Studi histopatologi organ limpa hamster (Mesocricetus auratus) yang Diinfeksi Coxiella burnetii

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA HAMSTER
(Mesocricetus auratus) YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii

LIA ELVIRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Histopatologi
Organ Limpa Hamster (Mesocricetus auratus) yang Diinfeksi Coxiella burnetii
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013
Lia Elvira
NIM B04090062

ABSTRAK
LIA ELVIRA. Studi Histopatologi Organ Limpa Hamster (Mesocricetus auratus)
yang Diinfeksi Coxiella burnetii. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan
MAWAR SUBANGKIT.
Query fever (Q fever) merupakan zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Coxiella burnetii. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
histopatologi limpa hamster (Mesocricetus auratus) yang diinfeksi Coxiella
burnetii menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Imunohistokimia
(IHK). Penelitian ini menggunakan 6 ekor hamster yang dibagi menjadi dua
pasase. Pemeriksaan gambaran histopatologi organ limpa hamster dengan
pewarnaan HE pada hamster pasase pertama menunjukkan hasil yang relatif sama
dengan hamster pasase kedua berupa hemoragi pulpa merah, serta infiltrasi sel
radang. Sedangkan pengamatan histopatologi organ limpa hamster pasase pertama
dengan pewarnaan IHK menunjukkan hasil yang tidak begitu jelas tingkat
kepositifannya nya dibandingkan dengan hamster pasase kedua.
Kata kunci: Coxiella burnetii, Imunohistokimia, Query Fever,


ABSTRACT
LIA ELVIRA. Histopathological Study of Hamster’s (Mesocricetus auratus)
Spleen which were Infected by Coxiella burnetii. Supervised by AGUS SETIYONO
and MAWAR SUBANGKIT.
Query fever is a zoonosis caused by Coxiella burnetii (C. burnetii). The
aim of this research was to determine the histopathological changes of spleen of
hamster (Mesoscricetus auratus) which were infected by C. burnetii using
Haematoxylin-Eosin (HE) and Immunohistochemistry (IHC) methods. This
research used 6 hamsters which were devided into two passage. The
histopathological examination picture with HE staining of first passage in
hamsters showed relatively similar results with those the second passage such as
red pulp hemorrhage and infiltration of inflammatory cells. Histopathological
observation of spleen from first passage hamster by using IHC staining showed
the positivity was unclear compared to the second passage hamster.

Keywords: Coxiella burnetii, Immunohistochemistry, Query Fever

STUDI HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA HAMSTER
(Mesocricetus auratus) YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii


LIA ELVIRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Studi Histopatologi Organ Limpa Hamster (Mesocricetus auratus)
yang Diinfeksi Coxiella burnetii
Nama
: Lia Elvira
NIM
: B04090062


Disetujui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juli 2012 sampai Juli 2013 ini ialah Q
fever, dengan judul ”Studi Histopatologi Organ Limpa Hamster (Mesocricetus

auratus) yang Diinfeksi Coxiella burnetii”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Agus Setiyono, MS PhD
APVet dan Bapak drh Mawar Subangkit, MSi selaku pembimbing. Penghargaan
juga penulis sampaikan kepada staf Laboratorium Patologi FKH IPB yang telah
banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayahanda Yurman Ma’is (alm) dan ibunda Rasdiana, kepada
kakanda Herly, Fentry, Nanda, Dicky, dan Levran, kepada Bapak Dr drh Yusuf
Ridwan, MSi selaku dosen Pembimbing Akademik, serta kepada teman
sepenelitian atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Lia Elvira

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian




METODE



Waktu dan Tempat Penelitian

3

Bahan dan Peralatan



Metode Penelitian



Persiapan Hewan Coba

4


Persiapan Antigen

4

Perlakuan Penelitian

4

Pembuatan Sediaan Histopatologi

4

Proses Deparafinisasi

4

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

5


Pewarnaan Imunohistokimia

5

HASIL DAN PEMBAHASAN



SIMPULAN

10 

DAFTAR PUSTAKA

10 

RIWAYAT HIDUP

12


DAFTAR TABEL
1 Gambaran histopatologi limpa hamster pada pasase pertama dengan
pewarnaan HE dan IHK
2 Gambaran histopatologi limpa hamster pada pasase kedua dengan
pewarnaan HE dan IHK




DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Gambaran HE organ limpa hamster pada pasase pertama
Gambaran HE organ limpa hamster pada pasase kedua
Gambaran IHK organ limpa hamster pada pasase pertama
Gambaran IHK organ limpa hamster pada pasase kedua







1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Query fever (Q fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Coxiella burnetii (C. burnetii) Menurut OIE (2010) C. burnetii dahulu termasuk
golongan Rickettsiaceae. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan,
ternyata C. burnetii memiliki hubungan dekat dengan Legionella, Francisella, dan
Rickettsiella. C. burnetii juga digolongkan kedalam jenis mikroorganisme
kelompok B yang berbahaya dan dapat menjadi senjata biologis (Center of
Disease Control and Prevention 2005). Selain itu C. burnetii digolongkan kedalam
group resiko 3 dimana harus menggunakan penerapan biosafety level 3 dalam
rangka isolasi agen. C. burnetii sangat resisten terhadap kondisi ekstrim seperti
panas, kekeringan, desinfektan, serta radiasi sinar UV.
Q fever atau demam Q pertama kali ditemukan menyerang Australia pada
tahun 1935. Pada saat itu Q fever menyerang para pekerja rumah potong di
Bisbane. Setiyono (2005) menyatakan bahwa berdasarkan laporan WHO Q fever
pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1937 dimana pada saat itu
ditemukan antibodi terhadap agen C. burnetii pada serum sapi. Menurut OIE
(2010) Q fever telah tersebar hampir keseluruh dunia kecuali New Zealand. Q
fever dapat menyerang semua jenis hewan namun yang paling sering terjangkit
adalah manusia, sapi, domba dan kambing (Arricau Bovery & Rodolakis 2005;
EFSA 2010).
Q fever merupakan penyakit yang tergolong zoonosis yaitu dapat
ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Hewan yang menderita Q fever
biasanya tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Pada fase akut C. burnetii akan
ditemukan pada darah, hati, dan limpa hewan yang terinfeksi (Setiyono 2005).
Setelah itu biasanya penyakit akan berlanjut menjadi kronis yang akhirnya hewan
akan mengekskresikan bakteri tersebut didalam tinja maupun urin. Proses
penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi
ataupun terpapar oleh cairan plasenta hewan tertular, daging dari ternak yang
terinfeksi, transfusi darah ataupun luka pada kulit, serta dapat pula tertular secara
aerosol. Bahkan susu segar dari sapi yang terinfeksi bakteri C. burnetii juga dapat
menjadi rute infeksi pada manusia (Ho et al. 1995; Setiyono et al. 2006). Selain
itu penularan secara intraplasental juga dapat terjadi namun masih jarang
dilaporkan.
Pada manusia penularan dapat terjadi secara aerosol ataupun kontak
langsung dengan hewan yang terinfeksi maupun oleh partikel debu yang
terkontaminasi agen. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui transfusi
darah ataupun peroral akibat meminum susu tanpa pasteurisasi. Penularan secara
vertikal melalui plasenta juga dapat terjadi namun masih jarang dilaporkan
(CFSPH 2007). C. burnetii juga sering ditemukan pada wool sehingga
memungkinkan terjadinya penularan melalui wool. Tidak hanya itu, penularan Q
fever juga dapat terjadi melalui urin ataupun feses bahkan cairan alantois hewan
yang terinfeksi agen tersebut.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh agen ini tidak spesifik sehingga
kurang diperhatikan oleh masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Pada

2
manusia manifestasi klinis akibat infeksi agen ini dapat bersifat akut maupun
kronis (ECDC 2010). Q fever yang bersifat akut biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya dalam jangka waktu dua hingga tiga minggu dengan pemberian
antibiotik. Sedangkan pada Q fever yang bersifat kronis membutuhkan waktu
berbulan-bulan bahkan sampai dua tahun lebih proses penyembuhannya. Gejala
klinis akut biasanya tidak spesifik ataupun sangat ringan seperti flu, demam
tinggi, lemah, sakit kepala, nyeri otot, lethargi, sakit tenggorokan, dan nyeri pada
dada. Seringkali Q fever akut diikuti dengan adanya pneumonia dan hepatitis.
Namun Q fever akut jarang sekali terjadinya komplikasi seperti diikuti dengan
adanya meningitis, endokarditis, myokarditis, encephalitis dan lain-lain.
Sedangkan pada keadaan kronis paling sering diikuti dengan adanya endokarditis.
Hal ini biasanya terlihat pada seeorang yang telah mengalami kerusakan pada
katup jantungnya ataupun dalam keadaan imunosupresi. Gejala lain yang dapat
ditimbulkan akibat Q fever kronis adalah osteoarthritis, osteomyelitis,
tendosynovitis, spondylodiscitis, abses paravetebral dan hepatitis.
Q fever sangat beresiko tinggi pada petugas kandang atau peternak yang
sering kontak langsung dengan hewan ternak. Oleh karena itu penyakit ini
digolongkan kedalam occupational disease atau berhubungan dengan pekerjaan.
Dampak yang dapat timbul akibat adanya wabah Q fever sangat banyak selain
abortus ataupun stillbirth. Misalnya terjadinya penurunan hasil produksi,
penurunan kualitas daging yang secara otomatis akan berdampak pada kondisi
ekonomi negara. Kemudian akibat adanya wabah maka akan menyebabkan
turunnya jumlah wisatawan asing ke negara Indonesia yang disebabkan karena
adanya rasa ketakutan dan kepanikan terhadap Q fever. Selain itu C. burnetii
memiliki kemampuan untuk melumpuhkan manusia dalam kelompok besar
dengan dosis yang rendah, memiliki ketahanan dalam lingkungan yang ekstrim
serta rute transmisi secara aerosol sehingga dapat dijadikan sebagai agen
bioterorisme (OIE 2010).
Menurut Setiyono et al. (2006) Q fever merupakan salah satu masalah
penting bagi kesehatan masyarakat di berbagai negara seperti Australia, Amerika,
Perancis, Inggris, Kanada dan Jepang. Bahkan Malaysia yang merupakan negara
tetangga juga memiliki masalah terhadap penyakit ini. Hal ini tentunya menjadi
ancaman bagi negara kita dan memungkinkan bahwa negara kita juga sebenarnya
memiliki masalah yang besar tehadap kasus ini.Untuk itu pentingnya dilakukan
penelitian mendalam mengenai Q fever ini di negara Indonesia. Mengingat di
negara-negara yang telah disebutkan diatas telah melakukan penelitian yang
demikian maju. Hal ini dikarenakan C. burnetii memiliki potensi sebagai senjata
biologis atau yang sering disebut dengan bioterorisme.
Menurut CDC (2012), sejak tahun 1999 Q fever digolongkan sebagai
penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease). Sedangkan Australia telah
lebih dahulu menggolongkan Q fever kedalam kategori notifiable disease yaitu
sejak tahun 1977. Jumlah kasus Q fever di Amerika yang telah dilaporkan kepada
CDC meningkat sejak dikategorikan sebagai notifiable disease. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya laporan bahwa pada tahun 2000 terdapat 17 kasus dan
pada tahun 2007 meningkat menjadi 167 kasus.
Penentuan diagnosa yang cepat dan akurat terhadap Q fever sampai saat ini
masih terus dikembangkan di negara-negara maju. Ada berbagai cara untuk
mendiagnosa agen ini tergantung dari tipe sampel dan tujuan penyelidikan.
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) memiliki akurasi yang baik

3
terhadap Q fever yang didukung oleh immunoflourescence assay (IFA) (Setiyono
2004). Namun, teknik ini sangat dipengaruhi oleh antigen standar yang dipakai.
Teknik imunohistokimia memiliki tingkat akurasi yang sangat baik. Hal ini
disebabkan karena jejak agen C. burnetii yang berada didalam organ maupun
jaringan tubuh hewan dapat dilacak. Selain itu, teknik imunohistokimia ini juga
dapat memberikan signal bagi keamanan pangan asal hewan. Bahkan sebagian
peneliti berpendapat bahwa akurasi analisa imunohistokimia setara dengan
pembacaan hasil reaksi polymerase chain reaction (PCR).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi
organ limpa hamster (Mesocricetus auratus) yang diinfeksi C. burnetii.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Histopatologi, Bagian
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012
sampai Juli 2013.

Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain hamster jantan
berumur 2 bulan sebanyak 6 ekor, sel C. burnetii, Buffer Neutral formalin 10%,
etanol (30%, 50%, 70%, 80%, 90%, absolut), xylene, parafin, pewarna jaringan
Mayer hematoksilin, pewarna eosin, pewarna imunohistokimia, Lithium carbonat
etanol absolut I dan II, Xylene I dan II, perekat PermountTM, citrate buffer, PBS
tween, 3% H2O2, methanol, dH2O, FBS 1%, Rabbit anti C. burnetii antibody,
biotin, Streptavidine, DAB (diaminobenzidine) dan aquades serta kebutuhan
harian hamster.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat pemeliharaan
dan perlakuan hamster, seperti 5 petak kandang, syringe untuk injeksi antigen, alat
nekropsi seperti jarum pentul, sterofom, scalpel, gunting, pinset, dan pot plastik,
serta alat untuk pembuatan sediaan histopatologi seperti, gelas ukur, tissue
cassette, tissue basket, tissue tang, paraffin embedding console, object glass,
cover glass, automatic tissue processor, microtome, staining system, alat
fotomicrograph, dan mikroskop cahaya.

4
Metode Penelitian
Persiapan Hewan Coba
Kandang diletakkan diatas meja atau rak yang telah disediakan dan dijaga
agar tidak basah, lantai kandang diberi sekam yang berfungsi untuk memberikan
kenyamanan pada hamster. Hewan coba yang digunakan adalah hamster sebanyak
6 ekor berumur 2 bulan. Hamster berasal dari indukan yang sama dan dipastikan
bebas dari penyakit. Sebelum dilakukan penginjeksian hamster terlebih dahulu
diadaptasikan pada kandang yang telah disediakan. Lama pengadaptasian
berlangsung sekitar 7-10 hari.
Persiapan antigen
Antigen berupa sel C. burnetii strain Nine Mile didapat dari Laboratorium
Rickettsia dan Chlamydia, National Institute of Infectious Disease, Tokyo,
Jepang. Antigen kemudian di injeksikan kepada 4 ekor hamster secara
intraperitoneum dengan dosis 0,4 ml. Kemudian diamati selama 7 hari dan dilihat
perubahan fisik yang terjadi.
Perlakuan penelitian
Hamster yang telah menunjukkan perubahan fisik, kemudian dieutanasi
menggunakan diazepam dengan dosis 0,25 mg/kg dan dinekropsi. Proses nekropsi
berguna untuk melihat perubahan Patologi Anatomi (PA) pada organ limpa.
Limpa yang telah dilihat PAnya diambil sebagian untuk dijadikan preparat
histopatologi sedangkan sebagian lagi digerus dan diambil ekstraknya. Pembuatan
ekstrak limpa dilakukan dengan menambahkan phosphate buffered saline (PBS)
pada gerusan limpa. Kemudian campuran tersebut disentrifusi untuk mengambil
ekstraknya. Ekstrak limpa tersebut kemudian diinjeksikan kembali kepada 2 ekor
hamster dan diinkubasi selama 7 hari. Setelah itu perlakuan pada hamster ini sama
dengan 4 hamster sebelumnya.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Pertama jaringan dicuci dengan aquades, kemudian jaringan tersebut
difiksasi dengan menggunakan formalin 10%. Selanjutnya dilakukan proses
dehidrasi dengan menggunakan etanol bertingkat (70%, 80%, 96% dan absolut).
Jaringan yang telah didehidrasi kemudian diclearing menggunakan xylene 2 kali,
masing-masing 60 menit. Proses dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan
paraffin cair selama 60 menit pada suhu 51oC, kemudian dilakukan penelitian
dalam paraffin cair pada cetakan dan didiamkan selama sehari. Paraffin yang
sudah mengeras ditempelkan pada holder untuk dilakukan pemotongan setebal 4-6
µm dengan rotary microtome. Selanjutnya dilakukan mounting pada objek dengan
menggunakan poly-L-Lysine.
Proses Deparafinisasi
Slide direndam didalam xylene sebanyak 2 kali dengan durasi masingmasing selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan proses rehidrasi menggunakan
etanol bertingkat (absolut, 96%, 80%, 70%) masing-masing 3 menit dan dibilas
dengan menggunakan dH2O selama 3 menit.

5
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan dilakukan pertama-tama dengan perwarna Mayer’s
hematoksilin selama 4 menit. Kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci
dengan Lithium carbonat selama 3 detik, Setelah itu dibilas dengan air mengalir
lagi. Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna eosin selama6 menit.
Kemudian sediaan dicuci dengan cara dicelupkan etanol 90% sebanyak 10 kali,
etanol absolut I 10 kali, etanol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 3 menit,
xylene II selama 3 menit. Lalu dilanjutkan dengan menetesi sediaan dengan
perekat PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass. Terakhir sediaan
kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
Berdasarkan reaksinya teknik imunohistokimia dibedakan menjadi dua
macam yaitu imunohistokimia langsung dan tidak langsung. Imunohistokimia
langsung berbeda dengan imunohistokimia tidak langsung. Hal ini disebabkan
karena pada imunohistokimia tidak langsung terdapat adanya antibodi sekunder
yang berikatan dengan antibodi primer dan dilabel oleh enzim. Pada penelitian ini,
kami menggunakan teknik imunohistokimia tidak langsung.
Slide sebelum diwarnai harus diunmasking terlebih dahulu dengan citrate
buffer selama 15 menit pada suhu 95oC. Kemudian slide dicuci dengan PBS tween
3 kali masing-masing 5 menit. Lalu dilakukan blocking endogenous peroxidase
yaitu slide ditetesi 0,3% H2O2 yang terlarut dalam methanol selama 30 menit.
Kemudian dicuci kembali dengan PBS tween 3 kali masing-masing 5 menit.
Setelah itu dilakukan proses blocking normal serum FBS 1% selama 30 menit.
Lalu Slide preparat dicuci kembali dengan menggunakan PBS tween 3 kali
masing-masing 5 menit. Selanjutnya slide diinkubasi dengan Rabbit anti C.
burnetii antibody selama satu malam. Lalu dicuci kembali dengan PBS tween 3
kali masing-masing 5 menit. Kemudian slide ditetesi antibodi sekunder yaitu
biotin selama 30 menit. Selanjutnya dicuci kembali dengan PBS tween 3 kali
masing-masing 5 menit. Kemudian ditetesi dengan Streptavidine selama 30 menit.
Lalu slide dicuci lagi dengan menggunakan PBS tween 3 kali masing-masing 5
menit sebelum dilakukan proses aplikasi kromogen untuk HRP yaitu DAB
(diaminobenzidine) selama 15 detik. Kemudian slide direndam dalam air. Setelah
itu dilakukan pewarnaan Mayer Hematoksilin selama 7 detik dan dicuci dengan
air lagi. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dan diclearing. Selanjutnya
dilakukan proses mounting menggunakan cover glass, kemudian slide diamati
dibawah mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran histopatologi organ limpa hamster setelah diinfeksi C. burnetii
pasase pertama menunjukkan terjadinya perubahan berupa peradangan (splenitis)
dengan infiltrasi sel radang makrofag, netrofil, monosit, limfosit dan
megakaryosit, serta hemoragi pada pulpa merah. Gambaran tersebut dapat
ditunjukkan pada Gambar 1. Begitu pula dengan gambaran histopatologi organ

6
limpa hamster pada pasase kedua menunjukkan hasil yang serupa. Sehingga pada
pewarnaan HE tersebut tidak dapat dilihat perbedaan tingkat keganasan C.
burnetii antara pasase pertama dan pasase kedua hamster. Gambaran tersebut
dapat ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil pengamatan sediaan histopatologi
dengan pewarnaan HE dan IHK organ limpa hamster yang telah diinjeksi antigen
C. burnetii strain Nine Mile dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hasil
pengamatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan HE dan IHK organ limpa
hamster pada pasase kedua dapat dilihat pada Tabel 2.
Hemoragi merupakan peristiwa keluarnya darah dari vaskula
(ekstravasasi) ke luar tubuh, ke dalam rongga tubuh atau ke jaringan sekitarnya.
Terjadinya hemoragi pada pulpa merah dimungkinkan disebabkan karena infeksi
agen infeksius. Dalam kasus ini agen infeksius tersebut adalah antigen C. burnetii.
Migrasi sel-sel darah terutama netrofil dan monosit dari pembuluh darah
ke jaringan merupakan suatu respon imun yang menunjukkan terjadinya
peradangan akut. Pada keadaan ini, neutrofil akan bermigrasi ke jaringan dalam
jumlah banyak. Kemudian diikuti dengan migrasi monosit yang akhirnya akan
berdiferensiasi menjadi makrofag. Sel makrofag berfungsi dalam memakan
benda-benda asing dan membentuk sel raksasa yang akan menghasilkan sitokin.
Kemudian sitokin akan menyebabkan sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma
dan membentuk antibodi.
Dalam keadaan normal, jumlah limfosit sangat sedikit dijumpai pada
jaringan tubuh. Namun, dalam keadaan patologis limfosit akan banyak ditemukan.
Secara fungsional, sel limfosit dikelompokkan menjadi dua yaitu limfosit T dan
limfosit B. Limfosit T berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh
cell-mediated immunity. Sedangkan limfosit B berperan dalam produksi antibodi.
Aktivasi folikel limfoid pada limpa berupa peningkatan jumlah limfosit dan
makrofag merupakan suatu respon imunitas tubuh terhadap antigen. Sel B yang
ada di folikel limfoid akan membentuk antibodi untuk melawan antigen yang
masuk kedalam limpa. Menurut Tizard (2004), ketika ada infeksi antigen maka
makrofag akan membawa antigen tersebut menuju folikel primer selanjutnya sel B
akan bermigrasi kedaerah tersebut untuk membentuk antibodi. Sedangkan
peningkatan jumlah megakaryosit akan menghasilkan banyak trombosit yang
dapat menutupi kerusakan pembuluh darah akibat infeksi antigen.
Mikroorganisme intraseluler umumnya memiliki reseptor spesifik untuk
dapat berikatan dengan sel inangnya. Coxiella burnetii fase I menghambat
reseptor CR3 dan mengikat monosit melalui kompleks leucocyte response
integrin (LRI) dan integrine associated protein (IAP) (Setiyono 2004). Berbeda
dengan fase II yang justru memakai reseptor CR3 untuk dapat berikatan dengan
sel monosit. Secara alamiah C. burnetii fase I memiliki kelemahan untuk dapat
berikatan dengan sel inang melalui monosit. Tetapi apabila telah mampu
menembus sel inang maka daya tahan untuk hidup didalamnya lebih lama.
Sebaliknya C. burnetii fase II memiliki kemampuan untuk masuk kedalam sel
inang namun tidak dapat bertahan lama didalamnya karena terbunuh melalui
phagolisosomal pathway. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa pada
sediaan histopatologi limpa hamster pada pasase pertama dan kedua dengan
pewarnaan HE ditemukan infiltrasi monosit.
Limpa adalah salah satu organ yang paling kompleks pada sistem
limforetikular dalam hal struktur maupun fungsinya. Limpa adalah sumber utama
hematopoiesis pada janin dimana fungsi ini akan berkurang setelah lahir. Pada

7
periode postnatal, limpa berperan penting dalam produksi antibodi. Selain itu
limpa juga berperan dalam pengangkutan sel-sel yang tidak berguna lagi dari
aliran darah. Peran ganda ini terlihat dari komponen kompleks limpa yaitu pulpa
merah dan pulpa putih. Sistem kekebalan dibentuk oleh pulpa putih sedangkan
pulpa merah berperan untuk mengangkat eritrosit yang rusak, sudah tua, maupun
benda-benda asing yang berada di aliran darah.
Menurut Andoh et al. (2003) infiltrasi sel makrofag merupakan salah satu
lesi histopatologi yang dapat terlihat pada mencit yang telah diinokulasi dengan C.
burnetii. Hal ini menunjukkan bahwa pada hamster yang diinjeksikan dengan
antigen C. burnetii maupun yang diinjeksikan dengan ekstrak limpa yang telah
diinjeksikan antigen C. burnetii sebelumnya memiliki lesi yang sama dengan lesi
tikus yang diinokulasikan dengan agen tersebut berupa infiltrasi makrofag.
Lesi histopatologi organ limpa hamster dengan pewarnaan HE belum
begitu spesifik baik pada pasase pertama maupun pasase kedua. Gambaran
kerusakan histopatologi akibat infeksi C. burnetii pada limpa hamster ini masih
tidak dapat dibedakan dengan kerusakan akibat penyakit lain. Untuk melihat lebih
jauh penyebab kerusakan tersebut adalah oleh infeksi C. burnetii maka dilakukan
pewarnaan IHK.
Gambaran hasil pengamatan histopatologi organ limpa hamster dengan
pewarnaan IHK pada pasase pertama yang merupakan fase dua tidak
menunjukkan hasil yang begitu jelas. Gambaran tersebut dapat terlihat pada
Gambar 3. Pada pasase pertama menunjukkan hasil positif hanya pada daerah
pulpa merah, bahkan pada hamster IC tidak menunjukkan hasil positif. Sedangkan
pada pasase kedua kemungkinan telah terjadi perubahan fase dari fase dua
menjadi fase satu. Hal ini dapat dilihat dari gambaran pewarnaan IHK dengan
hasil yang lebih jelas dari pasase pertama. Gambaran histopatologi limpa hamster
yang terlihat dengan pewarnaan IHK pada pasase pertama rata-rata setiap lapang
pandang ditemukan sekitar 9 titik yang menunjukkan hasil positif imunoreaktif.
Sedangakan pada pasase kedua rata-rata setiap lapang pandang ditemukan sekitar
19 titik yang menunjukkan hasil positif imunoreaktif. Gambaran hasil pewarnaan
IHK pada pasase kedua juga terlihat lebih menyebar dengan ditemukannya hasil
positif pada pulpa putih dan kapsula. Gambaran ini dapat terlihat pada Gambar 4.
Hal ini membuktikan bahwa tingkat virulensi C. burnetii pada fase satu lebih
tinggi dari fase dua. Hal ini sejalan dengan pernyataan Setiyono (2005) yang
menyebutkan bahwa antigen C. burnetii fase I lebih patogen dibandingkan fase II.
C. burnetii memiliki dua bentuk antigen yaitu antigen fase I dan fase II.
Antigen fase I adalah antigen yang diperoleh dari inang yang terinfeksi seperti
hewan atau manusia sedangkan fase II tidak terlalu infeksius karena diperoleh dari
pasase berulang pada kultur sel di laboratorium (Fournier et al. 1998). Tingkat
keganasan C. burnetii diduga disebabkan oleh susunan lipopolisakarida (LPS)
pada membran sel. Susunan LPS fase I lebih kasar dibanding LPS fase II yang
lebih halus. (Maurin dan Raoult 1999).

8

Tabeel 1 Gambarran histopattologi limpaa hamster yang
y
diinjekksi antigen C. burnetii
(pasaase pertamaa) dengan peewarnaan HE
H dan IHK
Ham
mster
I
IA

I
IB

I
IC

Kapsula
T
Tidak
terjadi
perradangan dan
p
penebalan
T
Tidak
terjadi
perradangan dan
p
penebalan
T
Tidak
terjadi
perradangan dan
p
penebalan

Pewarnaaan HE
Pulpaa merah
Hem
moragi

Pewarrnaan IHK
Pulpa putihh
Infiltrasi seel
radang

P
Positif

Hem
moragi

Infiltrasi seel
radang

P
Positif

Hem
moragi

Infiltrasi seel
radang

N
Negatif

Tabeel 2 Gambarran histopattologi limpaa hamster yang
y
diinjekksi antigen C. burnetii
(pasaase kedua) dengan
d
pew
warnaan HE dan IHK
Ham
mster
IIA

I
IIB

Kapsula
T
Tidak
terjadi
perradangan dan
p
penebalan
T
Tidak
terjadi
perradangan dan
p
penebalan

Pewarnaaan HE
Pulpaa merah
Hem
moragi

Hem
moragi

Pewarrnaan IHK
Pulpa putihh
Infiltrasi seel
radang
Infiltrasi seel
radang

P
Positif

P
Positif

Gambbar 1 Gambbaran histoppatologi orggan limpa haamster yangg diinfeksi C
C. burnetii
pasasse pertama berupa
b
infilltrasi sel raadang (I) daan hemoragii (H) pada
pulpaa merah. Pew
warnaan HE
E, perbesaraan obyektif 20X.

9

n limpa haamster yangg diinfeksi C.
Gambar 2 Gambarran histopattologi organ
burnetiii pasase keddua berupa hemoragi
h
(H
H) pada pullpa merah, dan
d
Infiltrassi (I) sel raddang. Pewarrnaan HE, perbesaran oobyektif 20X
X.

Gambar 3 Gambaraan histopatoologi organ
n limpa haamster yangg diinfeksii C
burnetii pasase
p
pertaama. Pewarrnaan IHK, perbesarann obyektif 40X
4
Positif im
munoreaktiff ditunjukkaan dengan taanda panah.

Gambar 4 Gambaraan histopatoologi organ
n limpa haamster yangg diinfeksi C.
burnetii pasase
p
keduua. Pewarnaan IHK, perbesaran
p
obyektif 40
0X.
Positif im
munoreaktif ditunjukkan
n dengan tannda panah.

10

SIMPULAN
Gambaran organ limpa hamster yang diinfeksi C. burnetii dengan
pewarnaan HE menunjukkan perubahan berupa infiltrasi sel radang netrofil,
monosit, makrofag, megakaryosit, dan limfosit. Hasil pemeriksaan dengan
pewarnaan IHK menunjukkan positif imunoreaktivitas pada organ limpa.

DAFTAR PUSTAKA
Andoh M, Naganawa T, Hotta A, Yamaguchi T, Fukushi H, Masegi T, Hirai K.
2003. SCID Mouse Model for Lethal Q Fever. Infect and Immun 71(8):
4717-4723.
Arricau BN, Rodolakis A. 2005. Is Q fever an emerging or re-emerging zoonosis.
Vet Res (3): 327–349.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Statistic - Q fever.
USA: Centers for Disease Control and Prevention 1600 Clifton Rd.
Atlanta.
[CFSPH] The Centers for Food Security & Public Health. 2007. Q Fever Ames
Iowa USA: Iowa State University College of Veterinary Medicine.
[ECDC] European Centre for Disease Prevention and Control. 2010. Panel with
Representatives from the Netherlands, France, Germany, United Kingdom,
United States of America. Risk assessment on Q fever. ECDC Technical
Report, 40 pp. doi:10.2900/28860. Available online: www.ecdc.europa.eu
[EFSA] European Food Safety Authority. 2010. Scientific Opinion on Q Fever.
EFSA J 8 (5):1595-1736. Available online: www.efsa.europa.eu
Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever . J. Clin.
Microbiol. 36(7):1823-1834.
Ho T, Htwe KK, Yamasaki N, Zhang GO, Ogawa M, Yamaguchi T, Fukushi H,
Hirai K. 1995. Isolation of Coxiella burnetii from catlle and ticks, and
some Characteristics of the isolates in Japan. Microbiol. Immunol. 39(9):
663 – 671
Maurin M, Raoult D. 1999. Q Fever. Clin. Microbiol. Rev. 12(4):518-553.
[OIE] Office Internationale des Epizootics. 2010. Q Fever. OIE Terrestrial
Manual 2010.Chapter 2.1.12.
Playfair JHL, Chain BM. 2005. Immunology At A Glance Eight Edition.
London(GB): Blackwell Publishing.
Samuel JE, Hendrix LR. 2009. Laboratory maintenance of Coxiella burnetii.
Curr. Proto. Micriobiol., 6C (suppl.15), 1–16.
Setiyono, A. 2004. The Development of new surveillance system for prevention
of zoonosis, especially Q fever. Post Doctoral Report Supported by the
Japan Health Sciences Foundation. Laboratory of Rickettsia and
Chlamydia, Department of Virology I, National Institute of Infectious
Diseases 1-23-1 Toyama, Shinjuku-Ku, Tokyo, Japan.
Setiyono A. 2005. Q Fever ditinjau dari aspek zoonosis. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005: 1112-1116.

11
Setiyono A, Ogawa M, Cai Y, Shiga S, Kishimoto T, Kurane. 2005. New Criteria
for Immunofluorescence Assay for Q fever Diagnosis in Japan. J. Clin.
Microbiol. 43(11): 5555 – 5559.
Setiyono A, Mahatmi A, Soejoedono RD, Pasaribu FA. 2006. Deteksi Coxiella
burnetii pada ruminansia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner: 260-266.
Sidi BK, Duquesne V, Rousset E, Cochonneau D, Cutler SJ, Frangoulidis D,
Rodolakis A, Roest HJ, Ruuls R, Van RB, Vincent G, Thiery R. 2009. A
multicentre MLVA and MST typingring trial for C. burnetii genotyping:
An approach to standardization of methods. 5th MedVetNet Annual
Scientific Conference. Madrid, Spain.
Swearengen JR. 2012. Biodefense: Research Methodology and Animal Models.
USA: Taylor & Francis Group, LLC: 185.
Tizard I. 2004.Veterinary Imunology Third Edition. Surabaya (ID): Airlangga
University.

12

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 03 januari 1992 di Kabupaten Lahat,
Sumatera Selatan dari bapak Yurman Ma’is dan ibu Rasdiana. Penulis merupakan
anak bungsu dari enam bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh sebelumnya, yaitu SDN 47
Lahat pada tahun 1998, SMPN 5 Lahat pada tahun 2003, dan SMAN 2 Lahat pada
tahun 2006. Kemudian pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikannya di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama perkuliahan penulis juga aktif didalam kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Salah satunya penulis pernah menjadi bagian dari anggota BEM
FKH IPB tahun 2010-2011. Selain itu penulis juga mengikuti organisasi HIMPRO
RUMINANSIA sejak masuk kedalam fakultas hingga sekarang serta ikut serta
dalam beberapa kegiatan kampus.