ASPEK HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENYELENGA
ASPEK HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENYELENGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
PILIHAN PASKA UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(Studi Kasus Pengusahaan Panas Bumi dalam Kawasan Hutan Di Jawa Barat)
Canggih Prabowo1
Abstrak
Dikembalikannya beberapa kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
terkait penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan sebagaimana termuat dalam Pasal 14
ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah ditujukan dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka
menengah 2015-2019 guna mengupayakan ketahanan energi domestik dan bernilai strategis
bagi hajat hidup orang banyak serta berfungsi meningkatkan daya saing industri nasional dan
pertumbuhan ekonomi dalam bentuk kebijakan diversifikasi, efisiensi, dan konservasi energi
melalui pengusahaan energi panas bumi dalam kawasan hutan sebagai komoditas bersama
atas penyediaan alokasi energi final dan menjadi sumber penerimaan negara diantaranya
berupa penjualan emisi karbon dihubungkan dengan perubahan tersebut, desentralisasi
dimaknai secara sempit sebagai salah satu penghambat pembangunan sedangkan kepedulian
terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan sosial khususnya bagi masyarakat lokal akan
kehilangan makna atas hasil pembangunan tersebut, sedangkan keberhasilan sebuah
pembangunan sangat tergantung pada sejauhmana penalaran normatif warga negara turut
dipertimbangkan antarpemangku kepentingan.
Kata kunci: Urusan pemerintahan pilihan, kebijakan energi, kawasan hutan, masyarakat lokal
LAW AND ECONOMIC ASPECTS OF GOVERNMENT AFFAIRS Organizing OPTIONS AFTER LAW
NO. 23 YEAR 2014 ON LOCAL GOVERNMENT
(Case Study Geothermal in Forest West Java Areas)
Abstract
The return of some powers from local governments to the central government administration
affairs related to the organization of choice, as contained in Article 14 (2) and (4) of Law No. 23
Year 2014 jo. 9 Year 2015 on Regional Government addressed in order to realize the medium
term development plan from 2015 to 2019 in order to pursue domestic energy security and
strategic value to the lives of many people and works to increase the competitiveness of
national industry and economic growth in the form of a policy of diversification, efficiency, and
energy conservation through the utilization of geothermal energy in the forest as a commodity
along with the provision of the allocation of final energy and a source of state revenue
including the form of the sale of carbon emissions associated with these changes,
decentralization is defined narrowly as one of the obstacles to development while the concern
for environmental sustainability and social justice, especially for local communities will lose
their meaning on the results of such development, while the success of a development is highly
dependent on the extent of normative reasoning of citizens are taken into account among the
stakeholders.
Keywords: selection of government affairs, energy policy, forest, local communities
A. Pendahuluan
Dalam lingkup makro provinsi Jawa Barat memiliki potensi cukup besar. Baik dari sisi letak
geografi karena berdekatan dengan Jakarta sebagai ibu kota negara yang merupakan pusat
1
Makalah disampaikan 8 Juni 2015, Simposium Nasional Hukum Tata Negara, Desentralisasi atau ReSentralisasi? Politik Hukum Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
1
pemerintahan, perekonomian, keuangan atau permodalan, dan teknologi. Maupun dari sisi
sumber daya alam terbarukan salah satunya berupa panas bumi dan dianugerahi keindahan
alam dengan panorama pegunungan serta pantai.
Di Jawa Barat sendiri saat ini memiliki 43 lokasi manifestasi panas bumi di 11 Kabupaten,
dengan total potensi mencapai 6.101 MWe. Total potensi Jawa Barat yang sudah proyek
terbangkitkan menjadi energi listrik pada tahun 2014 adalah sebesar 1130 MWe diantaranya
melalui: 2
No
Pembangkit Listrik Tenaga
Wilayah Panas
Kategori Hutan
Estimasi
Panas Bumi (PLTP)
Bumi
Kapasitas
(MW)
1
PLTP Wayang Windu
Kabupaten
Kawasan Hutan
227 MW
Bandung
Lindung
2
PLTP Patuha
Kabupaten
Kawasan Hutan
55 MW
Bandung
Lindung
3
PLTP Darajat
Kabupaten Garut
Kawasan Hutan
271 MW
dan Kabupaten
Korservasi
Bandung
4
PLTP Awibengkok, Gunung
Kabupaten Bogor, Kawasan Hutan
377 MW
Salak
Kabupaten
Lindung
Sukabumi dan
Kabupaten Lebak
5
PLTP Kamojang
Kabupaten Garut
Kawasan Hutan
200 MW
dan Kabupaten
Konservasi
Bandung
Di samping itu, terdapat pembangkit panas bumi skala kecil dalam wilayah kerja panas
bumi di desa Cibuni kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung dalam kawasan perkebunan
sebesar 100 kWe, yang mulai beroperasi pada tahun ini. Merujuk pemanfaatan panas bumi
secara tidak langsung untuk pembangkit tenaga listrik tersebut, secara nasional baru mencapai
1189 MWe atau sekitar 4% dari potensi yang tersedia dan baru terkonsentrasi di Jawa Barat
sedangkan potensi nasional panas bumi di Indonesia mencapai 28 GW atau sekitar 40% hal ini
menunjukan bahwa Jawa Barat merupakan wilayah terdepan dalam pengembangan panas
bumi.3
Selain itu Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan kepadatan populasi penduduk
tertinggi di Indonesia dengan didukung sarana infrastruktur yang relatif baik terutama akses
transmisi tenaga listrik ke PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta terdapat beberapa
kawasan industri manufaktur seperti (1) Industri tekstil; (2) Industri kaca; (3) Industri baja, (4)
Industri pupuk, (5) Industri pulp dan kertas, (6) Industri semen, (7) Industri keramik.4 yang
secara alamiah terus meningkat akan dibutuhkan alokasi penyediaan kebutuhan listrik yang
berkesinambungan.
Dari beberapa potensi di atas, membuka pengembangan pangsa pasar energi terbarukan
sebagai daya tarik utama bagi beberapa perusahaan energi panas bumi memilih lokasi di
2
http://esdm.jabarprov.go.id/index.php/en/2014-12-23-08-20-21/panas-bumi diunduh 26 Maret 2015.
http://www.esdm.go.id/berita/45-panasbumi/3405-hambatan-pengembangan-panas-bumi-harus-dihilangkan.html diunduh 26
Maret 2015.
4
Biro Perencanaan Kemeterian Perindustrian, Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri, 2012, hlm. iii.
http://rocana.kemenperin.go.id/index.php/download/category/39#
3
2
wilayah ini sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing
industri nasional.
Kendati demikian, dari beberapa wilayah kerja panas bumi tersebut. Meski memiliki potensi
pengusahaan, namun belum dapat berjalan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2014 Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Alam No. 15 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas
serta Transmisi Terkait, khusus untuk pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan
ditetapkan melalui Nota Kesepahaman Antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam
Mineral dengan Kementerian Kehutanan No. 7662/05/MEM.S/2001 dan Nomor
NK.16/Menhut-II/2011 tentang Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi Pada Kawasan
Hutan Produksi, Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Konservasi antara lain yaitu:
No
Pembangkit Listrik
Wilayah Kerja Panas
Kategori Hutan
Estimasi
Tenaga Panas Bumi
Bumi
Kapasitas
(PLTP)
(MWe)
1
PLTP Karaha Bodas
Kabupaten
Kawasan Hutan
140
Tasikmalaya dan
Lindung
Kabupaten Garut,
2
PLTP Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang Kawasan Hutan
45
dan Kabupaten
Lindung
Subang
3
PLTP Gunung Tangkuban Kabupaten Subang,
Kawasan Hutan
170
Perahu
Kabupaten Bandung,
Lindung dan
dan Kabupaten
Hutan Produksi
Purwakarta
4
PLTP Gunung Ciremai
Kabupaten Kuningan, Kawasan Hutan
110
Kabupaten
Lindung
Majalengka, dan
Kabupaten Cirebon
5
PLTP Cisolok Cisukarame Kabupaten Sukabumi
Kawasan Hutan
160
Konservasi dalam
Taman Nasional
Gunung Salak
Selain wilayah kerja panas bumi yang berada Provinsi Jawa Barat di atas, terdapat 37
wilayah kerja diantaranya belum menunjukkan perkembangan signifikan, bahkan 12 proyek
pembangkit listrik panas bumi tidak berjalan sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Presiden
Boediono 2013 silam5 untuk memanfatkan potensi panas bumi nasional yang berada dalam
kawasan hutan konservasi sebanyak 29 lokasi dengan potensi sebesar 3.428 MW (10,9%)
sedangkan yang berada dalam kawasan hutan lindung sebanyak 52 lokasi dengan potensi
sebesar 8.41 MW (19,6%).6
Terkait hal ini, berbagai kendala dalam merealisasikan proyek pembangkit listrik panas
bumi harus dihilangkan melalui perbaikan mendasar adapun kendala-kendala yang dihadapi
antara lain lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sedangkan pelaku usaha terdiri
5
Kliping Media Surat Kabar Kompas 13 Juni 2013.
http://www.esdm.go.id/berita/45-panasbumi/3405-hambatan-pengembangan-panas-bumi-harus-dihilangkan.html diunduh 26
Maret 2015
6
3
dari: (1) Swasta; (2) Koperasi; (4) Badan usaha milik negara; (5) Badan usaha milik daerah serta
keterlibatan masyarakat lokal, beberapa hal ini menjadi kendala tersendiri.7
Di samping itu, saat ini pemerintah memiliki beberapa pencapaian besar untuk membangun
Indonesia selama lima tahun ke depan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2015 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2015-2019,8 memuat beberapa
pembangunan infrastruktur khusus pembangunan pembangkit listrik melalui pengusahaan
energi panas bumi berskala kecil (100 kw-5 MW). Selanjutnya diturunkan dalam rencana
usaha penyediaan tenaga listrik 2015-2024 berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral 74 K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2015 sampai dengan 2024 guna
menunjang alokasi ketersediaan akan kebutuhan energi listrik sebesar 35.000 MW dari
besaran nilai tersebut, panas bumi menyumbang 4.000 MWe dari tahun 2014-2015 kemudian
dalam jangka panjang meningkat menjadi 9.5000 MWe di tahun 2025.9
Rencana energi final seperti listrik merupakan salah satu cabang produksi penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehubungan dengan itu, diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kenyamanan, sekaligus sebagai urat nadi kegiatan ekonomi
dan penggerak pertumbuhan, oleh karena itu Indonesia memerlukan pengelolaan sumber
daya alam energi primer dan final yang tepat secara konstitusional dan efisien agar kekayaan
sumber daya energi primer dapat memberikan pemasukan bagi negara secara maksimal dan
seluruh kebutuhan energi final masyarakat terpenuhi dengan harga terjangkau.10
Sedangkan dalam lingkup mikro dihubungkan dengan kendala-kendala tersebut, bertitik
tolak pada penyelesaian program proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik yang tidak
dapat dilepaskan dari kapasitas pelaksanaan keserasian hubungan berupa pengelolaan
pembagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda,
bersifat saling berhubungan, saling tergantung, dan saling mendukung sebagai satu kesatuan
sistem dengan memperhatikan cakupan pemanfaatan tidak langsung panas bumi.
Dalam kawasan hutan memerlukan kehati-hatian dan kecermatan pertimbangan
dikarenakan munculnya persoalan-persoalan berkaitan kepentingan masyarakat sekitar
kawasan hutan maupun daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadi tantangan
tersendiri yang turut pula diperhatikan berkenaan urusan pemerintahan sehingga diperlukan
terobosan konkret mutlak diperlukan dengan turut memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, penataan tata ruang, lingkungan hidup, pemerataan, dan keanekaragaman daya
dukung potensi sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam Pancasila sebagai landasan
idiil dan landasan konstitusional pemerintah daerah termaktub dalam Pasal 18, Pasal 18A11
dan Pasal 18B.12
Beberapa pasal dimaksud, menurut Bagir Manan menampakan prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:13
(1) Prinsip Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2);
(2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5);
7
Ibid.
Buku I Agenda Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, hlm. 114.
9 “u yada
a et al, Geothe al Resou e Risk I I do esia – A “tatisti al I ui y , Paper Presented at the 30th Workshop on
Geothermal Reservoir Engineering, Stanford University, Stanford, California, 31 Januari–2 Februari 2011, hlm. 1.
10
Atiqah Nur Alami, Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi, LIPI Press, 2014, hlm. 44..
11 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 18 Agustus 2000.
12 Ibid.
13 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pusat Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 8-17.
8
4
(3) Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1);
(4) Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2);
(5) Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa (Pasal 18B ayat 1);
(6) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat
3);
(7) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil.
Secara konseptual, 3 (tiga) instrumen hukum tersebut bermaksud mencari keseimbangan
ayunan bandul antara otonomi dan sentralisasi hanya dengan keseimbangan itu akan terjadi
dinamika positif dalam rangka memelihara negara kesatuan maupun memaksimalkan peran
dan partisipasi daerah untuk mewujudkan kemerdekaan.14
Di samping beberapa pasal tersebut berkaitan dengan Pasal 28H15 ayat (1), Pasal 33, dan
Pasal 33 ayat (4)16 menurut Jimly Asshiddiqie beberapa pasal tersebut memuat jaminan
perlindungan hak asas manusia bagi setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang
baik dan sehat dalam hal ini negara dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin
lingkungan hidup yang baik dan sehat dan dapat menuntut setiap orang untuk menghormati
hak orang lain, dan apabila perlu dapat memaksa setiap orang untuk tidak merusak lingkungan
hidup untuk kepentingan bersama dalam wujud pembangunan perekonomian nasional melalui
pengarusutamaan atas demokrasi ekonomi haruslah mengandung prinsip berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.17
Mengenai hal ini Emil Salim menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, bahkan salah satu terbesar di dunia.
Keanekaregaman hayati tersebut berada di hutan. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban
negara untuk menjaga hutan.18
B. Implikasi Diterbitkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah
Merujuk 2 (dua) landasan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bergulirnya
desentralisasi dan demokrasi ekonomi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan terbitnya
perubahan atau penyempurnaan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai
pemerintahan daerah melalui instrumen hukum ini mengatur 4 (empat) dimensi hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi: (1) Hubungan kewenangan; (2)
Hubungan kelembagaan; (3) Hubungan keuangan; (4) Hubungan pengawasan.19
Beberapa hubungan ini bisa dikatakan sedang menuju upaya pematangan atas
penyelengaraan otonomi daerah dalam lingkup negara kesatuan yang tidak lepas dari proses
tarik ulur antara kepentingan nilai keekonomian dan kepentingan nilai pemanfaatan sumber
daya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selanjutnya meletakan sistem
hubungan dan kepentingan tersebut berdasarkan 3 (tiga) asas hukum pemerintahan daerah
14 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
2005, hlm. viii.
15
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7-18 Agustus 2000.
16 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 1-11 Agustus 2002.
17 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali
Press, Jakarta hlm. 182.
18
Francisia S. S. E. Seda, Dinamika Sumber Daya Alam, Negara Developmentalis, dan Masyarakat: Persepktif Sosiologi Perubahan
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2014, hlm. 145.
19 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik tentang Hubungan Kewenagan Pemerintah Pusat dan Daerah, hlm. 3.
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang _hubungan_kewenangan_pemerintah.pdf.
5
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 8, angka 9, dan angka 11 Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya untuk mengetahui pembentukan hukum praktis atas 3 (tiga) asas hukum
tersebut dalam bentuk norma hukum dapat ditelusuri dalam beberapa pasal perubahan yang
berkaitan dengan urusan pemerintahan pilihan diantara yakni: (1) Pasal 14 ayat (3) UndangUndang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan bidang kehutanan yang berkaitan dengan
pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota,
selanjutnya diatur dalam lampiran BB Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan No
3 sub konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.20
Apabila, dibandingkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten secara eksplisit tidak memuat dan mengatur hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 66 Bab 8 mengenai penyerahan kewenangan UndangUndang No. 41 Tahun 1999 jo. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan mengamatkan pemerintah
menerbitkan 2 (dua) peraturan pemerintah terkait dengan pengelolaan kawasan hutan yaitu
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan memberikan kewenangan luas bagi pemerintah kabupaten dan kota melalui perizinan
meliputi pelaksanaan tata hutan pada setiap unit pengelolaan hutan di semua kawasan antara
lain hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Kemudian Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Pelestarian Alam secara jelas mengatur untuk taman hutan raya,
penyelengaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Dengan demikian, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 di satu sisi mengacu
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 sedangkan di sisi lain dalam hal pemberian perizinan
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung tetap sebagai kewenangan pemerintah
kabupaten dan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002.
Dalam hal kewenangan mengurus dan mengatur kawasan hutan secara otonom
dikembalikan kepada pemerintah pusat yang diselengarakan melalui perusahaan umum
kehutanan negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003; (2) Pasal 14 ayat 4
Undang-Undang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan
daerah/kabupaten, selanjutnya diatur dalam lampiran CC Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral no 4 sub energi baru terbarukan.21
Di bidang ini membagi kewenangan atas pemanfaatan panas bumi dalam bentuk
pemanfaatan langsung untuk keperluan non listrik dan pemanfaatan tidak langsung untuk
keperluan pembangkit tenaga listrik, mengenai hal ini selanjutnya diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Memberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota dalam pemanfaatan tidak
langsung untuk kepentingan pengusahaan energi panas bumi dalam pembangunan
pembangkit listrik kewenangan ini diselengarakan sesuai dengan Bab IV Pasal 5 ayat (3) huruf d
20
Lampiran, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 20114 Nomor 244,
hlm. 283.
21 Ibid, hlm. 292.
6
mengenai Kewenangan Pengelolaan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan menyatakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang
ketenagalistrikan salah satunya adalah penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam
kabupaten/kota.
Namun, dengan diterbitkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, 17
September 2014 dalam bab XII mengenai ketentuan penutup Pasal 87 menyatakan mencabut
dan tidak dinyatakan tidak berlaku Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
mengenai hal ini selanjutnya termuat dalam penjelasan umum paragraf 5 menerangkan
sebagai berikut:
Dalam perkembangan lebih lanjut, pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak
langsung atau untuk pembangkitan tenaga listrik bersifat sangat strategis dalam menunjang
ketahanan energi nasional karena listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik
Panas Bumi dapat dimanfaatkan lintas batas administratif. Dalam jangka panjang harga
listrik yang dihasilkan dari Panas Bumi lebih kompetitif dan lebih andal jika dibandingkan
dengan pembangkit listrik dari fosil sehingga Pemerintah memandang perlu meletakkan
kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi ke Pemerintah. Pemerintah fokus melakukan
penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang digunakan sebagai
pembangkitan tenaga listrik .
Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung dibagi kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka mempercepat
pengembangan Panas Bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Pemerintah selain
diberi kewenangan melakukan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi juga diberi kewenangan
untuk melakukan Eksploitasi dan Pemanfaatan.
Penjelasan di atas, bisa dikatakan untuk mengatasi proyeksi kebutuhan energi 7 industri
pilihan sebagaimana telah disinggung di awal melalui 3 skenario: skenario Business as Usual,
skenario akselerasi, dan skenario akselerasi disertai efisiensi22 selaras dengan pandangan
Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah intervensi
dalam rangka mencapai pemanfaatan energi yang optimal dengan memperhatikan
peningkatan daya saing ekonomi, perlindungan konsumen, serta pemerataan penggunaan
energi.23
Mengacu atas serangkaian perubahan dalam Undang-Undang Undang-Undang No. 23
Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah terkait urusan pemerintahan pilihan
tersebut dihubungkan dengan pengertian desentralisasi menurut Jimly Asshiddiqie,
pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan menjadi 3 (tiga) pengertian yaitu: 24
(1) Desentralisasi dalam arti dekonsentrasi, yaitu pelimpahan beban tugas atau beban kerja
dari pemerintah pusat kepada kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti
oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan;
(2) Desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan berisi penyerahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi pemerintahan daerah
yang berada diluar jangkauan kendali pemerintah pusat;
(3) Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan merupakan
penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah.
22
Biro Perencanaan Kemeterian Perindustrian, Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri, Op.cit., hlm. v.
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktek, Jakarta : LP3ES, 2000 hlm. 324
24 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,Jilid II, 2006,
hlm. 28.
23
7
Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa dikontrol oleh
pemerintah pusat yang telah menyerahkan itu kepada pemerintah daerah. Sedangkan
menurut RDH. Koesoemahatmadja menyatakan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan
kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya
sendiri, sedangkan dekonsentrasi (deconcentratie) atau ambtelijke decentralisatie yaitu
pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahnya
guna melancarkan pekerjan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan.25
Kemudian secara umum, terdapat dua jenis kewenangan yang limpahkan kepada
pemerintah daerah, yakni (1) Kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam kewenangan
ini erat kaitannya dengan peraturan perundang-undangan berupa perizinan untuk penyediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya alam daerah; (2) Kewenangan
mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik
pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya, maupun
kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum.
Desentralisasi dalam urusan pemerintahan pilihan terdapat berbagai bentuk dan jenis
desentralisasi sebagaimana telah dijabarkan. Masing-masing sumber daya alam diatur
tersendiri dan berdiri sendiri serta sekaligus menentukan jenis desentralisasi dan sejauhmana
desentralisasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri itulah yang seringkali membedakan ukuran
desentralisasi antara satu bidang dengan bidang lainnya.26
Dalam hal ini, karakter Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah dalam hal penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan bisa dikatakan
berpotensi mengembalikan bandul kewenangan kepada pemerintah pusat (resentralisasi)
dengan corak pemerintahan daerah berdasarkan desentralisasi dalam arti dekonsentrasi
kendati menunjukan kemunduran dengan menyisakan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota dalam hal perencanaan dan pembuatan peraturan daerah serta pengelolaan
taman nasional.
Argumentasi pada halamanan sebelumnya dapat ditinjau lebih lanjut Gubernur Jawa Timur
Dr. H. Soekarwo pada 24 Februari 2016, melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2014 tentang Panas Bumi [Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23
ayat (2)] dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Lampiran
CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan] terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hingga tulisan ini disusun majelis hakim Mahkamah Konstitusi
belum mengeluarkan putusan.
B. Ambivalen Otonomi Daerah atas Penyelengaraan Urusan Pemerintahan Pilihan
Dihubungkan dengan Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Dari uraian sebelumnya, nampak sikap ambivalen pemerintah pusat antara hak,
kewenangan, dan kewajiban urusan pemerintahan dalam konteks pengertian otonomi daerah
sebagaimana termuat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelengaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Negara
Kesatuan Repubik Indonesia.
25
RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta,1979, hlm. 14.
Bernadinus Steni, Desentralisasi, Koordinasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi
Daerah,
hlm.
10-12.
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Desentralisasi-koordinasi-dan-partisipasiMasyarakat_Steny.pdf.
26
8
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ini mengamanatkan secara
langsung bahwa ketetapan ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang
tentang pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya penyelengaraan otonomi daerah, memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini penyelengaraan otonomi
daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman
daerah serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan
dengan memperhatikan: (1) Potensi daerah; (2) Luas daerah; (3) Jumlah penduduk; (4)
Keadaan geografi; (5) Tingkat pendapatan masyarakat di daerah.
Dalam rangka menjalankan kewenangan tersebut, Pemerintah daerah berwenang
mengelola sumber daya alam nasional berupa sumber daya alam, sumber daya buatan, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah. Dalam hal ini materi norma hukum
sebagaimana tercantum Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagai sarana pemerintah pusat untuk menata kembali hubungan
pemerataan pembangunan dengan pemerintah di satu sisi, sementara di sisi lain pemerintah
pusat menerapkan kebijakan resentralisasi dikarenakan desentralisasi diartikan secara sempit
sebagai penghambat pembangunan tenaga listrik panas bumi. Adapun sebagai gambaran atas
pembangunan pembangkit tenaga listrik dari masa ke masa dapat dijelaskan dalam tabel
berikut ini:27
Pemerintahan
Pemerintahan
Pemerintahan
Presiden Soeharto
Presiden Susilo
Presiden Joko
Bambang Yudhoyono Widodo
Rasio Elektrifikasi Sepanjang 1980
Meningkat 62%
Menargetkan
Listrik (%)
hingga menjelang
menjadi 81,5% dalam peningkatan rasio
akhir Orde Baru rasio
10 tahun
elektrikfikasi
elektrifikasi meningkat
menjadi 96,9%
dari 8% menjadi 43%
dalam 5 tahun
Tabel di atas menggambarkan, urusan pemerintahan pilihan tidak seluas-luasnya
diserahkan kepada daerah otonom dikarenakan, pada bidang dimaksud bernilai ekonomi dan
bersifat sangat strategis dalam menunjang ketahanan energi nasional sehingga secara tegas
ditarik kembali menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.28 Lebih lanjut, otonomi
dan resentralisasi dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan pilihan setidaknya
terdapat beberapa perubahan penting yang terjadi dalam urusan pemerintahan tersebut
diantaranya:29
1. Perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam;
2. Perubahan kewenangan dalam sumber-sumber keuangan (pajak dan retribusi).
3. Memindahkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke tingkat daerah
namun, prinsip dasar yang menyatakan bahwa sumber daya alam adalah milik
negara tidak berubah.
27
Penelitian dan pengembangan kompas, diolah dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kompas, 9 Januari 2015.
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, 2008,
Jakarta, hlm. 39-45.
29 Anu Launela dan R. Yando Zakaria, Berebut Tanah, Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung, Cetakan Pertama, Insist
Press, Yogyakarta, 2002. hlm. 54.
28
9
Beberapa perubahan dalam kerangka resentralisasi tersebut, menyiratkan konsep tata
kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa mengacu definisi oleh Bank Dunia
sebagai the way of state is used in managing economic and social resource for development of
society dari definisi tersebut Bank Dunia mengidentifikasi 3 (tiga) aspek atas konsep tersebut
antara lain: (1) Bentuk sistem pemerintahan ketatanegaraan; (2) Proses dimana kewenangan
dijalankan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan serta
(3) Kapasitas pemerintah untuk merancang, memformulasikan dan menerapkan setiap
peraturan perundang-undangan guna menjalankan fungsinya.30
Sebagaimana dijelaskan pada butir (2) dan (3) menurut Herlambang Wiratraman dapat
ditinjau dari sasaran yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumber daya alam
dan menopang pertumbuhan ekonomi disertai elemen-elemen kunci berupa akuntabilitas,
kepastian hukum, transparansi, dan partisipasi.
Namun, elemen-elemen kunci ini belum berimbang urusan perlindungan hak-hak asasi
manusia misalnya dalam urusan pemerintahan wajib (penataan tata ruang) dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (lingkungan), bukanlah urusan
yang penting dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. A contrario, berarti, tata
kelola pemerintahan yang baik akan menempatkan posisi pasar energi terbarukan secara
dominan, dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan pun telah diseleksi.31
Dalam hal ini memungkinkan terjadinya perselisihan dalam hal kewenangan urusan
pemerintahan yang turut melibatkan kepentingan masyarakat umum hal ini dapat ditinjau dari
dua segi: (1) Pengaturan kewenangan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang
sektoral sampai dengan saat ini terdapat sebagian yang telah dan belum disesuaikan dengan
Undang-Undang 23 Tahun 2014; (2) Pelimpahan urusan pemerintahan tidak sama dalam
pembagian kewenangannya sebagaimana diatur dalam undang-undang sektoral,32 sehingga
memunculkan implikasi sebagaimana kemukakan oleh Bagir Manan disebut dengan spanning
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.33
Terkait kondisi sebagaimana dimaksud oleh Bagir Manan bersinggungan dengan
kewenangan dan wewenang dalam hal ini menurut Prajudi menjelaskan kewenangan adalah
apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif
(diberikan oleh Undang-undang) atau dari Kekuasaan eksekutif administratif.34
Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau
bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil
tertentu saja. Jadi, menurut Prajudi di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechbevoegheden).35
Namun, beberapa literatur menggunakan kata kewenangan dan wewenang secara
bergantian.36 Kewenangan dan wewenang kadangkala dikaitkan dengan kekuasaan. Menurut
Bagir Manan, wewenang dalam hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).37 Kekuasaan
30
Lilin Budiati, Good Governance Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hlm. 48-49.
Digest Epistema, Volume 3 Tahun 2013, Herlambang P. Wiratraman, Good Goovernace dan Pembaruan Hukum di Indonesia:
Refleksi dalam Penelitian Sosio-Legal, hlm. 21.
32 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan tentang Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, hlm.
36, http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang _hubungan_kewenangan_pemerintah.pdf.
33 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23.
34
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Cetakan ke-10, Jakarta, 1994, hlm. 78.
35 Ibid.
36 Ibid.
37 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2006, hlm. 102.
31
10
hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat sedangkan dalam hukum,
wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).38 Baik kewenangan
maupun wewenang yang utama adalah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan,
sesuai dengan asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas legalitas menurut
H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de
heerschappij van de wet).39 Sedangkan, menurut Sjachran Basah, asas legalitas adalah upaya
mewujudkan gabungan integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif.40
Namun, dalam praktik pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan sebelum perubahan
Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi sebagaimana tertuang dalam Nota
Kesepahaman Antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral dengan
Kementerian Kehutanan No. 7662/05/MEM.S/2001 dan Nomor NK.16/Menhut-II/2011
tentang Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi Pada Kawasan Hutan Produksi,
Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Konservasi, menyimpang dari maksud dan tujuan
dari penetapan kawasan hutan tersebut sehingga tidak lagi bermakna apapun serta pandangan
para pakar hukum tersebut tidak dijadikan landasan pembentukan hukum.
Di samping itu secara jelas menyalahi Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
jo. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyatakan Perubahan peruntukan kawasan hutan
yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
pemerintah dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat, sehingga kepastian hak hukum
masyarakat untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat terciderai.
Sedangkan dalam hal pemanfaatan kawasan hutan dalam hal pengusahaan panas bumi
dapat dilakukan pada semua kawasan hutan produksi dan hutan lindung melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan. Sejalan dengan
kawasan konservasi sebagai hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba secara tegas
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 jo.
19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Atas penyimpangan tersebut Salim HS berpendapat bahwa pada prinsipnya, kegunaan
kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Akan tetapi, tidak tertutup
kemungkinan penggunaan kawasan yang menyimpang dengan fungsi dan peruntukannya
dengan syarat ada persetujuan dari Menteri Kehutanan.41
Dari penjelasan ini pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan terkait dengan perizinan
dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana di awal telah disinggung
merupakan kewenangan pemerintah kabupaten dan kota ditarik oleh kementerian kehutanan
dan kementerian energi dan sumber daya mineral sehingga kewenangan sebagaimana
termaktub dalam beberapa peraturan perundang-undangan tidak efektif diberlakukan.
C. Alasan Keilmiahan Pengusahaan Panas Bumi dalam Kawasan Hutan Sebagai Komoditas
Bersama
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf B Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang jelas
menetapkan Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat sebagai salah satu instrumen hukum
dalam tata urut pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan demikian setiap
38
Ibid.
Ibid. hlm. 94.
40 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 2.
41 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 27.
39
11
peraturan perundang-undangan mengenai sumber daya alam sebagaimana telah disinggung
sebelumnya erat hubungannya dengan diterbitkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Rakyat Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agaria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Selain itu ketetapan ini memilah dua bidang Pasal 2 (pembaruan agraria), Pasal 3
(pengelolaan sumber daya alam), dan arah kebijakan dalam Pasal 5 ayat (1) menyangkut
pembaruan agraria serta Pasal 5 ayat (2) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Namun demikian, lingkup pengelolaan sumber daya alam dalam ketetapan tersebut belum
menjelaskan secara rinci meliputi (1) Definisi tentang sumber daya alam, (2) Tata cara
pengikutsertaan peran serta masyarakat umum dalam pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam; (2) butir 5 sebagaimana dimaksud di atas, menunjukan pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan tata ruang untuk mengendalikan dan membatasi gerak
pemerintah maupun masyarakat dalam kegiatan baik dalam bidang usaha pertanian,
perkebunan, dan kehutanan; (3) Menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara
kepentingan negara, kepentingan umum, dan kepentingan perorangan.
Dari beberapa hal tersebut, merujuk penjelasan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, mengenai sumber daya alam didefinisikan sebagai stock dalam arti sumber daya
alam yang tersedia dalam jumlah, kualitas, tempat, dan waktu tertentu sedangkan flows
adalah aliran sumber daya alam baik berupa penambahan maupun pengurangan stock yang
ada di alam. Sedangkan menurut Kartodihardjo dapat digolongkan menjadi dua bentuk yakni
stock (sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui) dan flow (sumber daya alam dapat
diperbaharui):
(1) Pengertian stock merupakan sumber daya alam sebagai entitas bebas dan dapat
diakses oleh masyarakat sebagai contohnya adalah hutan, gunung, pesisir pantai,
maupun danau, kawasan lindung;
(2) Stock sebagai faktor produksi atau sebagai komoditas seperti kayu, air, dan lain
sebagainya. Lebih lanjut modal alam ini dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang
intangible seperti menampung air, mencegah terjadinya banjir di musim hujan,
mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 yang ada di udara,
mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dapat
dimanfaatkan bagi alokasi penyediaan energi terbarukan beberapa fungsi ini tidak
dapat dibagi-bagikan kepada perorangan dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan,
meskipun setiap orang memerlukannya.
Dari pengertian di atas, stocks sendiri mengindikasikan sumber daya alam dimaknai
sebagai sumber ekonomi yang dapat diekstrasi dan dikomersialisasikan menjadi komoditas
harga tinggi. Sumber daya alam sebagai stocks sendiri tidak dapat diperbaharui yakni apa yang
dimanfaatkan sekarang tidak dapat dimanfaatkan kemudian hari. Hal inilah yang menjadikan
tingkat pemanfaatan komoditas tidak seperti flows yang dapat digunakan sepanjang generasi
manusia.42
Selanjutnya dihubungkan dengan penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan dalam
peningkatan daya saing industri nasional dan pertumbuhan ekonomi erat kaitannya alokasi
penyediaan energi listrik melalui panas bumi dalam kawasan hutan bersinggungan atas
peningkatan permintaan konsumsi listrik baik dari sisi penawaran atas penyediaan energi
primer di bagian hulu kemudian pada sisi permintaan berkaitan dengan permintaan energi
final di konsumen akhir termasuk usaha diversifikasi, efisiensi dan konservasi energi.43
42
43
Yance Arizona,.Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam. HuMa, Jakarta, 2008, hlm. 7-8.
Purnomo Yusgiantoro, Op.cit, hlm. 317.
12
Menurut Saptadji, keunggulan dari energi panas bumi adalah dalam faktor kapasitas
(capacity factor), yaitu pe a di ga a ta a e a
ata‐ ata ya g di a gkitka oleh
pembangkit dalam suatu periode (average load generated in period) dengan beban maksimum
yang dapat dibangkitkan oleh PLTP tersebut (maximum load). Faktor kapasitas dari pembangkit
list ik pa as u i ata‐ ata 9 %, jauh le ih ti ggi ila di a di gka de ga fakto kapasitas
da i pe a gkit list ik ya g e ggu aka atu a a, ya g esa ya ha ya 0‐ 0%.44
Sedangkan menurut Asplund, kelemahan energi panas bumi antara lain adalah sebagai
berikut: pembangkit listrik panas bumi hanya ekonomis di daerah panas bumi aktif;
pembangkit listrik panas bumi membutuhkan investasi yang sangat mahal untuk eksplorasi,
pengeboran, dan pembangunan pembangkit; pembangunan pembangkit listrik panas bumi
dapat mempengaruhi stabilitas tanah di daerah sekitarnya dan aktivitas seismik dapat timbul
karena pengeboran; sumber panas bumi dapat habis jika tidak dikelola dengan baik.45 Sejalan
dengan itu pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi sebagai terbarukan dan
ramah lingkungan berpotensi untuk dibiayai dengan mekanisme pembangunan bersih dalam
Protokol Kyoto.
Namun demikian, menurut Andri G Wibisana dari mekanisme pembangunan bersih
tersebut tidak lepas dari pendekatan ekonomi (voluntary compliance/market based approach)
dan pendekatan pentaatan (compliance approach) yang bersifat komprehensif (command and
control approach) bagi negara yang berhasil dalam hal ini seperti Filipina misalnya berhasil
menurunkan emisi memiliki sisa emisi yang bisa dijual kepada pihak lain emisinya melebihi
kuota (cap and trade) mendorong beberapa negara menerapkan metode ini dalam payments
for environmental services, perdagangan karbon di bawah rezim Protokol Kyoto, atau proposal
pendanaan proyek REDD+.
Gagasan dasarnya tetaplah sama yaitu komodifikasi fungsi ekologis lingkungan. Sehingga
membentuk proses isolasi fungsi lingkungan seperti ini merupakan bentuk fetisisme
komoditas. Isolasi ini memungkinkan diuangkannya alam, tetapi gagal melihat kompleksitas
fungsi ekologis. Hubungan manusia dengan alam pun direduksi menjadi hubungan dagang.
Kawasan hutan tidak lagi dinilai dalam konteks fungsi sosial, budaya, dan relasi ekologisnya
dengan manusia.
Di samping berpotensi mereduksi fungsi ekologis alam dan relasi alam-manusia, model
perdagangan karbon juga dapat mengubah motivasi konservasi menjadi sepenuhnya
mengikuti logika pasar. Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa konservasi lingkungan akan tetap
dilakukan jika harga karbon jatuh atau jika opportunity costs konservasi meningkat. Dalam
konteks ini, beberapa kalangan berulangkali menyampaikan kekhawatiran bahwa jika tidak
dilaksanakan secara hati-hati, proyek semacam REDD+ bisa mengukuhkan ketidakadilan sosial
yang semakin memarjinalkan masyarakat adat.46
D. Studi Pemanfaatan Panas Bumi di Gunung Ciremai
Di lokasi yang berbeda dalam wilayah Jawa Barat yaitu di Gunung Ciremai berada dalam
perlintasan wilayah administratif antara Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan
Kabupaten Majalengka. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai wilayah kawasan panas bumi
berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2010
44
Nenny Saptadji, Energi Panas Bumi, http://www.dpmb.esdm.go.id,diunduh 26 Maret 2015
Asplu d, Ri ha d W, P ofiti g f o Clea E e gy: a Co plete Guide to T adi g G ee i “ola , Wi d, Etha ol, Fuel Cell, Powe
Effi ie y, Ca o C edit I dust ies, a d Mo e P ofiti g f o Clea E e gy , New Je sey, Joh Wiley & Sons, Inc., 2008 hlm. 164165.
46 Andri G Wibisana, Economic instruments: Suited to developing countries, http://ssrn.com/abstract=2361420, Diunduh 26 Maret
2015.
45
13
tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Yang
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas Serta Transmisi Terkait, dalam peraturan
ini menerangkan bahwa estimasi kapasitas panas bumi dalam Gunung Ciremai sebesar 110
MWe didasari oleh proses survei pendahuluan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dari
nilai potensi tersebut selanjutnya diselengarakan pelelangan oleh Direktorat Jenderal Energi
Terbarukan dan Konversi Energi kemudian menetapkan PT. Chevron Geothermal Indonesia
sebagai pemenang tender pada tahun 2014.
Pada tahap ini pemenang tender dapat secara langsung melakukan ekspolitasi melalui
pemberian izin ekspolitasi oleh Gubernur Jawa Barat dengan didukung oleh penggunaan lahan
kawasan hutan oleh kementerian kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No:
SK.424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok
Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di
Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung
Ciremai. Kemudian dalam lingkup berdasarkan Pasal 47 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten
Kuningan No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan telah
menetapkan 5 kecamatan antara lain (1) Kecamatan Cigugur; (2) Kecamatan Cilimus; (3)
Kecamatan Darma; (4) Kecamatan Jalaksana; (5) Kecamatan Mandirancan; (6) Kecamatan
Pasawahan dalam wilayah kerja panas bumi Gunung Ciremai sedangkan diluar wilayah
tersebut terdiri dari (1) Kecamatan Cigandamekar; (2) Kecamatan Subang; dan (3) Kecamatan
Cibingbin.
Namun demikian, menyulut perselisihan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan
sumber daya alam47 atas penggunaan lahan kawasan hutan dengan ditetapkan wilayah kerja
panas bumi tersebut oleh masyarakat lokal yang tergabung dalam Gerakan Masa Pejuang
Untuk Rakyat didasari akan merusak 300 situs budaya di wilayah tersebut dan akan
mengurangi akses masyarakat untuk memanfaatan hasil tanamannya dalam kawasan hutan.48
Di samping permasalahan tersebut, memunculkan kerawanan atas ketersediaan air pada
tahun 2004 antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon telah
menggunakan air dari Pemerintah Kabupaten Kuningan semenjak tahun 1830 yang bersumber
dari mata air Cipaniis terletak di Desa Paniis, di kaki Gunung Ciremai.49 Pemakaian air yang
sebelumnya telah lama terjadi berjalan normal tanpa ada perselisihan sama sekali.
Akan tetapi setelah desentralisasi digulirkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan kemudian
mulai meminta kompensasi atas penggunaan air dari wilayahnya. Sebelumnya, Pemerintah
Kota Cirebon telah membayar pajak penggunaan air bawah tanah ke Pemerintah Provinsi Jawa
Barat berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf a harus dibagi dengan Pemerintah Kabupaten
Kuningan sebagai pihak yang memiliki mata air.50
Semenjak tuntutan dari Kabupaten Kuningan untuk menerima langsung kompensasi
pemanfaatan air, perselisihan air di dua wilayah ini mulai mencuat yang kemudian melahirkan
nota kesepahaman bersama antara pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan pada
tahun 2004.51 Dalam nota kesepahaman ini menghasilkan beberapa kesepakatan. Pertama,
batas air yang bisa dipakai oleh Kota Cirebon sebesar 860 liter per detik untuk itu Kabupaten
Kuningan membuat gate valve sebagai alat pengatur debit air. Kedua, Kota Cirebon harus
47
Van Vollenhoven Institute, Leiden University dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Efektivitas Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Indonesia, 2011, hlm. 7.
48
Wawancara dengan narasumber, 14 Maret 2014
49 Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013,The Habibie Center, hlm. 11.
50 Ibid.
51 Ibid.
14
membayar uang kompensasi sebesar Rp. 80,- per meter kubik air yang dikonsumsi oleh
pelanggan PDAM Kota Cirebon. 52
Uang kompensasi ini jumlahnya beragam tiap tahun, namun rata-rata Kota Cirebon
membayarkan uang kompensasi sebesar 2 miliar rupiah per tahun ke Kabupaten Kuningan
uang ini menurut kesepakatan akan digunakan untuk program konservasi agar keberadaan
mata air tetap bisa terjaga. Perselisihan mengenai air kemudian kembali muncul pada tahun
2008 karena Kota Cirebon dipandang tidak mau membayar kompensasi tahun 2008 senilai 1.7
millair rupiah. Kabupaten Kuningan mulai menutup aliran air sehingga Kota Cirebon sepanjang
tahun 2008 menghadapi demonstrasi penduduk yang kekurangan air.
Walaupun sampai saat ini belum memunculkan perselisihan yang cukup signifikan setelah
tahun 2008, potensi untuk munculnya konflik air di dua daerah ini masih mungkin terbuka
mengingat kebijakan penanggung jawab pengelolaan air sampai saat ini belum jelas.53
C.
Kesimpulan
D
PILIHAN PASKA UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(Studi Kasus Pengusahaan Panas Bumi dalam Kawasan Hutan Di Jawa Barat)
Canggih Prabowo1
Abstrak
Dikembalikannya beberapa kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
terkait penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan sebagaimana termuat dalam Pasal 14
ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah ditujukan dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka
menengah 2015-2019 guna mengupayakan ketahanan energi domestik dan bernilai strategis
bagi hajat hidup orang banyak serta berfungsi meningkatkan daya saing industri nasional dan
pertumbuhan ekonomi dalam bentuk kebijakan diversifikasi, efisiensi, dan konservasi energi
melalui pengusahaan energi panas bumi dalam kawasan hutan sebagai komoditas bersama
atas penyediaan alokasi energi final dan menjadi sumber penerimaan negara diantaranya
berupa penjualan emisi karbon dihubungkan dengan perubahan tersebut, desentralisasi
dimaknai secara sempit sebagai salah satu penghambat pembangunan sedangkan kepedulian
terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan sosial khususnya bagi masyarakat lokal akan
kehilangan makna atas hasil pembangunan tersebut, sedangkan keberhasilan sebuah
pembangunan sangat tergantung pada sejauhmana penalaran normatif warga negara turut
dipertimbangkan antarpemangku kepentingan.
Kata kunci: Urusan pemerintahan pilihan, kebijakan energi, kawasan hutan, masyarakat lokal
LAW AND ECONOMIC ASPECTS OF GOVERNMENT AFFAIRS Organizing OPTIONS AFTER LAW
NO. 23 YEAR 2014 ON LOCAL GOVERNMENT
(Case Study Geothermal in Forest West Java Areas)
Abstract
The return of some powers from local governments to the central government administration
affairs related to the organization of choice, as contained in Article 14 (2) and (4) of Law No. 23
Year 2014 jo. 9 Year 2015 on Regional Government addressed in order to realize the medium
term development plan from 2015 to 2019 in order to pursue domestic energy security and
strategic value to the lives of many people and works to increase the competitiveness of
national industry and economic growth in the form of a policy of diversification, efficiency, and
energy conservation through the utilization of geothermal energy in the forest as a commodity
along with the provision of the allocation of final energy and a source of state revenue
including the form of the sale of carbon emissions associated with these changes,
decentralization is defined narrowly as one of the obstacles to development while the concern
for environmental sustainability and social justice, especially for local communities will lose
their meaning on the results of such development, while the success of a development is highly
dependent on the extent of normative reasoning of citizens are taken into account among the
stakeholders.
Keywords: selection of government affairs, energy policy, forest, local communities
A. Pendahuluan
Dalam lingkup makro provinsi Jawa Barat memiliki potensi cukup besar. Baik dari sisi letak
geografi karena berdekatan dengan Jakarta sebagai ibu kota negara yang merupakan pusat
1
Makalah disampaikan 8 Juni 2015, Simposium Nasional Hukum Tata Negara, Desentralisasi atau ReSentralisasi? Politik Hukum Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
1
pemerintahan, perekonomian, keuangan atau permodalan, dan teknologi. Maupun dari sisi
sumber daya alam terbarukan salah satunya berupa panas bumi dan dianugerahi keindahan
alam dengan panorama pegunungan serta pantai.
Di Jawa Barat sendiri saat ini memiliki 43 lokasi manifestasi panas bumi di 11 Kabupaten,
dengan total potensi mencapai 6.101 MWe. Total potensi Jawa Barat yang sudah proyek
terbangkitkan menjadi energi listrik pada tahun 2014 adalah sebesar 1130 MWe diantaranya
melalui: 2
No
Pembangkit Listrik Tenaga
Wilayah Panas
Kategori Hutan
Estimasi
Panas Bumi (PLTP)
Bumi
Kapasitas
(MW)
1
PLTP Wayang Windu
Kabupaten
Kawasan Hutan
227 MW
Bandung
Lindung
2
PLTP Patuha
Kabupaten
Kawasan Hutan
55 MW
Bandung
Lindung
3
PLTP Darajat
Kabupaten Garut
Kawasan Hutan
271 MW
dan Kabupaten
Korservasi
Bandung
4
PLTP Awibengkok, Gunung
Kabupaten Bogor, Kawasan Hutan
377 MW
Salak
Kabupaten
Lindung
Sukabumi dan
Kabupaten Lebak
5
PLTP Kamojang
Kabupaten Garut
Kawasan Hutan
200 MW
dan Kabupaten
Konservasi
Bandung
Di samping itu, terdapat pembangkit panas bumi skala kecil dalam wilayah kerja panas
bumi di desa Cibuni kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung dalam kawasan perkebunan
sebesar 100 kWe, yang mulai beroperasi pada tahun ini. Merujuk pemanfaatan panas bumi
secara tidak langsung untuk pembangkit tenaga listrik tersebut, secara nasional baru mencapai
1189 MWe atau sekitar 4% dari potensi yang tersedia dan baru terkonsentrasi di Jawa Barat
sedangkan potensi nasional panas bumi di Indonesia mencapai 28 GW atau sekitar 40% hal ini
menunjukan bahwa Jawa Barat merupakan wilayah terdepan dalam pengembangan panas
bumi.3
Selain itu Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan kepadatan populasi penduduk
tertinggi di Indonesia dengan didukung sarana infrastruktur yang relatif baik terutama akses
transmisi tenaga listrik ke PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta terdapat beberapa
kawasan industri manufaktur seperti (1) Industri tekstil; (2) Industri kaca; (3) Industri baja, (4)
Industri pupuk, (5) Industri pulp dan kertas, (6) Industri semen, (7) Industri keramik.4 yang
secara alamiah terus meningkat akan dibutuhkan alokasi penyediaan kebutuhan listrik yang
berkesinambungan.
Dari beberapa potensi di atas, membuka pengembangan pangsa pasar energi terbarukan
sebagai daya tarik utama bagi beberapa perusahaan energi panas bumi memilih lokasi di
2
http://esdm.jabarprov.go.id/index.php/en/2014-12-23-08-20-21/panas-bumi diunduh 26 Maret 2015.
http://www.esdm.go.id/berita/45-panasbumi/3405-hambatan-pengembangan-panas-bumi-harus-dihilangkan.html diunduh 26
Maret 2015.
4
Biro Perencanaan Kemeterian Perindustrian, Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri, 2012, hlm. iii.
http://rocana.kemenperin.go.id/index.php/download/category/39#
3
2
wilayah ini sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing
industri nasional.
Kendati demikian, dari beberapa wilayah kerja panas bumi tersebut. Meski memiliki potensi
pengusahaan, namun belum dapat berjalan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2014 Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Alam No. 15 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas
serta Transmisi Terkait, khusus untuk pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan
ditetapkan melalui Nota Kesepahaman Antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam
Mineral dengan Kementerian Kehutanan No. 7662/05/MEM.S/2001 dan Nomor
NK.16/Menhut-II/2011 tentang Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi Pada Kawasan
Hutan Produksi, Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Konservasi antara lain yaitu:
No
Pembangkit Listrik
Wilayah Kerja Panas
Kategori Hutan
Estimasi
Tenaga Panas Bumi
Bumi
Kapasitas
(PLTP)
(MWe)
1
PLTP Karaha Bodas
Kabupaten
Kawasan Hutan
140
Tasikmalaya dan
Lindung
Kabupaten Garut,
2
PLTP Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang Kawasan Hutan
45
dan Kabupaten
Lindung
Subang
3
PLTP Gunung Tangkuban Kabupaten Subang,
Kawasan Hutan
170
Perahu
Kabupaten Bandung,
Lindung dan
dan Kabupaten
Hutan Produksi
Purwakarta
4
PLTP Gunung Ciremai
Kabupaten Kuningan, Kawasan Hutan
110
Kabupaten
Lindung
Majalengka, dan
Kabupaten Cirebon
5
PLTP Cisolok Cisukarame Kabupaten Sukabumi
Kawasan Hutan
160
Konservasi dalam
Taman Nasional
Gunung Salak
Selain wilayah kerja panas bumi yang berada Provinsi Jawa Barat di atas, terdapat 37
wilayah kerja diantaranya belum menunjukkan perkembangan signifikan, bahkan 12 proyek
pembangkit listrik panas bumi tidak berjalan sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Presiden
Boediono 2013 silam5 untuk memanfatkan potensi panas bumi nasional yang berada dalam
kawasan hutan konservasi sebanyak 29 lokasi dengan potensi sebesar 3.428 MW (10,9%)
sedangkan yang berada dalam kawasan hutan lindung sebanyak 52 lokasi dengan potensi
sebesar 8.41 MW (19,6%).6
Terkait hal ini, berbagai kendala dalam merealisasikan proyek pembangkit listrik panas
bumi harus dihilangkan melalui perbaikan mendasar adapun kendala-kendala yang dihadapi
antara lain lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sedangkan pelaku usaha terdiri
5
Kliping Media Surat Kabar Kompas 13 Juni 2013.
http://www.esdm.go.id/berita/45-panasbumi/3405-hambatan-pengembangan-panas-bumi-harus-dihilangkan.html diunduh 26
Maret 2015
6
3
dari: (1) Swasta; (2) Koperasi; (4) Badan usaha milik negara; (5) Badan usaha milik daerah serta
keterlibatan masyarakat lokal, beberapa hal ini menjadi kendala tersendiri.7
Di samping itu, saat ini pemerintah memiliki beberapa pencapaian besar untuk membangun
Indonesia selama lima tahun ke depan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2015 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2015-2019,8 memuat beberapa
pembangunan infrastruktur khusus pembangunan pembangkit listrik melalui pengusahaan
energi panas bumi berskala kecil (100 kw-5 MW). Selanjutnya diturunkan dalam rencana
usaha penyediaan tenaga listrik 2015-2024 berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral 74 K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2015 sampai dengan 2024 guna
menunjang alokasi ketersediaan akan kebutuhan energi listrik sebesar 35.000 MW dari
besaran nilai tersebut, panas bumi menyumbang 4.000 MWe dari tahun 2014-2015 kemudian
dalam jangka panjang meningkat menjadi 9.5000 MWe di tahun 2025.9
Rencana energi final seperti listrik merupakan salah satu cabang produksi penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehubungan dengan itu, diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kenyamanan, sekaligus sebagai urat nadi kegiatan ekonomi
dan penggerak pertumbuhan, oleh karena itu Indonesia memerlukan pengelolaan sumber
daya alam energi primer dan final yang tepat secara konstitusional dan efisien agar kekayaan
sumber daya energi primer dapat memberikan pemasukan bagi negara secara maksimal dan
seluruh kebutuhan energi final masyarakat terpenuhi dengan harga terjangkau.10
Sedangkan dalam lingkup mikro dihubungkan dengan kendala-kendala tersebut, bertitik
tolak pada penyelesaian program proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik yang tidak
dapat dilepaskan dari kapasitas pelaksanaan keserasian hubungan berupa pengelolaan
pembagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda,
bersifat saling berhubungan, saling tergantung, dan saling mendukung sebagai satu kesatuan
sistem dengan memperhatikan cakupan pemanfaatan tidak langsung panas bumi.
Dalam kawasan hutan memerlukan kehati-hatian dan kecermatan pertimbangan
dikarenakan munculnya persoalan-persoalan berkaitan kepentingan masyarakat sekitar
kawasan hutan maupun daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadi tantangan
tersendiri yang turut pula diperhatikan berkenaan urusan pemerintahan sehingga diperlukan
terobosan konkret mutlak diperlukan dengan turut memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, penataan tata ruang, lingkungan hidup, pemerataan, dan keanekaragaman daya
dukung potensi sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam Pancasila sebagai landasan
idiil dan landasan konstitusional pemerintah daerah termaktub dalam Pasal 18, Pasal 18A11
dan Pasal 18B.12
Beberapa pasal dimaksud, menurut Bagir Manan menampakan prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:13
(1) Prinsip Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2);
(2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5);
7
Ibid.
Buku I Agenda Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, hlm. 114.
9 “u yada
a et al, Geothe al Resou e Risk I I do esia – A “tatisti al I ui y , Paper Presented at the 30th Workshop on
Geothermal Reservoir Engineering, Stanford University, Stanford, California, 31 Januari–2 Februari 2011, hlm. 1.
10
Atiqah Nur Alami, Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi, LIPI Press, 2014, hlm. 44..
11 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 18 Agustus 2000.
12 Ibid.
13 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pusat Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 8-17.
8
4
(3) Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat 1);
(4) Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya (Pasal 18B ayat 2);
(5) Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa (Pasal 18B ayat 1);
(6) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat
3);
(7) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil.
Secara konseptual, 3 (tiga) instrumen hukum tersebut bermaksud mencari keseimbangan
ayunan bandul antara otonomi dan sentralisasi hanya dengan keseimbangan itu akan terjadi
dinamika positif dalam rangka memelihara negara kesatuan maupun memaksimalkan peran
dan partisipasi daerah untuk mewujudkan kemerdekaan.14
Di samping beberapa pasal tersebut berkaitan dengan Pasal 28H15 ayat (1), Pasal 33, dan
Pasal 33 ayat (4)16 menurut Jimly Asshiddiqie beberapa pasal tersebut memuat jaminan
perlindungan hak asas manusia bagi setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang
baik dan sehat dalam hal ini negara dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin
lingkungan hidup yang baik dan sehat dan dapat menuntut setiap orang untuk menghormati
hak orang lain, dan apabila perlu dapat memaksa setiap orang untuk tidak merusak lingkungan
hidup untuk kepentingan bersama dalam wujud pembangunan perekonomian nasional melalui
pengarusutamaan atas demokrasi ekonomi haruslah mengandung prinsip berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.17
Mengenai hal ini Emil Salim menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, bahkan salah satu terbesar di dunia.
Keanekaregaman hayati tersebut berada di hutan. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban
negara untuk menjaga hutan.18
B. Implikasi Diterbitkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah
Merujuk 2 (dua) landasan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bergulirnya
desentralisasi dan demokrasi ekonomi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan terbitnya
perubahan atau penyempurnaan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai
pemerintahan daerah melalui instrumen hukum ini mengatur 4 (empat) dimensi hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi: (1) Hubungan kewenangan; (2)
Hubungan kelembagaan; (3) Hubungan keuangan; (4) Hubungan pengawasan.19
Beberapa hubungan ini bisa dikatakan sedang menuju upaya pematangan atas
penyelengaraan otonomi daerah dalam lingkup negara kesatuan yang tidak lepas dari proses
tarik ulur antara kepentingan nilai keekonomian dan kepentingan nilai pemanfaatan sumber
daya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selanjutnya meletakan sistem
hubungan dan kepentingan tersebut berdasarkan 3 (tiga) asas hukum pemerintahan daerah
14 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
2005, hlm. viii.
15
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7-18 Agustus 2000.
16 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 1-11 Agustus 2002.
17 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali
Press, Jakarta hlm. 182.
18
Francisia S. S. E. Seda, Dinamika Sumber Daya Alam, Negara Developmentalis, dan Masyarakat: Persepktif Sosiologi Perubahan
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2014, hlm. 145.
19 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik tentang Hubungan Kewenagan Pemerintah Pusat dan Daerah, hlm. 3.
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang _hubungan_kewenangan_pemerintah.pdf.
5
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 8, angka 9, dan angka 11 Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya untuk mengetahui pembentukan hukum praktis atas 3 (tiga) asas hukum
tersebut dalam bentuk norma hukum dapat ditelusuri dalam beberapa pasal perubahan yang
berkaitan dengan urusan pemerintahan pilihan diantara yakni: (1) Pasal 14 ayat (3) UndangUndang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan bidang kehutanan yang berkaitan dengan
pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota,
selanjutnya diatur dalam lampiran BB Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan No
3 sub konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.20
Apabila, dibandingkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten secara eksplisit tidak memuat dan mengatur hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 66 Bab 8 mengenai penyerahan kewenangan UndangUndang No. 41 Tahun 1999 jo. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan mengamatkan pemerintah
menerbitkan 2 (dua) peraturan pemerintah terkait dengan pengelolaan kawasan hutan yaitu
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan memberikan kewenangan luas bagi pemerintah kabupaten dan kota melalui perizinan
meliputi pelaksanaan tata hutan pada setiap unit pengelolaan hutan di semua kawasan antara
lain hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Kemudian Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Pelestarian Alam secara jelas mengatur untuk taman hutan raya,
penyelengaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Dengan demikian, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 di satu sisi mengacu
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 sedangkan di sisi lain dalam hal pemberian perizinan
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung tetap sebagai kewenangan pemerintah
kabupaten dan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002.
Dalam hal kewenangan mengurus dan mengatur kawasan hutan secara otonom
dikembalikan kepada pemerintah pusat yang diselengarakan melalui perusahaan umum
kehutanan negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003; (2) Pasal 14 ayat 4
Undang-Undang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan
daerah/kabupaten, selanjutnya diatur dalam lampiran CC Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral no 4 sub energi baru terbarukan.21
Di bidang ini membagi kewenangan atas pemanfaatan panas bumi dalam bentuk
pemanfaatan langsung untuk keperluan non listrik dan pemanfaatan tidak langsung untuk
keperluan pembangkit tenaga listrik, mengenai hal ini selanjutnya diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Memberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota dalam pemanfaatan tidak
langsung untuk kepentingan pengusahaan energi panas bumi dalam pembangunan
pembangkit listrik kewenangan ini diselengarakan sesuai dengan Bab IV Pasal 5 ayat (3) huruf d
20
Lampiran, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 20114 Nomor 244,
hlm. 283.
21 Ibid, hlm. 292.
6
mengenai Kewenangan Pengelolaan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan menyatakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang
ketenagalistrikan salah satunya adalah penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam
kabupaten/kota.
Namun, dengan diterbitkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, 17
September 2014 dalam bab XII mengenai ketentuan penutup Pasal 87 menyatakan mencabut
dan tidak dinyatakan tidak berlaku Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
mengenai hal ini selanjutnya termuat dalam penjelasan umum paragraf 5 menerangkan
sebagai berikut:
Dalam perkembangan lebih lanjut, pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak
langsung atau untuk pembangkitan tenaga listrik bersifat sangat strategis dalam menunjang
ketahanan energi nasional karena listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik
Panas Bumi dapat dimanfaatkan lintas batas administratif. Dalam jangka panjang harga
listrik yang dihasilkan dari Panas Bumi lebih kompetitif dan lebih andal jika dibandingkan
dengan pembangkit listrik dari fosil sehingga Pemerintah memandang perlu meletakkan
kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi ke Pemerintah. Pemerintah fokus melakukan
penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang digunakan sebagai
pembangkitan tenaga listrik .
Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung dibagi kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka mempercepat
pengembangan Panas Bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Pemerintah selain
diberi kewenangan melakukan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi juga diberi kewenangan
untuk melakukan Eksploitasi dan Pemanfaatan.
Penjelasan di atas, bisa dikatakan untuk mengatasi proyeksi kebutuhan energi 7 industri
pilihan sebagaimana telah disinggung di awal melalui 3 skenario: skenario Business as Usual,
skenario akselerasi, dan skenario akselerasi disertai efisiensi22 selaras dengan pandangan
Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah intervensi
dalam rangka mencapai pemanfaatan energi yang optimal dengan memperhatikan
peningkatan daya saing ekonomi, perlindungan konsumen, serta pemerataan penggunaan
energi.23
Mengacu atas serangkaian perubahan dalam Undang-Undang Undang-Undang No. 23
Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah terkait urusan pemerintahan pilihan
tersebut dihubungkan dengan pengertian desentralisasi menurut Jimly Asshiddiqie,
pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan menjadi 3 (tiga) pengertian yaitu: 24
(1) Desentralisasi dalam arti dekonsentrasi, yaitu pelimpahan beban tugas atau beban kerja
dari pemerintah pusat kepada kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti
oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan;
(2) Desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan berisi penyerahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi pemerintahan daerah
yang berada diluar jangkauan kendali pemerintah pusat;
(3) Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan merupakan
penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah.
22
Biro Perencanaan Kemeterian Perindustrian, Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri, Op.cit., hlm. v.
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktek, Jakarta : LP3ES, 2000 hlm. 324
24 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,Jilid II, 2006,
hlm. 28.
23
7
Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa dikontrol oleh
pemerintah pusat yang telah menyerahkan itu kepada pemerintah daerah. Sedangkan
menurut RDH. Koesoemahatmadja menyatakan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan
kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya
sendiri, sedangkan dekonsentrasi (deconcentratie) atau ambtelijke decentralisatie yaitu
pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahnya
guna melancarkan pekerjan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan.25
Kemudian secara umum, terdapat dua jenis kewenangan yang limpahkan kepada
pemerintah daerah, yakni (1) Kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam kewenangan
ini erat kaitannya dengan peraturan perundang-undangan berupa perizinan untuk penyediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya alam daerah; (2) Kewenangan
mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik
pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya, maupun
kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum.
Desentralisasi dalam urusan pemerintahan pilihan terdapat berbagai bentuk dan jenis
desentralisasi sebagaimana telah dijabarkan. Masing-masing sumber daya alam diatur
tersendiri dan berdiri sendiri serta sekaligus menentukan jenis desentralisasi dan sejauhmana
desentralisasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri itulah yang seringkali membedakan ukuran
desentralisasi antara satu bidang dengan bidang lainnya.26
Dalam hal ini, karakter Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah dalam hal penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan bisa dikatakan
berpotensi mengembalikan bandul kewenangan kepada pemerintah pusat (resentralisasi)
dengan corak pemerintahan daerah berdasarkan desentralisasi dalam arti dekonsentrasi
kendati menunjukan kemunduran dengan menyisakan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota dalam hal perencanaan dan pembuatan peraturan daerah serta pengelolaan
taman nasional.
Argumentasi pada halamanan sebelumnya dapat ditinjau lebih lanjut Gubernur Jawa Timur
Dr. H. Soekarwo pada 24 Februari 2016, melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2014 tentang Panas Bumi [Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23
ayat (2)] dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Lampiran
CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan] terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hingga tulisan ini disusun majelis hakim Mahkamah Konstitusi
belum mengeluarkan putusan.
B. Ambivalen Otonomi Daerah atas Penyelengaraan Urusan Pemerintahan Pilihan
Dihubungkan dengan Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Dari uraian sebelumnya, nampak sikap ambivalen pemerintah pusat antara hak,
kewenangan, dan kewajiban urusan pemerintahan dalam konteks pengertian otonomi daerah
sebagaimana termuat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelengaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Negara
Kesatuan Repubik Indonesia.
25
RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta,1979, hlm. 14.
Bernadinus Steni, Desentralisasi, Koordinasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi
Daerah,
hlm.
10-12.
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Desentralisasi-koordinasi-dan-partisipasiMasyarakat_Steny.pdf.
26
8
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ini mengamanatkan secara
langsung bahwa ketetapan ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang
tentang pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya penyelengaraan otonomi daerah, memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini penyelengaraan otonomi
daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman
daerah serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan
dengan memperhatikan: (1) Potensi daerah; (2) Luas daerah; (3) Jumlah penduduk; (4)
Keadaan geografi; (5) Tingkat pendapatan masyarakat di daerah.
Dalam rangka menjalankan kewenangan tersebut, Pemerintah daerah berwenang
mengelola sumber daya alam nasional berupa sumber daya alam, sumber daya buatan, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah. Dalam hal ini materi norma hukum
sebagaimana tercantum Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun jo. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagai sarana pemerintah pusat untuk menata kembali hubungan
pemerataan pembangunan dengan pemerintah di satu sisi, sementara di sisi lain pemerintah
pusat menerapkan kebijakan resentralisasi dikarenakan desentralisasi diartikan secara sempit
sebagai penghambat pembangunan tenaga listrik panas bumi. Adapun sebagai gambaran atas
pembangunan pembangkit tenaga listrik dari masa ke masa dapat dijelaskan dalam tabel
berikut ini:27
Pemerintahan
Pemerintahan
Pemerintahan
Presiden Soeharto
Presiden Susilo
Presiden Joko
Bambang Yudhoyono Widodo
Rasio Elektrifikasi Sepanjang 1980
Meningkat 62%
Menargetkan
Listrik (%)
hingga menjelang
menjadi 81,5% dalam peningkatan rasio
akhir Orde Baru rasio
10 tahun
elektrikfikasi
elektrifikasi meningkat
menjadi 96,9%
dari 8% menjadi 43%
dalam 5 tahun
Tabel di atas menggambarkan, urusan pemerintahan pilihan tidak seluas-luasnya
diserahkan kepada daerah otonom dikarenakan, pada bidang dimaksud bernilai ekonomi dan
bersifat sangat strategis dalam menunjang ketahanan energi nasional sehingga secara tegas
ditarik kembali menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.28 Lebih lanjut, otonomi
dan resentralisasi dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan pilihan setidaknya
terdapat beberapa perubahan penting yang terjadi dalam urusan pemerintahan tersebut
diantaranya:29
1. Perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam;
2. Perubahan kewenangan dalam sumber-sumber keuangan (pajak dan retribusi).
3. Memindahkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke tingkat daerah
namun, prinsip dasar yang menyatakan bahwa sumber daya alam adalah milik
negara tidak berubah.
27
Penelitian dan pengembangan kompas, diolah dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kompas, 9 Januari 2015.
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, 2008,
Jakarta, hlm. 39-45.
29 Anu Launela dan R. Yando Zakaria, Berebut Tanah, Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung, Cetakan Pertama, Insist
Press, Yogyakarta, 2002. hlm. 54.
28
9
Beberapa perubahan dalam kerangka resentralisasi tersebut, menyiratkan konsep tata
kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa mengacu definisi oleh Bank Dunia
sebagai the way of state is used in managing economic and social resource for development of
society dari definisi tersebut Bank Dunia mengidentifikasi 3 (tiga) aspek atas konsep tersebut
antara lain: (1) Bentuk sistem pemerintahan ketatanegaraan; (2) Proses dimana kewenangan
dijalankan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan serta
(3) Kapasitas pemerintah untuk merancang, memformulasikan dan menerapkan setiap
peraturan perundang-undangan guna menjalankan fungsinya.30
Sebagaimana dijelaskan pada butir (2) dan (3) menurut Herlambang Wiratraman dapat
ditinjau dari sasaran yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumber daya alam
dan menopang pertumbuhan ekonomi disertai elemen-elemen kunci berupa akuntabilitas,
kepastian hukum, transparansi, dan partisipasi.
Namun, elemen-elemen kunci ini belum berimbang urusan perlindungan hak-hak asasi
manusia misalnya dalam urusan pemerintahan wajib (penataan tata ruang) dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (lingkungan), bukanlah urusan
yang penting dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. A contrario, berarti, tata
kelola pemerintahan yang baik akan menempatkan posisi pasar energi terbarukan secara
dominan, dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan pun telah diseleksi.31
Dalam hal ini memungkinkan terjadinya perselisihan dalam hal kewenangan urusan
pemerintahan yang turut melibatkan kepentingan masyarakat umum hal ini dapat ditinjau dari
dua segi: (1) Pengaturan kewenangan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang
sektoral sampai dengan saat ini terdapat sebagian yang telah dan belum disesuaikan dengan
Undang-Undang 23 Tahun 2014; (2) Pelimpahan urusan pemerintahan tidak sama dalam
pembagian kewenangannya sebagaimana diatur dalam undang-undang sektoral,32 sehingga
memunculkan implikasi sebagaimana kemukakan oleh Bagir Manan disebut dengan spanning
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.33
Terkait kondisi sebagaimana dimaksud oleh Bagir Manan bersinggungan dengan
kewenangan dan wewenang dalam hal ini menurut Prajudi menjelaskan kewenangan adalah
apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif
(diberikan oleh Undang-undang) atau dari Kekuasaan eksekutif administratif.34
Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau
bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil
tertentu saja. Jadi, menurut Prajudi di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechbevoegheden).35
Namun, beberapa literatur menggunakan kata kewenangan dan wewenang secara
bergantian.36 Kewenangan dan wewenang kadangkala dikaitkan dengan kekuasaan. Menurut
Bagir Manan, wewenang dalam hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).37 Kekuasaan
30
Lilin Budiati, Good Governance Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hlm. 48-49.
Digest Epistema, Volume 3 Tahun 2013, Herlambang P. Wiratraman, Good Goovernace dan Pembaruan Hukum di Indonesia:
Refleksi dalam Penelitian Sosio-Legal, hlm. 21.
32 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan tentang Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, hlm.
36, http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang _hubungan_kewenangan_pemerintah.pdf.
33 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23.
34
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Cetakan ke-10, Jakarta, 1994, hlm. 78.
35 Ibid.
36 Ibid.
37 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2006, hlm. 102.
31
10
hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat sedangkan dalam hukum,
wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).38 Baik kewenangan
maupun wewenang yang utama adalah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan,
sesuai dengan asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas legalitas menurut
H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de
heerschappij van de wet).39 Sedangkan, menurut Sjachran Basah, asas legalitas adalah upaya
mewujudkan gabungan integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif.40
Namun, dalam praktik pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan sebelum perubahan
Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi sebagaimana tertuang dalam Nota
Kesepahaman Antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral dengan
Kementerian Kehutanan No. 7662/05/MEM.S/2001 dan Nomor NK.16/Menhut-II/2011
tentang Percepatan Perizinan Pengusahaan Panas Bumi Pada Kawasan Hutan Produksi,
Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Konservasi, menyimpang dari maksud dan tujuan
dari penetapan kawasan hutan tersebut sehingga tidak lagi bermakna apapun serta pandangan
para pakar hukum tersebut tidak dijadikan landasan pembentukan hukum.
Di samping itu secara jelas menyalahi Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
jo. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyatakan Perubahan peruntukan kawasan hutan
yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
pemerintah dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat, sehingga kepastian hak hukum
masyarakat untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat terciderai.
Sedangkan dalam hal pemanfaatan kawasan hutan dalam hal pengusahaan panas bumi
dapat dilakukan pada semua kawasan hutan produksi dan hutan lindung melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan. Sejalan dengan
kawasan konservasi sebagai hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba secara tegas
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 jo.
19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Atas penyimpangan tersebut Salim HS berpendapat bahwa pada prinsipnya, kegunaan
kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Akan tetapi, tidak tertutup
kemungkinan penggunaan kawasan yang menyimpang dengan fungsi dan peruntukannya
dengan syarat ada persetujuan dari Menteri Kehutanan.41
Dari penjelasan ini pengusahaan panas bumi dalam kawasan hutan terkait dengan perizinan
dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana di awal telah disinggung
merupakan kewenangan pemerintah kabupaten dan kota ditarik oleh kementerian kehutanan
dan kementerian energi dan sumber daya mineral sehingga kewenangan sebagaimana
termaktub dalam beberapa peraturan perundang-undangan tidak efektif diberlakukan.
C. Alasan Keilmiahan Pengusahaan Panas Bumi dalam Kawasan Hutan Sebagai Komoditas
Bersama
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf B Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang jelas
menetapkan Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat sebagai salah satu instrumen hukum
dalam tata urut pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan demikian setiap
38
Ibid.
Ibid. hlm. 94.
40 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 2.
41 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 27.
39
11
peraturan perundang-undangan mengenai sumber daya alam sebagaimana telah disinggung
sebelumnya erat hubungannya dengan diterbitkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Rakyat Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agaria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Selain itu ketetapan ini memilah dua bidang Pasal 2 (pembaruan agraria), Pasal 3
(pengelolaan sumber daya alam), dan arah kebijakan dalam Pasal 5 ayat (1) menyangkut
pembaruan agraria serta Pasal 5 ayat (2) mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Namun demikian, lingkup pengelolaan sumber daya alam dalam ketetapan tersebut belum
menjelaskan secara rinci meliputi (1) Definisi tentang sumber daya alam, (2) Tata cara
pengikutsertaan peran serta masyarakat umum dalam pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam; (2) butir 5 sebagaimana dimaksud di atas, menunjukan pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan tata ruang untuk mengendalikan dan membatasi gerak
pemerintah maupun masyarakat dalam kegiatan baik dalam bidang usaha pertanian,
perkebunan, dan kehutanan; (3) Menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara
kepentingan negara, kepentingan umum, dan kepentingan perorangan.
Dari beberapa hal tersebut, merujuk penjelasan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, mengenai sumber daya alam didefinisikan sebagai stock dalam arti sumber daya
alam yang tersedia dalam jumlah, kualitas, tempat, dan waktu tertentu sedangkan flows
adalah aliran sumber daya alam baik berupa penambahan maupun pengurangan stock yang
ada di alam. Sedangkan menurut Kartodihardjo dapat digolongkan menjadi dua bentuk yakni
stock (sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui) dan flow (sumber daya alam dapat
diperbaharui):
(1) Pengertian stock merupakan sumber daya alam sebagai entitas bebas dan dapat
diakses oleh masyarakat sebagai contohnya adalah hutan, gunung, pesisir pantai,
maupun danau, kawasan lindung;
(2) Stock sebagai faktor produksi atau sebagai komoditas seperti kayu, air, dan lain
sebagainya. Lebih lanjut modal alam ini dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang
intangible seperti menampung air, mencegah terjadinya banjir di musim hujan,
mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 yang ada di udara,
mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dapat
dimanfaatkan bagi alokasi penyediaan energi terbarukan beberapa fungsi ini tidak
dapat dibagi-bagikan kepada perorangan dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan,
meskipun setiap orang memerlukannya.
Dari pengertian di atas, stocks sendiri mengindikasikan sumber daya alam dimaknai
sebagai sumber ekonomi yang dapat diekstrasi dan dikomersialisasikan menjadi komoditas
harga tinggi. Sumber daya alam sebagai stocks sendiri tidak dapat diperbaharui yakni apa yang
dimanfaatkan sekarang tidak dapat dimanfaatkan kemudian hari. Hal inilah yang menjadikan
tingkat pemanfaatan komoditas tidak seperti flows yang dapat digunakan sepanjang generasi
manusia.42
Selanjutnya dihubungkan dengan penyelengaraan urusan pemerintahan pilihan dalam
peningkatan daya saing industri nasional dan pertumbuhan ekonomi erat kaitannya alokasi
penyediaan energi listrik melalui panas bumi dalam kawasan hutan bersinggungan atas
peningkatan permintaan konsumsi listrik baik dari sisi penawaran atas penyediaan energi
primer di bagian hulu kemudian pada sisi permintaan berkaitan dengan permintaan energi
final di konsumen akhir termasuk usaha diversifikasi, efisiensi dan konservasi energi.43
42
43
Yance Arizona,.Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam. HuMa, Jakarta, 2008, hlm. 7-8.
Purnomo Yusgiantoro, Op.cit, hlm. 317.
12
Menurut Saptadji, keunggulan dari energi panas bumi adalah dalam faktor kapasitas
(capacity factor), yaitu pe a di ga a ta a e a
ata‐ ata ya g di a gkitka oleh
pembangkit dalam suatu periode (average load generated in period) dengan beban maksimum
yang dapat dibangkitkan oleh PLTP tersebut (maximum load). Faktor kapasitas dari pembangkit
list ik pa as u i ata‐ ata 9 %, jauh le ih ti ggi ila di a di gka de ga fakto kapasitas
da i pe a gkit list ik ya g e ggu aka atu a a, ya g esa ya ha ya 0‐ 0%.44
Sedangkan menurut Asplund, kelemahan energi panas bumi antara lain adalah sebagai
berikut: pembangkit listrik panas bumi hanya ekonomis di daerah panas bumi aktif;
pembangkit listrik panas bumi membutuhkan investasi yang sangat mahal untuk eksplorasi,
pengeboran, dan pembangunan pembangkit; pembangunan pembangkit listrik panas bumi
dapat mempengaruhi stabilitas tanah di daerah sekitarnya dan aktivitas seismik dapat timbul
karena pengeboran; sumber panas bumi dapat habis jika tidak dikelola dengan baik.45 Sejalan
dengan itu pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi sebagai terbarukan dan
ramah lingkungan berpotensi untuk dibiayai dengan mekanisme pembangunan bersih dalam
Protokol Kyoto.
Namun demikian, menurut Andri G Wibisana dari mekanisme pembangunan bersih
tersebut tidak lepas dari pendekatan ekonomi (voluntary compliance/market based approach)
dan pendekatan pentaatan (compliance approach) yang bersifat komprehensif (command and
control approach) bagi negara yang berhasil dalam hal ini seperti Filipina misalnya berhasil
menurunkan emisi memiliki sisa emisi yang bisa dijual kepada pihak lain emisinya melebihi
kuota (cap and trade) mendorong beberapa negara menerapkan metode ini dalam payments
for environmental services, perdagangan karbon di bawah rezim Protokol Kyoto, atau proposal
pendanaan proyek REDD+.
Gagasan dasarnya tetaplah sama yaitu komodifikasi fungsi ekologis lingkungan. Sehingga
membentuk proses isolasi fungsi lingkungan seperti ini merupakan bentuk fetisisme
komoditas. Isolasi ini memungkinkan diuangkannya alam, tetapi gagal melihat kompleksitas
fungsi ekologis. Hubungan manusia dengan alam pun direduksi menjadi hubungan dagang.
Kawasan hutan tidak lagi dinilai dalam konteks fungsi sosial, budaya, dan relasi ekologisnya
dengan manusia.
Di samping berpotensi mereduksi fungsi ekologis alam dan relasi alam-manusia, model
perdagangan karbon juga dapat mengubah motivasi konservasi menjadi sepenuhnya
mengikuti logika pasar. Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa konservasi lingkungan akan tetap
dilakukan jika harga karbon jatuh atau jika opportunity costs konservasi meningkat. Dalam
konteks ini, beberapa kalangan berulangkali menyampaikan kekhawatiran bahwa jika tidak
dilaksanakan secara hati-hati, proyek semacam REDD+ bisa mengukuhkan ketidakadilan sosial
yang semakin memarjinalkan masyarakat adat.46
D. Studi Pemanfaatan Panas Bumi di Gunung Ciremai
Di lokasi yang berbeda dalam wilayah Jawa Barat yaitu di Gunung Ciremai berada dalam
perlintasan wilayah administratif antara Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, dan
Kabupaten Majalengka. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai wilayah kawasan panas bumi
berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2010
44
Nenny Saptadji, Energi Panas Bumi, http://www.dpmb.esdm.go.id,diunduh 26 Maret 2015
Asplu d, Ri ha d W, P ofiti g f o Clea E e gy: a Co plete Guide to T adi g G ee i “ola , Wi d, Etha ol, Fuel Cell, Powe
Effi ie y, Ca o C edit I dust ies, a d Mo e P ofiti g f o Clea E e gy , New Je sey, Joh Wiley & Sons, Inc., 2008 hlm. 164165.
46 Andri G Wibisana, Economic instruments: Suited to developing countries, http://ssrn.com/abstract=2361420, Diunduh 26 Maret
2015.
45
13
tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Yang
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas Serta Transmisi Terkait, dalam peraturan
ini menerangkan bahwa estimasi kapasitas panas bumi dalam Gunung Ciremai sebesar 110
MWe didasari oleh proses survei pendahuluan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dari
nilai potensi tersebut selanjutnya diselengarakan pelelangan oleh Direktorat Jenderal Energi
Terbarukan dan Konversi Energi kemudian menetapkan PT. Chevron Geothermal Indonesia
sebagai pemenang tender pada tahun 2014.
Pada tahap ini pemenang tender dapat secara langsung melakukan ekspolitasi melalui
pemberian izin ekspolitasi oleh Gubernur Jawa Barat dengan didukung oleh penggunaan lahan
kawasan hutan oleh kementerian kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No:
SK.424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok
Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di
Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung
Ciremai. Kemudian dalam lingkup berdasarkan Pasal 47 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten
Kuningan No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan telah
menetapkan 5 kecamatan antara lain (1) Kecamatan Cigugur; (2) Kecamatan Cilimus; (3)
Kecamatan Darma; (4) Kecamatan Jalaksana; (5) Kecamatan Mandirancan; (6) Kecamatan
Pasawahan dalam wilayah kerja panas bumi Gunung Ciremai sedangkan diluar wilayah
tersebut terdiri dari (1) Kecamatan Cigandamekar; (2) Kecamatan Subang; dan (3) Kecamatan
Cibingbin.
Namun demikian, menyulut perselisihan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan
sumber daya alam47 atas penggunaan lahan kawasan hutan dengan ditetapkan wilayah kerja
panas bumi tersebut oleh masyarakat lokal yang tergabung dalam Gerakan Masa Pejuang
Untuk Rakyat didasari akan merusak 300 situs budaya di wilayah tersebut dan akan
mengurangi akses masyarakat untuk memanfaatan hasil tanamannya dalam kawasan hutan.48
Di samping permasalahan tersebut, memunculkan kerawanan atas ketersediaan air pada
tahun 2004 antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon telah
menggunakan air dari Pemerintah Kabupaten Kuningan semenjak tahun 1830 yang bersumber
dari mata air Cipaniis terletak di Desa Paniis, di kaki Gunung Ciremai.49 Pemakaian air yang
sebelumnya telah lama terjadi berjalan normal tanpa ada perselisihan sama sekali.
Akan tetapi setelah desentralisasi digulirkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan kemudian
mulai meminta kompensasi atas penggunaan air dari wilayahnya. Sebelumnya, Pemerintah
Kota Cirebon telah membayar pajak penggunaan air bawah tanah ke Pemerintah Provinsi Jawa
Barat berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf a harus dibagi dengan Pemerintah Kabupaten
Kuningan sebagai pihak yang memiliki mata air.50
Semenjak tuntutan dari Kabupaten Kuningan untuk menerima langsung kompensasi
pemanfaatan air, perselisihan air di dua wilayah ini mulai mencuat yang kemudian melahirkan
nota kesepahaman bersama antara pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan pada
tahun 2004.51 Dalam nota kesepahaman ini menghasilkan beberapa kesepakatan. Pertama,
batas air yang bisa dipakai oleh Kota Cirebon sebesar 860 liter per detik untuk itu Kabupaten
Kuningan membuat gate valve sebagai alat pengatur debit air. Kedua, Kota Cirebon harus
47
Van Vollenhoven Institute, Leiden University dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Efektivitas Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Indonesia, 2011, hlm. 7.
48
Wawancara dengan narasumber, 14 Maret 2014
49 Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013,The Habibie Center, hlm. 11.
50 Ibid.
51 Ibid.
14
membayar uang kompensasi sebesar Rp. 80,- per meter kubik air yang dikonsumsi oleh
pelanggan PDAM Kota Cirebon. 52
Uang kompensasi ini jumlahnya beragam tiap tahun, namun rata-rata Kota Cirebon
membayarkan uang kompensasi sebesar 2 miliar rupiah per tahun ke Kabupaten Kuningan
uang ini menurut kesepakatan akan digunakan untuk program konservasi agar keberadaan
mata air tetap bisa terjaga. Perselisihan mengenai air kemudian kembali muncul pada tahun
2008 karena Kota Cirebon dipandang tidak mau membayar kompensasi tahun 2008 senilai 1.7
millair rupiah. Kabupaten Kuningan mulai menutup aliran air sehingga Kota Cirebon sepanjang
tahun 2008 menghadapi demonstrasi penduduk yang kekurangan air.
Walaupun sampai saat ini belum memunculkan perselisihan yang cukup signifikan setelah
tahun 2008, potensi untuk munculnya konflik air di dua daerah ini masih mungkin terbuka
mengingat kebijakan penanggung jawab pengelolaan air sampai saat ini belum jelas.53
C.
Kesimpulan
D