Keadilan Distributif Global Apa dan Meng

1.1 Fakta-Fakta Mengenai Kemiskinan Global

Statistik kemiskinan global diteliti dan dibukukan oleh lembaga organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia. Bank Dunia memiliki dua indikator utama dalam meneliti kemiskinan, lembaga ini mendefinisikan orang yang berada dibawah garis kemiskinan adalah orang yang berpenghasilan kurang dari 2 US dollar per hari, dan dikategorikan berada dibawah garis kemiskinan ekstrim bagi orang yang berpenghasilan kurang dari 1,25 US dollar per hari, tapi orang dengan penghasilan dibawah 1,25 US dollar per hari sangatlah kecil kemungkinannya disaat ini. Kita mungkin berpikir bahwa 2 US dollar akan mencukupi kebutuhan hidup seseorang di negara miskin yang mana barang-barang kebutuhan dasar yang mungkin terbilang cukup murah didapat, maka indikator guna menghitung angka kemiskinan itu keliru. Jadi, Bank Dunia menggunakan ukuran yang disebut 'paritas daya beli' (purchasing power parity). Sehingga ketika dikatakan, seumpama seseorang yang berada di India hidup dengan pendapatan kurang dari 2 US dollar per hari dan uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya di India, maka pendapatan itu sama cukupnya untuk memenuhi kebutuhannya di Amerika Serikat, meski kemungkinan seperti itu sangatlah kecil.

Tentu saja hal itu bukanlah gambaran secara utuh untuk menggambarkan kemiskinan, organisasi seperti Bank Dunia pun acap kali dikritik karena sering terfokus pada pendapatan moneter sebagai indikator menentukan angka kemiskinan tersebut. Kita mungkin juga berpikir bahwa adanya orang-orang yang berada dibawah garis kemiskinan karena mereka, misalnya tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau pemenuhan kesehatan mendasar (Pogge dan Reddy 2010). The UN’s Millennium Development Goals (yang mana akan dibahas dalam bab 3) mengajak kita untuk lebih jauh melihat, bukan hanya melihat pada sudut pandang pendapatan moneter saja, termasuk seperti menggunakan indikator taraf pendidikan, melek huruf, pemenuhan kesehatan dan sebagainya. Jadi, disini terjadi ketidaksepahaman tentang bagaimana cara terbaik untuk memahami, dan menentukan indikator apa untuk mengukur kemiskinan tersebut.

Sebagaimana statistik yang dirilis Bank Dunia, betapa banyak orang yang berada dibawah garis kemiskinan dan bagaimanakah kondisi kemiskinan itu semakin bertambah dari waktu ke waktu? Statistik Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah orang yang hidup dengan penghasilan diatas 2 US dollar per hari sedikit mengalami

peningkatan, sekitar 2,5 sampai 2,6 miliar orang dalam rentang periode 1981-2005. Tapi sebagai perbandingan, (bertambahnya) penduduk dunia itu bisa merepresentasikan penurunan angka kemiskinan dari 70 persen menjadi 48 persen dari keseluruhan populasi manusia yang hidup sekarang ini. Statistik masyarakat dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan ekstrim (1,25 US dollar per hari atau kurang) justru turun pada periode yang sama dari 1,9 milyar-1,4 milyar penduduk dunia (mengalami penurunan dari 52 persen ke level 26 persen dari total populasi dunia). Jadi, gambaran umum menunjukkan bahwa jumlah dari orang-orang dalam garis kemiskinan relatif statis meski angka kemiskinan ekstrim menurun. Tapi gambaran umum ini tidak bisa menutupi perbedaan bersifat regional yang begitu penting. Tampaknya sebagian besar penurunan angka kemiskinan terjadi di Cina dan pada tingkat lebih kecil berada di India. Disisi lain, juga telah terjadi penurunan angka kemiskinan jauh lebih kecil di daerah lain, seperti sub-Sahara Afrika. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang pesat dibeberapa negara berkembang mungkin telah menyembunyikan realita kemajuan ekonomi sangat kecil dampaknya bagi pihak yang berada di ‘bottom billion of humanity ’ yang semakin tertinggal jauh dibelakang diberbagai belahan dunia (Collier 2007). Boks 1.1 ini mencoba memberikan beberapa gambaran penting tentang kemiskinan global.

Boks

Beberapa Gambaran Penting Terkait Kemiskinan Global

1.1  2600.000.000 orang diseluruh dunia hidup dengan pendapatan

kurang dari 2 US dollar/hari.  1.400,000.000 orang diseluruh dunia hidup dengan pendapatan

kurang dari 1,25 US dollar/hari.  Sekitar 27 persen anak-anak di negara berkembang diperkirakan kekurangan gizi atau memiliki pertumbuhan terhambat (PBB

2007a).

 72 juta anak usia sekolah dasar putus sekolah pada tahun 2005, 57 persen dari mereka adalah perempuan (PBB 2007b).  1,8 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, dan hampir separuhnya dari penduduk negara berkembang, yang pada satu

waktu berkaitan dengan ketersediaan air bersih dan buruknya sanitasi (PBB 2006).

1.2 Keadilan Distributif Global Sebagai Sebuah Ide

…………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Keadilan merupakan istilah (term) yang sulit dipahami yang mana perumusannya dalam berbagai kegunaan akan berbeda. Misalnya, di dalam lingkup hubungan internasional, orang sering berbicara dan mendebatkannya antara adil dan tidak adil dalam lingkup hukum humaniter (hukum perang) cuma untuk menanggapi tindak terorisme dan bagaimana cara interogasinya yang berkeadilan terhadapnya. Isu- isu tersebut sangatlah menarik tetapi berada di luar kajian buku ini. Topik kita adalah keadilan distributif (distributive justice). Dalam hal ini, definisi yang sangat umum bisa dikatakan bahwa keadilan distributif itu menyangkut cara bagaimana antara kemanfaatan dan beban tanggung jawab dalam hidup bisa dipikul rata antara kita. Sebuah prinsip keadilan distributif yang mana adanya tersebut menjelaskan kepada kita tentang bagaimana berbagi kemanfaatan atau beban tanggung jawab tertentu, atau adanya prinsip keadilan sebagai satu rangkaian tak terpisahkan antara kemanfataan dan beban tanggung jawab yang seharusnya dipikul bersama antara kita. Maka, prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan dasar gratis, atau sebuah lapangan pekerjaan harus diperuntukan bagi orang terbaik yang memenuhi kualifikasi, hal seperti itulah yang dianggap sebagai bentuk dari keadilan distributif.

Orang terkadang membatasi ruang lingkup keadilan distributif hanya terkait isu- isu ekonomi semata. Sebagai contoh, Lamont dan Favor menyatakan bahwa 'Prinsip keadilan distributif adalah prinsip-prinsip normatif yang dirancang guna memandu pengalokasian antara kemanfaatan dan beban tanggung jawab aktivitas ekonomi' (1996:1). Pendapat ini cukup mengundang tanda tanya, karena mengecualikan beberapa hal yang begitu penting bagi kita, tetapi hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari ‘kehidupan ekonomi’, seperti halnya pendidikan atau kesehatan. Meski begitu, tetap saja banyak sekali persoalan yang perlu dibahas dalam buku ini karena memiliki beberapa kecocokan dimensional terhadap kegiatan berbau ekonomi, termasuk didalamnya keadilan dalam hal perdagangan, dan hak kepemilikan atas sumber daya alam. Tugas kita adalah untuk memberikan bantuan materi kepada orang miskin dalam dunia global dan sebagainya.

Poin utama tentang kemanfaatan dan beban tanggung jawab tentu saja adalah poin terpenting dalam keadilan distributif, karena hal itu akan menunjukkan kepada kita pada dua sisi keadilan distributif. Di satu sisi, teori keadilan distributif biasanya akan memberi kita penjelasan tentang hak berupa entitlements atau penjelasan tentang apa itu hak berupa rights, tentu saja penjelasannya sejalan dengan asas kemanfaatan dan beban tanggung jawab. Sebagai contoh, teori keadilan distributif mungkin memilih dan memilah beberapa kepentingan utama atau kebutuhan orang-orang tak beruntung tersebut guna dibantu, misalnya soal kebutuhan akan pangan, air dan perumahan yang mana hal itu telah menyadarkan kita bahwa kita memiliki entitlements atas keadilan untuk hal-hal tersebut. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa kita haruslah menyediakan hal-hal tersebut bagi mereka. Jika tidak, maka kita telah membiarkan ketidakadilan terjadi. Keadaan seperti itu sendiri belumlah menjelaskan kepada kita lebih jauh tentang siapa saja yang seharusnya menyediakan bahan makanan, air bersih, atau hunian layak. Untuk itu, kita perlu suatu pembagian kewajiban untuk kita (yang tentutanya sesuai dengan beban tanggung jawab yang telah disebutkan sebelumnya). Bisa dikatakan, kehidupan bersama telah membebani kita suatu tugas atau kewajiban tertentu agar tidak memperlakukan orang-orang di sekitar kita dengan semau kita sendiri, atau dengan kata lain, kita harus beritikad memenuhi hak tertentu orang lain ketika mereka terbukti sebagai kaum rentan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri.

Teori keadilan distributif akan tampak berbeda bentuk isinya terkait hak (entitlements) yang mana hak tersebut membebani kita sebuah kewajiban (duties). Beberapa isinya akan menunjukkan kepada kita bahwasanya kita juga memiliki hak- hak dasar, dan oleh karena adanya hak dasar tersebut, kita juga memiliki kewajiban yang bersifat dasar pula terhadap (tegaknya) keadilan. Hal ini merupakan satu rangkaian tak terpisahkan yang saling melengkapi antara hak dan tuntutan (demands) berupa kewajiban. Kita akan kembali mengupas masalah ini dalam bagian 1.4, dimana kita dituntut bisa membedakan antara pendekatan lokal-domestik (minimalist account; selanjutnya akan disebut pendekatan minimalis) dan pendekatan egaliter (egaliter account ). Tapi ada kontroversi lain yang perlu kita kenali sedari awal, yaitu ketidaksepahaman tentang isi dari masing-masing prinsip itu dalam kaitanya dengan keadilan distributif. Saya tegaskan lagi bahwa teori keadilan distributif menjelaskan kepada kita tentang bagaimana untuk mendistribusikan suatu kemanfaatan dan beban tanggung jawab yang dipikul antara kita bersama. Lantas, siapakah yang dikehendaki Teori keadilan distributif akan tampak berbeda bentuk isinya terkait hak (entitlements) yang mana hak tersebut membebani kita sebuah kewajiban (duties). Beberapa isinya akan menunjukkan kepada kita bahwasanya kita juga memiliki hak- hak dasar, dan oleh karena adanya hak dasar tersebut, kita juga memiliki kewajiban yang bersifat dasar pula terhadap (tegaknya) keadilan. Hal ini merupakan satu rangkaian tak terpisahkan yang saling melengkapi antara hak dan tuntutan (demands) berupa kewajiban. Kita akan kembali mengupas masalah ini dalam bagian 1.4, dimana kita dituntut bisa membedakan antara pendekatan lokal-domestik (minimalist account; selanjutnya akan disebut pendekatan minimalis) dan pendekatan egaliter (egaliter account ). Tapi ada kontroversi lain yang perlu kita kenali sedari awal, yaitu ketidaksepahaman tentang isi dari masing-masing prinsip itu dalam kaitanya dengan keadilan distributif. Saya tegaskan lagi bahwa teori keadilan distributif menjelaskan kepada kita tentang bagaimana untuk mendistribusikan suatu kemanfaatan dan beban tanggung jawab yang dipikul antara kita bersama. Lantas, siapakah yang dikehendaki

pada fakta ketidaksepahaman yang sangat mendasar. Sementara beberapa teori keadilan distributif merumuskan pandangan teorinya 'hanya' pada pengaturan distribusi kemanfaatan dan beban tanggung jawab dalam bentuk masyarakat tunggal. Disisi lain, masyarakat di seluruh dunia ini menggunakan suatu pola yang jauh lebih komplek dalam kenyataannya. Dipihak lain lagi, mereka akan memberi masukan terkait prinsip- prinsip keadilan distributif hanya untuk masyarakat individu (dalam lingkup komunitas negara), dan dipihak lainnya mendorong penerapannya untuk masyarakat global. Maksud dari adanya buku ini adalah mencoba mendefinisikan keadilan distributif global sebagai suatu teori yang akan menunjukan kepada kita bahwasanya ada hak (entlitements) yang berkorelasi dengan keadilan yang memiliki cakupan global serta bertujuan menunjukan adanya kewajiban-kewajiban (duties) atas keadilan yang memiliki lingkup global pula. Pendekatan keadilan distributif global memperlihatkan kepada kita validitas dari prinsip-prinsip keadilan tersebut memilki lingkup global. Hal itu akan saya coba uraikan bahwa setidaknya prinsip-prinsip tersebut secara sah dan meyakinkan memiliki lingkup global. Setidaknya, teori ini akan mencoba berusaha untuk mengatur distribusi mengenai kemanfaatan-kemanfaatan atau beban tanggung jawab pada tingkat global. Maka, tujuan dari teori keadilan global (account of global justice ) akan menjelaskan kepada kita bahwa ada individu-individu memiliki beberapa entitlements sebagai bagian dari persoalan keadilan, misalnya pemenuhan ketersediaan air bersih dan penyediaan pendidikan dasar.

Teori ini mencoba menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang diseluruh dunia memiliki kewajiban terkait keadilan distributif global. Disamping itu, ada hal-hal tertentu yang mewajibkan kita untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dan kewajiban ini secara logis cukuplah berat sebagaimana bisa dikatakan bahwa kita bisa dikatakan berperilaku tidak adil (atau telah berperilaku adil) jika kita telah mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka. Di bagian akhir bab dalam chapter ini kita akan fokus membahas tentang kewajiban (duties), karena hal ini akan memberikan kita gambaran yang relatif jelas mengenai perbedaan antara prendekatan keadilan distributif global (account of global justice) dan pendekatan kepedulian sosial (accounts on charity) kepada sesama. Pada bagian pertama, yaitu bagian 1.2.1, kita akan menelaah perbedaan antara kewajiban atas dasar kemanusiaan (humanitarian duties ) dan kewajiban atas dasar keadilan (duties of justice). Kemudian di bagian Teori ini mencoba menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang diseluruh dunia memiliki kewajiban terkait keadilan distributif global. Disamping itu, ada hal-hal tertentu yang mewajibkan kita untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dan kewajiban ini secara logis cukuplah berat sebagaimana bisa dikatakan bahwa kita bisa dikatakan berperilaku tidak adil (atau telah berperilaku adil) jika kita telah mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka. Di bagian akhir bab dalam chapter ini kita akan fokus membahas tentang kewajiban (duties), karena hal ini akan memberikan kita gambaran yang relatif jelas mengenai perbedaan antara prendekatan keadilan distributif global (account of global justice) dan pendekatan kepedulian sosial (accounts on charity) kepada sesama. Pada bagian pertama, yaitu bagian 1.2.1, kita akan menelaah perbedaan antara kewajiban atas dasar kemanusiaan (humanitarian duties ) dan kewajiban atas dasar keadilan (duties of justice). Kemudian di bagian

1.2.1. Kewajiban yang dibebankan oleh keadilan ( Duties of Justice) dan kewajiban atas dasar kemanusiaan ( Duties of Humanitarianism)

Ketika merenungkan fakta tentang kemiskinan sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian 1.1, kita mungkin memiliki berbagai tanggapan. Kita mungkin berpikir bahwa tidak ada yang bermasalah terkait fakta-fakta tersebut secara normatif. Kita bisa mengatakan setuju bahwa seseorang telah jatuh ke dalam jurang kemiskinan karena mereka mengabaikan kesempatan demi kehidupan lebih baik. Lantas, akankah kita berkata ‘begitulah kehidupan semestinya berjalan’. Atau dengan kata lain, kita mungkin setuju bahwa ada seseorang terjerumus ke dalam kemiskinan, tetapi percaya bahwa mereka terjerumus dalam jurang kemiskinan karena hasil dari buruknya kebijakan orang-orang yang duduk didalam tampuk pemerintahan negaranya yang telah terjadi bertahun-tahun. Patut diakui bahwa argumentasi baru saja itu akan sulit menjelaskan kepada kita ketika kita dibenturkan pada kenyataan anak-anak yang baru saja terlahir di berbagai negara miskin tersebut yang tentu saja tak memiliki beban tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan para pemimpin politik (negara) mereka di masa lalu, tetapi tetap ikut menanggung resiko tersebut berupa masa depan yang lebih menyedihkan lagi. Saya yakin, masih ada beberapa orang tergerak hatinya oleh fakta- fakta tersebut. Kita mungkin berpikir bahwa kita memiliki kewajiban untuk membantu mereka yang ada disekitar kita, tetapi tidak ada kewajiban sama sekali untuk membantu orang-orang yang hidup jauh dari sekitar kita (gagasan ini yang akan kita telaah kembali pada akhir bagian ini).

Atau mungkin kita berprasangka bahwa ada suatu kesalahan yang cukup signifikan yang luput dari sorotan kita terkait fakta-fakta kemiskinan tersebut. Kita mungkin berpikir bahwa hal yang luput dari sorotan itu berupa kesalahan fatal penyebab orang-orang tersebut tidak memiliki akses atas pemenuhan air bersih, pemenuhan gizi yang memadai, atau akses atas pendidikan dasar. Disatu sisi, kita mungkin juga akan terusik oleh fakta bahwa orang-orang di negara maju cenderung menghabiskan uang jauh lebih banyak hanya untuk biaya perawatan binatang peliharaannya daripada mereka tergerak membantu untuk mengatasi kemiskinan di luar negaranya. Kita mungkin pernah terbersit bahwa memberantas kemiskinan global sangatlah sulit dilakukan, atau bahkan berpikir pemberian bantuan kepada negara yang Atau mungkin kita berprasangka bahwa ada suatu kesalahan yang cukup signifikan yang luput dari sorotan kita terkait fakta-fakta kemiskinan tersebut. Kita mungkin berpikir bahwa hal yang luput dari sorotan itu berupa kesalahan fatal penyebab orang-orang tersebut tidak memiliki akses atas pemenuhan air bersih, pemenuhan gizi yang memadai, atau akses atas pendidikan dasar. Disatu sisi, kita mungkin juga akan terusik oleh fakta bahwa orang-orang di negara maju cenderung menghabiskan uang jauh lebih banyak hanya untuk biaya perawatan binatang peliharaannya daripada mereka tergerak membantu untuk mengatasi kemiskinan di luar negaranya. Kita mungkin pernah terbersit bahwa memberantas kemiskinan global sangatlah sulit dilakukan, atau bahkan berpikir pemberian bantuan kepada negara yang

Jika yang dirasakan demikian, ada 2 pertanyaan penting untuk diajukan, yang pertama adalah; siapakah yang memiliki kewajiban (duties) atas pengentasan kemiskinan global tersebut? dan yang kedua adalah; seperti apakah bentuk kewajiban tersebut? Untuk menemukan titik tolak awal, pertama-tama yang harus dilakukan jika kita ingin menunjukkan bahwa ada kewajiban untuk mengatasi kemiskinan global itu, maka kita perlu menentukan siapa subyek yang harus dilekati kewajiban (duties) tersebut. Kita bisa saja memberikan jawaban berupa tanggung jawab individu atau tanggung jawab secara kolektif atas pertanyaan tersebut. Jika memilih jawaban pertama berarti kewajiban tersebut adalah kewajiban orang-perorang secara terpisah dan tak terkait satu sama lain guna mengatasi kemiskinan global. Misalnya, mungkin dengan inisiatif memberikan bantuan materi kepada organisasi tertentu untuk membantu orang- orang di negara berkembang atau dengan cara memboikot barang-barang dari suatu negara yang dipimpin oleh rezim otoriter yang menelantarkan warga negaranya hidup dalam kemiskinan-keterbelakangan, atau melobi pemerintah negara masing-masing untuk berpartisipasi memperbaiki kebijakannya dalam pengentasan kemiskinan global. Atau, kita mungkin lebih tertarik memilih jawaban kedua, yaitu tanggung jawab kolektif, yang artinya sama halnya bahwa tanggung jawab tersebut akan menunjuk pada kolektifitas orang-perorang, atau bahkan antar organisasi yang memiliki kewajiban mulia tersebut. Sebagai contoh, kita mungkin percaya hal itu, dengan berargumentasi bahwa cuma negara-negara yang memiliki sumber daya dan memiliki kapasitas untuk mengatasi kemiskinan global, yang mana tugas negara memang untuk mengatasi hal tersebut. Atau misalnya, kita mungkin menspesifikasikan tugas tersebut kepada perusahaan multinasional yang memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan keadilan global. Dan tentu saja, teori keadilan global mungkin juga memberikan jawaban beragam (mixed answer) guna menunjukkan bahwa setiap individu dan secara kolektif sebagaimana halnya negara memiliki tugas secara relevan. Sebagai contoh, bagian 1.3.1.1 akan membahas karya Thomas Pogge, seorang ahli teori keadilan global yang yang ingin menunjukkan apa yang seharusnya sesama negara lakukan (dan kewajiban apa yang seharusnya tidak dilakukan) tetapi negara- negara itu menyalahgunakan kekuasaannya dalam tatanan global dengan menetapkan Jika yang dirasakan demikian, ada 2 pertanyaan penting untuk diajukan, yang pertama adalah; siapakah yang memiliki kewajiban (duties) atas pengentasan kemiskinan global tersebut? dan yang kedua adalah; seperti apakah bentuk kewajiban tersebut? Untuk menemukan titik tolak awal, pertama-tama yang harus dilakukan jika kita ingin menunjukkan bahwa ada kewajiban untuk mengatasi kemiskinan global itu, maka kita perlu menentukan siapa subyek yang harus dilekati kewajiban (duties) tersebut. Kita bisa saja memberikan jawaban berupa tanggung jawab individu atau tanggung jawab secara kolektif atas pertanyaan tersebut. Jika memilih jawaban pertama berarti kewajiban tersebut adalah kewajiban orang-perorang secara terpisah dan tak terkait satu sama lain guna mengatasi kemiskinan global. Misalnya, mungkin dengan inisiatif memberikan bantuan materi kepada organisasi tertentu untuk membantu orang- orang di negara berkembang atau dengan cara memboikot barang-barang dari suatu negara yang dipimpin oleh rezim otoriter yang menelantarkan warga negaranya hidup dalam kemiskinan-keterbelakangan, atau melobi pemerintah negara masing-masing untuk berpartisipasi memperbaiki kebijakannya dalam pengentasan kemiskinan global. Atau, kita mungkin lebih tertarik memilih jawaban kedua, yaitu tanggung jawab kolektif, yang artinya sama halnya bahwa tanggung jawab tersebut akan menunjuk pada kolektifitas orang-perorang, atau bahkan antar organisasi yang memiliki kewajiban mulia tersebut. Sebagai contoh, kita mungkin percaya hal itu, dengan berargumentasi bahwa cuma negara-negara yang memiliki sumber daya dan memiliki kapasitas untuk mengatasi kemiskinan global, yang mana tugas negara memang untuk mengatasi hal tersebut. Atau misalnya, kita mungkin menspesifikasikan tugas tersebut kepada perusahaan multinasional yang memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan keadilan global. Dan tentu saja, teori keadilan global mungkin juga memberikan jawaban beragam (mixed answer) guna menunjukkan bahwa setiap individu dan secara kolektif sebagaimana halnya negara memiliki tugas secara relevan. Sebagai contoh, bagian 1.3.1.1 akan membahas karya Thomas Pogge, seorang ahli teori keadilan global yang yang ingin menunjukkan apa yang seharusnya sesama negara lakukan (dan kewajiban apa yang seharusnya tidak dilakukan) tetapi negara- negara itu menyalahgunakan kekuasaannya dalam tatanan global dengan menetapkan

Terkait 2 hal berkaitan kewajiban diatas, secara umum ada 2 perihal alternatif. Kita mungkin berpikir ada suatu kewajiban moral (Obligation of Charity) dalam diri kita, membangun kerangka dasar prinsip-prinsip kemanusiaan untuk memecahkan masalah kemiskinan tersebut, atau mungkin kita berpikir bahwasanya kita memiliki kewajiban atas penegakan keadilan distributif. Perbedaan antara kemanusiaan (humanitarianisme) dan keadilan distributif (distributive of justice) sangatlah umum dalam literatur yang mengangkat tema keadilan distributif global. Lantas, apa sebenarnya perbedaan diantara dua hal tersebut? Ada berbagai proposisi terkait perbedaan antara dua hal tersebut, dan saya akan memulai dengan menelaah kesalahan peletakan terma awal untuk menunjukkan bahwa kewajiban (yang bertitik tolak atas dasar) moral kemanusiaan bagaimana pun 'superficial' untuk menyentuh ke akar masalah, sedangkan kewajiban keadilan mengatasinya langsung ke dasar masalah- masalah secara menyeluruh.

Ini adalah cara pertama dalam menjelaskan perbedaan dua hal tersebut guna menunjukkan bahwa kewajiban atas keadilan (Duties of Justice) bagaimana pun lebih fundamental dalam pencapaian sasarannya, sedangkan kewajiban atas dasar kemanusiaan (duties of humanitarians) tak mampu melakukan hal itu. Dari penjelasan perbedaan itu yang ingin saya kehendaki adalah memberi kita skema berpikir dalam menanggapi kemiskinan dan ketimpangan melalui frame prinsip keadilan global daripada prinsip-prinsip kemanusiaan yang bagaimana pun itu lebih baik sebagai titik tolak berfikir dalam mengarahkan fokus kita. Secara umum, prinsip-prinsip kemanusiaan menjelaskan bahwa kita memiliki keterpanggilan untuk memecahkan masalah kemiskinan global karena menyangkut hak asasi manusia yang mendasar. Tapi, Kok-Chor Tan (2004: 21) mengatakan bahwa pendekatan prinsip kemanusiaan yang menjelaskan kepada kita bahwa kita harus menyumbangkan sebagian sumber daya kita untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara miskin pada faktanya prinsip moral itu gagal untuk mengatasi permasalahan sampai pada akar masalah. Itulah sebabnya mereka seperti dihukum tanpa henti untuk mendonasikan uangnya tanpa bisa memutus mata rantai yang mengekalkan ketidakadilan sedari awal mula. Lebih lanjut, menurut Tan bahwa teori keadilan global itu mengajak perhatian kita langsung tertuju pada isu-isu yang lebih mendasar. Demikian halnya, Thomas Pogge juga berpendapat Ini adalah cara pertama dalam menjelaskan perbedaan dua hal tersebut guna menunjukkan bahwa kewajiban atas keadilan (Duties of Justice) bagaimana pun lebih fundamental dalam pencapaian sasarannya, sedangkan kewajiban atas dasar kemanusiaan (duties of humanitarians) tak mampu melakukan hal itu. Dari penjelasan perbedaan itu yang ingin saya kehendaki adalah memberi kita skema berpikir dalam menanggapi kemiskinan dan ketimpangan melalui frame prinsip keadilan global daripada prinsip-prinsip kemanusiaan yang bagaimana pun itu lebih baik sebagai titik tolak berfikir dalam mengarahkan fokus kita. Secara umum, prinsip-prinsip kemanusiaan menjelaskan bahwa kita memiliki keterpanggilan untuk memecahkan masalah kemiskinan global karena menyangkut hak asasi manusia yang mendasar. Tapi, Kok-Chor Tan (2004: 21) mengatakan bahwa pendekatan prinsip kemanusiaan yang menjelaskan kepada kita bahwa kita harus menyumbangkan sebagian sumber daya kita untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara miskin pada faktanya prinsip moral itu gagal untuk mengatasi permasalahan sampai pada akar masalah. Itulah sebabnya mereka seperti dihukum tanpa henti untuk mendonasikan uangnya tanpa bisa memutus mata rantai yang mengekalkan ketidakadilan sedari awal mula. Lebih lanjut, menurut Tan bahwa teori keadilan global itu mengajak perhatian kita langsung tertuju pada isu-isu yang lebih mendasar. Demikian halnya, Thomas Pogge juga berpendapat

Perbedaan diatas memang tidak sepenuhnya membantu mengurai masalah kemiskinan secara penuh. Namun yang pasti, pendapat Tan dan Pogge ada benarnya tentang kaburnya subtansi tujuan dari istilah 'bantuan' tersebut. Serta dalam hal ini jelas bahwa apa yang dikemukakan Tan dan teori keadilan global oleh Pogge lebih unggul dalam memberikan uraian yang komperhensif kepada kita tentang bagaimana kemiskinan tercipta dan selalu ada, dan juga menjelaskan bagaimana 'sistem' global telah berkontribusi terjadinya kemiskinan itu. Namun, ini bukan berarti berkaitan kebenaran konseptual yang mana semua tujuan teori keadilan global harus menjawabnya. Memang, apa yang menjadi tujuan prinsip kemanusiaan implikasinya cukup identik dengan tujuan yang coba dicapai oleh prinsip keadilan global. Kedua teori ini mungkin memiliki kesamaan, misalnya tiap negara harus memberikan 0,7 persen dari pendapatan nasional mereka untuk dialokasikan sebagai bantuan luar negeri (sebagaimana disepakati beberapa negara dalam rangka mensukseskan program ‘Millennium Development Goals’ PBB yang selanjutnya akan dibahas dalam bab 3). Entah memenuhi kualifikasi atau tidak sebagai pihak yang dilekati kewajiban, negara- negara tersebut tentu tak akan pernah setuju bahwa mereka berkewajiban atau memiliki tanggung jawab terkait pengentasan kemiskinan global tersebut. Disatu sisi, negara- negara tersebut tak akan mampu menjawab pertanyaan sulit yang dikemukakan Pogge dan Tan sebagaimana diatas. Pada dasarnya, prinsip keadilan global dapat menjawab pertanyaan mendasar terkait adanya kemiskinan global, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa pendekatan tersebut merupakan bagian prinsip keadilan. Karena jika katakan ya, maka perbedaan antara masing-masing capaian teori berupa ‘superficial/fundamental’ tak akan benar-benar membantu.

Lantas, apa perbedaan antara kewajiban yang dibebankan oleh keadilan dan kewajiban atas dasar kemanusiaan benar-benar ada? Banyak teori setuju bahwa

kewajiban yang dibebankan oleh keadilan distributif (berikutnya akan kita sebut dengan istilah kewajiban keadilan) lebih berbobot berat kewajibannya dibanding kewajiban atas dasar kemanusiaan, dan tentu saja tugas keadilan tersebut harus ditegakkan. Suatu tugas yang berat dan sulit yang tentu saja tidak mungkin terhindarkan, tetapi bukan berarti bahwa suatu kewajiban yang dikatakan berat sama halnya mengatakan bahwa tugas itu butuh biaya mahal. Sebagai contoh sederhana, mari kita berandai-andai bahwa saya dibebani kewajiban keadilan sebesar £5 per minggu untuk didonasikan dalam program pemberantasan kemiskinan global dan itu tak masalah bagi saya, meskipun saya telah menghabiskan sebagian besar gaji saya minggu ini sehingga hanya tersisa £20 saja. Dikesempatan lain, saya juga telah mengatakan kepada teman saya bahwa saya akan meminjamkan £20 untuknya guna membeli sepasang sepatu baru. Jadi di sini saya memiliki dua kewajiban yang sama-sama harus dipenuhi, yaitu kewajiban keadilan untuk mendonasikan £5, dan kewajiban moral untuk memberikan pinjaman kepada teman saya sebesar £20 sebagaimana yang telah saya janjikan. Dalam kasus seperti ini maka kewajiban moral lebih diutamakan sejak saya telah membelanjakan seluruh uang saya, sedangkan tagihan atas kewajiban keadilan cuma butuh £5. Tetapi dalam hati kita harus tetap mengatakan bahwa tugas keadilan tetap lebih penting untuk diutamakan. Jika hal tersebut tidak kita yakini, apa yang telah dikonstriuksi diatas tidak akan ada gunanya dan hal itu akan jauh lebih buruk dibanding kewajiban moral. Bukankah kadar berat suatu beban kewajiban sejalan-sebanding terhadap prioritas pemenuhannya? Jika dalam teori dikatakan bahwa kita memiliki prioritas kewajiban lebih berat atas keadilan distributif global, mereka pasti membantahnya bahwa kewajiban moral tersebut lebih penting dan lebih berat kadarnya. Tetapi kedua hal tersebut tak seharusnya diabaikan hanya karena kita lebih suka menghabiskan uang kita untuk hal-hal lain sembari membenarkan bahwa tugas keadilan berdasarkan hal ini lebih berat (kadar kewajibannya) daripada kewajiban kemanusiaan. Lebih lanjut, ketika para teoretikus berdebat terkait apa bentuk kewajiban kita mengenai kemiskinan, apakah berupa kewajiban moral atau kewajiban keadilan, mereka justru sering berdebat tentang bagaimana agar perusahaan-perusahaan juga memilki ‘peran’ atas kewajiban tersebut.

Mungkin cara terbaik untuk menjelaskan perbedaannya adalah mengatakan bahwa tugas keadilan tidak seperti tugas kemanusiaan, tugas keadilan secara moral hukum itu wajib dipenuhi; yang dimaksud dengan ke wajiban ‘melaksanakan kewajiban ’ disini adalah adanya legitimasi bagi suatu pihak untuk memaksa kita melakukannya ketika kita menolak memenuhi kewajiban tersebut. Dalam konteks

domestik pun berdonasi untuk kegiatan sosial amal umumnya tidak dikategorikan sebagai bentuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban atas keadilan. Artinya lagi, sama halnya kita seperti setuju bahwa si kikir tak bisa dipaksa dalam mendonasikan beberapa sen uangnya ke dalam kotak amal penggalangan dana tetapi disisi lain, kita juga setuju bahwa seseorang yang menolak membayar pajak harus dipaksa untuk membayarnya, yang mana penarikan pajak tersebut diantara fungsinya guna mencapai pemenuhan tujuan keadilan di dalam negeri, dan kita juga percaya bahwa pada prinsipnya suatu sanksi bisa diterapkan asalkan sanksi itu proporsional dan efektif, katakan saja begitu. Dan kita juga setuju bahwa ada beban memenuhi kewajiban keadilan untuk membayar pajak. Maka, setidaknya bila kita berasumsi seperti itu artinya pemerintah kita adalah pihak yang punya legitimasi untuk penegakannya, dan setidaknya dengan berpikir demikian kita akan mendekati obyektifitas. Dari berbagai teori keadilan distributif global yang ada, kita tentu setuju pada dasarnya prinsip-prinsipnya dikembangkan dengan cara yang sama. Jika kita sepakat menggunakan bahasa ‘keadilan’ dalam memilah dan memilih antara kepentingan atau hak yang memilki signifikansi terhadap kewajiban atas keadilan (duties of justice), yang mana pada akhirnya menimpakan suatu tugas begitu berat kepada setiap orang, maka kita harus siap menyisihkan sebagian kecil penghasilan kita sebagaimana kita meyakini bahwa kewajiban itu wajib dilaksanakan. Kita juga harus siap untuk mengatakan bahwa kita dituntut untuk memenuhi tugas-tugas atas keadilan tersebut meskipun biaya yang harus ditanggung terkadang menjadi begitu tinggi (Miller 2007:248). Jadi, secara umum ada kesepakatan bahwa tugas keadilan sebagai lawan tugas kemanusiaan, itu lebih diprioritaskan pemenuhannya dan kadar moralitasnya lebih berat, meskipun juga tak ada kesepakatan secara universal akan hal ini dengan meyakinkan. Dengan demikian, sebagaimana Samuel Freeman (2006:34) katakan bahwa suatu prinsip tidak bisa dikategorikan sebagai prinsip keadilan distributif global kecuali dengan cara mendistribusikan semua sumber daya yang tersedia dengan adil.

Prinsip yang menjadikan sumber daya sebagai titik tolak memahami keadilan distributif (dengan tak mengindahkan hal lain,misalnya air bersih dan pemenuhan pendidikan dasar) tidaklah secara tepat mewakili definisi prinsip keadilan, sebagaimana yang telah dikemukakan Freeman. Bahkan pendefinisian tersebut seolah meyederhanakan permasalahan. Lebih lanjut, prinsip yang menyatakan bahwa kebutuhan dasar setiap orang diseluruh dunia harus dipenuhi sebagai perihal keadilan masihlah menjadi acuan prinsip keadilan distributif global yang sesuai dengan standar

yang telah saya jelaskan. Jadi, prinsip keadilan distributif ini akan terkesan begitu ambisius terkait pengaturan distribusi sumber daya alam diseluruh dunia. Satu hal yang harus dipahami dari buku ini adalah ketika kita membahas ide tentang keadilan distributif global, kita harus berasumsi bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai bagian dari skema keadilan, dan itu juga berlaku dalam kadar berat kewajiban yang sama bagi setiap orang dimanapun dia berada. Akan tetapi, hal ini janganlah ditafsirkan bahwa tugas masing-masing dari kita hanya tercurahkan kepada kewajiban global saja karena adanya beberapa petunjuk yang telah menunjukkan kepada kita bahwasanya kita memiliki kewajiban bersifat general itu terhadap semua orang sebagaimana uraian diatas. Secara terpisah dan mungkin lebih berat kadar prioritasnya bahwasanya kita juga memiliki kewajiban terhadap sesama warga negara sendiri. Jadi, tujuan dari adanya prinsip keadilan global adalah pemilahan beberapa hak (entitlements) yang mana bisa diterapkan secara global, dan menentukan kewajiban apa saja yang bisa diterapkan secara lintas batas negara guna menyalurkan entitlements tersebut.

1.2.2. Sisi positif dan negatif dari kewajiban keadilan ( duties of justice)

Salah satu perbedaan penting lainnya terkait keberadaan berbagai teori keadilan global adalah perbedaan antara kewajiban positif dan negatif. Perbedaan tersebut bersifat diametral antara keadilan dan moral kemanusiaan, sehingga kadang kewajiban yang bersifat positif dapat berupa moral kemanusiaan atau tugas keadilan. Lantas, apa perbedaan sebenarnya antara kewajiban positif dan kewajiban negatif? Jawabannya, sebagimana John Rawls utara kan, tugas positif adalah ‘kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain' , sedangkan tugas negatif 'mengharuskan kita tidak melakukan sesuatu yang buruk ' (Rawls 1971:114).

Jadi, kewajiban positif itu sebagaimana biasanya kita pahami, yaitu suatu bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu yang baik bagi orang lain, misalnya menyediakan bahan pangan bagi yang kelaparan atau mendonasikan materi kita kepada pihak lain dalam bentuk dana bantuan pembangunan internasional. Sebagaimana yang sering kita jumpai, banyak pihak memandang skeptis terkait bentuk kewajiban semacam ini, setidaknya dalam hal memandang kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang diprioritaskan dan perlu diutamakan dalam penegakan keadilannya. Akan tetapi, biasanya kita juga beranggapan bahwasanya kita juga memiliki kewajiban negatif tertentu pula, dan kita juga sering kali beranggapan bahwa kewajiban negatif ini

merupakan bagian dari kewajiban keadilan juga. Sebagaimana Rawls katakan, kewajiban negatif adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain. Misalnya, kita sering beranggapan bahwa kita memiliki kewajiban untuk tidak melanggar otonomi masyarakat lain yang nantinya akan merugikan kepentingan dasar mereka, seperti mencemari lingkungan tinggal mereka, mengeksploitasi atau menindas keberadaan mereka. Nah, pada bagian 1.3.1.1 ini, kita akan membahas argumentasi Thomas Pogge itu, yang mengatakan bahwasanya kita juga memiliki kewajiban negatif terhadap keadilan yang berupa tindakan untuk tidak memaksakan perintah dengan legitimasi kelembagaan yang tidak adil kepada pihak lain. Bagi beberapa teoretikus, sebagaimana juga Pogge, penerimaan atas kewajiban negatif ini justru adalah hal paling mendasar yang dapat membawa kita lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan yang memuaskan bagi keadilan global tersebut. Penerimaan kita atas teori kewajiban negatif dalam mewujudkan keadilan mungkin memiliki imbas kurang menyenangkan bagi penduduk negara-negara maju yang pada kenyataanya benefits mereka sebenarnya didapat dari pemaksaan perjanjian dari suatu kelembagaan yang tidak adil terhadap pihak lain.

Kewajiban negatif kadang kala harus ditempatkan lebih prioritas daripada kewajiban positif, tentu saja pendapat tersebut dalam bingkai pandangan Pogge. Argumantasi Pogge ini bertolak dari asumsi bahwasanya setiap orang secara meyakinkan memiliki kewajiban positif terhadap orang lain dibelahan dunia manapun. Tetapi, hal ini juga harus dipertegas bahwasanya ada hal-hal tertentu pula dimana kita tidak harus berbuat sesuatu untuk mereka, dan hal ini adalah masih dalam bentuk pandangan yang masih perlu diperinci. Tapi, sebagaimana Pogge amati, pandangan tersebut mungkin mengandung beberapa ‘shock therapy’ yang menarik bagi orang- orang yang menyatakan diri mereka skeptis terhadap keadilan global. Tapi juga perlu diingat kembali bahwa di awal bagian ini saya dan beberapa orang telah menyatakan bahwa kami tidak memilki bentuk ‘hutang’ apapun terhadap orang-orang diluar komunitas kami, bahkan kepada komunitas terdekat dengan komunitas kami. Teori realisme dalam hubungan internasional mungkin juga mengadopsi pandangan ini.

Saya harap lebih baik kita kembali ke gagasan awal karena banyak hal yang cukup rumit sebagaimana yang terlihat, dan tentu saja banyak hal yang harus dipertimbangkan dari sudut pandang realisme, yang mana akan memberi pengaruh tersendiri terhadap klaim keadilan ini. Salah satu klaim yang pasti kita dengar adalah bahwasanya kita tidak memiliki kewajiban moral sama sekali terhadap komunitas Saya harap lebih baik kita kembali ke gagasan awal karena banyak hal yang cukup rumit sebagaimana yang terlihat, dan tentu saja banyak hal yang harus dipertimbangkan dari sudut pandang realisme, yang mana akan memberi pengaruh tersendiri terhadap klaim keadilan ini. Salah satu klaim yang pasti kita dengar adalah bahwasanya kita tidak memiliki kewajiban moral sama sekali terhadap komunitas

kita tidak memiliki ‘hutang’ kewajiban apapun bagi komunitas masyarakat diluar kita. Maka kewajiban negatif sebagai titik tolak sangat penting dalam hal ini. Maka, kita

dalam menanggapi kritik oleh penganut teori realisme atau menanggapi skeptisme masyarakat umum yang menyatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban keadilan terhadap siapa pun diluar komunitas kita dengan melempar pertanyaan: ‘Benarkah anda percaya bahwa kita tidak memiliki kewajiban negatif atas keadilan? ’. Jika jawabnya tidak ada kewajiban sama sekali, maka dari sudut pandang keadilan, kita tidak sepatutnya melakukan suatu interaksi apapun terhadap masyarakat diluar komunitas kita. Lantas, dapatkah pandangan seperti itu bisa dijadikan alasan pembenar membunuh atau memiskinkan orang asing hanya karena mereka orang diluar komunitas kita? Kebanyakan orang merefleksikan setuju bahwa memang ada beberapa kewajiban negatif sebagai penentu tentang apa yang mungkin harus kita lakukan untuk orang lain dimana pun mereka berada. Bisa dipahami, adanya ketidaksepahaman hanya terletak pada bentuk konten apa dalam keadilan tersebut sebagai acuan kita berbuat sesuatu terhadap mereka.

1.3 Kenapa Harus Keadilan Distributif Global ?

Sebagaimana dalam pemaparan, teori keadilan distributif global mungkin membebankan kewajiban yang cukup berat untuk dilaksanakan kepada kita dimanapun kita berada, yang mana kewajiban tersebut juga memberi garansi kepada kita hak entitlements tertentu. Jika kita meyakini keberadaan teori ini, maka kita perlu penjelasan lebih lanjut kenapa keadilan global sangat diperlukan? Itulah sebabnya mengapa kita semakin sering menyuarakan isu-isu keadilan global ke permukaan? Juga Sebagaimana dalam pemaparan, teori keadilan distributif global mungkin membebankan kewajiban yang cukup berat untuk dilaksanakan kepada kita dimanapun kita berada, yang mana kewajiban tersebut juga memberi garansi kepada kita hak entitlements tertentu. Jika kita meyakini keberadaan teori ini, maka kita perlu penjelasan lebih lanjut kenapa keadilan global sangat diperlukan? Itulah sebabnya mengapa kita semakin sering menyuarakan isu-isu keadilan global ke permukaan? Juga

1.3.1 Pendekatan relasional

Pendekatan relasional menunjukkan bahwasanya keadilan distributif sangatlah relevan bagi keberadaan manusia ketika mereka hidup sebagai spesies yang sama dalam melakukan hubungan satu sama lain, hubungan antar manusia dalam berbagai bentuk tersebut sebagaimana akan kita uraikan dalam bab 3. Memang, ada beberapa orang sangat menentang terhadap teori keadilan distributif global dengan alasan karakter relasionalnya yang tidak spesifik. Alasan mereka mungkin berdasarkan fakta bahwa ada hubungan relasional timbal balik yang bersifat lebih utama kadarnya, yaitu hubungan relasional antar sesama warga negara, atau karena adanya suatu hubungan relasional tertentu yang diatur oleh pemerintah bagi sesamanya. Mereka juga percaya bahwa keutamaan hubungan antar warga negaralah yang relevan dalam mewujudkan keadilan itu, bukan mewujudkannya diluar kontek hubungan antar negara. Sehingga, mungkin hubungan relasional tersebut dengan sendirinya membatasi keadilan tersebut pada lingkup domestik saja dan menolak penerapan gagasan keadilan distributif dalam lingkup global sama sekali. Tetapi sebagai catatan kita bersama, bentuk hubungan yang membuat kita tertarik untuk mengkajinya sekarang ini adalah bentuk hubungan yang saya percayai berupa adanya beberapa bentuk hubungan alamiah antar sesama manusia, itu saja, tidak kurang dan tidak lebih. Berbagi kepada sesama manusialah yang membuat keadilan itu selalu relevan.

Salah satu pandangan yang sangat umum adalah keadilan berlaku bagi setiap orang yang berbagi tempat tinggal dengan kita, yaitu dalam dunia yang tunggal. Alasan itulah yang benar-benar menunjukkan kepada kita bahwa keadilan distributif global Salah satu pandangan yang sangat umum adalah keadilan berlaku bagi setiap orang yang berbagi tempat tinggal dengan kita, yaitu dalam dunia yang tunggal. Alasan itulah yang benar-benar menunjukkan kepada kita bahwa keadilan distributif global

Jika kita memfokuskan teori keadilan tersebut sepenuhnya dalam mengkaji struktur ekonomi, maka kita mungkin akan berpendapat bahwa keadilan distributif berlaku pula dalam struktur ekonomi global, yang merupakan sebuah sistem dalam skala besar dimana sekecil apapun tindakan setiap individu berpotensi memiliki dampak terhadap individu lain. Sebagai contoh, krisis moneter global tahun 2009 yang menunjukkan ada saling ketergantungan (antar negara) secara substansial, sehingga krisis yang pada awalnya berskala kecil dan domestik dengan cepat merambat menjadi krisis moneter global. Namun demikian, mungkin ada beberapa pihak yang tidak menjadi bagian dari struktur ekonomi global itu, dan mungkin pihak seperti itu tidak terlalu banyak untuk dewasa ini. Tak bisa dipungkiri ada beberapa masyarakat adat yang mandiri yang tidak memainkan peran dalam global cash-driven economy (mungkin dikarenakan faktor mereka tinggal di pulau terpencil yang relatif tak tersentuh oleh dunia luar, umpamanya). Lantas, apakah kita boleh mengatakan bahwa kita tidak memilki kewajiban keadilan terhadap mereka itu? Kita mungkin berpikir bahwa kita masih memiliki kewajiban kemanusiaan terhadap mereka, atau pun sebaliknya, yaitu mereka memilki kewajiban kemanusiaan kepada kita, tetapi mereka bukan merupakan bagian dari skema keadilan distributif kita meski mereka memiliki hak entlitements dalam teori keadilan global. Kebanyakan, alasan pengeculian bagi mereka ini sedikit mengada-ada.

Jika kita memfokuskan teori keadilan tersebut bukan hanya sekedar mengkaji struktur ekonomi semata, yaitu menggerakan perhatiannya lebih jauh terkait perubahan iklim. Di sini tampak jelas bahwa mereka yang menolak keberadaan teori keadilan global akan mengatakan, bahwa kita ternyata berbagi ekosistem global yang tunggal, dan sebagai bukti, tindakan kita memiliki potensi berdampak pada banyak orang di luar