PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)

(1)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)

Oleh

RADITYA SATWIKA ARJAN

Setiap anak seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dalam memasuki masa remaja dan masa dewasanya, tetapi pada kenyataannya terdapat anak yang justru melakukan tindak pidana pembunuhan. Terkait dengan hal tersebut maka anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Permasalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK? (2) Apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK (2) Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Penegakan penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan dilaksanakan melalui pemidanaan. Hukuman yang jatuhkan kepada terdakwa anak harus sesuai dengan perbuatan dan hasil dari tindak pidana pembunuhan yang dilakukan anak. Disparitas pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada pertimbangan hakim peradilan anak dalam menjatuhkan sanksi pidana yang bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada anak agar yang bersangkutan dapat memperbaiki dirinya dan tidak mengulangi kesalahannya di masa-masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak anak. Selain itu hakim tidak menggunakan sanksi pidana secara sembarangan, menyamaratakan dan digunakan secara paksa kepada anak yang

Raditya Satwika Arjan

melakukan tindak pidana pembunuhan. Maknanya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah memenuhi keadilan substantif ditinjau dari tujuan pemidanaan terhadap anak. (2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan adalah: (a)Faktor perundang-undangan (substansi hukum), yaitu ketentuan yaitu Pasal 183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. (b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya profesionalisme petugas penyidik dan petugas penyidikan dalam melaksanakan penyidikan khusus kepada anak yang melakukan tindak pidana. (c) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu kurangnya ketersediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyidikan


(2)

tindak pidana yang dilakukan anak, sehingga memungkinkan penyidikan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. (d) Faktor Masyarakat, yaitu minimnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum dengan tidak bersedia untuk menjadi pelapor atau saksi dalam tindak pidana pembunuhan. (e) Faktor Kebudayaan, yaitu pergeseren nilai-nilai dan norma budaya yang diakui secara umum oleh masyarakat di Indonesia, yang seharusnya memahami bahwa pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap norma dan nilai-nilai kebudayaan di Indonesia.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada pemerintah untuk memulai membuat program-program yang bersifat edukatif sebagai ganti dari penjatuhan sanksi pidana penjara dengan dibangun lebih banyak tempat-tempat pendidikan bagi anak yang bermasalah dengan hukum, seperti sekolah, pesantren atau tempat-tempat keagamaan yang sejenisnya, balai latihan kerja dan memberikan pengetahuan serta keterampilan khusus dalam menangani anak kepada para aparat penegak hukum. (2) Pemerintah disarankan untuk menyiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. (2) Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani kasus anak yang bermasalah dengan hukum.


(3)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat penting untuk mengatur hubungan

masyarakat sebagai warga negara, baik hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan kebendaan,

manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan negara. Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam

penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga

negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang

dilakukan anggota masyarakat atas masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Penegakan hukum secara ideal akan

dapat mendorong masyarakat untuk menaati dan melaksanakan hukum.

Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan adanya kejahatan baik yang mengalami

kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya. Tindak pidana merupakan suatu pelanggaran

norma (gangguan terhadap tertib hukum) dam penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum1

Kejahatan sebagai fenomena sosial bukan merupakan hal yang terjadi secara tidak sengaja atau hanya kebetulan,

karena pada dasarnya pelaku kejahatan melakukan tindakan melawan hukum tersebut dipicu oleh berbagai faktor

penyebab yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan secara erat. Tindak pidana merupakan perbuatan manusia

yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan..

Eksistensi hukum dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena

hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk

menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan

dan kesejahteraan masyarakat.2

1

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

2

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.


(4)

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai

dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana

akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.3

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum

dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan

perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan

perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukannya.

Pembunuhan yang dilakukan oleh anak merupakan salah satu tindak pidana yang melanggar Hak Asasi Manusia

(HAM), sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh

karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh

siapapun. Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa definisi HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia. Hak untuk hidup merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia,

sehingga negara berkewajiban menyelenggarakan suatu mekanisme perlindungan Hak Asasi Manusia dengan

membentuk berbagai aturan dan perangkat penegak hukum, sebagai pelaksana perlindungan Hak Asasi Manusia.

Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain

pembunuhan adalah suatu pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi

Manusia. Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa barang siapa sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Apabila terdapat unsur perencanaan sebelum melakukan pembunuhan, maka pembunuhan dapat disebut dengan

pembunuhan berencana. Dalam Pasal 340 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu

3

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 28.


(5)

merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.4

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

di depan hukum, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa setiap warga negara

wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja

tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut

melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar

hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.5

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan

hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan

perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatannnya di hadapan hukum, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah

dilakukan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan

kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Meskipun konsep pertanggungjawaban

pidana umumnya berprinsip pada asas kemampuan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, namun

terdapat pula beberapa asas lain, yaitu pertanggungjawaban pengganti, pertanggungjawaban yang ketat dan

pemberian maaf/pengampunan oleh hakim.

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya

tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

4

Leden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Preverensinya),Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.19

5

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46


(6)

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa

bersalah pada terpidana6

Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung

jawab adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu

untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau

dilarang oleh masyarakat; dan menentukan kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut.

Salah satu contoh kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap anak adalah Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK.

Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap Deri Adiputra Bin Handoyo, yang dengan sengaja

melakukan pembunuhan yang didahului dengan sesuatu perbuatan pidana dengan maksud untuk mempermudah

pelaksanaannya untuk memastikan penguasaan barang yang diperoleh secara melawan hukum. Terdakwa pada hari

Jumat tanggal 13 Juli 2012 sekira pukul 19.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Juli 2012,

bertempat di halaman belakang Gudang Pusri lama di Jalan Gatot Subroto Kelurahan Pahoman Kecamatan Teluk

Betung Utara Bandar Lampung atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk di dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, telah melakukan kekejaman, kekerasan dan penganiayaan terhadap

anak yang mengakibatkan kematian.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terdiri dari dakwaan Primair yaitu melanggar Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1)

dan (2) UU RI Nomor 3 Tahun 1997. Dakwaan subsidair yaitu melanggar Pasal 338 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan

(2) UU RI Nomor 3 Tahun 1997. Dakwaan lebih subsidair yaitu melanggar Pasal 365 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 26

ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 3 Tahun 1997. Dakwaan lebih-lebih subsidair yaitu melanggar Pasal 80 ayat (3) UU

RI Nomor 23 Tahun 2002 Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 3 Tahun 1997. Majelis hakim menjatuhkan

pidana penjara selama 10 tahun sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap terdakwa anak yang melakukan tindak

pidana pembunuhan ini.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi

dengan judul: “Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Pembunuhan (Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)”

6

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23-24


(7)

B. Permasalaham dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor

791/PID.A/2012/PN.TK?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor

791/PID.A/2012/PN.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan

penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dan faktor penghambat penegakan hukum terhadap

anak sebagai pelaku pembunuhan pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 791/PID/A/2012/PNTK.

Ruang lingkup waktu penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam Perkara Nomor

791/PID.A/2012/PN.TK

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dalam

Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(8)

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dan faktor

penghambat penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam upaya penegakan

hokum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai penegakan hukum di

masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan

penelitian hukum7. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi

kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan

oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak

termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana

sebagai sistem peradilan pidana8

Penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

(1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

7

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.72

8

Mardjono Reksodiputro.Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm.76.


(9)

(2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

(3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat9

Negara Indonesia adalah negara hukum (

recht staats

), maka setiap orang yang melakukan tindak

pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam

hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa

tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor

yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. (5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

9


(10)

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.10

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.11 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh

nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak

termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan

hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana12

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan

pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah

dilakukan terhadap seorang pelaku13

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum14

d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat

berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (11) KUHAP)

e. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain,

pembunuhan adalah suatu pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak

10

Soerjono Soekanto.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11

11

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.63

12

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.

13

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.

14

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25


(11)

Asasi Manusia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 338 dinyatakan bahwa: Barang siapa

sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun15.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai

berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang

Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi

yaitu pengertian Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Pembunuhan dan Pertanggungjawaban Pidana.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan

Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi

dan analisis penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan dan faktor-faktor penghambat

penegakan hukum terhadap anak sebagai pelaku pembunuhan

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai

saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

15

Leden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Preverensinya),Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.20


(12)

(13)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan

globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat

beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka

pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana1 Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang

masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada

badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum (

recht staats

), maka setiap orang yang melakukan tindak

pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam

hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa

tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan,

dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan

yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah

dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi

kejahatannya.

2

1

Mardjono Reksodiputro.Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm.76.

2


(14)

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai

sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun

demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal

apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagaiprecise justice,maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang

nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan

hukum.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime controlsuatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.3

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan

demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu

due

process of law

yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang

adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya

dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang

tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari

due process of law

ini lebih luas dari sekedar

penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

4

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin

penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun

kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa

diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi,

3

Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

4

Muladi.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hlm.62.


(15)

hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan

dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak .

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus

melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin

penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat . Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan

hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan

pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan

bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan

sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan

mempengaruhi . Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan

yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

B. Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut

dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung

jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukan5

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum.6

5

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 19

6

P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996. hlm. 16.


(16)

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahan di

kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga

masyarakat keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang seperti

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak

kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni

pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian

yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan

bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun

peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.7

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut

dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung

jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukan8

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan

atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum.

2. Pembunuhan

7

Ibid. hlm. 17.

8

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22


(17)

Pembunuhan merupakan bentuk tindak pidana terhadap “nyawa” yang dimuat pada Bab XIX dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang”, yang diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Mengamati pasal-pasal tersebut maka KUHP mengaturnya sebagai berikut:

a. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia

b. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang sedang/baru dilahirkan

c. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan9 Berdasarkan segi kesengajaan (dolus), tindak pidana terhadap nyawa terdiri atas:

a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja

b. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja disertai dengan kejahatan berat

c. Pembunuhan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu

d. Pembunuhan yang dilakukan atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh

e. Pembunuhan yang menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri10

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut, pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Dilakukan dengan sengaja (diatur dalam Bab XIX)

b. Dilakukan karena kelalaian/kealpaan (diatur dalam Bab XXI)

c. Dilakukan karena tindak pidan lain, mengakibatkan kematian (diatur antara lain dalam Pasal 170, 351 Ayat (3)

dan lain-lain)11

Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil, yakni delik yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul,

tanpa menyebut cara-cara yang menimbulkan akibat tersebut. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP

adalah sebagai berikut:

a. Pembunuhan (Pasal 338)

b. Pembunuhan dengan Pemberatan (Pasal 339)

c. Pembunuhan Berencana (Pasal 340)

d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Pasal 341)

9

Leden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Preverensinya),Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.19

10

Ibid,hlm.19

11


(18)

e. Pembunuhan Bayi Berencana (Pasal 342)

f. Pembunuhan Atas Permintaan yang bersangkutan (Pasal 342)

g. Membujuk/membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345)

h. Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346)

i. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya (Pasal 348)

j. Dokter/bidan/tukang obat yang membantu pengguguran/matinya kandungan (Pasal 349)

Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain,

pembunuhan adalah suatu pebuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain sebagai Hak Asasi

Manusia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 338 dinyatakan bahwa: Barang siapa sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Apabila terdapat unsur perencanaan sebelum melakukan pembunuhan maka pembunuhan tersebut dapat disebut

dengan pembunuhan berencana. Dalam Pasal 339 dinyatakan bahwa pembunuhan yang disertai atau didahului oleh

sesuatu perbuatan pidana dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk

melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan

penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain

diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pembunuhan (murder) diatur dalam Pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

"Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan

pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun."

Unsur-unsur

pembunuhan adalah: (a) Barang siapa (ada orang tertentu yang melakukannya); (b) Dengan


(19)

sengaja (sengaja sebagai maksud, sengaja dengan keinsyafan pasti, sengaja dengan

keinsyafan/dolus evantualis, menghilangkan nyawa orang lain.

12

3. Pembunuhan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, menyatakan bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal

budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan

yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani

kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk

memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut,

manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang

dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada

manusia, hak ini tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari

martabat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat

pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,

dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak

Asasi Manusia adalah:

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

12


(20)

Hak-hak ini sifatnya sangat mendasar atau asasi (fundamental) dalam arti pelaksanaanya mutlak diperlukan tanpa

diskriminasi agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita serta martabatnya. Karena itu setiap

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia harus dihapuskan karena bertentangan dengan harkat dan martabat

manusia. Adapun 10 hak yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi

Manusia, adalah sebagai berikut:

a.

Hak untuk hidup

b.

Hak untuk berkeluarga

c.

Hak untuk mengembangkan diri

d.

Hak untuk memperoleh keadilan

e.

Hak atas kebebasan pribadi

f.

Hak atas rasa aman

g.

Hak atas kesejahteraan

h.

Hak untuk turut serta dalam pemerintahan

i.

Hak wanita

j.

Hak anak

Berdasarkan huruf (a) di atas, maka diketahui bahwa hak untuk hidup merupakan bagian penting dari Hak Asasi

Manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,sebagai anugerah dari Tuhan Yang maha

Esa yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh

siapapun.13

Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, yang dimaksud

pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara,

baik sengaja atau pun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh

Undang-13

Muladi.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 62.


(21)

Undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan

benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku.

Berdasarkan bentuk dari pelanggaran HAM tadi, dibagi kedalam pelanggaran HAM yang termasuk di dalam KUHP

yang pelakunya diadili oleh pengadilan pidana, dan pelanggaran terhadap HAM yang bersifat berat yang diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM yang bersifat berat ini berdasarkan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi dua jenis, yang

meliputi kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejahatan

terhadap HAM yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Kejahatan Genoside

Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan

sebagaian/seluruh kelompok bangsa, etnis, dan kelompok agama. Yang berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia kejahatan ini dilakukan dengan cara membunuh

anggota kelompok, mengakibatkan fisik atau mental yang berat, menciptakan kondisi kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik sebagaian atau seluruhnya, memaksakan tindakan-tindakan yang

bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu

kekelompok lain.

b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahui

bahwa serangan tersebut ditujukan langsung kepada penduduk sipil. Yang berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,

pengusiran atau pemindahan secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan

terhadap kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid.

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembunuhan merupakan salah satau bentuk nyata pelanggaran terhadap Hak


(22)

C. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan

monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan

asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana

berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban

pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik

kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan

pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan14

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya

tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa

bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau

menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang

negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada

kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya15

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (

opzet

) dan kelalaian (

culpa

), sebagai

berikut:

1. Kesengajaan (

opzet

)

14

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

15


(23)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai

berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan

dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada

pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan

adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki

mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk

mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti

akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya16

2. Kelalaian (

culpa

)

Kelalaian (

culpa

) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga

culpa

dipandang

lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik

culpa

,

culpa

itu merupakan

delik semu (

quasideliet

) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung

dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan

akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri,

perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat

dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu

menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.

17

Selanjutnya syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu tidak benar.

16

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46

17


(24)

Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.18

Pertanggungjawaban pidana (

criminal responsibility

) adalah suatu mekanisme untuk menentukan

apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana

yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas

tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan

pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari

sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab

yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam hal dipidananya seseorang yang

melakukan perbuatan pidana tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia

mempunyai kesalahan

19

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum

pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

1) Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

2) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan

dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi

si pembuat

20

18

Ibid.hlm. 49

19

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,

Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

20


(25)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kemampuan bertanggungjawab

merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus

dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup

lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada

umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada

tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini,

hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak

diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa

kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak

dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang

berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat diper

tanggungjawabkan

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak

dipidana”

. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,

misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat

dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus

memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah

akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu

penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan

pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan

sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman

21

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal

(intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk

21

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 51


(26)

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor

perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang

diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan

kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa

setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang,

maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain

orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi


(27)

I. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada

lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan

pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1. B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan

wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan

permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(4) Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan

peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan

hokum sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 791/PID/A/2012/PNTK.

1


(28)

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai

literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.2. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk

menjadi responden penelitian3. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang

menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang

2). Dosen Hukum Pidana FH Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca,

menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

2

Ibid. hlm.82

3


(29)

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden

penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan

yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih

sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan

dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan

yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan

terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode

induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.4

4


(30)

(31)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan dilaksanakan melalui pemidanaan. Hukuman

yang jatuhkan kepada terdakwa anak harus sesuai dengan perbuatan dan hasil dari tindak pidana pembunuhan

yang dilakukan anak. Disparitas pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada pertimbangan hakim

peradilan anak dalam menjatuhkan sanksi pidana yang bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada anak

agar yang bersangkutan dapat memperbaiki dirinya dan tidak mengulangi kesalahannya di masa-masa yang

akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan

terhadap hak-hak anak. Selain itu hakim tidak menggunakan sanksi pidana secara sembarangan,

menyamaratakan dan digunakan secara paksa kepada anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan.

Maknanya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah memenuhi keadilan substantif ditinjau dari

tujuan pemidanaan terhadap anak.

2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan adalah:

a. Faktor perundang-undangan (substansi hukum), yaitu ketentuan yaitu Pasal 183 KUHAP, dalam hal

menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 menyatakan

bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d).

Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu

dibuktikan. Hambatannya adalah penyidik belum tentu dapat mengumpulkan semua alat bukti yang

ditentukan. Selain itu aparat penegak hukum harus menyesuaikan proses penegakan hukum dengan


(32)

b. Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya profesionalisme petugas penyidik dan petugas penyidikan

dalam melaksanakan penyidikan khusus kepada anak yang melakukan tindak pidana. Petugas yang kurang

terlatih dan terbiasa melaksanakan tugas penyidikan sesuai kapasitasnya selaku penyidik akan menghambat

proses penyidikan.

c. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu kurangnya ketersediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam

pelaksanaan penyidikan tindak pidana yang dilakukan anak, sehingga memungkinkan penyidikan dapat

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

d. Faktor Masyarakat, yaitu minimnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum dengan tidak

bersedia untuk menjadi pelapor atau saksi dalam tindak pidana pembunuhan.

e. Faktor Kebudayaan, yaitu pergeseren nilai-nilai dan norma budaya yang diakui secara umum oleh

masyarakat di Indonesia, yang seharusnya memahami bahwa pembunuhan merupakan pelanggaran

terhadap norma dan nilai-nilai kebudayaan di Indonesia.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Disarankan kepada pemerintah untuk memulai membuat program-program yang bersifat edukatif sebagai ganti

dari penjatuhan sanksi pidana penjara dengan dibangun lebih banyak tempat-tempat pendidikan bagi anak yang

bermasalah dengan hukum, seperti sekolah, pesantren atau tempat keagamaan yang sejenisnya, balai latihan

kerja dan memberikan pengetahuan serta keterampilan khusus dalam menangani anak kepada para aparat

penegak hukum.

2. Pemerintah disarankan untuk menyiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus untuk menangani

masalah anak, sehingga terpisah dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya pembedaan perlakuan dalam

hal menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana dengan kasus pelaku tindak pidana yang dilakukan

orang dewasa.

3. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengetahuan para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus

anak dan mempersiapkan aparat penegak hukum yang benar-benar khusus dibentuk untuk menangani kasus


(33)

(34)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

RADITYA SATWIKA ARJAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(35)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Penegakan Hukum ... 15

B. Tindak Pidana Pembunuhan... 18

C. Pertanggungjawaban Pidana ... 27

III METODE PENELITIAN... 33

A. Pendekatan Masalah... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 38

A. Karakteristik Responden ... 38

B. Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK) ... 39

C. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK) ... 57


(36)

V PENUTUP... 69 A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(37)

i

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

__________________. 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Atmasasmita, Romli. 1996.Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Lamintang,P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 1992.Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

______________ . 2000.Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1993.

Asas-Asas Hukum Pidana,

Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi. 1997.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997.

Pertanggungjawaban Pidana,

Rineka Cipta,

Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994.Sistem Peradilan Pidana Indonesia(Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997.Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.


(38)

(39)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)

Oleh

RADITYA SATWIKA ARJAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(40)

Judul Skripsi

:

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK)

Nama Mahasiswa

:

RADITYA SATWIKA ARJAN

No. Pokok Mahasiswa :

0912011360

Bagian

:

Hukum Pidana

Fakultas

:

Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023

Diah Gustiniati, S.H., M.H.

NIP.19620817 198703 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H.


(41)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua

:

Tri Andrisman, S.H., M.H.

………

Sekretaris/Anggota

:

Diah Gustiniati, S.H., M.H.

………

Penguji Utama

:

Firganefi, S.H., M.H.

………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003


(42)

(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 10 April 1991, merupakan

putra keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. Stevanus

Ardjan, MBA, dan Ibu Mei Indrayati.

Penulis menempuh pendidikan TK Immanuel Bandar Lampung selesai pada tahun 1997, Sekolah

Dasar (SD) Immanuel Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Immanuel Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah

Atas (SMA) Negeri 6 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009,

penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung.


(44)

MOTTO

Tidak akan pernah mengenal kata pesimis dalam hal apapun

di dalam hidup

Perjalanan ribuan mil, dimulai dengan satu langkah pertama

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi

manusia yang berguna.


(45)

Persembahan

Sebuah karya kecil buah pemikiran dan kerja keras untuk kedua orang tuaku

tercinta yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran dan

keikhlasan hati,

Ayahhandaku tercinta Ir. Stevanus Ardjan, MBA.,

Ibundaku tercinta Mei Indrayati,

ketiga kakakku tersayang

dan saudara-saudaraku tersayang


(46)

SAN WACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai

Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK) sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung, sekaligus Dosen Pembimbing II yang memberikan saran dan kritik

dalam penulisan ini

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang penuh dengan

kesabaran memberikan bimbingan, motvasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses

penyelesaian skripsi ini

4. Ibu Firganefi , S.H., M.H., selaku Pembahas I, terima kasih atas masukan dan saran yang

diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

5. Ibu Dona Raisa M, S.H., M.H., selaku Pembahas II, terima kasih atas masukan dan saran

yang di berikan selama proses perbaikan skripsi ini


(47)

6. Ibu Rohaini S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah membantu, mengarahkan

dan membimbing pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada

penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Bandar Lampung, yang telah memberikan izin penelitian

dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian

10. Kepada CDT (Ami, Ais, Bambang, Dafson, Arief, Riga, Ridza) terima kasih atas

dukungannya

11. Terima kasih kepada Ayu Antika selaku teman yang paling dekat dihati saya, yang telah

memberikan semangat selama saya mengerjakan skripsi ini

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan

balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 12 Februari 2013

Penulis


(1)

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 10 April 1991, merupakan putra keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. Stevanus Ardjan, MBA, dan Ibu Mei Indrayati.

Penulis menempuh pendidikan TK Immanuel Bandar Lampung selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Immanuel Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Immanuel Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 6 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(3)

MOTTO

Tidak akan pernah mengenal kata pesimis dalam hal apapun

di dalam hidup

Perjalanan ribuan mil, dimulai dengan satu langkah pertama

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi

manusia yang berguna.


(4)

Persembahan

Sebuah karya kecil buah pemikiran dan kerja keras untuk kedua orang tuaku

tercinta yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran dan

keikhlasan hati,

Ayahhandaku tercinta Ir. Stevanus Ardjan, MBA.,

Ibundaku tercinta Mei Indrayati,

ketiga kakakku tersayang

dan saudara-saudaraku tersayang


(5)

SAN WACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan”(Studi Perkara Nomor 791/PID.A/2012/PN.TK) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Dosen Pembimbing II yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan, motvasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

4. Ibu Firganefi , S.H., M.H., selaku Pembahas I, terima kasih atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

5. Ibu Dona Raisa M, S.H., M.H., selaku Pembahas II, terima kasih atas masukan dan saran yang di berikan selama proses perbaikan skripsi ini


(6)

6. Ibu Rohaini S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah membantu, mengarahkan dan membimbing pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Bandar Lampung, yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian

10. Kepada CDT (Ami, Ais, Bambang, Dafson, Arief, Riga, Ridza) terima kasih atas dukungannya

11. Terima kasih kepada Ayu Antika selaku teman yang paling dekat dihati saya, yang telah memberikan semangat selama saya mengerjakan skripsi ini

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 12 Februari 2013 Penulis