Latar Belakang Penelitian Proses Pembentukan Identitas Diri pada Waria di Kabupaten Sumedang.

Meutia Garnavitia, 2015 Proses Pembentukan Identitas Diri Pada Waria Di Kabupaten Sumedang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, fokus penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Selama masa hidupnya manusia akan selalu berkembang melalui tahap-tahap perkembangannya. Bila ditinjau dari pandangan bahwa manusia sebagai makhluk holistik, maka perkembangan manusia tidak akan dapat dilepaskan dari interaksi antara unsur biologis, psikologis, dan sosial. Ketiga unsur ini saling mempengaruhi sebagai satu kesatuan Maramis, 1990. Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender, karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing- masing jenis kelamin. Masih banyak orang berpendapat bahwa jenis kelamin dan gender itu mempunyai arti yang sama. Padahal dua kata tersebut memiliki dua arti yang sangat berbeda. Menurut WHO 2010, perbedaan jenis kelamin dan gender adalah “Sex” refers to the biological and physiological characteristics that define men and women. “Gender” refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women. Dari definisi yang dimaksud oleh WHO, jenis kelamin adalah perbedaan biologis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dan perempuan, sedangkan gender lebih menitikberatkan pada konstruksi sosial yang ditanamkan oleh masyarakat seperti peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang suatu masyarakat tertentu dianggap tepat untuk laki-laki dan perempuan. WHO juga menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah kategori jenis kelamin, sedangkan maskulin dan feminin adalah kategori gender. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam memahami dan menerima perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam memahami dan menerima perilaku peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin. Gangguan identitas jenis kelamin ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya Kaplan, 2002. Salah satu jenis gangguan identitas jenis kelamin adalah waria. Waria digolongkan kedalam istilah transeksual, karena selain memiliki identifikasi sebagai seorang wanita, ia juga mengubah penampilannya seperti seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Selain itu, menurut seorang psikolog dan pemerhati gender Faiz Nainggolan, 2011 menegaskan konsep transeksual yakni, seseorang yang normal secara genetik dan tidak memiliki ciri interseks secara fisik, merasa dirinya anggota gender berkebalikan dari gender yang dimilikinya, merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, menginginkan menyesuaikan tubuh dengan jiwanya dan mengganti genital sesuai dengan gender yang dimilikinya, menginginkan diakui dan hidup secara sah menurut hukum sebagai anggota gender yang dimiliki. Hampir semua orang mengenal waria atau wanita tapi pria, waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Pada tahun 2009, berdasarkan data Yayasan Srikandi Sejati Hamid, 2011 yang merupakan sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria Indonesia mencapai 6.000.000 orang. Karena waria menjadi salah satu kelompok masyarakat yang diindikasi rentan terhadap perlakuan diskriminatif di Indonesia, sehingga data ini menjadi perlu untuk diperhatikan. Kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Secara individu, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, antara lain dikarenakan fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki- laki normal, tetapi bukan sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahannya tidak sekadar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran Kartono, 1989. Pencarian identitas diri bagi waria tidaklah mudah. Seorang waria mengalami krisis identitas sebelum ia memutuskan pilihan identitas dirinya untuk menjadi waria. Konflik identitas diri yang dialami waria hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap proses pembentukan identitas dirinya. Marcia 1993 menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan dua dimensi dasar yaitu ada tidaknya eksplorasi krisis dan komitmen. Eksplorasi merupakan bagian dari identitas dan dapat dikatakan sebagai indikator utama dari perkembangan identitas, dimana seorang individu mempelajari atau memperdalam suatu bidang yang mereka pilih dan dapat membantu individu dalam menemukan identitas dirinya. Menurut Waterman Marcia, 1993, eksplorasi krisis berkaitan dengan suatu periode aktivitas usaha atau keaktifan dalam bertanya dalam mencapai keputusan tentang tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan keyakinan. Komitmen menurut Waterman Marcia, 1993 adalah membuat suatu bentuk keputusan mengenai identitas serta adanya hubungan yang saling terkait dalam aktivitas yang signifikan yang ditunjukkan oleh implementasi dari pilihan yang telah ditetapkan. Komitmen seperti keyakinan yang menunjuk pada sebuah penentuan atau keputusan pilihan dari berbagai kemungkinan pilihan yang membingungkan Marcia, 1993. Waria merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk. Beberapa tahun belakangan ini, salah satu kasus laki-laki yang mengubah dirinya menjadi perempuan dikutip Alia Fathiyah, 2013 dalam Tempo.com. Laki-laki yang dimaksud adalah Renaldy Rahman yang berubah menjadi sesosok perempuan cantik yang dikenal dengan nama Dena Rahman. “….Dena Rachman mulai berani mengubah penampilannya menjadi perempuan ketika masuk Universitas Indonesia tahun 2005. Dia dikenal sebagai artis cilik dengan lagu Ole-Ole, lagu religi Rukun dan Damai, serta pembawa acara Krucil di SCTV. Dena juga sempat membintangi film laga Misteri Gunung Berapi dan Karma Pala. Dia mundur dari dunia entertainment ketika masuk SMAN 6 Jakarta.” Di era 90-an, Dena Rachman dikenal sebagai artis cilik bernama Renaldy. Fenomena ini tidak hanya dialami oleh Dena Rachman saja, banyak sekali laki-laki yang mengubah penampilan dirinya menjadi layaknya seorang perempuan atau disebut dengan waria. Pada konteks yang sama, fenomena tersebut juga terjadi di lingkungan tempat tinggal peneliti yaitu di Kota Sumedang, terdapat waria bernama “Oki” yang sebelumnya adalah kakak kelas peneliti di Sekolah Menengah Atas SMA, dan peneliti ketahui sebelumnya bahwa sebelum “Oki” mengubah dirinya menjadi waria, “Oki” adalah seorang laki-laki yang berpenampilan seperti laki-laki biasanya yaitu berambut pendek, memakai celana dan baju laki-laki, sedangkan “Oki” yang sekarang tampil berani dan percaya diri dengan rambut panjangnya yang lurus, pakaian-pakaian perempuan yang ketat di badan, dan memakai sandal perempuan atau high heels. Selain “Oki”, peneliti juga mengenal “Euis” dan “Bronita” yang sebelumnya bekerja di Salon yang sama dengan “Oki”. Penampilan “Euis” dan “Bronita” hampir sama dengan “Oki” yaitu memakai pakaian-pakaian perempuan yang ketat di badan dan memakai sand al perempuan. Hanya “Euis” yang memiliki rambut lurus sebahu, sedangkan “Bronita” memiliki rambut panjang yang lurus. Dilihat dari usia “Euis” adalah yang paling tua dan paling senior , lalu “Bronita”, dan yang paling muda adalah “Oki”. Peneliti ter tarik dengan “Oki”, “Euis”, dan “Bronita” karena di Kota Sumedang “Oki” merupakan waria yang terkenal, cantik, dan sudah mandiri. Diusianya yang masih terbilang muda yaitu 25 tahun, Oki sudah ahli dalam merias wajah pengantin. Oki juga mempunyai salon dan Wedding Organizer miliknya sendiri. Oki pun pernah beberapa kali menjuarai lomba rias pengantin dan menjuarai pemilihan Ratu Waria se-Jawa Barat. Kemudian “Euis” adalah waria senior di lingkungan tempat tinggal peneliti yang juga mempunyai salon sendiri dan terkenal karena keahliannya dalam merias wajah, pernah menjuarai lomba rias pengantin dan juga jam terbang yang terhitung lebih lama berkecimpung di dunia salon. Lalu “Bronita” adalah waria yang cukup terkenal juga karena keterampilannya dalam merias wajah bagus dan rapi. Saat ini “Bronita” belum mempunyai salon sendiri, sehingga masih ikut dengan salon milik orang lain. “Bronita” cukup dikenal juga karena kulitnya yang gelap sehingga, terlihat berbeda dari waria yang lain di Sumedang. Masalah mengenai sosok waria ini sangat menarik minat peneliti untuk dikaji secara ilmiah karena fenomena waria di Indonesia sampai saat ini makin meningkat. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengeksplorasi bagaimana proses pembentukan identitas diri pada waria.

B. Fokus Penelitian