Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

(1)

DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. PUTRI HIJAU,

KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

OLEH

ANDREAS HUTASOIT 101201135 / MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

Nama : Andreas Hutasoit

NIM : 101201135

Program Studi : Kehutanan

Minat : Manajemen Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Muhdi, S.Hut., M.Si Dr. Diana Sofia Hanafiah, SP., MP NIP. 19740619 200112 1002 NIP. 19740830 199903 2002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan

Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D NIP.19710416 200112 2 001


(3)

i

ANDREAS HUTASOIT. Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat. Di bawah bimbingan MUHDI dan DIANA SOFIA HANAFIAH.

Luas areal perkebunan di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dibiarkan, lahan hutan akan semakin terancam keberadaannya karena dikonversi menjadi lahan perkebunan. Penelitian ini berorientasi pada pendugaan cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Sejauh mana kemampuan penyerapan CO2 oleh perkebunan sawit dibandingkan

dengan hutan, sehingga dapat dilakukan pengelolaan lahan yang benar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan potensi cadangan karbon pada vegetasi perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat. Metode pendugaan cadangan karbon dilakukan secara destruktif. Pemilihan sampel tanaman dilakukan dengan purposive sampling, yaitu umur 10 tahun. Persamaan terbaik untuk menduga biomassa dan karbon tanaman dipilih dengan menggunakan persamaan alometrik berdasarkan nilai R-Sq tertinggi dan nilai S terendah. Hasil penelitian menunjukkan model alometrik untuk biomassa tanaman sawit adalah W = 0,00597D1,000Hbp1,142 sedangkan model alometrik massa

karbon tanaman sawit yaitu C = 0,001559D0,948Hbp1,154. Potensi biomassa dan karbon

tanaman sawit di PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat masing-masing sebesar 187,249 ton/ha dan 42,215 ton/ha atau setara dengan 154,929 ton CO2.

Kata kunci: Elaeis guineensis Jacq., cadangan karbon, biomassa, purposive sampling, metode destruktif, model alometrik


(4)

ii

ANDREAS HUTASOIT. The Estimation of Carbon Stock On Stand Oil (Elaeis guineensis Jacq.) Age of 10 Years in Oil Palm Plantation PT. Putri Hijau, Langkat. Under Academic Supervision of MUHDI and DIANA SOFIA HANAFIAH.

Plantation area in Indonesia tends to increase from year to year. If left unchecked, the forest land will be increasingly threatened as it is converted into at plantations. This research is oriented to estimate carbon stocks in oil palm plantations in North Sumatra. The extent to which the ability of CO2absorption by

oil palm plantations compared to forests, so that land management can be managed. The purpose of this research was to obtain the potential carbon stocks in vegetation oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) at PT. Putri Hijau, Langkat. Carbon stocks estimation method carried out destructively. The selected used plant sample by purposive sampling was 10 years old. The best equation for estimating biomass and carbon using allometric equations based on the R-Sq value of the highest and lowest S value. The results showed that the allometric models for biomass plant oil was W = 0,00597D1,000 Hbp1,142 and carbon mass allometric models was C = 0,001559D0,948Hbp1,154. Potential carbon biomass and palm trees in the PT.

Putri Hijau, Langkat was respecting 187,249 tons/ha and 42,215 tons/ha or equivalent to 154,929 tons of CO2.

Keywords: Elaeis guineensis Jacq., carbon stocks, biomass, purposive sampling, the destructive methods, models allometric


(5)

iii

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1992 dari ayah Alm. Marusaha Hutasoit dan Rasina Br. Marpaung. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 017973 Kisaran pada tahun 1998-2004, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Kisaran pada tahun 2004-2007, lalu dilanjutkan di SMA Negeri 1 Kisaran pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) pada tahun 2012 di Tahura dan Hutan pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 2014, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten selama satu bulan dimulai Januari 2014 sampai Februari 2014.

Selama menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara, penulis pernah menjadi asisten dosen untuk beberapa praktikum, yaitu Praktikum Inventarisasi Hutan tahun 2012, Praktikum Hasil Hutan Non Kayu tahun 2012, Praktikum Sifat Fisis dan Mekanis Kayu tahun 2013, dan Praktikum Pemanenan Hasil Hutan tahun 2013. Penulis juga pernah meraih juara II lomba karya tulis ilmiah dalam Jungle Huta USU 2011. Selain itu, penulis juga mengikuti kegiatan organisasi seperti HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva) dan UKM KMK UP FP (Unit Kegiatan Mahasiswa Kumpulan Mahasiswa Kristen Unit Pelayanan Fakultas Pertanian).


(6)

iv

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensisJacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat”. Penelitian ini meliputi penyusunan model alometrik biomassa dan massa karbon tegakan sawit (Elaeis guineensisJacq.) dan perhitungan potensi cadangan karbon perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat Umur 10 Tahun.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua saya Ayahanda Alm. Marusaha Hutasoit dan Ibunda Rasina Br. Marpaung beserta keluarga atas semua dukungan dan doanya, pihak pengelola perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat, komisi pembimbing skripsi Dr. Muhdi, S.Hut., M.Si dan Dr. Diana Sofia Hanafiah, SP., MP, dan teman-teman terkasih yaitu Dedy, Guswinda, Warsein, Bungaran, Santy, Rikhi, Rangga dan semua mahasiswa Kehutanan USU.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2014


(7)

v

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian... 3

Manfaat penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)... 4

Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Penyerap CO2... 10

Siklus Karbon... 14

Biomassa dan Cadangan Karbon ... 17

Pemodelan Biomassa Tegakan... 27

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 33

Alat dan Bahan ... 33

Metode Penelitian... 33

Prosedur Penelitian... 34

Pengumpulan Data ... 34

Analisis Data di Lapangan ... 34

Analisis Data di Laboratorium ... 36

Pengolahan Data... 38

Pemilihan Model Alometrik Terbaik ... 40

Analisis Data ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanaman Sawit(Elaeis guineensisJacq.) Terpilih. ... 42


(8)

vi

Kadar Abu ... 46

Kadar Karbon ... 47

Berat Kering (Biomassa)... 50

Massa Karbon... 52

Model Penduga Biomassa dan Massa Karbon Kelapa Sawit... 54

Potensi Biomassa dan Karbon Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Langkat ... 66 KESIMPULAN DAN SARAN


(9)

vii

No. ...Halaman

1. Pembagian Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan Kelompok Umur . 8

2. Perbandingan Penyerapan Karbon Dioksida Antara Perkebunan

Kelapa Sawit dan Hutan Alam Tropis ... 11 3. Perbandingan Kemampuan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam

Memanen Energi Matahari Dibandingkan Dengan Hutan Tropis. ... 17

4. Hasil Pendugaan Cadangan Karbon Pada Berbagai Perkebunan di Kabupaten Langkat Dengan Menggunakan Metode Alometrik

Tahun 2012 ... 32 5. Karakteristik Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) Terpilih ... 42 6. Variasi Rata-Rata Kadar Air Sampel Tebang Pada Berbagai Anatomi

Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 44 7. Variasi Rata-Rata Kadar Zat Terbang Sampel Tebang Pada

Berbagai Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 45 8. Variasi Rata-Rata Kadar Abu Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 46 9. Variasi Rata-Rata Kadar Karbon Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 47 10. Hasil Uji Beda Rata-Rata Kadar Karbon Pada Berbagai Anatomi

Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) Berdasarkan UjiOne Way

Anova(Tukey HSD)... 49 11. Variasi Rata-Rata Biomassa Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 50 12. Variasi Rata-Rata Massa Karbon Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 53 13. Model Penduga Biomassa Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) 55 14. Model Persamaan Alometrik Terpilih Untuk Pendugaan Biomassa

Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 57 15. Model Penduga Massa Karbon Bagian-Bagian Tanaman Sawit ... 59


(10)

viii

17. Potensi Biomassa dan Cadangan Karbon Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat ... 67


(11)

ix

No. Halaman

1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)... 4 2. Siklus Karbon Global... 15 3. Karbon Tersimpan Dalam Tanaman Kelapa Sawit Pada Berbagai

Umur Tanaman Serta NilaiTime AverageC ... 24 4. Siklus Karbon... 27 5. Berat Basah Sampel Tebang Berdasarkan Berat Basah Setiap

Anatomi Tanaman ... 43 6. Persentase Rata-Rata Kadar Karbon Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)... 48 7. Persentase Rata-Rata Biomassa Sampel Tebang Pada Berbagai

Anatomi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)... 51 8. Variasi Rataan Kadar Air, Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan

Kadar Karbon Terikat Sampel Tebang Pada Setiap Bagian Sawit ... 54 9. Visualisasi Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik

Terbaik Biomassa Tegakan Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 65 10. Visualisasi Plot Uji Kenormalqan Sisaan Persamaan Alometrik


(12)

x

No. Halaman

1. Data Inventarisasi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.)

Terpilih Umur 10 Tahun Pada Setiap Plot (20m x 20m) ... 76 2. Hasil Uji Laboratorium Sifat Fisis dan Kimia Bagian-Bagian

Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 77 3. Output SPSS Model Alometrik Terpilih Penduga Biomassa

Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 79 4. Output SPSS Model Alometrik Terpilih Penduga Massa Karbon

Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) ... 83 5. Dokumentasi Penelitian di Lapangan... 87


(13)

i

ANDREAS HUTASOIT. Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat. Di bawah bimbingan MUHDI dan DIANA SOFIA HANAFIAH.

Luas areal perkebunan di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dibiarkan, lahan hutan akan semakin terancam keberadaannya karena dikonversi menjadi lahan perkebunan. Penelitian ini berorientasi pada pendugaan cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Sejauh mana kemampuan penyerapan CO2 oleh perkebunan sawit dibandingkan

dengan hutan, sehingga dapat dilakukan pengelolaan lahan yang benar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan potensi cadangan karbon pada vegetasi perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat. Metode pendugaan cadangan karbon dilakukan secara destruktif. Pemilihan sampel tanaman dilakukan dengan purposive sampling, yaitu umur 10 tahun. Persamaan terbaik untuk menduga biomassa dan karbon tanaman dipilih dengan menggunakan persamaan alometrik berdasarkan nilai R-Sq tertinggi dan nilai S terendah. Hasil penelitian menunjukkan model alometrik untuk biomassa tanaman sawit adalah W = 0,00597D1,000Hbp1,142 sedangkan model alometrik massa

karbon tanaman sawit yaitu C = 0,001559D0,948Hbp1,154. Potensi biomassa dan karbon

tanaman sawit di PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat masing-masing sebesar 187,249 ton/ha dan 42,215 ton/ha atau setara dengan 154,929 ton CO2.

Kata kunci: Elaeis guineensis Jacq., cadangan karbon, biomassa, purposive sampling, metode destruktif, model alometrik


(14)

ii

ANDREAS HUTASOIT. The Estimation of Carbon Stock On Stand Oil (Elaeis guineensis Jacq.) Age of 10 Years in Oil Palm Plantation PT. Putri Hijau, Langkat. Under Academic Supervision of MUHDI and DIANA SOFIA HANAFIAH.

Plantation area in Indonesia tends to increase from year to year. If left unchecked, the forest land will be increasingly threatened as it is converted into at plantations. This research is oriented to estimate carbon stocks in oil palm plantations in North Sumatra. The extent to which the ability of CO2absorption by

oil palm plantations compared to forests, so that land management can be managed. The purpose of this research was to obtain the potential carbon stocks in vegetation oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) at PT. Putri Hijau, Langkat. Carbon stocks estimation method carried out destructively. The selected used plant sample by purposive sampling was 10 years old. The best equation for estimating biomass and carbon using allometric equations based on the R-Sq value of the highest and lowest S value. The results showed that the allometric models for biomass plant oil was W = 0,00597D1,000 Hbp1,142 and carbon mass allometric models was C = 0,001559D0,948Hbp1,154. Potential carbon biomass and palm trees in the PT.

Putri Hijau, Langkat was respecting 187,249 tons/ha and 42,215 tons/ha or equivalent to 154,929 tons of CO2.

Keywords: Elaeis guineensis Jacq., carbon stocks, biomass, purposive sampling, the destructive methods, models allometric


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global merupakan peningkatan temperatur atmosfer bumi akibat dari meningkatnya intensitas efek rumah kaca (green house effect) pada atmosfer bumi. Peningkatan intensitas efek rumah kaca tersebut disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (green house gas, GHG) pada atmosfer bumi, diatas konsentrasi alamiahnya. Gas-gas rumah kaca yang dimaksud adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metane (CH4), senyawa nitrogen oksida (N2O), dan

gas-gas buatan manusia seperti golongan chlorofluorocarbon(CFC) dan halogen. Dengan meningkatnya intensitas efek rumah kaca tersebut, radiasi/panas sinar matahari yang terperangkap pada atmosfer bumi menjadi lebih besar dari alamiahnya sehingga memanaskan temperatur udara bumi (Sipayung, 2013).

Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di

dunia. Luasnya perubahan kawasan hutan Indonesia yang menyangkut perubahan kawasan menjadi perkebunan kelapa sawit memberikan peluang yang sangat tinggi menuju suksesnya implementasi REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) di sektor kehutanan. Menurut studi Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA, 2007), Indonesia memiliki kapasitas dan sumberdaya yang harus terus ditingkatkan untuk implementasi REDD. Hasil studinya menyebutkan bahwa REDD berpotensi diimplementasikan pada kawasan hutan produksi, hutan


(16)

konservasi dan hutan tanaman. Untuk potensinya maka studi IFCA juga diarahkan pada aspek yang berkaitan dengan metodologi, mekanisme pembayaran, pasar, serta strategi yang menyangkut hutan produksi, kawasan konservasi, lahan untuk hutan tanaman, serta lahan untuk kelapa sawit.

Keberadaan karbon penting bagi keseimbangan alam sehingga perlu untuk diperhatikan. Pada lahan-lahan yang sudah terdegradasi berpotensi untuk meningkatkan daerah penyerapan CO2 apabila dilakukan rehabilitasi melalui

aforestasi dan reforestasi. Namun dalam rangka pemanfaatan lahan secara lebih maksimal maka dilakukan pembukaan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 1939, Indonesia telah menjadi produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia. Ambisi yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan Indonesia yang terbesar di kelapa sawit sejalan dengan makin sulitnya mendapatkan lahan di Malaysia dan penggunaan lahan yang mulai tidak produktif (Basyar, 1999).

Pemilihan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sebagai salah satu primadona karena merupakan tanaman paling produktif dengan produksi mencapai 6000 liter/ha biodiesel mentah sehingga sangat menguntungkan. Melihat peluang ini maka pemerintah Indonesia merencanakan untuk membuka kebun kelapa sawit baru dalam dekade ke depan. Kebun kelapa sawit dikembangkan pada padang alang-alang atau lahan hutan tidak produktif (Risza, 1994).

Jika lahan dikonversi dan dikelola dengan benar, maka kapasitas serapan karbonnya dapat meningkat. Namun demikian, hutan ketika dikonversi menjadi bentuk penggunaan lain dan mengalami gangguan akan berubah menjadi sumber emisi. Selama 10 tahun terakhir telah banyak terjadi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu kertas/pulp. Untuk kasus di Indonesia, konversi


(17)

hutan ke kebun sawit tercatat 400.000 ha setiap tahunnya. Pengembangan kebun sawit akan dilakukan hingga 20 juta ha (Yudhistira, 2010). Dengan demikian, lahan hutan yang masih tersisa akan terancam keberadaannya untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan. Persaingan memperoleh konsesi lahan untuk pengusahaan hutan banyak terjadi dengan sektor perkebunan. Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh komoditas utama perkebunan, komoditas kelapa sawit dan karet adalah areal perkebunan yang terluas (Muhdiet al., 2013). Menurut Henson (1999), kelapa sawit telah dianggap mampu melestarikan lingkungan karena tingkat penyerapan CO2yang tidak jauh berbeda dengan hutan.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbedaan kandungan karbon pada setiap bagian tanaman sawit (Elaeis guineensisJacq.).

2. Mendapatkan potensi cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) umur 10 tahun di PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan kandungan karbon pada setiap bagian tanaman sawit (Elaeis guineensisJacq.).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi bagi akademika, peneliti, masyarakat umum, dan pihak-pihak yang membutuhkan terkait dengan cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) umur 10 tahun di Sumatera Utara.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)

Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut: Divisio : Tracheophyta

Subdivisio : Pteropsida Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotiledonae

Ordo : Cocoideae

Famili : Palmae Genus : Elaeis

Spesies :Elaeis guineensisJacq. Varietas : Dura, Psifera, Tenera

Gambar 1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensisJacq.)

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati.


(19)

Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i)nigrescentdengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Pisifera (tidak bercangkang) dan Tenera (tebal 0,5-4 mm). Buah sawit bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi (Ditjenbun, 2006).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda. Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara. Sebagai keturunan kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut telah diintroduksi ke Deli Serdang (Sumatera Utara) sehingga dinamakan Deli Dura.

Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah, dari 1.272 hektar


(20)

pada tahun 1916 menjadi 92.307 hektar pada tahun 1938. Sebagian areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera pada mulanya dimiliki oleh masyarakat secara perorangan, namun dalam perkembangannya, kepemilikan perkebunan ini digantikan oleh perusahaan-perusahaan asing dari Eropa. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang pesat pada tahun 1969. Pada saat itu luas areal perkebunan kelapa sawit adalah 119.500 hektar dengan total produksi minyak sawit mentah yaitu 189.000 ton per tahun. Sedangkan pada tahun 2005 produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 9,9 juta ton (Hadi, 2004).

Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter 25-75 cm yang tumbuh tegak lurus dari bonggol. Tingginya bisa mencapai 20-30 m. Namun ada juga jenis tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut yang mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar sekunder berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1,5-2 m dari pokok sawit. Daun sawit mempunyai panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125-200 helai dan panjang 1,2 m. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Pada setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun banci tetapi tidak semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga jantan dan betina terpisah meskipun masih pada satu pohon (monoecious diclin) dengan waktu matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar dan mekar. Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami penyerbukan akan menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah. Perkembangbiakan kelapa sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang maka embrionya akan


(21)

berkecambah dan menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar atau radikula (Hartley, 1970).

Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya menjadi masak 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak pada daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dari tangkai tandannya. Kriteria panen merupakan indikasi yang dapat membantu pemanen agar memotong buah pada saat yang tepat. Kriteria umum untuk tandan buah yang dapat dipanen yaitu berdasarkan jumlah brondolan yang jatuh. Untuk memudahkan pengamatan buah, maka dipakai kriteria berikut: a. Tanaman dengan umur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh

kurang lebih 10 butir.

b. Tanaman dengan umur lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh sekitar 15-20 butir.

Namun, secara praktis digunakan suatu aturan umum, yaitu pada setiap 1 kg Tandan Buah Segar (TBS) terdapat dua brondolan yang jatuh (Tim Penulis PS, 1997).

Risza (1994) menyatakan tinggi rendahnya produktivitas TBS (Tandan Buah Segar) per hektar suatu kebun tergantung dari komposisi umur tanaman yang ada di kebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Semakin banyak tanaman dewasa dan teruna semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya. Selanjutnya semakin banyak komposisi tanaman D x P (Dura x Pisifera) semakin tinggi produktivitas per hektarnya. Komposisi umur tanaman ini setiap tahun berubah sehingga juga


(22)

berpengaruh terhadap pencapaian produktivitas per hektar per tahunnya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Pembagian Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan Kelompok Umur

Tanaman Kelapa Sawit Umur Keterangan

TBM 0-3 tahun Muda (belum menghasilkan)

TM 3-4 tahun Remaja (produksi/ha; sangat rendah) TM 5-12 tahun Teruna (produksi/ha; mengarah naik) TM 12-20 tahun Dewasa (prduksi/ha; posisi puncak) TM 21-25 tahun Tua (produksi/ha; mengarah turun) TM 26 tahun Renta (produksi/ha; sangat rendah) Sumber: Risza, S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktivitas. Kanisius.

Yogyakarta

Keterangan:

TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan

Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari minyak sawit maupun minyak inti sawit melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenesis. Produksi CPO Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai pelengkap minyak goreng dari minyak kelapa. Minyak sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk digunakan di industri-industri non-pangan, industri farmasi, dan industri oleokimia. Dalam industri farmasi antara lain karoten dan tokoferol digunakan untuk mencegah kebutaan. Oleokimia dalam industri digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik dan aspal. Oleokimia juga digunakan dalam pembuatan bahan detergen. Indonesia dan Malaysia adalah negara produsen utama minyak sawit di dunia juga telah mengembangkan biodiesel dari minyak sawit (palm biodiesel), tetapi pengembangannya belum komersial. Di Indonesia, penelitian dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan dan telah berhasil mengembangkan biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) (Fauzidkk., 2004).


(23)

Data mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi, tergantung sumbernya. Berdasarkan data statistik dari InfoSAWIT (2013), luas perkebunan sawit di Indonesia tahun 2013 mencapai sekitar 9,3 juta hektar, dimana sekitar 40% diusahakan oleh petani, sedangkan sisanya dikuasai perusahaan swasta dan BUMN. Perkebunan kelapa sawit paling luas berada di Sumatera (69,1% dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia) terutama di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Produktivitas tanaman kelapa sawit masih bervariasi antara 0,8-4,1 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar. Produktivitas tertinggi dicapai di daerah Provinsi Riau (4,1 ton TBS/ha) dan produkivitas terendah berada di daerah provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,8 ton TBS/ha.

Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa Indonesia pada tahun 2009 telah menanam kelapa sawit pada lahan seluas kira-kira 7,3 juta hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah bahkan memperhitungkan sampai 9,2 juta hektar. Indonesia menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada musim panen 2009/2010 menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit dunia yang berjumlah 45 juta ton. Di samping minyak kelapa sawit, juga dihasilkan 5,3 juta ton minyak biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Patut diamati bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor yang luar biasa antara tahun 2003 dan 2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2 juta ton (musim panen 2009/2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus meningkat (Adams, 2011).

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia ditujukan untuk meningkat pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya


(24)

saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong pengembangan wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembanguan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan berbagai peraturan yang berlaku diantaranya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) (Wahyuntodkk., 2013).

Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai USD 4.513 (Ditjenbun, 2006). Dari segi daya saing kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi dan merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain itu didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit. Melihat hal tersebut maka perkebunan kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan.

Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Penyerap CO2

Tumbuhan seperti perkebunan, memiliki mekanisme proses fotosintesis (asimilasi) yang menyerap CO2 atmosfer bumi dan energi matahari dan disimpan

dalam bentuk biomassa (stok karbon). Selain proses fotosintesis, tumbuhan juga melakukan pernafasan/respirasi yang menghasilkan CO2 ke atmosfer bumi. Oleh

sebab itu, yang perlu dilihat adalah penyerapan netto-nya yakni CO2 yang diserap

dikurangi CO2 yang dilepas. Henson (1999) menghitung penyerapan netto CO2

perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan hutan alam tropis. Data empiris tersebut menunjukkan bahwa secara netto kelapa sawit dan hutan alam tropis (juga


(25)

tanaman lainnya) adalah penyerap CO2 dari atmosfer bumi. Namun kemampuan

perkebunan kelapa sawit dalam menyerap CO2 (secara netto) lebih besar

dibandingkan hutan alam tropis.

Tabel 2. Perbandingan Penyerapan Karbon Dioksida Antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Alam Tropis

Indikator Perkebunan Kelapa Sawit

Hutan Alam Tropis

Fotosintesis (ton CO2/ha/tahun) 161,0 163,5

Respirasi (ton CO2/ha/tahun) 96,5 121,1

Netto (ton CO2/ha/tahun) 64,5 42,4

Sumber: Henson, I. E. (1999). Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical Forest. Oil Palm and The Environment; A Malaysian Perspective. Malaysian

Palm Oil Growers Council. Kuala Lumpur. P9-39.

Perbedaan penyerapan netto CO2 tersebut disebabkan perbedaan laju

fotosintesis dan respirasi. Pada perkebunan (kelapa sawit) pertumbuhan biomassa (termasuk produksinya) masih terjadi sampai kelapa sawit ditebang (umur 25 tahun), sehingga laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi. Sedangkan hutan alam tropis yang sudah mencapai umur dewasa (mature) pertumbuhan biomassa sudah berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis sudah sama (mendekati laju respirasi). Dengan demikian untuk penyerapan CO2 dari atmosfer bumi,

konversi hutan dewasa menjadi perkebunan bukanlah bentuk deforestasi tetapi bersifat reforestasi (Soemarwoto, 1992). Mungkin lebih tepat disebut afforestasi yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar (administratif) kawasan hutan.

Berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO (2010), perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai hutan (berfungsi ekologis hutan), meskipun secara administratif tidak berada dalam kawasan hutan. Alasannya adalah sebagai berikut.


(26)

1. Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi menurut konsepland cover change); memilikicanopy coverhampir/mendekati 100 persen pada umur dewasa; dan luas memiliki ketinggian pohon setelah dewasa lebih dari 5 meter dan luas sehamparan diatas 0,5 hektar.

2. Perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop yang baru direplanting setelah 25 tahun (timber plantationyang oleh FAO dikategorikan hutan, dipanen 7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih lama daripadatimber plantation.

3. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis seperti pelestarian daur CO2, daur O2, dan daur air (H2O) melalui mekanisme

fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit.

4. Pembudidayaan kelapa sawit melalui perkebunan merupakan suatu mekanisme efektif melestarikan plasma nutfah (biodiversity), yakni tanaman kelapa sawit beserta organisme yang ada, fungsi ekologis, dan fungsi ekonomi secara lintas generasi.

Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2dari udara dan

akan melepas O2ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan

dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO2sebanyak 430 juta ton. Kondisi

ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI (Indonesia Oil Palm Research Institute) bahwa fiksasi CO2adalah 25,71 ton/ha/tahun (Htut, 2004).

Hasil yang ditunjukkan pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di Nigeria pada lahan berpasir yang masam. Biomassa kelapa sawit antara umur 10-17


(27)

tahun terakumulasi pada batang yaitu berkisar antara 57-69%, kemudian diikuti pada pelepah berkisar antara 14-20% dan daun berkisar antara 8-10% (Hartley, 1970).

Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi (2001) mengemukakan kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40,28 ton/ha. Jika dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut (2004) menyatakan kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1,66 ton/ha/tahun. Penelitian serupa di Malaysia yang dilakukan oleh Henson (1999) mengemukakan bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO2sebesar 20–55 ton/ha/tahun (Hooijeret al., 2006).

Areal yang berpotensi untuk perluasan perkebunan kelapa sawit tidak saja lahan mineral, tetapi juga lahan gambut. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Pertanaman kelapa sawit pada lahan gambut mampu menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) sebesar 20,25-23,74 t/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis dan Wahyono (2008), pengusahaan kelapa sawit pada lahan mineral dapat menghasilkan TBS rata-rata 22,26 t/ha/tahun dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun.


(28)

Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2atau setara dengan 100 t

C/ha dalam bentuk pohon sawit. Kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 t/ha/tahun atau 1.820 t/ha/25 tahun.

Jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2

sebanyak 367 t/ha/25 tahun) adalah sekitar 1.453 t/ha. Jumlah emisi CO2dalam satu

siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 t/ha (Agus, 2009).

Penelitian oleh Yulianti (2009) pada lahan gambut di PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu menunjukkan bahwa kandungan karbon kelapa sawit umur 11 tahun adalah sebesar 799 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis tanah, varietas tanaman, dan lain sebagainya sangat mempengaruhi kandungan C tanaman sawit. Beberapa penelitian terdahulu juga telah melakukan penelitian tentang pendugaan C biomassa kelapa sawit pada berbagai jenis lahan. Cadangan C biomassa pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar antara 31-101 ton/ha (Lasco 2002).

Siklus Karbon

Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam jaringan tubuh makhluk hidup, dan tebesar dijumpai dalam batuan endapan serta bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai organ, diantaranya daun. Karbon organik dalam dedaunan hijau kemudian masuk ke tubuh organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses respirasi.


(29)

Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap dan disebut sebagai siklus karbon. Meskipun demikian, tidak semua karbon pada tubuh organisme kembali ke atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk biomassa tubuh. Ketika oksigen tersedia, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon dioksida ke udara atau air di sekitarnya, menurut reaksi berikut (Wirakusumah, 2003).

C6H12O6(materi organik) + 6O2 6H2O + 6CO2+ energi

Gambar 2. Siklus Karbon Global

Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan

CO2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun anorganik di daratan dan lautan.

Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil dan alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan, dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari

konsentrasi CO2yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC, 2000).

Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 Tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya


(30)

terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau sekitar 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4 kali lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomassa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya

sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt

(ICRAF, 2001).

Menurut Kinderman et al. (1993) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara, dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah, dan yang tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam sikulus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akaryang mati, dan karbon tanah).

Jumlah C yang disimpan di hutan sangat bervariasi antar sistem penggunaan lahan, antar tempat, dan antar pengelolaan lahan. Jumlah C yang tersimpan di daratan khususnya dalam vegetasi dan tanah sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah C yang ada di atmosfer dan pertukaran C di daratan dikontrol oleh proses fotosintesis dan respirasi. Pada skala global C tersimpan dalam tanah jauh lebih besar dari pada yang tersimpan di vegetasi. Tanah merupakan penyimpan C terbesar pada semua regional


(31)

sistem regional ekosistem, sedang vegetasi penyimpan C terbesar adalah pada hutan (IPCC, 2000).

Perkebunan kelapa sawit dari berbagai indikator, lebih unggul dari hutan tropis dalam memanen energi matahari.

Tabel 3. Perbandingan Kemampuan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Memanen Energi Matahari Dibandingkan dengan Hutan Tropis

Indikator Perkebunan Kelapa Sawit Hutan Tropis

Efisiensi fotosintesis (%) 3,18 1,73

Efisiensi konversi radiasi (g/m) 1,68 0,86

Pertumbuhan biomass (ton/tahun) 8,3 5,8

Produksi bahan kering (ton/tahun) 36,5 25,7

Sumber: Henson, I. E. (1999).Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical Forest.

Oil Palm and The Environment; A Malaysian Perspective. Malaysian Palm Oil

Growers Council. Kuala Lumpur. P9-39

Dari segi efisiensi proses penangkapan energi matahari (efisiensi fotosintesis, efisiensi konversi radiasi) perkebunan kelapa sawit lebih unggul (lebih efisien) hampir dua kali lipat dari kemampuan hutan tropis. Kemudian dari segi hasil proses penangkapan energi matahari (produksi biomassa dan bahan kering) perkebunan kelapa sawit juga lebih unggul daripada hutan tropis. Pertumbuhan biomassa dan bahan kering tersebut merupakan indikator produksi energi terbarukan (renewable energy), laju penyerapan netto CO2sekaligus laju akumulasi stok karbon yang diserap

persatuan waktu (Sipayung, 2013).

Biomassa dan Cadangan Karbon

Selama pertumbuhan, respirasi harian untuk sebagian besar spesies tumbuhan budidaya dalam lingkungan budidaya ialah sebesar 25 sampai 30% dari fotosintesis total, sehingga tumbuhan tersebut berat keringnya bertambah. Apabila respirasinya lebih besar dibandingkan fotosintesisnya, tumbuhan itu berkurang berat keringnya, yang dapat ditunjukkan dengan menempatkan tumbuhan dalam ruang gelap, yaitu dengan mencegah fotosintesisnya (Gardneret al., 2008).


(32)

Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) yang terutama tersusun dari senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon (C), hidrogren (H), dan oksigen (O) yang diasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Biomassa tumbuhan adalah jumlah berat kering dari seluruh bagian yang hidup dari tumbuhan dan untuk memudahkannya dibagi menjadi biomassa di atas permukaan tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang) dan biomassa di bawah permukaan tanah (Anwaret al., 1984).

Hasil penelitian Hertelet al. (2009) pada lahan bervegetasi hutan primer di Sulawesi menunjukkan bahwa rata-rata total biomassa tegakan sebesar 303 ton/ha yang terdiri dari 286 ton/ha berasal dari biomassa di atas permukaan tanah dan dari akar sebesar 16,8 ton/ha. Kusmanaet al. (1992) menyatakan bahwa variasi biomassa juga dipengaruhi karena perbedaan faktor iklim seperti curah hujan dan suhu. Hal ini disebabkan karena suhu dan cahaya merupakan faktor lingkungan yang berdampak bagi proses biologi tumbuhan dan pengambilan karbon oleh tanaman melalui proses fotosintesis.

Karbon di dalam tumbuhan terikat dalam bahan organik dan terdistribusi dalam selulosa (40%), polisakarida lain (26%), dan lignin (30%). Sementara itu distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin dalam bagian pohon tidak sama (Adiriono, 2009). Menurut Limbong (2009) unsur karbon merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Dinding sel batang secara umum tersusun oleh selulosa, lignin, dan bahan ekstraktif yang sebagian besar tersusun atas unsur karbon.


(33)

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara

dan mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu, dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih (Whitmore, 1985). Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup, semak, dan serasah (Brown dan Gaston, 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi biomassa tanaman antara lain adalah umur tanaman, perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tanaman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti suhu dan curah hujan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thenkabail (2004) menyatakan bahwa kandungan C biomassa per hektar hanya antara 14,75-14,94 ton pada umur tanam 1-5 tahun.

Penelitian Muhdiet al. (2014) menyatakan bahwa rata-rata biomassa terbesar pohon berasal dari batang, yakni 416,6 kg atau 82,97% dari total biomassa pohon. Selanjutnya biomassa pelepah sebesar 45,2 kg (9,01%), dan daun sebesar 30,3 kg (6,03%).

Hasil penelitian Muhdi (2013) pada 55 pohon contoh di hutan alam tropika, Kalimantan Timur menyatakan rata-rata biomassa terbesar pohon berasal dari batang yakni 485,65 kg (64,31%) dari total biomassa pohon. Biomassa akar sebesar 163,76 kg (21,68 %), cabang 76,69 kg (10,16%), daun 28,84 kg (3,82%), dan buah 0,18 kg (0,18%) dari total biomassa pohon. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada daun, yakni sebesar


(34)

108,72%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian cabang sebesar 80,21%. Daun memiliki nilai kadar air tertinggi disebabkan oleh struktur daun tersusun atas rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Penelitian di tahun yang berbeda dan di lokasi yang berbeda oleh Muhdi et al. (2014) pada perkebunan sawit di Sumatera Utara yang menyatakan bahwa rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada pelepah, yakni sebesar 261,9%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian daun, yakni sebesar 143,9%. Sedangkan hasil penelitian Iswantoet al. (2010) menyatakan bahwa besarnya kadar air tanaman kelapa sawit berkisar antara 219,9-379,4%.

Hasil di atas diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Onrizal (2004) dan Hilmi (2003) menunjukkan bahwa kadar air terendah terdapat pada batang. Hal ini disebabkan karena batang lebih banyak disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif sehingga rongga sel batang sedikit terisi oleh air.

Melalui proses fotosintesis, CO2di udara diserap oleh tanaman dan dengan

bantuan sinar matahari kemudian diubah menjadi karbohidrat untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam bentuk daun, batang, cabang, buah dan bunga (Hairiah dan Rahayu, 2007). Walaupun aktifitas fotosintesis terjadi di daun, namun ternyata distribusi hasil fotosintesis terbesar digunakan untuk pertumbuhan batang.

Produktivitas suatu komunitas merupakan satu refleksi dari fotosintesis netto dari spesies-spesies komponennya, dan dipengaruhi kuat oleh banyak faktor selain daripada intensitas cahaya. Variasi di dalam produktivitas antar komunitas dapat merupakan akibat faktor-faktor lingkungan, seperti temperatur atau ketersediaan air


(35)

atau nutrien-nutrien mineral, atau mungkin suatu refleksi dari umur komunitas tersebut. Sebagian besar dari urutan-urutan suksesional memperlihatkan kecenderungan yang jelas dari produktivitas, yang ternyata sangat rendah di tanaman-tanaman yang berkoloni sebelum sesuatu bentuk susunan kanopi yang rumit berkembang, meningkat sampai suatu maksimum bila satu kanopi dengan banyak lapisan dibentuk, dan sangat sering menurun di dalam komunitas klimaks (Fitter dan Hay, 1981).

Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2, dari atmosfer melalui

stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2ke atmosfer (Campbellet al., 2004).

Cadangan karbon adalah jumlah karbon dalam suatu pool. Pool karbon adalah suatu sistem yang mempunyai mekanisme untuk mengakumulasi atau melepas karbon. Contoh pool karbon adalah biomassa hutan, produk-produk kayu, tanah, dan atmosfer. Penyerapan karbon adalah proses memindahkan karbon dari atmosfer dan menyimpannya dalamreservoir(Masripatindkk., 2010).

Hairiah et al. (2011) menyebutkan bahwa cadangan karbon atau karbon tersimpan pada ekosistem daratan disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:


(36)

Massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting, dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

2. Bagian mati (nekromassa)

Massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.

3. Tanah (bahan organik tanah)

Bahan organik tanah adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya < 2 mm.

Wibowo (2010) menyebutkan terdapat lima sumber karbon (carbon pools), yaitu:

1. Karbon di atas permukaan tanah

a. Biomassa pohon. Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem hutan karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomassa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan C di daratan.

b. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. 2. Karbon di dalam tanah

Biomassa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama.


(37)

Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah yang merupakan komponen penting dari C.

4. Serasah

Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.

5. Bahan organik tanah

Sisa tanaman, hewan, dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, dimana sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.

Besarnya karbon tersimpan di atas permukaan (above ground C-stock) sangat ditentukan oleh jenis dan umur tanaman, keragaman dan kerapatan tanaman, kesuburan tanah, kondisi iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut, lamanya lahan dimanfaatkan untuk penggunaan tertentu, serta cara pengelolaannya. Contoh variabilitas simpanan karbon dari berbagai jenis tanaman pada lahan gambut di Kalimantan barat (Susantiet al., 2009), menunjukkan bahwa kelapa sawit dan karet mempunyai karbon tersimpan yang tidak jauh berbeda dibanding hutan sekunder yakni berkisar 41-45 ton/ha. Namun demikian, dalam kondisi hutan alami atau dalam kondisi relatif klimaks, besarnyaabove ground C-stockbisa mencapai >200 ton/ha.

Umur tanaman sangat menentukan besarnya karbon tersimpan. Oleh karena itu, dalam menentukan karbon tersimpan dalam biomassa tanaman, digunakan nilai time average(rata-rata simpanan karbon dalam satu siklus hidup tanaman). Karbon tersimpan pada tanaman kelapa sawit pada berbagai umur tanaman, dengan nilaitime average-nya menunjukkan perbedaan. Perbedaan nilaitime average Ctanaman sawit yang didapat Rogi (2002) yaitu sebesar 60 ton/ha disebabkan oleh adanya perbedaan


(38)

faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kemampuan tanaman dalam menambat karbon, misalnya kesuburan tanah, varietas tanaman, dan lain sebagainya (Susantiet al., 2009).

Gambar 3. Karbon Tersimpan Dalam Tanaman Kelapa Sawit Pada Berbagai Umur Tanaman Serta NilaiTime AverageC (Sumber: Rogi, 2002).

Hasil penelitian Muhdi (2012) di hutan alam tropika, Kalimantan Timur menyatakan rata-rata kadar karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar karbon yang bervariasi, yakni kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 45,75%, dengan kisaran kadar karbon antara 40,29-53,12%. Rata-rata kadar karbon terkecil yakni pada daun sebesar 19,61%, dengan kisaran kadar karbon rata-rata 15,31-22,58% dikarenakan daun memiliki kadar zat terbang dan kadar abu yang tinggi. Selain itu, daun hanya mengandung sedikit bahan penyusun kayu sehingga kadar karbon tersimpan sedikit. Besarnya kadar karbon tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah. Rata-rata massa karbon terbesar pohon berasal dari batang, yakni 253,31 kg (71,14%). Selanjutnya massa karbon akar sebesar 62,24 kg (17,48%), cabang 34,03 kg (9,56%), daun 6,41 kg (1,80%), dan buah 0,06 kg (0,02%).

Hasil penelitian Kusuma (2009) menyatakan bahwa rata-rata kadar karbon tertinggi terdapat pada pangkal batang sebesar 61,62%. Demikian pula halnya


(39)

dengan penelitian Febrina (2012) yang menyatakan bahwa kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 63,49%.

Kadar karbon pada bagian jaringan pohon lainnya seperti cabang, ranting, daun dan akar lebih rendah dibandingkan kadar karbon pada batang, karena pada bagian-bagian ini kadar zat terbang dan kadar abu yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada batang pohon. Batang memiliki kadar karbon yang terbesar karena pada masa pertumbuhan dan masa produktif, pohon menyerap karbon melalui daun dalam proses fotosintesis dan hasilnya langsung disebar ke seluruh bagian pohon yang lain. Bagian pohon yang mampu menyimpan lebih banyak adalah pada bagian terbesar yaitu batang. Sedangkan daun umumnya tersusun oleh banyak rongga stomata yang berfungsi untuk pertukaran gas sehingga kurang padat dan tidak banyak menyimpan karbon.

Kadar karbon memiliki hubungan negatif dengan kadar abu dan kadar zat terbang. Artinya, semakin tinggi kadar karbon terikat dalam kayu, maka semakin rendah kadar abu dan kadar zat terbang. Menurut Hilmi (2003), daun memiliki kadar zat terbang terendah karena daun tersusun atas klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil

b (C55H70O6N4Mg) dengan berat molekul tinggi sehingga meningkatkan kadar abu

pada proses karbonisasi.

Tingkat penyerapan karbon di hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adalah iklim, topografi, karakteristik lahan, umur, kerapatan vegetasi, komposisi serta kualitas tempat tumbuh (Aminudin, 2008). Tingginya kadar karbon pada bagian batang disebabkan karena unsur karbon menurut Limbong (2009) merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Kayu secara umum tersusun oleh selulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari


(40)

unsur karbon. Kadar karbon bagian batang pohon penting dalam menduga potensi karbon tanaman dan banyak digunakan sebagai dasar perhitungan dalam pendugaan karbon. Ini erat hubungannya dengan dimensi diameter (Dbh) sebagai indikator penting dalam kegiatan pengukuran dan perencanaan hutan.

Lebih jelas menurut Aminudin (2008) batang merupakan kayu yang 40-45% tersusun oleh selulosa. Selulosa merupakan molekul gula linear yang berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga makin tinggi selulosa maka kandungan karbon akan makin tinggi. Adanya variasi horizontal mengakibatkan adanya kecenderungan variasi dari kerapatan dan juga komponen kimia penyusun kayu. Makin besar diameter pohon diduga memiliki potensi selulosa dan zat penyusun kayu lainnya akan lebih besar.

Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia. Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon. Sektor kehutanan telah menyumbangkan emisi CO2sebesar 17,3% dari total emisi gas rumah kaca lainnya

ke atmosfer (IPCC, 2007). Akan tetapi, ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfer melalui proses fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO2di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat,

kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2di atmosfer yang

mampu diserap tumbuhan. Nabuurs dan Mohren (1993) mengemukakan model siklus karbon seperti pada gambar 4 berikut.


(41)

Gambar 4. Siklus karbon Pemodelan Biomassa Tanaman

Metode allometrik merupakan metode pengukuran pertumbuhan tanaman yang dinyatakan dalam bentuk hubungan-hubungan eksponensial atau logaritma antar organ tanaman yang terjadi secara harmonis dan perubahan secara proporsional (Parresol, 1999).

Oohata (1991) menyatakan persamaan allometrik dibentuk dengan cara menebang pohon per pohon terlebih dahulu, selanjutnya persamaan yang diperoleh diterapkan pada tanaman pohon yang masih berdiri. Berdasarkan pengalaman, dikatakan bahwa persamaan allometrik hasilnya akan akurat apabila variabel bebasnya dinyatakan dalam formulasi volume pohon yang direpresentasikan dalam

CO2

Fotosintesis dan Respirasi dan Respirasi

Daun Cabang Akar Batang

Dipanen Serasah

Dekomposisi Dekomposisi

CO2

CO2

CO2

Dekomposisi Humus


(42)

bentuk D2H. Martinet al. (1998) juga menyatakan bahwa persamaan allometrik dapat

digunakan untuk menghubungkan antara diameter batang pohon dengan variabel yang lain seperti volume kayu, biomassa pohon, dan kandungan karbon pada tanaman hutan yang masih berdiri (standing stock).

Metode estimasi dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang lazim digunakan untuk menaksir kandungan karbon vegetasi hutan. Menurut Brownet al. (1984) bahwa kandungan karbon vegetasi pohon adalah 50% dari biomassa. Berdasarkan cara memperleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.

Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa, yaitu (i) sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ; (ii) sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; (iii) pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (iv) pembuatan model. Untuk masing-masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen, 2006).

Pemodelan adalah pengembangan analisis ilmiah yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan


(43)

lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Onrizal, 2004). Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan tinggi dan diameter pohon (Johnsenet al., 2001). Kittredge (1944) untuk pertama kali merumuskan metode allometrik dalam bentuk formulasi logaritmik sebagai berikut:

Y = aXb

Keterangan:

Y = variabel bergantung (dalam hal ini kandungan biomassa)

X = variabel bebas (dalam hal ini dapat berupa diameter batang atau tinggi pohon) a, b = konstanta

Model hubungan antara biomassa pohon atau massa karbon pohon dengan dimensi pohon (diameter dan tinggi pohon) dibuat dengan metode hubungan allometrik yang menggambarkan biomassa atau massa karbon per pohon sebagai fungsi dari diameter pohon dan atau tinggi pohon. Persamaan empiris untuk menduga biomassa sesungguhnya hampir sama dengan persamaan empiris untuk menduga volume yaitu berdasarkan hubungan antara bobot kering biomassa (W), diameter pohon (D), dan tinggi pohon (H). Model yang digunakan untuk membangun alometrik yaitu menggunakan model regresi non linear, baik yang berbentuk pangkat (power), kuadrat (quadratic),logarithmic, danexponential.

Proses menganalisis hubungan nilai dan biomassa dilakukan dengan menggunakan programMicrosoft excelatausoftwareSPSS. Pemilihan model terbaik menggunakan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R2

adj) danRoot Mean

Square Error(RMSE) paling rendah. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi yang terkoreksi (R2adj), maka semakin besar peranan nilai peubah tersebut dalam


(44)

menjelaskan nilai biomassa atas permukaan. Semakin rendah nilai RMSE maka semakin akurat hasil penaksiran yang diperoleh.

Data diameter dan tinggi pohon diperoleh dengan melakukan pengukuran pada tanaman yang akan diduga besarnya biomassa dan cadangan karbonnya. Namun, kendala dalam pengambilan data tinggi tanaman seringkali menjadi masalah sehingga kurang dianggap penting dan tidak dicatat. Adiriono (2009) menyatakan ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam kegiatan pengukuran tinggi tanaman, yaitu:

1. Kesalahan melihat puncak tanaman dikarenakan kondisi tanaman yang rapat sehingga puncak tanaman tidak terlihat.

2. Tanaman yang akan diukur posisinya miring atau condong. Kesalahan ini dapat diminimumkan dengan membuat garis tegak lurus terhadap arah condong dan melakukan pengukuran dari garis tersebut.

3. Jarak antara pengukur dengan tanaman yang diukur tidak horizontal, biasanya terjadi pada kondisi lapangan yang miring > 15%.

4. Tingkat keakuratan alat pengukuran, dimana tiap-tiap alat pengukuran tinggi memiliki keakuratan yang berbeda-beda.

Pendugaan data lapangan dilakukan untuk mengetahui besarnya biomassa atas permukaan pada plot-plot ukur yang telah ditentukan. Pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik seperti penelitian Yulianti (2009) yang menemukan persamaan model allometrik kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq.) dengan varietas Marihat yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara sebagai berikut:


(45)

Keterangan:

W = Biomassa atas permukaan (ton/ha)

D = Diameter setinggi dada dengan pelepah (cm) H = Tinggi total kelapa sawit (cm)

Persamaan allometrik dipilih dengan mempertimbangkan kesamaan varietas dan cara pengelolaan kelapa sawit. Menurut Yulianti (2009), kisaran total biomassa kelapa sawit pada umur 1 sampai 18 tahun adalah 1,28 ton/ha sampai 29,87 ton/ha. Secara umum, volume biomassa pada hutan tanaman relatif lebih besar dibandingkan kelapa sawit. Penelitian di tahun yang berbeda oleh Yulianti dkk (2010) pada agroekosistem kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV menyimpulkan bahwa model persamaan alometrik yang terbaik pada penelitiannya adalah model dengan bentuk Ŷ= ß0Dß1Hß2.

Untuk menduga biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang menghubungkan biomassa dan komponen tanaman yang mudah diukur seperti diameter batang sangat diperlukan. Niklas (1994) menyebutkan alometrik berasal dari bahasa Yunani dari allos (other, lain) dan metron (measure, pengukuran). Pengukuran alometrik biasa digunakan dalam ilmu biologi untuk menggambarkan perubahan sistematis dari morfogenesis, fisiologi, adaptasi, dan evolusi (Huxley, 1993). Perubahan ini biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon (destructive sampling).

Berdasarkan hasil penelitian Purba (2012) bahwa Kabupaten Langkat memiliki luas areal kebun sawit sebesar 113.725,241 ha. Keberadaan tanaman sawit kelas umur tanaman menghasilkan pada suatu sistem penggunaan lahan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon. Pada sawit 70% dari total karbon berasal dari sawit kelas umur tanaman menghasilkan sedangkan pada sawit kelas umur tanaman belum menghasilkan hanya 30%.


(46)

Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada tanaman sawit di perkebunan Kabupaten Langkat memiliki nilai karbon 68,85 ton/ha (14 tahun). Cadangan karbon di atas permukaan tanah pada tanaman sawit 3 tahun pada PT. Mopoli Raya adalah sebesar 19,20 ton/ha. Cadangan karbon di atas permukaan tanah pada tanaman sawit di areal kebun kelapa sawit Kabupaten Langkat masih tergolong cukup baik.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Henson (1999) mengungkapkan bahwa dalam proses ftosintesis (asimilasi) kelapa sawit menyerap sekitar 161 ton CO2per hektar per tahun. Bila dikurangi CO2yang diserap dalam proses respirasi,

maka secara netto kebun kelapa sawit menyerap CO2sebesar 64,5 ton/ha. Tabel 4. Hasil Pendugaan Cadangan Karbon Pada Berbagai Perkebunan di Kabupaten

Langkat Dengan Menggunakan Metode Allometrik Tahun 2012

No. Perusahaan Tahun Tanam Umur

(tahun)

Total Cadangan Karbon (ton/ha)

1 PT. Kinar Lapiga 2009 3 28,18

2 PT. Kinar Lapiga 2008 4 35,06

3 PT. PTPN II 2009 3 19,93

4 PT. PTPN II 2008 4 21,49

5 PT. PTPN II 2007 5 35,42

6 PT. PTPN II 2000 12 55,26

7 PT. PTPN II 1998 14 68,85

8 PT. Monopoli Raya 2009 3 19,20

9 PT. Monopoli Raya 2008 4 21,88

Sumber: Purba, K.D. (2013)

Persamaan pendugaan biomassa yang dibentuk adalah persamaan pendugaan biomassa batang, cabang, daun, total permukaan tanah, dan akar. Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien determinasi yang terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah penjelas diameter (D) dengan peubah respon tanaman. Alasan lain dalam pemilihan model tersebut adalah segi ketelitian dan kepraktisan dalam pendugaan biomassa tanaman maka dalam pendugaan biomassa pada berbagai kondisi hutan adalah dengan persamaan W = 0,041586 D2.70(Muhdi, 2013).


(47)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2013, dengan perincian bulan Juli 2013 adalah kegiatan pengumpulan data di lapangan dan bulan September 2013 adalah kegiatan menganalisis data. Penelitian dilaksanakan di areal perkebunan PT. Putri Hijau di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Analisis data dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaituchainsawuntuk penebangan, pita ukur untuk mengukur diameter pohon, walking stick untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang tanaman, timbangan untuk menimbang sampel tebang, oven untuk mengeringkan sampel tebang, kalkulator, personal computer, plastik kantongan untuk membawa sampel yang akan dianalisis, tali raffia, parang, kamera digital,tally sheet, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman sawit pada areal perkebunan PT. Putri Hijau berumur 10 tahun, data tanaman sawit umur 5 tahun dan 15 tahun, peta tutupan lahan Kabupaten Langkat,softwareSPSS 16.0, dan hasil penelitian terdahulu dan berbagai pustaka penunjang lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode yaitu metodedestructiveadalah metode yang melakukan pengerusakan/penebangan pada tanaman sawit dan


(48)

metodepurposive sampling yang dalam hal ini digunakan khusus untuk menduga cadangan karbon tanaman sawit berumur 10 tahun pada areal perkebunan sawit dengan umur beragam.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini meliputi pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan, serta menganalisis sesuai kebutuhan. Tahapan kegiatannya sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data A. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan. Data tersebut antara lain data diameter, tinggi total, tinggi bebas pelepah, jumlah pelepah, dan berat basah masing-masing fraksi tanaman sawit tebang untuk selanjutnya dianalisis dan diperoleh model alometrik terbaik.

B. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang telah ada sebelumnya, baik data yang dikeluarkan instansi terkait, penelitian sebelumnya, maupun literatur pendukung lainnya yaitu peta administrasi Kabupaten Langkat.

2. Analisis Data di Lapangan

A. Pengukuran plot untuk pengambilan tanaman contoh

1. Buat 3 plot berukuran masing-masing 20 m x 20 m yang letaknya berselang-seling (random) dengan jalur utama berada di tengah.

2. Jarak tanam sawit di lapangan 7 m x 7 m, maka diperoleh banyaknya tanaman sawit dalam 1 (satu) plot sebanyak 9 (sembilan) tanaman.


(49)

3. Setiap plot tanaman diambil satu tanaman sebagai sampel tebang (tanaman contoh terpilih). Jadi ada 3 (tiga) tanaman contoh berumur 10 tahun yang akan digunakan untuk analisa laboratorium. Sisanya hanya diambil data DBH, tinggi bebas pelepah, tinggi total, dan jumlah pelepah.

4. Jumlah tanaman contoh untuk pembuatan model alometrik yaitu sebanyak 9 (sembilan) tanaman yang berasal dari data tanaman sawit kelas umur 5 tahun, 10 tahun (dalam penelitian ini), dan 15 tahun masing-masing 3 (tiga) tanaman contoh. Tanaman contoh berasal dari tanaman yang sehat dan bebas hama dan penyakit.

5. Penebangan dilakukan pada ketinggian 1 m dari atas permukaan tanah. Pengukuran tinggi total tanaman juga dilakukan setelah tanaman contoh rebah. Tinggi total merupakan panjang total tanaman contoh terpilih yang telah rebah hingga ujung tajuk ditambah panjang tunggak yang tersisa di tanah.

6. Pengukuran tinggi bebas pelepah juga dilakukan dengan mengukur panjang batang mulai dari tunggak hingga pelepah pertama yang mempengaruhi diameter batang.

B. Pemilahan bagian tanaman dan penimbangan berat basah

1. Sebelum dilakukan pembagian fraksi tanaman, terlebih dahulu dilakukan penimbangan terhadap berat total batang dan pelepah.

2. Pembagian fraksi tanaman contoh dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian biomassa batang, pelepah, dan daun yang bertujuan agar analisa laboratorium lebih terwakili.


(50)

3. Sampel batang diambil pada 1,3 m dimulai dari tunggak yang tersisa pada permukaan tanah. Masing-masing sampel batang tiap tanaman tebang dibuat 3 (tiga) ulangan. Dimana tiap ulangan diambil sebanyak 200 gram.

4. Untuk sampel pelepah diambil pada bagian ujung pangkal, tengah, dan ujung atas masing-masing sebanyak 200 gram.

5. Demikian untuk sampel daun juga dibuat 3 (tiga) ulangan sebanyak 200 gram. 6. Semua sampel yang telah ditimbang langsung dimasukkan ke dalam plastik sampel untuk menjaga pengaruh kadar air di sekitarnya, lalu diberi label sebagai penanda.

3. Analisis Data di Laboratorium A. Perhitungan kadar air

Contoh uji kadar air batang dibuat dengan ukuran sampel 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sedangkan contoh uji dari bagian daun diambil masing-masing ± 200 gram. Cara pengukuran kadar air contoh uji adalah sebagai berikut :

1. Contoh uji ditimbang berat basahnya.

2. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2oC sampai tercapai berat konstan,

kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang berat keringnya.

3. Penurunan berat contoh uji yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji.

B. Pengukuran kadar karbon

Pengukuran kadar karbon dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Kadar zat terbang

Prosedur penentuan kadar zat terbang menggunakan American Society for Testing Material(ASTM) D 5832-98. Prosedurnya adalah sebagai berikut :


(51)

a. Sampel dari tiap bagian batang dipotong menjadi bagian-bagian kecil sebesar batang korek api, sedangkan sampel bagian daun dicincang.

b. Sampel kemudian dioven pada suhu 80oC selama 48 jam.

c. Sampel kering digiling menjadi serbuk dengan mesin penggiling (willey mill). d. Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran

40-60 mesh.

e. Serbuk dengan ukuran 40-60 mesh dari contoh uji sebanyak ± 2 gr, dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya, dan ditimbang dengan timbang Sartorius.

f. Contoh uji dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 950oC selama 2 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang.

g. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang.

Pengukuran persen zat terbang terhadap sampel dari tiap bagian tanaman dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

2. Kadar abu

Prosedur penentuan kadar abu menggunakan American Society for Testing Material(ASTM) D 2866-94. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

a. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 900oC selama 6 jam.

b. Selanjutnya didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang untuk mencari berat akhirnya.

c. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur contoh uji merupakan kadar abu contoh uji. Pengukuran kadar abu terhadap sampel dari


(52)

tiap bagian tanaman dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

3. Kadar karbon

Penentuan kadar karbon contoh uji dari tiap-tiap bagian pohon menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995, dimana kadar karbon contoh uji merupakan hasil pengurangan 100% terhadap kadar zat terbang dan kadar abu.

4. Pengolahan Data A. Kadar air

Nilai kadar air dari contoh uji didapat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

BKT

BKT

B

KA

o

Keterangan:

KA = Kadar air

Bo = Berat awal contoh uji

BKT = Berat kering tanur (oven) dari contoh uji

B. Berat kering/biomassa

Berat kering total bagian-bagian tanaman dihitung dengan rumus :

     

100 %

1 KA

BB

BK (Haygreen dan Bowyer, 1996)

Keterangan:

BK = Berat kering/biomassa (Kg) BB = Berat basah (Kg)

KA = Kadar air (%)

Berat kering total dari keseluruhan tanaman merupakan penjumlahan berat kering total bagian tanaman kelapa sawit yang terdiri dari berat kering batang utama dan daun.


(53)

C. Kadar zat terbang

Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan rumus sebagai berikut : % 100 x A B A terbang zat

Kadar  

Keterangan:

A = Berat kering tanur pada suhu 105oC

B = Berat contoh uji dikurangi berat berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan dan sisa contoh uji pada suhu 950oC

D. Kadar abu

Besarnya kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut :

E. Kadar karbon

Penentuan kadar karbon terikat (fixed carbon) ditentukan berdasarkan rumus berikut ini:

Kadar karbon terikat arang = 100%-kadar zat terbang arang-kadar abu

F. Penyusunan Model Alometrik

Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian sehingga membutuhkan data tanaman sawit dari berbagai kelas umur yang berasal dari satu tim peneliti dalam menyusun model yang signifikan dan terbaik. Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam menyusun persamaan alometrik yaitu sebanyak 9 (sembilan) tanaman tebang yang berasal dari kelas umur 5 tahun, umur 10 tahun (dalam penelitian ini), dan umur 15 tahun masing-masing sebanyak 3 (tiga) tanaman contoh.

Data tanaman sawit dari berbagai kelas umur tersebut akan digabungkan untuk membuat model persamaan alometrik penaksiran biomassa dan karbon tanaman serta

% 100 keringoven x uji contoh Berat abu Berat abu Kadar


(54)

bagian-bagian tanaman sawit menggunakan satu atau lebih peubah dimensi tanaman berikut.

Ŷ= ß0+ ß1D+ ß2D2

Ŷ= ß0Dß1

Ŷ= ß0+ ß1D2H

Ŷ= ß0Dß1Hß2

Keterangan:

Ŷ = Taksiran nilai biomassa atau karbon tanaman kelapa sawit (kg/tanaman)

D = Diameter tanaman (dbh) (cm) H = Tinggi tanaman (m)

ß0,ß1,ß2 = Konstanta (parameter) regresi 5. Pemilihan Model Alometrik Terbaik

Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model-model hipotetik di atas dengan menggunakan berbagai kriteria statistik, yakni goodness of fit, koefisien determinasi (R2), analisis sisaan serta pertimbangan kepraktisan untuk pemakaian.

Model akan diolah menggunakansoftwareSPSS 16.0.

6. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah:

i. Analisis deskriptif dan penyajian dalam bentuk gambar (pie, diagram batang, dan scatter).

ii. Analisis perbedaan kadar karbon pada bagian-bagian pohon dilakukan analisis statistik dengan uji beda rata-rata menggunakan uji one way anova, yaitu berdasarkan uji lanjut Tukey HSD. Adapun parameter yang diuji adalah:

Perbedaan kadar karbon rata-rata setiap bagian tanaman yaitu pada bagian batang, pelepah, dan daun. Prosedur uji statistiknya adalah sebagai berikut:


(55)

Ho : Tidak ada perbedaan rata-rata karbon antar setiap bagian tanaman H1 : Ada perbedaan rata-rata karbon antar setiap bagian tanaman 2. Menentukan taraf nyata pada selang kepercayaan 95%

3. Menentukan kriteria pengujian

Ho diterima (H1 ditolak) apabila P > 0,05 Ho ditolak (H1 diterima) apabila P < 0,05 4. Membuat kesimpulan


(56)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Tanaman Sawit(Elaeis guineensisJacq.) Terpilih

Karakteristik tanaman sawit terpilih berdasarkan data diameter, tinggi tanaman, dan berat basah masing-masing bagian tanaman sawit umur 10 tahun pada masing-masing plot (20 m x 20 m) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.) Terpilih No. Plot DBH

(cm)

Hbp (m)

H (m)

Berat Basah (Kg) Total Berat Basah (Kg)

Batang Pelepah Daun

1 36,94 58,92 54,14 5,13 6,10 4,04

11,59 533,52 234,0 58,5 826,02

2 13,33 634,40 254,8 63,7 952,90

3 11,27 420,16 197,6 49,4 667,16

Rataan 50 5,09 12,06 529,36 228,8 57,2 815,36

Keterangan: DBH =Diameter at Breast Height(Diameter Setinggi Dada) Hbp = Tinggi Bebas Pelepah

H = Tinggi Total

Hasil inventarisasi tanaman contoh terpilih dengan metode purposive sampling menunjukkan bahwa kelas diameter terkecil tanaman sawit terpilih yaitu sebesar 36,94 cm dan diameter terbesarnya sebesar 58,92 cm. Pada diameter sebesar 36,94 cm memiliki tinggi total sebesar 11,59 m, sedangkan pada diameter 58,92 cm memiliki tinggi total sebesar 13,33 m, dan pada diameter 54,14 cm memiliki tinggi total sebesar 11,27 m. Rataan kelas diameter tanaman sawit yang ditebang sebagai tanaman contoh terpilih yaitu sebesar 50 cm, rataan tinggi bebas pelepah tanaman sebesar 5,09 m, dan rataan tinggi total tanaman sebesar 12,06 m.

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa berat basah masing-masing tanaman dan bagian-bagian tanaman sawit juga berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan komposisi penyusun tiap-tiap bagian tanaman tersebut. Batang lebih banyak diisi oleh selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif dibandingkan


(57)

pelepah. Sementara daun tersusun atas rongga stomata menyebabkan strukturnya menjadi kurang padat sehingga memiliki bobot yang ringan.

Berat basah tertinggi terdapat pada tanaman contoh terpilih 2 (dua) dengan diameter 58,92 cm yaitu sebesar 952,90 kg. Sedangkan berat basah terendah terdapat pada tanaman contoh terpilih 3 (tiga) dengan diameter 54,14 cm yaitu sebesar 667,16 kg. Untuk bagian-bagian tanamannya, berat basah tertinggi terdapat pada batang, kemudian pelepah, dan yang terkecil adalah daun.

Gambar 5. Berat Basah Sampel Tebang Berdasarkan Berat Basah Setiap Anatomi Tanaman

Rataan berat basah masing-masing tanaman sawit terpilih yaitu batang sebesar 529,36 kg, pelepah sebesar 228,8 kg, dan daun sebesar 57,2 kg. Sehingga rataan total berat basah ketiga tanaman contoh terpilih yaitu sebesar 815,36 kg. Penelitian Muhdi et al. (2014) pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara menyatakan bahwa rata-rata berat basah terbesar pohon berasal dari batang, yakni 1.400,4 kg atau 84,45% dari total biomassa pohon. Selanjutnya berat basah pelepah sebesar 157,9 kg (9,52%), dan daun 72,4 kg (4,37%). Batang memiliki berat basah yang tinggi disebabkan selain ukurannya yang besar, kemampuan menyimpan airnya juga tinggi.

0 100 200 300 400 500 600 700

Batang Pelepah Daun

533,52 234 58,5 634,4 254,8 63,7 420,16 197,6 49,4 B er at B as ah ( Kg ) Bagian Tegakan


(58)

Sedangkan daun selain ukurannya yang kecil, daun juga mengandung lebih banyak bahan anorganik.

Berdasarkan hubungan diameter dan tinggi tanaman sawit terhadap berat basahnya nampaknya tidak selalu linear. Hal ini dapat dilihat bahwa pada diameter terkecil yaitu 36,94 cm dengan tinggi total sebesar 11,59 m memiliki total berat basah sebesar 826,02 kg, sedangkan pada diameter 54,14 cm dengan tinggi total sebesar 11,27 m memiliki total berat basah sebesar 667,16 kg. Untuk itu diperlukan suatu model non linear yang tepat untuk menduga biomassa dan massa karbon tanaman sawit umur 10 tahun yang dijelaskan dalam bahasan berikutnya.

B. Sifat Fisik dan Kimia Bagian Sawit (Elaeis guineensisJacq.) 1. Kadar Air

Kadar air didefenisikan sebagai berat air yang terdapat di dalam kayu terhadap berat kering tanur yang dinyatakan dalam persen. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air berdasarkan bagian anatomi sawit yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Variasi Rata-Rata Kadar Air Sampel Tebang Pada Berbagai Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.)

No. Sampel Tebang Kadar Air (%)

Batang Pelepah Daun

1 1 192,30 315,98 177,67

2 2 187,61 325,52 120,29

3 3 154,44 306,77 167,63

Rataan 178,12 316,09 155,20

Bagian anatomi sawit yang paling tinggi kadar airnya yaitu pada bagian pelepah dengan rataan kadar air sebesar 316,09%. Kadar air untuk batang memiliki rataan sebesar 178,12%. Kadar air terendah terdapat pada bagian daun dengan persentase rataan sebesar 155,20%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Muhdi et al. (2014) pada perkebunan sawit di Sumatera Utara yang menyatakan


(59)

bahwa rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada pelepah, yakni sebesar 261,9%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian daun, yakni sebesar 143,9%. Kadar air tertinggi pada pelepah sawit disebabkan karena pelepah sawit merupakan unit yang berongga yang tersusun sedikit atas bahan penyusun kayu, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin dan bersifat lunak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Onrizal (2004) dan Hilmi (2003) menunjukkan bahwa kadar air terendah terdapat pada batang. Hal ini disebabkan karena batang lebih banyak disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif sehingga rongga sel batang sedikit terisi oleh air. Sedangkan struktur daun tersusun atas rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hasil penelitian Iswanto et al. (2010) yang menyatakan bahwa besarnya kadar air tanaman kelapa sawit berkisar antara 219,9-379,4%.

2. Kadar Zat Terbang

Zat terbang menunjukkan kandungan zat-zat yang mudah menguap dan hilang pada pemanasan 950oC yang tersusun dari senyawa alifatik, terpena, dan fenolik.

Rata-rata kadar zat terbang berbagai bagian anatomi tanaman sawit memiliki persentase rataan yang berbeda-beda yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Variasi Rata-Rata Kadar Zat Terbang Sampel Tebang Pada Berbagai Anatomi Tanaman Sawit (Elaeis guineensisJacq.)

No. Sampel Tebang Zat Terbang (%)

Batang Pelepah Daun

1 1 73,18 76,18 73,85

2 2 72,97 76,48 72,50

3 3 73,76 74,56 70,30

Rataan 73,30 75,74 72.22

Berdasarkan hasil analisis laboratorium yang disajikan pada Tabel 7, kadar zat terbang terbesar terdapat pada bagian pelepah dengan persentase rataan sebesar


(1)

(2)

Lampiran 4. Output SPSS Model Alometrik Terpilih Penduga Massa Karbon Tanaman Sawit (Elaeis guineensis

Jacq.)

a. Korelasi

Correlations

log massa log dbh log TBC

Pearson Correlation log massa 1.000 -.376 .859

log dbh -.376 1.000 -.707

log TBC .859 -.707 1.000

Sig. (1-tailed) log massa . .159 .002

log dbh .159 . .017

log TBC .002 .017 .

N log massa 9 9 9

log dbh 9 9 9

log TBC 9 9 9

b. R-Sq dan Standard Error

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate


(3)

c. Tabel Anova (F hitung dan Signifikansi)

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression .634 2 .317 16.214 .004a

Residual .117 6 .020

Total .752 8

a. Predictors: (Constant), log TBC, log dbh

b. Dependent Variable: log massa

d. Koefisien Regresi

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -2.807 1.319 -2.128 .077

log dbh .948 .469 .461 2.021 .090

log TBC 1.154 .222 1.185 5.194 .002


(4)

(5)

(6)

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian di Lapangan

Kondisi Lokasi Penelitian

Pengukuran Diameter Tanaman

Pengukuran Tinggi Tanaman

Pengukuran Tinggi Setelah Tanaman

Rebah


Dokumen yang terkait

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

5 61 75

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

0 0 12

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

0 0 2

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

0 0 5

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

0 0 18

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

0 0 4

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 6

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 29

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

0 0 12