Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) UMUR 15 TAHUN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PUTRI HIJAU, BESITANG
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh : Guswinda Nasari Sitanggang
101201139 Manajemen Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014
Universitas Sumatera Utara

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) UMUR 15 TAHUN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PUTRI HIJAU, BESITANG
SUMATERA UTARA
SKRIPSI Oleh :
Guswinda Nasari Sitanggang 101201139
Manajemen Hutan
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014
Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PENGESAHAN


Judul

: Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit

(Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa

Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

Nama

: Guswinda Nasari Sitanggang

NIM

: 101201139

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing


Dr. Muhdi, S. Hut., M.Si Ketua

Dr. Diana Sofia Hanafiah, S.P., M.P Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan

Tanggal Lulus :

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
GUSWINDA NASARI SITANGGANG : Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara. Dibimbing oleh MUHDI dan DIANA SOFIA HANAFIAH.
Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman, begitu pula dengan tanaman kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan model alometrik pendugaan potensi cadangan karbon pada vegetasi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara; (2) mendapatkan potensi cadangan karbon pada konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Penelitian lapangan dilakukan di areal Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan dan tahap kedua menganalisa biomassa dan karbon bagian-bagian tanaman dilakukan di laboratorium. Peubah yang diukur di lapangan adalah berat basah, sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon. Karbon tanaman dalam petak ukur ditentukan menggunakan model allometrik karbon batang kelapa sawit. Model hubungan antara biomassa atau karbon tanaman dengan dimensi batang dibuat dengan metode hubungan alometrik yang menggambarkan biomassa atau massa karbon per batang sebagai fungsi dari diameter dan tinggi bebas pelepah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model persamaan allometrik terbaik untuk menduga biomassa dan massa karbon tanaman kelapa sawit adalah W = 0.00597D1.000Hbp1.142 dan C = 0.001559D0.948Hbp1.154, sehingga menghasilkan biomassa dan massa karbon tanaman kelapa sawit umur 15 tahun masing-masing sebesar 315,19 ton/ha dan 71,58 ton/ha.
Kata kunci : Elaeis guineensis Jacq., perkebunan, biomassa, karbon
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
GUSWINDA NASARI SITANGGANG : Estimation of Carbon Stock In stands of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Age 15 Years in Oil Palm Plantation Putri Hijau, Besitang North Sumatra. Monitored by MUHDI and DIANA SOFIA HANAFIAH.

Forests absorb CO2 during photosynthesis and store it as organic matter in biomass plants, as well as oil palm plantations. This study aimed were to : (1) obtain a model Allometric estimation of carbon stocks in vegetation potential of oil palm plantations in North Sumatra; (2) to obtain the potential carbon stocks in forest conversion to oil palm plantations in North Sumatra. This research was conducted in the area of Oil Palm Putri Hijau, Besitang North Sumatra. The research was carried out in two stages, namely the first stage were to data in the field and the second stage was analyze of carbon biomass and plant in the laboratory. Parameters measured in the field was wet weight, whereas in the laboratory is measured moisture content, volatile matter content, ash content and carbon content. Carbon plants in the plot were determined using allometric models palm carbon rods. Models the relationship between plant biomass or carbon rods with dimensions created with a method that describes the relationship Allometric biomass or carbon mass per plant as a function of the diameter and height of the stem free. The results showed that the best model of allometric equations for estimating biomass and carbon mass of oil palm plantations is W = 0.00597D1.000Hbp1.142 dan C = 0.001559D0.948Hbp1.154, resulting in biomass and carbon mass of oil palm trees aged 15 years respectively by 315.19 tons / ha and 71.58 tons / ha.
Keywords: Elaeis guineensis Jacq., Plantations, biomass, carbon
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan, pada tanggal 17 Agustus 1993 dari Ayahanda Yusman Yusuf Sitanggang dan Ibunda Emitiana Jagette. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negri 08 Medan pada tahun 2004, lulus dari Sekolah Menengah Pertama Swasta St. Thomas 3 Medan pada tahun 2007 dan lulus dari Sekolah Menengah Atas Swasta Brigjend Katamso Medan pada tahun 2010. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri tahun 2010 melalui jalur SNMPTN di Program Studi Kehutanan, Minat Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Selama mengenyam pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi di kampus. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis adalah HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva), IMK FP (Ikatan Mahasiswa Katolik Fakultas Pertanian) dan KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) Universitas Sumatera Utara. Penulis juga pernah mendapatkan Hibah PKM-P (Program Kreativitas Mahasiswa-Penelitian) pada tahun 2013.
Penulis melaksanakan kegiatan magang di Taman Nasional Gunung Leuser selama 1 minggu pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Tahura Bukit Barisan, kabupaten Karo. Pada tahun 2014, penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur selama 1 bulan. Pada akhir masa kuliah, penulis melakukan penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara” sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studi dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Muhdi, S. Hut., M.Si dan Ibu Dr. Diana Sofia Hanafiah, S.P., M.P selaku pembimbing skripsi penulis yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua penulis dan seluruh teman-teman penulis, khususnya Manajemen Hutan (MNH ’10) yang telah mendukung proses penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan.
Medan, Juli 2014
Penulis
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI


Halaman ABSTRAK ................................................................................................ i

ABSTRACT .............................................................................................. ii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................. v

DAFTAR TABEL .................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. x

PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Alur Penelitian ................................................................................. Tujuan Penelitian ............................................................................. Kegunaan Penelitian ......................................................................... Hipotesis ...........................................................................................

1 4 5 5 5


TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ............................................ Perkebunan Kelapa Sawit ................................................................. Perkebunan Kelapa Sawit dan Isu Lingkungan ................................ Perubahan Iklim .............................................................................. Perdagangan Karbon ......................................................................... Secara Netto Penyerap CO2 Perkebunan Kelapa Sawit ................... Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit ............................................ Model Pendugaan Cadangan Karbon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ..................................................................

6 7 9 16 17 18 21
27

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ Metode Penelitian ............................................................................. Penentuan Petak Ukur ...................................................................... Pengumpulan Data ............................................................................ Penyusunan Model Persamaan Allometrik Massa Karbon .............. Prosedur Penelitian Di Laboratorium ............................................... Pengolahan Data ............................................................................... Model Penduga Biomassa dan Karbon Pohon .................................. Analisis Data ....................................................................................

28 28 28 29 30 30 31 33 34 35

HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Basah Tanaman Contoh...........................................................

36

Universitas Sumatera Utara

Kadar Air Tanaman Contoh ............................................................. Kadar Karbon Tanaman Contoh ...................................................... Uji Beda Rata-Rata Berdasarkan Uji One Way Anova .................... Biomassa Tanaman Contoh............................................................... Kandungan Massa Karbon Tanaman Contoh .................................. Model Allometrik..............................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................................


37 38 38 39 40 41
49 49
50 53

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Perbandingan Penyerapan Karbon Dioksida Antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Alam Tropis ..............................................

19

2. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut Pada Hutan Gambut dan Perkebunan Kelapa Sawit Gambut ....................

20

3. Hasil Dugaan Cadangan Karbon Pada Berbagai Perkebunan di Kabupaten Langkat dengan Menggunakan Metode Allometrik Tahun 2012 ........................................................................................


22

4. Karakteristik Tanaman Contoh yang Digunakan Untuk Menyusun Persamaan Allometrik Berat Basah Tanaman ..................................

23

5. Rata-Rata Kadar Air Setiap Bagian Tanaman Contoh Berdasarkan Kelas Diameter ..................................................................................

25

6. Biomassa Kelapa Sawit Pada Berbagai Dimensi................................ 25

7. Cadangan C Biomassa Pada Berbagai Dimensi Kelapa Sawit ........... 26

8. Berat Basah Tanaman Sawit ............................................................... 36

9. Kadar Air (%) Pada Setiap Bagian Tanaman Berdasarkan Petak Contoh Penelitian................................................................................

37


10. Kadar Karbon Pada Setiap Bagian Tanaman Berdasarkan Petak Contoh Penelitian................................................................................

38

11. Hasil Uji Beda Rata-Rata Kadar Karbon Pada Setiap Bagian Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacg.) Berdasarkan Uji One Way Anova (Tukey HSD)..............................................................................

39

12. Biomassa Pada Setiap Bagian Tanaman Berdasarkan Petak Contoh Penelitian (%)......................................................................................

40

13. Kandungan Massa Karbon Pada Setiap Bagian Tanaman Berdasarkan Petak Contoh Penelitian (%) ............................................................... 40

14. Persamaan Allometrik untuk Menduga Biomassa Setiap Bagian Tanaman dan Total Biomassa dari Setiap Bagian Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)..................................................................................

42

Universitas Sumatera Utara


15. Persamaan Allometrik untuk Menduga Kandungan Karbon Setiap Bagian Tanaman dan Total Biomassa dari Setiap Bagian Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)........................................................................

43

16. Potensi Biomassa dan Cadangan Karbon Umur 15 Tahun Pada Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang.................................

47

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1. Alur Penelitian ...................................................................................... 4 2. Kelapa Sawit ......................................................................................... 6 3. Grafik Komposisi dan Sumber Emisi GHG Global ............................. 12 4. Grafik Sumber Emisi GHG Global Menurut Sektor ............................ 13 5. Siklus Karbon ...................................................................................... 14 6. Visualisasi Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Allometrik Terpilih
Biomassa Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ................ 45 7. Visualisasi Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Allometrik Terpilih
Massa Karbon Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)......... 46
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman 1. Dokumentsi Penelitian di Lapangan ..................................................... 53 2. Data Dimensi Tegakan Kelapa Sawit Umur 5 Tahun ........................... 55 3. Data Dimensi Tegakan Kelapa Sawit Umur 10 Tahun ......................... 56 4. Data Dimensi Tegakan Kelapa Sawit Umur 15 Tahun ......................... 57 5. Hasil Data Laboratorium ..................................................................... 58 6. Data Perhitungan Total Biomassa dan Massa Karbon Umur 15 Tahun 59
Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
GUSWINDA NASARI SITANGGANG : Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara. Dibimbing oleh MUHDI dan DIANA SOFIA HANAFIAH.
Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman, begitu pula dengan tanaman kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan model alometrik pendugaan potensi cadangan karbon pada vegetasi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara; (2) mendapatkan potensi cadangan karbon pada konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Penelitian lapangan dilakukan di areal Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan dan tahap kedua menganalisa biomassa dan karbon bagian-bagian tanaman dilakukan di laboratorium. Peubah yang diukur di lapangan adalah berat basah, sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon. Karbon tanaman dalam petak ukur ditentukan menggunakan model allometrik karbon batang kelapa sawit. Model hubungan antara biomassa atau karbon tanaman dengan dimensi batang dibuat dengan metode hubungan alometrik yang menggambarkan biomassa atau massa karbon per batang sebagai fungsi dari diameter dan tinggi bebas pelepah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model persamaan allometrik terbaik untuk menduga biomassa dan massa karbon tanaman kelapa sawit adalah W = 0.00597D1.000Hbp1.142 dan C = 0.001559D0.948Hbp1.154, sehingga menghasilkan biomassa dan massa karbon tanaman kelapa sawit umur 15 tahun masing-masing sebesar 315,19 ton/ha dan 71,58 ton/ha.
Kata kunci : Elaeis guineensis Jacq., perkebunan, biomassa, karbon
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
GUSWINDA NASARI SITANGGANG : Estimation of Carbon Stock In stands of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Age 15 Years in Oil Palm Plantation Putri Hijau, Besitang North Sumatra. Monitored by MUHDI and DIANA SOFIA HANAFIAH.
Forests absorb CO2 during photosynthesis and store it as organic matter in biomass plants, as well as oil palm plantations. This study aimed were to : (1) obtain a model Allometric estimation of carbon stocks in vegetation potential of oil palm plantations in North Sumatra; (2) to obtain the potential carbon stocks in forest conversion to oil palm plantations in North Sumatra. This research was conducted in the area of Oil Palm Putri Hijau, Besitang North Sumatra. The research was carried out in two stages, namely the first stage were to data in the field and the second stage was analyze of carbon biomass and plant in the laboratory. Parameters measured in the field was wet weight, whereas in the laboratory is measured moisture content, volatile matter content, ash content and carbon content. Carbon plants in the plot were determined using allometric models palm carbon rods. Models the relationship between plant biomass or carbon rods with dimensions created with a method that describes the relationship Allometric biomass or carbon mass per plant as a function of the diameter and height of the stem free. The results showed that the best model of allometric equations for estimating biomass and carbon mass of oil palm plantations is W = 0.00597D1.000Hbp1.142 dan C = 0.001559D0.948Hbp1.154, resulting in biomass and carbon mass of oil palm trees aged 15 years respectively by 315.19 tons / ha and 71.58 tons / ha.
Keywords: Elaeis guineensis Jacq., Plantations, biomass, carbon
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara
ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang menginginkan mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, karet, kopi, coklat, dan lain-lain. Secara legal konversi lahan hutan sering dilakukan melalui revisi tata guna lahan tingkat kabupaten dan propinsi. Akibat kebijakan tersebut luas hutan alam di Sumatera Utara terus menyusut dari tahun 1985 sampai tahun 1997, yaitu dari 23.323.500 ha menjadi 16.632.143 ha (Manurung, 2000). Luas Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara sesuai SK Menhut Nomor : 44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Utara adalah seluas 3.742.120 ha.
Jika lahan dikonversi dan dikelola dengan benar, maka kapasitas serapan karbonnya dapat meningkat. Namun demikian, hutan ketika dikonversi menjadi bentuk penggunaan lain dan mengalami gangguan akan berubah menjadi sumber emisi. Saat ini sejumlah hutan tropika mengalami degradasi hebat, diantaranya disebabkan konversi hutan menjadi areal pertanian, perkebunan dan pemukiman.
Dalam rangka menjawab kebutuhan kebijakan alternatif, diperlukan kajian tentang pola penggunaan lahan yang sesuai dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Seberapa besar relevansi perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai penyedia jasa lingkungan yang menghasilkan penerimaan ekonomi, tanpa harus mengubahnya menjadi penggunaan lahan tertentu yang menurunkan simpanan
Universitas Sumatera Utara


karbon dan seberapa besar serapan karbon kelapa sawit dibandingkan pohon dalam hal konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Jasa lingkungan yang dimaksud adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yaitu sebuah mekanisme pembayaran kompensasi atas pengalihan alokasi penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit sehingga mampu menghindarkan terjadinya deforestasi atau degradasi hutan. Salah satu mekanisme pengurangan emisi yang masih dikembangkan adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus). Mekanisme ini diharapkan dapat diimplementasikan penuh sesudah tahun 2012 atau berakhirnya periode Protokol Kyoto. Agar hasil penurunan emisi mekanime REDD+ dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi haruslah dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kaidah internasional, dan bersifat MRV (Measurable, Reportable dan Verifiable) (Wibowo dkk, 2010).
Menurut studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA, 2007), Indonesia memiliki kapasitas dan sumberdaya yang harus terus ditingkatkan untk implementasi REDD. Hasil studinya menyebutkan bahwa REDD berpotensi diimplementasikan pada kawasan hutan produksi, hutan konservasi dan hutan tanaman. Untuk memperkuat potensinya maka studi IFCA juga diarahkan pada aspek yang berkaitan dengan metodologi, mekanisme pembayaran, pasar, serta strategi yang menyangkut hutan produksi, kawasan konservasi, lahan untuk hutan tanaman, serta lahan untuk kelapa sawit.
Gas CO2 sebagai salah satu penyusun gas rumah kaca terbesar di udara mampu diserap oleh pohon-pohon melalui proses fotosintesis dan diubah menjadi
Universitas Sumatera Utara

C-Organik dalam bentuk biomassa. Informasi tentang kandungan karbon suatu vegetasi atau tegakan hutan dapat diperoleh dengan menduga biomasa vegetasi tersebut. Menurut Brown (1997), hampir 50% dari biomasa suatu vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon. Oleh karena itu, perlu diketahui teknik pendugaan biomasa.
Salah satu upaya pengurangan gas rumah kaca adalah adanya pohon atau tanaman penyerap karbon. Di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat memiliki potensi yang sangat besar terutama perkebunan kelapa sawit. Kabupaten Langkat merupakan salah satu wilayah yang memiliki komoditi sawit yang cukup tinggi. Seiring dengan berkembangnya dan makin luasnya perkebunan di Kabupaten ini maka diperlukan suatu informasi teknis tentang cadangan karbon pada perkebunan di kelapa sawit, dimana diketahui bahwa tanaman kelapa sawit merupakan penyerap CO2 sama dengan tumbuhan lain seperti tanaman kayu hutan.
Pendugaan cadangan karbon adalah paradigma baru ,sehingga dalam hal ini teknik dan penilaian informasi kandungan karbon perlu dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai pendugaan cadangan karbon hingga menghasilkan informasi C-stok dan seberapa besar jumlah C ton/ha yang tersimpan pada tegakan sawit di wilayah Kabupaten Langkat.
Universitas Sumatera Utara

Alur Penelitian Berikut adalah alur penelitian yang dirancang untuk mendapatkan hasil
sesuai dengan yang sebenarnya di lapangan dan laboratorium :
Peninjauan Lokasi (Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang, Sumatera Utara)
Perancangan Petak Ukur
Pembuatan Petak Ukur Ukuran 20 m x 20 m
Pengukuran dimensi tegakan kelapa sawit, mencakup diameter batang, tinggi total, dan
tinggi bebas cabang
Penebangan tegakan sebagai sample untuk ditimbang berat basah dan memisahkan ke dalam bagian-bagian tegakan untuk dijadikan
sebagai sample yang akan dianalisis di laboratorium
Mengukur dan menimbang bagian-bagian Tegakan. Batang dibagi kedalam sortimen pendek 2 m dan diukur diameter ujungnya. Seluruh batang dan daun ditimbang untuk
memperoleh bobot basah
Analisis contoh uji dilaboratorium untuk mendapatkan nilai berat jenis, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon dalam
biomassa pohon
Penggunaan model alometrik terbaik untuk penaksiran biomassa dan karbon tegakan
Gambar 1. Alur Penelitian
Universitas Sumatera Utara

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui perbedaan kandungan karbon pada setiap bagian tanaman kelapa sawit umur 15 tahun di Sumatera Utara.
2. Mendapatkan model alometrik pendugaan potensi cadangan karbon pada vegetasi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
3. Mendapatkan potensi kandungan karbon pada konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
Hipotesis Terdapat perbedaan kandungan massa karbon pada setiap bagian tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian yang dilakukan adalah memberikan informasi mengenai kandungan karbon pada perkebunan kelapa sawit umur 15 tahun di Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Gambar 2. Kelapa Sawit

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut :

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Class

: Dicotyledonae

Family

: Palmaceae

Sub Family : Cocoideae

Genus

: Elaeis

Spesies

: Elaeis guineensis Jacq.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan industri penting

penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodisel).

Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan

perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (Simatauw, 2012).

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan

pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya

dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak.

Universitas Sumatera Utara

Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang (Samhadi, 2006). Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanah hitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911 (Samhadi, 2006).
Perkebunan besar swasta mulai digalakkan di Indonesia pada awal 1980an. Perkebunan besar kelapa sawit mengalami perkembangan besar selama dua puluh tahun terakhir. Di antara komoditas perkebunan komersial, tanaman kelapa sawit dapat dikatakan menjadi primadona, terutama pada tahun 1990-an. Luas areal perkebunan kelapa sawit menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Pada tahun 1967 luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 105.808 ha dan tahun 1998 sudah mencapai 2.633.899 ha. Luas areal perkebunan kelapa sawit masih di bawah perkebunan karet yang luasnya mencapai 3,5 juta ha pada tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara

Namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan perkebunan karet. Bila pemilikan perkebunan karet didominasi perkebunan rakyat yakni sebesar 83%, maka perkebunan kelapa sawit perusahaan besar milik negara maupun milik swasta mendominasi luas areal dengan pangsa 66%. Di masa mendatang, proporsi kepemilikan perkebunan kelapa sawit antara pengusaha besar dengan kepemilikan rakyat, selisihnya makin membesar seiring dengan pesatnya investasi dari kalangan swasta dan peningkatan permintaan areal perkebunan besar kelapa sawit melalui konversi hutan (Basyar, 1999).
Berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO, perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai hutan (berfungsi ekologis hutan), meskipun secara administratif tidak berada dalam kawasan hutan. Alasannya adalah sebagai berikut : 1. Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi
menurut konsep land cover change); memiliki canopy cover hampir/mendekati 100 persen pada umur dewasa (syarat FAO, lebih besar dari 10 persen); dan memiliki ketinggian pohon setelah dewasa lebih dari 5 meter dan luas sehamparan diatas 0,5 hektar (FAO mensyaratkan tinggi pohon 5 meter dan luas lebih dari 0,5 hektar). Dengan demikian memenuhi kriteria minimal (threshold) bahkan diatas definisi hutan FAO. 2. Perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop yang baru di replanting setelah 25 tahun (timber plantation yang oleh FAO dikategorikan hutan, dipanen 7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih lama daripada timber plantation. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga
Universitas Sumatera Utara

memiliki perakaran yang massif/padat, berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (pelepah daun, batang) yang berfungsi sebagai bagian dari konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air permukaan (water run-off) sebagaimana salah satu fungsi hutan. 3. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis seperti pelestarian daur CO2, daur O2 dan daur air (H2O) melalui mekanisme fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit. Fungsi ini juga merupakan bagian dari fungsi hutan secara ekologis. 4. Pembudidayaan kelapa sawit melalui perkebunan merupakan suatu mekanisme efektif melestarikan plasma nutfah (biodiversity), yakni tanaman kelapa sawit beserta organisme yang ada, fungsi ekologis dan fungsi ekonomi secara lintas generasi. Kelapa sawit yang pada awalnya (tahun 1870) hanya empat varietas di Kebun Raya Bogor, melalui perkebunan kelapa sawit, plasma nutfah tersebut terlestarikan secara lintas generasi dan bahkan berhasil dikembangkan menjadi puluhan varietas baru. Fungsi pelestarian plasma nutfah seperti ini juga merupakan fungsi hutan. Berdasarkan alasan diatas maka perkebunan kelapa sawit secara ekologis dapat dikategorikan sebagai hutan. Apalagi dikaitkan dengan upaya penyerapan CO2 (untuk mengurangi pemanasan global) perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibanding hutan alam (TP GAPKI, 2013). Perkebunan Kelapa Sawit dan Isu Lingkungan
Jenis gas rumah kaca (GRK) yang memberikan sumbangan yang paling besar terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida. Kenaikan kadar karbon dioksida dipercepat dengan berkembangnya teknologi yang menggunakan bahan
Universitas Sumatera Utara

bakar dari biomassa fosil. Konsentrasi GRK di atmosfer dari waktu ke waktu terus meningkat yang telah dilepas ke atmosfer dalam kurun waktu 148 tahun yaitu dari tahun 1850 sampai 1998. Penyumbang pemanasan global yang terbesar adalah karbon dioksida sebesar 61%, diikuti oleh metana (CH4) sebesar 15%, chlorofluorocarbon (CFC) sebesar 12%, dinitrogen monoksida (N2O) sebesar 4% dan sumber lain sebesar 8% (Muhdi, 2008).
Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini mempunyai rasio 3:1 (Yuliasmara dkk, 2009).
Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran ('tebas dan bakar') atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990 - 1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 ton/ha/tahun dari total emisis CO2 (Yuliasmara dkk, 2009).
Universitas Sumatera Utara

Peningkatan harga dan permintaan untuk biofuel dan minyak goreng dari negara-negara importir telah menyebabkan ekspansi luar biasa dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memantau perluasan perkebunan kelapa sawit di atas lahan gambut dan hutan tropis. Penulis mengukur emisi gas rumah kaca dari kegiatan konversi lahan dalam skala provinsi. Menggunakan citra Landsat dari tiga periode yang berbeda (1990, 2000 dan 2012), penulis mengklasifikasi LULCF Provinsi Riau, yang merupakan daerah terbesar penghasil minyak kelapa sawit di Indonesia (Ramdani dan Masateru, 2013).
Sebuah metode hibrida integrasi, yang dihasilkan dengan menggabungkan proses otomatis dan analisis manual, menghasilkan hasil terbaik. Penulis menemukan bahwa penutup hutan hujan tropis menurun dari 63% pada tahun 1990 menjadi 37% pada tahun 2000-an. Pada tahun 2012, penutup hutan hujan tropis yang tersisa hanya 22%. Dari tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, konversi hutan dan lahan gambut merupakan sumber utama emisi, jumlah CO2 yang dipancarkan ke atmosfer diperkirakan 26,6 juta tCO2/ha/tahun, dengan 40,62% dan 59.38% emisi dari konversi lahan dan hutan gambut. Antara tahun 2000 dan 2012, total emisi CO2 ke atmosfer diperkirakan 5,2 juta tCO2/ha/tahun, dengan 69,94% dan 27,62% emisi dari lahan gambut dan konversi hutan (Ramdani dan Masateru, 2013).
Hasil menunjukkan bahwa di Provinsi Riau, industri kelapa sawit meluas pada periode 1990-2000 dengan transformasi hutan tropis dan lahan gambut sebagai sumber utama emisi. Penurunan emisi CO2 pada periode 2000-2012
Universitas Sumatera Utara

adalah mungkin karena penegakan moratorium deforestasi (Ramdani dan Masateru, 2013).
Peningkatan konsentrasi Green House Gase (GHG) atmosfir bumi terkait dengan kegiatan masyarakat dunia sejak era pra-industri (tahun 1800-an) sampai sekarang. Menurut United Nation Frame Work Convention on Climate Change (UNFCCC) dan International Energy Agency (2011), sumber emisi GHG global berdasarkan jenis gas GHG, urutan terbesar (Gambar 2) berasal dari emisi CO2 (92 persen), kemudian disusul CH4 (7%) dan N2O (1%). Sedangkan secara sektoral (diluar Land use change), kontributor emisi GHG terbesar adalah energi (83%), pertanian (8%), industri (6%) dan limbah (3%). Bila diperhitungkan emisi dari land use change (Gambar 3) maka share dari masing-masing sumber emisi GHG adalah: Energi (56,1%), pertanian (13,8%), industri (14,7%), land use change (12,2%), dan limbah (3,2%) (TP GAPKI, 2013).
Green House Gase
CO2 (92%) CH4 (7%) N2O (1%)
Gambar 3. Grafik Komposisi dan Sumber Emisi GHG Global Sumber: IPCC (2007), IEA (2010)
Universitas Sumatera Utara

Sumber GHG Global

Energi (56,10%)

Industri (14,70%)

Pertanian (13,80%)

Land Use Change (12,2%)
Limbah (3,2%)

Gambar 4. Grafik Sumber Emisi GHG Global menurut Sektor Sumber: IPCC (2007)
Dengan demikian sangat jelas bahwa kontributor emisi GHG terbesar adalah dari konsumsi energi (BBF). Share pertanian, maupun land use change dalam emisi total GHG jauh lebih rendah dari share konsumsi BBF. Jika masyarakat global ingin mengatasi pemanasan global maka cara yang paling efektif adalah mengurangi konsumsi BBF secara global dan revolusioner. Gaya hidup dan kemewahan yang diperoleh dengan mengkonsumsi BBF yang terlalu tinggi, perlu dikurangi secara revolusioner. Mempersoalkan emisi GHG dari pertanian, land use change tidak berpengaruh signifikan jika tidak didahului pengurangan konsumsi BBF (TP GAPKI, 2013).
Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam jaringan tubuh makhluk hidup, dan terbesar dijumpai dalam batuan endapan serta bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh suatu organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai organ, diantaranya daun. Karbon dioksida dalam dedaunan hijau kemudian masuk ke tubuh organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses

Universitas Sumatera Utara

respirasi. Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap yang disebut dengan siklus karbon (Gambar 5). Meskipun demikian, tidak semua karbon pada tubuh organisme kembali ke atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk biomassa tubuh (Wirakusumah, 2003).
Jumlah karbon di atmosfer dipengaruhi oleh besarnya hasil proses fotosintesis, respirasi tegakan, respirasi serasah, dan respirasi tanah. Jumlah karbon dalam bentuk karbon bebas juga sangat dipengaruhi oleh tambahan dari luar sistem seperti kebakaran hutan, letusan gunung dan sebagainya (Muhdi, 2008).
Gambar 5. Siklus Karbon Sumber : tugassekolahoke.blogspot.com/2014/03/siklus-biogeokimia.html?m=1
Perkembangan luas tanaman kelapa sawit harus menjadi perhatian karena harus dibayar dengan berkurangnya penutupan hutan tropis. IFCA (2007) menyebutkan bahwa sekitar 70% dari tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia telah menggantikan hutan, dan telah menghasilkan emisi dari biomasa di atas tanah sebesar 588 juta ton karbon atau (~2117 Juta tCO2 ) selama periode 1982-
Universitas Sumatera Utara

2005. Sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih akan tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit melalui penambahan 5-8 juta ha sampai tahun 2020. Hal ini berimplikasi pada penambahan tanaman sawit sebesar 4500.000 ha per tahun. Sebagai catatan, rata-rata 3-400,000 ha tanaman sawit telah dibangun setiap tahunnya pada periode tahun 2000 sampai 2006. Perkembangan tanaman sawit akan banyak terjadi di terutama Sumatera karena wilayah ini memiliki kondisi tanah dan iklim yang baik untuk pengembangan sawit, disamping infrastruktur yang sudah berkembang. Meskipun demikian, perkembangan tanaman sawit juga terjadi di Kalimantan dan Papua karena lahan yang layak di Sumatera semakin jarang. Pembangunan kelapa sawit juga terjadi di lahan gambut. Saat ini kerusakan lahan gambut terus berlanjut, pengalih fungsian menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 2,8 juta hektar dan diperkirakan terus bertambah. Terakhir, dari hutan gambut 8 juta hektar di Papua, sudah banyak yang dibuka untuk sawit, meski penanamannya belum terlaksana karena terkendala masalah hukum adat (Suryadiputra, 2009).
Data yang dikumpulkan IFCA (2007) menunjukkan bahwa ijin lokasi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit telah dikeluarkan untuk areal seluas 5,5 juta ha hanya untuk Kalimantan. Sedikitnya 1,7 juta ha dari lahan ini berhutan dan hampir 1 juta ha adalah lahan gambut. Jika seluruh lahan berhutan ditebang habis dan dikonversi menjadi sawit, sebanyak 255 juta ton karbon (~918 juta ton C02) akan dilepaskan ke atmosfer hanya berasal dari biomas di atas permukaan tanah saja. Emisi akan menjadi bertambah besar apabila lahan gambut tersebut diolah (didrainase) dengan rata-rata faktor emisi drainase lahan gambut sebesar 20 ton carbon/ha/tahun (Wibowo, 2013).
Universitas Sumatera Utara

Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian
berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya dan mengantisipasi akibatnya. Penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang terjadi karena alih guna lahan dan pembakaran bahan bakar fosil. Konversi atau alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri dewasa ini berkembang sangat pesat, terutama konversi menjadi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit memanfaatkan lahannya untuk areal tanaman kelapa sawit, areal tanaman bambu, perumahan – kantor, pabrik kelapa sawit dan prasarana jalan (Suprihatno dkk, 2012).
Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upaya menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCC), melalui Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara industri untuk menurunkan emisinya sebesar 5% dari level tahun 1990. Dalam protokol ini, afforestasi dan reforestasi diperhitungkan sebagai sumber rosot karbon yang kegiatannya termasuk dalam rangka CDM (Clean Development Mechanism) (Muhdi, 2012).
Biomassa sangat relevan dengan isu perubahan iklim serta berperan penting dalam siklus karbon. Sebagai konsekuensi jika terjadi kerusakan hutan, pembakaran, pembalakan dan sebagainya akan melepas dengan menambah jumlah karbon di atmosfer. Biomassa merupakan total bahan organik yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara

oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering persatuan luas (Brown, 1997). Dalam perkembangannya, pengukuran biomassa mencakup seluruh biomassa yang hidup ada di atas dan di bawah permukaan. Biomassa diatas permukaan mencakup batang, tunggul, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon dan strata tumbuhan bawah di lantai hutan, sedangkan biomassa bawah permukaan mencakup semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup (Sutaryo, 2009).
Pemanasan global terjadi karena lonjakan tajam dalam peningkatan gasrumah-kaca, terutama yang bersumber dari emisi karbondiokasida akibat pembakaran bahan bakar fosil serta konversi hutan dan lahan gambut. Emisi neto karbondioksida ke atmosfer dapat dikurangi dengan mempertahankan sisa cadangan karbon terestrial secara efektif, atau melalui pengikatan karbon oleh pertumbuhan vegetasi baru, dimana karbon disimpan sebagai biomasa. Sistem sirkulasi atmosfer global adalah 'tanggung jawab bersama', sehingga dampak global dari emisi karbon lokal maupun cadangan karbon netonya mendasari diskusi-diskusi yang dilakukan saat ini mengenai pengendalian emisi dan Mekanisme Pembangunan Bersih. Hutan tropis merupakan gudang utama karbon yang nasibnya berada di ujung tanduk, karena konversi kapital sumberdaya alam menjadi kapital finansial (baik dalam bentuk pembalakan maupun bentuk-bentuk degradasi lanjutannya) masih merupakan pilihan sumber penghidupan yang paling setimpal, bila ditinjau dari pengorbanannya (Waterloo, 1995). Perdagangan Karbon
Pemanasan global telah melahirkan bentuk baru perdagangan, yaitu perdagangan karbon. Ini merupakan kegiatan ekonomi baru yang melibatkan
Universitas Sumatera Utara

pembeli dan penjual "jasa lingkungan" termasuk pengurangan gas rumah kaca dari atmosfer, yang diidentifikasi dan dibeli oleh perusahaan dan kemudian dijual kepada nasabah perorangan atau perusahaan untuk mengatur mengurangi emisi polusi mereka. Sementara beberapa LSM dan pebisnis mendukung perdagangan karbon dan melihatnya sebagai solusi yang menyatukan perlindungan lingkungan dengan kemakmuran ekonomi. Lingkungan dan organisasi mengklaim bahwa kegiatan perdagangan karbon adalah kegiatan yang tidak menjadi solusi untuk masalah lingkungan seperti pemanasan global (Sada, 2007).
Perdagangan karbon adalah suatu gagasan yang muncul sebagai tanggapan terhadap Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian di mana negara-negara industri akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008 sampai 2012 ke tingkat yang lebih rendah 5,2% dibandingkan tahun 1990. Gagasan di balik perdagangan karbon sangat mirip dengan perdagangan efek atau komoditi di pasar. Karbon akan diberi nilai ekonomi, memungkinkan orang, perusahaan atau negara untuk perdagangan. Nilai karbon akan didasarkan pada kemampuan negara yang memiliki karbon untuk menyimpan atau untuk mencegah dari yang dilepaskan ke atmosfer. Suatu pasar akan dibuat untuk memfasilitasi pembelian dan penjualan karbon untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Negara-negara industri yang mengurangi emisi adalah tugas yang menakutkan bisa membeli hak emisi dari negara lain yang industrinya tidak menghasilkan emisi sebanyak gas ini. Pasar untuk karbon ini dimungkinkan karena tujuan dari Protokol Kyoto adalah mengurangi emisi secara kolektif (Sada, 2007). Secara Netto Penyerap CO2 Perkebunan Kelapa Sawit
Tumbuhan/tanaman yang hanya memiliki kemampuan dalam menyerap
Universitas Sumatera Utara

CO2. Tumbuhan seperti perkebunan, memiliki mekanisme proses fotosintesis

(asimilasi) yang menyerap CO2 atmosfir bumi dan energi matahari dan disimpan

dalam bentuk biomass (stok karbon). Selain proses fotosintesis, tumbuhan juga

melakukan pernafasan/respirasi yang menghasilkan CO2 ke atmosfir bumi. Oleh

sebab itu, yang perlu dilihat adalah penyerapan netto-nya yakni CO2 diserap

dikurangi CO2 yang dilepas (TP GAPKI, 2013).

Berdasarkan penelitian Muhdi (2013) di areal hutan alam tropika IUPHHK-

HA PT Inhutani II, Malinau, Kalimantan Timur, yang menyatakan bahwa kadar

karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar karbon bervariasi yakni kadar

karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 45,75% dengan kisaran kadar

karbon rata-rata 40,29%-53,12%. Kadar karbon terkecil yakni pada daun sebesar

19,61% dengan kisaran kadar karbon antara 15,31%-22,58% dikarenakan daun

memiliki kadar zat terbang dan kadar abu yang tinggi. Besarnya kadar karbon

tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang

dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah.

Henson (1999) menghitung penyerapan netto CO2 perkebunan kelapa sawit

dibandingkan dengan hutan alam tropis (Tabel 1). Data empiris tersebut

menunjukkan bahwa secara netto kelapa sawit dan hutan alam tropis adalah

penyerap CO2 dari atmosfir bumi. Namun kemampuan perkebunan kelapa sawit

dalam menyerap CO2 (secara netto) lebih besar dibandingkan hutan alam tropis.

Tabel 1. Perbandingan Penyerapan Karbon dioksida antara Perkebunan Kelapa Sawit dan

Hutan Alam Tropis

Indikator

Perkebunan Kelapa Sawit

Hutan Alam Tropis

Fotosintesis (ton

161,0

163,5

CO2/ha/tahun) Respirasi (ton CO2/ha/tahun)

96,5

121,1

Netto (ton CO2/ha/tahun)

64,5

42,4

Sumber : Henson, I. E. (1999).

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan penyerapan netto CO2 tersebut disebabkan perbedaan laju fotosintesis dan respirasi. Pada perkebunan (kelapa sawit) pertumbuhan biomas

(termasuk produksinya) masih terjadi sampai sawit ditebang (umur 25 tahun),

sehingga laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi. Sedangkan hutan alam

tropis yang sudah mencapai umur dewasa (mature) pertumbuhan biomas sudah

berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis sudah sama (mendekati) laju

respirasi (TP GAPKI, 2013).

Dengan demikian untuk penyerapan CO2 dari atmosfir bumi, konversi hutan dewasa menjadi perkebunan bukanlah bentuk deforestasi tetapi bersifat reforestasi.

Adapun afforestasi yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar (administratif)

kawasan hutan (Soemarwoto, 1992).

Selama ini berkembang pandangan bahwa dengan membuka lahan gambut

menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan stok karbon (carbon stock) pada

lapisan atas gambut akan terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon.

Pandangan tersebut ternyata tidak selalu benar (Tabel 2). Stok karbon perkebunan

kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya

umur tanaman kelapa sawit. Pada umur 14-15 tahun ternyata stok karbon dalam

tanah justru melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan mendekati

stok karbon pada hutan gambut primer (TP GAPKI, 2013).

Tabel 2. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut pada Hutan Gambut dan

Perkebunan Kelapa Sawit Gambut

Land Use Gambut

Stok Karbon (ton C/ha)

Hutan Gambut Primer

81,8

Hutan Gambut Sekunder

57,3

Kelapa Sawit :

- Umur di bawah 6 tahun

5,8

- Umur 9 – 12 tahun

54,4

- Umur 14 – 15 tahun

73,0

Sumber : Sabiham, S. 2013.

Universitas Sumatera Utara

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pemanfaatan lahan gambut yang telah rusak (degraded peat land) untuk pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG, asalkan dilakukan dengan cara-cara/kultur teknis yang benar. Atas dasar itulah pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian ter

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

3 83 102

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 13

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 2

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 5

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 22

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 3

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 8

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 6

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 29