pada otak
Edema merupakan akumulasi abnormal cairan dalam parenkim otak. Edema
dapat terjadi setelah adanya akumulasi darah berlebihan pada pembuluh darah
otak (kongesti). Edema dibagi menjadi dua, yaitu edema vasogenik dan edema
sitotoksik. Edema vasogenik merupakan proses keluarnya cairan yang berasal dari
pembuluh darah dan terakumulasi di sekitar sel. Sitotoksik edema didefinisikan
sebagai cairan yang terakumulasi dalam sel sebagai akibat dari cedera sel
(Marmarou 2004). Menurut Price dan Wilson 1995, edema dapat terjadi akibat
peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan permiabilitas paru-paru. Tekanan
hidrostatik yang tinggi mengakibatkan cairan masuk ke dalam ruang interstisial.
Oleh karena itu, kongesti dan edema cenderung terjadi bersama-sama.
Hasil pengamatan pada organ otak kelompok II menunjukkan peradangan
sedang, terlihat adanya nekrosis ringan serta infiltrasi limfosit dan sel mikroglia.
Menurut Bernit et al 2002, infeksi C. burnetti pada sistem syaraf pusat (SSP)
menyebabkan encephalitis (radang pada otak). Selain lesio tersebut, ditemukan
adanya kongesti dan edema di beberapa titik. Pada organ otak kelompok III
menunjukkan adanya hemoragi di beberapa titik, nekrosis sedang, dan
peningkatan mikroglia. Selain lesio tersebut, ditemukan lesio lain berupa kongesti
dan edema dengan derajat keparahan tinggi. Ditemukan perbedaan tingkat
keparahan antara kelompok I, kelompok II, dan kelompok III. Derajat keparahan
tertinggi terjadi pada kelompok III (Mencit). Perbedaan derajat keparahan dapat
diakibatkan oleh faktor virulensi bakteri C. burnetii sudah berubah fase dari fase
II menjadi fase I.

 

Gambar 5. Histopatologi otak mencit dengan pewarnaan HE, perbesaran objektif
40x. Tanda panah menunjukkan nekrosis sedang.
Gambaran histopatologi paru-paru setelah diinfeksi dengan bakteri
C. burnetii.
Hasil pengamatan pada organ paru-paru menunjukkan peradangan dengan
derajat yang lebih parah jika dibandingan dengan organ otak. Lesio yang tejadi
pada organ paru-paru terlihat sangat jelas berupa infiltrasi sel radang, neutrofil,
dan limfosit pada pembendungan pembuluh darah. Hasil pengamatan pada
kelompok I menunjukkan derajat keparahan sedang, hal ini ditandai dengan
infiltrasi sel radang, neutrofil, dan limfosit serta nekrosis ringan pada epitel
bronkhiolus. Selain lesio berupa tanda-tanda radang, organ paru-paru kelompok I
menunjukkan lesio berupa kongesti dan edema.
Menurut Steven dan Vincent 2000, proses inflamasi meliputi induksi aktivasi
komplemen, aktivitas kemotaktik neutrofil, dan peningkatan respon neutrofil pada
pembuluh darah perifer. Infeksi C. burnetii dapat menyebabkan pneumoni
(Maurin dan Raoult 1999). Pneumonia merupakan gejala klinis yang sering timbul
akibat infeksi C. burnetii (Baranda et al 1985; Tellez et al 1988).
Hasil pengamatan pada organ paru-paru pada kelompok II menunjukkan
adanya hemoragi dengan derajat keparahan sedang, infiltrasi sel radang dengan
derajat keparahan tinggi, infiltrasi limfosit yang terlihat jelas. Selain itu terlihat
lesio berupa empisema. Jika dibandingkan dengan kelompok I, derajat keparahan
pada kelompok II menunjukkan derajat yang lebih tinggi. Hal ini dapat
diakibatkan antigen C. burnetii mulai mengalami perubahan fase dari fase II ke
fase I. Pada kelompok III, organ paru-paru menunjukkan lesio berupa hemoragi
dengan tingkat keparahan yang tinggi. Selain itu, terjadi lesion berupa empisema
dan edema dengan derajat keparahan tinggi serta perlekatan alveol paru-paru.
Menurut Gilbert et al 2010, infeksi C. burnetii dapat menyebabkan edema pada
paru-paru.
Empisema paru-paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim yang
ditandai dengan pembesaran alveolus dan duktus alveolaris, serta destruksi

 

dinding alveolar. Empisema terjadi disebabkan adanya peradangan bronkhus dan
bronkhiolus. Peradangan pada saluran ini menyebabkan obstruksi, akibatnya
dinding bronkhiolus melemah dan alveolus pecah sehingga terjadi empisema
(Price dan Wilson 1995). Infeksi bakteri pada paru-paru dapat menyebabkan
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). COPD adalah penyakit paruparu yang meliputi emfisema, bronkhitis kronis, dan bronkhiektasis (dilatasi
kronik dari bronkus yang ditandai dengan ekspektorasi materi mukopurulen).
COPD merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat di seluruh
dunia (Sumito 2009). Enzim protease dapat menyebabkan terjadinya empisema
paru-paru. Ketidakseimbangan antara enzim protease dan antiprotease berperan
penting dalam pengembangan COPD. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena
induksi berlebihan enzim protease oleh sel radang atau karena sintesis
antiprotease berkurang atau peningkatan kerusakan antiprotease. Studi COPD
awalnya berfokus pada neutrofil elastase (NE), protease yang dihasilkan oleh
neutrofil, atau protease yang memiliki kapasitas untuk menghidrolisis elastin dan
merangsang sekresi lendir (Saskia 2011).

Gambar 6. Hasil pewarnaan IHK organ paru-paru mencit yang positif terinfeksi
bakteri C. burnetii, perbesaran objektif 10x.
Menurut Andoh et al 2007, infeksi C. burnetii pada mencit yang mengalami
immunodefesiensi sel T dan B menunjukkan lesio pada organ paru-paru berupa
akumulasi makrofag, hemoragi, dan nekrosis. Immunodefesiesi terjadi akibat
kerusakan limpa. Limpa berfungsi menghasilkan sel-sel pertahanan (sel T dan sel
B). Akibat kerusakan ini limpa tidak mampu menghasilkan sel-sel pertahanan
sehingga mencit mengalami immunodefisiensi. Infeksi Pausterella multosida
juga dapat menyebabkan hemoragi pada paru-paru. Lesio menunjukkan adanya
infiltrasi sel polimorfonuklear pada awal infeksi dan sel mononuklear pada akhir
infeksi. Terjadi perubahan struktur pada epitel alveol, septa alveol, dan kapiler
endotelium paru-paru (Ezhil et al 2010).
Cedera paru-paru akut yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri dapat
merusak epitel dan endotel yang kemudian menyebabkan edema, hemoragi alveol,
gangguan homeostatis surfaktan, degenerasi alveol-barrier epitel, dan gangguan

 

pertukaran gas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi persisten dan
fibrosis jaringan interstisial (Scott et al 2005).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Infeksi C. burnetii menyebabkan infiltrasi sel radang, kongesti, hemoragi,
edema, dan nekrosis organ otak hamster dan mencit dengan tingkat keparahan
yang berbeda. Demikian juga ditemukan lesio berupa infiltrasi sel radang,
kongesti, hemoragi, emfisema, dan edema pada organ paru-paru hamster dan
mencit dengan tingkat keparahan yang berbeda. Pewarnaan IHK pada organ otak
dan paru-paru menunjukkan hasil positif immunoreaktif baik pada hamster
maupun mencit.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lesio yang terjadi pada
organ lainnya akibat infeksi C. burnetii.

DAFTAR PUSTAKA
Andoh M, Guoquan Z, Kasi E , Heather R, Brad R, James E. 2007. Infect. Immun
(7) 3245.
Angelakis E dan Raoult D. 2010. Vet. Microbiol. (140) 297–309.
Babudieri, B. 1959. Q fever : a zoonosis. Adv. Vet. Sci. 5:81
Baranda M, Corral C, and Aguirre E. 1985. Q fever in the Basque country: 1981–
1984. Rev. Infect. Dis (7) 700–701.
Bernit E, Pouget J, Janbon F, Dutronc, H., Martinez, P., Brouqui, P., Raoult, D.,
2002. Neurological involvement in acute Q fever. A report of 29 cases and
review of the literature. Arch. Intern. Med (162) 693–700.
Ezhil P, Sivakumar P, Kumar A , Nem S. 2010. Cytokine profiles, apoptosis and
pathology of experimental Pasteurella multocida serotype A1 infection in
mice. Elsevier Ltd. Res. Vet. Science (89) 332–339
Fournier PE, Marrie TJ, Raoult D. 1988. Diagnosis of Q Fever. J Clin Microbiol
(36) 1823-1834
Gilbert J, Dyanna M, Joshua S, Adrianne M, James B, Timothy V, Stephen A,
Robert F. 2010. Clin. Microbiol (48) 3428.
Jennifer H, James E. Herbert A. 2002. Q Fever. Zoonoses upd (221) 796-799
Marmarou A. 2004. The pathophysiology of brain edema and elevated intracranial
pressure. Clev. Clin. J. Med. (71) 6-8.
Marrie T J, Durant J C. Williams E M, Waag D M. 1988. Exposure to parturient
cats is a risk factor for acquisition of Q fever in Maritime Canada. J. Infect.
Dis. 158:101–108.
Maurin M and Raoult. 1999. Q fever. Can Microbiol Rev (12) 518-553
Mitchell R. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi ke-7. New
York, USA. Elsevier, inc.

 

Office Internationale Epizooticae (OIE). 2007. [internet]. [diacu 12 mei 2012].
Tersedia dari http://www.oie.int
Proreshnaya, T L, Rapoport L P, Evdoshenko V G, and Kichatov E A. (1960). ZH
Microbiol Epidemiol Immu (31), 1613–1618.
Polak. J. M dan Noorden. V. S. 2003. Introduction to Immunocytochemistry. 3rd
edision. BIOS Scientific Publishers Ltd. Oxford, UK.
Price S A dan Wilson L M. 1995. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi ke-4. Jakarta. A Mosby imprint of Mosby-Year Book, Inc.
Ramos J A. 2005. Tech Aspect of Immunohistochemistry. Vet Pathol (42) 405–
426.
Tellez A, Sainz C, C. Echevarria, S. De Carlos, M. V. Fernandez, P. Leon, and
R. Brezina. 1988. Q fever in Spain: acute and chronic cases 1981–1985. Rev
Infect Dis (10) 198-202.
Saskia B. 2011. The pathogenesis of lung emphysema: lessons learned from
murine models. Ede, Netherlands. Printed by: GVO | Ponson & Looijen B.V.,.
Scott C W, Lisa M C, Lisa N H, Michael T B, Jay W T, John M M, Nadine D,
Mario M, Maureen A S, Craig R T et al. 2005. Gene expression changes during
the development of acute lung injury role of transforming growth factor. Am J
Resp Crit Care (172) 1399-1411.
Steven R K and Vincent F G. 2000. Agricultural Lung Diseases Health Perspect
(4) 705-712
Sumito I, Hidenori N,Yoko S, Shuichi A, Noriaki T, Makoto S, Hiroaki T and
Isao K. 2009. Effect Of Antibiotic Therapy On The Inflammatory Responses
During Streptococcal Pneumonia In Emphysematous Mice. Exp J (8) 50-57
Underwood J E C. 1999. General and sistemic pathology. Second edition.
Published by arrangement with Churchill Livingstone, London.

 
13

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada tanggal 3
November 1988. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Abd. Rasid.
SP dan Almh. Rahmatia. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak
tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN 007
Sidodadi, Polewali Mandar, Sulawesi Barat hingga lulus tahun 2001. Setelah itu
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Polewali, Polewali Mandar,
Sulawesi Barat hingga tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1
Polewali, Polewali Mandar, Sulawesi Barat sampai tahun 2005 namun penulis
pindah ke SMA 1 Mamuju, Sulawesi Barat dikarenakan mengikuti orang tua dan
lulus tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan
(FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswi penulis aktif di beberapa lembaga
kemahasiswaan, diantaranya menjadi sekertaris divisi Media Islami DKM AnNahl pada tahun 2009, staf KAMMI komisariat IPB pada tahun 2008-2009,
Bendahara umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH IPB pada tahun
2009-2010, dan Sekertaris umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB
pada tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah
Pendidikan Agama Islam pada tahun 2011-2012 dan penulis pernah menjadi
delegasi IPB untuk mengikuti ADIC (Aceh Development Internasional
Converence) 2011 di Malaysia pada tahun 2011.