PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN (Studi Perkara No. 1083/Pid.A/2012/PN.TK Kelas IA Tanjung Karang)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN

(Studi Perkara No. 1083/Pid.A/2012/PN.TK Kelas IA Tanjung Karang)

Oleh

FANI DESTRIA RAHMAWATI

Pertanggungjawaban pidana merupakan hubungan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang dijatuhkan sebagaimana seharusnya. Anak adalah aset bangsa dan bagian dari generasi muda sebagai pewaris bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa. Jika seorang anak melakukan suatu tindak pidana pengeroyokan maka pada saat itu usia atau umur anak dipertanyakan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1). Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan ? dan (2). Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pengeroyokan dalam perkara No. 1083/Pid.A/2012/PN.TK.?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan yang berupa pendapat-pendapat dan cara kerja aparat penegak hukum yang menjadi responden dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa pertanggungjawaban pidana atas pengeroyokan yang dilakukan oleh anak dibawah usia 18 (delapan belas) tahun tidak dapat diminta pertanggungjwaban pidana. Mengingat usia anak tersebut terbilang masih dini, dikhawatirkan pemidanaan tersebut akan mengganggu perkembangan psikologi dan mental anak kedepannya.


(2)

yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian usia si anak sebagai pelaku dan faktor-faktor yuridis dan non-yuridis (filosofi, sosiologis, psikologis dan kriminologis) unsur ancaman pidana yang didakwakan yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana.

Saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya permasalahan ini diselesaikan melalui proses penyelesaian diluar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Demi memperhatikan dampak psikologi dan mental yang akan diterima si anak jika si anak berada dibawah usia 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak positif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujun pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(3)

Oleh

Fani Destria Rahmawati

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(Skripsi)

Oleh:

Fani Destria Rahmawati

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ……….………..… 6

C. Tujuan dan Kegunaan ………..… 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………..… 8

E. Sistematika Penulisan ……….. 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ………..…………..… 15

B. Pengertian Anak ……… 17

C. Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan ……….…... 20

D. Tinjauan Umum Pelaku Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming)………….. 22

E. Sistem Penjatuhan Putusan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak ……… 25

F. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana ………. 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……… 32

B. Sumber dan Jenis Data ………. 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel ………. 34

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ………... 35


(8)

B. Pertanggungjawaban Pidana Atas Pengeroyokan Yang Dilakukan Oleh

Anak ………..……….. 40

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Anak dibawah Umur Yang Melakukan Tindak Pidana Pengeroyokan ………. 50

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 60

B. Saran ………..…. 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

(10)

A.Latar Belakang Masalah

Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak baik cenderung akan berkonflik dengan hukuman antara lain melakukan suatu tindak pidana, terutama dalam perubahan perilaku anak. Keberadaan anak memang perlu mendapat perhatian terutama mengenai tingkah laku dan pergaulannya. Dalam hal perkembangan ke arah yang dewasa, kadang seorang anak melakukan perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang pesat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perubahan gaya hidup orangtua serta cara mendidik anak, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarkat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan


(11)

merugikan perkembangan pribadinya.1

Berbeda dengan orang dewasa, apabila melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana, misalnya mencuri, menganiaya, para pakar hukum maupun psikolog sepakat menyebut perbuatan orang dewasa tersebut sebagai tindak pidana. lain halnya dengan anak, perbuatan yang disebutkan diatas dalam istilah hukum maupun psikologi bukan disebut tindak pidana, melainkan kenakalan anak (kenakalan anak ini dalam istilah psikologi dikenal sebagai kenakalan remaja).2

Kenakalan anak merupakan salah satu permasalahan yang ada di Indonesia, baik sendiri atau berkelompok, berseragam sekolah ataupun tidak. Pencurian, perampokan, bahkan melakukan tindak pidana pengeroyokan. Tidak hanya keluarga yang memiliki hubungan darah dengan anak yang bersangkutan, seluruh pihak masyarakat luas mulai resah dengan perbuatan anak yang belakangan kasusnya mulai sering diberitakan.

Pengertian anak sendiri menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah seseorang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada didalam kandungan. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada tanggal 30 Juni 2012

1

Tri, Andrisman. Hukum Peradilan Anak. Fakultas Hukum: Bandar Lampung. 2013. hlm 11.

2


(12)

menyatakan bahwa, anak adalah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Anak dikatakan sebagai anak nazkal apabila melakukan tindak pidana sebagaimana pula diancamkan terhadap orang dewasa dan perbuatan-perbuatan yang dianggap terlarang bagi anak. Perbuatan yang dilarang bagi anak dapat berupa apa yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Setiap perbuatan pasti akan melahirkan pertanggungjawaban dari pelaku walaupun pelakunya masing tergolong anak dibawah umur. Tanggung jawab itu akan selalu ada meskipun belum tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan.

Pada umumnya seseorang akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Aturan undang-undanglah yang dapat menetapkan siapa-siapa saja yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu. Walaupun sebelumnya ditegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah terjadi, namun langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia memenuhi syarat yang diperlukan untuk sebuah pertanggungjawaban tersebut. Dipidana atau tidaknya pelaku tidak hanya bergantung pada ada aatau tidaknya perbuatan pidana saja, melainkan juga perbuatan pelaku termasuk perbuatan tercela atau tidak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah terlarang dan dapat diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya.

Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan bahwa penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Salah satu


(13)

tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi seorang anak adalah masalah usia atau umur. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman dibedakan dalam beberapa tingkatan yaitu:

1. Batasan Umur Tingkatan Pertama, yaitu anak yang berumur antara 0-8 tahun. 2. Batasan Umur Tingkatan Kedua, yaitu anak yang berumur antara 8-12 tahun. 3. Batasan Umur Tingkatan Ketiga, yaitu anak yang berumur antara 12-18 tahun. 4. Batasan Umur Tingkatan Keempat, yaitu anak yang berumur antara 18-21

tahun.

Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 1/PUU-VIII/2010 memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Berikut amar putusannya :

Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat

(conditionally unconstitutional),artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”.3

Pada pembahasan skripsi ini terjadi kasus pidana pengeroyokan yang dilakukan oleh seorang anak dibawah umur dengan kronologis kasus sebagai berikut. Yoza Andika Saputra Bin Yoyon 16 (enam belas) tahun dan Muhammad Fikri Assufi Bin Kamaludin 17 (tujuh belas) tahun pada hari Selasa tanggal 04 September 2012 sekira pukul 14.30 WIB melakukan tindak pidana pengeroyokan terhadap korban bernama Agung Saputra Bin Hasan Surya bertempat di KS. Tubun dekat radio OZ Kel. Rawa Laut Kec. Tanjung Karang Timur Bandar Lampung. Awalnya korban sedang

3

Aryodiwitro, Keputusan Mahkamah Konstitusi, (1 Agustus 2013),

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20nomor%201.PUU.2010%20%20_Edit%20 Panitera_.pdf, (16.45 wib)


(14)

berbincang-bincang dengan teman korban datanglah terdakwa Yoza Andika Saputra langsung bergabung hendak ikut mengobrol kemudian korban pun menegur terdakwa Yoza Andika Saputra dengan kata-kata “udah diam aja gak ada urusan dengan lu.” Lantaran sakit hati tidak terima dengan teguran korban, siang harinya terdakwa Yoza Andika Saputra bersama terdakwa Muhammad Fikri Assufi memukul korban sehingga korban mengalami luka robek dikepala, luka lecet dileher, luka lecet disiku lengan kiri dan luka robek dibibir.

Terdakwa Yoza Andika Saputra dan terdakwa Muhammad Fikri Assufi dituntut dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan telah melanggar Pasal 80 Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP yang menyatakan:

Pasal 80 Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002:

“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp

72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”.

Pasal 55 ayat (1) KUHP:

“Dipidana sebagai pembuat delik: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh

melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja memberikan

orang lain supaya melakukan perbuatan”.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak


(15)

Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Perkara No.

1083/Pid.A/2012/PN.TK Kelas IA Tanjung Karang)”.

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan ?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pengeroyokan dalam perkara NOMOR: 1083/Pid/A/2012/PN.TK.?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini ialah substansi penelitian, agar pembahasan tentang penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti membatasi penelitian hanya mengenai analisis putusan pengadilan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan, yang masih lingkup kajian hukum pidana. Objek penelitian, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang NOMOR: 1083/Pid.A/2012/PN.TK. Tahun penelitian, dimulai pada tahun 2013 sampai tahun 2014. Lokasi penelitian, dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kejaksaan Tinggi Lampung dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(16)

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuuhkan putusan pidana terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana pengeroyokan.

2. Kegunaan Penelitian a. Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum mengenai Putusan Pengadilan serta mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar, dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh penulis.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk sumbangan pikiran pada ilmu hukum pidana dan penegakan hukum khususnya serta dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi para pihak yang ingin mengetahui dan memahami tentang tindak pidana tersebut yang berkaitan dengan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan anak.


(17)

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “tanggung jawab” adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (mengenai pembunuhan, perampokan, dan lain-lain).5

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama pada skripsi ini adalah dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat (liability based on fault) yang tidak hanya dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sebagai sekedar unsur mental dalam tindak pidana.6

Perlu diingat kembali perbedaan mendasar dari tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana: Dasar Adanya Tindak Pidana adalah Asas Legalitas, sedangkan Dasar Dapat Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Adalah Asas Kesalahan.

Menurut Roeslan Saleh teori pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah:

4

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.125.

5

Poerwandaminta, W.J,S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.168. 6


(18)

1). Mampu bertanggung jawab

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

2). Mempunyai kesengajaan atau kealpaan a. Kesengajaan

Sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Kealpaan

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut.

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan suatu perkara pidana adalah dengan memperhatikan faktor-faktor seperti:

1. Faktor Yuridis

Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh selama proses persidangan yang didasarkan pada kesesuaian dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti yang merupakan satu rangkaian.

Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukan jenis pidana yang telah


(19)

dilakukan anak nakal. Faktor yuridis berkaitan pula dengan pertanggungjawaban pidana dari anak pelaku tindak pidana. Di sini, hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak serta dengan melihat adakah unsur kesalahan anak atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain itu, faktor yuridis juga berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, lamanya ancaman pidana dan bentuk dari jenis pidana yang telah dilakukan.

2. Faktor Non Yuridis

Kajian non yuridis sebagai dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan penjatuhan sanksi kepada anak yang terdiri dari beberapa faktor yaitu:

1. Filosofis

Faktor filosofis dijadikan dasar pertimbangan yang penting dari hakim dalam menjatuhkan sanski terhadap anak. Dengan faktor ini hakim tidak akan kehilangan orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan undang-undang yang bersangkutan. Dalam rangka penjatuhan sanksi terhadap anak maka dasar filosofi penjatuhannya tidak lain adalah demi kepentingan terbaik anak sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

2. Sosiologis

Faktor sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak diperoleh dari laporan kemasyarakatan. Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individu anak, keluarga, pendidikan


(20)

dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Peradilan Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal 56 sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk sanksi yang dijatukan di masa yang akan datang terhadap anak, sehingga bentuk sanksi yang diambil akan benar-benar dipertimbangkan.

3. Psikologis

Faktor psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Pertimbangan psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan sanksi pidana karena pemahaman terhadap aspek psikologis ini memungkinkan adanya penggambaran terhadap persepsi hakim terhadap anak yang bersangkutan dalam rangka penjatuhan sanksi pidana. Hakim memperoleh laporan kemasyarakatan dari BAPAS maupun pendapat dari BAPAS di persidangan serta diketahui dari perilaku anak selama menjalani persidangan anak.

4. Kriminologis

Faktor krominologis diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku anak yang melakukan tindak pidana. Berdasarkan pada faktor kriminologis ini, hakim dalam rangka penjatuhan sanksi mempertimbangkan motif dari anak dalam melakukan tindak pidana yang akan berpengaruh terhadap bentuk penjatuhan sanksi kepada anak.


(21)

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konseop-konsep khusus yang mempunyai arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.7

Dibawah ini ada beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam skripsi ini:

a. Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya.8

b. Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak).

c. Pelaku

Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan (Pasal 55 Ayat 1-ke 1 KUHP).

d. Tindak pidana

Tindak pidana adalah suatu pidana yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.9

7

Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.132. 8

Soedarto, Op.Cit., hlm. 47. 9

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor, 1984,. hlm. 6.


(22)

e. Pengeroyokan

Pengeroyokan adalah istilah pidana tentang Tindak Pidana pada Pasal 170 KUHP: (1) Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama melakukan

kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam:

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

Ke-2. Dengan pidana paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi beberapa pengertian serta pemahaman terhadap objek penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian di dalam skripsi ini.


(23)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang merupakan cara-cara untuk penulis menjabarkan hasil penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample yang diperlukan, prosedur pengumpulan dan pengelolaan data hasil penelitian, serta metode analisis terhadap data yang telah diperoleh.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada, yaitu pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan. Karena bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu: Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan dalam perkara NOMOR: 1083/Pid/A/2012/PN.TK. dan Apakah putusan hakim sudah memenuhi rasa keadilan terhadap anak tersebut sebagai pelaku tindak pidana pengeroyokan.

V. PENUTUP

Pada bab ini kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil pembahasan dan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan.


(24)

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri atau dari pihak yang lain (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dan sebagainya).10

Pertanggungjawaban pidana merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan suatu tindak pidana. pertanggungjawaban pidana tersebut diartikan sebagai hubungan antara keadaan si pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang dijatuhkan sebagaimana seharusnya.

Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu yang bersangkutan mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban schuld; Actus non facit mens rea). Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa 10


(25)

Syarat dapat dipidananya si pelaku adalah tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Melihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan tergantung pada adanya kesalahan dalam perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari pembuat,

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai.

11

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,Bumi Aksara, Jakarta,1983, hlm.112


(26)

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.12

Masalah kemampuan bertanggungjawaban dalam KUHP diatur pada Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan.

Menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan(opzet) atau karenakelalaian” (culpa). Akan tetapi, kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.

B. Pengertian Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang berpotensi untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, berperan secara strategis dan bersifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh.

12Ibid


(27)

seorang anak masih dapat disebut sebagai seorang anak-anak, remaja dan dewasa. Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap, yaitu masa bayi berumur 0-2 tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir yaitu umur 5-12 tahun. Pada masa bayi, keadaan fisik seorang anak masih sangat lemah sehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan orang tua terutama dari seorang ibu.13

Selain itu terdapat pengertian mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Pengaturan batas usia anak ini berbeda-beda dalam peraturan perundangan-undangan, misalnya:

1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (1): “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”

2. Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997).

13

Gatot Suparmono,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1998. hlm.12.


(28)

KUHP tidak memberikan rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 46 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pasal 330 ayat (1) BW membuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (Pasal 419).

5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 angka (2): “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka (5): “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

7. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

8. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka (3): “Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.


(29)

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pelaku merupakan arti dari pembuat dalam pandangan yang sempit. Pembuat itu sendiri merupakan bagian dari pernyertaan, yang menurut Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Jadi pelaku dalam hal ini melakukan perbuatan pidannya secara bersama-sama atau lebih dari 1 (satu) orang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memuat pasal yang mengatur tentang tindak pidana yang dengann terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka-luka. Tindak pidana ini sering juga disebut Tindak Pidana Pengeroyokan.

Pengeroyokan adalah istilah pidana tentang Tindak Pidana pada Pasal 170 KUHP:

(1) Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam:

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

Ke-2. Dengan pidana paling lama 9 (Sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

Ke-3. Dengan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.


(30)

Pada Pasal 170 ayat (2) KUHP memuat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur barang siapa

2. Unsur dengan terang-terangan dan tenaga bersama 3. Unsur menggunakan kekerasan terhadap orang 4. Unsur yang mengakibatkan luka-luka.

Sedangkan pengertian dari tindak pidana seperti dalam Pasal 170 KUHP tersebut adalah suatu tindak pidana yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau mengabaikan akan diancam dengan pidana.

Pengeroyokan yang diatur dalam masalah ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 1083/Pid.A/2012/PN.TK. yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada intinya bahwa perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 1083/Pid.A/2012/PN.TK. Ingin mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yaitu, Yoza Andika Saputra Bin Yoyon dan Muhammad Fikri Assufi Bin Kamaludin yang masing-masing masih tergolong dalam usia kurang dari 18 (delapan belas) tahun.

D. Tinjauan Umum Pelaku Penyertaan Tindak Pidana(Deelneming)

1. Pengertian Penyertaan (Deelneming)

Penyertaan atau dalam bahasa Belanda deelneming di dalam hukum Pidana


(31)

delik,pelakunya disebut Alleen dader.14

Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan delik tersebut, adalah:

1. bersama-sama melakukan kejahatan.

2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.

3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:

1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.

2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

14


(32)

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:

1. Para Pembuat(dader)Pasal 55 KUHP, yaitu: a. Orang yang melakukan(pleger)

Pelaku/mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan delik masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.

b. Orang yang menyuruh melakukan(doen pleger)

Doenpleger (orang yang menyuruh lakukan) ialah orang yang melakukan

perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantaraan ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dalam tindak pidana ini, pelakunya paling sedikit ada 2 (dua) orang, yakni yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja. Meskipun ia dianggap dan dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

c. Orang yang turut serta melakukan(mede pleger)

Mereka yang turut serta melakukan bisa diartikan dengan “melakukan


(33)

pelakunya paling sedikit ada 2 (dua) orang, yakni yang melakukan dan yang turut melakukan. Dan dalam tindakannya, keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi keduanya melakukan tindak pidana itu. Tetapi apabila pelaku kedua itu hanya membantu, maka pelaku kedua tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi hanya sebagai orang yang “membantu melakukansebagaimana dimaksud oleh

Pasal 56 KUHP.

d. Orang yang sengaja menganjurkan(uitlokker)

Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor

intelektualis) atau dengan memberi upah, perjanjian, salah memakai

kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, dengan sengaja menghasut supaya melakukan perbuatan itu.15

2. Pembuat Pembantu(madeplichtigheid)Pasal 56 KUHP:

Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:

Ke-1. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan;

Ke-2. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

15


(34)

Istilah putusan berasal dari kata dasar putus, yang artinya terpisah atau tidak berhubungan lagi karena terpotong. Kata putus juga berarti habis, selesai, berakhir atau juga sudah pasti, sudah tetap, sudah selesai perkaranya, sudah sepakat dan sebagainya. Memutuskan artinya menjadikan atau menyebabkan putus atau berarti menyudahi, menyelesaikan atau menentukan, atau mengambil keputusan, menjatuhkan hukuman. Keputusan artinya kesudahan, penghabisan, sesuatu yang telah ditetapkan atau sebagai kesimpulan, begitu juga berarti pertimbangan hakim atau hasil ujian dan sebagainya. Putusan artinya barang apa yang sudah putus atau juga berarti ketentuan atau ketetapan.

Menurut hukum perundangan Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. (Pasal 1 ayat (11) KUHAP).

Dalam hukum acara pidana kita yang lama (RIB Stb 1941-1944) pasal 313, 314 dan 315 ada tiga macam putusan pengadilan, ialah:

1. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa. Putusan ini berdasarkan hasil pemeriksaan di muka persidangan bahwa terdakwa tidak diperoleh cukup bukti bersalah.

2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan. Putusan ini didasarkan pada hasil pemeriksaan di muka persidangan bahwa hal yag dituduhkan itu betul terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran.


(35)

berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan dan di anggap telah cukup bukti-bukti tentang kesalahan terdakwa terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.16

Undang-Undang Peradilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997) dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas, yang membedakannya dengan sidang orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:

1. Pembatasan Umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat 1)

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat 2)

Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Peradilan Anak hanyalah terbatas menyangkut perkara anak nakal.

3. Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7)

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 menentukan perkara Anak Nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:

a. Ditangani penyidik oleh penyidik anak

b. Ditangani penuntutan oleh penuntut umum anak c. Di pengadilan oleh hakim anak

16


(36)

Undang-Undang Pengadilan Anak mengakui peranan dari: a. Pembimbing kemasyarakatan

b. Pekerja sosial

c. Pekerja sosial sukarela

5. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat 1)

Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum dan penasehat umum tidak boleh memakai toga.

6. Keharusansplitsing(Pasal 7)

Anak tidak boleh bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan pidana bersama orang dewasa, maka si anak diadili di sidang peradilan anak, sementara orang dewasa di adili di sidang biasa.

7. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat 1)

Acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi kepentingan si anak itu sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

8. Di periksa hakim tunggal (Pasal 11, 14 dan 18)

Hakim yang memeriksa perkara anak baik ditingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

9. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampain 49)

Masa penahan terhadap anak lebih singkat dibandingkan masa penahanan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(37)

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.17

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang, maka batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan, sebagai berikut:

1. Batasan umur tingkat Pertama, yaitu anak yang berumur antara 0 – 8 tahun, maka sistem penjatuhan hukumannya mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Peradilan Anak.

2. Batasan umur tingkat Kedua, yaitu anak yang berumur antara 8 – 12 tahun, maka sistem penjatuhan hukumannya mengacu pada Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Peradilan Anak.

3. Batasan umur tingkat Ketiga, yaitu anak yang berumur antara 12 - 18 tahun , maka sistem penjatuhan hukumannya mengacu pada Pasal 25 Undang-Undang Peradilan Anak.

4. Batasan umur tingkat Keempat, yaitu anak yang berumur antara 18 – 21 tahun, maka sistem penjatuhan hukumannya mengacu pada Pasal 23 dan 24 Undang-Undang Peradilan Anak.

Terhadap anak yang berada dalam tingkatan umur tersebut, maka penjatuhan hukuman disesuaikan berdasarkan tingkatan umur tersebut. Dalam hal ini aparat

17


(38)

yang ada di dalam Undang-Undang Peradilan Anak.18

F. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Tugas utama seorang hakim adalah memeriksa dan memutuskan perkiraan pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan merupakan suatu usaha untuk menggambarkan kembali proses peristiwa yang memerlukan bukti-bukti dan berdasarkan atas pemeriksaan serta penilaian oleh hakim yang selanjutnya akan dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya hakim memeriksa secara langsung atau dengan meminta keterangan seorang ahli kepada terdakwa.

Seorang hakim diharapkan dapat memberikan pertimbangan tentang salah atau tidaknya seseorang serta benar atau tidaknya bahwa telah terjadi suatu perkara pidana agar kemudian hakim dapat memberikan hukuman yang pantas bagi seorang terdakwa. Hakim harus melakukan tiga tindakan dalam mengadili suatu perkara, yaitu:

1. Apabila diajukan kepada suatu peristiwa dalam suatu perkara, maka pertama-tama haruslah mengkonstansi benar atau tidaknya peristiwa itu. Mengkonstansi berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang

18


(39)

menggunakan sarana-sarana yang dapat menunjang terbuktinya suatu kebenaran dari peristiwa yang ia terima dari kasus yang diadilinya.

2. Setelah hakim berhasil mengkonstansikan peristiwa, tindakan selanjutnya adalah mengkualifikasikan peristiwanya. Mengkualifikasi berarti menilai yang mana dengan perkataan lain menemukan bagi peristiwa yang telah dikonstansi.

3. Kemudian hakim mengkonstitusi atau memberikan konstitusi, ini berarti bahwa hakim menentukan hukumannya, memberikan putusan-putusan atau keadilan.

Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peritiwanya, yaitu apabila terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindakan pidana dan apakah terdakwa bersalah untuk dapar dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Secara asumtif peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.


(40)

yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Mempertegas kembali dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, yang menyatakan:

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersnagkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijalankan”.

Hakim dituntut untuk benar-benar memahami tuntutan dari jaksa penuntut umum yang diajukan dalam persidangan untuk benar-benar menegakkan keadilan sesuai dengan ketetapan hukum. Keputusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan mengutus perkara yang dijatuhkan kepadanya, dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya ditujukan pada hukumnya, dirinya sendiri, ataupun kepada masyarakat luas, melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(41)

(42)

A.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang penulis lakukan dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang terutama yang berhubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Nomor: 1083/Pid.A/2012PN.TK. Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA tentang dengan terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka-luka (pengeroyokan).

2. Pendekatan yuridis empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hukum sebagai pola perilaku yang ditujukan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan kasus pengeroyokan.

B. Sumber dan Jenis Data


(43)

Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari hasil studi dan penelitian di lapangan. Data primer ini didapat dari pengamatan putusan Pengadilan Negeri Nomor: 1083/Pid.A/2012PN.TK. Data primer ini akan diambil dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Hakim Anak Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan Dosen pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka. terdiri dari: a. Bahan hukum primer, antara lain:

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);

(3) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (5) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; (6) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

(7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia

(8) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; (9) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 1/PUU-VIII/2010.


(44)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti RUU KUHP, literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder.

C.Penentuan Populasi dan Sampel

1. Penentuan Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.19

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.20

Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitanya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Penentuan Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu.

19

Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Alumni. Bandung. 2000. hlm 44.

20


(45)

Penentuan sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pengambilan sampel berupa Purvosive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang dianggap telah mewakili dengan masalah yang hendak diteliti.

Adapun responden dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2 orang b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang : 2 orang c. Dosen pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 5 orang

D.Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

A. Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh sumber data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku sesrta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

B. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancaea ditujukan kepada Hakim Anak pada Pengadilan Negeri


(46)

Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses pengelolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Seleksi data

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E.Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara kualitatif yang menggambarkan kenyataan serta fakta-fakta yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dalam


(47)

pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan secara induktif sebagai jawaban dari permasalahan yang telah diteliti, yang merupakan metode penarikan data berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(48)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atas penganiayaan/pengeroyokan yang dilakukan oleh anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Mengingat usia anak tersebut terbilang masih dini, dikhawatirkan pemidanaan tersebut akan mengganggu perkembangan psikologi dan mental anak kedepannya. Hal ini sudah diatur didalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pengeroyokan yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian si anak sebagai terdakwa. Kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, kemampuan untuk bertanggungjawab sebagai pelaku atas penjatuhan putusan pidana tersebut, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta dengan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non


(49)

(filosofi, sosiologis, psikologis, kriminologis) yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana

B. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atas pengeroyokan yang dilakukan oleh anak sebagai berikut:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan terlebih dahulu usia anak sebagai pelaku. Seharusnya juga permasalahan ini diselesaikan melalui proses penyelesaian diluar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Demi memperhatikan dampak psikologi dan mental yang akan diterima si anak jika anak si anak berada dibawah usia 18 (delapan belas) tahun.

2. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak positif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(50)

Andrisman, Tri. 2013. Buku Peradilan Anak. Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Ashofa, Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum. Alumni. Bandung.

Bambang, Waluyo. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.

Poerwandaminta, W.J,S. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1984. Peradilan In Absensia Di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Prinst, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sugandhi, R., 1980. KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya. Soedarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

_______. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.


(51)

Aksara Baru, Jakarta.

Tim Wipress. 2006. KUHP dan KUHAP. Wacana Intelektual Press. Jakarta.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2004. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Putusan Mahkmah Konstitusi (MK) No. 1/PUU-VIII/2010

http://www.mahkmahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20nomor%201.PUU.2010% 20%20_Edit%20Panitera_.pdf

http://blogmhariyanto.blogspot.com

http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/04/penyertaan-deelneming-dalam-hukum- pidana.html


(1)

Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses pengelolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Seleksi data

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E.Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara kualitatif yang menggambarkan kenyataan serta fakta-fakta yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dalam


(2)

37

pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan secara induktif sebagai jawaban dari permasalahan yang telah diteliti, yang merupakan metode penarikan data berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(3)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atas penganiayaan/pengeroyokan yang dilakukan oleh anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Mengingat usia anak tersebut terbilang masih dini, dikhawatirkan pemidanaan tersebut akan mengganggu perkembangan psikologi dan mental anak kedepannya. Hal ini sudah diatur didalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pengeroyokan yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian si anak sebagai terdakwa. Kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, kemampuan untuk bertanggungjawab sebagai pelaku atas penjatuhan putusan pidana tersebut, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta dengan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non


(4)

63

(filosofi, sosiologis, psikologis, kriminologis) yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana

B. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atas pengeroyokan yang dilakukan oleh anak sebagai berikut:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan terlebih dahulu usia anak sebagai pelaku. Seharusnya juga permasalahan ini diselesaikan melalui proses penyelesaian diluar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Demi memperhatikan dampak psikologi dan mental yang akan diterima si anak jika anak si anak berada dibawah usia 18 (delapan belas) tahun.

2. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak positif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(5)

Andrisman, Tri. 2013. Buku Peradilan Anak. Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Ashofa, Burhan. 2000. Metode Penelitian Hukum. Alumni. Bandung.

Bambang, Waluyo. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.

Poerwandaminta, W.J,S. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1984. Peradilan In Absensia Di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Prinst, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sugandhi, R., 1980. KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya. Soedarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

_______. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.


(6)

Khusus. Politea, Bogor.

Suparmono, Gatot. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru, Jakarta.

Tim Wipress. 2006. KUHP dan KUHAP. Wacana Intelektual Press. Jakarta.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2004. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Putusan Mahkmah Konstitusi (MK) No. 1/PUU-VIII/2010

http://www.mahkmahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20nomor%201.PUU.2010% 20%20_Edit%20Panitera_.pdf

http://blogmhariyanto.blogspot.com

http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/04/penyertaan-deelneming-dalam-hukum- pidana.html