Aspek Hukum Dalam Ekonomi Indonesia Dan Pelaksanaannya Dalam Otonomi Daerah

Aspek Hukum Dalam Ekonomi Indonesia Dan Pelaksanaannya Dalam Otonomi
Daerah
Sejarah perekonomian dunia, memperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang
mendesak di dunia karena masalah ekonomi. Contohnya pada tahun 1930 dunia
mengalami masalah pengangguran di kalangan tenaga kerja dan sumber daya
lainnya, begitu juga tahun 1940 dunia mengalami masalah merealokasikan sumber
daya yang langka dengan cepat antara kebutuhan perang dengan kebutuhan sipil.
Tahun 1950 terjadi masalah inflasi, tahun 1960 terjadi kemunduran pertumbuhan
ekonomi, tahun 1970 dan awal tahun 1980 terjadi kasus biaya energi yang
meningkat (harga minyak yang meningkat sepuluh kali dibandingkan dekade
sebelumnya) (Lipsey, et. al. 1991), memasuki akhir tahun 2008 sampai dengan saat
ini krisis finansial global yang dimulai di Amerika Serikat sejak 2007 yang dipicu
macetnya kredit perumahan (subprime mortgage) juga telah menimbulkan
permasalahan yang mendunia.
Dampak yang dirasakan Indonesia antara lain karena perekonomian dunia melemah
sehingga pasar ekspor bagi produk Indonesia menjadi sangat menurun, nilai tukar
rupiah terdepresiasi sehingga hutang luar negeri pemerintah maupun swasta
menjadi beban yang cukup berat. Sejarah Indonesia dalam kurun waktu yang
panjang sebagai negara jajahan bangsa asing karena alasan ekonomi bahwa
Indonesia merupakan sumber hasil bumi yang sangat penting bagi dunia juga
mempelihatkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang penting bagi suatu

negara.
Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa persoalan-persoalan ekonomi selalu
muncul dari penggunaan sumberdaya yang langka untuk memuaskan keinginan
manusia yang tak terbatas dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya. Akibat
kelangkaan, maka terjadi perebutan untuk menguasai sumberdaya yang langka
tersebut. Perebutan menjadi penguasa atas sumber daya yang langka bisa
menimbulkan persengketaan antar pelaku ekonomi bahkan bisa memicu perang
baik antar daerah maupun antar negara.Permasalahan ekonomi ini perlu diatur agar
pemanfaatan sumber daya yang terbatas dapat berjalan dengan baik dengan
prinsip – prinsip keadilan. Hukum ekonomi merupakan salah satu alat untuk
mengatasi berbagi persoalan tersebut.
• PEMBAHASAN
Pemanfaatan sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya suatu perangkat
hukum yang dapat mengatur agar semua pihak yang berkepentingan mendapat
perlakuan yang adil (win-win solution) dan agar tidak terjadi perselisihan diantara
pelaku ekonomi. Fungsi hukum salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia
bermasyarakat di dalam berbagai aspek. Manusia melakukan kegiatan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya

sendiri, oleh karena itu manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya.

Interaksi ini sering kali tidak berjalan dengan baik karena adanya benturan
kepentingan diantara manusia yang berinteraksi.
Agar tidak terjadi perselisihan maka harus ada kesepakatan bersama diantara
mereka. Kegiatan ekonomi sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu
diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya
dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para
pelaku ekonomi. Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku disetiap
kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang
berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut.
Tujuan suatu bangsa salah satunya adalah mensejahterakan rakyatnya. Seperti
tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Dalam tujuan negara tersebut disebutkan memajukan
kesejahteraan umum. Jadi perekonomian nasional ini ditujukan bagi kemajuan dan
kesejahteraan umum.
Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menguasai cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan juga bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah salah satu

dari pelaksanaan pasal tersebut dimana terdapat PT. Pertamina, PT. Aneka
Tambang, PT Pertani, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani dan lain-lain. Dalam era privatisasi
yang pada mulanya dilakukan untuk efisiensi dan terbukanya modal asing yang
masuk ke Indonesia perlu diwaspadai agar jangan sampai cabang- cabang produksi
yang penting dan kekayaan alam yang ada di Indonesia menjadi milik asing dan
hanya memperoleh sedikit keuntungan atau royalti dan jangan sampai Indonesia
hanya sebagai penonton di negeri sendiri. Peranan hukum disini adalah untuk
melindungi kepentingan negara perlu dibuat agar dapat terwujud bangsa yang
sejahtera dan menjadi tuan di negeri sendiri.
Hukum Ekonomi Indonesia juga harus mampu memegang amanat UUD 1945
(amandemen) pasal 27 ayat (2) yang berisi : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Negara juga memiliki
kewajiban untuk mensejahteraan rakyatnya, sehingga perekonomian harus dapat
mensejahterakan seluruh rakyat, sementara fakir miskin dan anak yang terlantar
juga perlu dipelihara oleh Negara. Negara perlu membuat iklim yang kondusif bagi
usaha dan bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberdayakan. Sementara
yang memang tidak dapat berdaya seperti orang sakit, cacat perlu diberi jaminan
sosial (Pasal 34 UUD 1945). Tugas negara ini dalam kondisi sekarang tidaklah

mudah dimana kemampuan keuangan pemerintah sendiri juga terbatas. Konsep

perekonomian yang baik perlu dilaksanakan.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga Indonesia pun tidak
terlepas dari hukum internasional termasuk yang menyangkut ekonomi. Tetapi
walaupun demikian, kita juga harus bersikap kritis dan memperjuangkan hak bagi
kesejahteraan Negara kita, karena tidak semua kebijakan ekonomi tersebut dapat
diterapkan dan kalaupun diterapkan harus ada penyesuaian dengan hukum yang
berlaku di Indonesia.
Indonesia juga terdiri dari berbagai macam suku bangsa, sehingga dalam
pengaturan hukum ekonominya harus mempertimbangkan hal tersebut. Di era orde
baru kita pernah mencoba mengatur Negara ini menggunakan sistem sentralisasi
atau terpusat. Semua kegiatan ekonomi diatur oleh pemerintah pusat. Diakui
dengan sistem ini perekonomian kita sempat berjaya dengan swasembada beras,
namun di sisi lain terjadi kesenjangan antara pusat-pusat ekonomi dengan daerahdaerah yang terpencil dan kurangnya pemerataan pembangunan.
Tujuan utama desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
penyelenggaraan urusan/fungsi/tanggung jawab pemerintahan untuk penyediaan
pelayanan masyarakat lebih baik. Pelaksanaan otonomi daerah yang baik akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa contoh sukses ditunjukkan dalam
Koran Tempo, Senin, 22 Desember 2008, sejumlah kepala daerah di negeri ini dapat
mengembangkan kreativitasnya dalam memajukan daerahnya. Peran pimpinan
daerah dalam mendorong terciptanya pemerataan pembangunan dan peningkatan

kesejahteraan sangatlah penting.
Kriteria yang dipilih Tempo untuk menyeleksi para calon tokoh pimpinan daerah
adalah dalam sektor pelayanan pubik, transparansi dan keramahan pada dunia
usaha setempat. Hal ini dilakukan Tempo karena dianggap masih banyak anggapan
miring tentang otonomi daerah sebagai desentralisasi korupsi dan munculnya rajaraja kecil. Sebanyak 61 kasus kepala daerah menjadi tersangka dan kemudian
menjadi terpidana akibat praktek yang salah dalam menjalankan otonomi dan
presepsi mengenai otonomi daerah.
Pemerintahan di daerah harus berhati-hati dalam membuat regulasi ataupun
perangkat hukum yang menyangkut perekonomian daerahnya, agar tidak terjadi
salah presepsi tentang otonomi ekonomi daerah. Peranan pemerintah pusat juga
harus lebih ketat dalam mengawasi jalannya otonomi daerah agar tujuan nasional
dapat berjalan sebagai mana mestinya. Keberpihakan pemerintah baik pusat
maupun daerah terhadap pertumbuhan koperasi, usaha kecil dan menengah daerah
diharapkan mampu mengurangi jurang antara masyarakat mapan dan marjinal,
karena dengan pertumbuhan koperasi, usaha kecil dan menengah akan mengurangi
ketergantungan masyarakat akan import dan memperluas lapangan pekerjaan.

Sehingga akan mengurangi beban pemerintah dan diharapkan daerah mampu
mandiri mengatasi kesulitan didaerahnya sesuai dengan sumberdaya yang ada
didaerah tersebut.

Pemerintahan daerah juga harus menjaga agar otonomi daerah adalah bukan
mengatur daerah dengan kacamata kedaerahannya tetapi lebih melihat bahwa
negara kita mempunyai tujuan bersama yang mulia seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemerintahan daerah juga
tidak boleh semena-mena menyombongkan diri apabila berhasil, tetapi juga mau
membantu daerah lain, minimal dengan menularkan informasi tentang keberhasilan
mereka terhadap daerah lain.
Kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu
diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya
dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para
pelaku ekonomi.Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku di setiap
kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang
berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut. Sehingga aspek hukum harus
dibuat berdasarkan tingkat kepentingan yang muncul pada suatu masyarakat di
suatu wilayah, untuk itulah perlu dibuat aspek hukum yang sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah dalam kerangka pemerataan kesejahteraan nasional.
Pelaksanaan hukum ekonomi sendiri perlu terus diawasi sehingga tidak
menimbulkan distorsi tetapi justru dapat meningkatkan perekonomian itu sendiri.
Seperti contoh : Otonomi daerah yang bila dilaksanakan dengan baik dapat
memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk berinovasi bagi

kesejahteraan daerahnya bukan untuk menonjolkan sisi kedaerahannya masingmasing. Komitmen dan institusi pengawasan yang baik juga perlu dikembangkan
agar penegakan hukum dapat berlaku baik bagi masyarakat maupun aparat hukum
itu sendiri.

CONTOH KASUS ATAU MASALAH EKONOMI DI INDONESIA
1. Indonesia Tidak Mengekspor Kelapa Sawit ke Iran
Pemerintah Indonesia dan Malaysia pun kini sudah menghentikan penjualan kelapa
sawit mereka kepada Iran karena tidak mengambil resiko Iran akan gagal
membayar. Aksi Indonesia dan Malaysia ini telah menambah efek sanksi ekonomi
yang diterapkan Amerika Serikat sejak akhir 2011 lalu.kedua negara di Asia
Tenggara tersebut selama ini menjadi pengeskpor kelapa sawit terbesar ke negara
mullah tersebut.Akibat penghentian ekspor dari Indonesia dan Malaysia itu, posisi
Iran secara ekonomi kini semakin tertekan. Negara mullah itu harus mampu
mencari negara lain yang bersedia menjual kelapa sawit kepada mereka.

Kasus diatas termasuk kedalam contoh kasus ekonomi makro dan cara
penyelesaian untuk kasus diatas adalah Iran mencari Negara yang menjual kelapa
sawit kepada Negara mereka lagi agar ekonomi di Negara tersebut tidak tertekan
.Dan Iran juga harus membayarnya supaya Negara yang mengekspor tidak kecewa
lagi seperti kasus atas gagalnya membayar diIndonesia dan Malaysia.


STUDI KASUS
Pembangunan Sosial (Studi Kasus Tenaga Kerja Indonesia)
Kesejahteraan mencangkup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai
taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara
ekonomi dan fisik belaka, tetapi juga ikut memperhatikan aspek sosial, mental dan spiritual.
Selain itu kesejahteraan dapat diukur dari sejauh mana masalah sosial dapat diatasi, kebutuhankebutuhan terpenuhi, dan sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat
disediakan dan diperoleh oleh warga masyarakat.
Seluruh keluarga, komunitas dan masyarakat memiliki apa yang disebut dengan masalah
sosial akan tetapi berbeda bergantung pada bagaimana mereka mengatur masalah-masalahmasalah tersebut. Secara umum, masyarakat yang dapat mengatur dan mengatasi masalah sosial
memiliki kesejahteraan sosial yang lebih tinggi dibanding yang lain. Ketidakmampuan untuk

mengatur masalah-masalah sosial melahirkan kondisi yang disebut oleh Richard Titmuss (1974)
sebagai “social illfare” atau penyakit sosial.
Kesejahteraan merupakan sasaran jangka panjang dari upaya pembangunan. Semua
manusia, keluarga, komunitas dan masyarakat memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi
agar manusia dapat mencapai kebahagiaan sosial (social contentment). Kebutuhan-kebutuhan
tersebut yakni kebutuhan dasar yang mendesak seperti kebutuhan kelangsungan hidup seperti
nutrisi, persediaan air minum dan permukiman. Kebutuhan hak sosial seperti pendidikan,
kesehatan dan keamanan sosial. Dan kebutuhan non-materi seperti partisipasi pada proses

politik, dilindungi dari diskriminasi dan kesempatan untuk memperbaiki hidup.
Pengaturan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesempatan
bagi rakyat merupakan syarat dasar dalam mencapai kesejahteraan sosial. Ketika ketiga syarat ini
tidak dapat dipenuhi, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat tersebut gagal dalam mencapai
tingkat kesejahteraan yang diinginkan.
Pembangunan sosial merupakan suatu pendekatan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat seperti yang didefinisikan oleh (James Midgley, 1995) “a process of planned social
change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjungtion with a
dynamic process of economic development”. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa suatu
proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan
dinamika proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan sosial seharusnya tidak disamakan dengan pembangunan ekonomi
walaupun pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara,
namun pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak
akan mampu menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Idealnya pembangunan
sosial harus berjalan berdampingan dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial tidak
akan terjadi tanpa pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi tidak akan berarti tanpa
diiringi dengan peningkatan pada kesejahteraan sosial pada masyarakat secara menyeluruh,
untuk itu perlu terjadi integrasi antara pembangunan sosial dan ekonomi.

Diharapkan pada tahun 2013 kualitas kehidupan masyarakat semakin meningkat. Sebagai
bahan penulisan tugas UTS ini, Penulis menemukan bahwa ternyata masalah yang berkaitan

dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri di tahun 2011 sangat tinggi,
disamping isu permasalahan ekonomi, korupsi, HAM, dan permasalahan keadilan di Indonesia.
Analisis Kasus
Pendahuluan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Berbicara mengenai TKI, pasti langsung tebayangkan dalam benak kita bagaimana
bekerja di luar negeri, mendapatkan gaji besar dan dapat memperbaiki taraf hidup keluarga yang
selama ini tidak tersentuh pembangunan oleh negeri sendiri. Dibalik kesuksesan yang dijanjikan
tidak pelak juga banyak terjadi kisah tragis, bukan untung yang didapat tapi malang tak dapat
dihindari dan bahkan berakhir dengan maut. beberapa tahun terakhir ini kasus kekerasan yang
diterima oleh TKI Indonesia di luar negeri menjadi sorotan serius oleh media terutama atas
pelanggaran HAM.
Sebelum membahas tentang TKI, alangkah baiknya jika kita tahu terlebih dahulu
siapakah mereka. TKI merupakan kepanjangan dari Tenaga Kerja Indonesia. TKI merupakan
istilah yang diberikan pada warga Indonesia yang merantau ke luar negeri untuk bekerja atau
mencari penghasilan dalam kurun waktu tertentu. Istilah ini digunakan untuk semua jenis
kelamin. Namun, untuk TKI wanita lebih umum disebut dengan TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Keberadaan TKI bagi Indonesia sangat menguntungkan. Pertama, mereka adalah penyumbang
devisa yang sangat besar. Sumbangan mereka mencapai angka lebih dari 100 trilliun setiap
tahun. Kedua, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan mensejahterakan hidup keluarga.
Ketiga, mengurangi jumlah pengangguran.
Jumlah TKI yang merantau ke luar negeri sangat besar. Berdasarkan data yang dilansir
oleh Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), ada 12 negara yang
tercatat sebagai tujuan terbesar TKI indonesia. Peringkat pertama dipegang oleh Saudi Arabia
dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1,4 juta pada kurun 2006-2012 dan peringkat kedua dan
ketiga ditempati oleh Malaysia dan Taiwan. TKI tersebut dibagi menjadi TKI formal dan
informal. TKI formal merupakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan pengetahuan
yang nantinya ditempatkan berdasarkan kompetensi masing-masing, seperti tenaga kesehatan.
Adapun tenaga informal yaitu tenaga kerja yang masih minim kompetensi. Tenaga seperti ini
ditempatkan menjadi pembantu rumah tangga.

TKI formal memiliki peluang pekerjaan yang lebih baik dibandingkan TKI informal.
Mereka bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Namun, jumlah
TKI formal lebih sedikit dibandingkan dengan TKI informal. Berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Kemenakertrans pada 2011, jumlah TKI formal hanya 264.756 orang (45,56%), sedangkan
TKI informal mencapai 316.325 orang (54,44%).
Menjadi TKI bukan tanpa masalah. Banyak sekali problematika yang muncul menyertai
kisah para perantau tersebut. Problematika tersebut terjadi ketika

prapenempatan, saat

penempatan, dan purnapenempatan. Masalah prapenempatan misalnya pemalsuan identitas dan
dokumen pemberangkatan, minimnya pelatihan, dan penipuan oleh calo. Saat penempatan
muncul masalah seperti eksploitasi kerja, gaji tak dibayar, pembatasan ibadah/ komunikasi
dengan keluarga, kekerasan, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikan. Adapun
msalah yang muncul saat purnapenempatan adalah penipuan, disharmonis dengan keluarga,
hamil, sakit hingga kematian.
Masalah yang paling santer dibahas tentu kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi
terhadap TKI. Berdasarkan laporan dari dubes RI di seluruh dunia, tercatat 4.532 kasus
kekerasan sepanjang tahun 2010. Adapun negara yang memiliki tingkat kasus tertinggi dipegang
oleh Malaysia dan disusul dengan Arab Saudi. Berdasarkan data yang dilansir oleh Migran Care,
1000 kasus kekerasan tercatat di Malaysia dan 57 kasus di Arab Saudi pada 2010.
Meski sudah banyak cerita tragis, tetap saja tidak menyurutkan minat ribuan warga
Indonesia untuk mempertaruhkan nyawa mencari sesuap nasi di perantauan. Minimnya lapangan
pekerjaan dan kesenjangan pembangunan antara di kota dan di desa yang tidak merata hampir
di seluruh Indonesia merupakan salah satu pemicunya. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar,
misalnya untuk menyekolahkan anak, mensejahterakan hidup keluarga, dan membeli kebutuhan
hidup lainnya (kebutuhan dasar). Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar
dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi pembantu rumah tangga. Gaji di
Indonesia berkisar 500 ribu-750 ribu rupiah. Padahal kalau di Arab Saudi, mereka digaji 700
riyal atau setara dengan Rp 1.610.000. selain itu ajakan anggota keluarga yang telah menjadi
TKI terlebih dahulu. Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya untuk bisa
menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi merantau. Lingkungan tempat tinggal yang
masyarakatnya sudah menjadi TKI turun temurun seperti di daerah Nusa Tenggara, Jawa Barat

dan Indramayu. Hal-hal tersebutlah yang merupakan alasan mengapa orang-orang memilih
menjadi TKI di luar negeri.
Selain itu, problematika juga muncul karena belum optimalnya perlindungan dan
layanan penempatan bagi mereka. Meskipun sudah muncul berbagai institusi dan layanan proTKI seperti Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), Badan Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) hingga layanan Call Center Bebas Pulsa
08001000, belum ada yang bisa memberikan layanan memuaskan untuk para TKI. Bahkan
muncul spekulasi kalau pengurusan Kartu tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) digunakan untuk
ajang mencari uang oleh oknum tertentu. Banyak juga oknum yang memanfaatkan masalah
penempatan untuk mendapatkan keuntungan.
Selain institusi dan layanan yang belum optimal, problematika TKI muncul karena
ketiadaan perwakilan RI di negara penempatan kerja. Di Taiwan misalnya, terjadi pemerasan
terselubung pada TKI yang mengurus paspor di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI).
Para TKI terpaksa mengurus paspor di sana karena ketiadaan kantor KBRI di negara tersebut.
TKI diharuskan membayar NT$1800 atau Rp 6.000.000 yang setara dengan 6 kali lipat dari
harga semula yaitu NT$300 atau Rp 100.000 yang tanpa diberi kuitansi resmi.
Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki payung hukum yang jelas untuk melindungi para
TKI. Beberapa payung hukum tersebut sebagai berikut :
1.

UU No.5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3783).

2.

UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.4279)

3. UU RI No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
4. UU RI No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Walaupun sudah banyak peraturan perudang-undangan yang berbicara mengenai
perlindungan TKI, tetap saja peraturan kebijakan perundang-undangan yang ada tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Permasalahan tersebut cenderung terus berulang dan tidak pernah selesai.
Hal ini juga disebabkan karena pemerintah Indonesia terlalu kaku dan kurang berani dalam

menjalankan peraturan. Hanya keuntungan devisa saja yang diperhatikan, tetapi perlindungan
akan hak para TKI di luar negeri sangat lemah dan tidak jelas.
Contoh kasus diatas dapat dikatakan sebagai masalah sosial karena masalah TKI
menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu atau masyarakat, masalah
TKI juga merupakan masalah yang sudah berlangsung dalam periode tertentu, terdapat
pelanggaran terhadap nilai-nilai dan standar sosial dari sendi kehidupan masyarakat dan
menimbulkan kebutuhan untuk dipecahkan. Masalah TKI merupakan salah satu dari sekian
banyak masalah sosial yang ada di Indonesia. hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang
kuat antara kesenjangan pembangunan antara desa dan kota yang tidak merata sehingga dapat
menjadi akar dari permasalahan tersebut.
Rekomendasi
Penulis mengusulkan dalam pemecahan masalah perlindungan TKI ini harus dilakukan
dalam berbagai tahap dan secara komprehensif. Peran sebuah institusi TKI sangat besar. Mereka
bertanggung jawab untuk melindungi hak dan keselamatan tenaga kerja, mengatur penempatan
dan prosedur, menfasilitasi kebutuhan, dan menciptakan layanan yang terbaik seharusnya intitusi
dan pemerintah lebih memperhatikan lagi masalah pengoptimalan peran institusi dan layanan
TKI, mulai dari masa prapenempatan, masa penempatan, hingga purnapenempatan.
1.

Prapenempatan. Pada masa ini, institusi berperan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab
untuk mengurusi keperluan TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Institusi membuka
pelayanan yang dibagi menjadi dua macam, yaitu pelayanan administrasi dan pelayanan praktek.
Pertama, pelayanan administrasi berkaitan dengan pengurusan dokumen, kelangkapan
administrasi, dan surat-menyurat. Pada layanan ini, prosedur pelayanan harus jelas dan tidak
berbelit-belit. Kedua, pelayanan praktek yang berkaitan dengan proses pembekalan kompetensi
pada calon TKI. Misalnya Balai Latihan Kerja. Pada pelayanan ini, harus benar-benar dipastikan
bahwa pembekalan kemampuan TKI berlangsung optimal. Dengan demikian para calon TKI kita
mendapatkan keterampilan yang baik dan bisa menjadi bekal mereka untuk merantau ke luar

negeri.
2. Penempatan. Pada saat penempatan, institusi berperan sebagai pengawas. Mereka bertanggung
jawab untuk mengawasi keselamatan para TKI dan memberikan perlindungan bagi mereka. Di

sinilah saat pemerintah dan institusi TKI harus benar-benar bekerja keras agar tidak teradi kasus
kekerasan majikan pada TKI, pelecehan seksual, pembunuhan, penahanan gaji, dan lain-lain.
3. Purnapenempatan. Pada saat purnapenempatan, institusi TKI berperan sebagai fasilitator
kembali. Artinya institusi bertanggung jawab untuk mengurusi dokumen dan administrasi
kepulangan para TKI. Selain itu, mereka juga harus memberikan pembekalan pada purna-TKI
tentang cara berwirausaha, mengatur keuangan, dan merencanakan kehidupan masa depan.
Pembekalan macam ini sangat penting agar kehidupan para purna-TKI akan lebih baik.
Pemerintah juga perlu mendirikan perwakilan di seluruh negara penempatan TKI, seperti
kantor pusat pelayanan dan perlindungan TKI. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan
yang ketat kepada PJTKI ataupun institusi legal yang menangani TKI agar tidak terjadi
kecurangan atau pemalsuan dokumen. Pemerintah perlu merealisasikan kebijakan perencanaan
pemerataan pembangunan antara desa dan kota sehingga tidak terjadi kepincangan
pembangunan. Hal tersebut diharapkan mampu menjawab akar permasalahan sosial seperti
permasalahan TKI ini.
Selain itu masyarakat juga dapat berperan aktif dalam proses sosialisasi kepada
masyarakat pada umumnya dan calon TKI pada khususnya tentang prosedur dan pelayanan yang
benar. Masyarakat juga dapat melakukan pengawasan dengan melaporkan kepada pihak
berwenang apabila menemukan penyelewengan calon TKI atau institusi TKI yang tidak sesuai
prosedur. Selain itu masyarakat dapat berperan dalam masa purnapenempatan yakni dengan
membuka layanan peduli TKI atau membuka LSM yang menangani masalah kepulangan TKI.
Pada akhirnya upaya untuk mengatasi masalah TKI di luar negeri yakni diperlukannya kerjasama
antar negara karena hal ini berjalan lintas negara. Yang harus dilakukan pemerintah adalah
memaksimalkan upaya perlindungan terhadap para pekerja migran di luar negeri dan membuat
kesepakatan yang jelas dengan negara-negara penerima TKI agar komitmen menjamin
kesejahteraan dan keselamatan mereka.
Soal No. 2
Pendahuluan
Dalam proses pembangunan baik di dunia Internasional maupun di Indonesia pada
dasarnya dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi

mikro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang
dibuatnya mempengaruhi proses perubahan di suatu masyarakat. Sedangkan dimensi yang kedua
adalah dimensi mikro, dimana individu dan kelompok dalam masyarakat mempengaruhi proses
pembangunan itu sendiri. Namun dalam implementasi pembangunan sosial sebagai paradigma
pembangunan ternyata tidaklah terlalu mudah, antara lain karena kerangka berpikir pembuat
kebijakan dan pelaksana program yang kurang memahami dan atau memiliki alur berpikir yang
berbeda.
Paradigma pembangunan sosial yang terkait erat dengan pembangunan ekonomi,
menyebabkan paradigma ini menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan. Padahal dalam teori
pembangunan sosial masyarakat bukan hanya ekonomi saja yang menjadi tolak ukur tetapi juga
berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, kepercayaan (modal sosial)
dan sebagainya yang berhubungan dengan manusia sebagai central pembangunan.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan masih cenderung menggunakan pendekatan topdown approach dan bukannya melakukan pendekatan bottom-up approach, sehingga
mengakibatkan pembangunan yang berjalan tidak selalu berhasil, hal ini karena selain
perencanaan yang tidak tepat, tidak adanya kesamaan alur berpikir dan konsep dari pelaksana
program secara langsung juga dapat menjadi penghambat pada saat implementasi sebuah
program pembangunan. Program pembangunan yang direncanakan lebih bersifat bantuan secara
langsung (konsumtif) dan tidak diperuntukkan untuk merangsang proses pertumbuhan,
perubahan, evolusi dan pergerakan masyarakat itu sendiri sebagai fokus pembangunan. Proses
pembangunan sosial seharusnya lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan
rencana dan strategi spesifik untuk mencapai tujuan-tujuan pembanguan sosial itu sendiri.
Ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan antara pembuat kebijakan dan pelaksana
program agar memiliki alur berpikir yang sama antara lain yakni tahapan sebelum proses
pembangunan atau program dilaksanakan, pembuat kebijakan juga perlu mendengarkan masukan
dari badan-badan atau lembaga yang terkait dalam pengimplementasian program secara
langsung. Yang kedua pada saat program berjalan perangkat atau sarana dalam melaksanakan
porgram juga harus diperhatikan sehingga apabila terdapat masalah dapat langsung diperbaiki di
tengah-tengah program. Dan yang terakhir setelah program dilaksanakan, evaluasi perlu
dilakukan untuk mengukur apakah output sesuai dengan input, dan ketepatan dalam skala
prioritas.

faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan Pembangunan Sosial
Ukuran keberhasilan pembangunan sosial jauh lebih kompleks, karena dalam
kenyataannya permasalahan sosial di Indonesia masih cukup beragam dan tinggi. Artinya,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tidak selalu menunjukkan tingkat kesejahteraan
masyarakat yang tinggi pula. Dalam pelaksanaan proses pembangunan sosial yang dilakukan
pasti didalamnya terdapat berbagai faktor, baik yang mendukung ataupun yang dapat menjadi
penghambat dalam penerapan dan implementasi pembangunan khususnya pembangunan sosial
yang telah direncanakan.
Faktor pendukung dalam penerapan pembangunan sosial di Indonesia antara lain yakni
potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah, peranan Swasta, NGO dan
Organisasi lain yang fokus terhadap permasalahan sosial, homogenitas dan hetrogenitas
solidartas, hal-hal tersebut merupakan pondasi yang kuat (faktor penting) yang dapat mendukung
penerapan pembangunan.
Sedangkan faktor-faktor penghambat dalam penerapan pembangunan sosial di Indonesia
antara lain adalah luas wilayah dan keberagaman budaya, pendekatan pembangunan yang
bersifat Top-down dan hanya fokus terhadap pertumbuhan ekonomi. Belum terwujudnya Good
and clean governance secara maksimal. Serta paradigma ketergantungan yang merupakan akibat
dari kelemahan konsep pembangunan yang ada, seperti penggunaan komponen-komponen
industri dari luar negeri menyebabkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital.
Daftar Bacaan :
Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan pembangunan. Jakarta : Pustaka Jaya.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Sumodiningrat, Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial. Jakarta : Kompas.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Elex
Media Komputindo : Jakarta.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasinnya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2009. Analisis Kebijakan Puplik; Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Media Pressindo : Yogyakarta.
Arif, Johar.

2011.

Mudahnya

Menjadi TKI Ilegal.

22 November. Jakarta : Antara.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/bnp2tki/11/11/22/lv21te-mudahnya-menjadi-tkiilegal.
www.Buruhmigran.or.id. dalam artikel berjudul Perlindungan Sosial untuk TKI (3) pada 25 Juni
2012.
Hidayat, Andy Riza. 2009. TKI ILEGAL: Masalah Berawal dari Rumah Kita. Jakarta : Kompas.
http://www.gugustugastrafficking.org/index.php
................ 2011. Yuk, Mengatasi Masalah Tki Lewat Perbaikan Layanan Dan Perlindungan Untuk
Mereka.
http://benitoramio-nugroho.blogspot.com/2012/07/yuk-mengatasi-masalah-tkilewat.html

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pemberdayaan
Masyarakat (Studi Kasus: Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pengembangan Pariwisata Panorama Pantai Disa,
Kec. Sahu, Kabupaten Halmahera Barat) (217)
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508
pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir dan
lautan yang sangat besar (Bengen, 2001). Luas wilayah perairan Indonesia se-besar
5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 Perairan Nusantara dan 2,7 km2 Perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia. Besarnya
potensi sumberdaya kelautan Indonesia tersebut, potensi sumberdaya ikan laut di
seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta ton per
tahun, tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati, selain potensi budidaya
perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S., 2001). Di lain sisi,
jumlah penduduk yang meningkat cepat beserta intensitas pembangunannya, sumber
daya alam di daratan sudah mulai menipis dan dengan kenyataan bahwa 60 % dari
penduduk Indonesia (kira-kira 185 juta jiwa) yang dianggap tinggal di daerah pesisir,

tidaklah mengherankan bahwa lingkungan pesisir dan laut menjadi pusat pemanfaatan
sekaligus pengrusakan yang tingkatnya sudah cukup parah untuk beberapa daerah
tertentu (Anonimous, 1996).
Sebagai negara yang terdiri atas kepulauan terbesar di dunia, pastinya
pelayanan oleh pemerintah pusat terhadap seluruh wilayah yang ada di Indonesia
sangat memiliki banyak kendala, yang berefek kepada disintegrasi bangsa, kemiskinan,
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan minimnya
pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan lambannya angka kesejahteraan
masyarakat. Maka dengan itu, untuk mentaktisi seperti yang disebutkan di atas, maka
pemerintah pusat mengambil sebuah kebijakan yang dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dalam otonomi daerah yang terdiri atas UU no 32 tahun 2004, tentang
pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah, bahwa daerah diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus daerahnya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah
untuk dikembangkan, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Untuk
itu, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemampuan mengidentifikasi dan
mengelola potensi-potensi yang ada di daerahnya, untuk dimanfaatkan secara efektif
dan efisien guna terselenggaranya aktifitas pembangunan dalam rangka peningkatan
kualitas hidup masyarakat dan daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah
berkewajiban secara konsisten mengelola potensi-potensi yang bisa dikembangkan,
salah satunya adalah pengembangan dan pengelolaan sektor pariwisata, yang
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, bangsa dan Negara.
Sejalan dengan hal di atas, dalam ketetapan MPR No. IV. Tahun 1999 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (1999:23) menetapkan bahwa :
“Pengembangan pariwisata melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu bersifat
interdisiplin dan partisipator dengan menggunakan kriteria ekonomis, tekhnis,
agronomis, social budaya, hemat energy, melestarikan alam dan tidak merusak
lingkungan”
Jadi pengembangan pariwisata pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan lahir maupun batin bagi
seluruh rakyat Indonesia, sehingga kekayaan wilayah nusantara sebagai modal dan
landasan pengembangan budaya bangsa secara keseluruhan dapat dinikamati oleh
masyarakat.
Kepariwisataan merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang cukup
potensial, yang mampu mendatangkan devisa yang cukup besar bagi kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan suatu konsentrasi penuh dari pemerintah pusat, guna
mendukung pembiayaan pembangunan daerah, terutama didaerah yang memiliki
potensi pariwisata, sehingga dapat dikelola semaksimal mungkin. Dengan demikian,
sektor kepariwisataan merupakan salah satu usaha yang dapat meningkatkan
pendapatan suatu daerah terutama dalam rangka menunjang penyelenggaraan
pemerintah dan pelaksanaan pembangunan. Untuk merealisasikan semua itu, maka
pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bidang kepariwisataan, seperti yang

tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 1999
(1999:23) yang menyebutkan bahwa :
“Menjadikan kesenian dan kebudayaan nasional Indonesia sebagai wahana bagi
pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara
konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antara bangsa”
Dengan adanya berbagai kebijakan yang mendukung dunia kepariwisataan,
maka tentunya akan memberikan peluang yang sangat besar untuk mengembangkan
dunia kepariwisataan di Indonesia, khusunya bagi daerah yang memiliki sejumlah
potensi wisata, baik wisata alam maupun wisata budaya.
Dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut, maka dalam
pelaksanaannya pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melakukan pemanfaatan
potensi wilayah yang berbasis masyarakat, serta memberikan perlindungan kelestarian
sumber hayati kepariwisataan. Sehingga tujuan pembangunan dapat menciptakan
lapangan kerja produktifitas serta mempertahankan sumber daya alam dalam lingkup
wilayah Kabupaten Halmahera Barat.
Namun dalam upaya pemanfaatan potensi, terkadang muncul permasalahan yang
berakar dari adanya kesenjangan kondisi lingkungan dan sistem sosial. Oleh karena itu,
pemerintah daerah sebagai perencana, pelaksanan, dan pengontrol dalam sebuah
kebijakan daerah diharapkan mampu menganalisis dan memetakan permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat sehingga dalam mengeluarkan kebijakannya tidak
terkesan sepihak, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan umum UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, bahwa tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang hendak dicapai,
maka pemerintah wajib melakukan pembinaan berupa pemberian pedoman, dalam hal
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.
Untuk itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas berupa pemberian
kemudahan, bantuan dan dorongan kepada pemerintah daerah agar dapat
melaksanakan otonomi daerah secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan, diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan
dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya otonomi daerah, sangat diharapkan daerah mampu memainkan
peranannya dalam membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan
identifikasi dan mengelola sumber-sumber yang berpotensi untuk dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah, karena besar kecilnya pendapat daerah sangat berefek
kepada keberhasilan pelaksanaan otonomi tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan
konsep otonomi dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasaan,
kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah
Berdasarkan UU Nomor: 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahwa sumber-sumber penerimaan dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi terdiri dari PAD (Pendapatan
Asli Daerah), Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah dan juga tentang

hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainya yang harus dilaksanakan secara adil dan selaras. Maka salah satu sektor
yang potensial adalah pariwisata, yang kiranya dapat menjadi aset bagi peningkatan
pendapatan daerah, yang berujung kepada keberhasilan pemerintah daerah
merealisasikan otonomi daerah, yang ditandai dengan terciptanya kesejahteraan yang
merata didalam masyarakat.
Pengembangan sektor pariwisata merupakan suatu tindakan yang realistis dan
logis, mengingat dampak positif yang ditimbulkan diantaranya semakin meluasnya
kesempatan usaha, baik hotel, biro perjalanan, toko cinderamata serta meningkatnya
pendapat masyarakat dan mendorong terpeliharanya keamanan dan ketertiban
walaupun sebenarnya “juga” ada hal-hal yang berdampak negatif.
Beberapa kebijakan pemerintah dalam sektor pariwisata diantaranya Pembinaan
dan Pengembangan Kepariwisataan seperti: menggencarkan promosi pariwisata,
meyiapkan dan meningkatkan mutu pelayan dan mutu produk wisata, mengembangkan
kawasan-kawasan pariwisata dan produk-produk baru terutama di wilayah timur
Indonesia, meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di bidang
kepariwisataan dan melaksanakan kampanye nasional yang berkesinambungan ( Hari
Karyono ; 1997 ; 90 ).
Sejalan dengan yang dijelaskan di atas, Kabupaten Halmahera Barat, Prov,
Maluku Utara, sebagai salah satu Kabupaten yang memilki beragam obyek wisata yang
kaya dan berpotensi bagi pengembangan pariwisata, namun dengan berbagai
keterbatasan maka pengembangan pariwisatanya berjalan kurang baik. Selain memiliki
obyek wisata pantai, ada terdapat obyek-obyek wisata lainnya dan untuk saat ini Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Halmahera Barat (MMC 10/12/2003) secara
bertahap berusaha mengembangkan obyek wisata di Kepulauan Halmahera Barat
dengan memberikan berbagai sarana-sarana penunjang agar dapat menarik jumlah
kunjungan wisata baik dari dalam maupun luar negeri.

1.
2.
3.
4.
5.

Kawasan wisata di Kabupaten Halmahera Barat di anggap sangatlah cukup
potensial dan belum mendapat ekspos secara penuh. Menurut Dinas Pariwisata
Kabupaten Halmahera Barat, potensi wisata yang ada di Kab. Halmahera Barat
(HALBAR) sangat memiliki daya tarik tinggi, karena menjadi obyek wisata yang sangat
di minati oleh masyarakat daerah setempat maupun masyarakat dari daerah lain, untuk
itu sangat penting untuk dilakukan studi bagi kemungkinan pengembangannya.
Pemerintah Daerah Halmahera Barat secara umum masih memiliki hambatan dan
keterbatasan dalam pelaksanaan pengelolaan dan- pengembangan pariwisatanya
seperti:
Panorama Alam, Puncak Gunung Gamkonora Kecamatan Ibu
Sumber Air Panas di Kecamatan Jailolo
Air terjun Goal dan Talaga Rano di Kecamatan Sahu.
Air Terjun Tetala di Kecamatan Loloda.
Panorama Pantai Idam Dahe di Kecamatan Sahu.

6. Pulau Tahofa dan Pulau Dodengo di Kecamatan Ibu.
7. Panorama
8. Pantai Disa di Kec. Sahu

Sealin itu, di Kabupaten Halmahera Barat terdapat pula obyek wisata flora dan
fauna seperti : Burung Bidadari, Burung Maleo, Burung Nuri dan Burung Kaka Tua dan
beragam obyek wisata budaya yang diperagakan diantaranya : Rumah Adat, Tari-Tarian
Daerah, Misalnya tari Kabata, Tari Moro-Moro, Tari Taula Hulo, Tarian Legu dan Salai.
Melihat banyaknya potensi pariwisata yang terdapat di Kab. Halmahera Barat
(HALBAR), Prov. Maluku Utara, seperti yang digambarkan di atas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai pengembangan kepariwisataan di Kabupaten
Halmahera Barat. Khususnya Pantai Disa, di Kec. Sahu.
Berdasarkan penjelasan yang ada, penulis melihat bahwa hal tersebut
merupakan suatu bahan yang menarik untuk di angkat menjadi bahan penelitian
dengan judul :
“Peranan Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus:
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata Panorama Pantai
Disa, di Kec. Sahu, Kabupaten Halmahera Barat)”