Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Gambar 2. Kelapa Sawit

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Class

: Dicotyledonae

Family


: Palmaceae

Sub Family

: Cocoideae

Genus

: Elaeis

Spesies

: Elaeis guineensis Jacq.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan industri penting
penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodisel).
Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan
perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (Simatauw, 2012).
Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan
pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya

dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak.

Universitas Sumatera Utara

Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat.
Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai
bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan
ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan
pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan
arang (Samhadi, 2006).
Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada
tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang
menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan
merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini
telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya
Bogor. Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial
pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919.
Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanah hitam, Hulu Sumatera Utara
oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911 (Samhadi, 2006).

Perkebunan besar swasta mulai digalakkan di Indonesia pada awal 1980an. Perkebunan besar kelapa sawit mengalami perkembangan besar selama dua
puluh tahun terakhir. Di antara komoditas perkebunan komersial, tanaman kelapa
sawit dapat dikatakan menjadi primadona, terutama pada tahun 1990-an. Luas
areal perkebunan kelapa sawit menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Pada
tahun 1967 luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 105.808 ha dan tahun 1998
sudah mencapai 2.633.899 ha. Luas areal perkebunan kelapa sawit masih di
bawah perkebunan karet yang luasnya mencapai 3,5 juta ha pada tahun 1997.

Universitas Sumatera Utara

Namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan
perkebunan karet. Bila pemilikan perkebunan karet didominasi perkebunan rakyat
yakni sebesar 83%, maka perkebunan kelapa sawit perusahaan besar milik negara
maupun milik swasta mendominasi luas areal dengan pangsa 66%. Di masa
mendatang, proporsi kepemilikan perkebunan kelapa sawit antara pengusaha besar
dengan kepemilikan rakyat, selisihnya makin membesar seiring dengan pesatnya
investasi dari kalangan swasta dan peningkatan permintaan areal perkebunan
besar kelapa sawit melalui konversi hutan (Basyar, 1999).
Berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut
banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO, perkebunan termasuk

perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai hutan (berfungsi ekologis
hutan), meskipun secara administratif tidak berada dalam kawasan hutan.
Alasannya adalah sebagai berikut :
1. Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi
menurut konsep land cover change); memiliki canopy cover hampir/mendekati
100 persen pada umur dewasa (syarat FAO, lebih besar dari 10 persen); dan
memiliki ketinggian pohon setelah dewasa lebih dari 5 meter dan luas
sehamparan diatas 0,5 hektar (FAO mensyaratkan tinggi pohon 5 meter dan
luas lebih dari 0,5 hektar). Dengan demikian memenuhi kriteria minimal
(threshold) bahkan diatas definisi hutan FAO.
2. Perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop yang baru di replanting
setelah 25 tahun (timber plantation yang oleh FAO dikategorikan hutan,
dipanen 7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih
lama daripada timber plantation. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga

Universitas Sumatera Utara

memiliki perakaran yang massif/padat, berlapis serta permukaan tanah
mengandung banyak bahan organik (pelepah daun, batang) yang berfungsi
sebagai bagian dari konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air

permukaan (water run-off) sebagaimana salah satu fungsi hutan.
3. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis
seperti pelestarian daur CO2, daur O2 dan daur air (H2O) melalui mekanisme
fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit. Fungsi ini juga merupakan
bagian dari fungsi hutan secara ekologis.
4. Pembudidayaan kelapa sawit melalui perkebunan merupakan suatu mekanisme
efektif melestarikan plasma nutfah (biodiversity), yakni tanaman kelapa sawit
beserta organisme yang ada, fungsi ekologis dan fungsi ekonomi secara lintas
generasi. Kelapa sawit yang pada awalnya (tahun 1870) hanya empat varietas
di Kebun Raya Bogor, melalui perkebunan kelapa sawit, plasma nutfah
tersebut terlestarikan secara lintas generasi dan bahkan berhasil dikembangkan
menjadi puluhan varietas baru. Fungsi pelestarian plasma nutfah seperti ini
juga merupakan fungsi hutan.
Berdasarkan alasan diatas maka perkebunan kelapa sawit secara ekologis dapat
dikategorikan sebagai hutan. Apalagi dikaitkan dengan upaya penyerapan CO2
(untuk mengurangi pemanasan global) perkebunan kelapa sawit lebih unggul
dibanding hutan alam (TP GAPKI, 2013).
Perkebunan Kelapa Sawit dan Isu Lingkungan
Jenis gas rumah kaca (GRK) yang memberikan sumbangan yang paling
besar terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida. Kenaikan kadar karbon

dioksida dipercepat dengan berkembangnya teknologi yang menggunakan bahan

Universitas Sumatera Utara

bakar dari biomassa fosil. Konsentrasi GRK di atmosfer dari waktu ke waktu terus
meningkat yang telah dilepas ke atmosfer dalam kurun waktu 148 tahun yaitu dari
tahun 1850 sampai 1998. Penyumbang pemanasan global yang terbesar adalah
karbon dioksida sebesar 61%, diikuti oleh metana (CH4) sebesar 15%,
chlorofluorocarbon (CFC) sebesar 12%, dinitrogen monoksida (N2O) sebesar 4%
dan sumber lain sebesar 8% (Muhdi, 2008).
Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia
terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi,
pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan
bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya
memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang
disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini mempunyai rasio 3:1
(Yuliasmara dkk, 2009).
Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah
diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam
kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang

telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke
atmosfir melalui pembakaran ('tebas dan bakar') atau dekomposisi bahan organik
di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang
lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya
dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut.
Diperkirakan bahwa antara tahun 1990 - 1999, perubahan penggunaan lahan
memberikan sumbangan sekitar 1.7 ton/ha/tahun dari total emisis CO2
(Yuliasmara dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan harga dan permintaan untuk biofuel dan minyak goreng dari
negara-negara importir telah menyebabkan ekspansi luar biasa dari perkebunan
kelapa sawit di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memantau
perluasan perkebunan kelapa sawit di atas lahan gambut dan hutan tropis. Penulis
mengukur emisi gas rumah kaca dari kegiatan konversi lahan dalam skala
provinsi. Menggunakan citra Landsat dari tiga periode yang berbeda (1990, 2000
dan 2012), penulis mengklasifikasi LULCF Provinsi Riau, yang merupakan
daerah terbesar penghasil minyak kelapa sawit di Indonesia (Ramdani dan
Masateru, 2013).

Sebuah metode hibrida integrasi, yang dihasilkan dengan menggabungkan
proses otomatis dan analisis manual, menghasilkan hasil terbaik. Penulis
menemukan bahwa penutup hutan hujan tropis menurun dari 63% pada tahun
1990 menjadi 37% pada tahun 2000-an. Pada tahun 2012, penutup hutan hujan
tropis yang tersisa hanya 22%. Dari tahun 1990-an hingga tahun 2000-an,
konversi hutan dan lahan gambut merupakan sumber utama emisi, jumlah CO2
yang dipancarkan ke atmosfer diperkirakan 26,6 juta tCO2/ha/tahun, dengan
40,62% dan 59.38% emisi dari konversi lahan dan hutan gambut. Antara tahun
2000 dan 2012, total emisi CO2 ke atmosfer diperkirakan 5,2 juta tCO2/ha/tahun,
dengan 69,94% dan 27,62% emisi dari lahan gambut dan konversi hutan
(Ramdani dan Masateru, 2013).
Hasil menunjukkan bahwa di Provinsi Riau, industri kelapa sawit meluas
pada periode 1990-2000 dengan transformasi hutan tropis dan lahan gambut
sebagai sumber utama emisi. Penurunan emisi CO2 pada periode 2000-2012

Universitas Sumatera Utara

adalah mungkin karena penegakan moratorium deforestasi (Ramdani dan
Masateru, 2013).
Peningkatan konsentrasi Green House Gase (GHG) atmosfir bumi terkait

dengan kegiatan masyarakat dunia sejak era pra-industri (tahun 1800-an) sampai
sekarang. Menurut United Nation Frame Work Convention on Climate Change
(UNFCCC) dan International Energy Agency (2011), sumber emisi GHG global
berdasarkan jenis gas GHG, urutan terbesar (Gambar 2) berasal dari emisi CO2 (92
persen), kemudian disusul CH4 (7%) dan N2O (1%). Sedangkan secara sektoral
(diluar Land use change), kontributor emisi GHG terbesar adalah energi (83%),
pertanian (8%), industri (6%) dan limbah (3%). Bila diperhitungkan emisi dari land
use change (Gambar 3) maka share dari masing-masing sumber emisi GHG adalah:
Energi (56,1%), pertanian (13,8%), industri (14,7%), land use change (12,2%), dan
limbah (3,2%) (TP GAPKI, 2013).
Green House Gase

CO2 (92%)
CH4 (7%)
N2O (1%)

Gambar 3. Grafik Komposisi dan Sumber Emisi GHG Global
Sumber: IPCC (2007), IEA (2010)

Universitas Sumatera Utara


Sumber GHG Global
Energi (56,10%)
Industri (14,70%)
Pertanian (13,80%)
Land Use Change
(12,2%)
Limbah (3,2%)
Gambar 4. Grafik Sumber Emisi GHG Global menurut Sektor
Sumber: IPCC (2007)

Dengan demikian sangat jelas bahwa kontributor emisi GHG terbesar
adalah dari konsumsi energi (BBF). Share pertanian, maupun land use change
dalam emisi total GHG jauh lebih rendah dari share konsumsi BBF. Jika
masyarakat global ingin mengatasi pemanasan global maka cara yang paling
efektif adalah mengurangi konsumsi BBF secara global dan revolusioner. Gaya
hidup dan kemewahan yang diperoleh dengan mengkonsumsi BBF yang terlalu
tinggi, perlu dikurangi secara revolusioner. Mempersoalkan emisi GHG dari
pertanian, land use change tidak berpengaruh signifikan jika tidak didahului
pengurangan konsumsi BBF (TP GAPKI, 2013).

Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam
jaringan tubuh makhluk hidup, dan terbesar dijumpai dalam batuan endapan serta
bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh
suatu organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan
hijau melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai
organ, diantaranya daun. Karbon dioksida dalam dedaunan hijau kemudian masuk
ke tubuh organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses

Universitas Sumatera Utara

respirasi. Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap yang disebut
dengan siklus karbon (Gambar 5). Meskipun demikian, tidak semua karbon pada
tubuh organisme kembali ke atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk
biomassa tubuh (Wirakusumah, 2003).
Jumlah karbon di atmosfer dipengaruhi oleh besarnya hasil proses
fotosintesis, respirasi tegakan, respirasi serasah, dan respirasi tanah. Jumlah karbon
dalam bentuk karbon bebas juga sangat dipengaruhi oleh tambahan dari luar sistem
seperti kebakaran hutan, letusan gunung dan sebagainya (Muhdi, 2008).

Gambar 5. Siklus Karbon
Sumber : tugassekolahoke.blogspot.com/2014/03/siklus-biogeokimia.html?m=1

Perkembangan luas tanaman kelapa sawit harus menjadi perhatian karena
harus dibayar dengan berkurangnya penutupan hutan tropis. IFCA (2007)
menyebutkan bahwa sekitar 70% dari tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia
telah menggantikan hutan, dan telah menghasilkan emisi dari biomasa di atas
tanah sebesar 588 juta ton karbon atau (~2117 Juta tCO2 ) selama periode 1982-

Universitas Sumatera Utara

2005. Sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih akan tumbuh dengan
pesat. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit melalui penambahan 5-8 juta ha sampai
tahun 2020. Hal ini berimplikasi pada penambahan tanaman sawit sebesar 4500.000 ha per tahun. Sebagai catatan, rata-rata 3-400,000 ha tanaman sawit telah
dibangun setiap tahunnya pada periode tahun 2000 sampai 2006. Perkembangan
tanaman sawit akan banyak terjadi di terutama Sumatera karena wilayah ini
memiliki kondisi tanah dan iklim yang baik untuk pengembangan sawit,
disamping

infrastruktur

yang

sudah

berkembang.

Meskipun

demikian,

perkembangan tanaman sawit juga terjadi di Kalimantan dan Papua karena lahan
yang layak di Sumatera semakin jarang. Pembangunan kelapa sawit juga terjadi di
lahan gambut. Saat ini kerusakan lahan gambut terus berlanjut, pengalih fungsian
menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 2,8 juta hektar dan diperkirakan terus
bertambah. Terakhir, dari hutan gambut 8 juta hektar di Papua, sudah banyak
yang dibuka untuk sawit, meski penanamannya belum terlaksana karena
terkendala masalah hukum adat (Suryadiputra, 2009).
Data yang dikumpulkan IFCA (2007) menunjukkan bahwa ijin lokasi
untuk pengembangan tanaman kelapa sawit telah dikeluarkan untuk areal seluas
5,5 juta ha hanya untuk Kalimantan. Sedikitnya 1,7 juta ha dari lahan ini berhutan
dan hampir 1 juta ha adalah lahan gambut. Jika seluruh lahan berhutan ditebang
habis dan dikonversi menjadi sawit, sebanyak 255 juta ton karbon (~918 juta ton
C02) akan dilepaskan ke atmosfer hanya berasal dari biomas di atas permukaan
tanah saja. Emisi akan menjadi bertambah besar apabila lahan gambut tersebut
diolah (didrainase) dengan rata-rata faktor emisi drainase lahan gambut sebesar 20
ton carbon/ha/tahun (Wibowo, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian
berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk
mengatasi penyebabnya dan mengantisipasi akibatnya. Penyebab perubahan iklim
adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon
dioksida (CO2) yang terjadi karena alih guna lahan dan pembakaran bahan bakar
fosil. Konversi atau alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan
dan hutan tanaman industri dewasa ini berkembang sangat pesat, terutama
konversi menjadi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Banyak perusahaan
perkebunan kelapa sawit memanfaatkan lahannya untuk areal tanaman kelapa
sawit, areal tanaman bambu, perumahan – kantor, pabrik kelapa sawit dan
prasarana jalan (Suprihatno dkk, 2012).
Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upaya
menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Konvensi kerangka kerja PBB tentang
perubahan iklim (UNFCC), melalui Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara
industri untuk menurunkan emisinya sebesar 5% dari level tahun 1990. Dalam
protokol ini, afforestasi dan reforestasi diperhitungkan sebagai sumber rosot
karbon yang kegiatannya termasuk dalam rangka CDM (Clean Development
Mechanism) (Muhdi, 2012).
Biomassa sangat relevan dengan isu perubahan iklim serta berperan
penting dalam siklus karbon. Sebagai konsekuensi jika terjadi kerusakan hutan,
pembakaran, pembalakan dan sebagainya akan melepas dengan menambah jumlah
karbon di atmosfer. Biomassa merupakan total bahan organik yang dihasilkan

Universitas Sumatera Utara

oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering persatuan luas
(Brown, 1997). Dalam perkembangannya, pengukuran biomassa mencakup
seluruh biomassa yang hidup ada di atas dan di bawah permukaan. Biomassa
diatas permukaan mencakup batang, tunggul, kulit kayu, biji dan daun dari
vegetasi baik dari strata pohon dan strata tumbuhan bawah di lantai hutan,
sedangkan biomassa bawah permukaan mencakup semua biomassa dari akar
tumbuhan yang hidup (Sutaryo, 2009).
Pemanasan global terjadi karena lonjakan tajam dalam peningkatan gasrumah-kaca, terutama yang bersumber dari emisi karbondiokasida akibat
pembakaran bahan bakar fosil serta konversi hutan dan lahan gambut. Emisi neto
karbondioksida ke atmosfer dapat dikurangi dengan mempertahankan sisa
cadangan karbon terestrial secara efektif, atau melalui pengikatan karbon oleh
pertumbuhan vegetasi baru, dimana karbon disimpan sebagai biomasa. Sistem
sirkulasi atmosfer global adalah 'tanggung jawab bersama', sehingga dampak
global dari emisi karbon lokal maupun cadangan karbon netonya mendasari
diskusi-diskusi yang dilakukan saat ini mengenai pengendalian emisi dan
Mekanisme Pembangunan Bersih. Hutan tropis merupakan gudang utama karbon
yang nasibnya berada di ujung tanduk, karena konversi kapital sumberdaya alam
menjadi kapital finansial (baik dalam bentuk pembalakan maupun bentuk-bentuk
degradasi lanjutannya) masih merupakan pilihan sumber penghidupan yang paling
setimpal, bila ditinjau dari pengorbanannya (Waterloo, 1995).
Perdagangan Karbon
Pemanasan global telah melahirkan bentuk baru perdagangan, yaitu
perdagangan karbon. Ini merupakan kegiatan ekonomi baru yang melibatkan

Universitas Sumatera Utara

pembeli dan penjual "jasa lingkungan" termasuk pengurangan gas rumah kaca
dari atmosfer, yang diidentifikasi dan dibeli oleh perusahaan dan kemudian dijual
kepada nasabah perorangan atau perusahaan untuk mengatur mengurangi emisi
polusi mereka. Sementara beberapa LSM dan pebisnis mendukung perdagangan
karbon dan melihatnya sebagai solusi yang menyatukan perlindungan lingkungan
dengan kemakmuran ekonomi. Lingkungan dan organisasi mengklaim bahwa
kegiatan perdagangan karbon adalah kegiatan yang tidak menjadi solusi untuk
masalah lingkungan seperti pemanasan global (Sada, 2007).
Perdagangan karbon adalah suatu gagasan yang muncul sebagai tanggapan
terhadap Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian di mana negara-negara
industri akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008 sampai
2012 ke tingkat yang lebih rendah 5,2% dibandingkan tahun 1990. Gagasan di
balik perdagangan karbon sangat mirip dengan perdagangan efek atau komoditi di
pasar. Karbon akan diberi nilai ekonomi, memungkinkan orang, perusahaan atau
negara untuk perdagangan. Nilai karbon akan didasarkan pada kemampuan negara
yang memiliki karbon untuk menyimpan atau untuk mencegah dari yang
dilepaskan ke atmosfer. Suatu pasar akan dibuat untuk memfasilitasi pembelian
dan penjualan karbon untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Negara-negara
industri yang mengurangi emisi adalah tugas yang menakutkan bisa membeli hak
emisi dari negara lain yang industrinya tidak menghasilkan emisi sebanyak gas
ini. Pasar untuk karbon ini dimungkinkan karena tujuan dari Protokol Kyoto
adalah mengurangi emisi secara kolektif (Sada, 2007).
Secara Netto Penyerap CO2 Perkebunan Kelapa Sawit
Tumbuhan/tanaman yang hanya memiliki kemampuan dalam menyerap

Universitas Sumatera Utara

CO2. Tumbuhan seperti perkebunan, memiliki mekanisme proses fotosintesis
(asimilasi) yang menyerap CO2 atmosfir bumi dan energi matahari dan disimpan
dalam bentuk biomass (stok karbon). Selain proses fotosintesis, tumbuhan juga
melakukan pernafasan/respirasi yang menghasilkan CO2 ke atmosfir bumi. Oleh
sebab itu, yang perlu dilihat adalah penyerapan netto-nya yakni CO2 diserap
dikurangi CO2 yang dilepas (TP GAPKI, 2013).
Berdasarkan penelitian Muhdi (2013) di areal hutan alam tropika IUPHHKHA PT Inhutani II, Malinau, Kalimantan Timur, yang menyatakan bahwa kadar
karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar karbon bervariasi yakni kadar
karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 45,75% dengan kisaran kadar
karbon rata-rata 40,29%-53,12%. Kadar karbon terkecil yakni pada daun sebesar
19,61% dengan kisaran kadar karbon antara 15,31%-22,58% dikarenakan daun
memiliki kadar zat terbang dan kadar abu yang tinggi. Besarnya kadar karbon
tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang
dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah.
Henson (1999) menghitung penyerapan netto CO2 perkebunan kelapa sawit
dibandingkan dengan hutan alam tropis (Tabel 1). Data empiris tersebut
menunjukkan bahwa secara netto kelapa sawit dan hutan alam tropis adalah
penyerap CO2 dari atmosfir bumi. Namun kemampuan perkebunan kelapa sawit
dalam menyerap CO2 (secara netto) lebih besar dibandingkan hutan alam tropis.
Tabel 1. Perbandingan Penyerapan Karbon dioksida antara Perkebunan Kelapa Sawit dan
Hutan Alam Tropis
Indikator
Fotosintesis (ton
CO2/ha/tahun)
Respirasi (ton CO2/ha/tahun)
Netto (ton CO2/ha/tahun)

Perkebunan Kelapa Sawit
161,0

Hutan Alam Tropis
163,5

96,5
64,5

121,1
42,4

Sumber : Henson, I. E. (1999).

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan penyerapan netto CO2 tersebut disebabkan perbedaan laju
fotosintesis dan respirasi. Pada perkebunan (kelapa sawit) pertumbuhan biomas
(termasuk produksinya) masih terjadi sampai sawit ditebang (umur 25 tahun),
sehingga laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi. Sedangkan hutan alam
tropis yang sudah mencapai umur dewasa (mature) pertumbuhan biomas sudah
berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis sudah sama (mendekati) laju
respirasi (TP GAPKI, 2013).
Dengan demikian untuk penyerapan CO2 dari atmosfir bumi, konversi hutan
dewasa menjadi perkebunan bukanlah bentuk deforestasi tetapi bersifat reforestasi.
Adapun afforestasi yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar (administratif)
kawasan hutan (Soemarwoto, 1992).
Selama ini berkembang pandangan bahwa dengan membuka lahan gambut
menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan stok karbon (carbon stock) pada
lapisan atas gambut akan terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon.
Pandangan tersebut ternyata tidak selalu benar (Tabel 2). Stok karbon perkebunan
kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya
umur tanaman kelapa sawit. Pada umur 14-15 tahun ternyata stok karbon dalam
tanah justru melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan mendekati
stok karbon pada hutan gambut primer (TP GAPKI, 2013).
Tabel 2. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut pada Hutan Gambut dan
Perkebunan Kelapa Sawit Gambut
Land Use Gambut
Hutan Gambut Primer
Hutan Gambut Sekunder
Kelapa Sawit :
- Umur di bawah 6 tahun
- Umur 9 – 12 tahun
- Umur 14 – 15 tahun

Stok Karbon (ton C/ha)
81,8
57,3
5,8
54,4
73,0

Sumber : Sabiham, S. 2013.

Universitas Sumatera Utara

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pemanfaatan lahan
gambut yang telah rusak (degraded peat land) untuk pertanian termasuk
perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG, asalkan dilakukan dengan
cara-cara/kultur teknis yang benar. Atas dasar itulah pemanfaatan lahan gambut
untuk pertanian termasuk perkebunan tidak dilarang di Indonesia. Kultur teknis
pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Kemudian, untuk
memastikan penerapan kultur teknis tersebut dievaluasi melalui Peraturan Menteri
Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)
(TP GAPKI, 2013).
Cadangan Karbon pada Tegakan Sawit
Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan
biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan. Biomassa dapat
diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau dikembangkan dengan
persamaan alometrik yang telah disusun sebelumnya (Brown, 1997). Model
pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter tinggi dan diameter
pohon (Johnsen dkk, 2001).
Lahan yang terdegradasi dapat direhabilitasi dengan metode konservasi
yang tepat bukan tidak mungkin areal yang terdegradasi dapat digunakan sebagai
media pengurangan emisi dengan membangun tempat penyimpanan (carbon sink)
yang baru. Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer terutama CO2, tidak
hanya dengan menurunkan emisi, tetapi perlu diiringi dengan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

penyerapan GRK tersebut. Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh
tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa. Kandungan karbon
dalam biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah cadangan karbon
(carbon stock) (Noor’ dkk, 2010).
Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi
karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah.
Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan
bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma),
nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian
tanaman yang gugur berupa daun dan ranting) (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Berdasarkan penelitian Purba (2013), biomassa kelapa sawit diukur
dengan menggunakan metode allometrik. Perhitungan cadangan carbon dapat di
lihat pada Tabel 3, yaitu pengukuran secara allometrik dengan

pengambilan

sample plot di lapangan.
Tabel 3. Hasil dugaan cadangan karbon pada berbagai perkebunan di Kabupaten Langkat
dengan menggunakan metode allometrik tahun 2012
No.

Perusahaan

Tahun Tanam

Umur

Total Cadangan
Karbon ton/ha

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

PT. Kinar Lapiga
PT. Kinar Lapiga
PT.PTPN II
PT.PTPN II
PT.PTPN II
PT.PTPN II
PT.PTPN II
PT. Mopoli Raya
PT. Mopoli Raya

2009
2008
2009
2008
2007
2000
1998
2009
2008

3 tahun
4 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
12 tahun
14 tahun
3 tahun
4 tahun

25.18
35.06
19.93
21.49
35.42
55.26
68.85
19.20
21.88

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur tanam
kelapa sawit biomassanya akan semakin meningkat. Pada umur sama dan tempat
berbeda terjadi peningkatan biomassa yang berbeda. Pada Tabel 3 disajikan
bahwa pada umur yang sama terjadi perbedaan jumlah biomassa pada tegakan

Universitas Sumatera Utara

kelapa sawit, yaitu pada umur 3 tahun yaitu pada PT. Kinar Lapiga nilai karbonya
25.18 ton/ha, PT. PTPN II nilai karbonnya 19.93, dan PT. Mopoly Raya nilai
karbonnya 19.20 ton/ha. Perbedaan nilai karbon pada umur yang sama disebabkan
oleh total kandungan karbon di atas permukaan tanah dipengaruhi oleh jenis
vegetasi, kesuburan tanah dan gangguan (termasuk pencurian dan hama penyakit).
Bahwa semakin tinggi kesuburan tanahnya maka semakin tinggi biomassa yang
dihasilkan (Purba, 2013).
Berat basah tanaman contoh pada penelitian Muhdi dkk (2014) di areal
perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara, sebanyak 13 tanaman dari berbagai
kelas diameter dipilih sebagai tanaman contoh untuk mnyusun persamaan
allometrik pendugaan biomassa tanaman. Tanaman contoh terpilih merupakan
tanaman yang berdiameter rata-rata 70,64 cm pada kisaran diameter 52,8-88,8 cm.
Rekapitulasi hasil pengukuran 13 tanaman contoh dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik tanaman contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan
allometrik berat basah tanaman.
No.

Rata-Rata

Kisaran

1

Diameter (cm)

Dimensi Tanaman

70,6

52,8-88,8

2

Tinggi Total (m)

8,5

5,7-13,7

3

Berat Basah Batang (kg)

1400,4

558,0-2954,0

4

Berat Basah Daun (kg)

72,4

28,0-124,5

5

Berat Basah Pelepah (kg)

157,9

76,5-276,1

6

Berat Basah Buah (kg)

27,5

0-51,3

Pada Tabel 4. Memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah terbesar
tanaman berasal dari batang yakni 1400,4 kg (84,45%) dari total biomassa
tanaman. Selanjutnya berat basah pelepah sebesar 157,9 kg (9,52%), daun 72,4 kg
(4,37%), dan buah 27,5 kg (1,66%).
Erwinsyah (2008) di kebun Bukit Sentang, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
menyatakan bahwa batang kelapa sawit memiliki struktur yang berbeda

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan kayu hutan. Struktur serat batang sawit pada arah melintang batang
tersusun dalam vascular bundle system, dimana setiap vaskular dikelilingi oleh
jaringan parenkim yang bersifat sangat higroskopis. Selanjutnya juga dinyatakan
bahwa populasi komponen vaskular semakin berkurang dari pangkal sampai
ujung batang dan dari zona luar (peripheral zone) sampai zona dalam (inner
zone).
Berdasarkan hasil penelitian Erwinsyah (2009) di kebun Bukit Sentang,
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, diketahui bahwa kadar air akar, pelepah dan
batang kelapa sawit yaitu masing-masing sebesar 4,8%, 233%, dan 304%.
Selanjutnya persentasi kandungan biomassa per berat bahan untuk akar, pelepah
dan batang kelapa sawit yaitu masing-masing sebesar 95%, 30% dan 26% dengan
kandungan biomassa sebesar 97 kg, 99 kg dan 538 kg per tanaman kelapa sawit.
Semakin tinggi posisi batang maka kadar air kayu semakin menurun. Kadar air
semakin menurun dari pusat batang menuju bagian luar, sedangkan kandungan
biomassa semakin meningkat. Berat basah batang sawit semakin menurun dari
pangkal sampai ujung batang. Kandungan kadar air kayu dipengaruhi oleh
temperatur dan kelembaban.
Hasil penelitian Muhdi dkk (2014) di areal perkebunan kelapa sawit
Sumatera Utara, dalam hasil analisis laboratorium kadar air terhadap contoh
bagian-bagian tanaman berdasarkan pengelompokkan kelas diameter dapat dilihat
pada Tabel 5. Rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada pelepah, yakni 261,9 %,
sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian daun sebesar 143,9%. Pelepah
memiliki nilai kadar air tertinggi disebabkan oleh struktur daun tersusun atas

Universitas Sumatera Utara

rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti selulosa,
hemiselulosa, dan lignin.
Tabel 5. Rata-rata kadar air setiap bagian tanaman contoh berdasarkan kelas diameter
No. Kelas Diameter
Kadar Air (%)
(cm)
Batang
Daun
Buah
Pelepah
1

50-60

208,2

168,3

278,5

273

2

60-70

248,2

150,9

268,7

141,7

3

70-80

256,2

129,6

257,8

203,5

4

80
Rataan

235

131,7

244,1

163,1

238,4

143,9

261,9

195,9

Berdasarkan penelitian Yulianti, dkk (2009), biomassa kering kelapa sawit
terdapat paling besar pada bagian batang, kemudian diikuti pada bagian pelepah
dan daun. Biomassa kering kelapa sawit pada batang dapat mencapai 67% diikuti
pelepah kemudian daun, berturut-turut 18% dan 15%. Hasil serupa juga
ditunjukkan pada agro-ekosistem kelapa sawit yang berada di Nigeria pada lahan
berpasir yang masam. Biomassa kelapa sawit antara umur 10 sampai 17 tahun
terakumulasi pada batang berkisar antara 57-69%, kemudian diikuti pada pelepah
berkisar antara 14-20% dan daun berkisar antara 8-10%. Berdasarkan jumlah
kerapatan kelapa sawit maksimal maka dihitung biomassa dari masing-masing
umur tanam untuk setiap hektar. Tabel 6 menunjukkan biomassa kering tanaman
kelapa sawit pada lokasi penelitian di kebun Meranti Paham dan Panai Jaya PT.
Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV), Labuhan Batu Sumatera Utara.
Tabel 6. Biomassa kelapa sawit pada berbagai dimensi
Umur Tanam
(tahun)
18
17
13
11
9
2
1

Batang
149,09
175,51
123,59
120,76
90,58
4,03
2,65

Biomassa Kering (kg/pohon)
Pelepah
Daun
32,85
25,99
27,52
26,77
30,68
22,93
31,50
33,11
46,51
32,83
6,24
3,84
4,14
3,05

Total
207,93
229,80
177,20
185,37
169,92
14,11
9,84

Biomassa Kering
(ton/ha)
27,03
29,87
23,04
24,09
22,09
1,83
1,28

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penelitian Yulianti, dkk (2009) di agroekosistem kelapa sawit
yaitu di kebun Meranti Paham dan Panai Jaya milik PTPN IV di daerah Negeri
Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, perhitungan cadangan karbon
biomassa kelapa sawit ditentukan berdasarkan persentasi kandungan C dalam
biomassa. Konversi cadangan C biomassa dilakukan dengan menggunakan faktor
konversi yang berasal dari hasil perhitungan rata-rata kandungan C pada bagian
batang, pada pelepah, dan pada daun. Kandungan massa karbon yang diperoleh
dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Cadangan C Biomassa pada berbagai dimensi kelapa sawit
Umur Tanam
(tahun)
18
17
13
11
9
2
1

Batang
10,59
12,47
8,65
8,45
6,24
0,28
0,19

Biomassa Kering (kg/pohon)
Pelepah
Daun
2,41
1,87
2,05
1,92
2,20
1,65
2,25
2,37
3,29
2,35
0,44
0,27
0,30
0,22

Total
14,88
16,43
12,49
13,07
11,88
1,00
0,70

Pada umur tanam masih muda terjadi peningkatan C biomassa yang relatif
lambat

selanjutnya

akan

semakin

cepat

seiring

dengan

bertambahnya

pertumbuhan. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa C biomassa mulai umur tanam 17
tahun cenderung menunjukkan nilai yang konstan dan terjadi penurunan pada
umur 18 tahun. Berarti cadangan C biomassa akan bertambah seiring dengan
bertambahnya umur kelapa sawit tetapi pada umur tertentu cadangan C biomassa
mulai mencapai kondisi yang cenderung tidak lagi mengalami perubahan. Namun
pola ini masih berupa pendugaan sementara karena data ini belum mencakup
umur tanam antar 3 sampai 8 tahun dan umur tanam yang di atas 18 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Model Pendugaan Cadangan Karbon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Konsep keseimbangan morfologi merupakan yang paling sering digunakan
sebagaimana yang dilakukan dalam hubungan allometrik. Konsep ini yang
mempunyai pengertian bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan
pertumbuhan bagian lain. Hubungan allometrik merupakan hubungan antara suatu
peubah tak bebas yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas yang dalam hal ini
diwakili oleh karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya adalah hubungan
antara volume pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon.
Dalam hubungan ini, volume pohon atau biomassa pohon merupakan peubah tak
bebas yang nilainya diduga oleh diameter dan tinggi total pohon, yang disebut
sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan
allometrik. Persamaan allometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh
dengan melakukan penebangan dan perujukan dari berbagai sumber pustaka yang
mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan (Sitompul dan Bambang, 1995).
Penelitian Yulianti, dkk (2010) di agroekosistem kelapa sawit milik PT.
Perkebunan Nusantara IV, Negeri Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara
yang menunjukkan bahwa model persamaan allometrik terbaik adalah W = ß0
Dß1Hß2 dimana W = dugaan biomassa pohon (Kg per pohon); ß0, ß1, ß2 = konstanta
regresi; D = diameter batang kelapa sawit (cm), dan H = tinggi kelapa sawit (cm).
Model ini disusun berdasarkan : (i) peubah kombinasi diameter batang dengan
pelepah yang diukur sejajar permukaan tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii)
peubah kombinasi diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang
(D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) kombinasi peubah diameter
batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

3 83 102

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

5 61 75

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 13

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 2

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 5

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 3

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

0 0 8

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 6

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 29