Periode Masa Puber usia 12-18 tahun Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun

B. Tinjauan secara Psikologis

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas- batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun

a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:  Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi  Anak mulai bersikap kritis b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:  Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya  Memperhatikan penampilan  Sikapnya tidak menentuplin-plan  Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:  Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya  Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria

2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun

Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:  perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis  mulai menyadari akan realitas  sikapnya mulai jelas tentang hidup  mulai nampak bakat dan minatnya 9 Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya. Dalam hidupnya, setiap manusia akan mengalami berbagai tahap perkembangan. Dan salah satu tahap perkembangan yang sering menjadi sorotan adalah ketika seseorang memasuki usia remaja. Betapa tidak? Usia remaja adalah gerbang menuju kedewasaan, jika dia berhasil melalui gerbang ini dengan baik, maka tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah diatasi. Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Oleh karena itu, agar perkembangannya berjalan dengan baik, setidaknya ada lima aspek penting yang harus dicermati, baik oleh orang tua, pendidik, maupun si remaja itu sendiri. 1. Kondisi fisik Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan berkulit putih. Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu. Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti apapun kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin. Remaja perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna yang sesungguhnya dari kecantikan. Kecantikan sejati justru bersumber dari hati nurani, akhlak, serta kepribadian yang baik. Seperti kata pepatah: Beauty is not in the face, beauty is a light in the heart kecantikan bukan pada wajah, melainkan cahaya dari dalam hati. Bahkan dalam Islam, Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat 10 bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi Allah melihat hati dan amal-amalmu. HR Muslim 2. Kebebasan emosional Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lainnya umumnya disebabkan oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih terus menerus mengikuti kemauan orang tua. Konflik peran yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap. Oleh karena itu ai tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya dimana ia harus kembali bekonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri. Peran gender pada hakikatnya merupakan bagian dari peran sosial. Sama halnya dengan anak yang harus mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau murid terhadap guru, maka ia pun harus mempelajari perannya sebagai anak dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Dalam hubungan ini Susan. A Basow pernah mengadakan penelitian lintas budaya tentang peranan seksual. Penelitian itu dilakukan terhadap penduduk kepulauan Fiji yang terdiri yang terdiri dari suku bangsa Melansia, India, Eropa dan Cina. Dari penelitinnya diketahui bahwa dalam masyarakat di mana perawatan dan pengasuhan anak-anak hanya semata-mata tanggung jawab wanita dan dimana kekuatan fisik sangat menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka perbedaan peran gender adalah yang paling tajam Basow,1984:577-585. Temuan Basow ini sangat bertentangan dengan pandangan klasik Psikoanalisis Sigmund Freud 1956-1939 yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya penisah yang menentukan perkembangan jiwa seseorang menjadi laki-laki atau perempuan. Pada mulanya, bayi yang baru lahir 11 memang biseksual, namun dalam perkembangannya anak laki-laki yang mempunyai penis ingin memiliki ibunya dan ia bersaing dengan ayahnya. Dalam persaingan itu ia mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya, maka menjadi kelaki-lakian lah ia. Dan sebaliknya, anak perempuan yang tidak berpenis iri hatinya pada ayahnya yang berpenis“penis envy”. Ia ingin memiliki ayah yang berpenis itu dan untuk itu ia bersaing dengan ibunya dan dalam persaingan itu ia mengidentfikasikan dirinya dengan ibunya. Maka timbullah sifat kewanitaan pada diri anak perempuan tersebut Freemen dan Small, 1960:110, Rocah,1984 dan Bertens,1980:xxiii-xxiv. Teori freud ini dianggap oleh para ilmuwan yang lain sebagai terlalu berorientasi pada pria “Phallocentric” dan menganggap wanita sebagai manusia jenis yang lebih rendah. Karena itu Freud ini banyak di kritik dan sejak tahun 1920 mulai-muncul studi-studi tentang wanita, dipelopori antara lain oleh K. Horney salah seorang pengikut Freud sendiri. Dari penelitian- penelitian yang telah berlangsung sampai tahun 1972 terkumpul bukti-bukti bahwa naggapan-anggapan berikut ini adalah tidak benar: 1. Anak perempuan lebih bersifat sosial daripada laki-laki 2. Anak perempuan lebih mudah terpengaruh 3. Anak perempuan punya harga diri yang lebih rendah 4. Anak perempuan lebih mudah mempelajari peran dan tugas yang lebih sederhana 5. Anak laki-laki lebih analitis 6. Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat, sedangkan anak laki-laki oleh lingkungan 7. Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi 8. Anak perempuan cenderung lebih mendengarkan, sedangkan anak lak- laki lebih melihat Benedik,1979:12 Temuan yang dikumpulkan oleh Benedik dan hasil-hasil penelitian di negara maju seperti di Amerika Serikat tersebut di atas tentunya lebih mencerminkan gambaran di negara-negara maju yang merupakan negara-negara industri. Tetapi kondisiniya lain sekali jika ditengok keadaaan di mana negar-negara tersebut masih berada dalam era pra industri. Wynne dan Frader dalam M. Sugar ed, 1979:63-80 mengemukakan bahwa dalam abad ke-17 dan 18 di Eropa yang masih agraris peran wanita berbeda tajam dari peran pria, sebab kondisi keluarga pada waktu itu yang digambarkan sebagai berikut: 12 1. Pembauran antargenerasi. Tidak ada pemisahan antargenerasi yang tegas, anak-anak segera menjadi dewasa dan mengambil alih seluruh peran orang dewasa 2. Perekonomian yang dilancarkan dari rumah tangga. Setiap rumah tangga merupakan unit penghasil barang produksi, baik berupa hasil pertanian maupun kerajinan. Setiap anggota keluarga jadinya terlibat dalam kegiatan perekonomian. 3. Anak-anak sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak usia 10-11 tahun. 4. Selalu ada orang dewasa di rumah, karena nenek dan kakek tinggal serumah dengan anak cucu mereka sampai mereka meninggal. 5. Sebagai proses sosialisasi anak-anak dikirimkan ke keluarga lain terutama yang perempuan untuk menjadi pembantu rumah tangga sambil belajar baca-tulis-hitung catatan: di masyarakat Jawa juga dikenal kebiasaan serupa yang dinamakan “ngenger” yang dikenakan kepada anak laki-laki sedangkan anak laki-laki suku Minang harus tidur di surau bersama teman-teman sebayanya, karena dianggap sudah tidak pantas lagi bercampur dengan kaum wanita di rumah gadang. Dengan adanya perubahan zaman menuju era industrialisasi, maka kehidupan keluarga seperti di atas makin memudar. Akibatnya kesempatan anak untuk belajar peran gender juga makin terbatas. Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita kepada hal-hal yang dulunya hnay dikerjakan oleh laki-laki. Bahkan T.M Hartnagel dalam penelitiannya yang berskala nasional di Amerika Serikat 1982:477-490 membuktikan bahwa modernisasi punya pengaruh langsung pada meningkatnya keterlibatan wanita dalam tindakan kriminal. Dalam bentuknya yang kurang ekstrim dalam pergaulan sehari-hari, Haas telah membuktikan dalam penelitian sosio-linguistiknya di Amerika Serikat juga bahwa penggunaan kata-kata jorok pada anak perempuan tidak berbeda jauh frekuensinya daripada anak-anak laki-laki T.B. Jay, 1980: 614-621. Sulitlah kita menjumpai lagi apa yang dinamakan “wanita sejati “ trully womanhood yang klasik yang bercirikan antara lain sikap merendah 13 pada orang tua, pada guru, dan lain-lain, kontrol diri yang kuat dan terikat pada ide-ide tentang kemurnian dalam kesucian M. Sugar, 1979: 80. Tak mengherankan jika akhir-akhir ini timbul kecenderungan baru dalam teori-teori tentang peran gender. Aliran baru yang ditokohi anatar alin oleh Sandra Bem ini berpendapat bahwa sifat kelaki-lakian masculinity dan kewanitaan feminity bukanlah merupakan dua hal yang bertolak belakang di mana jika seseorang itu berjiwa laki-laki tidak mungkin ia berjiwa wanita atau sebaliknya. Demikian pula, aliran baru ini tidak mengaitkan sifat-sifat kelaki-lakian dan kewanitaan ini dengan jenis kelamin seseorang secara langsung yang mengakibatkan bahwa seorang yang berjenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai sifat-sifat kewanitaan digolongkan sebagai banci. Sandra Bem dalam teorinya yang baru menganggap kelaki-lakian dan kewanitaan sebagai dua sifat yang berbeda, terlepas satu dari yang lainnya dan tidak selalu terkait dengan jenis kelamin seseorang. Dengan menggunakan sebuah skala khusus yang dinamaknanya BSRI Bem Sex-Role Inventory. Bem mencoba mengukur sifat-sifat kelaki- lakian ambisius, aktif, kompetitif, objektif, mandiri, agresif, pendiam, dan seterusnya dan sifat-sifat kewanitaan pasif, lemah lembut, subjektif, dependen, emosional, dan sebagainya dari sejumlah orang percobaanya. Hasilnya ternyata ada 4 macam manusia ditinjau dari perans eksualnya, yaitu : 1. Tipe maskulin, yaitu yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata- rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata 2. Tipe feminin, yaitu yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannnya kurang dari rata-rata. 3. Tipe androgin, yaitu yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata. 4. Tipe tidak tergolongkan undiferentiated, yaitu yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaanya di bawah rata-rata. Wrightsman, 1981:455. 14 Dalam masyarakat tradisional atau yang hidup dalam lingkungan pra-industir, kecenderungan memang lebih besar bahwa anak- laki-laki cenderung akan menumbuhkan sifat maskulinnya, sedangkan anak perempuan cenderung menjadi feminin. Akan tetapi dalam kehidupan yang lebih modern makin besar kemungkinana timbulnya tipe-tipe androgin dan “Undiferetiated”. Istilah androgin berasal dari bahasa Yunani yang berarti andro yang berarti laki-laki dan gyne yang berarti perempuan. Istilah ini kemudian dipinjam oleh para ahli Psikologi Sosial untuk menerangkan adanya pembauran ciri psikologis maskulin dan feminin dalam diri seseorang. Demikianlah maka di dalam masyarakat modern banyak dijumpai wanita yang mampu melakukan profesi pria dan sebaliknya pria yang mampu mengambil alih tugas wanita. Kepribadian undiferentiated lebih kaku dan lebih sulit menyesuaikan diri kepada tugas-tugas kepribadian maupun tugas-tugas kewanitaan. Keadaaan di Indonesia sendiri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari yang diuraikan oleh Sandra Bem tersebut di atas. Yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa, dalam mencari identitas seksualnya banyak remaja khususnya yang wanita di Indonesia ini yang masih menghadapai tekanan sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih menghadapi tekanan sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih tradisional,s ehingga mereka harus menghadapi konflik berat dalam menuju kepribadian androgin. Banyaka yang harus kembali berperan feminin walaupun ia dibesarkan dan dididik untuk menjadi androgin, contoh dalam kasus III menunjukkan salah satu perwujudan konflik seorang anak perempuan yang ingin tampil sebagai pribadi androgin tetapi terhambat oleh kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Pada umumnya, remaja ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Tak heran, sebab dalam masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, seorang remaja memang senantiasa berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan dengan orang dewasa, dalam kedudukannya yang bukan lagi sekadar objek. 15 Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa lebih bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang pihak lain. Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya. Menurut Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara orang tua dan anak adalah dengan menjadi pendengar aktif. 3. Interaksi sosial Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan. Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita, pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua ekstrem, yakni terlalu sensitif menutup diri atau terlalu bebas. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan yang bermanfaat. 4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada dan di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam hingga dapat melahirkan karya yang berarti. Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang remaja diharapkan lebih mampu menentukan keputusan yang tepat 16 terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan yang akan diikutinya. 5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama cenderung mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan dengan sikap yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan vitalitas. Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki jiwa yang sakit sick soul. Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah, murung serta tertekan. Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa di usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame religius Tidak kalah penting dari tugas perkembangan di atas adalah adanya kesadaran pada remaja untuk mempelajari segala seluk-beluk yang berkaitan dengan masalah seksual. Beberapa tema yang berkaitan dengan perkembangan seksual remaja adalah sebagai berikut: 1. Upaya untuk mengkaitkan antara perkembangan pubertal, body image, dan self image. Remaja pada umumnya peka dan sangat perhatian terhadap daya tarik pribadi. Mereka akan selalu memperhatikan penampilannya, bentuk tubuhnya, wajahnya, dan penerimaannya terhadap diri sendiri. Hal ini akan mengarahkan remaja pada terciptanya body image yang kemudian tertuju pada self image. Melalui self image ini 17 akan berdampak pada keyakinan diri remaja dalam proses berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. 2. Minat untuk mempelajari tubuh sendiri, respon seksual, dan kebutuhannya. Ketidaktahuan remaja bahwa kemasakan hormon seksual akan memiliki implikasi terhadap reaksi-reaksi tubuh yang muncul saat remaja putri mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah. Adanya kemasakan hormon seksual ini mencemaskan remaja terhadap permasalahan yang berkaitan dengan organ seksualnya. Ada reaksi seksual tertentu saat remaja putri menggunakan pembalut untuk pertama kali, sedangkan pada remaja pria dibingungkan dengan ukuran alat kelaminnya yang kemudian dicoba untuk diukur kenormalannya dalam segala dimensi. Pada saat ini juga remaja sudah mampu menghayati makna rangsangan seksual terlepas dari apakah rangsangan seksual tersebut berasal dari proses persentuhan dengan lawan jenis sosio- erotik atau akibat berfantasi auto-erotik. 3. Pencarian identitas diri dengan fokus pada pemenuhan tuntunan sosial terhadap peran jenis kelamin dan upaya untuk pemantapan orientasi seksual pribadi. Pusat dari proses perkembangan remaja adalah supaya proses pencarian. Ada tuntunan sosial yang dicoba dipelajari remaja mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh remaja putri dan putra dalam memenuhi harapan perilaku sosial. Sedangkan tingkah laku seksual sendiri pada umumnya tertuju pada upaya untuk menunjukkan pada teman sebaya agar dirinya dapat diterima. Dan biasanya tingkah laku seksual tersebut tidak terfokus pada actual sexual desire penyaluran nafsu seksual. 4. Mempelajari hubungan seksual dan interaksinya dengan lawan jenis berupa keterikatan hubungan, percintaan, atau komitmen. Pada usia remaja inilah seseorang mulai mengembangkan minat heterosexualnya. Dimulai dari keterdekatan hubungan dalam organisasi sekolah osis, olahraga, seni, kemudian berlanjut keterikatan antar dua remaja yang mengembangkan hubungan emosional secara intens, rutin, dan bertanggung jawab. 18 5. Mengembangkan sistem nilai seksual pribadi. Sistem nilai seksual berkaitan dengan kesadaran remaja mengenai siapa dirinya. Dengan mengenal siapa dirinya, remaja mengembangkan sikap dan perilaku sebagaimana konsep diri yang terbentuk. Hal ini kemudian berkaitan dengan cara remaja memilih sikap dan perilaku pasangannya sesuai dengan kondisi diri remaja sendiri.

C. Tinjauan secara Nilai-nilai Agama Islam