Kloning dan Hukum

Kloning dan Hukum

Maraknya penelitian-penelitian tentang kloning yang melibatkan manusia sebagai subjeknya tak lepas dari bidang hukum. Hartiko dalam Lani (2003), mempertanyakan landasan yuridis jika kloning manusia di- perkenankan. Ia mencemaskan jika penggandaan manusia secara masal yang semula diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia justru mengubah perilaku suatu bangsa menjadi tidak terkendali. Royalti yang sangat mungkin dituntut oleh individu pemilik gen yang akan diklon ju-

ga memerlukan landasan hukum yang kuat. Dibeberapa Negara reproduksi kloning menjadi perdebatan di kalan-

gan eksekutif maupun legislatif. Di Amerika Serikat, Bush yang saat itu masih menjadi presiden mengeluarkan pernyataan bahwa “all human cloning is wrong”. Berdasarkan pernyataan tersebut, secara konstitusi Amerika Serikat menolak reproduksi kloning. Lebih lanjut, presiden Bush menyatakan bahwa reproduksi kloning dan penelitian tentang klo- ning harus dilarang.

US House of Representative mengeluarkan dua pernyataan yaitu (1) human cloning prohibition act, reproduksi kloning yang bertujuan untuk meng-kloning manusia merupakan tindakan kriminal. Barang siapa yang menggunakan reproduksi kloning untuk melakukan klonisasi terhadap manusia akan dikenai denda $ 1 juta atau dipenjara maksimal 10 tahun; (2) permit research cloning, memperbolehkan penelitian reproduksi kloning yang bertujuan untuk pengobatan (Annas, 2002). Menurut Jae-

Reproduksi Kloning 173

nisch (2004), terapeutik kloning adalah dibenarkan. Terapeutik kloning bertujuan untuk pengobatan penyakit.

Salah satu negara Asia yang menerapkan hukum positif tentang re- produksi kloning yaitu Korea Selatan. Parlemen Korea Selatan me- netapkan peraturan berkaitan dengan kloning manusia. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa “barang siapa yang melakukan kloning dian- cam hukuman maksimal tiga tahun penjara”. Kementerian kesehatan Korea Selatan menyatakan bahwa kloning yang menyilangkan dua spe- sies berbeda (cross-species cloning), di mana DNA sel somatik manusia diintegrasikan pada telur binatang atau perilaku semacamnya, akan diancam hukuman penjara hingga maksimal tiga tahun. Hukum ini ber- tujuan untuk meninggikan bio-ethic (Candrataruna, 2008).

Dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang kloning pada manusia (United Nations Declaration on Human Cloning, 2005) dinya- takan bahwa negara anggota harus mencegah segala bentuk kloning pa-

da manusia yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dan harus melindungi makhluk insani (Hanafiah dan Amir, 2008). Kecemasan masyarakat di negara dunia ketiga berbeda dengan yang dialami masyarakat negara maju dalam menyikapi soal kloning. Dengan keterbatasan informasi dan pengetahuan, mereka harus bergelut dengan kecemasan yang sewaktu-waktu bisa berubah dari mimpi buruk menjadi kenyataan. Setelah lama memberi akomodasi bagi berbagai uji coba per- tanian guna kepentingan negara maju, bukan tidak mungkin negara du- nia ketiga cepat atau lambat harus kembali menjadi ajang uji coba re- kayasa genetis.

Alih bioreproduksi modern dari negara maju ke negara dunia ketiga tidak dapat dilakukan secara menggebu-gebu hanya demi pemenuhan kepentingan politis dan ekonomis pemerintah. Meski selalu berada pada posisi kurang menguntungkan, negara dunia ketiga seharusnya berusaha melindungi dirinya sendiri jika tidak ingin negara dan lingkungannya makin diinjak-injak. Pemerintah negara dunia ketiga seharusnya cepat

174 Filsafat, Etika dan Kearifan Lokal

mengantisipasi gejala ini dengan membuat peraturan yang konsisten mengatur penelitian tentang hasil rekayasa dan kloning (Lani, 2003).

Di Indonesia belum terdapat hukum positif yang khusus mengatur tentang reproduksi kloning. Namun, dalam Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 70 Ayat (1), disebutkan “penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyem- buhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan un- tuk tujuan reproduksi”. Dalam penjelasan UU RI No. 36 Tahun 2009, yang dimaksud sel punca yaitu sel dalam tubuh manusia dengan kema- mpuan istimewa yakni mampu memperbaharui atau meregenerasi dirin- ya dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain yang lebih spesifik.

Beberapa ilmuwan sangat menyayangkan tidak adanya hukum posi- tif tentang reproduksi kloning. Prof Dr K Bertens dan Prof Dr Sangkot Marzuki dalam Kompas (2002), mengemukakan bahwa “Hingga kini belum ada hukum positif di Indonesia terlebih lagi dalam bentuk un- dang-undang (UU) yang mengatur mengenai kloning manusia. Padahal, produk kloning dalam bentuk paling sederhana, yaitu sel tunas (stemcell) sudah mulai dipasarkan di dunia dan tidak tertutup kemungki- nan masuk ke Indonesia”.

Sebuah peneltian yang dilakukan oleh Pratimaratri (2008), menyata- kan bahwa Kloning reproduksi manusia merupakan suatu permasalahan sosial yang perlu ditanggulangi oleh hukum pidana. Formulasi ‘tindak pidana’ kloning manusia dalam perundang-undangan pidana Indonesia terbatas pada reproduksi kloning pada manusia (reproductive cloning of human beings). Kriminalisasi reproduksi kloning pada manusia terutama untuk melindungi kepentingan hukum klon, donor dan sumber sel soma- tik, wanita sebagai donor ovum maupun surrogate mother’.

Kloning merupakan hal yang mengkhawatirkan, mengingat belum adanya undang-undang internasional tentang kloning, sementara hukum seringkali berjalan lebih lambat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil temuannya (Lani, 2003).

Reproduksi Kloning 175