PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENETAPAN PERATURAN DESA (PERDES) TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDES) (Studi Perbandingan pada Tiga Desa di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur)

ABSTRACT
ROLE OF BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) AT REGULATION
DETERMINATION IN THE VILLAGE REGULATION
ON BUDGET FOR VILLAGE (APBDES)
(Comparative Studies on Three Villages in the Sekampung Udik Sub District
East Lampung District)
by
Sahrun
BPD very important role in the determination of Perdes, during this often
overlooked and less engaged by the village government. Almost all villages in
Indonesia have set Perdes without involving BPD. APBDes a village regulation
products containing sources of revenue and expenditure allocation village within
one year. APBDes comprises part of village income, expenditure and financing
village. APBDes draft discussed in village development planning. Village heads
together BPD set each year by the regulatory APBDes desa.Berdasarkan
observation and direct observation the author of three villages in the district of
East Lampung District Sekampung Udik the Village Pugung Raharjo, Villages
and Countryside Sidorejo Sindang Anom, indirectly, the authors observe that the
difference BPD role to the three villages in setting Perdes APBDes. In the village
Pugung Raharjo is a village that became a pilot, namely the maximum
performance from the village head and BPD. While the other two villages namely

Sindang Anom village and less cooperative Sidorejo between BPD and village
head. The purpose of this study was to determine and analyze why the different
roles Village Consultative Body (BPD) in the determination of the Village
Regulations (Perdes) on Budget Village (APBDes) Pugungraharjo Village,
Sindang Anom village and subdistrict Sekampung Udik Sidorejo Village East
Lampung Regency .
This type of research used in this research is descriptive qualitative research. This
study will focus on the different roles Village Consultative Body (BPD) in the
determination of the Village Regulations (Perdes) on Budget Village (APBDes)
Pugungraharjo Village, Village Sindang Anom and Sekampung Udik Sidorejo
Village District of East Lampung District. Data processing is done by the
selection of data, data classification, data preparation and data analysis.
The survey results revealed differences in the role that occurred from 3 villages
which became the object of research. Of the three villages BPD Pugungraharjo
Village is a village that has been very good in the preparation Perdes about
APBDes, evidenced by the results of researchers down kedesa that Perdes

Sahrun
APBDes year 2013 has been designated by the government of the village with
BPD, and the village of village government Sindang Anom less cooperation with

BPD so Perdes APBDes already made by the head of the village without meeting
with the BPD. While Sidorejo village between village government and BPDnya
not mutually coordinated so that there has not been met for the determination
Perdes about APBDes, so based on the results of research down to the village
Sidorejo that there Perdes about APBDes of 2013 has not dibuat.Perbedaandifferences be explained in three villages can not be separated from the factors
that influence it, especially the quality of cooperation between members of the
BPD, the village head and the village community. BPD performance quality can
not be separated from the village Pugungraharjo concern of all parties to the
importance of preparation, a village to village development progress.
Advice, the village chief is expected to be more intensive Sidorejo present in the
deliberations Raperdes about APBDes that BPD performance in preparing
APBDes equal with the other two villages namely Pugungraharjo Village and
Village Sindang Anom. Also expected to Sindang Anom village and village
Sidorejo to increase the role of Village Consultative Body (BPD) in the
determination of the Village Regulations (Perdes) On Budget And Shopping
Village (APBDes) so it will be more orderly again admninistrasi in the village.
Keywords: Roles, Consultative Body (BPD), Village Regulations

ABSTRAK
PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM

PENETAPAN PERATURAN DESA (PERDES) TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA
(APBDES)
(Studi Perbandingan pada Tiga Desa di Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur)
Oleh
Sahrun

Peran BPD begitu penting dalam penetapan Perdes, selama ini sering diabaikan
dan kurang dilibatkan oleh pemerintah desa. Hampir seluruh desa di Indonesia
memiliki Perdes yang ditetapkan tanpa melibatkan BPD. APBDes merupakan
produk peraturan desa yang memuat sumber-sumber penerimaan dan alokasi
pengeluaran desa dalam kurun waktu satu tahun. APBDes terdiri atas bagian
pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan. Rancangan APBDes dibahas
dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala desa bersama BPD
menetapkan APBDes setiap tahun dengan peraturan desa.Berdasarkan observasi
dan pengamatan langsung penulis terhadap tiga desa yang ada di Kecamatan
Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur yaitu Desa Pugung Raharjo, Desa
Sindang Anom dan Desa Sidorejo, secara tidak langsung penulis amati bahwa
adanya perbedaan peranan BPD ke tiga desa tersebut dalam penetapan Perdes

APBDes. Pada Desa Pugung Raharjo merupakan sebuah desa yang menjadi
percontohan yaitu dengan maksimalnya kinerja dari Kepala Desa dan BPD.
Sementara dua desa lainnya yaitu Desa Sindang Anom dan Sidorejo kurang
kooperatif antara BPD dan Kepala desa.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis mengapa terjadi perbedaan peran Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)dalam penetapan Peraturan Desa (Perdes) tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) diDesa Pugungraharjo, Desa
Sindang Anom dan Desa Sidorejo Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Penelitian ini akan memfokuskan pada perbedaan peran Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)dalam penetapan Peraturan Desa (Perdes) tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) diDesa Pugungraharjo, Desa
Sindang Anom dan Desa Sidorejo Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur.Pengolahan data dilakukan dengan cara seleksi data, klasifikasi
data, penyusunan data dan analisis data.

Sahrun
Hasil penelitian diketahui perbedaan peran yang terjadi dari 3 desa yang menjadi
obyek penelitian. Dari ketiga desa tersebut BPD Desa Pugungraharjo merupakan

desa yang sudah sangat baik dalam penyusunan Perdes tentang
APBDes,dibuktikan dengan hasil peneliti turun kedesa bahwa perdes APBDes
tahun 2013 sudah ditetapkan oleh pemerintah desa bersama BPD, dan Desa
Sindang Anom pemerintah desanya kurang kerja sama dengan BPD sehingga
perdes APBDes sudah dibuat oleh Kepala desa tanpa mengadakan rapat bersama
BPD. Sedangkan desa Sidorejo antara Pemerintah desa dan BPDnya tidak saling
ada koordinasi sehingga belum pernah mengadakan rapat untuk penetapan perdes
tentang APBDes, jadi berdasarkan hasil peneliti turun ke desa Sidorejo bahwa
terdapat perdes tentang APBDes tahun 2013 belum dibuat.Perbedaan-perbedaan
yang diterjadi pada tiga desa tersebut tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya terutama kualitas kerja sama antara anggota BPD, Kepala Desa
dan masyarakat desa tersebut. Kualitas kinerja BPD Desa Pugungraharjo tidak
lepas dari kepedulian semua pihak dengan pentingnya penyusunan Perdes untuk
kemajuan pembangunan desa.
Saran, diharapkan kepala desa Sidorejo harus lebih intensif hadir dalam
musyawarah Raperdes tentang APBDes supaya kinerja BPD dalam menyusun
APBDes dapat setara dengan kedua desa lainnya yakni Desa Pugungraharjo dan
Desa Sindang Anom. Selain itu diharapkan kepada Desa Sindang Anom dan desa
Sidorejo untuk meningkatkan peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dalam Penetapan Peraturan Desa (Perdes) Tentang Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Desa (APBDes) sehingga akan lebih tertib lagi admninistrasi yang ada di
desa tersebut.
Kata Kunci: Peranan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Peraturan Desa

PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM
PENETAPAN PERATURAN DESA (PERDES) TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDES)
(Studi Perbandingan pada tiga Desa di Kecamatan Sekampung
Udik Kabupaten Lampung Timur)

TESIS

Oleh

SAHRUN

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015


PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini untuk
Kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Usman Gelar Pangeran
Nimbang bumi, dan Ibunda Rummini, yang dengan sabar,tulus ikhlas dan
kasih sayangnya yang telah membesarkan dan mendidik serta
mendo’akan setiap saat, sehingga penulis mampu
meraih Cita-cita dalam hidup ini.
Istriku tercinta Siti Ma’unah, dan Anak-anakku tercinta Hendra Agus
Saputra, S.IP, dan Amni Apriyani yang senantiasa
memberikan dukungan,dan do’a sehingga penulis mampu
menyelesaikan pendidikan ini

M O T O

"Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam
ombak dan kerjakanlah hal yang bermanfaat untuk diri
sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali.
Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita

berada kepada Dia-lah tempat meminta dan
memohon".

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan dan izin –Nya kepada penulis baik fisik maupun mental sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul ”Peranan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dalam Penetapan Peraturan Desa,tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBdes) (Studi Perbandingan Pada Tiga Desa Di Kec.
Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur)

Penyusunan tesis ini merupakan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan studi
pada program Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung. Adapun
permasalahan yang akan diteliti dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis bahwa
Peran BPD yang begitu sangat penting dalam penetapan Perdes, selama ini sering
diabaikan dan kurang dilibatkan oleh pemerintah desa. Hampir seluruh desa di
Indonesia memiliki Perdes yang ditetapkan tanpa melibatkan BPD. APBDes
merupakan produk Peraturan desa yang memuat Sumber-sumber penerimaan dan

alokasi pengeluaran desa dalam kurun waktu satu tahun. APBDes terdiri atas
bagian pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan. Rancangan APBDes
dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala desa
bersama BPD menetapkan APBDes setiap tahun dengan Peraturan desa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengapa
terjadi perbedaan Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
Penetapan Peraturan Desa (Perdes) Tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes) pada Desa Pugung Raharjo, Desa Sindang Anom
dan Desa Sidorejo, di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung
Timur.Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian dalam
tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati
penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun.Akhir kata
penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan
masyarakat di tiga desa tempat penelitian.

Terima kasih.dalam penyusunan karya akhir ini, penulis telah banyak memperoleh
dorongan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih Sebesar-besarnya
kepada:

1. Bapak.Prof.Dr.Ir.Sugeng P.Harianto,MS sebagai Rektor Universitas Lampung
2. Bapak. Prof. Dr. Sudjarwo, MS

sebagai Direktur

Program

Pascasarjana

Universitas Lampung
3. Bapak Drs.Agus Hadiawan,M.Si. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung
4. Ibu.Dr.Ari Darmastuti, M.A sebagai Ketua

Program

Studi

IlmuPemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Magister

yang sudah

banyakmemberikan saran, bimbingan dan petunjuk dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu.Dr.Feni Rosalia, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing utama yang sudah
banyak sekali memberikan ilmu pengetahuan, saran, bimbingan dan petunjuk
kepada penulis sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tesis ini
6. Bapak.Drs.Denden Kurnia Drajat, M.Si. sebagai Pembimbing pembantu, dan
Dosen Pembimbing Akademik yang selalu setia, memberikan bimbingan dan
petunjuk kepada penulis, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tesis ini
7. Bapak. Dr.Suwondo, M.A sebagai Dosen pembahas/pengujiyang telah
bersedia memberikan sumbangan pemikirannya, dalam pembahasan tesis dari
Seminar I, Seminar II, dan sampai selesai Ujian, sehingga Alhamdulillah
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
8. Bapak/Ibu Dosen di Program Magister Ilmu Pemerintahan yang telah
memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis menimba ilmu
pengetahuan di FISIP Universitas Lampung, serta para staf/ pegawai yang
senantiasa dengan ikhlas dalam melayani administrasi dan segala sesuatu
keperluan akademik yang dibutuhkan penulis.
9. Kepala desa Pugungraharjo, Kepala desa Sindang Anom dan Kepala desa
Sidorejo serta Ketua BPD desa Pugungraharjo, Ketua BPD desa Sindang
Anom dan Ketua BPD desa Sidorejo yang telah memberikan izin penelitian
dan informasi kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
10. Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu pengetahuan di MIP FISIP
Universitas Lampung yang senantiasa membantu dan menyumbangkan ideidenya serta memberi motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir

kata,

hanya

kepada

Allah

SWT

penulis

senantiasa

memohon

rahmat,hidayah dan inayah-Nya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan Allah meridhoi amal baik atas jasa semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan tesis ini.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Bandar Lampung, 31 Desember 2014
Penulis

S A H R U N

DAFTAR ISI
Halaman
I.

II.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................

1

B. Rumusan Masalah .............................................................................

5

C. Tujuan Penelitian ..............................................................................

5

D. Kegunaan Penelitian..........................................................................

5

TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu .........................................................................

7

B. Peranan Badan Permusyawaratan Desa ............................................ 10
1. Pengawasan ................................................................................. 23
2. Penetapan Peraturan Desa (Perdes)............................................. 25
C. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) ......................... 33
D. Teori Organisasi ................................................................................ 39
1. Unsur-Unsur Organisasi .............................................................. 39
2. Prinsip dan Asas Organisasi ........................................................ 40
E. Hubungan Kerja Antar Unsur Pemerintah Desa ............................... 43
1. Mekanisme Hubungan Kerja Internal ......................................... 44
2. Mekanisme hubungan unsur eksternal dengan unsur internal .... 46
F. Kerangka Pikir .................................................................................. 48
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian .................................................................................. 51
B. Fokus Penelitian ................................................................................ 52
C. Lokasi Penelitian ............................................................................... 53
D. Informan atau Sumber Informasi ...................................................... 53
E. Jenis Data .......................................................................................... 54
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 55

G. Teknik Pengolahan Data .................................................................. 56
H. Teknik Analisis Data ......................................................................... 57
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ................................................ 50
1. Desa Pugungraharjo .................................................................... 59
2. Desa Sindang Anom .................................................................... 70
3. Desa Sidorejo .............................................................................. 81
B. Pembahasan Masalah ........................................................................ 91
1. Gambaran Umum Penyusunan Perdes APBDes di Masingmasing Desa ............................................................................... 91
2. Peran Badan Pemusyawaratan Desa DalamPenyusunan
dan Penetapan Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Desa(APBDes) Pugungraharjo ................... 98
2.1 Membahas rancangan Perdes APBDes bersama
Kepala desa ........................................................................... 98
2.2 Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan
dan menyalurkan aspirasi masyarakat ................................... 100
2.3 Penetapan Perdes APBDes .................................................... 101
2.4 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perdes APBDes dan peraturan Kepala desa ......................... 103
3. Peran Badan Pemusyawaratan Desa Dalam Penyusunan
dan Penetapan Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan BelanjaDesa (APBDes) Sindang Anom ................. 103
3.1 Membahas rancangan Perdes APBDes bersama
Kepala desa ........................................................................... 103
3.2 Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan
dan menyalurkan aspirasi masyarakat ................................... 104
3.3 Penetapan Perdes APBDes .................................................... 105
3.4 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perdes APBDes dan peraturan Kepala desa ......................... 106
4. Peran Badan Pemusyawaratan Desa Dalam Penyusunan
dan Penetapan Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan BelanjaDesa(APBDes) Sidorejo .............................. 107
4.1 Membahas rancangan Perdes APBDes bersama
Kepala desa ........................................................................... 107
4.2 Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan
dan menyalurkan aspirasi masyarakat ................................... 108
4.3 Penetapan Perdes APBDes .................................................... 109
4.4 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perdes APBDes dan peraturan Kepala desa ......................... 110

V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .............................................................................................. 119
B. Saran ..................................................................................................... 120

DAFTAR PUSTAKA

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan telah disempurnakan
melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah atau lebih dikenal dengan Otonomi Daerah, merupakan suatu peluang
emas bagi daerah untuk mengelola sumber daya-sumber daya yang dimiliki,
baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun teknologi dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan pembangunan yang
merata mulai dari tingkat pusat sampai ke pelosok daerah.

Pembangunan yang dimaksud bukan saja pembangunan berbentuk fisik akan
tetapi mencakup pembangunan mental bangsa. Pembangunan tersebut tidak
mungkin berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan apabila tidak
didukung oleh dana yang matang dan memadai. Melaksanakan pembangunan
bukanlah suatu pekerjanan yang cukup mudah, namun sebaliknya adalah
salah satu pekerjaan yang sangat berat dan sulit. Salah satu faktor pendukung
dalam menciptakan pembangunan daerah khusunya Desa adalah setiap desa
tentunya membutuhkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
yang kuat, baik besaran maupun strukturnya.

2

APBDes merupakan produk peraturan desa yang memuat sumber-sumber
penerimaan dan alokasi pengeluaran desa dalam kurun waktu satu tahun.
APBDesa terdiri atas bagian pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan.
Rancangan APBDesa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan
desa. Kepala desa bersama BPD menetapkan APBDesa setiap tahun dengan
peraturan desa.

Pada prinsipnya Peraturan desa seperti halnya Peraturan Desa tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) merupakan produk hukum
tingkat desa dan merupakan hasil kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh
Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bertujuan
untuk memperlancar proses Pemerintahan Desa. Peraturan desa ini wajib
dibuat, karena digunakan acuan untuk menjalankan proses Pemerintahan
Desa agar tidak melenceng dari yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Desa.
Dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Desa terdapat proses timbal
balik antara masyarakat desa dengan Peraturan Desa dan Lembaga
pembentuknya. Masyarakat desa dapat memberikan masukan dalam proses
penyusunan Rancangan Peraturan Desa atau Peraturan Perundang-Undangan
yang lain karena pada dasarnya nilai-nilai dalam Peraturan Desa sangat
berpengaruh dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. (Rahardjo,
1999:15).

Permasalahannya sekarang adalah, dengan melihat kenyataan dan fenomena
yang ada, peran BPD yang begitu penting dalam penetapan Perdes, selama ini
sering diabaikan dan kurang dilibatkan oleh pemerintah desa. Hampir seluruh

3

desa di Indonesia memiliki Perdes yang ditetapkan tanpa melibatkan BPD.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Sugiarni
(2005) yang menyatakan bahwa BPD selaku perangkat Desa, dalam
Penetapan Perdes di Desa Branjang Kecamatan Ungaran Kabupaten
Semarang, BPD tidak dilibatkan. Berdasarkan observasi dan pengamatan
langsung penulis terhadap tiga desa yang ada di Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur yaitu Desa Pugungraharjo, Desa Sindang Anom
dan Desa Sidorejo, secara tidak langsung penulis amati bahwa adanya
perbedaan peranan BPD ke tiga desa tersebut dalam penetapan Perdes
APBDes. Pada Desa Pugungraharjo merupakan sebuah desa yang menjadi
percontohan yaitu dengan maksimalnya kinerja dari Kepala Desa dan BPD.
Sementara dua desa lainnya yaitu Desa Sindang Anom dan Sidorejo kurang
kooperatif antara BPD dan kepala desa. Hal tersebut mengakibatkan produk
yang dihasilkan kurang bermanfaat dikarenakan BPD kurang memahami
fungsi dan wewenang yang dimilikinya.

Sementara itu, hasil wawancara langsung penulis pada tanggal 17 Februari
2014 dengan Ketua BPD Desa Pugungraharjo, menyatakan dalam proses
penetapan Perdes tentang APBDes, kepala desa sudah melakukan
musyawarah dengan BPD sesuai aturan yang ada, dan Perdes (yang dibahas)
berjalan sesuai dengan aturan perundangan-undangan, dan saran-saran yang
dikeluarkan BPD terkait Perdes tersebut mendapat respon yang positif,
kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kepala desa bukan hanya sekedar
formalitas saja dalam melibatkan BPD.

4

Lain halnya dengan BPD pada Desa Sindang Anom Berdasarkan wawancara
langsung penulis pada tanggal 18 Februari 2014 dengan ketua BPD
menyatakan selama ini penetapan Perdes tentang APBDes, BPD tidak
dilibatkan. BPD hanya menerima salinan Perdes APBDes yang sudah
disahkan, tetapi fungsinya hanya sebagai penyimpan arsip, karena tidak
memiliki peranan dalam melakukan peninjauan kembali Perdes APBDes
tersebut. Dapat dikatakan kurang terjalinnya hubungan kerjasama yang
harmonis antara kepala desa dengan BPD, dalam proses penetapan Perdes
APBDes, keputusan dominan ditangan kepala desa sepihak, tanpa dilakukan
musyawarah yang melibatkan BPD maupun tokoh masyarakat yang masuk
dalam keanggotaan BPD.

Lebih lanjut berdasarkan observasi dan wawancara langsung penulis pada
tanggal 20 Februari 2014 dengan Ketua BPD Desa Sidorejo menyatakan,
BPD hampir tidak memiliki peran dalam penetapan Perdes tentang APBDes,
BPD hanya dianggap sebatas penyampai aspirasi, dan “tukang setor tanda
tangan saja” sementara tugas untuk menuangkannya dalam bentuk kebijakan
masih menjadi wewenang mutlak kepala desa. Raperdes APBDes sematamata inisiatif dari kepala desa dan penyelesaiannya berakhir pada kepala desa
juga. Suka tidak suka, senang tidak senang, pada kenyataannya Perdes
APBDes tetap berlaku dan disahkan.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah
dalam

rangka

penelitian

tesis

dengan

judul:

“Peranan

Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Penetapan Peraturan Desa (Perdes)

5

Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) (Studi
Perbandingan pada Tiga Desa di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur)”

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Mengapa terjadi perbedaan peran Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penetapan Peraturan Desa (Perdes)
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di Desa
Pugungraharjo, Desa Sindang Anom dan Desa Sidorejo Kecamatan
Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui dan menganalisis
mengapa terjadi perbedaan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
penetapan Peraturan Desa (Perdes) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) di Desa Pugungraharjo, Desa Sindang Anom dan Desa
Sidorejo Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara toeritis, diharapkan penelitian ini

dapat

menambah

dan

mengembangkan kajian Ilmu Pemerintahan, khususnya manajemen
Pemerintah dalam hal hubungan antara eksekutif dan legislatif desa
terutama dalam penyusunan dan penetapan Perdes APBDesa.

6

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada kepala desa, ketua maupun anggota BPD Desa Pugungraharjo,
Desa Sindang Anom dan Desa Sidorejo di Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur, agar dapat melaksanakan Fungsi-fungsinya
secara optimal, terutama dalam proses Penetapan Peraturan Desa (Perdes)
atau fungsi legislasi.

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
mengenai topik yang hampir sama dengan penelitian ini, penelitian terdahulu
yang telah dilakukan antara lain:
1. Penelitian Fauzan, Ali (2010) dengan judul Implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Terkait Dengan Peran
Badan Permusyawaratan Desa Dalam Penyusunan dan Penetapan
Peraturan Desa di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pembuatan Peraturan Desa sudah dilakukan
melalui tahapan-tahapan yang benar dan telah sesuai dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah No 72 Tahun
2005 Tentang Desa juncto Peraturan Mendagri No 29 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa,
yakni melalui tahap inisiasi, sosio-politis dan yuridis. Simpulan dari hasil
penelitian di atas adalah BPD dalam melaksanakan fungsi legislasi yaitu
proses pembuatan Peraturan Desa telah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang ada namun fungsi legislasi BPD belum dapat
berjalan

secara

maksimal,

hal

ini

ditunjukan

dengan

kurang

komprehensipnya BPD di Kecamatan Wanasari dalam membingkai

8

peraturan-peraturan desa yang masih bersifat konvensional atau kebiasaan
kedalam bentuk peraturan tidak tertulis. Adapun Langkah-langkah yang
dilakukan untuk mengatasi kendala yakni secara Intern dan Ekstern.
Sehingga saran yang diajukan dalam Tesisi ini ialah perlu adanya
perhatian khusus dari Pemerintah daerah serta perlu diadakanya pelatihan
cara menyusun dan merancang Perdes bagi Pemerintah Desa.
2. Noviar Satriadi (2013) tentang Pengaruh Peran Badan Permusyawaratan
Desa Dalam Pembentukan Peraturan desa dengan keluarnya UU NO. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Di Kecamatan Praya
Barat), hasil penelitian menunjukkan peran BPD sesuai dengan temuan
dalam penelitian ini belum mampu menjalankan peran dan fungsinya
secara epektif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, terutama
berkaitan dengan fungsi legislasi desa, tetapi masih sebatas pada
pembentukan panitia pemilihan kepala desa dan pembuatan RAPBdes.
3. Viky Zulkarnain (2012) Efektivitas fungsi Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

di Kabupaten

Tulungagung (Studi kasus di Desa Gesikan, Desa Pucung Kidul, Desa
Jatimulyo). Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
pelaksanaan fungsi BPD dalam pemerintahan desa di Kabupaten
tulungagung, untuk melaksanakan fungsi-fungsi BPD diperlukan beberapa
cara ataupun strategi yang harus dilakukan. Cara-cara yang telah dilakukan
oleh BPD di Kabupaten Tulungagung dalam menjalankan fungsi
menyerap dan menyalurkan aspirasi antara lain yaitu: memanfaatkan acara
yasinan

atau

tahlilan

untuk

menampung

aspirasi masyarakat,

9

memanfaatkan acara takziah untuk menampung aspirasi masyarakat, dan
juga acara pengajian di lingkungan sekitar juga dimanfaatkan untuk
menyerap aspirasi masyarakat.
4. Hindun Shabrina dkk (2012) tentang Kajian Yuridis Mengenai Fungsi dan
Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembentukan
Peraturan Desa di Desa Sukorejo Kecamatan Bangsalsari Kabupaten
Jember Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang
Pemerintahan Desa. Hubungan tata kerja yang dilakukan antara kepala
desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pembentukan
peraturan desa di Desa Sukorejo Kecamatan Bangsalsari Kabupaten
Jember merupakan hubungan kemitraan, yang harmonis dimana telah
sesuai seperti yang diamanatkan dalam Pasal 1 dan Pasal 55. Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, yaitu pemerintahan desa masing-masing
memahami tugas dan fungsi serta kedudukan lembaga yang mereka wakili.
Hubungan kemitraan BPD dan kepala desa disebut juga sebagai hubungan
kerja eksternal dalam penyelenggaraan pemerintahan

desa

di

desa

Sukorejo yaitu hubungan kerja antara kepala desa dengan BPD dalam
menetapkan kebijakan bersama BPD dan menyusun rancangan peraturan
desa serta menetapkan peraturan desa (perdes) yang telah mendapat
persetujuan BPD tersebut, yaitu dengan dasar niat membangun Desa
Sukorejo menuju arah lebih baik dan masyarakat Desa Sukorejo yang
sejahtera.
5. Paulina Dwijayanti (2013) tentang Komunikasi dan Koordinasi yang
Sinergi Antara Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pembuatan Peraturan

10

Desa. Haisl penelitian menunjukkan bahwa Komunikasi yang terjadi
antara pemerintah desa dan BPD dalam pembuatan peraturan desa tidak
terjalin baik, karena sering terjadi kesimpangsiuran antar yang satu
dengan yang lain, sepertinya adanya anggapan dari pemerintah desa yang
menganggap BPD bukan sebagai mitra melainkan lawan, serta BPD yang
merasa bahwa kehadiran merekan tidak dihargai. Komunikasi merupakan
salah satu persyaratan untuk mencapai koordinasi yang baik. Salah satu
faktor yang menghambat kinerja dari BPD dalam penyelenggaraan
pemerintahan adalah selain kekuasaan dominan pemerintah desa juga
mereka terjebak rutinitas harian mereka yaitu sebagi petani sehingga
urusan dalam pemerintahan bukan menjadi hal yang pokok dalam
pekerjaan mereka, sehingga kinerja pelaksanaan fungsi BPD belum dapat
dilakukan secara maksimal karena terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi yaitu selain yang telah disampaikan diatas adalah
kurangnya pemehaman

anggota

BPD

maupun

masyarakat terkait

lembaga desa yang relatif masih baru ini

B. Peranan Badan Permusyawaratan Desa

Peranan menurut Nasution (1994: 74) mencakup kewajiban hak yang
bertalian kedudukan. Lebih lanjut Setyadi (1996: 29) berpendapat peranan
adalah suatu aspek dinamika berupa pola tindakan baik yang abstrak maupun
yang kongkrit serta status yang ada dalam organisasi. Usman (2001: 4 )
mengemukakan peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang
saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta

11

berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku. Jadi peranan dalam
konteks penelitian ini adalah kedudukan lembaga BPD dalam menjalankan
fungsinya sebagai fungsi legislasi dalam proses penyusunan dan penetapan
Perdes APBDes.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Peran Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penetapan peraturan desa erat kaitannya
dengan teori pemisahan kekuasaan seperti yang dipopulerkan oleh John
Locke disebut dengan istilah trias politica. Lebih lanjut dalam teori trias
politica membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1. Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2. Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3. Yudikatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala
tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Pada pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan
oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. tujuan
dari dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan
tidak terpusat hanya pada satu tangan yang dapat berakibat pada terjadinya
pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran serta rakyat dalam
menentukan keputusan-keputusan politik, dengan adanya pembagian
kekuasaan dalam penyelenggaraan negara sebagai salah satu ciri negara
demokrasi, di dalamnya terdapat beberapa badan penyelenggara kekuasaan
seperti, badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lain. pada umumnya
negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan mengacu pada teori

12

“trias politica” Montesquieu dengan melakukan beberapa variasi dan
pengembangan dari teori tersebut dalam penerapannya.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga
macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making
functions); kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undangundang (dalam peristilahan baru sering disebut rule application function);
ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication
function). trias politica adalah satu prinsip normative bahwa kekuasaankekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang
sama untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin.

Menurut Miriam Budiardjo (2008; 151-158) doktrin ini pertama kali
dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan montesquie (1689-1755) dan
pada taraf ini ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of
powers). filsuf inggeris John Locke mengemukakan konsep ini dalam
bukunya berjudul two treatises on civil government (1690) yang ditulisnya
sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja stuart serta membenarkan
revolusi gemilang tahun 1688 (the glorious revolution of 1688) yang telah
dimenangkan oleh parlemen inggeris. menurut locke kekuasaan negara dibagi
dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain.

13

kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undangundang.; kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang
dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (locke memandang
mengadili itu sebagai “uitvoring”, yaitu dipandangnya sebagai termasuk
pelaksanaan undang-undang) dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang
meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan
dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini
disebut hubungan luar negeri), akan tetapi, sekalipun ketiga kekuasaan sudah
dipisah satu sama lain sesempurna mungkin, namun para penyusun undangundang dasar amerika serikat masih juga menganggap perlu untuk menjamin
bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya.
maka dari itu dicoba untuk membendung kecenderungan ini dengan
mengadakan suatu sistem “checks and balances” (pengawasan dan
keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan
mengimbangi cabang kekuasaan lainnya (Miriam Budiardjo 2008 : 151).

Berbicara teori check and balances akan lebih lengkap bila melihat teori itu
dalam sistem ketatanegaraan amerika karena teori ini sudah cukup lama
diterapkan. Bambang Cipto (2005: 58); sejarah kolonial amerika memberikan
cap khusus pada sistem politik amerika modern. Selama berkuasa pihak
pemerintah kolonial inggris menentukan siapa yang akan menjadi gubernur.
Pengalaman pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif agaknya
cukup dalam terbenam ke dalam kesadaran masyarakat amerika pada awalawal kemerdekaan. dorongan dari pemikiran montesqueiu menjadikan
kecenderungan ke arah prinsip pemisahan kekuasaan sangat kuat mewarnai

14

pemikiran politik para bapak pendiri amerika. itulah sebabnya parlemen di
negara-negara bagian Amerika lebih dikenal sebagai legislature daripada
“parlemen”. sementara diluar Amerika digunakan istilah “parlemen”, “diet” ,
atau “assembly” yang maknanya adalah tempat untuk mendiskusikan urusan
politik.
Sekalipun demikian harus diingat bahwa amerika mengenal sistem “checks
and balances. sistem ini menutup kemungkinan bagi tumbuhnya sebuah
badan pengambil keputusan tunggal atau monopoli kekuasaan pada satu
badan politik. dengan sendirinya legsilature dalam sistem amerika bukan
satu-satunya

pembuat

konsekwensinya

badan

dan

pelaksana

eksekutif

juga

undang-undang.
memiliki

wewenang

sebagai
untuk

menjalankan fungsi yang sama seperti yang dilakukan oleh legislature. jika
disimak penjelasan di atas, akan terlihat bahwa perbedaan antara satu sistem
parlemen dengan sistem parlemen lainnya terletak pada derajat pemisahan
tersebut. jadi secara prinsip masing-masing parlemen memiliki wewenang
yang kurang lebih sama namun pada tingkat tertentu mereka menunjukkan
perbedaan.

Hubungan legislatif eksekutif juga dipengaruhi oleh masa bakti masingmasing anggota. besarnya tingkat kemandirian baik kongres maupun
eksekutif amerika dimungkinkan antara lain oleh masa bakti yang berbeda.
Prinsip pemisahan kekuasaan dicerminkan dalam cara pemilihan anggota
kedua badan yang ditopang oleh kedua masyarakat pemilih berbeda serta
masa bakti berbeda. Kongres tidak berhak untuk menentukan pemilihan

15

kepala eksekutif, demikian pula sebaliknya. Kecuali dalam kasus luar biasa
dalam mana proses pemilihan presiden gagal menentukan calon presiden,
maka terbuka peluang bagi kongres untuk ikut serta dalam penentuan kepala
eksekutif. kongres bahkan tidak mudah menghentikan tugas kepresidenan
kecuali dengan prosedur impeachment yang sangat jarang dilakukan.
keterbatasan-keterbatasan di atas sangat diyakini oleh masyarakat politik
amerika sehingga menimbulkan apa yang kemudian dikenal luas sebagai
prinsip checks and balances.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa sistem atau mekanisme
check and balances itu berlaku dalam pemerintahan yang menganut sistem
parlementer. Menyangkut pelaksanaan sistem “checks and balances” dengan
kewenangan presiden, Miriam Budiardjo (2008: 24) menjelaskan; dalam
rangka “checks and balances” ini presiden diberi wewenang untuk memveto
rancangan undang-undang yang telah diterima oleh congress, akan tetapi di
pihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh congress dengan dukungan 2/3 suara
dari kedua majelis. Mahkamah agung mengadakan check terhadap badan
eksekutif dan badan legislatif melalui yudicial review (hak uji). Di lain fihak
hakim agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat
dihentikan oleh congress kalau ternyata telah melakukan tindak kriminil.
Begitu pula presiden dapat di “impeach” oleh badan itu. presiden boleh
menandatangani perjanjian internasional, tetapi baru dianggap sah jika senat
juga mendukungnya. begitu pula untuk pengangkatan jabatan-jabatan yang
termasuk wewenang presiden, seperti hakim agung dan duta besar,
diperlukan persetujuan dari senat. Sebaliknya menyatakan perang (suatu

16

tindakan eksekutif) hanya boleh diselenggarakan oleh congress, jadi sistem
“checks and balances” ini, yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan lain,
tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang dilihat di
inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk
membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif oleh
karena keadaan tersebut di atas, maka ada kecenderungan untuk menafsirkan
trias politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (saparation of powers),
tetapi sebagai pembagian kekuasaan (devision of powers) yang diartikan
bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta
diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk
selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk
kelancaran organisasi.

Dahlan Thaib (2000: 25) mengemukakan bahwa dengan adanya pemisahan
kekuasaan maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara itu
dalam operasional kekuasaan masing-masing. dengan sistem yang demikian
maka di dalam ajaran trias politica terdapat suasana “check and balances”,
dimana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap
saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing
lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah di tentukan,
dengan demikian akan terdapat hubungan kekuasaan antar lembaga-lembaga
negara tersebut oleh karena itu dapat dipahami bahwa sistem check and
balances dapat mencegah lembaga atau badan-badan yang telah mempunyai
kekuasaan masing-masing untuk tidak melakukan hal-hal yang bukan
menjadi bagian kekuasaannya. Penyelenggaraan kekuasaan akan menjadi

17

lebih efektif karena antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain
hubungannya diatur sedemikian rupa dalam kerangka keseimbangan dan
pengawasan.

Penjelmaan konsep trias politica dalam penyelenggaraan pemerintahan di
indonesia antara lain dapat dilihat dari undang-undang dasar negara. dengan
menelaah tiga undang-undang dasar yang pernah berlaku di indonesia, yaitu;
undang-undang dasar 1945 yang berlaku dari 1945 sampai 1949 yang
kemudian diganti dengan uud federal dan UUD Sementara 1950, selanjutnya
diberlakukan kembali tahun 1959 melalui dekrit presiden 5 Juli 1959.

Miriam Budiardjo (2008) berpandangan bahwa ketiga undang-undang dasar
tersebut tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica yang
dianut, tetapi oleh karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari
demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa indonesia
menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan. hal ini jelas dari
pembagian bab dalam undang-undang dasar 1945.

Miriam Budiardjo melihat penggunaan konsep trias politica dengan cara
pandang terhadap pasal-pasal dan bab yang terdapat dalam hukum dasar yang
berkaitan dengan pengaturan pembagian kekuasaan dalam negara, serta
penerapannya pada lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan tersebut.
Sementara

Inu Kencana (2004:

118-119)

dalam bukunya

“sistem

pemerintahan indonesia” mengemukakan beberapa model pembagian
kekuasaan yang dikutip dari beberapa pakar, disini ia menggunakan kata
praja untuk kekuasaan. Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan serta

18

diberi istilah sebagai berikut : eka praja adalah apabila kekuasaan dipegang
oleh satu badan. bentuk ini sudah tentu diktator(autokrasi) karena tidak ada
balance (tandingan) dalam era pemerintahannya. Jadi yang ada pihak
eksekutif saja, dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut atau
pemerintahan facisme. Dwi praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh
dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dikategorikan sebagai lembaga
administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur
pengatur undang-undang). Tri praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh
tiga badan. bentuk ini diusulkan oleh para pakar yang menginginkan
demokrasi, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. tokohnya Montesquieu dan John Locke, serta yang agak identik
Gabriel Almond. Catur praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh empat
badan. bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekwen,
bila

tidak

akan

tampak

kemubaziran.

van

valen

hoven

pernah

mengkategorikan bentuk ini menjadi regiling, bestuur, politie dan
rechspraah. Panca praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan.
Bentuk ini sekarang dianut oleh indonesia karena walaupun dalam hitungan
tampak enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif,
inspektif, dan konstitutif. namun dalam kenyataannya konstitutif (MPR)
anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif bahkan ketuanya sampai
saat ini dipegang oleh satu orang, karena kaburnya gagasan trias politica
dewasa ini, maka ada usaha untuk mencari peristilahan yang lebih mendekati
kenyataan. salah satu usaha kearah ini dapat dilihat dalam analisis gabriel d.
almond seorang sarjana yang terkenal sebagai penganut pendekatan tingkah

19

laku. sarjana ini lebih suka memakai istilah rule making function, dari pada
istilah fungsi legislatif untuk menghindarkan pengertian seolah-olah
ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang akhirnya mengikat
masyarakat politik hanya ditentukan dalam badan legislatif. istilah “rule
making” mencakup juga kegiatan membuat ketentuan-ketentuan yang
mengikat yang diselenggarakan dalam badan eksekutif dan panitia-panitia
kecil, dewan-dewan ataupun rapat-rapat diluar lingkungan badan legislatif.
dalam analisa ini istilah rule application function mengganti istilah fungsi
eksekutif, sedangkan istilah rule adjudication function mengganti istilah
fungsi yudikatif (Miriam Budiardjo, 2008;151-158)

Pada tingkat penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pembagian
kekuasaan diberikan kepada Badan Legislatif Daerah (DPRD) dan Badan
Eksekutif Daerah (pemerintah daerah). jika dipahami lebih jauh dalam
menjalankan kekuasaannya masing-masing badan tersebut juga mengenal dan
melaksanakan mekanisme “check and balances” yang dapat dianggap
sebagai miniatur dari mekanisme check and balances yang terdapat pada
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih tinggi.

Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan
yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi
untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan
perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang
harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan
yudikatif

(kekuasaan

yustisi,

kehakiman)

adalah

kekuasaan

yang

20

berkewajiban memertahankan Undang-undang dan berhak memberikan
peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan
perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran Undang-undang
yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan
eksekutif.
Menurut Kencana (1994: 118 -119) dalam pemerintahan yang demokratis
kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh
beberapa badan atau lembaga. tujuan dari dibagi-baginya penyelenggaraan
kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu tangan
yang dapat berakibat pada terjadinya pemerintahan yang otoriter dan
terhambatnya peran serta rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan
politik. Artinya tujuan dari pemisahan kekuasaan pada dasarnya adalah
sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua
atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok
mendapatkan kuasa yang terlalu banyak Pemisahan kekuasaan merupakan
suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada
penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan diatas dapat dijelaskan bahwa Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Badan Legislatif dalam pemerintah
desa merupakan lembaga perwakilan desa yang berfungsi untuk menetapkan
peraturan desa bersama Kepala desa, menampung dan menyalurkannya.
Selanjutnya berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hakikat
lembaga perwakilan (legislatif) berfungsi sebagai media komunikasi antara

21

pemerintah dengan yang diperintah (rakyat). Hal ini sejalan dengan pendapat
John Stuart dan Walter Bagehot dalam Cipto (1995:35) dengan tegas
mendefinisikan fungsi legislatif adalah sebagai media komunikasi antara
rakyat dan pemerintah sekaligus sebagai institusi pemerintah dengan tugas
menanggapi keluhan-keluhan dari masyarakat. Dengan demikian fungsi
pokok lembaga perwakilan tidak harus diartikan sebagai media komunikasi
antara rakyat dengan pemerintah sekaligus badan pengelola konflik yang
berkembang dalam masyarakat
Menurut Pasal 35 Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, BPD
mempunyai peran yaitu:
a.

Pengawasan terhadap rancangan peraturan desa bersama kepala desa

b.

Penetapan Perdes

c.

Menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan
aspirasi masyarakat.

Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk
desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah, pimpinan dan anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak diperbolehkan merangkap jabatan
kepala desa dan perangkat desa. BPD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk
desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan
cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD sebagaimana dimaksud pada
ayat terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi,
pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Dalam Peraturan

22

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
menyebutkan:
Pasal 5
(1) Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan
berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara
musyawarah dan mufakat.
(2) Anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Ketua
Rukun Warga, golongan profesi, pemangku adat, pemuka agama dan
tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
Pasal 37
(1) Untuk melaksanakan fungsi wewenang hak dan kewajibannya, BPD
membuat program kerja tahunan.
(2) Sesuai dengan program kerja sebagaimana dimaksud pada

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (Studi Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

27 261 148

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Studi Pada BPD Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan)

5 96 117

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Otonomi Desa

3 68 100

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Tentang Proyek Desa Di Desa Gunung Tua Panggorengan Kecamatan Panyabungan)

35 350 77

Relasi Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Kasus: Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara)

1 62 186

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

1 71 103

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Kewenagan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa

8 114 106

Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria

0 40 88

Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) Dalam Proses Demokratisasi Di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Suatu Tinjauan di Desa Simalingkar A dan Desa Perumnas Simalingkar)

1 49 124

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa (Studi Kasus Di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi)

1 12 92