Gambaran Pembentukan Identitas Diri Pada Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual

(1)

GAMBARAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA

PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh :

MIRNA S. GIOVANY RITONGA

051301142

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Gambaran Pembentukan Identitas Diri Pada Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual Mirna S. Giovany dan Eka Ervika

ABSTRAK

Erikson (1968) menyatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri. Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang (Erikson, 1968).

Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas terbagi atas empat, yaitu Foreclosure, Moratorium, Diffusion, dan Achievement. Remaja yang mengalami kekerasan seksual juga menghadapi tugas perkembangan yang utama yaitu menemukan kejelasan identitas. Dampak yang ditimbulkan mempengaruhi remaja dalam pembentukan identitasnya. Remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami krisis dalam pencarian identitas diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan datanya adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah dua orang remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah pola asuh, homogenitas lingkungan, model untuk identifikasi, pengalaman masa kanak-kanak, perkembangan kognisi, sifat individu, dan pengalaman kerja.


(3)

Description of Self Identity Formation on the Sexual Abuse’s Victim Teenage Girl Mirna S Giovany and Eka Ervika

ABSTRACT

Erikson (1968) said that one of the process centers to the teenagers with adolescence self identity formation. Self identity formation would be realize and appreciate themselves which personal greed and not lost in the role. A person who experiencing identity crisis and is in the process of looking for identity is a person that would be able to determine who or what they want in the future.

A self identity formation can describe within the identity of status based on presence or absence of the crisis (exploration) and commitment. The identity of status divided into four parts, which is consist of Foreclosure, Moratorium, Diffusion and Achievement.

Against sexual abuse young girl face the “job” is in every stage of development is to determine clarity identity. The impact of influence the teenager in her self identity. Against sexual abuse young girl experiencing the crisis for identity.

This research is acknowledged for how the identity formation in against sexual abuse young girl and factors affecting. The sampling technique on this research is also theory based or operational construct sampling. Data collection method is conducted by in-depth interview. The research respondents is two person of against sexual abuse young girl.

The result of this research is showing each respondent have the identity of status differences. The factors affecting are the type of parenting , homogenity of environment , the model of identification, childhood experiences, cognitive development, individual characteristics, and work experiences.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa karena berkat, anugerah yang melimpah sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Gambaran Pembentukan Identitas Diri Pada Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayah, Ibu atas segala cinta, kasih sayang, do’a serta dukungannya kepada penulis. Semoga Tuhan YME selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya dan diberikan semangat dalam menjalani hari tua. Tak lupa pula kepada abang, kakak, dan kedua adikku yang selalu memberikan dukungan dan perhatian dalam proses penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Eka Ervika, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis dengan penuh kesabaran, pengertian dan semangat memberikan masukan, arahan, saran dan kritikan serta energi baru sehingga sangat membantu penulis dalam memahami dan menemukan esensi dari sebuah penelitian dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat dan rintangan yang sangat berat.

3. Ibu Wiwik Sulistyaningsih, M.Si atas bimbingannya selama seminar dan selaku dosen pembimbing.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, bimbingan, masukan dan nasehat bapak dari awal saya kuliah sampai saat ini.


(5)

5. Ibu Juliana Saragih, M.Si terima kasih atas bantuannya sekaligus masukan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Psikologi USU : Pak Iskandar, Pak Aswan, Pak Wanto, Kak Ari, Kak Devi, Bang Ali, Bu Ila, Bu Ida yang selama ini membantu dalam urusan administrasi. Kak Erna yang membantu di Psycholib. Terima kasih ya.

7. Kak Ganda yang turut membantu dan memberi masukan terhadap pengerjaan skripsi ini. 8. Kak Poppy, Kak Wiwik, Kak Fitri, Hendra, dan para staf PKPA lainnya yang turut

mendukung serta membantu penulis memberikan informasi tentang responden.

9. Kak Widya dan para staf Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) yang telah memberikan masukan dan informasi tentang responden.

10.Sepupuku Grace Sinaga, terimakasih buat waktu untuk membantu mencari referensi dan fotocopy-an gratisnya ya serta dukungannya ya.

11.Teman-teman Frenopsi, terimakasih untuk aksi-aksi yang menghibur selama duduk bersama di bangku kuliah serta masukannya, waktu yang telah berlalu akan memberi makna lebih di kemudian hari. Buat Pikey, semangat ya.

12.Kepada tim magang Eka Ryantika dan Putri Arida, yang selalu memberi angin segar dengan infotainmentnya serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Kepada Humanika Solutama Consulting, yang telah memberi kesempatan untuk magang sehingga keahlian dalam menguasai alat tes dapat dilatih.

14.Kepada Adrian B. Hutagalung yang telah mengisi hari-hari penulis sekaligus memberikan arahan, kritikan dan motivasi kepada penulis. Terima kasih ya.


(6)

15.Serta seluruh pihak yang turut memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Medan, Maret 2010

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian... 15

D. Manfaat Penelitian... 15

1. Manfaat Teorits ... 15

2. Manfaat Praktis ... 15

E. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. LANDASAN TEORI ... 18

A. Kekerasan Seksual... 18

1. Pengertian Kekerasan Seksual... 18

2. Bentuk-bentuk Kekerasan... 19

3. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan terhadap Anak... 4. Efek Kekerasan Seksual ...25

B. Identitas Diri...29

1. Pengertian Identitas Diri...29

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri...30

3. Status Identitas...32


(8)

1. Pengertian Remaja...34

2. Usia Masa Remaja D. Gambaran Pembentukan Identitas Diri Remaja Korban Kekerasan Seksual... E. Paradigma Penelitian BAB III. METODE PENELITIAN ...38

A. Pendekatan Kualitatif...38

B. Partisiapan dan Lokasi Penelitian...40

1. Karakteristik Partisipan... 40

2. Jumlah Partisipan Penelitian ...40

3. Prosedur Pengambilan Partisipan...41

4. Lokasi Penelitian ...42

C. Metode Pengumpulan Data...42

1. Wawancara ...42

D. Alat Bantu Pengumpulan data ...43

1. Alat Perekam (Tape Recorder) 2. Pedoman Wawancara...44

E. Kredibilitas Penelitian... 45

F. Prosedur Penelitian...46

1. Tahap Persiapan Penelitian...46

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian...47

3. Metode Analisa Data...49

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI...51

A. Deskripsi Data... 51

1. Responden I... ...51


(9)

B. Analisa Data

1. Responden I ... ...53

2. Responden II ... ...69

C. Interpretasi Data...104

1. Responden I... ....104

2. Responden II...108

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...123

A. Kesimpulan...123

B. Diskusi ... ..125

C. Saran ... ..127

1. Saran Praktis... ...127

2. Saran Metodologis ... ..128 DAFTAR PUSTAKA


(10)

Gambaran Pembentukan Identitas Diri Pada Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual Mirna S. Giovany dan Eka Ervika

ABSTRAK

Erikson (1968) menyatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri. Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang (Erikson, 1968).

Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas terbagi atas empat, yaitu Foreclosure, Moratorium, Diffusion, dan Achievement. Remaja yang mengalami kekerasan seksual juga menghadapi tugas perkembangan yang utama yaitu menemukan kejelasan identitas. Dampak yang ditimbulkan mempengaruhi remaja dalam pembentukan identitasnya. Remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami krisis dalam pencarian identitas diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan datanya adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah dua orang remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah pola asuh, homogenitas lingkungan, model untuk identifikasi, pengalaman masa kanak-kanak, perkembangan kognisi, sifat individu, dan pengalaman kerja.


(11)

Description of Self Identity Formation on the Sexual Abuse’s Victim Teenage Girl Mirna S Giovany and Eka Ervika

ABSTRACT

Erikson (1968) said that one of the process centers to the teenagers with adolescence self identity formation. Self identity formation would be realize and appreciate themselves which personal greed and not lost in the role. A person who experiencing identity crisis and is in the process of looking for identity is a person that would be able to determine who or what they want in the future.

A self identity formation can describe within the identity of status based on presence or absence of the crisis (exploration) and commitment. The identity of status divided into four parts, which is consist of Foreclosure, Moratorium, Diffusion and Achievement.

Against sexual abuse young girl face the “job” is in every stage of development is to determine clarity identity. The impact of influence the teenager in her self identity. Against sexual abuse young girl experiencing the crisis for identity.

This research is acknowledged for how the identity formation in against sexual abuse young girl and factors affecting. The sampling technique on this research is also theory based or operational construct sampling. Data collection method is conducted by in-depth interview. The research respondents is two person of against sexual abuse young girl.

The result of this research is showing each respondent have the identity of status differences. The factors affecting are the type of parenting , homogenity of environment , the model of identification, childhood experiences, cognitive development, individual characteristics, and work experiences.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang gadis, 13 tahun berinisial VIK mengadukan peristiwa yang ia alami kepada Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Sumatera Utara, Kamis, 12 Juli 2007. Remaja yang masih duduk di bangku kelas III SMP ini menceritakan semua peristiwa yang ia alami. Menurutnya, kakak kandungnya berininisial TS, telah melakukan pelecehan seksual ketika ia tinggal di rumahnya di Kota Lintang Atas, Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Nangroe Aceh Darussalam. Hasil visum yang dikeluarkan puskesmas setempat juga memperkuat keterangan korban. Kini, VIK hanya bisa berharap kasus ini dapat segera dibawa ke pengadilan. Tujuannya, agar TS dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya serta dapat dihukum seberat-beratnya. VIK meyakini tidak tertutup kemungkinan banyak gadis remaja korban Tsunami yang mengalami nasib yang sama seperti dirinya (www.metrotvnews.com)

Berita tentang kekerasan, khususnya kekerasan seksual bukan menjadi hal yang langka di negara kita. Bahkan pemberitaan kasus kekerasan seksual meningkat melalui media massa, mulai dari media cetak, elektronik, dan audio-visual. Korban kekerasan seksual sendiri beragam, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang orang dewasa. Pelakunya adalah orang-orang yang paling banyak berinteraksi dengan korban, seperti ayah, ibu, juga teman. Pelaku dan korban dapat saja saling kenal melalui aktivitas yang sama, teman lama, tetangga, teman sekelas, teman kerja, kencan buta, ataupun teman seperjalanan (Warshaw dalam Ekandari, dkk, 2001). Koss (dalam Matlin, 2008) juga menyebutkan bahwa sekitar 85 % korban perkosaan mengenal pelaku.


(13)

Tindak kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es, kejadian yang sampai pada publik jauh lebih sedikit dibandingkan kejadian yang nyata terjadi dalam masyarakat. Tingkat kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini mengalami laju pertumbuhan yang pesat, baik kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual. Kalau disusun sebuah daftar kejadian kekerasan, maka dapat dipastikan setiap hari jumlahnya akan terus bertambah. Peningkatan tindak kekerasan seksual secara kualitatif terlihat dari pelaku perkosaan tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Pelakunya melibatkan dua orang bahkan lebih (Bagong. S, dkk, 2000). Fenomena ini dialami oleh Bunga yang dikutip pada artikel on-line Harian Kompas (2008). Saat melintas di sekitar lokasi kejadian, korban bertemu dengan teman lainnya, laki-laki. Bunga pun asik mengobrol dan lupa waktu. Saat teman perempuannya pulang, teman lelakinya memaksa Bunga ke sebuah rumah kosong. Lelaki itu juga memanggil teman-temannya untuk memperkosa Bunga.

Tindak kekerasan yang dialami anak-anak jarang muncul di hadapan publik dan sulit diteliti, sebab masalah ini seringkali diperlakukan sebagai masalah internal keluarga, dan anak sendiri sebagai korban cenderung lebih bersikap menutup diri, takut dan bersikap pasrah daripada mencoba melawan (Suyatno dan Susanti, dalam Bagong. S, dkk, 2000). Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak. Hal tersebut diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Perlu disadari bahwa kekerasan pada anak sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik saja, melainkan juga berupa eksploitasi, misalnya melalui pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan


(14)

kekerasan-kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse) (Gelles, 1982). Tindak kekerasan terhadap anak-anak baru memperoleh perhatian publik secara lebih serius ketika korban-korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah makin banyak, dan menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-anak.

Persoalan kekerasan pada anak di Indonesia mulai diperhatikan ketika dilangsungkan Seminar Penelantaran dan Perlakuan Salah terhadap Anak di Yogyakarta pada tanggal 4-7 Agustus 1982. Baru 17 tahun berikutnya, yakni tepatnya bulan Maret 1999 di kota yang sama diadakan lagi seminar tentang child abuse yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gajah Mada. Istilah child neglect dan child abuse digunakan untuk menggambarkan terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak pada seminar terakhir. Setahun sebelumnya, dalam rangka menyambut peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 1998 di Bandung diterbitkan sebuah buku berisi kumpulan kisah menyedihkan yang dialami anak-anak di berbagai pelosok Tanah Air berjudul “Anak Indonesia Teraniaya: Potret Buram Anak Bangsa” (Bandung: Remaja Rosdakarya). Buku tersebut secara ringkas membeberkan kasus-kasus kekerasan yang dialami anak-anak. Mulai dari kisah tentang anak yang menjadi korban penculikan, penganiayaan, pembunuhan hingga kisah tentang anak yang diperkosa (dalam Bagong .S, dkk, 2000).

Berdasarkan data dan kasus yang terpantau oleh Hotline Services Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2009 KomNas Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. Sekitar 62,7 persen dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk


(15)

sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis. (www.komnaspa.or.id)

Perkosaan menjadi bentuk spesifik kekerasan seksual. Beberapa perkosaan direncanakan, dan beberapa diantaranya dianggap lebih impulsif, suatu kejadian yang dilakukan secara spontan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam suasana kencan. Korban perkosaan oleh teman kencan cenderung disalahkan dan menyalahkan diri sendiri daripada korban yang diperkosa oleh orang yang tidak dikenal. Tower (2002) membagi kekerasan seksual (sexual abuse) berdasarkan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu familial abuse dan extrafamilial abuse.

Perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Menurut catatan Saratino (dalam Bagong dkk, 2000), sebanyak 300 ribu anak telah menjadi obyek kekerasan seksual (sexual abuse) selama berkali-kali dalam setahunnya. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Tower (2002) juga mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Hal itu terjadi karena perempuan dianggap kaum minoritas yang lemah dan sangat rentan. Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Jika dilihat berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun).

Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan intergrasi kepribadian. Faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak ditandai dengan perubahan pada masa remaja meliputi perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa, kematangan seksual yang disertai dorongan-dorongan dan emosi baru, kesadaran terhadap diri sendiri (keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang norma,


(16)

tujuan, dan cita-cita), kebutuhan persahabatan yang bersifat heteroseksual, serta munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan masa dewasa (Yusuf, 2004).

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008), tugas utama masa remaja adalah memecahkan krisis identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dam memahami peran nilai dalam masyarakat. Pembentukan identitas mulai dengan munculnya attachment, perkembangan perasaan diri (sense of self), dan munculnya kemandirian pada masa bayi, dan mencapai fase akhirnya dengan suatu tinjauan dan integrasi kehidupan pada masa lanjut usia. Identitas merupakan suatu keterangan untuk menjawab ”who am I.” Identitas diri merupakan pegangan dalam menjalankan peranan tertentu dalam kehidupan sehingga remaja tidak mengalami kebingungan dalam menjalankan peran (role confusion). Kebingungan ini muncul dalam satu dari dua pilihan: individu menarik diri, memisahkan diri dari teman-teman sebaya dan keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok. Krisis identitas selama masa remaja sebenarnya merupakan krisis yang paling berat dan paling berbahaya, karena penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan (Erikson, 1989). Krisis identitas menjadi bentuk kegagalan sementara yang berfungsi untuk menetapkan suatu identitas stabil. Identitas diri dimulai pada masa anak-anak kemudian berlanjut dan berkembang sepanjang siklus kehidupan, dan menjadi tugas utama pada masa remaja (Erikson dalam Kroger, 2000). Tahap yang menentukan pembentukan identitas adalah masa remaja yang dimulai umur 13 atau 14 tahun, pada usia ini individu sangat terlibat dalam proses menentukan diri (yang sering diiringi dengan rasa takut dan ketegangan), di mana segala sasaran pribadi, tujuan sosial dan cita-cita antarpribadi harus diuji kembali dan diubah (Erikson, 1989).

Perkembangan identitas merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa dalam membentuk kepribadian yang sehat. Apabila krisis identitas


(17)

dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang terintegrasi, koheren, dan jelas (Erikson, 1989). Erikson meyakini bahwa perkembangan identitas pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmen terhadap masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi (Cobb dalam Yusuf, 2004). Identitas diri merujuk kepada pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup (Woolfolk dalam Yusuf, 2004). Seseorang yang mengembangkan suatu identitas yang sehat akan bersikap fleksibel, adaptif, dan terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat, relasi, dan dalam karir.

Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, (1994) menyatakan bahwa perkembangan identitas diri terjadi karena adanya eksplorasi dan komitmen. Kesempatan dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang beragam, peraturan, dan hubungan meningkatkan pembentukan identitas diri (Kroger, 2000). Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994) menggunakan eksplorasi dan komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status identitas, yaitu identity achievement (pencapaian identitas), foreclosure (penutupan), moratorium (penundaan), dan identity diffusion (difusi identitas). Status identitas ini merupakan empat cara dalam mencapai identitas bagi remaja akhir (usia 18-22 tahun). Identitas diri dibentuk melalui hubungan yang timbal balik antara individu dengan lingkungan. Menurut Fuhrmann (1990), pada lingkungan yang heterogen, individu dihadapkan pada banyak pilihan sehingga ia sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu keputusan atau pilihan tertentu. Individu memperoleh identitas yang moratorium dalam keadaan ini. Keputusan-keputusan tidak diambil sekali dan untuk selamanya, tetapi harus ditetapkan berkali-kali, seperti siapa yang akan dipacari, apakah


(18)

harus putus atau tidak, apakah melakukan hubungan seksual atau tidak, apakah menggunakan obat-obatan atau tidak, dan lain-lain (Santrock, 1995).

Remaja yang mengalami kekerasan seksual juga memiliki tugas perkembangan yang sama dengan remaja lain. Pengalaman traumatis, stigma negatif, dan efek lain yang timbul akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban memberi dampak yang akan mempengaruhi pembentukan identitas dirinya. Tahapan perkembangan menjadi terganggu akibat efek yang ditimbulkan (Beitch-man et al, dalam Tower, 2002). Remaja yang mengalami kekerasan seksual mengalami dampak terhadap perkembangan dalam berbagai hal tertentu, khususnya untuk memenuhi tugas perkembangan yang utama yaitu memecahkan krisis identitas diri. Dampaknya mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan mempengaruhi masa remaja hingga dewasa.

Durasi kekerasan mempengaruhi derajat trauma korban. Menurut Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain, khususnya pada korban incest. Karakteristik dan durasi gangguan perkosaan yang oleh beberapa orang disebut sindrom trauma perkosaan (Burgess & Holmstorm dalam Davidson,dkk., 2006) sangat tergantung pada kehidupan korban sebelum dan sesudah penyerangan tersebut. Kekerasan seksual juga berlanjut selama periode waktu tertentu. Kekerasan seksual yang terjadi sebagai suatu rangkaian menimbulkan trauma yang lebih lagi dibandingkan dengan yang terjadi sekali. Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) mengemukakan empat jenis dampak traumatis sexual abuse, yaitu trauma secara seksual (traumatic sexualization), penghianatan (betrayal), merasa tidak berdaya (powerless), dan mendapat stigma negatif dari lingkungan (stigmatization). DSM-IV-TR menyebut perkosaan sebagai jenis trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stres pascatrauma.


(19)

Melalui perspektif perkembangan, anak yang menjadi korban penganiayaan seksual mengalami konsekuensi jangka pendek atau jangka panjang dalam masa mudanya hingga dewasa (Gerwitz & Edleson, Watts-English, Forston, Gibler, Hooper, De-Bellis dalam Maschi, 2009). Konsekuensinya dapat dilihat dari simtom internal dan perilaku eksternal. Simtom internal meliputi masalah-masalah afektif dan somatis. Sedangkan perilaku eksternal tampak pada korban yang tidak mengikuti aturan-aturan, bahkan perilaku agresif (Maschi, 2009). Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh responden. Ia mengalami konsekuensi yang dapat dilihat dari perilaku ekternal. Bulan mulai terpengaruh pergaulan yang buruk, kemudian mengabaikan peraturan :

” Tulah, di situ Bulan mulai kenal-kenal cowok-cowok Medan lah di gang-gang situ. Tau lah anak-anak Medan yang gini-gini. Bulan udah mulai bandel di situ. Udah ngikut keluar.” Bulan (Komunikasi Personal, 9 Februari 2010)

”Akhirnya….Itulah. di situ lah Bulan bandel, udah drastis bandel, udah diresmikan bandel. Udah potong pita di situ, udah resmi bandel.” Bulan (Komunikasi Personal, 9 Februari 2010)

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres setelah perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi setelah perkosaan seperti sakit secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa kurang percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan (Ekandari, dkk, 2001). Reaksi yang timbul pada beberapa remaja korban pelecehan seksual berupa depresi, menarik diri, atau perilaku yang melukai diri sendiri, keluhan fisik, tindakan ilegal, melarikan diri, atau substance abuse (Papalia, 2004). Seperti yang diungkapkan responden I bernama Bulan (bukan nama sebenarnya) yang sempat menggunakan obat-obatan sebagai reaksi akibat peristiwa yang dialaminya. Responden II bernama Cinta (bukan


(20)

nama sebenarnya), ia merasa malu, takut, dan sempat trauma sebagai reaksi stres yang dirasakannya setelah pencabulan yang dialaminya :

”Sempat malu. Paling Cinta malu, kalo malu sama keadaan Cinta sekarang sama tetangga-tetangga Cinta. Gini kak, pertamanya Cinta down kan, keluar pun malu. Cuma orang-orang kayak jaksa, yang udah bertitel, dia gak jijik sama Cinta. Itu yang Cinta heran….Takut, trauma itu ada.” Cinta (Komunikasi Personal, 16 Februari 2010).

“Ternyata dia, setelah Bulan hamil, 4 bulan, ditinggalin sama dia…..” Bulan (Komunikasi Personal, 9 Februari 2010).

“Sempat sih Bulan make obat gitu, tapi cuma nyimeng, suntik, shabu, gak pernah lah.” Bulan (Komunikasi Personal, 11 November 2009).

Menurut Tower (2002) kebanyakan remaja yang menjadi korban memiliki harga diri yang rendah, bingung akan masa depannya, dan turut pada nilai-nilai yang dianut oleh orangtua. Davidson, dkk. (2006) juga menyatakan konsekuensi yang timbul pada korban perkosaan berupa kebencian terhadap diri sendiri, rasa bersalah, kemarahan, pengkhianatan, depresi, kecemasan, dan terjadi krisis keyakinan. Simon-Roper (1996) mengemukakan bahwa korban kekerasan seksual memiliki gambaran diri yang negatif yang berkembang dari berbagai sumber yang beragam. Anak yang mengalami kekerasan dalam hubungan selama jangka waktu tertentu gagal mengintergrasikan sense of self sendiri. Kegagalan dalam mengintegrasikan diri disebabkan oleh berbagai stigma yang membingungkan anak, yang diperoleh dari berbagai sumber. Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan D. Stigma negatif bersumber dari ejekan dari abang dan teman-temannya :

“Dibilang si Haris kayak gini ‘Dasar kau janda, lonte.’ Gak senang lah aku, ngamuk lah aku, berkelahi lah kami….Kawan-kawan juga sering ngejek ‘Dasar,udah mamaknya mati, orang miskin, diperkosa bapaknya lagi.” Kayak-kayak gitu lah.” D (Komunikasi Personal, 7 Februari 2010).

Korban berinisial D sering diejek dan mendapat stigma negatif dari abang dan teman-temannya. Stigma ini mengganggu anak dalam tugas perkembangannya, menimbulkan rasa sakit, gambaran diri yang negatif, tidak percaya diri, sehingga memiliki gambaran diri yang terpecah. Cinq-Mars et al., dalam Senn, Theresa E, dkk (2006) mengemukakan bahwa remaja


(21)

perempuan yang mengalami penganiayaan seksual hingga penetrasi cenderung terlibat dalam hubungan seks bebas dan hamil di luar nikah, dibandingkan dengan remaja yang mengalami kekerasan tanpa penetrasi. Penelitian tersebut sejalan dengan apa yang dialami responden Bulan:

”Awalnya Dedi ini ngejar-ngejar, Bulan gak mau, di kejar-kejarnya juga Bulan. ‘Mungin cowok ini baik, bisa ngelepaskan masa-masa lalu buruk Bulan.’ Pikir gitu. Bulan menilainya beda. Ternyata dia, setelah Bulan hamil, 4 bulan, ditinggalin sama dia.”

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tujuan utama dari seluruh perkembangan remaja adalah pembentukan identitas diri. Peristiwa traumatis, stigma negatif, dan efek lain yang ditimbulkan akibat peristiwa kekerasan yang dialami remaja perempuan korban kekerasan seksual mempengaruhi proses pembentukan identitas dirinya. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana gambaran pembentukan identitas diri pada remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, mulai dari status identitas korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri korban.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini :

1. Bagaimana gambaran pembentukan identitas diri remaja perempuan korban kekerasan seksual meliputi:

a. Status identitas remaja perempuan korban kekerasan seksual. b. Mengapa responden berada pada status identitas tersebut.

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual.


(22)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya ilmu Psikologi Perkembangan yang terkait dengan gambaran pembentukan identitas diri remaja perempuan korban kekerasan seksual. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1) Memberikan sumbangan informasi bagi responden sehingga mengetahui bagaimana status identitasnya, sehingga responden dapat mengembangkan dirinya.

2) Memberi sumbangan informasi kepada keluarga atau lingkungan sekitar korban agar dapat memberikan dukungan yang positif hingga korban mampu mengatasi trauma dan dapat membentuk identitas diri.

3) Memberikan informasi kepada pengamat sosial sehingga dapat mengarahkan remaja yang menjadi korban kekerasan seksual.


(23)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.

Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori. Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari identitas diri dan kekerasan seksual.

Bab III : Metodologi Penelitian. Bab ini membicarakan tentang metode kualitatif yang digunakan termasuk teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini serta metode pengambilan data. Selain itu juga memuat subjek penelitian dan lokasi penelitian.

Bab IV: Analisis data dan Interpretasi. Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekontruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.

Bab V: Kesimpulan, diskusi dan saran. Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEKERASAN

1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999).

Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).


(25)

2. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse).

a. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.

b. Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

c. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

d. Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa


(26)

pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:

i. Familial Abuse

Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.

Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa.


(27)

ii. Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower, 2002).

Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:

1. Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).

2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak). 3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).

4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air). 5. Mencium anak yang memakai pakaian dalam.

6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong). 7. Masturbasi

8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).

9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku). 10. Digital penetration (pada anus atau rectum).

11. Penile penetration (pada vagina). 12. Digital penetration (pada vagina).


(28)

14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).

Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi: a. Kekerasan Anak Secara Fisik

Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang berharga.

b. Kekerasan Anak Secara Psikis

kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. c. Kekerasan Anak Secara Seksual

Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).


(29)

d. Kekerasan Anak Secara Sosial

Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

3. Faktor-fakor Penyebab Kekerasan terhadap Anak

Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance) Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan


(30)

mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.

b. Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat


(31)

kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

4. Efek Kekerasan Seksual

Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis.

Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:

1) Betrayal (penghianatan)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak. 2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)

Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban


(32)

lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).

4) Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).

B. IDENTITAS DIRI 1. Pengertian Identitas Diri

Erikson (1968) mengatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang merupakan aspek penting dalam perkembangan berdiri sendiri. Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang (Erikson, 1968). Proses terjadinya identitas diungkapkan secara abstrak yang merupakan proses restrukturisasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu diolah dalam perspektif masa depan.

Identitas merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak, pengertian diri yang sekarang, dan menjadi petunjuk di masa depan, oleh sebab itu seseorang membentuk identitas dirinya


(33)

pada usia remaja akhir. Remaja yang berada pada periode remaja akhir dapat melihat dirinya dan tahu bagaimana bertindak untuk membentuk identitas dirinya. Identitas diri tidak dapat berkembang penuh sebelum masa remaja tengah dan akhir karena unsur pokok diintegrasikan (jenis kelamin, kemampuan fisik, seksualitas, kemampuan kognisi pada tahap operasional konkrit, dapat merespon harapan sosial) semua hal tersebut tidak muncul bersama dalam suatu waktu. Remaja akhir diharapkan dapat memutuskan identitas dirinya. Erikson (1968) menjelaskan bahwa pada masa remaja akhir identitas individu untuk pertama kalinya melaui suatu keputusan yang tepat atas pengalaman-pengalaman langsung maupun tidak langsung yang berarti dalam kehidupannya dan merupakan tugas-tugas perkembangannya.

Erikson menyatakan bahwa pada usia remaja, krisis yang harus kita selesaikan berkaitan dengan pencarian identitas diri (Schulz, 1994). Erikson (1968) mempertegas bahwa masa remaja adalah masa krisis pencarian identitas diri (identity crisis) yang menunjukkan bahwa pada masa ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yang utama yaitu menemukan kejelasan identitas (sense of identity), terutama yang berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan selama masa remaja, meliputi penerimaan keadaan fisik, peran seks secara sosial, membentuk hubungan baru dengan lawan jenis, kemandirian emosi dan ekonomi, memilih pekerjaan, mengembangkan ketrampilan intelektual, memilih tata nilai yang menuntun perilaku, mengembangkan perilaku sosial dan mempersiapkan perkawinan (Havinghurst, dalam Papalia, 1998). Krisis yang dialami pada masa remaja berfungsi untuk menetapkan suatu identitas stabil. Krisis identitas selama masa remaja sebenarnya merupakan krisis yang paling berat dan paling berbahaya karena penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan. Remaja berusaha untuk melepasakan diri dari mileu orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego (Monks, 1999).


(34)

Ada dua proses yang penting berupa eksplorasi dan komitmen dalam perkembangan identitas (Bosma, 1994). Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu aktivitas yang secara aktif dilakukan individu untuk mencari, menjajaki, mempelajari, mengidentifikasi, mengevaluasi dan menginterpretasi dengan seluruh kemampuan, akal, pikiran, dan potensi yang dimiliki untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang berbagai alternatif vokasi. Indikasi ada tidaknya eksplorasi dapat ditunjukkan melalui kriteria-kriteria sebagai berikut (Marcia, 1993):

a. Knowledgeability, yaitu sejauhmana tingkat pengetahuan yang dimiliki individu yang ditunjukkan oleh keluasan dan kedalaman informasi yang berhasil dihimpun tentang berbagai alternatif pilihan studi lanjutan.

b. Activity directed toward gathering information yaitu aktivitas yang terarah untuk mengumpulkan informasi yang menyangkut semua aktivitas yang dipandang tepat untuk mencari dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan.

c. Considering alternative potential identity element yaitu sejauhmana individu mampu mempertimbangkan berbagai informasi yang telah dimiliki tentang berbagai kemungkinan dan peluang dari setiap alternatif yang ada.

d. Desire to make an early decision yaitu keinginan untuk membuat keputusan secara dini yang ditunjukkan oleh sejauhmana individu memiliki keinginan untuk memecahkan keragu-raguan atau ketidakjelasan secepat mungkin secara realistis dan meyakini apa yang dipandang tepat bagi dirinya.

Komitmen adalah kesetiaan, keteguhan pendirian, prinsip, tekad untuk melakukan berbagai kemungkinan atau alternatif yang dipilih. Ditandai oleh faktor-faktor berikut (Marcia, 1993):

a. Knowledgeability yaitu merujuk kepada sejumlah infomasi yang dimiliki dan dipahami tentang keputusan pilihan-pilihan yang telah ditetapkan. Remaja yang


(35)

memiliki komitmen mampu menunjukkan pengetahuan yang mendalam, terperinci dan akurat tentang hal-hal yang telah diputuskan.

b. Activity directed toward implementing the chosen identify element yaitu aktivitas yang terarah pada implementasi elemen identitas yang telah ditetapkan.

c. Emotional tone yaitu nada emosi yang merujuk kepada berbagai perasaan yang dirasakan individu baik dalam penetapan keputusan maupun dalam mengimplementasikan keputusan tersebut. Nada emosi terungkap dalam bentuk keyakinan diri, stabilitas dan optimisme masa depan.

d. Identification with significant other yaitu identifikasi dengan orang-orang yang dianggap penting yang ditunjukkan dengan sejauhmana remaja mampu membedakan aspek positif dan negatif dari figur yang dianggap ideal olehnya.

e. Projecting one’s personal future yaitu kemampuan memproyeksikan dirinya ke masa depan dengan ditandai oleh kemampuan mempertautkan rencananya dengan aspek lain dalam kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan.

f. Resistence to being swayed yaitu sejauhmana individu memiliki ketahanan terhadap godaan-godaan yang bermaksud untuk mengalihkan keputusan yang telah mereka tetapkan. Mereka tetap teguh pada keputusannya, tetapi mereka bukan anti perubahan. Mereka mampu menghargai berbagai kemungkinan perubahan, mereka mengkaitkannya dengan kemampuan pribadi dan peluang yang ada.

Berdasarkan pendapat dari para tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah pengenalan dan penghayatan diri sebagai individu yang unik sehingga tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan.


(36)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri

Fuhrmann (1990) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang memempengaruhi proses pembentukan identitas diri seseorang, yaitu:

a. Pola Asuh

Orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas seseorang. Seperti yang dikemukakan Grotevant & Cooper (dalam Archer, 1994) bahwa peran penting kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada interaksi orang tua dengan anak, yang dalam hal ini disebut pola pengasuhan.

b. Homogenitas Lingkungan

Pada lingkungan yang homogen, seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure karena ia tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan heterogen, individu dihadapkan pada banyak pilihan sehingga ia sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu.

c. Model untuk indentifikasi

Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Mereka menjadikannya idola dan menjadikannya model dalam hidupnya. Orang dewasa yang berperan sebagai model bagi remaja ini dapat mempengaruhi pembentukan identitas dirinya.

d. Pangalaman masa kanak-kanak

Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanak-kanak akan mengalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis indentitas pada masa remaja. Menurut Erikson, identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.


(37)

e. Perkembangan kognisi

Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga ia dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik.

f. Sifat individu

Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement.

g. Pengalaman kerja

Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi pembentukan identitas dirinya.

h. Etnis identitas

Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat indvidu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitasnya.

3. Status Identitas

Status identitas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaan, ideologi, dan nilai-nilai interpersonal. Hampir seluruh status identitas meliputi pertanyaan-pertanyaan dalam domain pekerjaan atau pilihan pendidikan; ideologi, meliputi kepercayaan dan politik; dan nilai-nilai interpersonal misalnya peran jenis kelamin dan seksualitas. Menurut (Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994) menganalisis teori perkembangan identitas Erikson berdasarkan krisis atau eksplorasi dan komitmen, menyimpulkan ada empat status identitas, yaitu:

a. Identity Foreclosure

Foreclosure merupakan status identitas yang umum dan biasanya berkembang lebih dahulu dari Moratorium dan Achievement. Identity foreclosure merupakan status


(38)

untuk menggambarkan remaja yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. Dalam keadaan seperti ini, remaja belum memiliki peluang-peluang yang memadai, untuk menjajaki berbagai pendekatan, ideologi, dan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda yang dikembangkan sendiri. Individu foreclosure dalam membuat keputusan masih ragu dan lebih senang untuk mengambil keputusan orangtua daripada membuat keputusan sendiri, biasanya mereka tinggal dekat dengan orangtua. Individu yang berada pada status identitas Foreclosure ragu-ragu untuk memutuskan apa yang benar, mereka cenderung memilih teman yang baik, yang menyukainya.

b. Identity Moratorium

Identity moratorium adalah status untuk menggambarkan remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis, tetapi belum membentuk komitmen. Remaja moratorium sedang berada dalam periode pembuatan keputusan dan mungkin telah melakukan beberapa keputusan yang bersifat kabur dan umum. Remaja yang berada pada status identitas Moratorium terkadang aktif dan bersemangat, berjuang keras. Remaja masih memiliki nilai kompromi yang tinggi atas harapan orang tua dan masyarakat disamping keinginannya sendiri, terlihat sensitif, etis, dan terbuka. Dalam suatu studi ditemukan bahwa mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai moral sehingga cenderung cemas. Selain hal itu, hubungan mereka dengan orang lain intens dan relatif singkat, dan susah bagi mereka untuk mempertahankan komitmen kepada orang lain.

c. Identity Diffusion

Identity diffusion adalah ialah status untuk menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis (yaitu mereka belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apa pun. Remaja belum melakukan eksplorasi atau pernah


(39)

melakukannya, namun sepintas lalu saja, juga tidak memiliki komitmen dan tidak pernah mencoba untuk membuat komitmen. Seseorang tidak hanya belum memutuskan pilihan-pilihan pekerjaan dan ideologis, tetapi cenderung memperlihatkan minat yang kecil dalam persoalan-persoalan semacam itu. Identity diffusion mencakup seseorang yang tidak pernah merasakan krisis atau mengalami masa tumbuhnya pertanyaan-pertanyaan sehingga tidak mampu memecahkan persoalan yang muncul akhirnya tidak membuat keputusan. Remaja pada status ini terlihat tidak memiliki tujuan, tidak pernah mengalami krisis atau masih berada pada masa yang penuh pertanyaan dan tidak mampu memecahkannya, cenderung bersikap apatis, dimana individu merasa tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi sosial, serta kompulsif. Ketidakmampuan remaja menyelesaikan masa krisisnya mengakibatkan remaja memiliki keraguan akan peran yang akan dilakukannya atau mengalami identity confusion dan mengakibatkan kekaburan identitas diri. Tanpa identitas yang jelas, remaja menjadi depresi dan kurang percaya diri, dan cenderung memiliki perilaku negatif, seperti pemalu, sinis, keras kepala, dst.

d. Identity Achievement

Identity achievement adalah status yang digunakan bagi remaja yang telah mengalami suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen. Disini remaja sudah mengalami krisis dan sudah menentukan siapa dirinya. Individu yang berada pada status identitas Achievement terlihat tenang, mampu menjelaskan alasan terhadap pilihan mereka dan mampu menjelaskan bagaimana pilihan tersebut muncul. Hal yang berbeda dibanding dengan status identitas lain adalah proses pembentukan identitas akan berlanjut dalam kehidupan mereka. Individu yang berasa pada status identitas ini sensitif terhadap tuntutan luar, mereka membuat keputusan sendiri. Seseorang disebut identity achiever bila orang itu telah selesai masa krisisnya dan telah berkembang relatif tetap tanggung


(40)

jawabnya. Seorang identity achiever cenderung fleksibel dan tidak kaku dalam memutuskan pilihannya.

Tabel 1. Status Identitas diri Menurut Marcia

Crisis Commitment

Foreclosure Moratorium Diffusion Achievement

O X O X

X ? O X

Keterangan: X : Ada O : tidak ada ? : kabur

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status identitas ialah istilah yang digunakan untuk kondisi perkembangan ego yang tergantung kepada kehadiran atau ketidakhadiran krisis dan komitmen.

C. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisisonal panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa remaja secara umum dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau fertilitas, yaitu kemampuan untuk bereproduksi.

Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.


(41)

2. Usia Masa Remaja

Masa remaja menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Periode remaja merupakan periode yang penting karena pada masa ini terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang pesat (Atkinson dkk, 1993). Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahun – 13 tahun dan berahir di usia 18 tahun 22 tahun. Menurut Hurlock (1999) batasan usia masa remaja adalah 13 tahun – 17 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja pertengahan berlangsung kira-kira dari 15 tahun sampai 17 tahun. Masa remaja akhir berlangsung kira-kira 18 tahun sampai 21 tahun.

D. Gambaran Pembentukan Identitas Diri Remaja Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan yang mewarnai berbagai media massa menjadi suatu perhatian besar sekarang ini. Melalui data yang diperoleh bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi. Hal menarik yang perlu disoroti adalah sebagian besar pelakunya berasal dari lingkungan keluarga, dan tidak menutup kemungkinan juga orang lain yang dekat dengan korban.

Seringkali yang menjadi korban perilaku tak terpuji itu adalah kaum yang dianggap lemah, dan tidak terbatas pada usianya. Tower (2002) mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10


(42)

tahun-13 tahun dan berakhir di usia 18 tahun-22 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun).

Remaja perempuan seringkali menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku, dan bersikap pasrah. Hingga pada akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah kekerasan secara seksual terjadi. Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Dampak yang diakibatkan peristiwa kekerasan tentu saja mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan mempengaruhi masa remaja hingga dewasa. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres dan trauma setelah perkosaan. Seperti yang diungkapkan oleh Ekandari, dkk (2001) bahwa korban perkosaan mengalami stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang.

Sebagai seorang individu yang berada pada masa peralihan, remaja memiliki tugas dalam perkembangannya, dan tugas yang utama adalah memecahkan krisis identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. Apabila krisis identitas dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang terintegrasi, koheren, dan jelas (Erikson, 1989). Remaja yang mengalami kekerasan merasakan dampak kekerasan tersebut. Dampak yang terjadi adalah remaja gagal mengintegrasikan diri, memiliki gambaran diri yang negatif, mendapat stigma negatif dari lingkungan sehingga merasa takut ditolak dari pergaulan dengan teman sebaya. Berbagai dampak yang dirasakan akan mempengaruhi dalam memenuhi tugas perkembangan, khususnya tugas perkembangan yang utama. Kegagalan dalam menyelesaikan tugas


(43)

perkembangan tersebut mengakibatkan remaja mengalami kebingungan identitas atau krisis identitas.

Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, (1994) menggunakan eksplorasi dan komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status identitas, yaitu identity achievement (pencapaian identitas), foreclosure (penutupan), moratorium (penundaan), dan identity diffusion (difusi identitas). Identity achievement merupakan periode dari eksplorasi sebelumnya dalam membentuk identitas dengan menguraikan nilai dan komitmen. Moratorium merupakan proses yang menjelaskan mengenai keadaan remaja yang telah mengalami krisis tetapi belum memiliki komitmen, atau tampak samar. Foreclosure merupakan keadaan remaja yang menerima nilai dan komitmen tanpa eksplorasi, misalnya komitmen berasal dari orang tua atau orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Sedangkan diffusion merupakan ketidakmampuan dalam membuat komitmen, dan sebelumnya juga tidak mengalami eksplorasi (Kroger, 1947).

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual mulai dari status identitas korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri korban.


(44)

E. Paradigma Penelitian

Keterangan: = terdiri dari = dipengaruhi


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Poerwandari (2007) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ’etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari ”what” dan ”How Much” tetapi perlu juga memahaminya (”Why” dan ”How”) dalam konteksnya.

Banyaknya perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Poerwandari (2007) mengatakan pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai mahluk subjektif adalah pendekatan kualitatif. Hal ini disebabkan karena metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari perilaku seseorang (Poerwandari, 2007). Pembentukan identitas diri seorang korban sexual abuse merupakan hal yang bersifat subjektif sehingga perlu digali melalui metode kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang pembentukan identitas diri pada remaja perempuan yang menjadi korban sexual abuse. Jenis penelitian kualitatif yang diapakai adalah penelitian deskriptif.


(46)

B. Partisipan dan Lokasi Penelitian 1. Partisipan penelitian

a. Karakteristik partisipan

Adapun karakteristik subyek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah:

a. Jenis kelamin perempuan.

Tower (2002) juga mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.

b. Remaja akhir berusia 18-21 tahun.

Bosma et. al (1994) menyatakan bahwa status identitas ini merupakan empat cara dalam mencapai identitas bagi remaja akhir (usia 18-22 tahun). Status identitas dapat dilihat pada remaja akhir.

c. Berdomisili di kota Medan.

d. Korban kekerasan seksual setelah durasi 1 hingga 3 tahun lalu.

Menurut Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.

b. Jumlah partisipan penelitian

Dalam penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar, tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian Sarakantos (dalam Poerwandari, 2001). Strauss (dalam Irmawati, 2002) mengatakan juga bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam maka dapat diambil dengan jumlah sampel yang kecil. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 2 (dua) orang. Alasan utama pengambilan jumlah responden tersebut adalah adanya keterbatasan dari


(47)

peneliti sendiri baik itu waktu, biaya maupun kemampuan peneliti serta berdasar laporan dari pihak PKPA dan YPI yang menyatakan bahwa sulit untuk menghubungi korban yang pernah dibina dan ditangani.

c. Prosedur pengambilan partisipan

Prosedur pengambilan partisipan dalam penelitian ini diawali dengan peneliti mencari informasi tentang kasus yang diambil, menelusuri pihak-pihak yang dianggap mengetahui informasi lebih banyak tentang kasus dan menemukan dua orang partisipan yang memenuhi karakteristik responden tersebut. Responden penelitian ini diperoleh dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Yayasan Pusaka Indonesia (YPI).

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu berjenis kelamin perempuan, usia remaja akhir (18-21 tahun), merupakan korban kekerasan seksual dan berdomisili di Medan. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

2. Lokasi penelitian

Peneliti melakukan penelitian di kota Medan karena partisipan bertempat tinggal di Medan, demikian juga hal nya dengan peneliti. Untuk memudahkan, lokasi penelitian akan disesuaikan dengan kesepakatan partisipan dan peneliti.

C. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Namun dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview).


(48)

1. Wawancara

Data kualitatif diperoleh berdasarkan metode wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk, 1994).

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Melalui wawancara, peneliti bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in-depth information).

Pendekatan wawancara yang digunakan adalah wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Proses wawancara sepenuhnya berkembang dari pertanyaan-pertanyaan spontan dalam interaksi alamiah. Meskipun begitu, wawancara dalam penelitian ini juga mencantumkan pedoman wawancara yang sangat umum yakni mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Dengan demikian, responden yang menjadi subjek penelitian tidak menyadari dirinya sedang mengalami situasi wawancara yang kaku dan formal untuk menggali data.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data 1. Alat perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan sebagai alat bantu pengumpulan data agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini peneliti akan memperoleh data yang utuh karena sesuai dengan yang disampaikan partisipan dalam


(49)

wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin partisipan (Poerwandari, 2001)

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan menjadi daftar pengecek apakah semua pertanyaan peneltian telah ditanyakan. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data lainnya. Pedoman wawancara ini berisikan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan tema penelitian dimana urutan pertanyaan akan bersifat fleksibel karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan pembentukan identitas diri pada remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.


(50)

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:

1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan identitas diri dan kekerasan seksual

a. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan identitas diri.

b. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan kekerasan seksual.

2. Menyiapkan pedoman wawancara.

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.

3. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden.

Setelah peneliti memperoleh calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.

4. Membangun rapport.

Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang kepada peneliti.


(51)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

1. Mengkonfirmasi ulang waktu dari tempat wawancara.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan. 2. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden. 3. Memindahkan hasil rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001).

4. Melakukan analisa data.

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai, kemudian dibuat salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapat


(52)

gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.

5. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran.

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan dislusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Metode Analisa Data

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumentasi tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2001).

Moleong dan Poerwandari (dalam Irmawati, 2002) menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Mengelompokkan data menjadi bentuk teks.

2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau pengelompokkan data dalam berbagai kategori.

3. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak-balik” dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau analisis.


(53)

4. Mengidentifikasikan tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian.


(1)

Daftar Pustaka

Archer, S.L. (editor),. (1994). Interventions for Adolescent Identity Development, London: Sage.

Alexander, D. (2009). Korban Perkosaan. [online].

http://www.ebahana.com/media.php?module=detailberita&id=267&no=7/korban-perkosaan.html. Tanggal Akses: 20 Mei 2009

Atkinson dkk. (1993). Pengantar psikologi (Edisi 11, Jilid 1).Batam : Interaksara.

Bagong .S, dkk. (2000). Tindak Kekerasan Mengintai Anak-anak Jatim. Surabaya : Lutfansah Mediatama.

Banister, P. (1994)s. Qualitative Methods in Psychology. A Research Guide. Buckingham: Open University Press.

Ekandari, dkk. (2001). Perkosaan, Dampak, dan Alternatif Penyembuhannya. Jurnal Psikologi, 1, 1-18.

Fuhrmann, Barbara Schneider.(1990). Adolescence-Adolescence.London: A Division of Scott, Foresman & Company.

Gay, L. R., & Airisian, P. (2003). Educational Research: Competence for Analysis &

Aplication 7th ed. New Jersey : Merril Prentice Hall.

Gelles, J.R. (1982). “Child Abuse and Family Violence” dalam Child Abuse, E.H.Newberger (ed). Boston: Little, Brown and Co.

Huraerah, Abu, M.Si. (2007). Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Edisi Revisi. Bandung: Nuansa

Hurlock, B.E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Perkembangan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Irmawaty, Nauly, M., Garliah, L., Supriyantini, S., Ginting, E.D.J., Zulkarnain, & Widiyanta, A. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Program Studi Psikologi USU.

Komnaspa. (2006). [online]. http://komnaspa.or.id/data-kekerasan-terhadap-anak-pdf. Tanggal Akses: 17 Maret 2009


(2)

Kroger, Jane. (200). Identity Development, Adolesence throught Adulthood. Sage Publication, Inc.

Liza, Simon-Roper. (1996). Victim’s Response Cycle: A Model for Understanding the Incestuous Victim-Offernder Relationship. Journal of Child Sexual Abuse.

Marcia, J.E. (1993). Ego Identity, A Handbook for Psyhosocial Research. New York: Springer-Verlag.

Maschi, Tina, dkk. (2009). Maltreated Children’s Thoughts and Emotions as Behavioral Predictors: Evidence for Social Work Action. Proquest Psychology Journals, 54, 2. Minauli, Irna (2002). Metode Observasi. Medan: USU Press.

Moleong, Lexy. J. (1996). Metodologi Penlitian Kualitatif. Cetakan ketujuh. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Monks, P.J. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Mulyana, Deddy, DR.(2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Papalia. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Edisi Sembilan. Jakarta: Kencana.

Petra. (2003). [online]. http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/jdkv/2003/jiunkpe-ns-s1-2003-42499016-6806-inchest-chapter1-pdf. Tanggal Akses: 17 Maret 2009

Poerwandari (2001) Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Ranuh, I.G.N.(1999). Kelemahan dalam Pencatatan Kasus Child Abuse dan Cara Mengatasinya.Yogyakarta.


(3)

Suharto, Edi. (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.

Stewart, J. Charles. (2000). Interviewing Principles and Practise. New York: Mc Graw-Hill Companies.

Tower, C. C. (2002). Child Abuse and Neglect. USA: Mc Graw Hill.

____. (2005). Lima Remaja Pelaku Pemerkosaan Ditangkap. [online].

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/10/metro/1488609.htm. Tanggal Akses: 10 Juni 2009


(4)

Panduan Wawancara

I.

IDENTITAS SUBJEK

a.

Nama.

b.

Jenis kelamin.

c.

Suku bangsa.

d.

Agama.

e.

Pendidikan terakhir.

f.

Status.

g.

Jumlah saudara, urutan ke berapa.

h.

Usia awal terjadinya kekerasan seksual.

II.

ABUSE

a.

Sebelum mengalami abuse

1.

Hubungan dengan orangtua, saudara kandung, dan teman sebaya?

2.

Penilaian subjek terhadap dirinya?

b.

Peristiwa abuse

1.

Pelaku?

2.

Apa yang dialami dan dirasakan?

3.

Respon subjek terhadap kejadian?

4.

Respon subjek terhadap pelaku?

c.

Setelah abuse

1. Bagaimana hubungan subjek dengan orangtua, saudara kandung, dan

teman sebaya?


(5)

a.

Pola Asuh

1.

Bagaimana perlakuan orangtua terhadap subjek?

2.

Bagaimana pandangan subjek terhadap orangtuanya?

b.Homogenitas Lingkungan

1. Bagaimana lingkungan tempat tinggal subjek?

2. Bagaimana tanggapan tetangga terhadap subjek?

3. Apa partisipasi subjek terhadap lingkungan?

c. Model untuk identifikasi

1. Siapa yang menjadi figur identifikasi bagi subjek? Mengapa?

2. Seperti apa peran orang tersebut bagi subjek?

d.

Pengalaman masa kanak-kanak

1.

Bagaimana masa kecil subjek?

2.

Apa masalah-masalah yang dialami waktu kecil?

3.

Bagaimana menyelesaikannya?

e.

Perkembangan Kognisi

1.

Masalah-masalah yang dihadapi?

2.

Bagaimana subjek menanggapi masalah-masalah tersebut?

3.

Apa yang dilakukan untuk mengatasi?

f.

Sifat Individu

1.

Sifat positif subjek.

2.

sifat negatif subjek.

3.

Apakah subjek tertarik mencari, mempelajari, mengevaluasi, dan


(6)

g.

Pengalaman kerja

1.

Apakah subjek bekerja atau pernah bekerja sebelumnya?

2.

Apa pekerjaannya?

3.

Kenapa subjek memutuskan untuk bekerja?

h.

Etnis identitas

1.

Apakah ada dominasi etnis di lingkungan tempat tinggal subjek?

2.

Jika ya, seperti apa?