1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Implementasi kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU 221999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara pusat dengan daerah. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus
dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Dalam rangka
implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu menjadi perhatian. Pembinaan terhadap
kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi bukan hanya menjadi tanggung jawab pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab daerah Sandrifna, 2002.
Kelompok usaha kecil menengah merupakan usaha kecil dan rumah tangga atau home industry. Usaha kecil dan usaha rumah tangga yang yang tidak berbadan
hukum yang terdapat di semua sektor ekonomi merupakan usaha yang banyak memberikan lapangan usaha tanpa harus mempunyai jenjang pendidikan tertentu
maupun keahlian khusus. Secara nasional kontribusi jenis usaha ini terhadap produk domestik bruto sangat signifikan. Kebijakan pemerintah untuk memberi prioritas
lebih besar dalam pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan utamanya usaha kecil dan rumah tangga maupun menengah menjadi
cukup populer dan berdampak luas pada penyerapan tenagakerja. Ke depan jenis usaha ini akan menjadi fondasi yang cukup kokoh bagi struktur ekonomi Indonesia
Manikmas, 2008:2. Di antara berbagai jenis usaha kecil menengah di Indonesia yang mendapat
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah, adalah industri makanan dan minuman. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian,
secara nasional, pertumbuhan industri makanan, minuman, dan tembakau pada 2005
sampai 2008 mengalami fluktuasi. Setelah tumbuh 2,75 persen pada 2005, pertumbuhan industri makanan, minuman, dan tembakau sempat melejit ke angka
7,21 persen pada 2006, tapi setelah itu turun menjadi 5,05 persen pada 2007 dan 3.2 persen pada 2008. Namun, kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto
PDB relatif stabil, berada, pada kisaran 28 persen-30 persen. Pada 2005 kontribusi industri makanan, minuman, dan tembakau mencapai 28,58 persen, 2006 28,46
persen, 2007 29,79 persen, dan pada 2008 28,15 persen Pikiran Rakyat, 16 Juli 2010.
Dengan meningkatnya pertumbuhan industri makanan dan minuman maka bermunculan produsen-produsen baru yang bergerak di bidang ini sehingga secara
tidak langsung akan memunculkan produk-produk baru di masyarakat. Banyaknya produk-produk baru yang bermunculan saat ini, maka sebenarnya akan terjadi
persaingan dalam memasarkan produk yang sejenis. Berikut ini contoh beberapa produk makanan ringan berbahan baku coklat
yang saling bersaing di pasaran, yakni Silver Queen, Cadbury, Beng-Beng, Top, Gery Chocolatos, Tango, dan lain sebagainya. Adapun usaha produsen agar
produknya dapat diterima di pasar adalah melalui desain kemasan yang berfungsi untuk menarik konsumen.
Desain kemasan suatu produk memiliki hubungan dengan respon psikologis individual. Menurut Gobe 2003:207 kemasan adalah iklan lima detik. Kemasan
harus dapat menarik perhatian dalam waktu yang singkat atau membangun familiaritas terhadap produk. Sebuah kemasan mempunyai setengah detik pertama
untuk dapat dikenali dan setengah detik berikutnya untuk dicintai. Oleh karena itu, desain kemasan sangat penting bagi suatu produk. Apabila kemasan suatu produk
didesain secara asal-asalan maka kecil kemungkinan akan mendapat perhatian dari konsumen sehingga ketertarikan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi
produk tersebut menjadi rendah. Menurut Ragland dalam Kartajaya, 2009:263 wadah secara fisik
menyimpan sebuah produk di dalamnya, yang biasanya juga dilengkapi dengan label, penutup, pembungkus, atau bantalan, adalah desain kemasan. Intinya hal ini adalah
segala sesuatu yang terdapat bersama dengan sebuah produk ketika produk tersebut dibeli. Aspek-aspek fisik dari sebuah kemasan adalah atribut-atribut produk yang
kasat mata seperti misalnya warna, tekstur, tulisan, bentuk kemasan, dan gambar. Aspek-aspek emosionalnya adalah perasaan-perasaan yang dikaitkan dengan atau
yang terinspirasi oleh sebuah desain kemasan yang spesifik. Aspek-aspek kognitifnya adalah kualitas dari sebuah produk yang mengkomunikasikan informasi
yang terkait dengan performa, fungsi, atau penggunaannya. Yang terakhir, aspek- aspek sosial dari desain kemasan adalah cara dimana kemasan-kemasan tersebut
memfasilitasi interaksi sosial. Menurut Bhakti dalam Natadjaja, 2002:4 kemasan seharusnya merupakan
kesan singkat dari citra produk yang ingin disampaikan oleh pabrik, dan kemasan tersebut haruslah terpadu dengan fungsi produk. Desain kemasan memerlukan
banyak pemikiran dan tentu saja bukan suatu hal yang mudah. Yang paling penting, kemasan tersebut harus menunjukkan identitas sebuah produk. Dalam banyak hal
kemasan menggambarkan merek di mata konsumen, dan bila orang mengingat merek tersebut mereka menghayalkan kemasan tersebut; dalam hal seperti ini kemasanlah
yang menghasilkan penjualan Wirya dalam Natadjaja, 2002:6 menyatakan bahwa pelanggan adalah pihak
penting yang terkait dalam konsepsi pengemasan, dan tujuan akhir dari seluruh proses pemasaran adalah menjual produk ke pelanggan. Karena itu, kemasan dapat
mempengaruhi konsumen memberikan respon positif, dalam hal ini membeli produk, karena tujuan akhir pengemasan adalah menciptakan penjualan.
Menurut Danger dalam Natadjaja, 2002:5 bahwa hubungan antara pengemasan dan pemasaran dipengaruhi oleh perilaku pelanggan yang bermacam-
macam, dan pada tingkat pelanggan sering terjadi sikap negatif terhadap keseluruhan ide pengemasan; perilaku ini telah memacu pengembangan merek sendiri, generik
dan perubahan lain pada tingkat eceran. Sikap ini harus betul-betul dimengerti oleh manajemen pemasaran karena dapat mempengaruhi seluruh perencanaan.
Hubungan antara desain kemasan produk dengan faktor psikologis pelanggan dapat dijelaskan dengan adanya suatu komunikasi visual antara desain kemasan
produk tersebut dengan indera penglihatan seseorang. Komunikasi visual adalah komunikasi melalui penglihatan. Komunikasi visual merupakan sebuah rangkaian
proses penyampaian kehendak atau maksud tertentu kepada pihak lain dengan penggunaan media penggambaran yang hanya terbaca oleh indera penglihatan.
Komunikasi visual mengkombinasikan seni, lambang, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi, dan warna dalam penyampaiannya Dalila, 2010:2.
Komunikasi visual memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai sarana informasi dan instruksi, bertujuan menunjukkan hubungan antara suatu hal dengan
hal yang lain dalam petunjuk, arah, posisi dan skala, contohnya peta, diagram, simbol dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila dikomunikasikan kepada orang
yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten. Sebagai sarana presentasi dan
promosi untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian atensi dari mata secara visual dan membuat pesan tersebut dapat diingat; contohnya poster. Juga
sebagai sarana identifikasi. Identitas seseorang dapat mengatakan tentang siapa orang itu, atau dari mana asalnya. Demikian juga dengan suatu benda, produk ataupun
lembaga, jika mempunyai identitas akan dapat mencerminkan kualitas produk atau jasa itu dan mudah dikenali, baik oleh produsennya maupun konsumennya. Dalila,
2010:2. Cenadi 2000:98 menegaskan bahwa berdasarkan penelitian, dari seluruh
kegiatan penginderaan manusia, 80 adalah penginderaan melalui penglihatan atau kasat mata visual. Karena itulah, unsur-unsur grafis dari kemasan antara lain:
warna, bentuk, merek, ilustrasi, huruf dan tata letak merupakan unsur visual yang mempunyai peran terbesar dalam proses penyampaian pesan secara kasat mata
visual communication. Hal ini menegaskan bahwa desain kemasan dapat menjadi prioritas utama seseorang sebelum membeli suatu produk. Sebagaimana pendapat
Klimchuk dan Krasovec 2006:49 bahwa tujuan desain kemasan bisa diarahkan untuk menampilkan atribut unik sebuah produk serta memperkuat penampilan
estetika dan nilai produk.
Hasil penelitian seorang psikolog pemasaran, Louis Cheskin di tahun 1930-an menunjukkan bahwa pada desain kemasan suatu produk juga melekat faktor-faktor
psikologis di dalamnya. Cheskin meneliti bagaimana respon-respon emosional konsumen terhadap kemasan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa desain
kemasan memberikan pengaruh yang besar terhadap pengalaman seseorang akan isi di dalam kemasan tersebut Swa Digital, 31 Mei 2010.
Atkinson dalam Ginting, 2003 mengemukakan bahwa desain kemasan produk tentu dipersepsikan secara berbeda oleh masing-masing konsumen. Hal ini
dikarenakan persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Oleh karenanya, setiap individu bisa jadi memiliki
persepsi yang sama atau berbeda mengenai desain kemasan suatu produk. Rifa’i 2005 meneliti tentang analisis persepsi konsumen mengenai atribut
produk air minum kemasan merek Cleo. Atribut produk dilihat dari desain, bungkus atau kemasan, merek, dan label produk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
didapat satu faktor yang menjadi pendorong konsumen untuk melakukan pembelian air minum kemasan merek Cleo yaitu atribut produk yang dimilikinya. Adapun
variabel yang terlibat di dalamnya adalah airnya lebih jernih, model kemasan enak dipegang, warna kemasan menarik, ada label halal, ada masa kadaluarsa, berkesan
bila membeli, kemasan kuat, model kemasan menarik, istilah merek unik, model kemasan mudah dikenali, ada label SNI, ada segel kemasan, logo menarik, airnya
lebih segar, airnya berekstra oksigen, dan ada izin Depkes. Dalam analisis faktor, responden merespon positif tentang apa saja yang ditawarkan Cleo melalui atribut
produknya. Menurut Kotler 2001:198 proses terjadinya persepsi berawal dari proses
kealaman fisik, yaitu objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenal alat alat indera atau reseptor. Kemudian terjadi proses fisiologis, yaitu stimulus yang diterima
oleh alat indera dilanjutkan oleh saraf sensoris ke otak. Setelah itu berlaku proses proses psikologis, yaitu suatu proses di otak sehingga individu dapat menyadari apa
yang ia terima dengan reseptor itu, sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya. Dan proses terakhir dari persepsi yaitu individu menyadari tentang apa
yang diterima melalui alat indera atau reseptor yang kemudian mendapatkan respon dari individu melalui berbagai macam bentuk. Dengan demikian dalam proses
persepsi itu selalu diawali oleh adanya rangsangan stimuli serta diakhiri dengan respon.
Dengan adanya stimulus berupa desain kemasan tersebut, maka akan diharapkan individu memberi suatu respon atau reaksi mengenai objek tersebut yang
pada akhirnya akan membentuk suatu persepsi dari para konsumen mengenai desain kemasan yang ditampilkan. Persepsi tidak hanya sekedar perekaman pasif dari
stimulus mengenai alat indera, karena meskipun isi sensorik selalu ada dalam persepsi, namun apa yang dihayati akan terpengaruh oleh pengalaman yang telah
terbentuk dan pengetahuan masa lalu. Oleh sebab itu, persepsi seseorang terhadap desain kemasan yang bertindak
sebagai suatu sumber informasi mengenai produk yang ditawarkan kepada konsumen akan mempengaruhi keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh konsumen terhadap
produk yang ditawarkan tersebut. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki konsumen tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi sikap konsumen terhadap sesuatu
produk yang ditawarkan, dan sikap tersebut akan mempengaruhi intensi membeli yang dimilikinya atas produk yang ditawarkan kepadanya.
Intensi membeli adalah niat konsumen untuk berperilaku secara khusus dengan keinginan untuk memperoleh, menentukan, dan menggunakan produk atau
jasa Mowen, 1990:228. Menurut Dharmesta dalam Zuraida dan Uswatun, 2001 bahwa intensi atau
niat terkait dengan sikap dan perilaku. Niat juga dapat diartikan sebagai sebuah perangkap atau perantara antara faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku.
Intensi mengindikasikan seberapa jauh seseorang mempunyai kemauan untuk mencoba. Intensi menunjukkan pengukuran kehendak seseorang dan berhubungan
dengan perilaku yang terus menerus.
Penelitian ini difokuskan pada permasalahan tentang bagaimana penilaian atau persepsi mahasiswa terhadap desain yang ada pada suatu kemasan produk dan
bagaimana intensi membeli mereka pada suatu produk serta bagaimana hubungan antara kedua variabel tersebut.
Oleh karena itu, apakah persepsi seseorang tentang desain kemasan suatu produk yang beredar selama ini, menimbulkan adanya intensi niatan untuk membeli
produk tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti. Atas dasar pemikiran tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk meakukan penelitian dengan mengambil
judul “Hubungan Persepsi tentang Desain Kemasan Produk dengan Intensi Membeli”.
B. Rumusan masalah