Pendekatan egaliter dan pendekatan minimalis

1.4. Pendekatan egaliter dan pendekatan minimalis

Kita telah melihat di akhir bab bahwasanya konten dari teori keadilan golabal begitu variatif, sebagian teori sebagaimana diutarakan Pogge menetapkan pandangannya pada pemenuhan hak-hak dasar dan pemberantasan kemiskinan yang mewabah. Pandangan lainnya, seperti halnya pendangan Caney, menetapkan pandangan mereka lebih jauh dan bahkan tampak begitu siap untuk berbuat bagi pengentasan kemiskinan dan pelindungan hak-hak asasi manusia, dan adanya kita masih tetap memiliki alasan atas kewajiban keadilan untuk menolak ketimpangan yang akan tetap terulang. Menurut Pogge sendiri peraturan-peraturan ditingkat global secara normatif tidak menciptakan kesenjangan, karena pemahaman yang dia gunakan sepertinya dicukupkan dengan melihat tatanan global dimana tidak ada paksaan pada pihak lain dalam ikut bersekutu dalam tatanan kelembagaan global yang pada kenyataannya gagal melindungi hak-hak asasi sebagian pihak. Disini tampak jelas adanya perbedaan standar yang digunakan sebagai pendekatan, bahkan perbedaan juga terjadi didalam teori yang sama-sama menyatakan setuju bahwa keadilan distributif global perlu dan penting keberadaannya. Artinya, ketika kita mendengar perdebatan tentang keadilan global yang lebih jauh atau memperdebatkan situasi dunia yang lebih adil, kita masih perlu mengkaji lebih banyak hal. Kita butuh kajian lebih jauh, khususnya tentang standar distributif yang akan diberlakukan secara keseluruhan. Dalam kajian bagian ini kita dituntut bisa membedakan antara pendekatan egaliter dan minimalis untuk mengurai masalah- masalah kemiskinan, yang mana perbedaan tersebut akan memiliki ‘resonansi’ dalam seluruh bab-bab berikutnya dalam buku ini.

Pendekatan egaliter dalam keadilan distributif adalah salah satu pendekatan yang meletakan nilai-nilai luhur kesetaraan. Secara spesifik bisa dikatakan bahwa jenis sumber daya tertentu harus didistribusikan secara merata antara semua orang, atau setidaknya orang harus memiliki kesempatan yang sama atas akses sumber daya tersebut bagi diri mereka jika mereka mau bekerja keras. Mungkin juga bisa dikatakan bahwa sejak manusia ada, perihal kesetaraan sudah menjadi masalah tersendiri, maka seharusnya keberadaan lembaga-lembaga global berusaha untuk mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan. Tetapi alasan seperti itu belumlah cukup kuat. Beberapa Pendekatan egaliter dalam keadilan distributif adalah salah satu pendekatan yang meletakan nilai-nilai luhur kesetaraan. Secara spesifik bisa dikatakan bahwa jenis sumber daya tertentu harus didistribusikan secara merata antara semua orang, atau setidaknya orang harus memiliki kesempatan yang sama atas akses sumber daya tersebut bagi diri mereka jika mereka mau bekerja keras. Mungkin juga bisa dikatakan bahwa sejak manusia ada, perihal kesetaraan sudah menjadi masalah tersendiri, maka seharusnya keberadaan lembaga-lembaga global berusaha untuk mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan. Tetapi alasan seperti itu belumlah cukup kuat. Beberapa

Beberapa pihak mungkin mengatakan, contohnya saja, kesenjangan itu bisa diterima selama mereka diperlukan ketika pihak yang beruntung bersedia memberi insentive dalam proses jalannya perekonomian. Tetapi apakah metode seperti itu telah menyadari bahwa kesetaraan bersama yang diinginkan banyak orang, dan bahwa kita juga harus menegakkan itu dalam batas-batas tertentu. Secara naluriah, tidak semua orang akan menerima pendekatan egaliter yang memberatkan ini. Akan tetapi jika kita berusaha secara substantif mengurangi kesenjangan yang menjadi ciri khas masyarakat dunia sekarang ini secara keseluruhan, pendeskripsian kita sebagai kaum egaliter tampaknya bisa diterima.

Secara subtantif, pendekatan egaliter secara umum membidik ketidaksetaraan global sebagai obyek. Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk memberikan alasan yang meyakinkan bagi penentang keadilan egaliter global. Atau mereka akan cenderung selalu menanggapi ketidaksetaraan global hanya sebatas kata ‘tidak adil’. Meskipun kita tidak akan bisa mencapai kesetaraan yang sempurna, yang mungkin dikarenakan kesetaraan yang absolut akan bertentangan dengan nilai-nilai lain, seperti kebebasan atau sifat otonom dalam diri manusia, atau bahkan terkait self determination, tetapi kita tetap harus menaruh kewaspadaan terhadap penyebab terjadinya ketidaksetaraan. Ketika kita melihat survei tentang kemiskinan global sebagaimana diuraikan di awal bab ini, adalah penting untuk diketahui bahwa banyak orang tidak memilki akses guna menjalani hidup yang layak, setidaknya menurut standar kelayakan warga masyarakat di negara maju. Untuk alasan itulah pendekatan egaliter, sebagaimana halnya pendekatan minimalis, bisa mendukung keberadaan tegaknya hak-hak asasi manusia sebagaimana akan kita bahas dalam bab 4 nanti. Tidak seperti halnya pendekatan minimalis, pendekatan egaliter tidak membatasi perhatiannya pada standar yang mendasar seperti telah diuraikan diatas.

Tentu saja hanya mengidentifikasi kesenjangan seperti itu tidak akan cukup untuk dapat menggambarkan kondisi nyata yang berjalan tidak adil. Sementara dilain pihak, kita mungkin juga menaruh kecurigaan terhadap pihak-pihak tak beruntung sedari awal. Misalnya, teori egaliter global yang bertolak dari pendekatan relasional mungkin saja bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut guna dijelaskan oleh pihak yang tak beruntung tentang berbagai hal yang menyangkut tentang mereka.

Lantas, apakah kelompok yang tak beruntung tersebut juga bisa memberi bukti bahwa lembaga-lembaga global yang berjalan itu tidak adil? Dilain pihak, apakah bisa dibuktikan lembaga-lembaga global memberi perhatian cukup kepada kepentingan komunitas yang tak beruntung? Tapi para penganut teori egaliter global bersatu dalam satu keyakinan bahwa ada beberapa alasan kuat dari teori keadilan untuk menolak setidaknya beberapa hal mengenai ketidaksetaraan global. Sedangkan para penganut teori keadilan minimalis sangat berbeda menetapkan pandangannya, Secara umum para penganut teori minimalis menetapkan titik awal pandangan mereka lebih rendah dibanding pandangan teori keadilan global meski dalam mencapai sasaran yang ingin dicapai keberadaan teori tersebut mungkin masih cukup sulit di dalam kondisi dunia kontemporer. Pendekatan teori minimalis beranggapan bahwa ketidakadilan global yang terjadi, dimana beberapa orang tidak memiliki akses cukup untuk mendapatkan hal-hal tertentu, atau untuk menjalani kehidupan dengan layak dan martabat (atau mungkin mereka akan menganggap bahwa semua ini adalah masalah yang mana masalah tersebut timbul bukan karena kesalahan dari individu-individu yang bersangkutan). Para penganut teori minimalis mencoba berusaha untuk menarik benang merah antara apa yang dibutuhkan demi adanya kehidupan yang layak atau minimal sebuah kondisi kehidupan yang dapat diterima, dan apa yang surplus dipihak lain untuk persyaratan atas adanya keadilan tersebut. Yang jelas, ketika sekali saja dari berbagai teori tadi bisa memberi jaminan pemenuhan minimal yang layak bagi setiap orang, ketidaksetaraan dalam distribusi berbagai sumber daya dan barang tidak akan pernah dikutuk sebagai bentuk ketidakadilan. Jadi teori minimalis mencoba mengatakan kepada kita bahwa suatu kondisi itu tidak adil terkait nasib anak-anak yang lahir di Mozambik yang kebanyakan tak terpenuhi haknya mengakses pendidikan yang memadai atau bahkan akses terhadap pemenuhan gizi. Berikut penjelasan letak alasan mengapa pendekatan minimalis keberatan atas pendekatan keadilan egaliter global, banyak kasus negara-negara seperti Mozambik, penyebabnya berupa tidak adanya standar minimum kelayakan hidup yang diterapkan negara bagi warganya, tidak seperti negara-negara lain yang membuat standar minimum kelayakan hidup bagi warga negaranya. Bagi para penganut teori minimalis, kita seharusnya tidak usah menghiraukan tentang ketidaksetaraan antara negara-negara seperti itu, kita juga seharusnya tidak usah menghiraukan tentang fakta bahwa pendapatan bruto nasional perorang di Denmark lebih tinggi dibandingkan warga negara Portugal (lihat bab 2). Kata mereka lebih lanjut, kita seharusnya tidak usah menghiraukan asumsi-asumsi

bahwa standar minimum kelayakan hidup tidaklah harus ditetapkan dalam batas minimum yang tinggi, mereka cukup yakin bahwa semua orang di Portugal memiliki ketahanan dan kelayakan hidup. Keprihatinan ini haruslah dianggap sudah cukup bagi orang-orang yang telah tercukupi akses hak mendasarnya,atau minimal ketika mereka telah dapat hidup dengan layak. Jika kita mendefinisikan kesetaraan dalam bentuk standar yang luas maka harus menerapkannya bagi isu-isu keadilan distributif global (dan rasa-rasanya tak mungkin menurut pendekatan minimalis), jika kita masih tidak terima terkait ketidaksetaraan global sama halnya kita menaruh peduli kepada mereka tetapi tak menaruh kepedulian dalam diri mereka sendiri, karena mereka sendiri juga tak membuat pantas keadaan tersebut dalam diri mereka sendiri, membuat layak kehidupannya. Karena mereka berdiri di jalan berbeda demi mencapai hal-hal lain yang dianggap lebih berharga. Mungkin juga ketidaksetaraan global yang tajam dimaksudkan oleh pihak-pihak tertentu guna menghindari kesetaraan politik antar bangsa-bangsa, atau mungkin guna memberi pintu bagi beberapa negara untuk mengeksploitasi negara-negara lain agar lebih mudah. Pendekatan minimalis bisa menunjukkan kepedulian secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya ketidaksetaraan tanpa takut bertentangan dengan prinsip-prinsip pendekatan mereka sendiri terkait ketidakadilan di dunia. Penganut teori minimalis juga tidak akan keberatan atas terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka dan yang berasal dari masyarakat mereka sendiri.

Uniknya, mereka yang menganut pendekatan minimalis terkait keadilan distributif – diantaranya Rawls (1999), Miller (2007), dan Nagel (2005) – ada kecenderungan tidak menolak nilai-nilai ideal kesetaraan sama sekali. Memang, pendekatan minimalis yang akan kita bicarakan di bab 3 secara detil ada kecenderungan juga mengadopsi pentingnya kesetaraan di dalam masing-masing masyarakat domestik sendiri, kesetaraan antar sesama warga negara dianggap penting, atau kesetaraan kepada orang senegara itulah yang dianggap penting. Sebagai contoh, adanya komitmen penganut teori minimalis terhadap nilai-nilai ideal sebagai sesama warga negara yang mana nilai-nilai itu akan sesuai penerapannya terkait adanya ketidaksetaraan yang terjadi luas antar berbagai elemen masyarakat tersebut. Tapi kepedulian terhadap kesetaraan ini hanya berlaku di ranah domestik, bukan untuk diperluas diranah global. Teori minimalis sering memberi penjelasan pendekatan relasional mereka untuk mendukung secara simultan kesetaraan di tingkat domestik tetapi melakukan penolakan penerapannya di tingkat global. Mereka selalu

menekankan pada bentuk hubungan khusus antar sesama warga negara dalam penerapan kesetaraan yang tepat dan penerapan kesetaraan itu tidak berlaku di luar negara masing-masing pihak. Lantas, bagaimana jika ada hubungan antara dua perbedaan yang telah kita bahas, yaitu antara pendekatan minimalis dan pendekatan egaliter di satu sisi, dan pendekatan relasional dan non-relasional di sisi lain? Sebagaimana bagian-bagian tersebut yang telah banyak ditulis dalam berbagai literatur, dan setidaknya dalam penulisan buku ini telah diawali dengan kajian-kajian berbagai literatur mengenai perbedaan egaliter global dan minimalis yang bertujuan global. Pendekatan egaliter sendiri bisa berbentuk pendekatan relasional dan kadang juga bisa berbentuk non-relasional. Teori egaliter global tersebut bisa membentangkan pembelaan terkait kesetaraan global, baik itu dengan menunjuk fakta-fakta tentang dunia, seperti halnyya globalisasi, atau keberadaan lembaga-lembaga global (a relational defence of global egalitarianism ), atau bisa dengan mempertahankan nilai- nilai dasar kemanusiaan kita (a non-relational defence). Pendekatan Minimalis global bisa berbentuk pendekatan relasional atau pendekatan non-relasional, tapi kenyataan yang ditemui dari teori minimalis global sebagaimana dibahas dalam chapter 3 buku ini dominan lebih kepada bentuk pendekatan relasional. Keseluruhan argumentasi minimalis global menunjukkan bahwa kesetaraan hanya relevan diterapkan di tingkat masing-masing negara, dan secara umum pendapat ini mengacu pada alasan yang bersumber pada adanya hubungan khusus antar sesama warga.Para penganut pendekatan minimalis juga menyarankan kepada para penganut egaliter global agar penerapan prinsip-prinsip egaliter global harus jauh lebih sederhanak dikarenakan tidak

adanya karakter berupa ‘hubungan yang spesifik’ yang mana sebagai prasyarat munculnya egaliter global tak ada.

Jadi, pada batas-batas tertentu dua perbedaan tersebut saling melemahkan pendekatan masing-masing teori,melemahkan satu sama lain. Jadi posisi teori pendekatan egaliter global yang begitu kuat, disatu waktu tertentu juga akan terlihat lemah. Sedangkan perbedaan antara pendekatan egaliter dan minimalis menjelaskan kepada kita tentang suatu isi dari apa yang menjadi tanggungan satu sama lain dan pada gilirannya melahirkan suatu hak (entitlements) yang menjadi haknya pihak yang terbebani kewajiban. Perbedaan antara pendekatan relasional dan no-relasional menguraikan kepada kita tentang sesuatu kenapa harus seperti itu; tentang alasan yang berbeda dari masing-masing teori paparkan untuk membentangkan penegakkan keadilan global. Dengan demikian, semua hal itu benar-benar pertanyaan tentang Jadi, pada batas-batas tertentu dua perbedaan tersebut saling melemahkan pendekatan masing-masing teori,melemahkan satu sama lain. Jadi posisi teori pendekatan egaliter global yang begitu kuat, disatu waktu tertentu juga akan terlihat lemah. Sedangkan perbedaan antara pendekatan egaliter dan minimalis menjelaskan kepada kita tentang suatu isi dari apa yang menjadi tanggungan satu sama lain dan pada gilirannya melahirkan suatu hak (entitlements) yang menjadi haknya pihak yang terbebani kewajiban. Perbedaan antara pendekatan relasional dan no-relasional menguraikan kepada kita tentang sesuatu kenapa harus seperti itu; tentang alasan yang berbeda dari masing-masing teori paparkan untuk membentangkan penegakkan keadilan global. Dengan demikian, semua hal itu benar-benar pertanyaan tentang

Kesimpulan

Pembahasan Chapter ini dimulai dengan membahas beberapa fakta tentang kemiskinan global, dan mengajak kita tergugah menanggapi keadaan kemiskinan dalam sejumlah cara yang variatif, tentunya secara berpegang teguh terhadap norma-norma dalam membicarakannya. Kita mencoba menelaah perbedaan antara kewajiban kemanusiaan dan kewajiban keadilan sebagai suatu cara

memilah ‘tulang dan daging’ gagasan-gagasan keadilan distributif global tersebut. Lebih lanjut kita juga meneliti perbedaan antara tugas positif dan negatif keadilan yang secara selektif

mengharuskan kita terlibat aktif untuk membantu orang lain yang membutuhkan andil kita untuk melindunginya agar tak terdiskriminasi dengan cara-cara tertentu. Lalu pembahasan berpindah membahas pandangan yang berbeda terkait mengapa kita harus mengadopsi prinsip-prinsip keadilan distributif global. Selain itu, juga membahas teori relasional yang menekankan interkoneksi antara orang per orang dan kelembagaan, teori non-relasional lebih memfokuskan diri pada pembahasan kemanusiaan itu sendiri meski implikasi yang ditimbulkan dari kedua teori itu pada muara tujuannya sangat mirip, yaitu teori relasional dan non-relasional sama-sama menyepakati perlunya penegakan keadilan global, meski masih ada perbedaan yang menarik dalam hal justifikasi pembenar yang digunakan masing-masing teori yang ditawarkan.

Di akhir bahasan, kita berpindah pembahasan terkait perbedaan antara pendekatan egaliter dan pendekatan minimalis keadilan global sebagaimana yang akan saya coba untuk tunjukan dalam dua bab berikutnya, bagian yang paling menarik dalam perdebatan tentang keadilan global yang terjadi saat ini antara penganut pendekatan egaliter dan minimalis. Bab 2 juga akan berlanjut menelaah beberapa argumentasi dan menelaah implikasinya dari pendekatan egaliter. Teori egaliter tampak begitu cocok dalam pengaplikasiannya baik dengan mengadopsi pendekatan relasional atau pun pendekatan non-relasional, tetapi poin terpenting adalah kedua pendekatan tersebut setuju akan adanya gagasan berupa adanya beberapa prinsip keadilan distributif egaliter berlaku di tingkat global. Dampak dari pendekatan dua teori tersebut secara kasuistis begitu cukup menyentuh akar permasalan. Pendekatan minimalis dibahas lebih lanjut dalam bab 3. Para penganut teori minimalis berlaku skeptis terhadap penerapan teori egaliter lebih jauh dalam aplikasinya di tingkat global. Anehnya, hal paling sering terlihat, mereka adalah para penganut pendekatan relasional dalam kontek domestik, tetapi percaya akan adanya pembeda antara ranah nasional dan global. Mereka Di akhir bahasan, kita berpindah pembahasan terkait perbedaan antara pendekatan egaliter dan pendekatan minimalis keadilan global sebagaimana yang akan saya coba untuk tunjukan dalam dua bab berikutnya, bagian yang paling menarik dalam perdebatan tentang keadilan global yang terjadi saat ini antara penganut pendekatan egaliter dan minimalis. Bab 2 juga akan berlanjut menelaah beberapa argumentasi dan menelaah implikasinya dari pendekatan egaliter. Teori egaliter tampak begitu cocok dalam pengaplikasiannya baik dengan mengadopsi pendekatan relasional atau pun pendekatan non-relasional, tetapi poin terpenting adalah kedua pendekatan tersebut setuju akan adanya gagasan berupa adanya beberapa prinsip keadilan distributif egaliter berlaku di tingkat global. Dampak dari pendekatan dua teori tersebut secara kasuistis begitu cukup menyentuh akar permasalan. Pendekatan minimalis dibahas lebih lanjut dalam bab 3. Para penganut teori minimalis berlaku skeptis terhadap penerapan teori egaliter lebih jauh dalam aplikasinya di tingkat global. Anehnya, hal paling sering terlihat, mereka adalah para penganut pendekatan relasional dalam kontek domestik, tetapi percaya akan adanya pembeda antara ranah nasional dan global. Mereka