Pendekatan non-relasional

1.3.2.Pendekatan non-relasional

Bertolak belakang dengan pendekatan relasional, pendekatan non-relasional berpendapat bahwa manusia memiliki hak hanya karena dia telah terlahir sebagai manusia, dan hak itu bukan timbul karena manusia telah bersekutu dalam kelembagaan tertentu. Teori non-relasional menekankan bahwa nilai-nilai kemanusiaan atau martabatnya sudah sepatutnya dihormati dan penegakan nilai-nilai tersebut akan berdampak pada efektifitas keadilan distributif. Diskursus hak asasi manusia dewasa ini cenderung menekankan pada bentuk klaim bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai hak-hak asasi tertentu yang tak bisa diganggu gugat oleh apapun dan siapapun. Hak-hak seperti ini oleh beberapa teori yang mengupas tentang hak asasi manusia juga diakui meski tidak tertulis dalam peraturan kelembagaan global. Teori ini berkebalikan dengan argumentasi Pogge, yang mana teori non-relasional ini tidak menganggap fakta-fakta relasional antar manusia sebagai acuan adanya standar keadilan sebagai relevansi. Meski bisa saja keliru, memang ada beberapa hal yang tak berkorelasi dengan hak asasi manusia dalam dunia yang meng-global dewasa ini, dan peluang keliru lebih besar lagi, jikalau dunia belum sampai pada taraf globalisasi seperti sekarang ini. Ini adalah fakta kemanusiaan kita yang telah menciptakan hak dan kewajiban keadilan (Perlu diingat, meskipun teori non-relasional yang mengacu pada umat manusia sebagai mahluk yang otonom bukan berarti argumentasi teori non-relasional terkait keadilan global sama seperti teori relasional, meski keberadaan kedua teori tersebut guna membenarkan adanya suatu kewajiban dengan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar pijakan teori keadilan distributif global. Para penganut teori keadilan distributif global menggunakan skema berpikir seperti ini untuk memperdebatkan bagaimana bentuk kewajibannya dan metode pelaksanaan keadilan tersebut).

Beberapa kritik dialamatkan kepada teori non-relasional ini yang mana argumentasinya sedikit mengabaikan realita jalannya kehidupan dunia. Setidaknya ketika teori non-relasional tersebut dibenturkan pada kewajiban positif. Bayangkan saja jika kehidupan dunia dibagi menjadi dua komunitas masyarakat yang terpisah, dimana dua komunitas tersebut tidak saling mengenal keberadaan satu sama lain. Bayangkan juga jika kehidupan dua komunitas tersebut sangat berbeda. Komunitas masyarakat pertama tersedia bahan pangan melimpah, kehidupan yang mewah, dan mudahnya Beberapa kritik dialamatkan kepada teori non-relasional ini yang mana argumentasinya sedikit mengabaikan realita jalannya kehidupan dunia. Setidaknya ketika teori non-relasional tersebut dibenturkan pada kewajiban positif. Bayangkan saja jika kehidupan dunia dibagi menjadi dua komunitas masyarakat yang terpisah, dimana dua komunitas tersebut tidak saling mengenal keberadaan satu sama lain. Bayangkan juga jika kehidupan dua komunitas tersebut sangat berbeda. Komunitas masyarakat pertama tersedia bahan pangan melimpah, kehidupan yang mewah, dan mudahnya

adil? Bukankah masyarakat yang lebih beruntung kehidupannya memiliki sebuah kewajiban positif untuk mengurangi kesenjangan tersebut meski mereka mungkin tidak mampu bertindak yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka? Teori non- relasional seharusnya concerns terhadap kesenjangan sebagai bahasan awal teori (meskipun toh dalam hemat saya tak akan memiliki dampak apapun terhadap keadilan global; dalam arti tidak bisa dipraktekkan saat ini karena adanya anggapan dasar bahwa kondisi sekarang ini sudah benar). Anehnya, uraian teori non-relasional menganggap penyimpulan dari pendapat teori relasional tidak masuk akal, meski secara intuitif mereka juga mengatakan ketidaksetaraan adalah bentuk ketidakadilan. Bagi teori non- relasional, bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan dan perlindungan martabat manusia sudah cukup sebagai titik tolak guna menggugah kepedulian terhadap keadilan distributif. Faktanya, teori non-relasional sangatlah sulit dijadikan pijakan dalam berbuat sesuatu terkait tindakan yang menipu kita hanya karena situasi ini telah terkondisikan, dan tidak cuma sekali saja menipu kita.

Bagi para pengikut Evangelis, pendekatan non-relasional kadang-kadang diujarkan sebagaimana diatas andai mereka mampu menyadari akan hal itu, sedangkan penganut teori politik kontemporer begitu berkomitmen pada pandangan yang global seperti itu pula. Sedangkan teori liberalisme dan sosialisme cenderung berpendapat bahwa semua warga negara tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau status sosial harus diperlakukan sama karena mereka memiliki sifat alamiah yang sama, atau dengan melihat dari kemampuannya untuk hidup mandiri. Argumen-argumen diatas begitu standar dalam teori politik serta memiliki banyak penguat normatif. Teori seperti itu juga memiliki kecenderungan 'lupa' atau mengabaikan fakta-fakta bahwa kita semua adalah manusia dengan kapasitas yang sama untuk bertindak otonom atau rasionalitistis, dan bukan hanya bertindak kepada sesama warga kita. Tapi secara logis, klaim-klaim standar tersebut jelas masih berlaku umum.

Seperti Simon Caney (2005a: 107) katakana bahwa, ‘untuk membenarkan standar prinsip-prinsip keadilan distributif', karena itu juga dibutuhkan adanya prinsip- Seperti Simon Caney (2005a: 107) katakana bahwa, ‘untuk membenarkan standar prinsip-prinsip keadilan distributif', karena itu juga dibutuhkan adanya prinsip-

Teori non-relasional memiliki kecenderungan penekanan berimbang dalam dua arah pengertian. Pertama, kecenderungan tidak melihat perbedaan yang sangat penting antara ranah domestik dan global. Jika kita memiliki alasan yang baik untuk menerima prinsip-prinsip keadilan dalam lingkup negara-bangsa masing-masing, maka kita mungkin memiliki alasan yang sama untuk menerima kesetaraan itu di lingkup global. Kedua ranah, yaitu ranah nasional dan global yang tidak berbeda secara fundamental. Setelah membahas itu semua, kita akan lanjut dalam pembahasan kesamaan manusia dalam berbagai kasus. misalnya, sesama warga negara Perancis pasti lebih memiliki banyak kesamaan satu sama lain dibanding kesamaan mereka dengan orang-orang Argentina. Hal ini mungkin juga berlaku di dalam setiap lembaga yang mengatur kehidupan bersama mereka pula yang jauh lebih ketat dan memiliki dampak yang jauh langsung terasa terhadap kehidupan masyarakat umum mereka daripada keberadaan lembaga-lembaga global, akan tetapi teori non-relasional tidak akan melihat fakta-fakta empiris yang dibungkus peraturan normatif itu sebagai hal penting. Hal seperti itu akan membuat pencapaian keadilan global jauh lebih sulit, disatu sisi, mereka juga tidak melarang kita untuk mencoba keadilan distributif global (dalam arti mereka tidak memberikan kita penjelasan meyakinkan mengapa kita harus membatasi lingkup keadilan tersebut ditingkat domestik). Kedua, secara relatif teori non-relasional tidak menganggap pentingnya suatu lembaga pusat perubahan dalam menjalankan transformasi yang menandai dunia kontemporer ini –gerakan perubahan sering kali diklasifikasikan gerakan bersama beberapa pihak dengan melebelinya istilah 'globalisasi'. Terlebih lagi, fakta nyata bahwa kita hidup di dunia dengan sistem komunikasi yang relatif instan dan mudah sekarang ini, dimana media berita Teori non-relasional memiliki kecenderungan penekanan berimbang dalam dua arah pengertian. Pertama, kecenderungan tidak melihat perbedaan yang sangat penting antara ranah domestik dan global. Jika kita memiliki alasan yang baik untuk menerima prinsip-prinsip keadilan dalam lingkup negara-bangsa masing-masing, maka kita mungkin memiliki alasan yang sama untuk menerima kesetaraan itu di lingkup global. Kedua ranah, yaitu ranah nasional dan global yang tidak berbeda secara fundamental. Setelah membahas itu semua, kita akan lanjut dalam pembahasan kesamaan manusia dalam berbagai kasus. misalnya, sesama warga negara Perancis pasti lebih memiliki banyak kesamaan satu sama lain dibanding kesamaan mereka dengan orang-orang Argentina. Hal ini mungkin juga berlaku di dalam setiap lembaga yang mengatur kehidupan bersama mereka pula yang jauh lebih ketat dan memiliki dampak yang jauh langsung terasa terhadap kehidupan masyarakat umum mereka daripada keberadaan lembaga-lembaga global, akan tetapi teori non-relasional tidak akan melihat fakta-fakta empiris yang dibungkus peraturan normatif itu sebagai hal penting. Hal seperti itu akan membuat pencapaian keadilan global jauh lebih sulit, disatu sisi, mereka juga tidak melarang kita untuk mencoba keadilan distributif global (dalam arti mereka tidak memberikan kita penjelasan meyakinkan mengapa kita harus membatasi lingkup keadilan tersebut ditingkat domestik). Kedua, secara relatif teori non-relasional tidak menganggap pentingnya suatu lembaga pusat perubahan dalam menjalankan transformasi yang menandai dunia kontemporer ini –gerakan perubahan sering kali diklasifikasikan gerakan bersama beberapa pihak dengan melebelinya istilah 'globalisasi'. Terlebih lagi, fakta nyata bahwa kita hidup di dunia dengan sistem komunikasi yang relatif instan dan mudah sekarang ini, dimana media berita

1.3.2.1. Pandangan Caney terkait penegakan keadilan melebihi portal batas negara

Simon Caney mengutarakan argumentasi non-relasionalnya dalam mengkaji keadilan distributif global didalam bukunya Justice Beyond Borders (Caney 2005a). Caney mencatat fakta-fakta 'mencolok' di dalam bukunya itu. Pada dasarnya hingga saat ini para pakar politik masih berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan distributif harus diaplikasikan pada tingkat negara saja (2005a:102). Tapi pendapat Caney terkait pembatasan penerapan keadilan ini dalam lingkup negara tak memiliki batasan jelas. Caney juga sering kali menyinggung mengenai prinsip keadilan ini dalam tulisan- tulisannya. Caney dalam catatannya mengenai keadilan sering kali menunjukkan bahwa setiap orang punya karakteristik normatif tertentu atau suatu atribut yang melekat pada dirinya sendiri, seperti rasionalitas, sifat kecenderungan otonom, martabat yang sama dan sebagainya, kita akan mengkaji lebih lanjut dalam bagian 3 buku ini. Ada argumen relasional lain terkait kenapa dia membatasi lingkup keadilan dan kesetaraan dalam lingkup domestik saja. Karena adanya suatu karakter yang istimewa dalam ikatan antar sesama warga negara, atau adanya institusi yang lebih spesifik dalam mengatur sesama warga negara. Harus diakui, ada banyak pendapat seperti itu, tetapi kemudian dalam sebuah makalah, Caney menulis bahwasanya bisa saja penerapan prinsip keadilan tersebut bergeser ke level keadilan global dalam penerapannya karena keistimewaan relasi sesama warga negara tidak lagi istimewa, yang mana kenyataanya hanya memiliki yuridiksi dalam batas-batas negara (Caney 2008).

Oleh karena itu, Caney membuat serangkaian catatan yang cocok kita sebut argumen ‘tambahan’, yang menunjukkan bahwa argumentasi standar terkait keadilan distributif di tingkat domestik juga bisa berlaku di tingkat global. Dengan demikian tidak ada diskontinuitas berarti antara dua ranah tersebut, dan tidak ada justifikasi pembenar dalam membatasi keadilan distributif di tingkat masing-masing negara. Apa

yang melatarbelakangi pandangan Caney terkait tidak adanya hubungan antar negara adalah hubungan khusus didalam negara tersebut, yang pada akhirnya membuat dia mengesampingkan fakta-fakta empiris dunia yang berarti dalam menentukan hak-hak kemanusiaan kita. Secara khusus, Caney beralasan ‘mengapa keadaan itu sulit untuk dipahami’. Misalnya dikatakan, 'interaksi ekonomi memiliki relevansi moral dari sudut pandang keadilan distributif' (Caney 2005a:111). Oleh karena itu, Caney sepertinya juga setuju mengakui kesimpulan pendekatan relasional yang ada itu muncul dari pertimbangan-pertimbangan tidak berdasar. Beralih kembali dalam kasus ‘dunia yang terbagi’ kita diatas tadi, dimana dua komunitas digambarkan tidak memiliki interaksi sama sekali, tapi ada sebuah keuntungan bagi satu komunitas yang lebih baik daripada komunitas lain yang diraih dengan cara kejam. Caney mengatakan dengan tegas bahwa situasi dalam kasus pengandaian itu tidak adil, yang terjadi karena lemahnya moral yang melandasi interaksi dimana masyarakat yang lebih beruntung berhak mengklaim mendapat kehidupan lebih baik lagi; situasi seperti ini tidak adil (2005a:111). Caney juga menolak implikasi dunia yang tidak menguntungkan dalam pendekatan relasional keadilan global. Menurutnya jika seseorang dilahirkan menjadi bagian masyarakat miskin tetapi memiliki koneksi dengan masyarakat lainnya, maka menurutnya kita tidak memiliki tugas keadilan terhadap mereka (2005a:112).

Proposal yang disodorkan Caney terkait keadilan global sangatlah rumit, termasuk adanya gagasan bahwa kita harus memprioritaskan orang-orang tak beruntung, kita juga berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar atau nafkah semua orang, termasuk juga kita harus mencoba untuk mencapai peluang kesetaraan global (lihat bab 2). Tapi bersamaan itu pula, proposal Caney begitu bergairah (dan tentunya lebih menantang daripada apa yang dikatakan Pogge), dan sangat merepresentasikan tuntutan kita terkait keadilan dalam pengaplikasiannya di tingkat global. Caney juga mengutarakan ketidaksukaannya terhadap metode pendekatan Pogge yang menggabungkan kewajiban negatif dan positif dalam penegakan keadilan. Pihak-pihak yang tidak beruntung di belahan dunia ini membutuhkan tindakan kita, yaitu tindakan bukan hanya untuk menahan diri dari tindakan tertentu yang merugikan mereka, tetapi juga meminta kita untuk proaktif dalam berbagai kasus untuk membuat posisi pihak- pihak tak beruntung tersebut lebih baik di dalam tatanan dunia.